Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri misa katolik. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri misa katolik. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

16 Sep 2016

Kaum Berkerudung di Sekitar Altar Tuhan

Kaum Berkerudung di Sekitar Altar Tuhan

“Mari ber-mantilla bagi Tuhan!” Begitulah seruan kami anak-anak Misdinar St. Tarsisius Paroki Singkwang demi mengajak Anda terutama para wanita Katolik untuk berpakaian sopan dan sederhana serta memakai atau membangkitkan kembali ‘tradisi tua’ dalam Gereja Katolik ini. Usaha sosialisasi ini kami awali dengan menghadap Bapa Uskup untuk mendapatkan izin, lalu dilanjutkan dengan membuat foto dan video project yang kami unggah ke laman Instagram kami @ppasttarsisiusskw dan laman youtube kami, Misdinar St. Tarsisius Singkawang. Tentu ini mendapat respon yang menyenangkan, baik dari umat Paroki Singkawang maupun umat dari berbagai pulau seberang. Sering sekali kami melihat baik wanita maupun pria Katolik ketika menghadiri misa menggunakan pakaian yang tidak pantas. Hal ini sangat perlu untuk diperhatikan karena secara khusus apa yang kita kenakan ketika menghadap Allah, tidak lagi memberikan kesan bahwa Allah hadir di tengah-tengah kita. Namun, ada juga umat yang pergi misa walaupun memakai pakaian yang pantas, tetapi hati dan pikirannya melayang jauh dari misa kudus. Misa akhirnya tampak tidak lagi berbeda seperti acara-acara sosial lainnya. Akibatnya, perayaan Ekaristi menjadi kehilangan maknanya sebagai misteri yang kudus dan agung.

Mungkin kebanyakan orang tidak mengetahui apa itu mantilla atau mungkin ada tanggapan dari orang “Ngapain sih ikut-ikutan agama sebelah pakai kerudung segala?” Ups, jangan berpikiran sempit! Mantilla adalah kerudung atau tudung kepala yang dipakai oleh wanita Katolik saat akan menghadiri perayaan Ekaristi kudus yang terbuat dari bahan brokat yang ringan. Tradisi ini sudah cukup lama ada dalam gereja kita dan mempunyai julukan “Kerudung mempelai Kristus” dimana kita memakainya hanya saat Misa. Jadi, kerudung tidak hanya milik saudara-saudara kita umat Muslim, tetapi di dalam gereja kita cukup mengenal dekat dengan tudung kepala yang satu ini. Kerudung Misa merupakan salah satu bahkan mungkin satu-satunya devosi yang sangat spesifik untuk perempuan. Berkerudung Misa adalah sebuah kehormatan bagi para perempuan dan ini memampukan mereka untuk  memuliakan Allah dengan seluruh keperempuanan mereka serta dengan cara-cara yang khas dan feminin. Kerudung Misa adalah tradisi tua, tradisi kuno yang indah, dan ia menunjukkan nilai dan pentingnya wanita. Itu bukan alat untuk merendahkan wanita atau mengecilkan mereka; itu adalah sebuah kehormatan.

Pemakaian mantilla sendiri pernah diwajibkan oleh Gereja Katolik dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK tahun 1262).Namun setelah direvisi dalam Konsili Vatikan ke II, mantilla pun akhirnya tidak diwajibkan pemakaiannya namun tidak melarang bagi umat yang hendak memakainya (dianjurkan). Sehingga masih ada umat di beberapa belahan dunia  yang masih memegang dan mempertahankan tradisi ini. Kerudung Misa adalah alat devosi pribadi yang dapat membantu kita lebih dekat dengan Yesus dan sebagai tanda ketaatan dan tanda memuliakan TUHAN.Wanita yang memakai kerudung Misa, mengingatkan kita semua bahwa Ekaristi bukanlah pertemuan sosial biasa, bukan acara untuk ramah tamah terhadap sesama kenalan kita. Mantilla tidak hanya dipakai oleh Putri Altar saat bertugas, tetapi juga bisa dipakai oleh wanita Katolik lainnya.
 
Penggunaan mantilla terus berkembang seiring masuknya perayaan Misa Formaekstraordinaria (Misa Latin) di tanah air. Dalam misa tersebut, para wanita diharuskan memakai mantilla, sedangkan dalam misa yang sering kita rayakan ini, tidak ada kewajiban penggunaannya namun sangat dianjurkan bagi kaum hawa. Karena tradisi ini dipandang sangat baik dan tidak bertentangan dengan nilai iman sejati, maka tradisi ini pun mulai dibangkitkan kembali kepada umat Katolik di Indonesia. Namun Yesus adalah Yesus yang sama, maka mantilla bisa dipakai dalam misa apapun, tidak terbatas dalam misa latin saja melainkan bisa juga di dalam misa biasa yang sering kita rayakan di gereja. Wanita yang menudungi kepalanya, secara simbolis menyampaikan pesan berharga kepada para lelaki: ‘tubuhku adalah bait Allah yang kudus, karenanya perlakukanlah tubuhku dengan rasa hormat yang besar. Tubuh dan kecantikanku bukanlah objek yang bertujuan memuaskan hasrat yang tidak teratur yang ada pada dirimu. Aku adalah citra Allah, oleh karena itu hormatilah dan hargailah aku.’ Kerudung Misa mengingatkan pria akan perannya sebagai penjaga kesucian, seperti St Yosef yang selalu melindungi dan menjaga Bunda kita, Perawan Maria. Dengan demikian, Allah dapat kita muliakan dengan cara menghormati dan melindungi keindahan dan keagungan martabat wanita. 

Menggunakan kerudung juga merupakan suatu cara untuk meneladani Maria, dialah yang menjadi role model (panutan) bagi seluruh wanita. Bunda Maria, Sang Bejana Kehidupan, yang menyetujui untuk membawa kehidupan Kristus ke dunia, selalu digambarkan dengan sebuah kerudung di kepalanya. Seperti Bunda Maria, wanita telah diberikan keistimewaan yang kudus dengan menjadi bejana kehidupan bagi kehidupan-kehidupan baru di dunia. Oleh karena itu, wanita mengerudungi dirinya sendiri dalam Misa, sebagai cara untuk menunjukkan kehormatan mereka karena keistimewaan mereka yang kudus dan unik tersebut.

Pemakaian mantilla memiliki dasar bibliah yaitu terdapat di dalam 1 Korintus 11:3-16;“Pertimbangkanlah sendiri: patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung?” “Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya” “Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat.”Ayat inilah yang menjadi salah satu dasar sosialisasi penggunaan kembali mantilla juga alasan dari umat yang mempertahankan tradisi ini. Paulus dalam suratnya tersebut sebenarnya ingin menegur cara berpakaian Jemaat di Korintus mengenai pakaian saat di gereja dan budaya yang sedang berkembang di sana pada saat itu, dimana wanita yang tidak menudungi kepalanya akan dicap sebagai ‘wanita nakal’ dan ‘orang-orang yang tidak ber-Tuhan.’ Namun, tidak ada salahnya bukan jika tradisi kuno yang indah ini kita gunakan kembali dalam Perayaan Ekaristi?

Seorang wanita yang berkerudung Misa pada dasarnya sedang menunjukan eksistensi Allah. Sebuah tanda kerendahan hati seorang wanita, yang ingin menudungi mahkotanya (rambut) di hadapan Allah. Karena ia tidak berkerudung di tempat lain, ia hanya berkerudung di hadirat Sakramen Maha Kudus. Seperti halnya Tabernakel (Kemah Roti/lemari yang berisi Hosti Kudus) yang menjadi pusat di dalam gereja kita. Jika di dalam Tabernakel tersebut berisi Hosti yang sudah dikonsekrasi, tentu akan diselubungi dengan kain. Selain itu, jika Sibori yang di dalamnya terdapat hosti kudus, akan selalu diselubungi dengan kain yang menandakan bahwa ada Tubuh Tuhan di dalamnya. Piala yang berisi Darah Kristus, akan ditudungi dengan kain. Meja Altar ditutupi kain (kecuali saat perayaan Jumat Agung, dimana Hosti Kudus tidak ditempatkan dalam Tabernakel di gereja). Begitu juga bagi perempuan yang menudungi dirinya dengan tudung kepala saat Misa. Ia menunjukan hadirat Tuhan yang Maha Kuasa, yang hadir dalam Perayaan Ekaristi. Jadi kerudung Misa adalah tanda yang paling jelas bahwa ada sesuatu yang spesial, indah, dan kudus yang sedang terjadi di tempat itu, yaitu tanda bahwa Allah sungguh-sungguh hadir!



Sebenarnya, menudungi hati dan kepala dengan mantilla tidaklah menyembunyikan kecantikan seorang perempuan, melainkan memancarkannya dengan cara yang istimewa dan penuh kerendahan hati, seperti halnya dengan para ciptaan kudus lainnya dari Allah yang menudungi kepala mereka (St Perawan Maria, St Bernadete, St Theresia dari Lisieux, Bunda Theresa, biarawati yang menjadi Santa, dll). Tetapi, bermantilla merupakan ekspresi iman bukan sekedar fashion kekinian.

Banyak wanita yang benar-benar telah menudungi hati, pikiran dan kepala mereka saat misa, merasakan damai, beban duniawi terasa pergi menjauh, ketenangan dan cinta yang lebih besar dan lebih mendalam kepada Tuhan. Mereka merasakan suatu kebebasan dimana mereka bisa menghayati dan lebih fokus pada Perayaan Ekaristi. Memang terkadang pikiran kita saat misa suka melenceng kemana-mana: apakah saya harus pergi ke supermarket, jemuran sudah kering atau belum, menu apa yang ingin saya masak saat makan siang? Tetapi, ketika Anda masuk ke gereja dengan berkerudung, itu bagaikan suatu petunjuk untuk berhenti. Semua pikiran itu harus disingkirkan dan Anda harus memberikan seluruh perhatian Anda kepada Tuhan. Ada sebuah keheningan dalam jiwa saat kita mengenakan kerudung Misa. Kerudung itu menarik kita kepada Yesus. Kerudung menarik kita ke dalam suasana doa. Ia membuat kita ingin menjadi kudus. Ia menarik kita kepada apa yang berada jauh di dalam diri kita, sebuah inti feminim yang dimiliki oleh para wanita.

