Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri artikel gereja katolik. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri artikel gereja katolik. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

5 Mar 2020

API PENYUCIAN; TAK TERBANTAHKAN, ACAPKALI TERABAIKAN

*Pendahuluan*

Ketika saya merenung, memikirkan tentang apa yang akan saya tulis, seketika terlintas dalam benak saya tentang sesuatu yang rasanya masih asing dan mengawang bagi pembaca. Memang sepintas dengar perihal yang akan saya bahas kali ini terkesan horor dan meremangkan rambut di tengkuk bagi awam. Namun, besar harapan saya, semoga usai membaca artikel yang saya tulis ini, kesan berbeda akan timbul dan mengubah paradigma pembaca. Pada kesempatan ini saya akan membahas tentang "Api Penyucian dalam Ajaran Gereja Katolik" 

*Tinjauan dari Etimologi Kata* 

Penyucian, bukan pencucian! Kata pertama berasal dari kata dasar suci yang mendapat awalan pe-N dan akhiran –an serta mengalami proses peluluhan kata, dan satu lagi berasal dari kata dasar cuci yang mendapat awalan pe-N dan akhiran –an. Namun dalam hal ini yang digunakan adalah kata penyucian. Meskipun mungkin dari khalayak ramai pada awalnya menyangka istilah api pencucian adalah yang benar dengan asumsi jiwa yang dalam proses perjalanan menuju keabadian harus melewati proses pencucian hingga membuahkan suatu hasil yaitu jiwa yang bersih ternyata yang benar adalah api penyucian. Esensi suci lebih tinggi dari sekadar cuci. Esensi suci adalah (1) bersih dalam arti keagamaan seperti tidak kena najis, (2) bebas dari dosa; bebas dari cela; bebas dari noda; maksum (3) keramat (4) murni (tentang hati, batin), sementara cuci sendiri memiliki arti proses membersihkan sesuatu dengan air dan sebagainya. (*sumber KBBI daring)
Sementara terjawab tentang istilah yang benar dan yang keliru selama ini. Yang benar adalah api penyucian, dan yang keliru adalah api pencucian. Sesudah membaca penjelasan di atas, semoga tidak ada lagi kekeliruan dalam penyebutannya. 

*Istilah Purgatorium*

Purgatorium atau istilah lain dalam Bahasa Indonesia yang sering kita sebut sebagai api penyucian (sekali lagi, bukan api pencucian) adalah suatu kajian pembahasan yang termasuk dalam pembahasan bidang teologi dalam ajaran Gereja Katolik.

Penggunaan kata "Purgatorium" mulai tersohor antara tahun 1160–1180 dan sempat menimbulkan pemikiran bahwa purgatorium adalah suatu tempat.
Saat kita membahas tentang Api Penyucian, kita harus mengerti terlebih dahulu konsep ketika manusia itu meninggal, setelah meninggal manusia akan dihadapkan akan tiga pilihan utama yakni, 1. masuk dalam kebahagiaan lewat api penyucian, 2. orang yang langsung masuk surga, 3. mengutuki diri sendiri untuk selama-lamanya.

*Pengertian Api Penyucian*

Neraka dalam konsep ajaran Agama Yunani dijelaskan sebagai Gehenna (api yang tidak terpadamkan), sedangkan purgatorium atau purgare berasal dari Bahasa Latin yang artinya menyucikan, (to purge).

Sebuah talk-show dari saluran EWTN di Filipina, pernah mengetengahkan sebuah topik mengenai api penyucian yang dibawakan oleh Mother Angelica. Ketika sedang membawakan acaranya, Mother Angelica menerima pertanyaan dari orang yang tidak percaya akan adanya api penyucian, karena kata itu tidak disebutkan dalam Alkitab.

Dengan senyuman dan kata-katanya yang khas Mother Angelica menjawab, bahwa memang kata "api penyucian" tidak secara eksplisit tercantum di dalam Alkitab, seperti juga kata 'trinitas', atau 'inkarnasi'. Namun kita percaya maksud dari kata-kata tersebut. Yang terpenting itu ajarannya, bukan istilahnya. "Meskipun kamu tidak percaya, itu tidak berarti api penyucian itu tidak ada," ujar Mother Angelica.

Berdasarkan konsep ajaran Gereja Katolik dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1030-1032 menyebutkan bahwa :
1. api penyucian adalah suatu Kondisi yang dialami oleh orang-orang yang meninggal dalam keadaan rahmat dan persahabatan dengan Tuhan, namun belum suci sepenuhnya, sehingga memerlukan proses pemurnian selanjutnya setelah kematian;
2. pemurnian di dalam api penyucian adalah sangat berlainan dengan siksa neraka;
3. kita dapat membantu jiwa-jiwa yang ada di api penyucian dengan doa-doa kita, terutama dengan mempersembahkan ujub Misa Kudus bagi mereka.

Allah menginginkan kita agar kita menjadi kudus dan sempurna (Mat 5:48). Maka, jika kita belum sepenuhnya kudus, pada saat kita meninggal, kita masih harus disucikan terlebih dahulu di api penyucian, sebelum dapat bersatu dengan Tuhan di surga.

*Sejarah Purgatorium*

Menurut History of Christian Doctrines, Paus Gregory Agung adalah orang yang menetapkan ajaran api penyucian sebagai kepercayaan yang wajib dipercayai. Sementara Gereja Katolik meresmikan ajaran api penyucian ini pada beberapa konsili yang diadakan oleh Gereja Katolik. Antara lain: Konsili Lyons II (1274), Konsili Florence (1439), Konsili Trent (1547).

