Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri arti dan makna gereja. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri arti dan makna gereja. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

4 Jun 2015

NATAL : SAAT UNTUK BERBAGI

Natal: Saat untuk Berbagi

 

Google Images.Jpg

            Aloysius hanyalah seorang pengusaha warung sederhana di kampungnya. Selain berjualan bahan kebutuhan sehari-hari, ia juga membeli karet  dari warga di sekitar rumahnya. Menjelang hari raya Natal, Idul Fitri dan Imlek, Aloysius menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk membeli bahan mentah pembuatan roti seperti mentega, terigu, susu kental manis, gula pasir, telur. Semuaya dikemas dalam paket-paket dan dibagikan kepada pelanggannya yang tidak mampu sesuai dengan keperluan mereka yang merayakan keyakinan agamanya. Kalau dihitung dengan rupiah nilainya tentu tidak seberapa. Tetapi  ada makna di dalamnya, seperti pernah diucapkannya, “Untuk orang kampung yang tidak mampu merayakan Natal, Idul Fitri dan Imlek mempunyai arti tersendiri dengan membuat kue”. Begitu juga menjelang natal tahun 2014 ini Aloysius tidak lupa melakukan rutinitasnya; berbelanja bahan mentah pembuatan roti untuk pelanggannya yang beragama Kristen dan Katolik. Bagi Aloysius yang beragama Katolik, Natal bukan hanya sekedar perayaan ritual yang selesai di gereja saja, tetapi dia memaknainya lewat aksi nyata mau berbagi dengan saudara-saudarinya yang kurang mampu.
             Bila ditengok peristiwa aslinya, makna Natal sejatinya adalah pemberian diri Allah. Dia yang maha segala-galanya rela memberikan diri-Nya dan menjelma menjadi manusia dalam diri Kanak-Kanak Yesus. Dialah Sang Imanuel: Allah beserta kita (Mat 1:23). Itulah yang terjadi pada natal pertama di Betlehem yang jauh dari hingar bingar pesta dan kemewahan. Dengan menjadi manusia Allah melakukan aksi nyata; setiakawan dengan manusia. Bahkan Dia hadir dalam sosok bayi yang papa-miskin.
             Kalau mau,  sebenarnya Allah bisa saja menyapa manusia dari surga. Maksudnya Dia tetap tinggal di surga sana, sedangkan manusia di dunia ini. Ibaratnya ketika mau menghubungi manusia Allah cukup menekan alat semacam remote control saja. Allah tidak perlu “repot-repot” turun ke dunia. Apalagi menjadi manusia segala. Tetapi “jalan aman” itu tidak dipilih oleh Allah. Justru Dia menggunakan jalan dengan “merepotkan diri-Nya” dan menjadi manusia. Mengapa Allah rela berbuat semua itu? Jawaban satu-satunya adalah karena Dia sangat mencintai kita. Di mata Allah kita semua sungguh berharga. Dia tidak rela kita menjadi binasa. Maka Dia datang dan hadir di tengah-tengah kita agar kita memperoleh hidup, bahkan hidup dalam segala yang kelimpahan (Yoh 10:10).
             Lalu bagaimana kita bisa memaknai natal? Penting artinya kita kembali kepada semangat natal pertama. Ketika melihat kandang atau gua natal pandangan kita harus bisa menembus dan merenungkan apa yang sebenarnya terjadi di sana. Kita tidak boleh larut  dengan perayaan natal yang diwarnai oleh gemerlapnya pesta dan hingar bingar kemewahan. Kita juga tidak boleh tinggal dalam keagungan peribadatan di dalam Gereja.  Memang peristiwa natal sering membuat kita hanyut dalam suasana romantis. Tetapi itu bukanlah makna natal yang sebenarnya. Makna natal harus bersambung dalam hidup sehari-hari. Natal harus menyapa umat manusia karena sejatinya natal tidak sama dengan pesta pora. Natal juga bukan sekedar perayaan liturgis semata. Natal adalah “sapaan” Allah kepada kita. Dia memberikan diri-Nya secara nyata kepada kita.
                Seperti Allah yang beraksi nyata kepada kita, begitu pula kita diundang untuk mengadakan aksi yang sama kepada sesama. Natal baru mendapatkan artinya yang penuh kalau kita mau berbagi dengan sesama, terutama mereka yang serba berkekurangan. Apa yang harus kita bagikan? Bukan terutama berbagi barang atau harta kekayaan. Tetapi kita diajak untuk berbagi perhatian dan cinta. Tuhan telah memberikan kepada kita masing-masing hati untuk mencintai dan tangan untuk melayani. Dengan itulah kita mewujudkan aksi pemberian diri lewat tindakan mencintai dan melayani. Natal menjadi saat yang indah untuk berbagi. Selamat Natal 2014 dan Tahun Baru 2015. Mari kita saling berbagi cinta dan pelayanan! (Gathot)