Jika seandainya Anda adalah seorang wanita yang memakai mantillamu saat misa, dan Anda menjadi takut dan malu karena dilihat, dicibir bahkan ditegur oleh orang banyak di dalam gereja karena dianggap ikut-ikutan agama lain, INGATLAH! Bahwa apa yang mereka katakan bukanlah tujuanmu sama sekali. Kamu harus tahu, siapa yang ingin kamu lihat di gereja. Kamu datang bukan untuk melihat orang-orang itu. Tetapi kamu datang untuk melihat Tuhan! Anda tidak perlu peduli dengan apa yang orang pikirkan, tetapi Anda harus peduli pada apa yang Tuhan pikirkan tentang dirimu. Tetaplah fokus pada cinta dan keimananmu kepada Tuhan. Ini bukan tentang, “Hei, lihat saya! Saya lebih suci daripada kamu!” Tidak!. Ini adalah tentang saya menunjukkan penghormatan, ketundukan, dan cinta kepada Yesus. Itulah tujuannya!

Memang benar, memakai mantilla saat Misa memerlukan pertimbangan dan  kesiapan batin yang begitu mendalam. Tetapi, hal itu merupakan langkah awal yang bagus dengan memaknai maksud dan arti dari mantilla itu sendiri. Kami Misdinar St Tarsisius mendoakan Anda semua semoga suatu saat dapat menemukan keberanian untuk memakainya dan menikmati kasih Tuhan lebih mendalam lagi. Dan terus ikuti perkembangan sosialisasi ini dengan mem-follow laman instagram kami di @ppasttarsisiusskw. Ayo bermantilla bagi Tuhan! (Nicolas Gratia Gagasi)
 

Kerudung Mantilla: Satu Dari Sejuta Tradisi Iman Katolik

Kerudung Mantilla: Satu Dari Sejuta Tradisi Iman Katolik


Kerudung adalah   kain yang berfungsi untuk menutupi kepala seorang perempuan. Pada gambar di atas, ada banyak kerudung yang dipakai oleh para wanita dengan tujuan dan maksud  yang mulia. Mantilla adalah kerudung yang dipakai oleh Wanita Katolik setiap akan menghadiri Adorasi maupun Misa Kudus. Pemakaian Mantilla pernah diwajibkan pada praKonsili Vatikan II kemudian direvisi dan diganti menjadi anjuran sehingga tidak ada salahnya jika ada umat yang memakainya di gereja saat misa atau pun melayani di altar. Dasar Kitab Suci mengenai penggunaan kerudung dalam liturgi terdapat dalam 1 Korintus 11:2-16 dimana dikatakan “Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat… Pertimbangkanlah sendiri: patutkah seorang perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung?” Walaupun dalam suratnya tersebut, St Paulus  ingin menegur jemaat di Korintus tapi tidak ada salahnya bukan jika tradisi ini dibangkitkan kembali.

Tak bisa dimungkiri bahwa tradisi pemakaian Mantilla pernah hidup dalam Gereja Katolik dan pernah menjadi kewajiban. Namun seiring perkembangan zaman, tradisi ini mulai terlupakan. Akhirnya kebanyakan mindset atau pola pikir seseorang beranggapan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan kerudung, pasti berkaitan dengan Wanita Muslim. Bahkan ada celotehan yang mengatakan Mantilla itu Jilbab dan mirip nenek-nenek. Padahal wanita-wanita Yahudi, wanita Katolik di Korea Selatan dan Amerika Latin, para biarawati, wanita Hindu-India dan dari banyak Negara juga memakai penudung kepala sehingga tidak ada istilah “ikut-ikutan” di antara semuanya ini. Bahkan, Bunda Maria sering digambarkan dengan memakai kerudung dan jika kita memperhatikan pada lukisan Dewi Kwan Im dalam agama Buddha Ia pun digambarkan mengenakan kerudung. Maka, sesungguhnya kerudung adalah hal yang lumrah yang sudah begitu lama dikenal di peradaban manusia.

Berdasarkan kegunaannya antara Mantilla dan  Jilbab memang sangat berbeda. Secara umum, jilbab dipakai dengan menutupi kepala, leher sampai dada dan penggunaannya untuk setiap hari. Sedangkan mantilla hanya dipakai untuk menutupi kepala seorang perempuan Katolik saat di hadapan Sakramen Maha kudus dimana ia (yang memakai Mantilla) menekankan feminimitas dan keindahan dirinya, namun ia secara bersamaan juga menunjukan dengan cara yang sedemikian rupa sehingga membangkitkan kesadaran bahwa Allah yang ada di atas Altar jauh lebih indah dari pada dirinya. Suatu sikap kerendahan hati yang ingin memperlihatkan Allah. Kerudung Misa menjadi sebuah tanda bagi orang lain, karena kerudung itu menyatakan bahwa ada sesuatu yang berbeda yaitu: bahwa Allah sungguh hadir di tengah kita. Dan apapun yang dapat kita lakukan untuk membantu memusatkan perhatian kepada-Nya, untuk menunjukkan bahwa Misa itu spesial, bahwa Misa itu khidmat, bahwa Misa itu sesuatu yang harus kita perlakukan dengan serius, dan bahwa kita perlu mempersiapkan seluruh diri kita untuk Misa Kudus. Kemudian  memakai kerudung misa dapat mengajak umat lainnya untuk berpakaian yang pantas saat akan pergi ke gereja. Selain itu, kerudung misa dapat membuat Anda untuk lebih focus dalam Perayaan Ekaristi dan membantu Anda untuk melepas sejenak beban duniawi untuk menikmati kasihTuhan dalam perayaan Ekaristi.

Mantilla menyerupai kerudung pengantin, karena yang memakainya adalah para mempelai Kristus yang sungguh merasakan kehadiran-Nya yang penuh mesra; dimana Ia menyerahkan Tubuh dan Darah-Nya bagi dunia. Ah, betapa beruntungnya para biarawati yang seumur hidup menggunakan gaun dan kerudung pengantin mereka.
 
Di paroki kita, selain Putri Altar pertama yang memakai Mantilla di Kalimantan, ternyata Tuhan juga telah mengetuk hati seorang wanita yang baru setahun menjadi Katolik; dimana Tuhan memanggilnya untuk lebih dekat, lebih mendalami kasihNya dan lebih militant dalam gereja-Nya. Dia akrab disapa dengan nama Maria Venny. Ia merasa terpanggil untuk memakai Mantilla setelah ia melihat postingan foto dimana dua orang idolanya memakai Mantilla untuk lebih menghormati Tuhan saat Misa dan panggilan tersebut semakin kuat saat ia melihat Putri Altar memakainya saat bertugas. Saat memakai Mantilla untuk pertama kalinya di MisaPertama, ia tidak merasa malu, karena ia sudah siap di dalam hatinya dan terbukti baginya bahwa Mantilla membantunya untuk lebih focus saat misa. Dan ini sudah menjadi minggu ke-lima ia bermantilla bagi Tuhan. Ia tidak peduli dengan keadaan orang sekitarnya, dimana mungkin banyak yang melihat atau mungkin mencibirnya karena memakai semacam ‘jilbab’ di kepalanya karena tujuan awalnya untuk datang ke gereja yaitu hanya untuk bertemu dan mendengarkan Tuhan; bukan untuk mendengarkan apa kata orang, sehingga dia enjoy saat memakainya.
 
Mantilla adalah simbol ketaatan, kemurnian dan kesederhanaan. Hal tersebut itu harus dimengerti dan dihayati, tidak sekadar dipakai. Selain itu juga harus tercermin dalam ucapan dan tindakan dalam membangun persaudaraan sejati dan perdamaian dengan sesama. Ketika simbol hanya menjadi simbol dan tidak berbicara dalam hidup, maka ia menjadi simbol yang mati. Bagi Anda yang sudah siap bermantilla, Anda bias mendapatkannya di Instagram @twideemantilla atau kunjungi website  twideemantilla.blogspot.co.id. Semoga dengan hadirnya kembali mantilla dalam p perayaan Ekaristi di paroki kita, makna Misa sebagai misteri yang kudus tetap terjaga. Tuhan menunggu mempelai-Nya dalam Misa Kudus. Ayo bermantilla bagi Tuhan!
(Putri Altar St Tarsisius Paroki Singkawang)

1 Des 2016

Hitam Putih di Balik Kerudung Misa

Hitam Putih di Balik Kerudung Misa


Sudah sejak tanggal 10 Juli 2016, Putri Altar Paroki Singkawang mengenakan mantilla setiap kali melayani di altar dan dalam perayaan liturgi lainnya demi menyadarkan umat betapa kudusnya misa yang kita rayakan. Ada berbagai banyak kalangan yang sangat mendukung ini karena ada alasan historis, teologis dan psikologis dalam penggunaan mantilla. Namun, tak sedikit yang menentang dan mempertanyakan devosi tradisional ini. Kami merasa bahwa, mereka yang menentang ini bukan bermaksud untuk berniat jahat, melainkan karena minimnya katekese (pengajaran) mengenai devosi yang satu ini. Kali ini kami akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang pernah diajukan kepada kami supaya tidak ada hitam-putih dibalik mantilla serta memberi pertanggungjawaban atas pengharapan yang ada pada kami (bdk 1 Petrus 3:15) 

1. Siapa yang memberi izin kepada kalian untuk menggunakan mantilla?

Kami meminta izin ‘langsung’ kepada Mgr. Agustinus Agus setelah pulang dari tugas pelayanan altar dari upacara pemberkatan gedung Gereja St. Mikhael yang baru di Pangmilang pada hari Sabtu, 18 Juni 2016. Beliau sangat mengharapkan dengan adanya mantilla, umat Paroki Singkawang bisa semakin khusyuk, menghormati dan menghargai misa, serta lebih militan (setia) kepada Yesus dan Gereja-Nya yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik.

2. Apa dasar kalian untuk membangkitkan mantilla?


Mantilla adalah tradisi tua gereja kita. Dasar kami untuk membangkitkan mantilla adalah dari 1 Korintus 11:1-16 di mana St. Paulus meminta perempuan untuk berkerudung saat menghadap Tuhan. Jika kita lebih meneliti dari setiap ayat pada perikop tersebut, St. Paulus mengatakan bahwa rambut panjang yang diberikan kepada perempuan itu untuk menjadi penudung bagi dirinya. Namun jika demikian, mengapa St. Paulus meminta perempuan untuk berkerudung padahal ia mengatakan bahwa rambut diberikan oleh Tuhan sebagai penudung? Alasannya sama dengan alasan mengapa pasangan menikah menggunakan cincin kawin, padahal Sakramen Perkawinan sah-sah saja tanpa cincin. Ini karena manusia membutuhkan tanda kelihatan dari realita yang tidak kelihatan. Manusia adalah makhluk jasmaniah yang sangat merespon terhadap simbol-simbol yang terlihat. Menggunakan mantilla saat misa, menunjukan bahwa Allah sungguh hadir dalam Misa Kudus, di mana surga turun ke bumi demi menghormati Tuhan dalam rupa roti dan anggur. Inilah tanda bahwa kerudung mantilla menunjukan kenyataan dari realita yang tidak kelihatan. Selain itu juga berdasarkan Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1262 “…akan tetapi, wanita harus menudungi kepalanya dan harus berbusana santun, terutama ketika mereka mendekati Altar Tuhan.” Putri Altar mempunyai tugas yang sama dengan Putra Altar. Karena itu ketika Putri Altar mendekati apalagi melayani di Altar, mereka senantiasa menudungi diri dengan mantilla, walaupun hal tersebut bukanlah lagi suatu kewajiban setelah berlakunya KHK 1983. 

