Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan

5 Jun 2017

Allah Peduli!

Allah Peduli!

“Allah mengerti, Allah peduli, segala persoalan yang kita hadapi. Tak akan pernah dibiarkannya, kubergumul sendiri, sebab Allah peduli”

Penggalan syair dari lagu Allah peduli itu, sudah ratusan kali terngiang di telingaku. Selama itu  pula penggalan syair yang sudah sangat akrab denganku itu berlalu begitu saja. Bahkan aku sudah seringkali menyanyikannya. Tetapi kali ini syair lagu itu terasa lain. Seolah-olah ia mau menyampaikan sesuatu kepadaku. Sejenak aku dibawanya untuk berdiam diri, bermenung sebentar dan mengamini apa yang dikatakannya: bahwa Dia benar-benar hadir dan peduli kepada semua manusia, termasuk juga diriku.

Sangat mungkin nada lagu itu terasa berbeda dan sangat berbicara kepadaku karena dinyanyikan oleh warga binaan Lapas Singkawang. Padahal suara mereka tidaklah istimewa. Kalau boleh disebut malah jauh dari merdu. Apalagi hanya diiringi oleh petikan gitar yang kadang terasa sumbang. Tetapi boleh jadi karena warga binaan menyanyikannya dengan sangat ekspresif, mereka seperti menjiwai dan larut dengan isi dari lagu itu. Perasaan mereka terwakili oleh syair lagu Allah Peduli. Tanpa harus mereka katakan aku bisa membaca perasaan mereka bahwa dalam keterbatasan hidup di dunia lapas mereka sungguh mengalami kepeduliaan Allah. Di tengah keterpurukan hidup mereka tetap melihat adanya secercah harapan bahwa Allah tidak meninggalkan mereka.  Sesekali kulirik dari meja altar terlihat beberapa warga binaan justru membawakan lagu itu dengan memejamkan mata, sambil menengadahkan tangan ke atas, seperti mau menggapai sesuatu nun jauh di sana.

Lagu Allah Peduli dibawakan saat jeda komuni, ketika umat yang hadir di kapel  lapas sedang bersujud syukur atas kehadiran-Nya dalam rupa sakramen Ekaristi.  Syair lagu itu menambah khusyuknya suasana doa.  Sambil mendengarkan lagu itu, aku pun duduk diam dan bermenung. Dalam diamku aku mencoba berwawanhati dengan Tuhan. “Ah Tuhan, betapa sering aku melupakan diri-Mu. Aku tidak sadar bahwa Engkau sebenarnya peduli denganku. Sejatinya aku malu dengan mereka ini. Bagaimana mereka yang pergerakannya serba terbatas, hidup terkurung di balik jeruji besi, toh masih bisa merasakan dan mengalami kepedulian-Mu. Sementara aku yang hidup dengan bebas kadang malah tidak sadar bahwa Engkau sangat memperhatikan diriku. Ajari aku Tuhan, untuk sedikit mensyukuri kepedulian-Mu kepadaku”.

Lama aku berdiam diri, sampai aku tersadar bahwa lagu komuni itu telah usai. Dengan tenang aku pun melanjutkan tugasku mengakhiri misa Paskah bersama warga binaan. Aku yakin warga binaan yang beragama Katolik hari itu mengalami anugerah istimewa karena dalam masa Paskah ini mereka boleh menyambut tubuh Kristus sebagai Sang Pembebas yang sejati. Itulah kepedulian Allah yang sangat nyata mereka rasakan. Di sisi lain aku sendiri pun menimba pelajaran hidup yang sangat berharga. Lewat warga binaan aku diundang untuk selalu menyadari bahwa Allah sungguh peduli akan kehidupanku. Terimakasih Tuhan atas rahmat Paskah yang sangat istimewa ini. (Gathot)


3 Mar 2017

Pengalaman Natalku di Stasi Aris

Pengalaman Natalku di  Stasi Aris


Hujan lebat yang mengguyur tepat di hari natal membuat nyaliku menjadi ciut. Spontan pikiranku segera melayang ke peristiwa dua bulan sebelumnya. Waktu itu turne-ku ke Stasi Aris terpaksa harus dibatalkan gara-gara hujan yang juga sangat lebat. Aris adalah nama stasi yang paling jauh dari pusat Paroki Singkawang. Selain jauh stasi ini juga mempunyai “nilai plus” karena medan jalannya yang sangat menantang. Penimbunan jalan ke Aris dengan tanah kuning belum rampung dikerjakan. Bisa dibayangkan usai diguyur hujan, medan jalan akan berubah bak arena balapan sepeda motor: penuh lumpur, licin, dan  pasti tidak bisa dilalui oleh sepeda motor biasa. Itulah yang membuatku merasa gundah.

Pagi itu, di hari natal kedua kegundahanku makin menjadi-jadi. Sang matahari yang kuharapkan bersinar cerah ternyata malah malu-malu menampakkan dirinya. Dia justru bersembunyi di balik peraduannya. Sebaliknya mendung hitam menggelanyut di langit. Aku sudah siap dengan ransel turne-ku yang selama ini selalu setia menemaniku. Namun ada rasa enggan untuk segera beranjak. Tidak seperti biasanya, kali ini terselip rasa cemas. Doa dengan nada kecewa kusampaikan kepada-Nya, “Tuhan, cobalah tadi malam tidak hujan. Kan hari ini aku harus ke Aris. Bisa-bisa aku batal lagi merayakan hari kelahiran-Mu”. Sepenggal doa itulah yang kupanjatkan sebelum akhirnya kupacu juga sepeda motorku menuju Aris.

Apa yang kubayangkan sebelumnya kini hampir menjadi kenyataan. Di hadapanku terbentang begitu panjang hamparan lumpur tanah kuning. Di beberapa tempat malah tanah itu masih dibiarkan teronggok dan belum diratakan sehingga menghalangi jalan. Aku pun langsung lemas.  Di hampir semua ruas jalan kulihat kubangan-kubangan air yang berwarna coklat. Kuperhatikan baik-baik siapa tahu ada bekas ban sepeda motor. Tetapi tak kutemukan. Berarti tidak ada sepeda motor yang melintas di jalan itu. Nyaliku semakin ciut. Kupaksakan melintasi genangan pertama. Astaga, rupanya kedalaman mencapai 20 centimeter. Kedua ban sepeda motorku terbenam dan tidak bergerak sama sekali. Terpaksa aku turun untuk mengangkat sepeda motorku keluar dari lumpur. Kucari jalan alternatif  yang lain. Tetapi nasibnya tak lebih baik. Sepeda motorku pun kembali amblas. Kali ini malah lebih dalam lagi. Akhirnya aku menyerah. Muncul keraguan dalam hatiku: apakah mau lanjut atau putar haluan, alias pulang. Kalau lanjut aku harus berjalan kaki. Perlu waktu lumayan lama. Belum lagi sepeda motor harus kutinggalkan di tengah jalan yang masih agak hutan. Bukan tidak mungkin, nanti bisa hilang. Tetapi kalau aku pulang, umat di Aris pasti kecewa karena mereka sudah menunggu kedatanganku. Apalagi sempat kujanjikan untuk menerimakan sakramen permandian di hari natal kedua. Perang batin yang cukup menyita perhatianku sampai akhirnya kuputuskan untuk tetap lanjut ke Aris.

Di sepanjang jalan aku harus melompat ke sana kemari untuk menghindari beberapa genangan air. Tak seorang manusia pun kujumpai pada turne-ku kali ini. Mungkin mereka sedang merayakan natal. Atau barangkali memang tahu bahwa jalan ini tak bisa dilalui. Peluh yang meleleh di wajahku tak kuhiraukan lagi. Tujuanku cuma satu: segera sampai ke Aris untuk merayakan natal bersama umat. Setelah itu segera pulang dan menemukan sepeda motorku masih dalam keadaan utuh. Maklumlah sepeda motor itu milik keuskupan yang boleh aku pakai.

Setelah 30 menit berjalan melintasi area berlumpur, akhirnya aku tiba di jalan yang sudah selesai dikerjakan. Perjalanan terasa lebih nyaman karena tidak perlu menghindari lumpur. Entah darimana asalnya, tiba-tiba saja kudengar bunyi sepeda motor dari arah belakangku. Aku segera menepi dan memberi jalan kepadanya.  Tetapi sepeda motor itu malah berhenti tepat di sampingku. 

“Ayo, Pastor, biar aku antar saja”, kata sang pengendara sepeda motor kepadaku.

“Wah terima kasih banyak,” jawabku. Tanpa menunggu tawaran dua kali, aku pun segera naik di belakangnya.

