Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

2 Jun 2015

BERBAGI KEBAHAGIAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

BERBAGI KEBAHAGIAAN

 DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

 
              “Banyak jalan menuju Roma, banyak cara untuk berbagi bahagia”, kiranya ungkapan ini mengejahwantah di medio Desember 2014 lalu. Ketika  seksi sosial yang dibentuk panitia Natal 2014 bersama dengan kumpulan doa Legio Maria dan Wanita Katolik menyambangi Lapas Klas IIB yang beralamat di Jalan Tanjung Batu No.33, kecamatan Singkawang Selatan.  Tujuannya satu, ingin berbagi kebahagiaan Natal dengan para penghuni Lapas, khususnya yang beragama Katolik dan Protestan.




                        Kegiatan kunjungan yang digelar pada 31 Desember 2014 ini dimulai pukul 09.30 WIB.  Diawali dengan misa syukur yang dipimpin oleh Pastor Yeremias, umat nampak khusyuk mengikuti prosesi misa. Kekakuan suasana tampak di awal, namun setelah berjalan beberapa saat, terlebih ketika sampai pada acara hiburan, atmosfer hangat, gembira dan bahagia melingkupi kapel sederhana tempat berlangsungnya acara.
Berbagai bingkisan berupa kado natal dan paket sembako juga dibagikan dalam kesempatan ini.  Sufong, salah satu penghuni Lapas mengaku sangat gembira dengan digelarnya acara ini. “Mudah-mudahan acara seperti ini terus berlanjut ya, dan lebih meriah. Kita semua bahagia dan merasa diperhatikan.”, ungkap wanita berparas cantik ini. Kiranya kegembiraan natal dapat selalu menyambangi seluruh umat yang percaya akan penyelamatan-Nya tanpa sekat di manapun berada. (Hes)


  
                              

BERBAGI ITU INDAH DAN MURAH

BERBAGI ITU INDAH DAN MURAH




              Selesai merayakan Misa hari Minggu di stasi, saya diundang oleh Ketua Umat untuk singgah di rumahnya. Begitu tiba di rumah, saya dipersilahkan menunggu di ruang tamu. Sambil menunggu si empunya rumah mata saya tak henti-hentinya mengamati ruang tamu yang mulai ditata dengan gua natal lengkap dengan pernak-perniknya. Maklum dalam hitungan hari saja natal akan segera tiba. Tengah asyik menikmati dekorasi ruang tamu, tiba-tiba seorang gadis cilik, berusia sekitar tiga tahun menghampiri saya. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, dia langsung memutar-putar badan sambil kedua tangan mungilnya memegang ujung rok yang dikenakannya. Gadis cilik itu membayangkan dirinya seperti seorang peragawati yang sedang memamerkan busananya.
              “Deva pakai baju baru”, katanya kepada saya penuh kegirangan.
            “Waduh, bagus sekali bajunya. Deva seperti malaikat kecil ya. Cantik sekali!” Jawab saya sambil mengacungkan 2 jempol kepadanya.
             Mendengar pujian saya, sorot mata Deva makin berbinar-binar dan membalas acungan jempol saya dengan tersenyum.
               “Siapa yang beli baju untuk Deva?’”, tanya saya.
            “Mamak. Ni ada gambar Hello Kittynya”, Jawab Deva sambil menunjuk ke gambar yang dimaksud.
               “Mamak belinya dimana?”, tanya saya sekali lagi.
               “Tuh di gereja”, jawab Deva sambil mengarahkan telunjukknya ke arah gereja.
               “Deva senang ya pake baju baru ini?”
Deva hanya menganggukkan kepala. Peristiwa yang sangat mengharukan. Hati saya tersentuh melihat kegembiraan yang tulus dan tanpa dibuat-buat dari seorang anak kecil dengan “baju baru”-nya. Mata saya pun sempat dibuatnya berkaca-kaca.
             Dialog singkat dengan Deva mengingatkan saya akan peristiwa beberapa saat yang lalu. Berbeda dari biasanya, kala itu selesai perayaan Misa para pengurus stasi langsung menyulap pelataran gereja menjadi pasar kaget. Beberapa kantong plastik besar yang berisi pakaian pantas pakai sumbangan dari umat Katolik Singkawang langsung digelar.  Tanpa dikomando umat pun menyerbu, berusaha memilih dan mencari pakaian yang disukainya. Maklum harganya super murah. Setiap pakaian hanya dihargai dengan Rp2.000,00 per potong. Rupanya dari  peristiwa inilah berasal kegembiraan Deva.
               Dalam perjalanan pulang ke Singkawang saya merenungkan peristiwa indah yang saya alami hari itu. Kegembiraan Deva masih begitu jelas tergambar dalam ingatan saya. Bagaimana Deva berputar-putar seperti peragawati sambil memamerkan “baju baru” dengan sorot mata yang berbinar-binar kegirangan. Sangat indah dan sungguh menyentuh hati saya. Ternyata membahagiakan orang lain itu tidak perlu biaya mahal. Hanya dengan Rp2.000,00 seorang anak kecil seperti Deva sudah bisa mengalami sukacita yang luar biasa. Saya sangat yakin masih ada Deva-Deva lain yang juga mengalami sukacita karena boleh mendapat “berkat yang murah” dari umat Singkawang. Seuntai doa pun saya panjatkan kepada-Nya. Terimakasih Tuhan Engkau telah mengajari kami bahwa berbagi itu indah dan murah. (Gathot)