*Poin Penting dalam Memahami Api Penyucian*

Ada tiga poin penting tentang api penyucian yang bisa atau dapat kita pahami, antara lain: 1. hanya orang yang belum sempurna dalam rahmat yang dapat masuk ke dalam api penyucian, 2. api penyucian ada untuk memurnikan dan memperbaiki, 3. api penyucian itu hanyalah sementara.

Bicara soal api penyucian, pasti ada yang berpikir dan bertanya bolehkah kita berkomunikasi dengan jiwa-jiwa yang ada di api penyucian?

Ketika saya menulis artikel ini, saya mencari dan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari berbagai macam sumber dan jawabannya adalah jika kata komunikasi di sini diartikan sebagai komunikasi dua arah, maka jawaban singkatnya tidak boleh. Lantas apa yang boleh? Yang diperbolehkan dan diajarkan oleh Gereja Katolik adalah agar kita mendoakan jiwa-jiwa di api penyucian, dengan mengambil dasar utamanya (2 Makabe 12:38-45) dan ajaran tradisi suci. Sedangkan hal memohon  dukungan Doa Syafaat dari jiwa-jiwa di api penyucian, tidak diajarkan secara definitif oleh magisterium. Sehingga karena tidak/belum ditentukan, maka sebagai umat beriman, kita dapat memegang pendapat berdasarkan kesaksian Pribadi beberapa orang kudus, dan atas dasar "Common Sense".

*Mengapa Kita Harus Berdoa Bagi Jiwa-jiwa di Api Penyucian?*

Ketika kita dihadapkan dalam sebuah pertanyaan yang mungkin orang lain akan tanyakan kepada kita, kenapa Gereja Katolik mendoakan jiwa orang yang sudah meninggal?

Jawabannya sederhana, karena ketika kita berdoa bagi mereka yang telah meninggal dunia bukan saja untuk hal yang bermanfaat, tetapi juga amat penting. Hal ini diajarkan dan perlu diingat bahwa Gereja Katolik terdiri dari tiga bagian yang tak terpisahkan, antara lain :
1. Gereja Pejuang (yaitu kita yang masih hidup di dunia ini)
2. Gereja Menderita (jiwa-jiwa yang berada di api penyucian)
3. Gereja Jaya (para malaikat, martir, santo/santa serta para kudus yang di surga)
Ketiga gereja tersebut saling berpengaruh dan berkait satu sama lain membentuk tubuh mistik Kristus dalam menpertahankan pondasi gereja.

*Lantas, Bagaimana Kita Menolong Jiwa-jiwa Menderita di Api Penyucian?*

1. Misa Kudus
2. Doa Rosario bagi keselamatan jiwa-jiwa di api penyucian: "Rosario Arwah"
3. Devosi Kerahiman Ilahi : Koronka
4. Perbuatan Baik, tindakan amal kasih, kurban dan silih. (Setiap kali melakukannya, ingatlah untuk mengatakan dalam hati, "Yesus, ini demi jiwa-jiwa di Api Penyucian"
5. Ibadat/Renungan Sengsara Yesus (Jalan Salib)
6. Indulgensi bagi jiwa-jiwa di purgatorium.

*Penutup*

Saudara-saudari terkasih, mengenai apa yang akan terjadi pada manusia setelah kematian dan seperti apa wujud alam setelah kematian itu sebenarnya? Hampir semua tradisi agama dalam kehidupan mengangkat pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tetapi satu hal yang pasti bahwa mereka percaya adanya kehidupan atau alam yang lain setelah kematian, seperti contoh tradisi dalam Agama Mesir, Agama Hindu, Agama Buddha, Agama Zoroaster, dan Agama tradisional Yunani.

Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip perkataan dari Keith Ward, filsuf, teolog, dan Pastor gereja Anglikan, "Iman Kristiani pertama-tama bukan tentang hidup setelah mati, melainkan tentang hidup dalam relasi yang penuh cinta dan penuh kesadaran dengan Allah sekarang ini. Hal ini menguatkan dan menjelaskan kepada kita bahwa api penyucian adalah sebuah harapan, harapan bagi orang-orang yang sudah meninggal dalam keadaan rahmat tetapi masih perlu disucikan karena konsep surga adalah 100% kudus!"

Oleh karena itu mari, selagi kita masih hidup di dunia ini kita perbanyak amal dan berdoa agar kita bisa diberikan rahmat dan anugerah serta pengampunan atas dosa yang telah kita perbuat sehingga kita bisa masuk kepada kerajaan-Nya di surga. Lain dari itu kiranya kita tidak abai dan selalu meluangkan waktu mendoakan jiwa-jiwa yang masih berada dalam api penyucian agar jiwa-jiwa itu dapat segera bergabung dalam Gereja Jaya bersama para kudus di surga.

Sumber :
1. Katolisitas.org
2. Riwayat Api Penyucian dalam Kitab Suci dan Tradisi oleh Albertus Purnomo, OFM
3. Katolikmedia

(Ditulis kembali oleh Cinda Leo Morgan)

3 Feb 2017

EKARISTI PEMBERKATAN DAN PENYEMBUHAN DI FRANSISKUS ASSISI

EKARISTI PEMBERKATAN DAN PENYEMBUHAN DI FRANSISKUS ASSISI



Jumat 3 Februari 2017, tepat pukul 18.00 Wib, Gereja Katolik St Fransiskus Assisi Singkawang dipenuhi umat yang antusias hendak menerima berkat dari pastor dalam rangka peringatan Santo Blasius. Seperti telah diuraikan dalam artikel sebelumnya berkat Santo Blasius diberikan berdasar sejarah masa silam dari seorang uskup yang diangkat menjadi martir karena kegigihannya mempertahankan iman kepada Kristus.