“Inilah, Pastor, kondisi jalan di daerah kami. Katanya sudah merdeka sekian puluh tahun, tetapi jalan masih rusak. Parahnya lagi istrik pun belum masuk ke kampung kami. Pokoknya susahlah hidup di daerah seperti ini, Pastor”. Begitulah “tukang ojekku” menumpahkan keluh kesahnya. Aku sendiri hanya mengamininya sambil menata nafasku yang terengah-engah. Maklumlah aku sudah jarang lagi berjalan kaki sejauh itu.

“Pak, aku turun di sini saja ya. Aris kan gak jauh lagi,” kataku kepadanya begitu kami tiba di sebuah tanjakan yang cukup tinggi.

“Jangan Pastor. Saya bisa antar sampai ke Aris bah”, katanya sambil membujukku.

“Gak usah, Pak. Terimakasih banyak. Sampai di sini saja,” jawabku sambil turun dari sepeda motornya. Dengan agak berat hati bapak itu pun akhrinya membolehkan aku turun dan melanjutkan perjalananku ke Aris. Sejatinya bukan karena sudah dekat, tetapi karena tanjakan itu menyisakan pengalaman traumatis buatku. Sudah 3 kali aku terjungkal dari sepeda motor gara-gara tanjakan ini. Padahal ada pepatah, keledai saja tidak mungkin jatuh dalam lobang yang sama. Makanya aku tidak mau mengulangi pengalaman “pahit” itu untuk keempat kalinya.

Setelah beberapa menit menempuh perjalanan akhirnya menara kapel Aris pun mulai kelihatan. Ada pemandangan yang agak berbeda dari turne-turne-ku sebelumnya.  Aku lihat beberapa anak berdiri terpaku di halaman gereja. Sepertinya mereka sedang menantikan kedatanganku. Begitu melihatku, ada yang langsung berteriak, “Pastor udah atangk!” Mendengar teriakan itu tak ayal lagi anak-anak yang ada di dalam kapel pun segera menghambur keluar. Tergambar sukacita pada wajah-wajah mereka.

“Untunglah Pastor bisa datang. Kami sudah cemas menunggu dari tadi. Takut pastor gak datang lagi bah,” kata pengurus umat Stasi Aris sambil mempersilakan aku singgah dulu ke rumahnya. Mendengar itu aku hanya bisa tersenyum malu. 

Perayaan ekaristi di Aris ditunda beberapa menit karena keterlambatanku. Tetapi umat bisa memahaminya. Perayaan Ekaristi kali ini terasa sangat istimewa. Umat merancangnya habis-habisan. Karena memakai tari-tarian yang harus diiringi dengan musik, mereka berusaha menyambung listrik kepada umat yang memiliki genset.  Anak-anak yang didapuk untuk menari sudah berhias sejak pagi hari. Belum lagi dengan calon baptisan baru. Mereka sudah siap menyambut anugerah yang sangat istimewa: Sakramen Baptis dan Tubuh Kristus yang untuk pertama kalinya akan mereka sambut. Kesiapan mereka paling tidak terlihat dari pakaian putih yang dikenakannya. Pengurus Stasi Aris sendiri pun sudah merancang pesta nasi bungkus sebagai kelanjutan dari pesta natal. Sengaja mereka menunggu jadwal perayaan ekaristi di stasi demi terselenggaranya makan bersama seluruh umat bersama sang gembalanya. Begitulah mereka mencoba memaknai pesta natal dengan berbagi nasi bungkus. Menunya sangat sederhana, tetapi tersimpan makna istimewa di dalamnya. Ada rasa haru menyelinap di hatiku. Bersyukur aku bisa tiba di Aris untuk merayakan ekaristi bersama mereka. Andaikata aku egois, hanya mementingkan diri sendiri dan memutar haluan untuk pulang ke rumah hanya karena jalan becek dan berlumpur, ceritanya pasti lain. Betapa kecewanya umat di Stasi Aris karena para penari tidak bisa mempersembahkan tarian mereka untuk kanak-kanak Yesus, para baptisan baru terpaksa belum bisa menerima karunia baptisan dan Tubuh Kristus. Belum lagi pesta nasi bungkus akan terasa hambar karena tidak didahului oleh ekaristi yang merupakan pesta sesungguhnya. Terimakasih Tuhan, atas peristiwa yang terjadi di hari kelahiran-Mu. Medan yang cukup sulit untuk dijangkau, telah menghadirkan pesan natal yang sungguh bermakna untukku. (Gathot)
































































30 Nov 2016

Tambahkanlah Iman Kami

Tambahkanlah Iman Kami


Cuaca sore nan panas memaksa saya untuk segera keluar dari “sarang” dan pandangan mata saya tertuju pada  pohon rindang nan hijau di halaman gereja. Ke tempat itulah akhirnya saya berlabuh untuk duduk dan melepaskan diri dari rasa panas. Sambil menikmati semilirnya angin, saya biarkan pikiran saya ngelantur kemana dia mau.  Tiba-tiba saja tanpa saya sadari di samping saya sudah berdiri tiga gadis cilik masih lengkap dengan seragam sekolah dasarnya. Secara serentak mereka mengulurkan tangan mau menyalami saya.  Dua gadis itu saya kenali wajahnya, meski tidak tahu siapa nama mereka. Sedangkan yang satunya sangat asing untuk mata saya. Mungkin baru kali ini saya bertemu dengannya.

“Kalian dari mana?” tanya saya kepada mereka begitu mereka selesai menyalami tangan saya.

“Kami dari gua Maria,” jawab seorang yang saya kenali wajahya.

“Pastor, boleh nanya gak?” tanyanya lagi.

“Oh boleh-boleh. Sini mau tanya apa?” jawab saya sambil menawarkan mereka duduk.

“Ini temanku, agamanya Budha. Dia minta kami antarkan untuk sembahyang bersama di Gua Maria.  Boleh kan ya, Pastor?” tersirat rasa takut di balik pertanyaannya.

“Oh gak papa. Berdoa itu kan baik. Jadi gak masalah. Boleh.  Tapi ngomong-omong, gimana kalian berdoanya?” tanya saya dipenuhi rasa penasaran.

“Tadi, aku ambil kertas, Pastor. Lalu aku tulis doa Salam Maria dan kami baca bersama-sama,”  jawab anak yang lain penuh percaya diri.

Sambil tersenyum saya menganggukkan kepala tanda setuju. Anak yang sungguh pintar dan kreatif. 

Betapa bahagia orangtua yang mempunyai anak-anak seperti mereka. Kata saya dalam hati.

“Satu lagi, Pastor mau tanya ya. Emang kalian berdoa apa kepada Tuhan lewat Bunda Maria?”

Kali ini gadis cilik yang asing bagiku, mulai angkat bicara. 

“Kami berdoa untuk adikku yang lagi sakit kanker. Sekarang dia lagi opname di Rumah Sakit Serukam,” jawabnya terbata-bata. 

Mendengar kata kanker spontan saya terkejut. Saya lihat anak itu pun segera menundukkan kepala seolah mau menyembunyikan wajahnya. Dia tidak mau memperlihatkan kesedihannya di hadapan saya.  Tetapi saya bisa melihat butiran bening tiba-tiba menetes dari matanya. Secara refleks saya pegang pundaknya. Sebisa mungkin memberikan penghiburan kepadanya.

“Boleh pastor juga berdoa untuk adikmu?” tanya saya mencoba memecah keheningan.

Setelah mengusap air matanya, anak itu menatap saya dan menganggukkan kepala. Tetapi segera dia menundukkan kepalanya lagi. Tak kuasa dia membendung air matanya.

“Boleh pastor juga tahu siapa nama adikmu? Biar nanti pastor bisa sebutkan namanya dalam doa,” tanya saya sekali lagi setengah berbisik ke telinganya.

“Namanya Leo, Pastor”, kata teman yang duduk di sampingnya. Sepertinya dia pun memahami kesedihan temannya.

“Baik. Pastor berjanji akan selalu mendoakan Leo. Semoga Tuhan memberkati Leo ya. Kita berdoa bersama demi kesembuhan Leo.”

Tiba-tiba hati saya pun ikut hanyut dalam suasana haru dan sedih. Kerongkongan saya serasa tersumbat. Mata saya pun mulai mengembang dan terasa hangat. Tetapi dengan sekuat tenaga saya mencoba menahan jangan sampai air mata saya menetes keluar. Saya tidak ingin menambah kesedihan gadis cilik yang duduk di samping saya.

“Pastor kami pulang sekarang ya!” kata anak yang dari tadi hanya lebih banyak diam. Mendengar ajakan pulang, tiga anak itu serentak berdiri. Kembali lagi mereka mengulurkan tangan kepada saya.