3.Nah, kalau bukan kewajiban kenapa harus memakainya?
 
    Iman Katolik memiliki aturan-aturan dasar dan dogma-dogma fundamental yang wajib diimani oleh siapapun yang merasa diri sebagai Katolik. Namun, ada lebih banyak lagi hal-hal yang tidak diwajibkan namun sangat baik untuk dilaksanakan. Misalnya berpuasa satu jam saja sebelum menerima Komuni Kudus atau melakukan puasa dan pantang di luar masa prapaskah. Semenjak diberlakukannya KHK 1983, mantilla berada di nasib yang sama seperti kedua contoh diatas. Memang bukan kewajiban, namun bukan berarti dikesampingkan begitu saja. Lantas, apa yang menjadi dasar pemakaian mantilla? Kasih yang dalam kepada Yesus! Kasih yang sejati tidak akan melakukan hal yang minimal, melainkan ia akan melakukannya lebih dan lebih lagi. Bermantilla di hadapan Sakramen Mahakudus adalah salah satu cara untuk mencintai Kristus dengan cara “ekstra”, melampaui batas-batas minimal yang ditetapkan gereja.

4.Ngapain bermantilla? Lagian Tuhan memandang hati dan saya sudah mencintai-Nya dengan hati saya!


Argumen “Yang penting Allah melihat hati (bdk 1 Samuel 16:7)” selalu terngiang-ngiang saat membahas ungkapan-ungkapan iman yang bersifat jasmaniah. Mempelajari iman Katolik? Ah iman tak perlu diperdebatkan yang penting hatinya. Berusaha menjalankan liturgi dengan benar? Ah Tuhan melihat hati, buat apa berliturgi tapi hatinya jahat. Bermantilla? Ndak usah aneh-anehlah! Macam orang Islam! Yang penting Tuhan melihat hati. Kita harus berhati-hati dalam mengutip atau menggunakan ayat-ayat suci sebagai pembenaran atas kemalasan pribadi atau ketidaksukaan dengan praktik ini. Saat akan mengutip, perhatikan juga ayat selanjutnya. Seloroh yang “penting hatinya” seolah mengatakan kalau jiwa dan tubuh manusia tidak berjalan berbarengan. ‘yang penting hati’ ini bisa jadi betul, asalkan hati tersebut sudah dimurnikan oleh Sakramen Ekaristi, Sakramen Tobat dan hidup kudus.
 
Tuhan telah bersabda “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesama mu manusia seperti dirimu sendiri” (bdk Mat 22:37). Ia menuntut kita untuk mengasihi-Nya dengan segenap hati, jiwa, kekuatan dan akal budi. Gelora kasih yang sungguh sejati dan bukan gombal tentu akan mendorong tubuh untuk melakukan segala sesuatu demi yang terkasih. Mengenakan Mantilla hanyalah salah satu usaha kecil dan sederhana untuk memenuhi tuntutan kasih yang tinggi itu.

5. Putri Altar kita mengenakan semacam ‘hijab’! Apakah mantilla hanya dipakai oleh anak PPA yang putri?

Ini adalah keberatan yang mereduksi tradisi berkerudung sebagai kebiasaan Islami saja, tanpa berpikir bahwa berkerudung dalam ibadah merupakan praktik yang umum dilakukan oleh komunitas-komunitas Yahudi, Kristen Ortodoks, Hindu dan lain-lain. Sebagai devosi Ekaristis, wanita Katolik hanya mengenakannya di hadapan Sakramen Mahakudus, entah itu saat Misa, adorasi, pengakuan dosa, dan lain-lain. Selain itu, sangat jelas kalau bentuk mantilla sangat berbeda dengan hijab Muslim. Mantilla tidak hanya dipakai oleh Putri Altar, namun dapat digunakan oleh semua wanita Katolik tanpa terkecuali. Putri Altar mengenakan mantilla ingin menegaskan bahwa misa yang kita rayakan itu kudus adanya. Oleh sebab itu, sebagai umat beriman, hendaknya menaruh hormat yang besar kepada Yesus yang hadir dalam perayaan Ekaristi sehingga Misa tidak menjadi suatu ajang pertemuan sosial dengan kenalan kita.

6. Gereja selalu memperbaharui diri. Mantilla itu tradisi kuno!
   
Memang benar zaman telah berubah dan terus berkembang. Bahkan dalam kehidupan realitas di negara kita, banyak orang tetap mempertahankan kebudayaan mereka tanpa mesti hanyut dalam perkembangan zaman. Begitu juga dengan mantilla. Mantilla mempunyai nilai-nilai  Katolik yang mencangkup penghormatan yang pantas kepada Allah, kemurnian, perjuangan menuju kekudusan, kerendahan hati dan martabat perempuan. Apabila itu semua terdengar asing, kuno dan radikal dan mantilla dianggap melawan arus modern, itu bukan karena nilai-nilainya yang salah melainkan karena budaya zaman ini yang banyak menyeleweng.
 
7.Busana apa yang cocok saat dipadukan dengan Mantilla? Apakah kerudung misa harus mantilla? Apakah Mantillanya harus diberkati terlebih dahulu?

Dari sudut pandang fashion, mantilla tidak cocok dipadukan dengan baju yang terlalu santai, terlalu ramai, terbuka, atau terlalu ketat. Maka coba luangkan waktu untuk memikirkan pakaian apa yang pantas untuk menghadiri misa kudus. Kalau bisa, kenakan rok yang santun dan tidak ketat dengan panjang di bawah lutut. Memang memilih pakaian untuk misa sudah seharusnya sedikit merepotkan. Jika kita sendiri sering ribet dengan pakaian untuk pesta buatan manusia, mengapa kita sendiri tidak mau repot untuk menghadiri pesta perkawinan kita sendiri dengan Kristus?
 
Bagi Anda yang sudah tergerak untuk memuliakan Kristus secara khusus dengan bermantilla namun tidak bisa beli secara online maupun tidak sempat membuat sendiri, kerudungnya tidak harus mantilla. Anda dapat menggunakan kain-kain lainnya seperti syal, pashmina, atau bandana besar. Tidak ada keharusan untuk meminta berkat imam atas mantilla yang akan dikenakan, tetapi tentu hal tersebut sangat baik. Perlu diingat bahwa mantilla yang sudah diberkati tentu harus diperlakukan dengan hati-hati.

8. Bukankah tradisi berkerudung hanya dipakai di Misa Latin saja?
 
Betul, kebiasaan berkerudung merupakan warisan dari Misa Latin Tradisional/Traditional Latin Mass (TLM), yang kini banyak dikenal sebagai Misa Forma Ekstraordinaria. Namun Yesus yang kita sembah, baik dalam TLM maupun Misa Novus Ordo (tata cara misa yang sekarang) adalah Yesus yang sama dan seharusnya kita mengenakannya dalam bentuk misa apapun, tidak terbatas dalam TLM 

9.Apabila kebiasaan berkerudung, terutama dalam lingkup peribadatan, sudah lama menjadi tradisi Katolik, apalagi didukung oleh landasan bibliah (1 Korintus 11:1-16) dan tulisan  para Bapa Gereja, bahkan pernah disuratkan secara eksplisit dalam KHK 1262, mengapa Hukum Kanonik yang baru (KHK 1983) tidak lagi mencantumkannya? Bukankah Gereja Katolik menghormati tradisi para rasul? Bukankah hal tersebut seolah-olah terputusnya sebuah warisan tradisi yang sudah berjalan hampir 2000 tahun, nyaris setua usia gereja itu sendiri? Adakah kaitannya dengan menurunnya rasa hormat kepada Ekaristi?
 
Pertanyaan-pertanyaan di atas sungguh tidak mudah dijawab. Banyak yang mengaitkannya dengan fenomena revolusi seksual yang terjadi tahun 1960-1970an di belahan bumi barat di mana lahirnya ideologi feminisme radikal, serta normalisasi kontrasepsi, aborsi dan seks bebas. Ada juga yang mengkaitkan dengan “hanya” pergeseran budaya akibat moderenisasi di segala bidang, terutama dalam hal keagamaan. 

Sampai sekarang, pertanyaan-pertanyaan tersebut masih menjadi bahan permenungan bagi kita. Jika kita sudah mengerti bahwa Allah sendiri yang mengkehendaki wanita untuk berkerudung (bdk 1 Korintus 11:2-16) mengapa kita yang sudah mengetahuinya tidak mau melakukan kehendak Allah? Mantilla adalah sarana devosi pribadi bukan sebuah aksesoris yang menunjukan rasa rendah hati dan kesederhanaan di hadapan Tuhan. Namun hanya mengenakan mantilla saja tanpa dibarengi kedisiplinan rohani lainnya, maka mantilla tersebut tidak ada artinya lagi.

Meskipun kini praktik berkerudung dalam misa bukan lagi kewajiban secara kanonik, namun mengingat sejarah ajaran dan penggunaannya yang begitu panjang serta bukan tanpa alasan, maka praktik ini sangatlah baik untuk dihidupkan kembali sebagai devosi pribadi seperti halnya Saudara Seiman kita di Korea Selatan dan Negara Eropa lainnya yang mempertahankan tradisi ini. Mari mengungkapkan iman kita dengan bermantilla dan cintailah tradisi! (PPA St. Tarsisius Paroki Singkawang)


24 Mar 2020

EKARISTI ONLINE BERSAMA DENGAN TETAP MENGINDAHKAN SERUAN SOCIAL DAN PHYSICAL DISTANCING

Saudara-saudari terkasih dalam Tuhan kita Yesus Kristus, menyikapi suasana pandemi yang tengah melanda bumi ini, Gereja Katolik sedunia tidak lepas merasakan imbasnya. Tentunya hal ini tak lantas membuat kita hanya meratap, bersedih, berkeluh kesah tanpa berbuat apapun. Gereja Katolik kemudian mengambil langkah melaksanakan Ekaristi atau misa online yang menjembatani kedahagaan umat bertemu langsung menghadap Bapa melalui misa.

Adanya misa online bukan berarti kita yang di rumah tinggal menonton seenaknya dan sesuka hati kita. Ada cara-cara yang harus kita lakukan dan penuhi ketika ingin mengikuti misa secara online juga ya!

