BULIR PADI - MELEPAS BAJU
Pak Tegar adalah seorang pekerja keras, petani yang ulet. Sawah yang diusahakannya dengan membanting tulang memeras keringat, membuat sawahnya selalu menepati janji memberi kehidupan, tetapi juga memberikan kemurahan hingga panenan tahun ini sungguh berhasil dengan baik. Pak Tegar bersama istri dan anaknya berjalan riang, menapaki pematang sawah. Mereka melangkah menuju ke sawahnya. Kicauan burung menyambut mentari pagi yang bersinar cerah, mengiringi langkah mereka yang mulai menuai hamparan padi yang telah menguning. Mereka hendah menuai hamparan padi yang telah menguning.
Mentari yang bersinar keputih-putihan, bekerja keras sepanjang hari tanpa mengenal lelah membantu Pak Tegar dan juga para petani yang lain, mengeringkan padi mereka yang dijemur. Senda gurau dan derai tawa Pak Tegar dan keluarganya menghiasi kerja mereka disaat menumbuk padi, anak-anaknya, baik yang laki maupun yang perempuan.
Hentakan alu mereka yang tidak selalu ditujukan pada bulir-bulir padi, tetapi sekali-kali alu mereka dipukulkan ke bibir lesung atau pun beradu dengan alu yang lain, menimbulkan suatu irama musik alami yang menghasilkan suara yang merdu layaknya musik di sebuah pesta mengiringi dengan setia lenggak-lenggok gerak badan penari yang hendak mengungkapkan kebahagiannya.
“Istirahat dulu, Pak,” kata istrinya. “Sekarang saya akan membersihkan buliran beras, karena sudah banyak buliran padi yang telah terkelupas dari kulitnya,” istrinya melanjutkan.
“Baik, terima kasih, Mak,” jawab Pak Tegar sambil menyeka keringatnya lalu dia berjalan ketempat yang lebih teduh, diikuti oleh si Sarmo anak laki-lakinya.
“Ayah dan kakak memang hebat ya, Mak! Mereka menumbuk padi sangat kuat sehingga sebentar saja sudah banyak bulir padi yang terkelupas kulitnya,” si Sarmi, anak perempuannya memuji.
“Eh, Sarmi, terkelupasnya kulit pada itu bukan semata-mata karena kekuatan ayah dan kakakmu, dalam menumbuknya,” sahut emaknya.
“Lalu kalau bukan karena itu, karena apa, Mak?” si Sarmi protes karena merasa kerja ayah dan kakaknya tidak dihargai.
“Gini lho, selain tumbukan dari alu ayahmu dan kakakmu, biji padi yang kita letakkan dalam lesung ini sebenarnya antara mereka sendiri, antara bulir-bulir padi itu saling bergesekan, saling membantu antara bulir yang satu dengan bulir lainnya sehingga kulitnya bisa terlepas,” jawab ibunya sambil terus menampi.
“Demikian juga dengan apa yang ada dalam hidup ini, Nak. Setiap pertemuan dan perjumpaan antara orang yang satu dengan yang lain juga akan mengakibatkan terjadinya gesekan dan benturan dalam berbagai hal,” timpal ayahnya, Pak Tegar, sambil menghampiri mereka, karena mendengar percakapan antara istri dan anak gadisnya.
“Apa maksudnya itu, Ayah?” tanya Sarmi.
“Setiap orang di dalam pergaulan itu bisa saling memperkembangkan!” sela emaknya
“Wuah, kalau demikian perjumpaan dan pergaulan kita dengan orang lain dalam hidup ini juga dapat membantu kita untuk mencapai cita-cita secara bersama ya, Mak?” si Sarmi makin ingin tahu.
“Betul Sarmi, tetapi kamu dan teman-temanmu tidak sesederhana bulir-bulir padi ini. Banyak mempunyai kemiripan tetapi juga banyak perbedaan.
“Lho kok gitu, Mak?” kata Sarmi.
“Iya, kamu dan teman-temanmu itu mempunyai bakat, kemampuan, minat, sifat dan sebagainya yang sangat mungkin berbeda, karena kalian masing masing memiliki keunikan.
Manusia itu adalah makhluk yang unik!” emaknya menjelaskan.
“Apakah keunikan itu dapat juga menjadi penghalang dalam pergaulan, Ayah?” tiba-tiba Sarmo, anak laki-lakinya ikut nimbrung dalam pembicaraan.
“Memang, keunikan itu kalau tidak disadari akan menimbulkan gesekan-gesekan, karena satu sama lainnya berfikir dan berbuat sesuai dengan latar belakang kehidupannya. Tetapi kalau disadari justru keunikan satu sama lainnya itu dapat saling melengkapi, bekerja sama membedah keegoisan diri.
Maka kita harus sadar, bahwa tidak ada manusia sebagai makhluk sempurna. Kita manusia pasti mempunyai kelebihan dan kekuarangan masing-masing. Oleh sebab itu, satu dengan yang lainnya perlu menjadi sahabat, sahabat yang tidak hanya memuji ataupun mencela, sebaliknya menjadi sahabat yang mau menegur sahabatnya yang berbuat salah karena cinta, dan mau mendukung bila melihat sahabatnya tengah berjuang meraih kebijaksanaan ataupun kebenaran hidup! Sahabat itu adalah telinga yang mau mendengar dan hati yang siap berbagi maupun tangan yang siap menolong!” Pak Tegar mengakhiri wejangan pada anak-anaknya.
Singkawang, akhir April 2016.