29 Mei 2016

Selalu Bersyukur

Selalu Bersyukur

Bagi sebagian besar umat Katolik di stasi-stasi yang ada di wilayah  paroki Singkawang, perayaan Paskah memiliki arti ganda. Selain sebagai perayaan syukur atas  kebangkitan Tuhan Yesus,  peristiwa Paskah juga menjadi sarana untuk menyampaikan ucapan syukur kepada Tuhan atas panen padi yang baru saja mereka lewati. Ucapan syukur ini juga disertai dengan permohonan berkat dari Tuhan agar di musim tanam berikut mereka mendapatkan hasil yang lebih baik. Itu sebabnya momen Paskah selalu dinanti-nantikan. Bahkan beberapa stasi lewat pengurusnya sudah memesan jauh-jauh hari, agar dirayakan misa paskah di stasinya. Sekiranya tidak bisa bertepatan dengan hari Paskah, mereka masih berharap agar bisa merayakan misa seminggu atau dua minggu setelah Paskah.

Harapan itu jugalah yang hendak  disampaikan oleh Pak Erna, seorang umat dari Stasi Parit Baru.  Hari itu tanggal 3 April, bertepatan dengan hari Minggu Paskah II , Sejak pagi Pak Erna sudah menunggu kedatangan saya yang mau merayakan Misa Paskah di kampungnya. Begitu tiba di depan gereja dan baru saja mesin sepeda motor saya matikan, dia langsung menghambur dan mendatangi saya.

 “Selamat datang, Pastor,” sapanya ramah sambil mengulurkan tangan kanannya kepada saya.

 “Selamat pagi, Pak Erna. Sudah lama menunggu?” tanya saya kepadanya sambil menerima uluran      tangan kanannya.

“Sudah dari tadi pagi, Pastor. Kan kami mau meminta berkat untuk padi yang mau kami tanam,” katanya lagi sambil menunjukkan benih padi yang dipegang di tangan kirinya. Saya pun tersenyum kepadanya dan meminta supaya benih padi diletakkan di bawah altar. Tanpa menunggu komando umat yang lain pun segera masuk gereja dengan membawa benih-benih padi dan meletakkannya di bawah altar.

Rupanya umat di Stasi Parit Baru pun tidak mau melewatkan momen yang sangat istimewa tersebut. Hampir semua umat yang hadir membawa “bekal” berupa benih padi dan bungkusan plastik lain yang belakangan saya tahu itu adalah padi baru. Benih padi yang mereka bawa akan mereka tanam pada musim tanam berikut. Dengan membawanya ke Gereja, mereka mengharapkan berkat dari Tuhan agar di musim tanam berikut mereka bisa menuai panen yang lebih baik. Sedangkan padi baru yang mereka bawa akan dipersembahkan kepada saya sebagai wujud syukur mereka kepada Tuhan seraya mau berbagi dengan pastor-pastor yang melayani mereka. 

Begitu misa selesai Pak Erna kembali lagi mendatangi saya sambil membawa bungkusan plastik berwarna hitam.

“Maaf, Pastor, padi baru ini tidak seberapa karena hasil panen tahun lalu kurang bagus. Banyak diserang hama. Ini ya, Pastor, supaya Pastor tetap bisa makan padi baru bah,” kata Pak Erna lagi sambil memberikan bungkusannya kepada saya.

“Wah terima kasih, terima kasih banyak. Saya sangat suka makan padi baru. Sehat dan enak,” jawaban saya kepada Pak Erna yang terus menggenggam tangan kanan saya.

Peristiwa sepele yang sarat makna itulah yang saya bawa pulang ke Singkawang sebagai “oleh-oleh”. Bagaimana tidak? Seorang Pak Erna “hanyalah” seorang petani sederhana. Tetapi dia mengajari saya apa artinya selalu bersyukur. Meskipun hasil panen di tahun lalu kurang menggembirakan, Pak Erna tetap bisa bersyukur kepada Tuhan. Dia sama sekali tidak menyalahkan Yang Mahakuasa atas hasil panen yang hanya sedikit. Dia menerima pemberian dari Yang Di Atas tanpa mengeluh dan menuntut lebih.  Malah dalam sedikitnya hasil panen itu dia masih mau berbagi padi baru kepada saya. Lebih dari itu Pak Erna masih tetap menggantungkan harapannya kepada Tuhan agar di musim tanam berikut Yang Mahakuasa mau memberkati segala jerih payah yang akan dimulai dengan mengolah sawahnya. Harapan itu dimulai dengan memohon berkat untuk padi yang akan dia tanam. Semoga demikian adanya. (Gathot)