Yang pertama, yang harus kita lakukan tentu kita harus mempersiapkan kuota yang mencukupi agar ketika misa sudah berlangsung tidak ada istilah eh kehabisan kuota atau lain hal. Kemudian akan lebih baik jika kita juga mempersiapkan perlengkapan misa seperti salib dengan lilin di sampingnya untuk membantu kita semakin menghayati Ekaristi walaupun secara online.

Yang kedua, seperti biasa kita mulai mempersiapkan hati dan pikiran kita agar tetap fokus kepada misa, karena kita mau menghayati Allah yang hadir saat perayaan Ekaristi walaupun kita di rumah, percayalah, sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka." (Mat 18:20)

Yang terakhir, ketika kita hendak misa secara online, kita tidak seharusnya mengajak orang-orang yang ada di luar untuk mengikuti atau istilah lainnya (nobar: nonton bareng). Menapa? Karena sama saja ketika kitsa mengajak orang ramai-ramai untuk mengikuti misa kita sudah menyalahi aturan social distancing yang mengharuskan kita di rumah saja, kecuali jika dalam satu rumah kita memang satu keluarga dan ingin merayakan Ekaristi bersama dengan keluarga yang ada di rumah. Hal itu diperbolehkan tetapi ingat kita juga harus saling menjarak sejauh lebih kurang satu meter.

Ada hal yang terasa sumbang ketika kita mendengar komentar miring, ibadah kok online, misa kok online! Tenang, jangan langsung berkecil hati. Misa online adalah sarana bukan tujuan utama yang lantas bisa disimpangkan menjadi alasan untuk kita bermalas-malasan memilih untuk tidak beribadah atau malah bertindak ekstrim mengecam para gembala gereja yang telah berupaya mencari jalan tengah penyelesaian permasalahan peribadahan. Dan sebenarnya misa online bukan hanya baru terjadi saat pandemi menguasai atmosfer bumi ini, namun pada situasi krisis tertentu pun Ekaristi online seringkali dijalankan dan diperbolehkan. 

Jadi ingat ya, misa online bukan berarti kita mengajak orang untuk nonton bareng. Cukup di rumah saja kita mengikuti misa dengan khusyuk dan menghayati pesan-pesan yang disampaikan romo ketika misa berlangsung. Satu hal yang perlu kita ingat, Gereja Katolik tetap menjadi salah satu garda depan penyeru instruksi pemerintah yang telah berupaya sekuat tenaga melindungi rakyatnya dengan berbagai upaya.

Yuk kita misa dan berdoa, demi kebaikan dan kesembuhan bumi kita agar segera terhindar dari Virus Corona, dan kita semua dilindungi oleh segala marabahaya yang dapat menimpa kita.

Amin..  Tuhan memberkati kita semua!

KATEKESE MISA ONLINE




26 Nov 2016

Semangat OMK Keuskupan Agung Pontianak dalam INDONESIAN YOUTH DAY II MANADO 2016: Indonesian Youth Day 2016....Go IYD..Go IYD..Go IYD..

Semangat OMK Keuskupan Agung Pontianak
dalam INDONESIAN YOUTH DAY II MANADO 2016:   
Indonesian Youth Day 2016....Go IYD..Go IYD..Go IYD..

IYD atau Indonesian Youth Day adalah Hari Orang Muda Se-Indonesia yang merupakan perjumpaan OMK Se-Indonesia. Acara ini digagas oleh Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia dan disetujui oleh para Uskup. IYD pertama kali diselenggarakan pada tahun 2012 di Sanggau. Melihat semangat dari kaum muda pada IYD yang pertama, maka disepakati bersama untuk melaksanakan kegiatan akbar ini setiap lima tahun sekali. Kegiatan Indonesian Youth Day II pun disepakati untuk dilaksanakan di Keuskupan Manado pada tahun 2016 dengan tema “Orang Muda Katolik: Sukacita Injil di Tengah Masyarakat Indonesia yang Majemuk”. 

Tahun ini Keuskupan Agung Pontianak mengutus 76 orang peserta dari berbagai paroki yang berada dalam lingkup Keuskupan Agung Pontianak. Sebelum berangkat ke Manado sebagian besar peserta mengikuti PRA IYD I di Wisma Immacullata pada 22 - 24 Juli 2016 dan PRA IYD II di Rumah Retret Tirta Ria pada 28-29 September 2016. Kedua kegiatan tersebut dilaksanakan di Pontianak dengan maksud menyatukan dan mengakrabkan seluruh peserta dalam memahami tema serta maksud dan tujuan diselenggarakannya IYD II  tersebut.

Tanggal 30 September 2016 seluruh peserta IYD Keuskupan Agung Pontianak berangkat dalam 2 kelompok terbang menuju Manado dari Bandara Internasional Supadio.  Kloter kedua tiba di Bandara Sam Ratulangi Manado tepatnya pukul 20:00 WITA, para peserta IYD KAP disambut dengan musik kolintang dan bersama kloter pertama yang sudah tiba lebih dahulu kami langsung dibawa Panitia lokal menuju Paroki Maria Ratu Damai, Uluindano, Tomohon sebagai tempat Live In peserta IYD KAP. Selama dalam perjalanan menuju Tomohon, kami merasakan sejuknya udara malam dan memperoleh banyak informasi tentang semua tempat yang dilalui. Akhirnya, peserta IYD KAP tiba di depan Gedung Kristianitas, di sana sudah ada begitu banyak umat paroki Maria Ratu Damai yang menunggu kedatangan peserta IYD KAP. Selanjutnya, kami disambut dengan Tari Kabasaran; tari penyambutan tamu khas Minahasa, yang membawa kami masuk gedung pertemuan paroki tersebut. Sambil bergerak masuk setiap peserta IYD KAP mendapatkan setangkai bunga segar dari umat paroki untuk merepresentasikan kota Tomohon sebagai kota bunga. Setelah itu acara dilanjutkan perkenalan dan makan malam bersama kemudian acara ramah tamah di mana kami dipertemukan dengan keluarga angkat yang dibagi panitia secara acak. Keseluruhan pelaksanaan IYD II di Keuskupan Manado berlangsung selama 6 hari. Dimulai dari hari Sabtu tanggal 1 Oktober 2016 sampai Kamis 6 Oktober 2016.

Peserta IYD KAP menghabiskan tiga hari pertama bersama keluarga angkat dan mengikuti berbagai macam kegiatan sehari-hari mereka. Banyak sekali kegiatan menyenangkan yang diikuti. Ada yang membantu orang tua angkatnya berjualan ikan, sayur, bertani, buka bengkel hingga menjadi tukang bangunan. Semua itu dilakukan dengan maksud agar para peserta mendapatkan pengalaman iman melalui interaksi lansung dengan keluarga angkat maupun masyarakat setempat dalam suasana persaudaraan penuh keakraban. Selain itu ada banyak sekali kegiatan rohani yang diikuti seperti bible sharing, misa dan doa rosario. Pada hari keempat peserta IYD KAP dan 0MK paroki Maria Ratu Damai Tomohon saling bertukar menu makanan. Dalam acara ini suasana kekeluargaan sungguh terasa erat sekali.

Setelah selesai bertukar makanan dan santap bersama, kami berangkat menuju garis start Defile IYD 2016 di Stadion Koni di Kota Manado. Defile atau pawai tersebut diikuti oleh seluruh kontingen IYD 2016 dari 37 keuskupan seluruh Indonesia ditambah dari keuskupan Kinabalu, Sabah, Malaysia. Defile dimulai pada pukul 15:00 WITA dan berakhir pada pukul 17:30 WITA di Stadion Klabat. Acara kemudian dilanjutkan dengan misa konselebrasi pembukaan IYD II Manado 2016 pada pukul 18:00 WITA, dipimpin oleh Uskup Manado, Yang Mulia Mgr.Yosef Suwatan, MSC bersama uskup lainnya, termasuk Uskup Agung Pontianak, Yang Mulia Mgr.Agustinus Agus. Selesai misa acara dilanjutkan dengan makan malam dan penampilan pentas seni oleh tuan rumah. Selesai acara di stadion Klabat ini, seluruh peserta diarahkan untuk menuju tempat puncak acara di Amphitheater Emmanuel Youth Center, di  Lotta, Pineleng. Peserta IYD Keuskupan Agung Pontianak mendapatkan tempat tinggal pada keluarga-keluarga di sekitar area komplek Amphitheater ini. 

Hari kelima tepatnya hari Rabu tanggal 5 Oktober 2016 dimulainya kegiatan inti dari seluruh rangkaian IYD II Manado 2016 yang dihadiri seluruh peserta. Kegiatan diawali dengan misa pagi dan dilanjutkan dengan NGOPI atau Ngobrol Pintar. NGOPI merupakan kegiatan sharing yang berisikan diskusi kelompok dan pembahasan materi yang dirancang menjadi 15 kelas terpisah dengan tema yang berbeda-beda dari berbagai narasumber : uskup, pejabat katolik, tokoh politik / masyarakat, maupun figur-figur orang muda katolik dalam bidang masing-masing. Beberapa tema yang menarik adalah: “OMK Mewartakan Evangeli Gaudeum (Sukacita Injil)”, “Aku Bangga Menjadi Katolik”, “OMK Berdialog Agama atau Kepercayaan Lain”, “OMK dan Budaya dalam Era Globalisasi atau MEA”, dan OMK Mendengar Panggilan Hidup Selibat atau Berkeluarga.” Tema-tema tersebut merupakan hal-hal yang harus dihadapi para Orang Muda Katolik dalam kehidupannya sehari-hari. Setelah mengikuti kegiatan sharing tersebut, diharapkan para peserta dapat membagi ilmu dan materi yang  didapatkannya kepada sesama. Setelah itu acara dilanjutkan dengan kegiatan jalan salib, makan malam, doa taize, pengakuan dosa dan berdialog dengan sosok orang tua.

Hari kamis tanggal 6 Oktober 2016 diawali dengan materi yang dibawakan antara lain oleh public figure seperti Daniel Mananta dan Wregas Bhanuteja. Setelah itu acara dilanjutkan dengan makan siang, menjelang misa penutup panitia IYD II Manado menghadirkan MENPORA Bp. Imam Nahrawi. Beliau memberikan motivasi dan semangat bagi Orang Muda Katolik agar semakin berkembang dan menjaga kesatuan NKRI dalam keberagaman. Setelah itu acara dilanjutkan dengan misa konselebrasi penutupan IYD II Manado 2016 dipimpin oleh Ketua Komisi Kepemudaan KWI, Mgr. Pius Riana Prapdi. Setelah misa berakhir acara diteruskan dengan makan malam bersama dan penampilan pentas seni dari setiap regio keuskupan. Peserta dari KAP menampilkan sendratari tentang kehidupan orang muda katolik dengan judul “Tanah Borneo”. Setelah semua rangkaian acara berakhir IYD II Manado 2016 resmi ditutup oleh Uskup Manado Mgr. Josef Swatan, MSC.