MENGGAGAS MAKNA HIDUP DARI SUDUT PANDANG SANG USKUP

MENGGAGAS MAKNA HIDUP DARI SUDUT PANDANG SANG USKUP





                   Berbincang dengan sosoknya yang ekspresif, membuatnya serupa magnet, begitu energik sekaligus menarik. Monsignor Agustinus Agus, terlahir pada 22 Oktober 1949 di Lintang, Kapuas, Sanggau, Kalimantan Barat. Sang gembala umat yang ditahbiskan pada 3 Juni 2014 sebagai Uskup Agung di Keuskupan Agung Pontianak menggantikan pendahulunya Monsignor Hieronymus Herculanus Bumbun, OFM.Cap. Sebelum berkarya dalam tangan Tuhan di Keuskupan Agung Pontianak, ia lebih dahulu menjabat sebagai Uskup di Keuskupan Sintang.
                 Tak hanya cerdas, kesan hangat pun terpancar dari sosoknya yang mengaku menggemari tembang-tembang dari grup musik Koes Plus, D’lloyd dan Panbers.  Hal ini tampak ketika di tengah wawancara yang dilakukan redaksi LIKES pada kesempatan itu, beliau begitu terbuka melayani permintaan umat yang ingin mengabadikan momen bersamanya dalam slide-slide foto. Tak mengherankan, jika suatu ketika Anda berkesempatan untuk bertukar pikiran dengannya, maka prinsip hidup dan keramahannya tergambar seperti sosok pastor Almeida di film layar lebar besutan Hollywood, berjudul  Stigmata. 
  Berbincang tentang awal ketertarikan pada kehidupan membiara, diakui segalanya bermula ketika ketakjuban itu muncul tatkala ia berhadapan langsung dengan sosok misionaris asal Belanda. Ia yang saat itu masih kecil begitu terpesona pada pengabdian pastor dari belahan bumi Eropa tersebut. Dunia batinnya seolah berbisik bahwa orang Eropa yang begitu hebat dan maju saja mau menjadi pelayan umat bagi sesama, maka serta merta pula panggilan suara Tuhan seolah nyaring menggema dalam relungnya.
                 Banyak jalan membantu orang lain yang kurang beruntung secara ekonomi, namun ia lebih memilih jalan menjadi pastor karena sosok pastor dipandangnya dapat lebih total dalam melayani umat. Mengutip langsung pernyataannya, “Memandang kehidupan dari sisi paling logis tanpa mengesampingkan rohani, tidak cukup hanya berupa nasihat-nasihat kudus. Kesucian itu berhubungan dengan Tuhan. Kesucian nampak dari perbuatan. Seperti yang tertera dalam Injil  Matius, Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”
            Mata beliau beberapa saat sempat menerawang saat ditanya mengenai kerikil dalam perjalanan kegembalaannya. Lantas dengan suara lirih, Monsignor berusia 65 tahun ini memaparkan saat terberat itu menghampiri ketika keinginannya ditahbiskan sebagai imam dengan disaksikan ayahanda tercinta tak terwujud. Beliau sempat berujar, pada saat itu terlintas pemikiran paling manusiawi, “Jika Tuhan betul-betul memilih saya, biarkan ayah saya melihat pentahbisan saya sebagai imam.”, namun kiranya sang penguasa perasaan manusia berkendak lain. Di saat-saat paling getir itu, munculah penguatan dari sesama biarawan yang mengutip Injil Lukas 9:60, “Biarlah orang mati menguburkan orang mati; tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah kerajaan Allah di mana-mana.”    
            Di akhir obrolan singkat namun hangat, sang gembala umat yang juga memiliki kegemaran bermain bulutangkis ini mengetengahkan harapannya yang berkaitan dengan nafas gereja Katolik, “Semoga  di masa-masa yang akan datang, gereja lebih mendekatkan diri dengan pemerintah, gereja dapat lebih mendunia sekaligus lebih membumi.”, pungkasnya. (Hes)