Misa yang juga berlangsung tepat sebagai misa Jumat pertama bulan dipadati umat dari berbagai usia. Prosesi Ekaristi dilakukan sebagaimana biasanya, dipimpin oleh Pastor Agus, OFMCap yang juga memberkati lilin sebagai sarana berkat penyembuhan yang digunakan dalam prosesi pemberkatan. Usai lilin diberkati pada akhir Misa Ekaristi umat disilakan untuk maju dan masing-masing menerima berkat dari empat orang pastor yakni Romo Agus, OFMCap, Romo Gathot, OFMCap, Pastor Marius, OFMCap, dan Pastor Yerri, OFMCap. (Hes)



13 Mar 2018

50 TAHUN BERKARYA, MENJADI LEBIH INDONESIA DARI YANG ASLI INDONESIA

50 TAHUN BERKARYA, MENJADI LEBIH INDONESIA DARI YANG ASLI INDONESIA

“Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” 

(Pramoedya Ananta Toer)

Kutipan tulisan Pramoedya Ananta Toer, sang sastrawan garda depan Indonesia itu ada benarnya. Dengan ‘senjata’ tinta dan pena, maka sebuah nama mungkin saja akan kekal sepanjang masa. Dikenang karena sumbangsih berupa tulisan bagi dunia pengetahuan, pendidikan maupun kebudayaan yang tentu akan berguna baik di masa sekarang maupun  masa depan. Ini pula yang tengah ditapaki oleh salah satu gembala kita. Meski karya-karyanya ia hasilkan tanpa tendensi apa-apa, namun publik boleh percaya bahwa apa yang dikerjakannya bukanlah suatu yang sia-sia dan besar pengaruhnya pada dunia pengetahuan, sejarah juga budaya.          

Sosoknya seperti orang Eropa pada umumnya. Tinggi besar, berkulit putih, bermata biru. Yang menjadikannya istimewa adalah kala ia bertutur menggunakan bahasa Indonesia yang begitu lancar, namun aksen Eropa tetap tak lekang dari lidahnya meski telah setengah abad bermukim di Indonesia.
C.M.W. Melis, lebih dikenal sebagai Pastor Yeremias, OFMCap atau dalam keseharian kebanyakan orang menyapanya dengan panggilan Pastor Yeri. Sosoknya baru benar-benar saya perhatikan pada 31 Desember 2014 lalu. Usai memimpin misa di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Singkawang, ia segera melepas jubah kuning yang saat itu dikenakannya lantas bergegas menuju deretan kursi belakang. Ia duduk tepat di hadapan saya yang kala itu ditugaskan meliput perayaan natal di lapas. Dengan tenang ia mulai menyulut rokok dan perlahan menghisapnya. Berada dekat perokok bukanlah hal asing bagi saya, hanya saja ketika memandang beliau yang tengah masyuk dengan batangan rokoknya, ada yang sukses menarik perhatian, khusus bagian kuku dan ujung jari Pastor Yeri tampak kecoklatan akibat dilekati nikotin pada rokok yang begitu setia menemani hari-harinya. Kala itu saya tersenyum kecil dan hanya sebagai pengamat pasif sosok pria 77 tahun itu. 


Kesan kedua yang benar-benar lekat dalam ingatan saya tentang Pastor Yeri selain kuku dan jarinya yang menjadi coklat karena nikotin  adalah saat saya meliput perayaan Naik Dango yang digelar pada bulan Mei lalu. Di tengah hiruk pikuk yang hadir, dari jarak belasan meter, saya yang saat itu tengah membidikkan lensa kamera ke arahnya sempat dibuat tertegun kala beliau ‘menyapa’ dengan anggukan kepala. Kesan ketiga dan yang paling menyentak kesadaran saya sebagai orang asli Indonesia adalah kala beliau menitipkan sebuah catatan kecil kepada pastor paroki berkait ketidaktepatan diksi yang saya gunakan saat menulis berita tentang beliau. Jujur, perasaan yang terlintas dalam benak saya saat itu adalah rasa sedikit jengkel, namun manakala saya telaah kembali, kritikan beliau memang ada benarnya. Bahkan, saya yang dilahirkan, dibesarkan dan berdarah asli Indonesia saja tidak memiliki pemahaman sebaik beliau dalam berbahasa. Sejak saat itu paradigma saya tentang beliau semakin mengerucut, beliau merupakan sosok yang sangat teliti. 

Beberapa bulan berselang, pada saat rapat redaksi digelar, saya yang memang selalu ditugaskan menulis pada Rubrik Sosok merasa ada yang sedikit menggusarkan pikiran. Bagaimana tidak, sosok biarawan yang dipilih untuk dikupas profilnya kali ini adalah Pastor Yeri. Sosok teliti yang juga harus saya hadapi dengan sedikit hati-hati. Saya tidak ingin melakukan kesalahan serupa untuk kedua kali berkait diksi. Dibantu temu janji oleh pastor paroki, akhirnya saya dipertemukan dengan pria yang mengaku tidak menyukai pesta namun diketahui menaruh perhatian begitu  besar terhadap lingkungan dan alam. 