“Baik. Hati-hati di jalan ya. Dan jangan lupa. Kita semua berdoa untuk Leo,” jawab saya sambil menerima uluran tangan mereka.

Bertiga mereka mohon pamit dan mulai meninggalkan saya yang hanya berdiri mematung. Nampak suatu pemandangan yang sangat indah dan mengaharukan.  Dua anak mencoba memapah kakak Leo dan mereka berjalan sambil berangkulan. Kebersamaan tiga bocah cilik ini mau memberikan pesan bahwa kesedihan dan penderitaan mau mereka tanggung bersama.

Meski hanya sekejap, tetapi peristiwa sore itu meninggalkan banyak pesan kepada saya. Pertama, seorang yang beragama Budha mempunyai iman penyerahan yang luar biasa. Entah apa latar belakangnya dia berdoa lewat Bunda Maria, tetapi saya merenungkannya sebagai satu bentuk penyerahan diri kepada Tuhan lewat Bunda-Nya. Di tengah kesedihannya, dia lari kepada Tuhan melalui Bunda Maria. Iman yang sedemikian ini belum tentu saya miliki meskipun saya seorang Katolik yang mempunyai devosi kepada Bunda Maria. Saya harus belajar banyak dari bocah cilik yang punya keyakinan lain dengan saya.

Kedua, ketiga bocah cilik itu memiliki kepedulian yang sangat istimewa terhadap Leo yang sedang mengalami sakit kanker. Kepedulian mereka sungguh menohok hati saya karena sebagai gadis-gadis cilik mereka tidak memiliki apa-apa. Di tengah keterbatasan mereka mempunyai hati untuk orang lain yang sedang menderita. Suatu persembahan nan indah bisa mereka berikan kepada Leo, yakni doa bersama.

Ketiga, ketiganya memiliki rasa kebersamaan. Mereka membongkar sekat-sekat perbedaan di antara mereka. Perbedaan agama tidak mereka persoalkan. Justru mereka bisa bersatu dan berdoa bersama. Benar apa yang sering dikatakan bahwa kebersamaan itu sangat indah. Kali ini justru kebersamaan itu diperlihatkan oleh ketiga gadis cilik.

Setelah mereka hilang dari pandangan saya, saya pun kembali masuk ke “sarang” saya. Terimakasih adik-adik atas iman kalian dan kebersamaan kalian yang sangat indah. Dalam hati saya pun memanjatkan doa yang pernah disampaikan oleh para murid Yesus ”Tuhan tambahkanlah iman kami.” (Stephanus).

14 Sep 2016

Berbelas Kasih Seperti Bapa

Berbelas Kasih Seperti Bapa

 

Siang itu selesai melayani sakramen perminyakan orang sakit saya langsung kembali ke pastoran. Terik matahari yang tak kenal kompromi, membuat saya mempercepat langkah supaya segera tiba di rumah. Di halaman pastoran saya melihat rekan pastor sekomunitas baru saja memarkir mobilnya. 

“Ah kebetulan”, pikir saya dalam hati. “Saya harus menyampaikan berita ini kepada beliau karena yang baru saja saya layani adalah ‘pasien’nya”.  Saya membuat istilah pasien untuk menyebut orang sakit yang setiap bulan mendapat kunjungan dari saudara saya ini dan menerima komuni suci dari tangannya.

“Selamat siang, Pater”, sapa saya begitu sampai di dekatnya.

“Hei, selamat siang juga. Pastor dari mana?” tanyanya ramah kepada saya.

“Dari rumah sakit. Tadi ada permintaan pelayanan sakramen minyak suci. Oh ya Pater, barusan saya menerimakan sakramen orang sakit  kepada ‘pasien’ yang Pater layani dalam komuni suci,” kata saya sambil memberikan informasi kepadanya.

“Oh. Siapa kira-kira ya? Tahu namanya? Sekarang dia masih bisa menyambut komuni apa tidak? Di ruang apa dan nomor berapa ya?” deretan pertanyaan yang begitu banyak langsung ditujukan kepada saya.

“Mohon maaf Pater saya gak tanya namanya.  Saya pun gak ingat di ruang apa dan nomor berapa. Tapi dia pasti bisa menyambut komuni karena tadi masih bisa diajak bicara. Saya pun lupa mengantarkan komuni suci kepadanya.”

“Oh gak papa. Terimakasih informasinya ya,” jawabnya singkat.

Saya pun menjawabnya dengan anggukan kepala. Dengan langkah cepat, saudaraku ini langsung menuju kamarnya. Tak sampai hitungan menit, dia pun sudah keluar lagi dengan membawa piksis (sibori kecil tempat hosti kudus) di tangannya. Dan dia terus melangkah. Saya tahu arah yang akan ditujunya. Pasti akan segera ke rumah sakit untuk mengunjungi ‘pasien’nya dan menerimakan komuni suci kepadanya.

“Harus secepat itukah?” pikir saya penuh rasa heran dan kaget. “Bukankah beliau baru saja kembali dari stasi yang cukup jauh? Harusnya kan istirahat dan makan siang dulu (maklumlah beliau  hanya mau makan kalau di pastoran). Lagipula menerimakan komuni suci kan bisa ditunda sampai nanti sore atau besok”. Terbersit rasa bersalah juga dalam diri saya karena waktu yang tidak tepat menyampaikan berita ini kepadanya. Tetapi saya pun hanya diam dan terpaku. Tiba-tiba rasa haru membuncah dalam hati saya melihat saudaraku yang selalu siap melayani. Bahkan pelayanannya tidak setengah-setengah. Dia melayani sampai tuntas, walaupun tanpa ada pemintaan. Dia tahu apa yang harus dilakukannya.

Dalam ketenangan dan kesendirian saya mencoba merenungkan dan memaknai apa yang telah dilakukan oleh saudaraku ini. Sikap tanggapnya dan tanpa menunda-nunda waktu mengingatkan saya akan motto Tahun Kerahiman Ilahi yang sedang  dirayakan oleh dunia, Berbelas Kasih seperti Bapa. Dengan tindakannya yang sangat sederhana saudaraku ini telah menghidupi apa yang disampaikan oleh Bapa Suci, Paus Fransiskus dalam ajaran-ajarannya. Sikapnya yang selalu mau melayani menjadi bukti bagaimana dia mengambil tindakan nyata untuk memperlihatkan wajah Allah yang berbalas kasih itu kepada sesama.

Berulang kali Paus Fransiskus selalu mengingatkan agar Gereja berani meninggalkan ‘zona aman’ untuk pergi dan menjumpai manusia, terutama mereka yang lemah dan sakit. Gereja tidak boleh berdiam diri melihat penderitaan umat manusia. Mau tidak mau, Gereja harus hadir dan terlibat secara aktif dalam setiap kegembiraan dan kesedihan umat manusia. Dan siapa Gereja itu sebenarnya? Tidak lain adalah kita semua yang berhimpun dan percaya akan Yesus Kristus.

Inspirasi dari tindakan berbelas kasih ini adalah tindakan Allah sendiri. Dia yang tidak bisa berdiam diri untuk selalu mencintai umat manusia. Dialah Allah yang tidak tahan untuk tidak mencintai manusia. Meskipun berulang kali ditolak oleh manusia,  Dia tetap mendekati dan memanggil manusia untuk datang kepada-Nya. Keterbukaan hati Allah yang selalu siap menerima disimbolkan dengan pintu suci yang juga ada di paroki kita. Dan wajah belas kasih Bapa itu menjadi nyata dalam diri Yesus Kristus. Dialah penampakan wajah Allah Bapa yang tidak kelihatan. Dia datang kepada umat manusia bukan untuk menghukum dan mengadili. Tetapi untuk merangkul dan menerima manusia, terlebih mereka yang sedang menderita sakit dan disingkirkan.

Seiring dengan sikap Allah yang berbelas kasih itulah, Bapa Suci mengajak Gereja untuk memperlihatkan wajah belas kasih Allah ini sehingga sebanyak mungkin orang bisa mengalami belas kasih-Nya. Sudah bukan zamannya lagi Gereja menghakimi dan menghukum orang lain. Tetapi Gereja harus berani membuka diri, menerima setiap orang yang datang sehingga Gereja sungguh-sungguh menjadi tempat di mana belas kasih Allah ini sungguh dialami. Dan sikap itu sudah dipraktekkan oleh saudara sekomunitasku. Dengan cara yang sangat sederhana tetapi sarat makna, dia sudah memberikan teladan bagaimana menerima manusia. Tanpa diminta dia telah menghantar “Tuhan Yesus” kepada ‘pasien’nya yang sedang menderita.

