Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

1 Jun 2015

KETIKA TANGAN TUHAN BEKERJA, MUJIZAT ITU NYATA






KETIKA TANGAN TUHAN BEKERJA,

 MUJIZAT ITU NYATA



        Terik matahari seolah enggan bersahabat  di siang itu mengantar langkah tim Likes menuju rumah sederhana beralamat di Jalan Yohana Godang, Gang Terang. Berbanding terbalik dengan temperatur yang garang, kedatangan kami disambut ramah seorang lelaki lanjut usia yang tengah menggendong balita cantik berpipi tembam yang tampak riang dengan matanya yang berbinar-binar. Siapa nyana, balita nan ceria itu pernah benar-benar bertarung nyawa.
 




 
Atresia Bilier, kondisi inilah menjadi cikal bakal ia berpredikat ‘buah hati ibu’, yang benar-benar mendapat cangkok hati dari sang ibu, tak sekedar metafor seperti  ungkapan buah hati ibu pada umumnya. Empat puluh hari pascalahir, kondisi tak wajar pada tubuh mungil Sherlyn Aurelia terdeteksi. Kulit halusnya  tak seperti kondisi bayi pada umumnya, menghitam dan fisiknya yang ‘anteng’, bahkan terlalu tenang untuk ukuran balita pada umumnya.
Si mungil Sherlyn lantas ditangani dokter spesialis  anak yang akhirnya merujuknya ke rumah sakit di ibukota provinsi. Tak tertangani di ibukota provinsi, Sherlyn mendapat rujukan ke salah satu rumah sakit di Kuching. Melihat kondisinya yang memerlukan perawatan intensif dengan segala keterbatasan peralatan medis, Sherlyn kembali dirujuk ke rumah sakit di Kuala Lumpur untuk menjalani operasi kolangiografi intraoperatif dan prosedur Kasai. Usai menjalani operasi Kasai, Sherlyn masih harus mendapat perawatan lebih lanjut, hal ini terkait fungsi hatinya yang semakin menurun. Keputusan penuh spekulasi berkenaan dengan nyawanya diambil oleh keluarga, bayi mungil ini diberangkatkan ke Taiwan untuk menjalani operasi transplantasi hati. Berpacu dengan waktu, tubuh mungilnya seolah menggeliat bersama kegigihan sang ibu dan keluarga memperjuangkan kesembuhannya.
Rasanya masih segar di ingatan ketika salah satu tokoh pers nasional yang juga mantan menteri BUMN era Susilo Bambang Yudhoyono, Dahlan Iskan, menuturkan sepak terjang dan perjuangannya kala menghadapi kondisi serupa yang tengah dihadapi Sherlyn. Saat itu, sorotan mengenai biaya yang harganya berkisar pada sembilan digit angka ketika  menjalani transplantasi hati menjadi fokus ekspos sejumlah media. Demikian pula dengan keluarga dari si mungil Sherlyn yang pada awalnya terbentur masalah dana. Namun, ternyata pintu hati sesama di sekitar kita begitu terketuk melihat kondisi tubuh mungilnya yang tidak berdaya. Melalui bantuan keluarga, para donatur, kerabat,  dan sahabat, sang ibu yang begitu luar biasa ini mampu mempersembahkan pengobatan terbaik  bagi sang buah hati.
Jelang menjalani operasi transplantasi hati, kondisi Sherlyn mengalami penurunan drastis. Hal ini terkait perjalanan panjang menuju Taiwan yang tentunya menguras kekuatan fisiknya. Sesampainya di Taiwan, Sherlyn tak sadarkan diri. Delapan hari ia mendapat perawatan intensif dan kehidupannya hanya bergantung pada alat medis yang terpasang di tubuhnya, bayi Sherlyn koma. Di tengah badai yang menguras kekuatan  dan ketabahan seorang manusia, sang ibu berbisik lirih di telinga Sherlyn yang saat itu masih dalam kondisi koma, “De’, kita berangkat sama-sama, ‘pulang’ juga harus sama-sama. Jangan tinggalin, Mama.” Tangan Tuhan bekerja, mujizat itu nyata, bayi Sherlyn yang awalnya koma, perlahan menunjukkan peningkatan kondisi yang signifikan. Hari demi hari grafik kondisinya menunjukkan kemajuan pesat.
Tiba di titik paling aman untuk melakukan transplantasi hati, Senin, 22 September 2014, sepertiga hati sang ibu lantas diambil dan dicangkok pada organ hati bayi mungil putri kedua dari Vincentia Meiceria ini. Tak berhenti sampai di situ, sang ‘buah hati ibu’ masih harus menjalani operasi besar ketiga berkenaan pembekuan darah pascaoperasi. Kini, setelah melewati pusaran badai yang sungguh menguras tenaga, emosi, pikiran, dan materi, kondisi Sherlyn berangsur membaik.  Meski demikian, kontrol rutin masih terus dilakukan demi memantau perkembangan kondisinya pascaoperasi.
Kepada pembaca Likes, diharapkan dukungan moril berupa doa, semoga segala hal yang terbaik selalu berlaku atas diri putri kecil ini. (Hes)        