Hari Jumat tanggal 7 Oktober 2016 pagi kami dijemput oleh teman-teman OMK Paroki Maria Ratu Damai Tomohon dan rombongan untuk mengikuti city tour di sekitar kota Tomohon. Kami berjalan-jalan ke bukit doa, seminari, Danau Linau dan kembali ke rumah orang tua angkat masing-masing untuk persiapan menuju tempat acara perpisahan bersama umat Paroki Tomohon sekaligus menghadiri ulang tahun Pastor Paroki Maria Ratu Damai. Pada saat acara OMK Paroki Maria Ratu damai dan umat menampilkan berbagai macam penampilan dan dilanjutkan dengan pemberian souvenir kepada orang tua angkat masing-masing peserta IYD KAP. Sovenir-sovenir tersebut sebelumnya memang sudah dipersiapkan terlebih dahulu sebelum keberangkatan. Acara dilanjutkan dengan malam keakraban hingga pukul 02:00 WITA.


Akhirnya, Sabtu 8 Oktober 2016 dini hari kami melakukan persiapan menuju bandara untuk pulang. Pesawat kami berangkat pukul 06:15 pagi dan siang harinya kami tiba dengan selamat di Pontianak. Senang sekali bisa menghadiri IYD II di Manado karena kami bisa menyaksikan dan merasakan keramahtamahan umat di sana. Kami juga bisa merasakan bagaimana menyatu dalam kehidupan dengan budaya yang berbeda. Tema IYD II “OMK: Sukacita Injil di Tengah Masyarakat Indonesia yang Majemuk” pun sangat terasa sekali. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan juga sangat membantu kami dalam memaknai kehidupan sehari-hari agar menjadi lebih baik lagi di masa depan. Semoga dengan semangat IYD, Orang Muda Katolik bisa menghayati iman mereka di tengah masyarakat yang majemuk dengan mewartakan sukacita Injil. Go IYD! Go IYD! Go IYD!! Salam Sukacita Injil. (OMK-KAP)


17 Agu 2018

100% KATOLIK 100% INDONESIA ALA GEREJA ST FRANSISKUS ASSISI DI 73 TAHUN HUT RI

100% KATOLIK 100% INDONESIA ALA GEREJA ST FRANSISKUS ASSISI DI 73 TAHUN HUT RI




Suasana hening dan khidmat terasa jelas di halaman Gereja Katolik St Fransiskus Assisi Singkawang pada rambang petang 17 Agustus 2018. Pukul 17.10 WIB, gereja yang berada di jalur protokol Singkawang ini menggelar upacara penurunan bendera dan dilanjutkan misa syukur atas 73 tahun kemerdekaan RI.

Bertindak selaku inspektur upacara adalah pastor paroki, Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFM.Cap, sedangkan komandan upacara adalah Serma Matius dari RINDAM XII/TPR. Untuk personil TNI sendiri diturunkan 8 orang dari RINDAM dan 2 orang dari KODIM 1202 Singkawang. Sementara petugas penurun bendera, paduan suara serta petugas liturgi lain dipercayakan pada Sekolah Menengah Atas St Ignatius Singkawang.

Usai upacara penurunan bendera digelar, prosesi berikutnya dilanjutkan dengan misa syukur. Bertindak sebagai selebran utama adalah Pastor Gathot dan konselebran, Pastor Fidelis, OFM.Cap. Dalam misa yang berdurasi 1,5 jam ini tak putus lagu pujian maupun lagu wajib nasional dikumandangkan. Pada homili singkatnya, Pastor Gathot menitikberatkan tema HUT RI ke-73 dengan menyampaikan kepada umat, "Kerja KitaAdalah Prestasi Bangsa" dan tidak lupa mengajak umat untuk selalu mensyukuri berkat merdeka yang telah diperjuangkan dan diraih oleh para pejuang serta tak putus mengisinya dengan karya yang mampu mengangkat harkat derajat bangsa. 

Bahwasanya bukan hal baru gereja Katolik Paroki Singkawang menggelar misa perayaan syukur Hari Kemerdekaan RI, namun penambahan upacara penurunan bendera kiranya baru dilaksanakan dua tahun terakhir. "Besar harapan gereja dengan penambahan upacara penurunan bendera  umat akan meresapi semangat nasionalis dan patriotisme dalam kehidupan imannya, 100% Katolik, 100% Indonesia!" ungkap pastor paroki ketika ditemui usai memimpin misa.

Tidak berhenti sampai di situ, usai misa syukur digelar, umat yang hadir juga diajak untuk menikmati hidangan ala kadarnya yang telah dipersiapkan oleh pihak gereja. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk rasa syukur gereja dalam rupa berkat yang bisa dinikmati oleh seluruh umat di hari merdeka. (Hes)



Terkirim dari tablet Samsung.

10 Sep 2015

MISA SYUKUR UNTUK INDONESIA

MISA SYUKUR UNTUK INDONESIA


Derap langkah kaki yang tegap dan ritmis diperlihatkan oleh 17 siswa-siswi  SMA Santo Ignasius Singkawang.  Mereka dipilih dan didapuk sebagai “paskibra” yang membawa 17 bendera Merah Putih. Angka 17 sengaja dipilih sebagai lambang dari tanggal 17 Agustus. Perarakan mereka memasuki gereja paroki Singkwang mengawali Misa Syukur Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Acara yang dimulai pukul 18.00 sore pada hari Minggu 16 Agustus 2015 itu dihadiri oleh kebanyakan kaum muda. Hujan yang sempat mengguyur kota Singkawang beberapa jam sebelumnya tidak menyurutkan langkah anak muda untuk mengikuti gelaran peringatan kemerdekaan RI kali itu. Sejak awal semangat nasionalis dibangkitkan oleh paduan suara Orang Muda Katolik Singkawang yang mengiringi perarakan 17  Sang Merah Putih dengan lagu Satu Nusa Satu Bangsa dan lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Dengan berdiri tegak umat yang hadir di dalam gereja pun larut dalam suasana penuh khidmat.

Misa syukur HUT Kemerdekaan RI tahun ini memang dikemas secara khusus oleh Orang Muda Katolik sebagai panitianya. Diawali dengan upacara penghormatan kepada bendera Merah Putih dan pembacaan teks Proklamasi, gelaran dilanjutkan dengan misa syukur. Dalam kotbah singkatnya, Pastor Stephanus Gathot mengingatkan bahwa mengisi kemerdekaan tidak hanya sekedar mengikuti upacara bendera.  Mengutip tema nasional “Ayo Kerja”, Pastor Gathot mengajak umat untuk beraksi nyata. Mengisi kemerdekaan Republik Indonesia  adalah  dengan bekerja sesuai dengan tugas panggilan masing-masing. “Semoga dengan bekerja nyata, kita bisa menciptakan kebaikan untuk sesama sehingga kita bisa mengembalikan apa yang menjadi hak kaisar dan apa yang menjadi hak Allah,” pungkas P. Gathot dalam kotbahnya.



Lain dari biasanya, selesai kotbah Misa syukur diselingi dengan pembacaan puisi. Henri Permadi yang diberi kepercayaan, membawakannya dengan penuh ekspresif. Dalam puisinya anak muda yang gemar bermain bulutangkis ini memaparkan fakta adanya kesenjangan yang terjadi di Republik ini. Maka dia mengajak yang kuat untuk membantu yang lemah. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan sehingga sebagai bangsa kita patut berbangga dengan Sang Merah Putih yang senantiasa berkibar.

Untuk mengiringi penerimaan komuni, jiwa patriotis dibangkitkan kembali oleh paduan suara. Kali ini mereka menyanyikan lagu-lagu populer yang bertemakan tentang Indonesia. Lagu Bendera-nya Coklat, Gebyar-Gebyar-nya Gombloh dan Jadilah Legenda-nya Superman Is Dead mengalun semarak memenuhi ruangan gereja. Pembawaan yang ditata dengan apik menyihir umat yang hadir. Tanpa dikomando mereka pun larut dalam suasana dan ikut bernyanyi bersama. Maklum lagu-lagu ini sangat akrab untuk telinga anak muda. Profisiat untuk Orang Muda Katolik yang telah mengekspresikan jiwa mudanya dalam Misa syukur HUT Kemerdekaan RI. Semoga Perayaan Misa syukur ini menjadi motivasi untuk berkarya nyata bagi Indonesia tercinta. (Steph)