Terimakasih, Saudara. Anda telah menjadi inspirasi bagi kami bagaimana mewujudnyatakan belas kasih Allah dalam pelayanan konkrit tanpa mengenal waktu. Kapanpun dan dimanapun selalu siap melayani mereka yang menderita.(Gathot)


19 Mar 2016

PELANGI NATAL DI STASI-STASI

PELANGI NATAL DI STASI-STASI


Google Images.Jpg

“Misa Natal di stasi tadi pagi sangat meriah. Hampir semua umat yang hadir di kapel ikut bernyanyi. Meskipun lagunya salah, tapi gak papa karena umat terlibat aktif dalam perayaan Misa”. Begitulah kesan seorang teman pastor di meja makan menanggapi perayaan natal di salah satu stasi. Sambil menganggukkan kepala, saya mengamin-i apa yang dikatakan pastor tersebut. Kesan yang kurang lebih sama juga saya alami dan juga dialami oleh teman-teman yang melayani perayaan natal di stasi-stasi. Intinya perayaan Natal tahun 2015 ini sangat meriah dan berwarna-warni. 

Dari Pohon Natal Daur Ulang sampai pada Pesta Rakyat

Pernak-pernik Natal tahun 2015 ini sungguh menghiasi pesta Natal di beberapa stasi di wilayah Paroki Singkawang. Berbagai kreasi unik dan menarik memberikan warna tersendiri dalam memeriahkan pesta kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Harus diakui dibandingkan tahun lalu, perayaan Natal tahun ini lebih berwarna-warni.

Sekedar menyebut Stasi Medang misalnya. Mereka menampilkan kreasinya yang unik dengan membuat Pohon Natal berbahan dasar daur ulang. Seolah mau mengampanyekan pesan go green, mereka memanfaatkan bekas gelas dari minuman air mineral. “Kami telah mengumpulkan gelas-gelas ini sejak tahun lalu”, ungkap penggagasnya dengan bangga. Ratusan gelas plastik yang hampir tak ada nilainya itu disulap sedemikian rupa dan dijelmakan dalam sebuah pohon natal yang menjulang tinggi hampir 4 meter. Pohon natal yang berbahan murah itu dipajang di halaman kapel Stasi Medang lengkap dengan lampu kelap-kelipnya. Di malam hari cahaya lampu yang memancar dari pohon natal itu membuat suasana terasa syahdu. Siapa sangka pohon natal itu berasal dari bahan daur ulang gelas plastik.

Lain Stasi Medang lain lagi Stasi Sarangan. Masih soal pohon Natal yang tidak kalah menariknya. Para OMK yang didaulat menjadi panitia Natal memanfaatkan daun pohon resam (dalam bahasa daerah mereka menyebutnya sebagai daun taboyo) untuk membuat pohon natal. Dalam keseharian daun resam ini hampir tidak pernah diketahui apa kegunaannya. Namun di tangan orang muda yang kreatif, daun resam ini ditata sedemikian rupa hingga menyerupai pohon natal dan dihias dengan lampu natal. Pohon natal kreasi OMK Sarangan tak kalah indahnya dengan pohon natal yang dijual di toko-toko. Bahannya sangat murah. Tetapi tetap meriah.

Selain pohon natal, tak kalah serunya adalah pesta rakyat yang digelar selesai misa Natal. Rupanya acara ini sudah mentradisi dan harus dirayakan untuk beberapa stasi. “Rasanya belum merayakan Natal kalau tidak ada pesta rakyat”. Begitu komentar seorang umat. Pesta rakyat yang dimaksud adalah berbagai jenis lomba, mirip seperti pada perayaan 17 Agustus. Stasi Setanduk menjadi salah satu stasi yang selalu rutin mengadakan perlombaan ini untuk kaum ibu, bapak, orang muda dan anak-anak. Lama sebelum Natal telah dibentuk panitia untuk menganimasi kegiatan ini. Dengan dana apa adanya, hasil pengumpulan dari umat, pesta rakyat pun digelar seusai Misa Natal. Teras gereja disulap menjadi panggung utama dan dari sanalah pesta rakyat dimulai dengan menampilkan pertunjukan dari anak-anak. Selesai panggung hiburan, pesta rakyat pun dimulai. Umat yang hadir tumpah ruah di halaman gereja mengikuti perlombaan yang digelar. 

Umat Stasi Parit Baru merayakan pesta Natal dengan cara mereka sendiri. Mereka lebih memberi perhatian pada Anak-Anak Sekolah Minggu. Begitu misa Natal selesai dirayakan, panitia langsung mengubah bagian depan altar sebagai tempat pertunjukan. Ada tarian, ada nyanyian dan juga fashion show. Semua mata acara diisi oleh anak-anak yang benar-benar menikmati pesta natal. Ibarat peragawati yang berjalan di atas catwalk, begitulah anak-anak berlenggak-lenggok, memamerkan gerak dan busana yang dipakainya.

Lomba Paduan Suara Lagu Natal

Ide untuk merayakan natal bersama dengan umat stasi-stasi dicetuskan pada pesta natal tahun 2014 yang lalu. Adalah panitia Natal Paroki yang mengemas acara supaya ada suasana kekeluargaan di antara umat di kota dan stasi. Maka mulai digagas perlombaan koor sebagai sarananya. Karena jumlah stasi cukup banyak dan terpencar-pencar, maka diadakan dua kali perlombaan koor untuk stasi yang ada di wilayah Kotamadya Singkawang dan stasi yang ada di wilayah Kabupaten Bengkayang.

Di luar dugaan tanggapan umat stasi sangat antusias. Tahun ini menjadi gelaran kedua dengan berbagai penyempurnaan. Meskipun belum semua stasi bisa berperan serta, tetapi tetap ada wakil dari stasi yang hadir sebagai umat dan ikut memeriahkan. “Tahun depan kami pasti ikut sebagai peserta lomba koor. Mohon kepada panitia di paroki supaya mempersiapkan jauh-jauh hari supaya kami bisa mempersiapkan diri,” harap salah seorang umat stasi yang belum bisa ikut lomba.

Kehadiran peserta koor dengan seragam batik menambah semaraknya suasana natal di dua stasi sebagai tempat pangkalan; stasi Roban untuk wilayah stasi Kotamadya Singkawang dan Stasi Capkala untuk wilayah stasi Kabupaten Bengkayang. Suasana kekeluargaan sungguh terasa manakala umat yang hadir betul-betul menyatu. Tidak ada sekat antara satu dengan yang lainnya. Paduan suara rupanya menjadi alat pemersatu di antara umat stasi.

Pelangi di langit nampak indah karena berwarna-warni. Begitu juga pesta Natal 2015 di Stasi-Stasi terasa indah dan semarak karena diisi dengan berbagai acara yang unik dan menarik. Perayaan itu terasa makin indah karena dijiwai oleh kesederhanaan. Tak ada kesan pesta pora di dalamnya. Bukankah Tuhan Yesus juga lahir dalam kesederhanaan? Tetap indah, walaupun tidak mewah. (Gathot)

15 Jan 2016

Meninggal = Kembali ke Rumah Bapa

Meninggal = Kembali ke Rumah Bapa



Seorang nenek yang telah berusia senja berulang kali mematut-matut dirinya dengan baju kebayanya yang baru di depan cermin. Setelah merasa puas, sambil tersenyum sang nenek  menyimpan kembali kebayanya  dengan rapi dalam almarinya. Tetapi anehnya kebaya itu belum pernah dipakainya. Adegan ini dilihat oleh cucunya. Karena merasa penasaran sang cucu bertanya kepada neneknya, “Nek, saya belum pernah lihat nenek memakai baju kebaya itu. Memang kebaya itu mau nenek pakai untuk acara apa?

“Cu, kebaya itu mau Nenek pakai pada saat menghadap Tuhan nanti supaya Nenek kelihatan rapi dan pantas bertemu dengan Tuhan”, jawab nenek sambil mengelus kepala cucunya.

Membaca jawaban nenek di atas boleh jadi kita berpikir itu aneh dan lucu. Bahkan terkesan mengada-ada. Namun bila direnungkan lebih dalam, nenek itu mempunyai keyakinan bahwa melalui kematian dia akan berjumpa dengan Tuhan sendiri. Kematian menjadi awal dari sebuah perjumpaan. Bagi sang nenek kematian bukanlah  akhir dari segala-galanya.  Sang nenek tidak hanya tinggal pada peristiwa kematian itu saja. Tetapi keyakinannya mampu menembus hal-hal lahiriah semata.

Bagi kebanyakan orang peristiwa kematian memang dianggap sebagai momok yang menakutkan. Tabu bicara soal mati. Secara tidak sadar manusia sejatinya tidak ingin mati. Maunya bisa hidup selama-lamanya di dunia ini. Namun kenyataan itu tidaklah demikian. Setiap orang pasti dan harus mati. Kematian merupakan suatu kepastian yang tidak bisa ditolak dan dihindari. Lalu bagaimana kita menyikapinya?