SELALU ADA YANG ISTIMEWA


SELALU ADA YANG ISTIMEWA



Ekaristi Kaum Muda (EKM) sudah menjadi agenda rutin di Paroki Singkawang. Bagi saya, EKM, yang diadakan di stasi Sebandut beberapa waktu yang lalu terasa sangat istimewa. Padahal Sebandut bisa dikatakan tidaklah besar untuk ukuran sebuah stasi. Bila ditilik dari segi usiapun, stasi ini masih relatif sangat muda. Tetapi dari stasi yang kecil dan muda belia ini, tersimpan cerita yang bisa menjadi inspirasi bagi kita semua.



Ketika didapuk sebagai tempat untuk melangsungkan EKM, kaum mudanya langsung bergerak cepat bersama dengan pengurus umat. Panitia pun segera dibentuk. Keistimewaannya terlihat karena mereka melibatkan stasi-stasi tetangga untuk berperan serta dalam agenda kaum muda ini.

Tibalah saatnya Ekaristi Kaum Muda digelar di Sebandut. Meskipun sore harinya sempat diguyur hujan lebat, tetapi kaum muda wilayah Capkala dan sekitarnya tidak menyurutkan langkahnya untuk datang ke Sebandut. Bahkan hadir juga kaum muda dari Singkawang dan sekitarnya. Secara bergelombang mereka mendatangi stasi yang cukup jauh dari keramaian kota. Mendekati pukul 17.30 wib, Gereja Sebandut sudah terisi penuh oleh kaum muda. Mereka yang datang belakangan terpaksa mengikuti Ekaristi di luar Gereja. Tercatat tak kurang dari 400 kaum muda berkumpul di Stasi Sebandut.

Nuansa anak muda terasa sekali mewarnai perayaan Ekaristi waktu itu. Tarian pembukaan yang dibawakan oleh anak-anak menjadi penghantarnya. Pada bagian selanjutnya tanpa mengurangi kekusyukan, lagu-lagu rohani yang mengiringi Ekaristi ditata sedemikian rupa sehingga menggugah jiwa kaum muda. Terlihat banyak kaum muda menikmati dan sungguh hanyut dalam suasana Ekaristi Kaum Muda
Usai misa acara dilanjutkan dengan makan malam bersama. Kami pun beralih menuju ke tenda sederhana di samping Gereja. Terlihat meja-meja sudah diatur dengan rapi. Di atas meja itu terhidang menu makanan yang sangat sederhana. Saya mencoba memperhatikan dengan seksama menu yang tersedia: ada nasi, sayur rebung, sayur daun ubi, sayur nangka muda, sambal goreng dan ikan asin. Kesannya sangat sederhana. Jauh dari kemewahan sebuah pesta. Tetapi semua menu yang ada tetap menggoda selera saya. Tanpa banyak pertimbangan saya pun mengambil semua menu yang tersedia.  Begitu juga kaum mudanya tak kalah antusiasnya seperti saya dalam menyantap menu makanan yang ada.
Kebetulan saya makan ditemani oleh seseorang yang duduk sebagai panitia EKM. Sambil menikmati menu yang tersedia, teman saya ini pun mulai bercerita, “Pastor, terimakasih banyak atas kepercayaan paroki menunjuk kami sebagai panitia EKM kali ini”.
            “Justru saya yang harus berterima kasih kepada kalian, karena kalian berhasil menyediakan yang terbaik untuk kami yang jumlahnya banyak sekali,” jawab saya secara diplomatis.
            “Ini semua kan berkat kerja dari teman-teman OMK stasi tetangga juga. Mungkin Pastor perlu tahu. Kami meminta beberapa OMK stasi tetangga untuk menyumbangkan apa yang mereka punya. Ada OMK yang mengumpulkan beras dari rumah ke rumah. Ada OMK stasi yang mencari daun ubi. Kalo di stasi itu banyak rebung, mereka juga berusaha mencari rebung dan menyumbangkannya untuk kami. Hebatnya Pastor, teman-teman OMK melakukan itu semua dengan sukarela dan hati gembira.”
            Mendengar pengakuan yang jujur dan tulus itu, hati saya dipenuhi rasa haru dan syukur. Ternyata Tuhan bisa menghadirkan keistimewaan dari tempat yang sangat sederhana ini. Bagaimana tidak? Kaum Muda di tempat yang terpencil ini bisa menyumbangkan apa yang ada pada diri mereka tanpa harus keluar biaya. Meski menu makanan tidak layak disebut sebagai menunya pesta, tetapi mereka bisa menciptakan suasana gembira. Semua kaum muda larut dalam suasana pesta yang sangat sederhana. Ternyata dari yang sederhana, Tuhan bisa menghadirkan yang istimewa. Proficiat untuk OMK! (Gathot)