2 Nov 2017

MENDOAKAN JIWA ORANG-ORANG YANG SUDAH MENINGGAL

MENDOAKAN JIWA ORANG-ORANG YANG SUDAH MENINGGAL

Sumber:ericopieter.blogspot.co.id

Ada pernyataan bahwa kita tidak usah berdoa untuk jiwa-jiwa yang sudah meninggal, karena itu menjadi urusan Tuhan sendiri dan doa kita tidak akan berguna bagi mereka. Benarkah demikian? Gereja Katolik mengajarkan bahwa Tuhan berkuasa menentukan apakah seseorang yang meninggal itu masuk surga, neraka, atau jika belum siap masuk surga, dimurnikan terlebih dulu di Api Penyucian. Umat Kristen non-Katolik yang tidak mengakui adanya Api Penyucian, mungkin menganggap bahwa tidak ada gunanya mendoakan jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal. Namun Gereja Katolik mengajarkan adanya masa pemurnian di Api Penyucian, silakan membaca dasar dari Kitab Suci dan pengajaran Bapa Gereja tentang hal ini, http://katolisitas.org/624/bersyukurlah-ada-api-penyucian, sehingga doa-doa dari kita yang masih hidup, dapat berguna bagi jiwa-jiwa mereka yang sedang dalam tahap pemurnian tersebut. Bahkan, dengan mendoakan jiwa-jiwa tersebut, kita mengamalkan kasih kepada mereka yang sangat membutuhkannya, dan perbuatan ini sangat berkenan bagi Tuhan (lih. 2 Mak 12:38-45).
Sebenarnya, prinsip dasar ajaran Gereja Katolik untuk mendoakan jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal adalah adanya Persekutuan Orang Kudus yang tidak terputuskan oleh maut. Rasul Paulus menegaskan “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Rm 8:38-39).
Kuasa kasih Kristus yang mengikat kita semua di dalam satu Tubuh-Nya itulah yang menjadikan adanya tiga status Gereja, yaitu 1) yang masih mengembara di dunia, 2) yang sudah jaya di surga dan 3) yang masih dimurnikan di Api Penyucian. Dengan prinsip bahwa kita sebagai sesama anggota Tubuh Kristus selayaknya saling tolong menolong dalam menanggung beban (Gal 6:2) di mana yang kuat menolong yang lemah (Rm 15:1), maka jika kita mengetahui (kemungkinan) adanya anggota keluarga kita yang masih dimurnikan di Api Penyucian, maka kita yang masih hidup dapat mendoakan mereka, secara khusus dengan mengajukan intensi Misa kudus (2 Mak 12:42-46).
Memang, umat Kristen non-Katolik tidak mengakui kitab Makabe ini dalam Kitab Suci mereka. Juga, bagi mereka, keselamatan hanya diperoleh melalui iman saja (sola fide), yang sering dimaknai terlepas dari perbuatan, dan hal mendoakan ini dianggap sebagai perbuatan yang tidak berpengaruh terhadap keselamatan. Sedangkan ajaran iman Katolik adalah kita diselamatkan melalui iman yang bekerja oleh perbuatan kasih (Gal 5:6), maka iman yang menyelamatkan ini tidak terpisah dari perbuatan kasih. Dengan memahami adanya perbedaan perspektif Katolik dan non- Katolik ini, kita dapat mengerti bahwa umat Kristen non- Katolik menolak ‘perbuatan’ mendoakan jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal. Sedangkan Gereja Katolik mengajarkan bahwa perbuatan-perbuatan kasih yang didasari iman sangatlah berguna bagi keselamatan kita (baik yang didoakan maupuan yang mendoakan). Jika “kasih” di sini diartikan menghendaki hal yang baik terjadi pada orang lain, dan jika kita ketahui bahwa maut tidak memisahkan kita sebagai anggota Tubuh Kristus (lih. Rom 8:38-39), maka kesimpulannya, pasti berguna jika kita mendoakan demi keselamatan jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal. Sebab perbuatan kasih yang menghendaki keselamatan bagi sesama, adalah ungkapan yang nyata dalam hal “bertolong-tolonglah dalam menanggung bebanmu” (Gal 6:2).
Jangan lupa bahwa yang kita bicarakan di sini adalah bahwa doa- doa yang dipanjatkan untuk mendoakan jiwa-jiwa orang-orang yang sedang dimurnikan dalam Api Penyucian, sehingga mereka sudah pasti masuk surga, hanya sedang menunggu selesainya saat pemurniannya. Dalam masa pemurnian ini mereka terbantu dengan doa-doa kita, seperti halnya pada saat kita kesusahan sewaktu hidup di dunia ini, kita terbantu dengan doa-doa umat beriman lainnya yang mendoakan kita. Sedangkan, untuk orang-orang yang meninggal dalam keadaan tidak bertobat, sehingga masuk ke neraka, memang kita tidak dapat mendoakan apapun untuk menyelamatkan mereka. Atau untuk orang -orang yang langsung masuk ke surga (walaupun mungkin tak banyak jumlahnya), maka doa-doa kita sesungguhnya tidak lagi diperlukan, sebab mereka sudah sampai di surga. Namun masalahnya, kita tidak pernah tahu, kondisi rohani orang-orang yang kita doakan. Pada mereka memang selalu ada tiga kemungkinan tersebut, sehingga, yang kita mohonkan dengan kerendahan dan ketulusan hati adalah belas kasihan Tuhan kepada jiwa-jiwa tersebut, agar Tuhan memberikan pengampunan, agar mereka dapat segera bergabung dengan para kudus Allah di Surga.
Pengajaran tentang Api Penyucian termasuk dalam ajaran iman De fide (Dogma):
“The Communion of the Faithful on earth and the Saints in Heaven with Poor Souls in Purgatory:
The living Faithful can come to the assistance of the Souls in Purgatory by their intercessions (suffrages).”
Terjemahannya:
Persekutuan umat beriman di dunia dan Para Kudus di Surga dengan Jiwa-jiwa yang menderita di Api Penyucian:
Para beriman yang [masih] hidup dapat membantu jiwa-jiwa di Api Penyucian dengan doa-doa syafaat (doa silih).
Silih di sini diartikan tidak saja doa syafaat, tetapi juga Indulgensi, derma dan perbuatan baik lainnya, dan di atas semua itu adalah kurban Misa Kudus. Ini sesuai dengan yang diajarkan di Konsili Lyons yang kedua (1274) dan Florence (1439).
Jadi meskipun umat Kristen non-Katolik tidak mengakui kitab Makabe, namun sesungguhnya mereka secara obyektif tidak dapat mengelak bahwa tradisi mendoakan jiwa orang yang telah meninggal sudah ada di zaman Yahudi sebelum Kristus. Tradisi ini kemudian diteruskan oleh para rasul, seperti yang dilakukan oleh Rasul Paulus ketika mendoakan Onesiforus yang sudah meninggal, “Kiranya Tuhan menunjukkan rahmat-Nya kepadanya [Onesiorus] pada hari-Nya.” (2 Tim 1:18). Tradisi mendoakan jiwa orang yang sudah meninggalpun dicatat dalam tulisan para Bapa Gereja, seperti:
1) Tertullian, yang mengajarkan untuk menyelenggarakan Misa kudus untuk mendoakan mereka pada perayaan hari meninggalnya mereka setiap tahunnya. 
2) St. Cyril dari Yerusalem dalam pengajarannya tentang Ekaristi memasukkan doa-doa untuk jiwa orang-orang yang sudah meninggal.
3) Sedangkan St. Yohanes Krisostomus dan St Agustinus mengajarkan bahwa para beriman dapat mendoakan jiwa orang-orang yang meninggal dengan mengadakan derma.
Karena hal mendoakan jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal telah diajarkan dalam Kitab Suci dan telah dilakukan oleh Gereja sejak awal mula, terutama dalam perayaan Ekaristi maka, Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:
KGK 1032 Ajaran ini juga berdasarkan praktik doa untuk orang yang sudah meninggal tentangnya Kitab Suci sudah mengatakan: “Karena itu [Yudas Makabe] mengadakan kurban penyilihan untuk orang-orang mati, supaya mereka dibebaskan dari dosa-dosanya” (2 Mak 12:45). Sudah sejak zaman dahulu Gereja menghargai peringatan akan orang-orang mati dan membawakan doa dan terutama kurban Ekaristi Bdk. DS 856. untuk mereka, supaya mereka disucikan dan dapat memandang Allah dalam kebahagiaan. Gereja juga menganjurkan amal, indulgensi, dan karya penitensi demi orang-orang mati.
“Baiklah kita membantu mereka dan mengenangkan mereka. Kalau anak-anak Ayub saja telah disucikan oleh kurban yang dibawakan oleh bapanya Bdk. Ayb 1:5., bagaimana kita dapat meragukan bahwa persembahan kita membawa hiburan untuk orang-orang mati? Jangan kita bimbang untuk membantu orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka” (Yohanes Krisostomus, hom. in 1 Cor 41,5).
KGK 1371 Kurban Ekaristi juga dipersembahkan untuk umat beriman yang mati di dalam Kristus, “yang belum disucikan seluruhnya” (Konsili Trente: DS 1743), supaya mereka dapat masuk ke dalam Kerajaan Kristus, Kerajaan terang dan damai:
“Kuburkanlah badan ini di mana saja ia berada: kamu tidak perlu peduli dengannya. Hanya satu yang saya minta kepada kamu: Di mana pun kamu berada, kenangkan saya pada altar Tuhan” (Santa Monika sebelum wafatnya, kepada santo Augustinus dan saudaranya: Agustinus, conf. 9,11,27).
“Lalu kita berdoa [dalam anaforal untuk Paus dan Uskup yang telah meninggal, dan untuk semua orang yang telah meninggal pada umumnya. Karena kita percaya bahwa jiwa-jiwa yang didoakan dalam kurban yang kudus dan agung ini, akan mendapat keuntungan yang besar darinya… Kita menyampaikan kepada Allah doa-doa kita untuk orang-orang yang telah meninggal, walaupun mereka adalah orang-orang berdosa… Kita mengurbankan Kristus yang dikurbankan untuk dosa kita. Olehnya kita mendamaikan Allah yang penuh kasih sayang kepada manusia dengan mereka dan dengan kita” (Sirilus dari Yerusalem, catech. myst. 5,9,10).
KGK 1414 Sebagai kurban, Ekaristi itu dipersembahkan juga untuk pengampunan dosa orang-orang hidup dan mati dan untuk memperoleh karunia rohani dan jasmani dari Tuhan.
Maka memang, mendoakan jiwa orang-orang yang sudah meninggal bagi orang Katolik merupakan salah satu perbuatan kasih yang bisa kita lakukan, terutama kepada orang-orang yang kita kasihi yang telah mendahului kita. Ini adalah salah satu dogma yang semestinya kita jalankan, sebagai orang Katolik. Tentu saja, kita tidak bisa memaksakan hal ini kepada mereka yang tidak percaya. Namun bagi kita yang percaya, betapa indahnya pengajaran ini! Kita semua disatukan oleh kasih Kristus: kita yang masih hidup dapat mendoakan jiwa-jiwa yang di Api Penyucian, dan jika kelak mereka sampai di surga, merekalah yang mendoakan kita agar juga sampai ke surga. Doa mereka tentu saja tidak melangkahi Perantaraan Kristus, sebab yang mengizinkan mereka mendoakan kita juga adalah Kristus, sebab di atas semuanya, Kristuslah yang paling menginginkan agar kita selamat dan masuk ke surga. Jadi doa para kudus saling mendukung dalam karya keselamatan Allah bagi manusia. Kita tergabung dalam satu persekutuan orang-orang kudus, karena kita semua adalah anggota Tubuh Kristus yang diikat oleh kasih persaudaraan yang tak terputuskan oleh maut, sebab Kristus Sang Kepala, telah mengalahkan maut itu bagi keselamatan kita.
Sumber: katolisitas.org