Sebagai orang beriman tentu kita perlu mendasarkan keyakinan kita kepada apa yang pernah disabdakan oleh  Yesus Kristus, Guru dan Tuhan kita. Dalam Kitab Suci tertemukan banyak sabda-Nya yang memberi penghiburan dan pengharapan. Patut direnungkan baik-baik bahwa janji yang diucapkan oleh Yesus bukanlah omong kosong. Bahkan hal yang memberikan jaminan adalah kenyataan bahwa Yesus sendiri juga pernah mengalami kematian; tinggal selama  tiga hari dalam kegelapan makam; tetapi kemudian bangkit mulia. Peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus inilah yang menjadi dasar bagi kita untuk berharap akan mengalami kehidupan baru seperti yg Dia alami sendiri. Lalu apa yang disabdakan oleh Tuhan Yesus tentang peristiwa kematian?

Dalam Perjamuan Malam Terakhir bersama para murid-Nya, Yesus pernah bersabda, “Di rumah Bapa-Ku, banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu” (Yoh 14:2). Sabda ini disampaikan oleh Yesus sebagai  semacam “sabda perpisahan” sebelum Tuhan  sendiri mengalami peristiwa penyaliban. Dari sabda ini terkandung  makna bahwa kematian berarti pulang ke rumah Bapa. Dan Tuhan sendiri yang menyediakan rumah itu. Dalam pengalaman sehari-hari tempat kediaman punya arti yang sangat penting sebagai tempat beristirahat dan setiap orang merindukan untuk bisa mencapai peristirahatannya yang abadi. Dan kerinduan itu mendapat jawabannya lewat janji yang disampaikan oleh Tuhan Yesus.

Ketika berbicara tentang diri-Nya sebagai Roti Hidup, Yesus juga memberikan sabda penghiburan. “Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang” (Yoh 6:37). Sekiranya kita menyakini bahwa kematian itu berarti pulang ke rumah Bapa, maka hendaknya kita tidak perlu takut karena itu berarti kita datang kepada Yesus sendiri. Apalagi Yesus memberikan jaminan bahwa setiap orang yang datang kepada-Nya tidak akan dibuang.

Ketika melayat ke rumah Maria dan Marta berhubung dengan kematian Lazarus, Yesus juga berbicara tentang kematian. Nadanya sungguh memberikan peneguhan dan penghiburan. “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati” (Yoh 11:25). Kehidupan yang dijanjikan oleh Yesus bukanlah kehidupan duniawi; dimana orang masih perlu makan, minum dan nanti akan mati lagi. Tetapi kehidupan yang Dia janjikan adalah kehidupan bersama Allah, yang sering kita sebut sebagai kehidupan kekal. Kehidupan seperti ini tidak akan mengalami kematian lagi.  Dasar dari kehidupan itu adalah Tuhan Yesus sendiri yang menyebut diri-Nya sebagai kebangkitan dan hidup. Melalui peristiwa Paskah Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Tuhan yang bangkit dan hidup. Kematian tidak lagi menguasai-Nya. Dan syarat untuk memperolehnya adalah dengan percaya kepada-Nya. Percaya yang dimaksud bukanlah percaya dalam tataran intelektual semata; tahu bahwa Yesus adalah Tuhan. Tetapi percaya dalam artian lebih pada hubungan batin: bahwa saya mengimani Yesus sebagai Tuhan sehingga saya berusaha menghidupi apa yang disabdakan-Nya kepada saya. Itulah syarat yang diminta agar kita boleh mendapatkan kehidupan abadi.

Seorang wartawan pernah bertanya kepada Bunda Theresa dari Calcuta, apa pendapatnya kalau kelak Tuhan memanggilnya. Dengan mantap Bunda Theresa menjawab bahwa dia senang sekali kalau tiba waktunya sudah tiba. Karena dengan itu dia akan bertemu dengan Tuhan yang selama ini diimaninya. Kita semua juga pasti akan menghadapi kematian. Bagaimana sikap kita? (Gathot)



29 Okt 2015

DI BALIK PENAMPILAN LUSUHNYA

DI BALIK PENAMPILAN LUSUHNYA


Penampilannya lusuh. Jaket usang melekat pada tubuhnya.Pa yung di tangan kanan dan tangan kirinya menenteng ember alumunium. Rambut dibiarkan acak-acakan, tanpa disisir. Jelas sekali bahwa dia tidak pernah berdandan seperti perempuan pada umumnya. Bahkan mungkin juga dia jarang mandi. Dari guratan di wajahnya bisa ditebak kalau usianya sudah di atas 50 tahunan. Namun tidak kelihatan  adanya  rasa lelah pada raut wajahnya. Terbukti hampir setiap saat dia selalu tersenyum. Kadang dia juga bisa tertawa lepas, tanpa rasa malu sedikitpun memamerkan giginya yang tinggal satu atau dua saja. Dari penampilan lahiriah jelas tidak ada daya tarik sedikitpun. Sepintas tidak ada yang istimewa padanya. Begitulah kesan pertama saya berjumpa dengan dia.

“Slamat pagi, Bang! Puji Tuhan! Amin! Alleluya!” Kata-kata itu selalu meluncur dari mulutnya. Dialah seorang ibu yang sering mendatangi saya di kamar kerja. Tanpa basa-basi, ibu itu langsung masuk begitu saja dan duduk di hadapan saya. Tanggapan saya pun sekedarnya saja. Seperti biasa tanpa mempedulikan kehadirannya saya tetap saja melanjutkan apa yang sedang saya kerjakan, seolah ibu itu tidak ada. Saya juga merasa tidak perlu mengenalnya lebih jauh tentang siapa dia. Macam-macam pertanyaan ditujukan kepada saya dan saya pun menjawab sekenanya saja. Di penghujung perjumpaan itu dia meminta sedekah. Dua atau tiga lembar uang seribuan saya berikan kepadanya. Mata Ibu itu langsung berbinar senang. Tanpa melepaskan pandangannya kepada saya dia mengucapkan terima kasih sambil berkata sekali lagi kepada saya. “Puji Tuhan, Bang! Amin! Alleluya!”

Ritus itulah yang selalu saya alami ketika menerima “tamu istimewa” yang satu ini. Tetapi daripada merepotkan diri sendiri, akhirnya saya pun selalu membiarkan dia masuk ke kamar kerja saya, bertanya macam-macam dan akhirnya meminta sedekah. Setelah sebentar ‘diganggu’ oleh kehadirannya, saya pun memberikan sedekah sekedarnya dengan harapan supaya dia pun segera pergi dan saya bisa menyelesaikan pekerjaan saya.

Sekali waktu ibu itu membuat saya kesal.  Ketika itu saya sedang meninggalkan kamar saya tanpa mengunci pintu lebih dahulu. Ketika kembali ke  kamar, saya melihat ibu itu sudah duduk di kursi yang biasa dia duduki. Spontan saya terkejut dan berbagai pikiran buruk  langsung menghinggapi  pikiran saya. Sebaliknya tanpa ada rasa salah sedikitpun dia  tetap saja mengucapkan ‘salam khas’nya kepada saya. “Selamat pagi, Bang! Puji Tuhan! Amin! Alleluya!”. Toleransi saya kali itu sangat rendah dan saya minta supaya dia segera meninggalkan ruangan saya dengan satu pesan, “Ibu kali ini tidak sopan. Masuk ke kamar saya begitu saja. Maka saya tidak akan memberikan apapun”.  Meski agak terkejut mendengar nada suara saya yang semakin meninggi, tetapi dia tetap minta dikasihani. Saya tak mengacuhkan permintaannya dan tidak memberikan apapun kepadanya. Ini sebagai pendidikan sopan-santun baginya, pikir saya. Dia pun segera bangkit berdiri sambil menyampaikan salam khasnya untuk saya. “Puji Tuhan, Bang! Amin! Alleluya!”

