LEBIH DEKAT DENGAN SANG GEMBALA UMAT
“Perkenalkan, nama saya Gathot, singkatan dari
Ganteng Total…”, umat yang awalnya meraba, menerka-terka seperti apa sifat sang gembala barunya, sontak tak
dapat menahan tawa mendengar celetukan bernada humor dari dia yang pagi itu
memimpin misa di Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi Singkawang.
Sosoknya sederhana, ramah dan begitu menyejukkan
dalam tutur kata serta tindakan, layaknya paradigma umum khas gembala umat. Terlahir di salah satu
desa yang begitu terkenal dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh yayasan
Katolik sejak zaman Belanda, Kweekschool (kini SMA Pangudi Luhur Van Lith, Muntilan)
pada 16 April 1969, Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFMCap, terlahir sebagai anak
pertama dari tujuh bersaudara, putra pasangan (alm.) Yohanes Sardjo dan (almh.)
Elisabet Sunatri. Ia menghabiskan sebagian masa kecilnya di Ngawen, Muntilan
sebelum akhirnya harus mengikuti jejak
sang ayah yang berpindah tugas ke kota Gethuk, Magelang.
Sejak kecil, ia telah begitu dekat dengan kehidupan
para biarawan, tak mengherankan memang, selain karena Muntilan dikenal sebagai
daerah yang kental dengan nafas Kristiani, almarhum ayahandanya merupakan salah
satu prodiakon di lingkungan gereja Katolik stasi Ngawen. Pria yang ketika
remaja begitu menggemari lantunan suara emas Dian Pramana Putra, Dedi Dukun dan
memiliki kesan mendalam terhadap tembang Nostalgia
SMA-nya Paramitha Rusadi ini mengaku, ketertarikannya terhadap kehidupan
membiara semacam love at the first sight (cinta pada pandangan pertama). Segalanya
bermula ketika ia melihat Romo (Pastor)
yang memimpin misa mengenakan jubah putih, tampak begitu gagah dan tentunya mangkus
memesona Gathot kecil. Keterpesonaan itu yang menggiringnya memilih jalan yang
kini mendapuknya menjadi Pastor Paroki Gereja Santo Fransiskus Assisi
Singkawang.
Dalam perjalanan karirnya, silih berganti hal tak
terlupa dan menarik seolah membentuk bingkai tersendiri bagi slide kehidupan pria berkulit sawo
matang pehobi jogging ini, di
antaranya saat pentahbisan imam pada 10
Oktober 1998, manakala ia tiarap memeluk bumi, mengantarnya pada kesadaran tentang
esensi kerendahan hati, atau sepenggal kisah yang sulit diterjemahkan dari segi
perasaan saat ia tak dapat melihat sang ayahanda untuk terakhir kali karena
tengah menuntaskan studi di Roma, atau ketika sosoknya harus memimpin misa
tanpa altar, umat duduk hanya beralas tikar dan masih berbonus umat yang
mengikuti misa sambil merokok, syahdan sekelumit cerita jenaka tatkala ia seperti
kebanyakan remaja pada umumnya yang memiliki sifat jail “menyelundupkan” radio
ke Seminari padahal hal tersebut dilarang keras untuk dilakukan. Segalanya
terasa sangkil membentuk pribadinya sebagai gembala.
“Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil”
(Yoh. 3:30) motto itu yang selalu menjadi pegangannya dimanapun ia berada. Di sela-sela
obrolan, Pastor Gathot mengungkapkan, “Terkadang dari sisi manusiawi saya
selaku romo atau pastor, kerap muncul rasa eksklusivisme, ingin diperlakukan lebih istimewa dari orang
lain. Saya masih terus-menerus mempelajari esensi rendah hati”. Ia mengakui, perasaan
tersebut hingga kini masih seringkali menjadi batu sandungan dalam kehidupan
membiara dan hal itu murni berasal dari internalnya.
Ketika ditanya mengenai harapan terhadap paroki yang
kini digembalainya, beliau secara tenang dan penuh bijaksana mengungkap
keinginan agar umat yang digembalai lebih militan terutama dalam hal keluarga.
Ini secara otomatis akan berpengaruh pada kehidupan gereja. Hal serupa
diungkapnya untuk kaum muda, “Saya berharap kaum muda Katolik menjaga militansi
ke-Katolikannya.”, pungkasnya. (Hes)
Riwayat Pendidikan:
SD
Kanisius Ngawen, Muntilan.
SMP
Santo Yosef Mertoyudan, Magelang.
SMA
Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang.
Postulat
Sanggau Kapuas, Kalimantan Barat.
Novisiat
Parapat, Sumatera Utara.
STFT
Santo Yohanes Pematang Siantar, Sumatera Utara.
Universitas
Gregoriana Roma, Italia.
Riwayat Karir
Tahbisan
10 Oktober 1998 di Bengkayang
Paroki
Jangkang, Keuskupan Sanggau (1998 − 2001)
Melanjutkan
pendidikan di Universitas Gregoriana Roma, Italia (2001− 2003)
Post
Novisiat Singkawang (2003 − 2004)
Biara
Kapusin St. Lorenzo (2004 − 2011)
Balai
Karangan, Sanggau (2011 − 2013)
Paroki
Singkawang (2013 – sekarang)