         

BE A BROTHER FOR ALL

BE A BROTHER FOR  ALL


Selayang Pandang OFM.Cap

               Be A Brother For  All (Menjadi Saudara Bagi Semua) merupakan motto dari OFMCap (Ordo Fraterum Minorum Cappucinorum) yang dapat diartikan sebagai ordo saudara-saudara  dina dari Kapusin menjadi denyut dan aura jiwa bagi penghayatan para pengikutnya setiap hari. Ordo ini  didirikan oleh Santo Fransiskus dari Assisi  (1882-1226), menjadi magnet pribadi banyak orang sekaligus maestro yang dikagumi di abad 21 sebagai Santo yang spektakuler dalam spiritualitas kemiskinan dan hina dina.
               Dalam perjalanan waktu Ordo ini berkembang menjadi Ordo pertama untuk laki-laki  (OFM, OFMConv dan OFMCap). Ketiga Ordo pertama ini menghidupi anggaran dasar yang disusun oleh Fransiskus dari Assisi dan disahkan oleh Paus Honorius III. Ordo kedua untuk perempuan (para Suster Klaris) dan ordo ketiga untuk awam maupun imam sekular (regular dan secular). Ordo Kapusin dimulai oleh Matheus dari Bascio dan resmi berdiri pada 3 Juli 1528 dengan Bulla Religionis Zellus oleh Paus clement VII. Adapun anggota Ordo Kapusin ini terdiri dari ‘klerus’ (imam) dan  ‘laikus’ yang biasa disebut bruder.