Lagi-lagi ada yang menarik kala itu, beliau mengatakan hanya menyediakan waktu 10 menit untuk wawancara dan di tangannya telah tergenggam buku-buku yang ditulis maupun karya yang dialihbahasakannya. Kesimpulan yang saya tangkap, beliau hanya mau diwawancara berkaitan dengan buku-buku karyanya. Benar saja, belum sempat saya menjabat tangan, beliau telah lebih dulu membuka obrolan dengan panjang lebar menjabarkan dua buah buku tebal  berjudul Borneo Bagian Barat Geografis, Statistis, Historis 1854 dan Borneo Bagian Barat Geografis, Statistis, Historis 1856  tulisan Profesor Pieter Johannes Veth yang telah dialihbahasakannya dan diterbitkan pada April 2012. Khusus dua buku dengan judul yang telah disebutkan di atas dikerjakan dalam waktu yang terbilang cukup lama, kira-kira sepuluh tahun. Hal ini disebabkan pada saat beliau menggarapnya,  di masa yang sama beliau menjabat sebagai pastor paroki. Ia sendiri memulai terjun ke dunia kepenulisan sejak 1979, dalam buku Doa dan Berkat Sepanjang Tahun, yang pada 2004 saja telah menjejaki cetakan ke tujuh. Antusiasnya kentara kala  saya mengungkapkan ketertarikan pada salah satu buku yang diterbitkan bertepatan dengan 50 tahun ia berkarya di Indonesia, Sejarah Kongsi Lan-Fong Mandor yang telah saya baca tuntas sebelum proses wawancara dilakukan. 

Rupanya ada kisah yang cukup menggelikan di balik penerbitan buku-buku beliau yang diluncurkan bertepatan dengan tahun emas dalam berkarya di Indonesia. “Dulu satu tahun yang lalu, mereka bicara mau merayakan 50 tahun saya di Indonesia, saya bilang oke kalau segala buku beres, semua ikut menolong, kira-kira 15 orang. Kalau tidak minimum lima, kalau tidak, tidak jadi,” tegasnya. Berbekal kalimat sakti yang separuh berisi ‘ancaman’ ini maka panitia perayaan 50 tahun Pastor Yeri berkarya di Indonesia dituntut bekerja ekstra keras. Namun, di sela-sela penjabaran mengenai buku-buku yang diterbitkan bertepatan dengan perayaan setengah abad beliau berkarya di Indonesia, terdengar nada sedikit kurang puas  mengenai ketidaktepatan penerbit dalam mencetak yang jika dirunut dapat berakibat fatal. “Ada yang tidak beres, berubah waktu mereka cetak cepat-cepat, Lanskap Pinoh, tidak ditulis tahun berapa, orang pikir dibuat tahun ini. Di sini juga tidak disebut sumber, di sini juga kata pengantar dari saya, saya buat sebagai keterangan, tapi ditulis J.P.J. Barth. Ini juga ada, J.T. Willer juga, tidak disebut tahun, Eks Residen Pontianak,  dari ITLV dari situ diterbitkan. Kata pengantar, ditulis oleh J.T. Willer. Di sini ada lagi, catatan dari penerjemah, ditulis penerjemah J.T. Willer. Di buku Kongsi Monterado, ini juga tidak ada tahun, dan nama orang itu hilang. Gambar satu orang penting dari Monterado, ini terbit dari 1893, Liu Chang Po kapten Monterado dari abad ke 18. Harus ada nama itu juga di situ. Dunselman (buku dengan judul Adat dan Bahasa Dayak Kendayan Kalimantan Barat) di sini juga tidak ada tahun dan nama di sini, saya tulis mereka hilangkan. Ini Pastor Dunselman karena itu saya masukkan (sambil menunjuk salah satu biarawan yang terdapat di cover buku), dan foto ini juga sebenarnya menarik karena ini Seminaris Pontianak, sebelum zaman Jepang. Salah satu dari ini, Oevaang Oeray. Dia termasuk salah satu dari ini, saya pikir ini, tapi saya tidak tahu. (sambil spekulasi menunjuk salah satu dari orang-orang yang terdapat dalam foto di cover buku. Belakangan setelah saya coba telusuri fakta melalui internet, memang sosok yang ditunjuk oleh beliau adalah Oevaang Oeray). Nama selain Pastor Dunselman saya tidak tulis tapi justru ini, karena ini buku ditulis Pastor Dunselman. Dalam buku sama sekali tidak ada keterangan tentang foto. Tapi kalau di sini, ada nama, orang tahu itu penulis bukunya,” ujarnya.

Meski telah menghasilkan beberapa buku yang ditulis sendiri maupun alihbahasa, beliau masih selalu berproses dalam menghasilkan karya. Terdapat sekitar 7 buku yang sedang dalam proses penerbitan, belum lagi sebuah buku yang memang sedang dalam proses pengerjaan, buku berjudul Borneo Almanak. “Buku ini berisi kutipan dan foto-foto dengan  format 360 halaman. 76 halaman dengan foto saja, 629 foto. Borneo Almanak adalah buku tahunan dari Kapusin Belanda untuk mencari dana dan juga memperkenalkan daerah misi baik Borneo maupun Sumatera. Buku ini berisi cerita umum, lelucon dan apapun tapi juga banyak berisi informasi, surat yang pastor-pastor kirim, renungan, tapi juga banyak yang  mereka alami, dan berisi satu sejarah gereja, permulaan yang cukup menarik,” paparnya. 

