Meninggal = Kembali ke Rumah Bapa
Seorang nenek yang telah berusia senja berulang kali mematut-matut dirinya dengan baju kebayanya yang baru di depan cermin. Setelah merasa puas, sambil tersenyum sang nenek menyimpan kembali kebayanya dengan rapi dalam almarinya. Tetapi anehnya kebaya itu belum pernah dipakainya. Adegan ini dilihat oleh cucunya. Karena merasa penasaran sang cucu bertanya kepada neneknya, “Nek, saya belum pernah lihat nenek memakai baju kebaya itu. Memang kebaya itu mau nenek pakai untuk acara apa?
“Cu, kebaya itu mau Nenek pakai pada saat menghadap Tuhan nanti supaya Nenek kelihatan rapi dan pantas bertemu dengan Tuhan”, jawab nenek sambil mengelus kepala cucunya.
Membaca jawaban nenek di atas boleh jadi kita berpikir itu aneh dan lucu. Bahkan terkesan mengada-ada. Namun bila direnungkan lebih dalam, nenek itu mempunyai keyakinan bahwa melalui kematian dia akan berjumpa dengan Tuhan sendiri. Kematian menjadi awal dari sebuah perjumpaan. Bagi sang nenek kematian bukanlah akhir dari segala-galanya. Sang nenek tidak hanya tinggal pada peristiwa kematian itu saja. Tetapi keyakinannya mampu menembus hal-hal lahiriah semata.
Bagi kebanyakan orang peristiwa kematian memang dianggap sebagai momok yang menakutkan. Tabu bicara soal mati. Secara tidak sadar manusia sejatinya tidak ingin mati. Maunya bisa hidup selama-lamanya di dunia ini. Namun kenyataan itu tidaklah demikian. Setiap orang pasti dan harus mati. Kematian merupakan suatu kepastian yang tidak bisa ditolak dan dihindari. Lalu bagaimana kita menyikapinya?
Sebagai orang beriman tentu kita perlu mendasarkan keyakinan kita kepada apa yang pernah disabdakan oleh Yesus Kristus, Guru dan Tuhan kita. Dalam Kitab Suci tertemukan banyak sabda-Nya yang memberi penghiburan dan pengharapan. Patut direnungkan baik-baik bahwa janji yang diucapkan oleh Yesus bukanlah omong kosong. Bahkan hal yang memberikan jaminan adalah kenyataan bahwa Yesus sendiri juga pernah mengalami kematian; tinggal selama tiga hari dalam kegelapan makam; tetapi kemudian bangkit mulia. Peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus inilah yang menjadi dasar bagi kita untuk berharap akan mengalami kehidupan baru seperti yg Dia alami sendiri. Lalu apa yang disabdakan oleh Tuhan Yesus tentang peristiwa kematian?
Dalam Perjamuan Malam Terakhir bersama para murid-Nya, Yesus pernah bersabda, “Di rumah Bapa-Ku, banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu” (Yoh 14:2). Sabda ini disampaikan oleh Yesus sebagai semacam “sabda perpisahan” sebelum Tuhan sendiri mengalami peristiwa penyaliban. Dari sabda ini terkandung makna bahwa kematian berarti pulang ke rumah Bapa. Dan Tuhan sendiri yang menyediakan rumah itu. Dalam pengalaman sehari-hari tempat kediaman punya arti yang sangat penting sebagai tempat beristirahat dan setiap orang merindukan untuk bisa mencapai peristirahatannya yang abadi. Dan kerinduan itu mendapat jawabannya lewat janji yang disampaikan oleh Tuhan Yesus.
Ketika berbicara tentang diri-Nya sebagai Roti Hidup, Yesus juga memberikan sabda penghiburan. “Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang” (Yoh 6:37). Sekiranya kita menyakini bahwa kematian itu berarti pulang ke rumah Bapa, maka hendaknya kita tidak perlu takut karena itu berarti kita datang kepada Yesus sendiri. Apalagi Yesus memberikan jaminan bahwa setiap orang yang datang kepada-Nya tidak akan dibuang.
Ketika melayat ke rumah Maria dan Marta berhubung dengan kematian Lazarus, Yesus juga berbicara tentang kematian. Nadanya sungguh memberikan peneguhan dan penghiburan. “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati” (Yoh 11:25). Kehidupan yang dijanjikan oleh Yesus bukanlah kehidupan duniawi; dimana orang masih perlu makan, minum dan nanti akan mati lagi. Tetapi kehidupan yang Dia janjikan adalah kehidupan bersama Allah, yang sering kita sebut sebagai kehidupan kekal. Kehidupan seperti ini tidak akan mengalami kematian lagi. Dasar dari kehidupan itu adalah Tuhan Yesus sendiri yang menyebut diri-Nya sebagai kebangkitan dan hidup. Melalui peristiwa Paskah Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Tuhan yang bangkit dan hidup. Kematian tidak lagi menguasai-Nya. Dan syarat untuk memperolehnya adalah dengan percaya kepada-Nya. Percaya yang dimaksud bukanlah percaya dalam tataran intelektual semata; tahu bahwa Yesus adalah Tuhan. Tetapi percaya dalam artian lebih pada hubungan batin: bahwa saya mengimani Yesus sebagai Tuhan sehingga saya berusaha menghidupi apa yang disabdakan-Nya kepada saya. Itulah syarat yang diminta agar kita boleh mendapatkan kehidupan abadi.
Seorang wartawan pernah bertanya kepada Bunda Theresa dari Calcuta, apa pendapatnya kalau kelak Tuhan memanggilnya. Dengan mantap Bunda Theresa menjawab bahwa dia senang sekali kalau tiba waktunya sudah tiba. Karena dengan itu dia akan bertemu dengan Tuhan yang selama ini diimaninya. Kita semua juga pasti akan menghadapi kematian. Bagaimana sikap kita? (Gathot)