Lama tidak ada berita. Tamu istimewa saya pun tidak pernah lagi singgah ke kamar saya. Boleh jadi dia takut bertemu dengan saya. Atau mungkin ada rasa bersalah dalam dirinya. Saya pun tidak mau ambil peduli. Sampai suatu saat seorang sahabat mengajak saya untuk berbagi kasih dengan membagi-bagikan sembako. Tawaran itu saya tanggapi dengan senang hati. Setelah mengantar paket sembako kepada beberapa orang yang tidak mampu, akhirnya kami tiba di suatu rumah yang sempat menyita perhatian saya. Di emperan  rumah terlihat seorang bapak sedang  berbaring, tanpa baju dan hanya beralaskan bantal di kepalanya. Dia sama sekali tak mempedulikan kedatangan kami. Asyik dengan dirinya. Sementara itu seorang gadis yang sedang menggendong anak kecil segera memanggil-manggil nama seseorang. Tiba-tiba keluarlah seorang nenek dengan tertatih-tatih dari kamarnya. Dia berusaha untuk menemui kami. Tangannya meraba-raba dinding dan berusaha menggapai apa saja yang ada di depannya agar tidak terjatuh. Sahabat saya yang sudah dikenalnya segera memapahnya dan memberikan kursi. Akhirnya mereka pun terlibat dalam pembicaraan yang begitu hangat. Sementara saya hanya duduk terpekur sambil bermenung. Ada rasa miris dalam hati melihat keadaan yang tersaji di hadapan mata saya. Sebuah keluarga yang benar-benar miskin. Ada seorang nenek yang menderita tuna netra, seorang bapak yang juga sedang  sakit, seorang gadis dengan anak kecil. Semuanya tidak berdaya. Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab  dan memberi penghidupan untuk mereka? Pertanyaan itulah yang mengganggu pikiran saya.

Dalam perjalanan pulang ke rumah pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiran saya akhirnya menemukan jawabannya.

“Pater, kenal dengan seorang ibu yang biasa pakai jaket, bawa payung dan ember alumunium?” Tanya sahabat saya tiba-tiba memecah kesunyian. Pertanyaan itu spontan mengingatkan saya akan tamu istimewa yang sudah lama tidak mampir ke kamar saya.

“Oh iya, iya saya kenal. Dulu biasa mampir ke kamar saya. Tetapi  belakangan ini tidak lagi. Ada apa dengan dia?” Tanya saya kepadanya.

“Dialah yang menghidupi keluarga yang baru saja kita kunjungi. Dia tidak di rumah karena sedang mencari makan.” Kata teman saya seolah ingin memberikan jawaban kepada saya.

Serasa hampir copot jantung saya mendengar jawabannya. Rasa sesak langsung menyergap dada saya begitu mengetahui bahwa ternyata tamu yang menghilang selama ini menjadi orang yang sangat berarti untuk keluarga miskin tadi. Belakangan saya baru tahu Ibu itu bernama Jong Siau Yan. Bapak yang berbaring di halaman itu adalah ayah kandungnya yang memang sakit, sedangkan ibu yang tuna netra adalah ibunya, gadis yang menggendong anak kecil itu adalah anak dan cucunya sendiri. Jong Siau Yan yang sudah diceraikan oleh suaminya harus berkeliling menjual nasi ketan untuk bisa menghidupi seluruh anggota keluarganya. Dia harus bertarung dengan kerasnya hidup. Dia rela tidak berdandan, rela tidak punya apa-apa dan setiap hari harus berjalan keliling menjajakan nasi ketannya demi menyambung nyawa ayah, ibu, anak dan cucunya. Dalam hati saya terlontar rasa sesal. Tuhan ampuni saya atas sikap saya yang kurang pantas kepadanya. Siau Yan maafkan saya yang selama ini tidak ambil peduli dengan Ibu. Tenyata di balik penampilan lusuhmu, Ibu mempunyai hati yang sngat mulia. (Gathot)

12 Sep 2015

MEMBERI KARENA MAU

MEMBERI KARENA MAU

 

Hampir setiap hari Minggu sekitar pukul 8 pagi Marieta sudah berdiri di depan pintu gereja. Gadis cilik yang masih duduk di kelas 6 Sekolah Dasar itu dipercayai untuk menjadi pengajar Sekolah Minggu di Stasi Trans SP2, stasi terjauh dari pusat Paroki Singkawang.  Satu demi satu anak-anak mulai berdatangan. Tanpa dikomando mereka pun langsung masuk gereja dan duduk di bangku paling depan. Seperti layaknya seorang guru Marieta langsung mengambil posisi. Dia berdiri menghadap anak-anak yang sudah  duduk rapi dan mulai memberi aba-aba untuk segera bernyanyi lagu-lagu rohani.  Dengan panduan  Marieta mengalunlah lagu-lagu rohani dari mulut anak-anak yang rata-rata masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Senandung lagu rohani itu terasa makin lengkap karena disertai dengan tarian. Hampir setiap lagu ada gerakannya. Anak-anak menari mengikuti  gerakan gurunya. Kadang disertai  derai tawa karena lebih sering anak-anak menari dan menyanyi semaunya sendiri.  Lagu yang terdengar lebih sering lari dari notasinya. Tarian mereka pun kadang tidak harmonis dan tidak serasi. Sifatnya lebih spontan. Tetapi tidak tergambar suasana kaku yang menakutkan. Justru dengan bebas dan polos anak-anak bernyanyi dan menari memuji Tuhan.

Meski jauh dari kisi-kisi pelajaran agama Sekolah Minggu yang disusun oleh Komisi Liturgi, tetapi Marieta sudah bisa mengajak anak-anak bergembira memuji Tuhan. Dalam pelajaran Sekolah Minggu yang diberikannya tidak ada yang namanya bacaan Kitab Suci. Tidak ada yang namanya merenungkan sabda Tuhan. Tidak ada doa pembukaan dan doa penutup yang tersusun rapi.  Marieta hanya sekedar mengajak anak-anak untuk bernyanyi dan menari bagi Tuhan.  Menuntut yang lebih jelas tidak mungkin dari seorang anak kecil yang baru duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 6. Modal Marieta hanyalah kemauan yang kuat. Yang penting anak-anak bisa bergembira dan sudah dibiasakan untuk memuji Tuhan pada hari Minggu.

Beberapa waktu lalu ketika saya turne ke Trans SP2, sehabis pelajaran Sekolah Minggu saya lihat wajah Marieta keliatan murung. Karena penasaran saya dekati Marieta dan bertanya kepadanya. 

“Kok Marieta sedih hari ini? Marieta sakitkah?” tanya saya. Marieta hanya menggelengkan kepalanya dan tertunduk agak lesu.

“Lalu kenapa? Boleh pastor tahu?” tanya saya sekali lagi.

Sambil mengangkat kepalanya, Marieta berkata dengan suara lirih. Hampir tidak terdengar sama sekali.

“Pastor, Marieta sebentar lagi akan pindah. Mau melanjutkan sekolah ke SMP Capkala. Nanti tidak ada lagi yang mengajak adik-adik ini benyanyi dan menari di sini”. Kembali kepalanya tertunduk memandangi lantai gereja yang mulai keropos.

Mendengar jawaban polos dari bocah kecil itu saya hanya bisa melongo. Hanya bisa diam dan membisu. Tiba-tiba saja  terasa ada genangan air di mata saya yang mau  jatuh tertumpah. Kerongkongan saya pun terasa kering.  Tidak tahu saya harus berkata apa. Hanya ada rasa haru bercampur rasa syukur. Bocah seusia Marieta mempunyai  hati yang murni untuk memberikan dirinya. Padahal dia tidak mendapat imbalan apapun dari tugasnya sebagai  pengajar Sekolah Minggu. Tetapi dia bisa merasakan kesedihan. Bukan sedih karena harus pergi dari kampung halamannya. Tetapi sedih  karena harus meninggalkan adik-adiknya. Marieta bukan berpikir untuk dirinya sendiri. Tetapi untuk adik-adiknya. Semangat pengorbanan tanpa pamrih, yang disertai perhatian terhadap orang lain.

Perjumpaan dan pembicaan dengan Marieta yang sangat singkat waktu itu memberi banyak pelajaran kepada saya. Marieta mengajari saya bahwa untuk bisa memberikan diri tidak harus kaya dan mempunyai banyak. Tidak sama sekali. Marieta baru kelas 6 Sekolah Dasar. Dia tidak mempunyai pemahaman bagaimana seharusnya menjadi guru. Dia juga tidak pernah ikut kursus menjadi guru Sekolah Minggu. Modal yang dia punyai hanyalah kemauan yang tulus. Dan ini sudah lebih dari cukup. Buktinya Marieta bisa mengajak adik-adiknya bernyanyi memuji Tuhan pada hari Minggu. Ketika dia harus pergi karena melanjutkan sekolahnya, perhatiannya masih tertuju untuk adik-adiknya. Terimakasih Tuhan, Engkau telah mempertemukan saya dengan gadis cilik yang tahu apa artinya memberikan diri. Bukan karena mampu, tetapi karena mau. Terimakasih Marieta,  engkau juga mengajari saya bagaimana itu memberikan diri. Andaikata dunia ini dipenuhi dengan orang-orang seperti kamu Marieta, pasti akan terasa sangat indah. (Gathot)


7 Jul 2015

MENJADI EKARISTI BAGI SESAMA

MENJADI EKARISTI BAGI SESAMA

 

 


Kepada setiap anak sekolah yang hadir dalam pesta perpisahan kelas, dibagikan nasi kotak untuk santap siang bersama. Begitu selesai doa makan, setiap anak langsung ‘sibuk’ dengan nasi kotaknya. Masing-masing mulai menyantap nasi yang sudah ada di tangannya. Tetapi tidak demikian halnya dengan seorang bocah yang dari tadi hanya memegang nasi kotaknya dan memandangi teman-temannya. Tatapannya kosong. Seorang ibu guru mendekatinya dan bertanya, “Mengapa Putri tidak makan? Putri sudah kenyang ya?”. Anak yang dipanggil Putri itu hanya menggelengkan kepala.