LEBIH DEKAT DENGAN SANG GEMBALA UMAT


LEBIH DEKAT DENGAN SANG GEMBALA UMAT


“Perkenalkan, nama saya Gathot, singkatan dari Ganteng Total…”, umat yang awalnya meraba, menerka-terka seperti  apa sifat sang gembala barunya, sontak tak dapat menahan tawa mendengar celetukan bernada humor dari dia yang pagi itu memimpin misa di Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi Singkawang.
Sosoknya sederhana, ramah dan begitu menyejukkan dalam tutur kata serta tindakan, layaknya paradigma umum  khas gembala umat. Terlahir di salah satu desa yang begitu terkenal dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh yayasan Katolik sejak zaman Belanda, Kweekschool  (kini SMA Pangudi Luhur Van Lith, Muntilan) pada 16 April 1969, Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFMCap, terlahir sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara, putra pasangan (alm.) Yohanes Sardjo dan (almh.) Elisabet Sunatri. Ia menghabiskan sebagian masa kecilnya di Ngawen, Muntilan sebelum akhirnya harus mengikuti  jejak sang ayah yang berpindah tugas ke kota Gethuk, Magelang.



Sejak kecil, ia telah begitu dekat dengan kehidupan para biarawan, tak mengherankan memang, selain karena Muntilan dikenal sebagai daerah yang kental dengan nafas Kristiani, almarhum ayahandanya merupakan salah satu prodiakon di lingkungan gereja Katolik stasi Ngawen. Pria yang ketika remaja begitu menggemari lantunan suara emas Dian Pramana Putra, Dedi Dukun dan memiliki kesan mendalam terhadap tembang Nostalgia SMA-nya Paramitha Rusadi ini mengaku, ketertarikannya terhadap kehidupan membiara  semacam love at the first sight (cinta pada pandangan pertama). Segalanya bermula ketika  ia melihat Romo (Pastor) yang memimpin misa mengenakan jubah putih, tampak begitu gagah dan tentunya mangkus memesona Gathot kecil. Keterpesonaan itu yang menggiringnya memilih jalan yang kini mendapuknya menjadi Pastor Paroki Gereja Santo Fransiskus Assisi Singkawang. 
Dalam perjalanan karirnya, silih berganti hal tak terlupa dan menarik seolah membentuk bingkai tersendiri bagi slide kehidupan pria berkulit sawo matang pehobi jogging ini, di antaranya saat pentahbisan imam pada  10 Oktober 1998, manakala ia tiarap memeluk bumi, mengantarnya pada kesadaran tentang esensi kerendahan hati, atau sepenggal kisah yang sulit diterjemahkan dari segi perasaan saat ia tak dapat melihat sang ayahanda untuk terakhir kali karena tengah menuntaskan studi di Roma, atau ketika sosoknya harus memimpin misa tanpa altar, umat duduk hanya beralas tikar dan masih berbonus umat yang mengikuti misa sambil merokok, syahdan sekelumit cerita jenaka tatkala ia seperti kebanyakan remaja pada umumnya yang memiliki sifat jail “menyelundupkan” radio ke Seminari padahal hal tersebut dilarang keras untuk dilakukan. Segalanya terasa sangkil membentuk pribadinya sebagai gembala.  
“Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3:30) motto itu yang selalu menjadi pegangannya dimanapun ia berada. Di sela-sela obrolan, Pastor Gathot mengungkapkan, “Terkadang dari sisi manusiawi saya selaku romo atau pastor, kerap muncul rasa eksklusivisme,  ingin diperlakukan lebih istimewa dari orang lain. Saya masih terus-menerus mempelajari esensi rendah hati”. Ia mengakui, perasaan tersebut hingga kini masih seringkali menjadi batu sandungan dalam kehidupan membiara dan hal itu murni berasal dari internalnya.
Ketika ditanya mengenai harapan terhadap paroki yang kini digembalainya, beliau secara tenang dan penuh bijaksana mengungkap keinginan agar umat yang digembalai lebih militan terutama dalam hal keluarga. Ini secara otomatis akan berpengaruh pada kehidupan gereja. Hal serupa diungkapnya untuk kaum muda, “Saya berharap kaum muda Katolik menjaga militansi ke-Katolikannya.”, pungkasnya. (Hes)
Riwayat Pendidikan:
SD Kanisius Ngawen, Muntilan.
SMP Santo Yosef Mertoyudan, Magelang.
SMA Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang.
Postulat Sanggau Kapuas, Kalimantan Barat.
Novisiat Parapat, Sumatera Utara.
STFT Santo Yohanes Pematang Siantar, Sumatera Utara.
Universitas Gregoriana Roma, Italia.

Riwayat Karir
Tahbisan 10 Oktober 1998 di Bengkayang
Paroki Jangkang, Keuskupan Sanggau (1998 − 2001)
Melanjutkan pendidikan di Universitas Gregoriana Roma, Italia (2001− 2003)
Post Novisiat Singkawang (2003 − 2004)
Biara Kapusin St. Lorenzo (2004 − 2011)
Balai Karangan, Sanggau (2011 − 2013)
Paroki Singkawang (2013 – sekarang)



    


31 Mei 2015

MENGGALI ESENSI PERAYAAN MUSIM SEMI DARI PERSPEKTIF PASTOR TONI

MENGGALI ESENSI PERAYAAN MUSIM SEMI DARI PERSPEKTIF PASTOR TONI

Pribadi yang hangat, wajah memikat, dengan senyum sumringah senantiasa merekah kala menghadapi siapapun lawan bicaranya. Setidaknya kesan itulah menjadi gambaran awal ketika pertama kali obrolan ringan dilakukan di siang bergerimis tipis itu. Terlahir di Bumi Khatulistiwa pada 24 Maret 1964 dengan nama Tan Nyap Tek yang kini lebih dikenal sebagai Pastor Paulus Toni Tantiono, OFMCap. Penikmat musik klasik yang berhasil membesut gelar doktoral dari Universitas Gregoriana Roma ini, berkenan membagi kisah Imlek masa kecilnya serta merta tinjauan mengenai hal serupa di usia matangnya.