Saya sempat mencecar beliau dengan pertanyaan mengenai alasan yang menggugah beliau untuk menerjemahkan buku-buku yang berkaitan dengan sejarah lokal Kalimantan. Jawaban cukup logis sekaligus mencengangkan  saya terima, “Orang hampir tidak tahu sejarah diri sendiri dan banyak catatan yang sekarang dibuat tidak benar, yang salah, atau semua sesuai dengan kepentingan sendiri terkadang dibuat menjadi sejarah. Setelah itu saya pikir ada satu-satunya kemungkinan karena sumber bahasa Indonesia tidak ada, pemeriksa juga hampir tidak ada, yang ada hanya dari Sumatera, Jawa, dan Bali, tidak ada kemungkinan lain lagi, buku semacam ini, orang Indonesia walaupun pandai bahasa Belanda cukup baik hampir tidak bisa menerjemahkan, karena bahasa sudah kuno, bahasa Belanda. Juga banyak bahasa Perancis dipakai, bahasa Jerman. Mengartikan itu harus ada orang yang ada sedikit feeling untuk menerjemahkan, lain kemungkinan untuk menerjemahkan tidak ada,” ujarnya.        

Pastor yang setelah purnakarya tak berniat kembali ke Belanda ini ‘terasa lebih Indonesia’ dibandingkan orang yang asli Indonesia, tak berlebihan dikatakan demikian karena berdasarkan fakta yang ditelusuri di lapangan, terdapat beberapa artikel yang menyebutkan bahwa pastor yang resmi menjadi WNI pada 1981 ini pernah membebaskan seorang warga terkait sengketa tanah yang akan dijadikan perkebunan. Kalimat pujian saja rasanya tak cukup untuk mengapresiasi tindakan beliau. Bahkan orang asli Indonesia sendiri kadang tidak peduli dengan kondisi lingkungan alamnya. Kembali jawaban merendah, menyuruk bumi namun bernada jenaka saya dapatkan,  “Tapi waktu itu saya tidak sendiri, Sering pastor harus menjadi bendera, harus muncul karena saya dengan sengaja pakai jubah putih, supaya orang nampak, supaya orang yang lebih hebat itu takut. Ini  taktik juga. Waktu dulu kerusuhan saya juga ambil lebih 300 anak asrama Nyarumkop, pindahkan ke Menjalin, sewa 10 bus dengan berapa truk, di tengah-tengah perang saya juga pakai jubah putih segala aparat tidak banyak omong,” paparnya dengan nada bersungguh-sungguh yang malah memancing gelak tawa saya. 

Hal lain yang juga menjadi fokus perhatian dalam hidup beliau adalah mengenai pelestarian alam. Dengan wajah serius beliau memaparkan, “Tanah Kalimantan sebenarnya tidak cocok untuk kelapa sawit,  hanya dengan tambah banyak pupuk. Tidak bisa disamakan dengan tanah di Sumatera. Di sini kalau satu kali ditanam sudah, habis. Lain di Sumatera, bisa berganti-ganti, di sini tidak. Lihat asap, lihat air.  Lihat segala-galanya mengalami kemunduran. Apa yang dicintai manusia nanti juga akan hilang.  Saya benar-benar meragukan nanti kalau khusus berhubungan dengan orang Dayak bahwa sepuluh, dua puluh tahun masih ada orang Dayak atau tidak. Memang manusia tetap akan ada, tapi suku bukan sebagai suku lagi, segala dasar akan hilang, artinya mereka nanti akan menjadi terpinggirkan oleh segala perubahan, pulau hancur. Lihat asap. Harus baca doa kami bagi orang yang ‘membangun’ Kalimantan,” ungkapnya. (Bahwasanya doa para ‘pembangun’ Kalimantan 2015 ditulisnya sebagai sarkasme yang dibacakan saat beliau memimpin perayaan Ekaristi  pada 27 September 2015 di Gereja St. Fransiskus Assisi. Di bagian akhir artikel ini dilampirkan ‘doa’ tersebut.) 

Kiranya selain pembahasan mengenai buku, obrolan tentang lingkungan dan alam mangkus menjadi senjata saya mengulur waktu untuk menggali lebih banyak hal yang berkaitan dengan pandangan anak kedua dari lima bersaudara kelahiran Belanda, yang ia sendiri tidak tahu tanggal lahirnya namun hanya mengingat hari Minggu, pukul 2 siang, pada suatu April di 1938 itu. Bukan rahasia jika kebanyakan sosok Eropa dikenal mencintai Indonesia karena tertarik pada budaya maupun kultur, namun baginya, tak ada hal lain yang mendasar yang membuatnya bertahan berkarya selama setengah abad  di Indonesia selain karena alasan  mencintai manusia. “Kebudayaan sesuatu ungkapan, dari siapa orang itu dan bagaimana mereka hidup, bisa disuka, bisa dilihat, tapi bukan itu alasan saya di sini. Alasan manusia, dan alam yang dirusak,” tegasnya. 