“Lalu kenapa nasi kotaknya tidak dibuka? Atau jangan-jangan Putri gak suka dengan menunya?” tanya ibu guru sekali lagi.

Sambil terbata-bata Putri pun menjawab, “Tadi sebelum berangkat ke sekolah, mama terbaring karena sakit. Nasi kotak ini mau Putri berikan pada mama supaya mama cepat sembuh”. Putri, seorang bocah kecil, mau berbagi dengan mamanya yang sedang sakit.

Kerelaan untuk berbagi. Itulah salah satu pesan yang sangat kuat dari perayaan Ekaristi yang diwariskan oleh Tuhan Yesus kepada kita.  Kalau kita renungkan seluruh hidup Yesus sendiri sebenarnya merupakan ungkapan hidup Allah yang mau dibagikan kepada manusia. Pemberian diri Allah itu mencapai puncaknya dalam peristiwa wafat dan kebangkitan-Nya. Kita menyebutnya sebagai peristiwa Paskah. Pesta Paskah inilah yang selalu kita rayakan dalam Ekaristi. Setiap kali kita merayakan Ekaristi, sebenarnya kita mengenangkan dan menghadirkan kembali pemberian diri Allah. Memang yang kita hadirkan bukan lagi peristiwa di Golgota di mana Yesus disalibkan kembali sebab wafat Yesus berlaku satu kali untuk selamanya. Tetapi kita menghadirkan pemberian diri Allah secara simbolis sebagaimana nampak dalam rupa roti dan anggur.

Pemberian diri Allah ini ditegaskan oleh Yesus dengan kata-kata-Nya sendiri. ‘Inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagimu. Inilah darah-Ku yang ditumpahkan bagimu.’ Kata tubuh dan darah bukanlah dimengerti dalam pemahaman sehari-hari. Bukan merupakan salah satu organ dari anggota badan manusia, seperti tulang, otot, rambut, kuku dsb. Yang Yesus maksudkan dengan kata tubuh dan darah adalah diri-Nya yang utuh, yang mau dibagikan kepada kita. Yesus mau membagikan hidup ilahi-Nya supaya kita mengambil bagian dalam hidup Allah sehingga kita pun memperoleh kehidupan. Secara simbolis pemberian diri Tuhan itu juga nampak dalam ritus roti yang dipecah-pecah dan anggur yang dicurah.

Nah, pemberian diri Allah yang terjadi dalam Ekaristi menjadi undangan bagi kita untuk juga memberikan diri kepada sesama dalam arti yang luas. Setelah menerima anugerah dari Allah sendiri, logikanya kita pun hendaknya menjadi berkat bagi sesama. Allah dan berkat-Nya yang kita terima bukan kita simpan untuk diri sendiri. Kita tidak boleh egois. Seturut teladan Yesus, kita juga diundang untuk saling berbagi supaya orang lain pun mengalami hidup. Dalam ritus perayaan Ekaristi tugas ini disampaikan oleh imam setelah memberikan berkat: Marilah pergi! Kita diutus! Diutus untuk apa? Untuk membagikan berkat kepada sesama.

Dengan demikian perayaan Ekaristi bukan hanya kesalehan individual. Juga bukan hanya sekedar acara ritual yang berhenti di gereja. Ekaristi harus bersambung dalam hidup sehari-hari. Ekaristi mendorong kita untuk membagikan diri dalam kasih kepada orang lain. Bila kita menghayati demikian maka kita bukan hanya sekedar merayakan Ekaristi. Tetapi kita sudah menjadi Ekaristi itu sendiri. Selamat menjadi Ekaristi bagi sesama. (Gathot)

4 Jun 2015

NATAL : SAAT UNTUK BERBAGI

Natal: Saat untuk Berbagi

 

Google Images.Jpg

            Aloysius hanyalah seorang pengusaha warung sederhana di kampungnya. Selain berjualan bahan kebutuhan sehari-hari, ia juga membeli karet  dari warga di sekitar rumahnya. Menjelang hari raya Natal, Idul Fitri dan Imlek, Aloysius menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk membeli bahan mentah pembuatan roti seperti mentega, terigu, susu kental manis, gula pasir, telur. Semuaya dikemas dalam paket-paket dan dibagikan kepada pelanggannya yang tidak mampu sesuai dengan keperluan mereka yang merayakan keyakinan agamanya. Kalau dihitung dengan rupiah nilainya tentu tidak seberapa. Tetapi  ada makna di dalamnya, seperti pernah diucapkannya, “Untuk orang kampung yang tidak mampu merayakan Natal, Idul Fitri dan Imlek mempunyai arti tersendiri dengan membuat kue”. Begitu juga menjelang natal tahun 2014 ini Aloysius tidak lupa melakukan rutinitasnya; berbelanja bahan mentah pembuatan roti untuk pelanggannya yang beragama Kristen dan Katolik. Bagi Aloysius yang beragama Katolik, Natal bukan hanya sekedar perayaan ritual yang selesai di gereja saja, tetapi dia memaknainya lewat aksi nyata mau berbagi dengan saudara-saudarinya yang kurang mampu.
             Bila ditengok peristiwa aslinya, makna Natal sejatinya adalah pemberian diri Allah. Dia yang maha segala-galanya rela memberikan diri-Nya dan menjelma menjadi manusia dalam diri Kanak-Kanak Yesus. Dialah Sang Imanuel: Allah beserta kita (Mat 1:23). Itulah yang terjadi pada natal pertama di Betlehem yang jauh dari hingar bingar pesta dan kemewahan. Dengan menjadi manusia Allah melakukan aksi nyata; setiakawan dengan manusia. Bahkan Dia hadir dalam sosok bayi yang papa-miskin.
             Kalau mau,  sebenarnya Allah bisa saja menyapa manusia dari surga. Maksudnya Dia tetap tinggal di surga sana, sedangkan manusia di dunia ini. Ibaratnya ketika mau menghubungi manusia Allah cukup menekan alat semacam remote control saja. Allah tidak perlu “repot-repot” turun ke dunia. Apalagi menjadi manusia segala. Tetapi “jalan aman” itu tidak dipilih oleh Allah. Justru Dia menggunakan jalan dengan “merepotkan diri-Nya” dan menjadi manusia. Mengapa Allah rela berbuat semua itu? Jawaban satu-satunya adalah karena Dia sangat mencintai kita. Di mata Allah kita semua sungguh berharga. Dia tidak rela kita menjadi binasa. Maka Dia datang dan hadir di tengah-tengah kita agar kita memperoleh hidup, bahkan hidup dalam segala yang kelimpahan (Yoh 10:10).
             Lalu bagaimana kita bisa memaknai natal? Penting artinya kita kembali kepada semangat natal pertama. Ketika melihat kandang atau gua natal pandangan kita harus bisa menembus dan merenungkan apa yang sebenarnya terjadi di sana. Kita tidak boleh larut  dengan perayaan natal yang diwarnai oleh gemerlapnya pesta dan hingar bingar kemewahan. Kita juga tidak boleh tinggal dalam keagungan peribadatan di dalam Gereja.  Memang peristiwa natal sering membuat kita hanyut dalam suasana romantis. Tetapi itu bukanlah makna natal yang sebenarnya. Makna natal harus bersambung dalam hidup sehari-hari. Natal harus menyapa umat manusia karena sejatinya natal tidak sama dengan pesta pora. Natal juga bukan sekedar perayaan liturgis semata. Natal adalah “sapaan” Allah kepada kita. Dia memberikan diri-Nya secara nyata kepada kita.
                Seperti Allah yang beraksi nyata kepada kita, begitu pula kita diundang untuk mengadakan aksi yang sama kepada sesama. Natal baru mendapatkan artinya yang penuh kalau kita mau berbagi dengan sesama, terutama mereka yang serba berkekurangan. Apa yang harus kita bagikan? Bukan terutama berbagi barang atau harta kekayaan. Tetapi kita diajak untuk berbagi perhatian dan cinta. Tuhan telah memberikan kepada kita masing-masing hati untuk mencintai dan tangan untuk melayani. Dengan itulah kita mewujudkan aksi pemberian diri lewat tindakan mencintai dan melayani. Natal menjadi saat yang indah untuk berbagi. Selamat Natal 2014 dan Tahun Baru 2015. Mari kita saling berbagi cinta dan pelayanan! (Gathot)