15 Jan 2016

SEMARAK PANGGUNG KEBAHAGIAAN 110 TAHUN MISI KAPUSIN DI SINGKAWANG

SEMARAK PANGGUNG KEBAHAGIAAN 110 TAHUN MISI KAPUSIN DI SINGKAWANG



(Singkawang, 13 Desember 2015) Ayunan langkah kaki kompak diiringi tarian pembuka serta perarakan misa yang dipimpin oleh Uskup Agung Pontianak Mgr. Agustinus Agus membuka misa hari itu. Hari itu adalah hari yang  sangat bersejarah dan berbahagia bagi semua umat Katolik khususnya di wilayah Paroki Singkawang, karena hari kita semua memperingati puncak Perayaan 110 Tahun Misi Kapusin di Singkawang. Sebelumnya selama seminggu penuh digelar pentas seni dalam memeriahkan Perayaan 110 Tahun Misi Kapusin di Singkawang. Berbagai persekolahan Katolik masing-masing unjuk kebolehan khususnya di bidang seni. Sekolah-sekolah yang terlibat antara lain SMP St Tarsisius, STIE Mulia, SMP Bruder, SMA St Ignasius, SMP Pengabdi, Persekolahan Nyarumkop, OMK, Putra-Putri Altar dan berbagai stasi di Paroki Singkawang. Pameran segala barang-barang yang digunakan oleh Kapusin sejak 110 tahun lalu pun tak luput digelar. Berbagai hal menarik, unik dan tentunya bersejarah menjadi magnet tersendiri bagi umat yang hadir. Hal yang membanggakan adalah bahwa pameran 110 Tahun Kapusin selain dinikmati oleh masyarakat regional Kalimantan Barat, juga mampu menarik perhatian Saudara-saudara dari Serawak yang kebetulan tengah mengadakan kunjungan ke kota Singkawang, juga para tokoh lintas agama dari Bumi Serambi Mekah, Aceh. Berbagai komentar bernada positif mengenai perayaan 110 Tahun Misi Kapusin di Singkawang mengalir deras dari mereka yang berkunjung ke arena pameran.      
Di Minggu puncak perayaan 110 Tahun Misi Kapusin Berkarya di Singkawang itu, tepat pukul 08.00 Wib Misa dimulai. Seluruh umat hening mengikuti Perayaan Misa Ekaristi. Sosok seorang Uskup yang berbeda dengan uskup lainnya dengan ciri khas pantun  yang hampir selalu dikumandangkan beliau saat memimpin misa membuat suasana menjadi cair saat homili. Tawa lepas mengalir dari setiap umat yang hadir. Di sela-sela homili yang diberikan, uskup mengajak umat untuk senantiasa bersyukur karena berkat para Misionaris yang hadir serta merintis dan membangun gereja juga turut andil dalam pembangunan bergagai fasilitas di Kota Singkawang seperti rumah sakit dan sekolah-sekolah, “Mari kita doakan mereka yang telah berjasa dan telah berpulang ke pangkuan Bapa Surgawi,” ajak Mgr. Agustinus Agus.

“Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi. Jika ada umurku panjang, boleh kita berjumpa lagi.” Demikian Pantun di detik terkakhir homili yang dikumandangkan.  Selesai Homili, Mgr. Agustinus Agus melantik Dewan Pastoral Paroki (DPP) Paroki St. Fransiskus Assisi Singkawang periode 2015-2018.  Anggota DPP yang baru resmi dilantik  membacakan janji dan uskup memberkati semua anggota DPP agar mampu dan komitmen dalam menjalankan tugas seta kewajibannya. Terima kasih atas pengabdian pengurus dan anggota DPP periode sebelumnya yang telah melakukan tugas serta kewajibannya dengan baik dan Selamat di ucapkan kepada pengurus serta anggota DPP yang baru, Tuhan memberkati.

Tidak terasa begitu cepat kebersamaan Misa Ekaristi bersama Uskup dan para pastor yang hangat menyambut umat di dalam gereja yang dibangun 89 tahun silam.  Setelah selesai Perayaan Misa Ekaristi, uskup dan para pengurus DPP periode baru berfoto bersama dan dilanjutkan dengan acara ramah tamah di halaman gereja yang telah di siapkan oleh panitia. Walikota Singkawang juga hadir dan memberikan kata sambutan dalam merayakan pesta sejarah 11 dasawarsa Misi Kapusin di Singkawang bersama tokoh-tokoh agama, Kapolres dan anggota DPRD yang hadir di tengah-tengah umat Katolik Paroki St. Fransiskus Assisi Singkawang. Senyum dan semangat kebahagiaan bertambah saat semua umat dan para undangan merayakan hari ulang tahun Mgr. Agustinus Agus yang ke 66 tahun dengan bernyanyi, meniup lilin dan potong kue menyemarakan tepuk tangan yang tak henti dari semua mata yang mengarah ke panggung. Kebahagiaan serta di lanjutkan makan bersama, “Selamat ulang tahun Bapa Uskup tercinta, sehat selalu dan senantiasa tetap melayani “domba-domba-Nya,” Amin.” (SS)




12 Apr 2021

PENGALAMAN MENARIK MISA DI GEREJA CAHAYA KRISTUS STASI SARANGAN PAROKI SINGKAWANG

 

 




Paroki Singkawang. Hari ini, Minggu, 11 April 2021, penulis berkesempatan merayakan Misa di Gereja Katolik Cahaya Kristus Stasi Sarangan. Penulis belum pernah datang ke tempat ini. Penulis hanya mengandalkan google map untuk menuju ke lokasi ini. Setelah penulis masuk sekitar 2 km dari jalan raya Pontianak - Bengkayang, ternyata tidak ada sinyal seluler. Penduduk di jalan tersebut juga sangat jarang. Dengan berbekal tekad yang kuat, dan usaha untuk bertanya pada penduduk, akhirnya penulis bisa sampai di Stasi sarangan dalam kondisi baik dan selamat. Saat melewati jalan perkampungan, sebagian besar jalan rusak berat. Aspal banyak terkelupas. Perlu ekstra hati-hari saat melewati jalan tersebut. Penulis menempuh waktu 2,5 jam perjalanan.

Gereja Cahaya Kristus ini masuk wilayah kabupaten Bengkayang. Tetapi, secara administrasi Gereja Katolik, masuk Paroki Fransiskus Assisi Singkawang. Jarak dari Paroki Singkawang ke Stasi Sarangan adalah 60 km. Dapat ditempuh dalam 2 jam perjalanan dengan kendaraan. 

Pagi ini, Misa di Stasi Sarangan dimulai sekitar pukul 09.45. Pada minggu ini, Gereja Katolik merayakan Hari Raya Kerahiman Ilahi. Perayaan ini biasanya dirayakan tiap minggu ke 2 masa Paskah. Di tempat ini, juga sekaligus dilangsungkan penerimaan Sakramen Perkawinan untuk 2 pasang. Misa ini dipersembahkan oleh Pastor Samri, OFMCap. Umat yang hadir dalam perayaan Ekaristi ini, ada lebih dari 100 orang. Umat sangat antusias mengikut Misa pagi ini. Sedangkan, jumlah umat Katolik di Stasi Sarangan adalah 200 orang lebih. (EHN)

23 Jun 2015

SAGKI

SAGKI


SIDANG

AGUNG

GEREJA

KATOLIK

INDONESIA 

Kapan dan di mana SAGKI 2015 diadakan?
SAGKI 2015 diadakan tgl. 2-6 November di Via Renata, Cimacan − Bogor.

Siapa peserta SAGKI 2015?
Peserta SAGKI 2015 adalah:
a.    Para USkup dan Uskup Emeritus seluruh Indonesia
b.    Umat Katolik yang mewakili/menjadi utusan dari masing-masing Keuskupan di Indonesia
c.    Wakil KOPTARI dan UNIO, Kelompok Kategorial Keluarga Para Sekretaris Komisi, Lembaga,    Sekretariat dan Departemen KWI

Apa Tema SAGKI 2015?
Tema SAGKI 2015 ialah Keluarga Katolik: Sukacita Injil Panggilan dan Perutusan Keluarga dalam Gereja dan Masyarakat Indonesia yang Majemuk.

Apa kekhasan SAGKI 2015 yang membedakannya  dengan SAGKI sebelumnya?  

o    SAGKI ke IV tahun 2015 ini merupakan kesinambungan dari SAGKI 2000, 2005, dan 2010. SAGKI 2000 diarahkan pada perwujudan serta pemberdayaan Komunitas Basis menuju Indonesia baru. Sedangkan SAGKI 2005 mengajak Gereja Indonesia untuk bangkit dan bergerak mengupayakan keadaban publik bangsa; dan SAGKI 2010 menegaskan kembali panggilan perutusan Gereja, dengan tema: Ia Datang Supaya Semua Memperoleh Hidup dalam Kelimpahan (bdk. Yoh 10:10).

o    SAGKI 2015 merupakan tahun rahmat bagi Keluarga, karena secara khusus Para Bapa Uskup memberikan perhatian kepada panggilan dan perutusan keluarga sebagai Gereja kecil yang diutus. Hal ini seiring dengan perhatian Paus dan Gereja Universal yang mengajak semua umat untuk merefleksikan kehidupan keluarga melalui Sinode luar biasa tahun 2014 yang bertema: Tantangan-Tantangan Pastoral Keluarga dalam Konteks Evangelisasi dan Sinode biasa tahun 2015 yang mengambil tema: Panggilan dan Perutusan Keluarga dalam Gereja dan Masyarakat Dewasa Ini. Kekhasan dari SAGKI 2015 adalah merenungkan sejauh mana sukacita Injil itu dialami oleh keluarga dan bagaimana perjuangan keluarga dalam mewujudkan sukacita Injil.

Apa yang menjadi fokus perhatian SAGKI 2015 dalam pelaksanaan tugas perutusan Gereja Indonesia?

Berkaitan dengan tugas perutusan Gereja Indonesia, fokus perhatian SAGKI 2015 adalah keluarga Katolik mengalami sukacita Injil dengan semakin menghayati jati diri, spiritualitas, panggilan dan perutusannya dalam Gereja dan masyarakat dan memancarkan Sukacita Injil dalam kehidupan sehari-hari.

Apa tujuan SAGKI 2015?

Tujuan SAGKI 2015 adalah
a.    Keluarga Katolik semakin menghayati jati diri, identitas, spiritualitas, panggilan, dan perutusannya di dalam Gereja dan di tengah masyarakat
b.    Keluarga Katolik semakin menyadari tantangan-tantangan konkret yang dialami dan dihadapi keluarga dewasa ini
c.    Keluarga Katolik semakin misioner di tengah masyarakat

Suasana apa yang diharapkan tercipta dalam SAGKI 2015?

Suasana yang diharapkan tercipta dalam SAGKI 2015 ialah suasana sukacita dan persaudaraan dalam menegaskan bersama jalan baru bagi panggilan dan perutusan keluarga melalui refleksi bersama, diskusi, gerak bersama yang akan diambil.

Kegiatan SAGKI 2015 meliputi apa saja?

Kegiatan SAGKI 2015 meliputi ibadat, sharing tentang sukacita Injil yang dihayati oleh keluarga-keluarga Katolik, perjuangan keluarga dalam mewujudkan sukacita Injil, refleksi teologis dan launching film 7 Sakramen yang diproduksi KWI. Keempat kegiatan ini berkaitan satu sama lain dan dalam pelaksanaan hariannya disesuaikan dengan sub tema tertentu.

Metode apa yang dipergunakan SAGKI 2015?

Metode yang dipergunakan adalah metode sharing, diskusi dan penegasan sebagai buah dari refleksi bersama.