Sedikit mengalami kesukaran kala saya berusaha menggali lebih lanjut mengenai kehidupan pribadinya. Saat itu saya pertanyakan alasannya memilih menjadi biarawan, hanya jawaban ringkas yang saya dapatkan, “Kalau saya lahir sekarang mungkin tidak menjadi pastor. Ini jalan Tuhan. Saya juga tidak tahu.” Kejahilan saya kambuh manakala mendengar jawaban beliau. Iseng saya tawarkan beberapa profesi, artis, dosen, atau penulis buku, spontan beliau menjawab dengan nada khasnya bicara yang serius tetapi malah mengundang derai tawa, “Artis pasti tidak, saya tidak bisa menyanyi, tidak pandai bersandiwara. Saya belum pernah mengajar, saya belum pernah beri retret. Saya juga tidak pandai omong setengah jam, satu jam, hanya menjadi omong kosong. Seperti berapa kali di gereja khotbah setengah jam atau lebih sebenarnya berapa kali saya mau lari tapi saya pikir banyak orang lihat, benar itu kalau orang tidak lihat, saya pasti lari. Kalau khotbah begitu lama  dan sama sekali tidak ada aturan apapun, omong mengenai apa, setengah hati pun tidak bisa ditangkap, lihat umat di gereja dalam ekspresi mengantuk. Hampir tidak ada yang mendengar, apa gunanya saya pikir itu. Untung saya pikir orang Katolik itu baik rupanya, coba tahan mendengar itu ya,” candanya.

Pada akhirnya 52 menit total waktu obrolan dari yang awalnya hanya bersedia 10 menit saja untuk melayani wawancara. Begitu banyak hal didapat untuk mengenal pribadinya secara lebih dekat. Pribadi yang humoris, cermat, hangat dan begitu bersahabat. Profisiat, Pastor. Semoga selalu sehat dan penuh berkat dalam berkarya dan melayani umat. (Hes)  

Bibliografi:
  •  Doa dan Berkat Sepanjang Tahun (tahun terbit; 1979), hingga kini masih dicetak dapat diperoleh di Emaus.    Batakki (Berita Antar Kampung Kita)  (tahun terbit; 1997)
  • Borneo Bagian Barat Geografis, Statistis, Historis 1854, penulis P.J. Veth, dialihbahasakan P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; April 2012), diterbitkan oleh Institut Dayakologi
  • Borneo Bagian Barat Geografis, Statistis, Historis 1856, penulis P.J. Veth, dialihbahasakan P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; April 2012), diterbitkan oleh Institut Dayakologi
  • Sejarah dan Geografi Daerah Sungai Kapuas Kalimantan Barat,  penulis J.J.K. Enthoven, 1905, judul asli Bijdragen Tot De Geographie van Borneo’s Wester-Afdeeeling, dialibahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; 2013), diterbitkan oleh Institut Dayakologi
  • Sejarah Sanggau “Het Rijk Sanggau” (tahun terbit; 2014) terjemahan diambil dari buku Indische Taal; Land; en Volkenkunde, terbitan Bativaansch Genootschapp van Kunsten en Wetenschappen tahun 1884, penulis H.P.A. Bakker, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, diterbitkan kembali oleh Pemerintah Kabupaten Sanggau, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sanggau.
  • Adat dan Bahasa Dayak Kendayan Kalimantan Barat, penulis P. Donatus Dunselman, OFMCap, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; September 2015), diterbitkan oleh Pohon Cahaya, dapat diperoleh di Pastoran Singkawang.
  • Kongsi-kongsi Monterado Sumbangan kepada sejarah dan pengetahuan dari perkumpulan-perkumpulan orang Cina di Pantai Barat Borneo, penulis S.H. Schaank, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; September 2015), diterbitkan oleh Pohon Cahaya, dapat diperoleh di Pastoran Singkawang.
  • Kronik Mampawah (dan Pontianak), penulis J.T. Willer, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; September 2015), diterbitkan oleh Pohon Cahaya, dapat diperoleh di Pastoran Singkawang.
  • Lanskap-lanskap di Pinoh-Hulu (Bagian Barat Borneo), penulis J.P.J. Barth, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; September 2015), diterbitkan oleh  Pohon Cahaya, dapat diperoleh di Pastoran Singkawang.
  • Sejarah Kongsi Lan-Fong Mandor, penulis Dr. JJ.M. De Groot dan J.W. Young, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; September 2015), diterbitkan oleh Pohon Cahaya, dapat diperoleh di Pastoran Singkawang.  

DOA PARA ‘PEMBANGUN’ KALIMANTAN 2015

Karya Pena : Pastor Yeremias, OFMCap

Bapa kamu, UANG, yang ada di bumi
dimuliakanlah namamu, perkuatkanlah kerajaanmu

Engkaulah, Uang, mengatur raja-raja, pemerintah-pemerintah,
mereka yang harus ambil keputusan.

Tutup mata dan hati mereka terhadap penderitaan rakyat
dan penghancuran lingkungan hidup.

Berilah bahwa kami tidak ditindak
kalau kami membersihkan lapangan yang kami butuhkan
dengan membakar saja,
walaupun itu mengakibatkan banyak asap
yang merugikan banyak orang,
baik fisik, ekonomis dan mental.

Semoga di bawah bimbinganmu perkebunan sawit dan
pertambangan bertambah banyak.

Berilah kami, dibantu oleh pemberianmu sendiri,
banyak orang yang mudah dibutakan
agar mereka tidak melihat masa depannya sendiri
dan dari anak-cucunya.

Berilah kami banyak orang yang mau kerja dengan gaji rendah
tanpa mengomel.

Aturlah bahwa mereka semua kehilangan tanahnya
dan berhutang kepada kami
agar mereka selama-lamanya terikat.

Jangan membawa kami kepada pertobatan,
tetapi tolonglah agar pemimpin-pemimpin agama-agama,
dan tokoh-tokoh masyarakat tetap bersedia,
memberkati atau mendukung usaha-usaha kami,
sesudah terima sumbangan secukupnya
untuk tujuan yang baik atau koceknya sendiri.