Tradisi Imlek dalam kenangan slide masa kecil Toni seperti halnya bocah pada umumnya yang berkisar pada angpau, makanan enak, serta pakaian baru.  Kegembiraan penuh syukur dalam keluarga menjadi hal mutlak yang sungguh menawan ingatannya. Binar matanya tampak begitu cemerlang saat ingatannya seolah digiring pulang ke masa lalu, mengisahkan kenangan Imlek yang menjadi bagian memori jangka panjangnya. “Imlek semasa kecil hanya dirayakan di sekitar rumah saja, sekarang Imlek dirayakan  jauh lebih terbuka. Warga Tionghoa adalah bagian dari bangsa ini, interaksi harus ada, Tionghoa bagian dari Indonesia,” paparnya.
Seiring pertambahan usia, dibarengi kematangan jiwa, serta kemapanan tingkat pendidikannya, pergeseran makna Imlek dalam diri Pastor Toni semakin mengemuka. Kebermaknaan yang mendasar mengenai perayaan Imlek digali melalui garis sejarah dan dituturkan melalui perspektifnya imamatnya, “ Imlek esensinya Chun Jie yang berarti perayaan musim semi, awal kehidupan. Konsili Vatikan kedua mengintegrasi adat dan iman. Perayaan liturgi dalam nuansa Imlek senada merayakan syukur atas kelangsungan kehidupan sehari-hari. Tak pelak gereja menyeleksi adat dan budaya, dan perayaan Imlek dipandang sebagai suatu hal yang tidak bertentangan serta selaras dengan ajaran gereja, budaya positif perayaan syukur atas berkat selama musim semi.”
Kala ditelisik pandangannya mengenai keterkaitan perayaan Imlek dan masa pertobatan yang jatuh berdekatan, anak ke dua dari tiga bersaudara, pehobi olah raga jalan cepat ini dengan gamblang memaparkan, “Bahwasanya pertobatan merupakan kesempatan dan rahmat  untuk melihat kembali hidup di masa lalu, mengevaluasi, mengoreksi masa lalu, dan menyadari masih ada hal yang harus diperbaiki. Hal ini berkaitan dengan esensi Imlek sendiri yang merupakan perayaan musim semi, awal kehidupan. Dalam masa pertobatan kita berkesempatan mengevaluasi masa lalu yang akan kita jadikan titik tolak mengawali kehidupan yang lebih baik,” pungkasnya mengakhiri obrolan singkat. (Hes)
Riwayat Pendidikan dan Kegembalaan
TK Melati Pontianak, 1970
SD Melati dan Dahlia Pontianak, 1971 1976
SMP Bruder Pontianak, 1977 1980
SMA St. Paulus Pontianak, 1980 1983
Seminari Menengah Pematang Siantar, 1983 1984
Novisiat Kapusin Parapat, 1984 1985
STFT St. Yohanes, Pematang Siantar, 1985 1989
Tahun Orientasi Pastoral, Ngabang, 1989 1990
STFT St. Yohanes, Pematang Siantar, 1990 1992
Ditahbiskan di Pontianak, 24 Agustus 1992
Ditempatkan di Bengkayang, Agustus Desember 1992
Ditempatkan di Tebet,  Jakarta Selatan, Januari  Juni  1993
Melanjutkan studi S2 di Institut Kepausan Biblicum, Roma, Italia, 1993 1997
Mengajar sebagai dosen di STFT Santo Yohanes, Pematang Siantar, 1997 2004
Melanjutkan studi S3 di Universitas Gregoriana, Roma, Italia, 2004 2008
Mengajar sebagai dosen di STFT St. Yohanes, Pematang Siantar, 2008 2010
Dikirim ke Tiongkok untuk belajar bahasa dan budaya Tiongkok sekaligus bermisi, 2011 2013
Kembali ke Pontianak sebagai pastor rekan di Katedral Pontianak, 2014 sekarang.       
                           

Surat Cinta Dari Pembaca


Surat Cinta Dari Pembaca 

Salam hangat,

Menjumpai pembaca Likes, beberapa waktu lalu redaksi menerima sepucuk ‘surat cinta’  dari yang terkasih Suster Pia, OSCCap. Sila disimak sapaan hangat beliau.
Sebuah tanggapan dan tawaran.

 