Nama Kapusin
                  Panggilan nama Kapusin berawal dari sorakan anak-anak yang melihat para saudara dina yang memakai jubah dengan kap panjang dan runcing. Mereka meneriakkan:  “Scapucini!, Scapucini!” (menggunakan kap). Dari teriakan inilah lahir nama Kapusin.  Ordo Kapusin sudah tersebar luas ke seantero dunia di 106 negara. Saudara Kapusin mulai berkarya di Indonesia sejak tahun 1905 dan pada Februari 1994 dimekarkan menjadi 3 Propinsi: Medan, Sibolga, dan Pontianak. Kapusin Propinsi Pontianak, dengan nama pelindung Santa Maria Ratu Para Malaikat, didirikan secara resmi pada tanggal 21 Februari 1994.
             Adapun wilayah karyanya yaitu: Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Sanggau, Keuskupan Sintang, Keuskupan Palangka Raya dan Keuskupan Agung Jakarta, dan pastinya di Singkawang beralamat Pastoran Katolik,  Jln. P. Diponegoro No. 1 Singkawang. Para saudara Kapusin yang berada di lima keuskupan ini dipimpin langsung oleh Minister Propinsial.
Jenis Karya dan Ciri Khas Hidupnya
                  Para saudara Kapusin lebih memperhatikan karya dan pengabdianya dengan fokus pada: pelayanan pastoral parochial dan kategorial, pembimbing rohani dan retret, pendamping kaum muda, pengelola pertukangan dan bangunan, pengurus rumah tangga komunitas, pelayanan di bidang medis, pertanian, dan pendidikan, pengembangan masyarakat, pemelihara, dan pendukung seni budaya, berkarya di daerah misi dan pendamping kaum terlantar.
                  Adapun ciri khas hidupnya adalah : (1) hidup dalam persaudaraan – Fraternitas, (2) doa menjadi nafas hidup dan karya setiap saudara, (3) para saudara Kapusin menghayati kemiskinan dan kedinaan dengan hidup sederhana baik dalam penampilan maupun dalam tutur kata, dan berpihak kepada orang kecil dan miskin (option for the poor), (4) terbuka pada setiap tugas yang dibutuhkan oleh ordo maupun gereja lokal, ikut mempromosikan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan (Justice, Peace and Intergrity of Creation).
Ajakan
            Anda terpanggil menjadi calon dan mau bergabung dengan mereka, hendaklah memperhatikan hal-hal tersebut. Calon yang hendak melamar menjadi Kapusin haruslah seorang pria beriman Katolik (minimal 2  tahun setelah baptisan). Punya kemauan yang baik dan suci. Artinya, ingin mewujudkan dalam hidupnya cita-cita persaudaraan Kapusin. Sehat jiwa dan raga sehingga berdaya guna untuk mengemban salah satu jenis pengabdian dengan baik dan menggembirakan. Berpendidikan minimal SMU atau setingkatnya, demi menjamin mutu pemahaman atas cara hidup membiara dan terbuka kemungkinan untuk mengembangkan diri sesuai dengan bakat dan kemampuan.
                  Untuk itu kami mengajak, “Hai Kaum Muda Katolik, mari bergabung bersama kami mengikuti Tuhan Yesus Kristus menurut teladan St. Fransiskus Assisi dalam Ordo Saudara Dina Kapusin Propinsi Pontianak.” Sertakan surat lamaran Anda: surat keterangan pastor paroki, surat kesaksian dari pembimbing, atau surat rekomendasi dari sekolah atau tempat bekerja. Riwayat hidup singkat, pasfoto 3x4 (3 lembar), surat persetujuan orang tua/wali. Kirim ke Minister Propinsial Kapusin Pontianak: Jl. Adisucipto KM 9,6 Tirta Ria - Sungai Raya, Kotak Pos 6300. Pontianak-Kalbar 78391 Telp. (0561) 722430/78391. Fax: (0561)-724012.E-mail: kapusin.pontianak@kapusin.org.
                   Bila ingin mengetahui lebih mendalam  langsung pada contact person: P. Joseph Yuwono, OFMCap - Tirta Ria (081251154671) - P. Chrispinus, OFMCap (081345766156) - Nyarumkop. Nah, tunggu apa lagi, mungkinkah Anda salah satu insan yang terpanggil saat ini?
(Ditulis kembali oleh Bruf dengan bersumber pada Brosur OFMCap)