2 Jun 2015

BERBAGI ITU INDAH DAN MURAH

BERBAGI ITU INDAH DAN MURAH




              Selesai merayakan Misa hari Minggu di stasi, saya diundang oleh Ketua Umat untuk singgah di rumahnya. Begitu tiba di rumah, saya dipersilahkan menunggu di ruang tamu. Sambil menunggu si empunya rumah mata saya tak henti-hentinya mengamati ruang tamu yang mulai ditata dengan gua natal lengkap dengan pernak-perniknya. Maklum dalam hitungan hari saja natal akan segera tiba. Tengah asyik menikmati dekorasi ruang tamu, tiba-tiba seorang gadis cilik, berusia sekitar tiga tahun menghampiri saya. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, dia langsung memutar-putar badan sambil kedua tangan mungilnya memegang ujung rok yang dikenakannya. Gadis cilik itu membayangkan dirinya seperti seorang peragawati yang sedang memamerkan busananya.
              “Deva pakai baju baru”, katanya kepada saya penuh kegirangan.
            “Waduh, bagus sekali bajunya. Deva seperti malaikat kecil ya. Cantik sekali!” Jawab saya sambil mengacungkan 2 jempol kepadanya.
             Mendengar pujian saya, sorot mata Deva makin berbinar-binar dan membalas acungan jempol saya dengan tersenyum.
               “Siapa yang beli baju untuk Deva?’”, tanya saya.
            “Mamak. Ni ada gambar Hello Kittynya”, Jawab Deva sambil menunjuk ke gambar yang dimaksud.
               “Mamak belinya dimana?”, tanya saya sekali lagi.
               “Tuh di gereja”, jawab Deva sambil mengarahkan telunjukknya ke arah gereja.
               “Deva senang ya pake baju baru ini?”
Deva hanya menganggukkan kepala. Peristiwa yang sangat mengharukan. Hati saya tersentuh melihat kegembiraan yang tulus dan tanpa dibuat-buat dari seorang anak kecil dengan “baju baru”-nya. Mata saya pun sempat dibuatnya berkaca-kaca.
             Dialog singkat dengan Deva mengingatkan saya akan peristiwa beberapa saat yang lalu. Berbeda dari biasanya, kala itu selesai perayaan Misa para pengurus stasi langsung menyulap pelataran gereja menjadi pasar kaget. Beberapa kantong plastik besar yang berisi pakaian pantas pakai sumbangan dari umat Katolik Singkawang langsung digelar.  Tanpa dikomando umat pun menyerbu, berusaha memilih dan mencari pakaian yang disukainya. Maklum harganya super murah. Setiap pakaian hanya dihargai dengan Rp2.000,00 per potong. Rupanya dari  peristiwa inilah berasal kegembiraan Deva.
               Dalam perjalanan pulang ke Singkawang saya merenungkan peristiwa indah yang saya alami hari itu. Kegembiraan Deva masih begitu jelas tergambar dalam ingatan saya. Bagaimana Deva berputar-putar seperti peragawati sambil memamerkan “baju baru” dengan sorot mata yang berbinar-binar kegirangan. Sangat indah dan sungguh menyentuh hati saya. Ternyata membahagiakan orang lain itu tidak perlu biaya mahal. Hanya dengan Rp2.000,00 seorang anak kecil seperti Deva sudah bisa mengalami sukacita yang luar biasa. Saya sangat yakin masih ada Deva-Deva lain yang juga mengalami sukacita karena boleh mendapat “berkat yang murah” dari umat Singkawang. Seuntai doa pun saya panjatkan kepada-Nya. Terimakasih Tuhan Engkau telah mengajari kami bahwa berbagi itu indah dan murah. (Gathot)

1 Jun 2015

SELALU ADA YANG ISTIMEWA


SELALU ADA YANG ISTIMEWA



Ekaristi Kaum Muda (EKM) sudah menjadi agenda rutin di Paroki Singkawang. Bagi saya, EKM, yang diadakan di stasi Sebandut beberapa waktu yang lalu terasa sangat istimewa. Padahal Sebandut bisa dikatakan tidaklah besar untuk ukuran sebuah stasi. Bila ditilik dari segi usiapun, stasi ini masih relatif sangat muda. Tetapi dari stasi yang kecil dan muda belia ini, tersimpan cerita yang bisa menjadi inspirasi bagi kita semua.



Ketika didapuk sebagai tempat untuk melangsungkan EKM, kaum mudanya langsung bergerak cepat bersama dengan pengurus umat. Panitia pun segera dibentuk. Keistimewaannya terlihat karena mereka melibatkan stasi-stasi tetangga untuk berperan serta dalam agenda kaum muda ini.

Tibalah saatnya Ekaristi Kaum Muda digelar di Sebandut. Meskipun sore harinya sempat diguyur hujan lebat, tetapi kaum muda wilayah Capkala dan sekitarnya tidak menyurutkan langkahnya untuk datang ke Sebandut. Bahkan hadir juga kaum muda dari Singkawang dan sekitarnya. Secara bergelombang mereka mendatangi stasi yang cukup jauh dari keramaian kota. Mendekati pukul 17.30 wib, Gereja Sebandut sudah terisi penuh oleh kaum muda. Mereka yang datang belakangan terpaksa mengikuti Ekaristi di luar Gereja. Tercatat tak kurang dari 400 kaum muda berkumpul di Stasi Sebandut.

Nuansa anak muda terasa sekali mewarnai perayaan Ekaristi waktu itu. Tarian pembukaan yang dibawakan oleh anak-anak menjadi penghantarnya. Pada bagian selanjutnya tanpa mengurangi kekusyukan, lagu-lagu rohani yang mengiringi Ekaristi ditata sedemikian rupa sehingga menggugah jiwa kaum muda. Terlihat banyak kaum muda menikmati dan sungguh hanyut dalam suasana Ekaristi Kaum Muda
Usai misa acara dilanjutkan dengan makan malam bersama. Kami pun beralih menuju ke tenda sederhana di samping Gereja. Terlihat meja-meja sudah diatur dengan rapi. Di atas meja itu terhidang menu makanan yang sangat sederhana. Saya mencoba memperhatikan dengan seksama menu yang tersedia: ada nasi, sayur rebung, sayur daun ubi, sayur nangka muda, sambal goreng dan ikan asin. Kesannya sangat sederhana. Jauh dari kemewahan sebuah pesta. Tetapi semua menu yang ada tetap menggoda selera saya. Tanpa banyak pertimbangan saya pun mengambil semua menu yang tersedia.  Begitu juga kaum mudanya tak kalah antusiasnya seperti saya dalam menyantap menu makanan yang ada.
Kebetulan saya makan ditemani oleh seseorang yang duduk sebagai panitia EKM. Sambil menikmati menu yang tersedia, teman saya ini pun mulai bercerita, “Pastor, terimakasih banyak atas kepercayaan paroki menunjuk kami sebagai panitia EKM kali ini”.
            “Justru saya yang harus berterima kasih kepada kalian, karena kalian berhasil menyediakan yang terbaik untuk kami yang jumlahnya banyak sekali,” jawab saya secara diplomatis.
            “Ini semua kan berkat kerja dari teman-teman OMK stasi tetangga juga. Mungkin Pastor perlu tahu. Kami meminta beberapa OMK stasi tetangga untuk menyumbangkan apa yang mereka punya. Ada OMK yang mengumpulkan beras dari rumah ke rumah. Ada OMK stasi yang mencari daun ubi. Kalo di stasi itu banyak rebung, mereka juga berusaha mencari rebung dan menyumbangkannya untuk kami. Hebatnya Pastor, teman-teman OMK melakukan itu semua dengan sukarela dan hati gembira.”
            Mendengar pengakuan yang jujur dan tulus itu, hati saya dipenuhi rasa haru dan syukur. Ternyata Tuhan bisa menghadirkan keistimewaan dari tempat yang sangat sederhana ini. Bagaimana tidak? Kaum Muda di tempat yang terpencil ini bisa menyumbangkan apa yang ada pada diri mereka tanpa harus keluar biaya. Meski menu makanan tidak layak disebut sebagai menunya pesta, tetapi mereka bisa menciptakan suasana gembira. Semua kaum muda larut dalam suasana pesta yang sangat sederhana. Ternyata dari yang sederhana, Tuhan bisa menghadirkan yang istimewa. Proficiat untuk OMK! (Gathot)