Ilustrasi Pengakuan Dosa


                Wah-wah luar biasa banget deh, Simbah jadi bangga, haru, kagum dan penuh syukur ikut baca buletin Likes edisi 001, Desember 2014 tentang berbagai kegiatan sosial dan seminar-seminar, melihat gambar, foto-foto yang ganteng, keren, dan cantik. Hanya entah mengapa, rupanya kacamata Mbah yang sedikit buram maka gambar agak sedikit bruwet. Soal apa yang di benakku/Mbah lihat wajah aslinya, kalian jauh lebih ganteng, keren, dan cantik, ya, iya dong tentu, kan kita adalah gambar-gambar  Allah yang hidup penuh gairah dan semangat untuk melayani.
Tapi hati ini juga menjadi tersentak, tersayat iba dan rasa prihatin ketika baca realita sekian banyak cucu di Singkawang jadi pengguna narkoba dan hal-hal yang negatif dibuatnya. Namun Mbah tidak tenggelam pada rasa doang, tapi kembali membuatku berefleksi. Dan, ah…! Mbah jadi lebih menyadari  bahwa tidak meras lebih baik dan hidup sudah safe, mbah juga seorang  residive lho…! Walaupun bukan dalam kasus pengedar dan pengguna narkoba. Tetapi residive sebagai seorang pendosa yang setiap kali jatuh dalam dosa dari sejak muda sampai tua, kasihan deh Mbah ini.
Memang sungguh benar, “Lebih exis tanpa narkoba tapi juga tanpa dosa,” di sana kita akan menjadi manusia-manusia yang memiliki kebebasan dan kemerdekaan yang sejati sebagai anak Allah. Nah, cucuku! Apa yang membuat Mbah ingin ikut ambil bagian dalam berbagi sebagai salah satu umat di Gereja Katolik Singkawang, bukan membagikan harta yang Mbah tak punya, melainkan membagi pengalaman yang amat berharga bagi kehidupan yang amat berharga bagi hidup yaitu: habitus menerima sakramen tobat sejak masa muda . bahwa menerima sakramen tobat sungguh merupakan rahmat besar yang cuma-cuma diberikan oleh Bapa Surgawi lewat iman. Sulit untuk melukiskan dengan kata-kata, tapi mungkin bisa Mbah coba bahasakan dengan kata-kata yang berdampak: mendamaikan, melegakan, menggembirakan, meringankan, mencegah tindakan yang lebih negatif, menyembuhkan, menjaga, melindungi, menguatkan, mendandani hidup, menjernihkan suasana batin, dan lain-lain yang sangat membantu tumbuh kembang hidup beriman Katolik dan merasa dibimbing untuk berjalan pada roh kehidupan yang benar.
Ya, sungguh benar sakramen tobat adalah berkat dan anugerah besar bagi kita semua tanpa terkecuali sebagai keluarga universal Katolik. Lalu, apakah sakramen yang satu ini telah menjadi habitus bagi hidup kita di sini? Atau masih sebatas kewajiban ‘NaPas’? (Natal Paskah). Kalau sudah, syukurlah,. Kalau belum, Mbah ingin dengan rendah hati memberanikan diri untuk menghimbau/ mempromosikan, “Mari…! Jangan lewatkan, jangan abaikan kesempatan, biasakan diri untuk menerima sakramen tobat ini.” Di sini kita punya gembala-gembala yang baik, ya, sungguh baik. Tapi seandainya menurut kaca mata cucuku lain, lihatlah dengan kaca mata iman bahwa entah apapun dan bagaimanapun imam kita, Allah tetap memakainya secara utuh dan penuh untuk menyalurkan rahmat dan berkat-Nya juga memiliki gereja yang megah lengkap dengan kamar pengakuan. Kiranya kita perlu memanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Jika kita bersama menghayai habitus sakramen tobat ini, dunia kita akan sungguh berubah. Mari kita berbaris melangkah maju ambil bagian untuk mempercantik diri berdandanan keselamatan. Pelan tapi pasti kita akan membentuk diri menjadi pribadi bermental dan berjiwa Kristiani yang handal dan militan. Juga akan jadi luar biasa sumbangan mental spiritual untuk diri sendiri, keluarga, lingkungan masyarakat dan bangsa. Inilah suatu hal kegiatan hidup menggereja secara internal, yang tidak kalah penting dari kegiatan-kegiatan apapun lainnya.
Semoga hal tersebut di atas mendapat respon positif, walaupun dalam setiap kali Ekaristi kita sudah mengaku bersama dan mendapat pengampunan, tetapi kita masing-masing ini sangat spesifik  dan sapaan kasih Tuhan juga sangat personal dalam sakramen tobat.
Semoga ya, semoga kita menjadi semakin seimbang dalam merias diri batiniah dan lahiriah.

(Penulis Sr. Pia, OSCCap yang senantiasa haus akan keselamatan jiwaku sendiri dan jiwa semua cucuku)