1 Jun 2015

ASIES LEGIO MARIA TAHUN 2015 DI GEREJA ST. FRANSISKUS ASSISI SINGKAWANG


ASIES  LEGIO MARIA TAHUN 2015 DI GEREJA

 ST. FRANSISKUS ASSISI SINGKAWANG


            Sabtu , 21 Maret  2015, Legio Maria menggelar gawe penting yaitu ASIES atau janji penyerahan kembali kepada Bunda Maria yang diikuti oleh sembilan presidium yaitu, Singkawang, Pontianak, Sambas, Medang, Medang  junior, Sebandut, Sarangan, Standuk dan Nyarumkop.  Adapun tema dari ASIES kali ini adalah,  “Aku adalah Milikmu Ya Ratu dan Bundaku, dan Segala Milikku adalah Kepunyaanmu”. 
            Kegiatan yang dimulai  pukul 09.00 WIB ini diawali dengan perarakan dari Gua Maria menuju Gereja ST.Fransiskus Assisi, dilanjutkan doa Rosario, lantas digelarnya prosesi misa ASIES. Seusai misa ASIES, Pastor Paroki, Stephanus Gathot Purtomo, OFMCap dan Pembimbing Rohani Presidium ST.Maria , Pastor Yosef Astono Aji OFMCap,  berkenan mengabadikan kenangan dalam wujud berfoto bersama seluruh Legio. Tak berhenti sampai di situ, acara ramah tamah dan santap siang menjadi pemungkas kebersamaan pada kesempatan itu. Seluruh rangkaian acara tuntas digelar pada pukul 13.00 WIB.
              Setelah mengikuti ASIES, seluruh anggota Legio Maria seakan mendapatkan kekuatan baru dalam menjalankan pengabdiannya. (Kiriman Sdri. Yohana Tina)
   








          

 

CHUN JIE, SAATNYA BERBAGI


CHUN JIE, SAATNYA BERBAGI

Semarak tradisi menyambut  datangnya musim semi yang terejawantah dalam perayaan  Imlek terasa kental  menyelimuti lingkungan gereja Katolik.  Dekorasi sederhana namun tak pelak mencirikan budaya Tionghoa terpasang di setiap sudut gereja. Demikian pula rangkaian misa dan kegiatan perayaan  yang digelar, serta merta mencerminkan rasa syukur  dan esensi berbagi. 
Minggu, 1 Maret 2015, selepas misa kedua, gereja Katolik yang dimotori oleh kelompok Mandarin, membentang tangan menjabat erat, menyambut kehadiran umat dalam kegiatan open house yang digelar dalam lingkup Pastoran Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi. Acara sederhana nan hangat disambut antusias oleh umat. Berduyun-duyun umat hadir memadati ruangan berkapasitas tiga ratusan orang ini. 




Hangat, akrab, tak berjarak, semua larut dalam syukur, tawa, dan bahagia. Ditemui di sela-sela acara, Robertus Akhiong selaku panitia menuturkan secara singkat awal mula even tahunan ini digelar, “Mulai tahun lalu (2014), sejak Pastor Gathot  menghimbau untuk bisa merayakan Imlek bersama,” papar pria berkacamata ini. Selebihnya ketika ditanya masalah penyokong dana, maka dengan antusias beliau menjelaskan bahwasanya segala persiapan didanai oleh kelompok Mandarin, juga campur tangan umat yang berperan sebagai donatur.
Di akhir obrolan ringan, Akhiong  sempat menyampaikan harapannya mengenai keberlangsungan acara serupa, “Semoga bisa diadakan setiap tahun dan lebih meriah di masa yang akan datang,” pungkasnya. (Hes)                           

 

ANTARA ISA DAN KEBERMAKNAAN BAGI SESAMA


ANTARA ISA DAN KEBERMAKNAAN BAGI SESAMA





ISA
kepada nasrani sejati
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya: aku salah?
Kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segara
mengatup luka aku bersuka
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah









(Chairil Anwar, 12 November 1943)