Karena hanya Engkaulah Uang yang penting
dan pantas dicari dan dipuji untuk selama-lamanya.

Amin.




5 Jun 2017

23 Tahun Imamat; 10 Tempat Menggembala Umat

23 Tahun Imamat; 10 Tempat Menggembala Umat


Jika tak mengenal pribadinya, jika sekilas saja awam memandangnya, maka kesan pertama yang akan muncul darinya adalah sosok seorang pengusaha. Dengan kulit yang putih bersih dan tampilan demikian rapi rasanya tak berlebihan andaikata banyak yang terkecoh. 

Pribadinya dinamis, antusias, dan sangat cermat memperhatikan lawan bicara. Setidaknya itulah kesan yang saya tangkap manakala berhadapan dengan pria yang sudah menghayati kehidupan imamatnya selama 23 tahun. Siang itu di tengah riuhnya derai tawa dan canda para biarawan region Singkawang dan sekitarnya berkumpul di pastoran Singkawang, ia adalah salah seorang di antaranya. Saat itu saya sengaja singgah ke pastoran guna mengembalikan diska lepas pada pastor paroki yang beberapa hari sebelumnya diserahkan kepada saya guna menyetorkan artikel yang akan dimuat di buletin. Pada kesempatan itu juga saya sempat menanyakan pada pastor paroki siapa kiranya sosok yang akan dikupas profilnya pada buletin edisi yang akan datang. Entah mengapa, saya dan pastor paroki semacam tak sengaja bersepakat mengarahkan pandangan pada sosoknya. Ia yang siang itu mengenakan kemeja merah memang tampak mencolok di antara pastor-pastor lainnya. Serta merta pada kesempatan itu juga saya ‘melamar’ kesediaannya untuk menjadi sosok yang akan diangkat dalam Rubrik Sosok Likes edisi 13. Bukan tanpa alasan saya menyematkan kesan dinamis, antusias, dan cermat padanya, karena di siang itu juga ‘lamaran’ saya diterima dengan sangat terbuka, nada suara ringan, dan tak bertele-tele.

Temu janji dilakukan. Di tengah kesibukannya memimpin persekolahan ia tetap memberikan saya ruang dan kesempatan. Ketukan pada pintu saya daratkan. Tak lama, pintu dibukakan langsung oleh sosok yang saya tuju. Dengan ramah saya disilakan menuju ruang makan yang cukup teduh dan luas. Diiringi tembang-tembang rohani yang mengalun lembut, saya memulai pembicaraan.

Jujur ketika menghadapi beliau hampir semua daftar pertanyaan yang sudah saya susun sebelumnya menjadi berantakan. Pertanyaan-pertanyaan saya yang sungguh awam terhadap posisi beliau membuat wawancara sedikit mengalami kekacauan. Sepertinya beliau menangkap kebingungan saya, namun dengan kebijakan dan keramahtamahan beliau, obrolan tetap mengalir ringan.   

Terlahir di Ketori, 53 tahun silam tepatnya 20 April 1964, ia sulung dari tujuh bersaudara. Dengan penuh semangat dan bangga ia menuturkan bahwa ayahnya adalah seorang katekis yang banyak meng-Katolikkan orang dan seringkali memimpin ibadat pernikahan. Melalui jalan katekis itu juga yang membuatnya berdiri begitu rapat dan erat dengan panggilan imamat. Heri kecil tak dapat menyangkal keterpesonaannya terhadap jubah para imam yang ketika turne seringkali menginap di rumah orang tuanya. Baginya jubah yang dikenakan oleh para imam sangat sakral. Sungguh berbeda dan istimewa, tak semua awam bisa mengenakannya. Ada penggalan kenangan jenaka dituturkannya berkenaan dengan denyar panggilan imamat yang sejak usia dini sudah didengarnya, “Sejak kecil saya sudah sering bermain misa-misaan. Umatnya adik saya, pastornya saya. Lalu saya memakai pakaian ibu yang diandaikan sebagai jubah, dan irisan pisang sebagai hostinya,” ujarnya dengan sudut mata menyipit menandakan ada suatu dimensi waktu di masa lalu yang menyambangi ingatan dan perasaannya sekaligus menimbulkan efek bahagia ketika dikenang. 

Masih berkait dengan panggilannya sebagai imam, ia juga sempat menuturkan bahwasanya semasa masih berusia remaja nanggung ia berkuat hendak menempuh kehidupan sebagai gembala karena dalam angannya seorang imam tak perlu menempuh pendidikan yang melibatkan ilmu yang beragam, matematika dan lain sebagainya. Pendek kata ia berpikir bahwa untuk ditahbiskan menjadi pastor ilmu yang dikuasai hanya ilmu pastor. Tergelak saya mendengar kisah yang disampaikannya dan membuat saya berujar, “Padahal untuk menjadi pastor jauh lebih berat ya, minimal harus bergelut dengan filsafat yang begitu berat, dan teologi yang juga tidak bisa serta merta langsung dipahami.” 

Kisah lain yang tak kalah mewarnai keragu-raguannya dalam memulai langkah pastoral adalah pengalaman yang sempat menciutkan hatinya berkenaan dengan tarik suara. Terdengar agak ajaib memang jika Heri kecil sempat berpikir untuk mengurungkan niatnya menjadi imam karena ia merasa tak pandai menyanyi. Pengalaman ketika kecil memiliki dan berhadapan dengan pastor asal Swiss yang jago bernyanyi membuatnya berpikir untuk menjadi seorang pastor haruslah sosok yang pandai bernyanyi. Akhirnya semakin bertambah usia, pengetahuannya semakin terang benderang, bahwasanya pandai menyanyi bukanlah salah satu tuntutan untuk menjadi pastor.
 