Mengapa SAGKI 2015 menggunakan metode sharing, diskusi, dan penegasan?

SAGKI 2015 menggunakan metode sharing, diskusi, dan penegasan karena:
a.    Tujuan dari SAGKI adalah saat di mana gereja mendengarkan
b.   Terjadinya gerak bersama setelah mendengarkan apa yang dialami, didiskusikan dan penegasan bersama

Bagaimana gambaran pertemuan SAGKI 2015?

Pertemuan SAGKI 2015 sebagai berikut:
Tanggal        :  2   November
Materi          :  Ekaristi Pembuka dan Acara Pembuka

Tanggal        :  3   November
Materi          :  Keluarga bersukacita: buah-buah penghayatan Panggilan dan Perutusannya (dimensi spiritual, relasional    
                             dan sosial)

Tanggal        :  4   November
Materi          :   Keluarga Katolik memperjuangkan sukacita Injil : Tantangan-tantangan Keluarga Dewasa ini

Tanggal       :   5 November
Materi         :  Gerak Bersama : Membangun Wajah “Ecclesia Domestica di Indonesia” – Sukacita Injil        

Tanggal       : 6 November
Materi         : Rumusan Akhir dan Misa Penutupan





Logo SAGKI 2015 merupakan visualisasai semangat dasar SAGKI 2015, yakni Keluarga Katolik: Sukacita Injil. Sukacita Injil dalam keluarga dialami ketika mereka memandang dan menjumpai Kristus (bdk. EG 1) yang menjadi Jalan, Kebenaran dan Hidup dan visualisasi itu diwujudkan dalam gambar Salib yang dipandang bapak,iIbu dan ketiga anak mereka.
Pengalaman sukacita itu dialami ketika keluarga-keluarga mendasarkan nilai kehidupan mereka pada Injil sebagaimana dinampakkan dalam gambar buku. Ketika keluarga berpijak pada Injil dan menghidupi nilai-nilai perkawinan sebagaimana yang diwahyukan Allah dalam Injil, sukacita itu dialami. Ekspresi sukacita itu tampak dalam sikap anggota keluarga yang semuanya berdiri (setengah melompat) dalam kebersamaan dan kasih.
Dalam logo, persatuan bapak dan ibu (warna orange dan merah marun) membentuk simbol hati yang berarti bahwa kesatuan keluarga didasarkan atas kasih. Dengan warna dasar putih menunjukkan kesucian, warna merah marun seperti gambar hati menunjukkan kasih dan warna orange menggambarkan terang atau cahaya yang berarti: keluarga yang dibentuk berdasarkan kasih membawa terang dan kesucian bagi keluarga lain.
Tulisan SAGKI 2015 dengan tema Keluarga Katolik: Sukacita Injil, adalah fokus atau tema yang diharapkan menjadi semangat bagi keluarga-keluarga agar selalu mengalami dan menampakkan sukacita Injil itu secara tegas. Warna merah marun, orange, silver, dan putih, biru, juga menunjukkan kemajemukan dan ke-Indonesiaan yang menjadi konteks SAGKI ke IV tahun  2015 ini.



DOA PERSIAPAN MENYAMBUT
SIDANG AGUNG GEREJA KATOLIK INDONESIA
TAHUN 2015

Allah dan Bapa kami,
Engkau telah mengutus
Yesus Putera-Mu terkasih
untuk mewartakan Sukacita Injil kepada kami
dan mengangkat kami menjadi anak-anak-Mu
serta menyatukan kami
dalam satu Keluarga Illahi-Mu.

Putera-Mu hadir di tengah Keluarga Nazareth
untuk menguduskan keluarga manusiawi itu.
Ia tinggal di dalam keluarga itu
untuk mengajarkan kasih,
mendengarkan kehendak Illahi-Mu,
mengajarkan sikap saling hormat menghormati
dan bekerjasama,
serta menyalakan lilin pengharapan
dalam kegelapan dunia ini.
Ia menetapkan keluarga kami
menjadi Gereja rumah tangga,
dan menjadi Injil yang hidup bagi dunia
dalam semangat cinta dan sukacita.

Curahkanlah Roh Kudus-Mu
untuk membimbing SAGKI 2015 ini,
agar melalui Sidang Agung ini,
mampu mendorong keluarga-keluarga Katolik
semakin menghayati panggilan
dan perutusan
dalam hidup perkawinan
yang telah mereka ikrarkan
dan semakin mengalami
keindahan hidup berkeluarga itu.
Ajarilah kami bersikap bijak
dalam menghadapi
setiap tantangan dan situasi zaman ini.
Buatlah kami semakin mampu
menjadi saksi hidup Injil-Mu
dan tempat pengungsian
bagi mereka yang membutuhkan.
Biarlah keluarga kami
semakin memancarkan sukacita Injil
bagi keluarga dan masyarakat.
Demi Kristus Tuhan dan Pengantara kami.
Amin.

Yesus, Maria, dan Yosef,
doakanlah kami!



30 Nov 2016

Retret Guru dan Karyawan Yayasan Pengabdi untuk Sesama Manusia “Yesus Sang Guru Sejati”

Retret Guru dan Karyawan Yayasan Pengabdi untuk Sesama Manusia

“Yesus Sang Guru Sejati”

Yayasan Pengabdi untuk Sesama Manusia (YPSM) kembali mengadakan retret seluruh guru dan karyawan YPSM yang berlangsung pada tanggal 8-10 September 2016 di Pusat Damai Wisma Tabor Bodok Kabupaten Sanggau. Kegiatan tersebut dihadiri oleh 207 peserta dan didampingi 14 Suster SFIC yang berkarya di bidang pendidikan. Peserta merupakan gabungan guru, karyawan dan staf 11 unit sekolah naungan YPSM yang ada di Pontianak, Singkawang, Darit dan Pahuman. Wilayah Singkawang sendiri meliputi TK/PG Epiphania, SD Suster, SMP Pengabdi, dan SMA St. Ignasius. Peserta begitu antusias mengikuti kegiatan yang bertemakan “Berbudaya: Berani Memperbaharui Diri dalam Iman, Harapan dan Kasih” tersebut. 

Misa Pembukaan dipimpin oleh Pastor Vincensius Darmin Mbula, OFM yang juga sebagai pemateri utama kegiatan. Beliau mengajak semua guru yang hadir untuk meneladani Tuhan Yesus Kristus sebagai Sang Guru Sejati dalam tugasnya mencerdaskan dan mendidik anak bangsa yang telah dipercayakan. Suster Kepala YPSM, Sr Susana, SFIC dalam sambutannya mengatakan bahwa Ia sangat mengapresiasi kehadiran para peserta. Selain itu, Ia juga berpesan dan mengajak  semua guru yang turut mengabdikan diri bersama YPSM untuk terus meningkatkan kualitas diri dalam menciptakan generasi yang berkarakter. 

"Saudara-saudari sebangsa dan setanah air yang terdidik dan terkasih, saya sangat mengapresiasi kehadiran bapak/ibu dalam kegiatan kita ini di Wisma Tabor walaupun harus menempuh perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan," ujarnya. Beliau juga sempat menyinggung peristiwa dalam Kitab Suci mengenai perjalanan murid-murid Yesus ke Bukit Tabor. “Kehadiran bapak/ibu mengingatkan kita akan peristiwa murid-murid Tuhan Yesus yang datang dari berbagai tempat berbondong-bondong mengikuti Tuhan Yesus Kristus ke Bukit Tabor. Kami berharap dalam kegitan ini membuahkan hal-hal baik yang dapat kita bawa dan terapkan ketika kembali ke tempat masing-masing,” katanya.

Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari itu berjalan dengan lancar. Materi-materi yang pada umumnya menyinggung perihal dunia pendidikan Katolik disampaikan oleh Romo Darmin Mbula, OFM. Beliau adalah  Ketua Majelis Pendidikan Katolik Indonesia dan juga dosen di beberapa perguruan tinggi. Melalui pengalaman dan pergulatannya di dunia pendidikan, Ia tampak begitu menguasai materi yang disampaikan. Beliau mengemasnya dengan sangat apik apalagi diselingi dengan beberapa simulasi permainan sehingga peserta tak merasa jenuh.



Salah satu materi yang disampaikan yakni mengenai “Shalom”, yaitu suatu salam yang berarti damai. Merefleksikan apakah guru-guru yang mengabdi bersama YPSM sudah sepenuhnya bekerja dengan hati yang damai. Damai yang diwujudkan dalam semangat yang diperbaharui serta berbudaya kasih persaudaraan. Romo Darmin Mbula, OFM., menyampaikan bahwa pada hakikatnya pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia agar berbuat kebaikan dan gerakan literasi dalam pendidikan merupakan suatu gerakan yang membawa seseorang berbudi pekerti. Ia menerangkan bahwa pendidikan Katolik mengacu pada budaya-budaya Katolik itu sendiri.
 
Budaya Katolik yang dimaksud di antaranya adalah bukan hasil tapi cara hidup, cara hidup yang bukan berupa dokumen atau buku teks tetapi mengajarkan pengalaman hidup/cara hidup. Cara hidup menurutnya tidak dapat dibeli, cara hidup berakar dari pribadi Tuhan Yesus yang ditulis dalam Injil. Hal utama pertama menjadi cara hidup adalah iman, pelayanan, keberanian, keadilan, harapan, kasih dan rekonsiliasi/ shalom (damai), dan komunitas/ persaudaraan.

Iman dalam pendidikan Katolik menjadi hal yang utama. Iman bagi sekolah Katolik ialah mencari kebenaran. Ia menuturkan setiap guru seyogyanya mengajarkan kebenaran dan pelayanan. Pelayanan yang pertama dalam pendidikan Katolik yaitu berkomitmen dan tidak bersungut-bersungut dengan memeperhatikan kompetensi dan ketrlibatan/ tindakan (action) seperti komitmen  dalam pribadi Yesus Kristus sendiri.

Di akhir kegiatan seluruh peserta retret YPSM ditugaskan untuk menyusun komitmen yang nantinya dibawa dan diterapkan di unit kerja (sekolah) masing-masing. Adapun komitmen-komitmen kelompok kerja dibuat ialah berdasarkan tradisi sekolah Katolik yang meliputi budaya Injil, budaya tumbuh bersama, budaya teamwork, budaya kinerja dan budaya profesionalisme. Di sesi terakhir ini juga Kepala YPSM Sr. Susana SFIC berpesan kepada seluruh guru agar menjadikan kelas sebagai ruang pengampunan dan ruang suka cita bagi peserta didik. Kegiatan ditutup dengan Misa penutup, makan siang bersama dan sayonara, lalu seluruh peserta meninggalkan lokasi kegiatan. 

(Oleh: Yudistira, S.Pd. salah satu guru yang mengabdi bersama YPSM)