          Sejenak puisi bernada religi ini berhasil dikemas serupa parsel, kado permenungan dalam nafas sastra bagi umat Kristiani yang sejak dicipta pada 1943 masih terus kita rasakan ‘kekiniannya’.  Pada deret kata, “Kulihat Tubuh mengucur darah / aku berkaca dalam darah / terbayang terang di mata masa / bertukar rupa ini segara / mengatup luka aku bersuka // Itu Tubuh / mengucur darah / mengucur darah // ,” betapa kekuatan pengorbanan dari Putera Bapa mengejawantah dalam bentuk Salib, tidak hanya membuahkan bahagia namun janji  keselamatan bagi kita yang meyakininya.
        Berabad kemudian, Salib yang awalnya simbol kehinaan diubah melalui darah Putera-Nya menjadi lambang keselamatan, diperingati dan dirayakan. Menjadi tradisi yang tak hanya berhenti pada prosesi, namun merupakan denyut nadi  bagi seluruh umat Kristiani. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, Gereja Katolik seluruh dunia memperingati dan merayakan Kebangkitan Kristus dan penebusan umat manusia melalui rangkaian prosesi yang dipakemkan oleh gereja. Tak terkecuali Gereja Katolik St. Fransiskus Assisi Singkawang. Diawali Misa Rabu Abu, sebagai pemantik masa pertobatan. Seolah menjadi simbol awal mula masa permenungan dan evaluasi diri, Rabu Abu tahun ini jatuh pada 18 Februari 2015, berselang empat puluh hari menjelang Pekan Suci yang dimulai pada Minggu Palma, 29 Maret 2015, dilanjutkan Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Suci, berturut-turut dirayakan pada 2 hingga 4 April 2015, serta puncaknya pada perayaan Paskah yang jatuh pada Minggu, 5 April 2015.
          Pada perayaan Paskah tahun ini, seluruh umat Gereja Katolik St. Fransiskus Assisi mengambil peran masing-masing. Meski dirayakan dengan sederhana, namun tetap menjaga makna utama. Tak ada dekorasi berlebihan, segalanya sesuai takaran. Hanya saja tetap ada yang istimewa dalam setiap persembahan. Seperti drama penyaliban pada Jumat pagi sebelum upacara penghormatan Salib pada sore harinya. Kegiatan yang biasanya digelar di dalam gereja, tahun ini terasa istimewa karena pelaksanaannya dilakukan di halaman gereja. Drama penyaliban yang diperankan oleh OMK terpapar apik, mangkus menggerus sisi emosi manusiawi. Tak sedikit umat berlinang air mata kala membayangkan Sang Juru Selamat diperlakukan begitu rupa. Demikian pula pada Jumat sore harinya, paduan suara maupun pasio kisah sengsara, sukses membuat rawan perasaan umat yang datang. Berlanjut pada Sabtu, malam Paskah, suara-suara merdu kelompok koor berhasil melangitkan madah yang indah dalam kesyahduan cahaya lilin Paskah. Dan puncaknya pada gempita Minggu Paskah. Semua larut dalam bahagia oleh penyelamatan Anak Domba.         
           Rasanya lebih dari sekadar peringatan dan perayaan tahunan yang akan terus-menerus berulang. Umat Kristiani diajak bangkit dari ekstase yang selama ini seolah meninabobokan. Kita diseru oleh pimpinan tertinggi Gereja Katolik, Paus Fransiskus dalam Urbi Et Orbi yang masih mengetengahkan pesan  perdamaian, dan kita sebagai umat Kristiani yang dipenuhi oleh rahmat Kristus, yang wafat dan bangkit adalah benih-benih kemanusiaan yang lain, yang di dalamnya kita berusaha hidup dalam pelayanan bagi orang lain, tidak sombong, melainkan penuh hormat dan siap membantu.
Kiranya semangat dan kesadaran yang diawali serta didasari keyakinan tentang darah yang terkucur dari tubuh Kristus tak hanya berkisar seperti yang tertera dalam kalimat puisi yang ditulis oleh Chairil Anwar pada 1943: “mengatup luka aku bersuka”. Tak hanya berhenti pada kata ‘bersuka’, namun lebih dari itu, mengajak kita bangkit dari kebergemingan pada zona nyaman dalam bentuk tindakan nyata, yakni kebermaknaan bagi sesama.  Selamat Paskah!  (Hes)