Bicara soal penempatan tugasnya sebagai imam, pria berkacamata silinder ini bercerita banyak dan sangat runtut. Ia masih kuat mengingat berbagai kejadian monumental yang akhirnya membentuk jejak-jejak tak terlupakan dalam kenangan. Sekelumit kisah yang sebenarnya membekas bahkan mengundang traumatik ia tuturkan. Ibarat kata, lukanya memang sudah sembuh, namun bekasnya masih terasa bila diraba. Ya, beliau sempat beberapa waktu merasakan enggan ketika hendak dikirim pulang ke tempat awal menggembala usai ia ditahbiskan. Seperti yang disampaikannya ketika awal kehidupan menggembala ia ditempatkan di persekolahan Nyarumkop dan bertugas sebagai salah satu pengajar. Dalam kurun waktu singkat berbagai kejadian silih berganti menempa kematangan emosionalnya. Hal terberat yang menggusarkan mata batinnya adalah ketika sudah dengan sepenuh jiwa ia mengusahakan untuk berkarya, namun ada saja pihak yang tak membaca perjuangannya sebagai sesuatu daya yang bertujuan membentuk karakter anak menjadi lebih mulia. “Kita sudah memberikan waktu siang malam tetapi itu yang kira terima, umpatan, makian. Tapi saya menyadari bahwa itu semua adalah bagian dari pelayanan,” tegasnya. Ya, ia yang kini duduk di hadapan saya telah berhasil melewati masa-masa pendewasaan itu. Sesuai dengan kutipan Pram, “Bila akar dan batang sudah cukup kuat dan dewasa, dia akan dikuatkan oleh taufan dan badai.” (Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah)
 
Tercatat sepanjang karir kegembalaan, ia telah berpindah ke berbagai tempat pelayanan sebanyak sepuluh kali. Menyikapi hal itu pemilik nama lengkap Heribertus Samuel, OFMCap., ini selalu memegang prinsip di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. “Suasana tempat tugas di mana-mana pasti berbeda. Pertama dan menjadi kunci utama kita harus merasa at home. Harus cepat beradaptasi dengan pekerjaan dan lingkungan, dengan demikian kita dapat bekerja dengan baik. Sepuluh kali pindah saya tidak merasa terikat dengan satu tempat. Pindah ya pindah. Contoh ketika propinsial menelepon memindahkan saya. Tidak harus bertemu langsung tapi by phone, oh bisa  pindah ke mana saja ok.” Baginya hal yang bisa dipermudah tidak perlu dipersulit. “Pimpinan tentunya  sudah menimbang dan mendiskusikan kemanapun saya ditempatkan,” lanjutnya. Dalam batin saya menggumam, betapa patuh dan taatnya ia pada panggilan pelayanannya. Tak berhenti sampai di situ kekaguman saya menyeruak terhadap sosoknya karena di sela-sela obrolan kami, ia sempat menceritakan kesukaannya bercocok tanam dan memelihara hewan ternak. Rasanya tak terbayang jika sosok rapi dan bersih yang sedang duduk di hadapan saya bersedia membersihkan kandang dan berbagai jenis kotoran hewan. Namun itulah yang terjadi. Dari jagung hingga sayur, dari ayam sampai marmut tak lepas dari sentuhan tangan dinginnya. Baginya, menghayati bekerja adalah sebagai bagian dari hidup. “Homo laboran, salah satu identitas manusia. Jika manusia malas dia bukan manusia. Malas yang betul-betul malas, ya. Bagi saya segala pekerjaan adalah relatif. 

Dasarnya saya tidak memilih kerja. Dari memungut sampah, bersih-bersih lingkungan, berkebun, bakar sampah dan itu biasa saya lakukan, hampir setiap hari. Nanti sore penampilan saya akan lain. Saya bekerja memakai kaos, sepatu boot untuk berkebun, akan lain dengan yang sekarang,” paparnya. Saya berdecak. Sungguh, rasanya masih sulit membayangkan ia yang demikian rapi tiba-tiba harus bergelut dengan sampah atau mencangkul tanah.


Ketika iseng saya bertanya di mana tempat bertugas paling istimewa, maka dengan gamblang ia menuturkan bahwa semua tempat tugas baginya masing-masing memiliki keistimewaannya. “Jakarta tidak bisa disamakan dengan Pontianak, apalagi Nyarumkop. Untuk kenyamanan yang terpenting kita cepat merasa at home sehingga kita tidak lagi memikirkan yang sudah lewat. Ada kenyamanan dan sebagainya, itu kan ekstra, yang sudah lewat ya sudah di awang-awang, tempat tugas terbaru kita dan di mana kita berada saat ini adalah yang  real. Memang tidak selalu gampang ketika pindah, tapi ini perutusan dari kongergasi utk melayani. Karena itu saya selalu bersyukur diminta untuk bertugas sana-sini, membuat pengalaman kita lebih beragam. Setiap pengalaman relatif namun dasar pelayanan adalah prinsip ketaatan untuk gereja,” imbuhnya.
 
Meski ia berdarah asli tanah Borneo, namun putera dari almarhum Bapak Alfonsus Agen dan almarhumah Ibu Bernadeta Deta ini sama sekali tak keberatan dipanggil dengan sebutan Romo, sebutan bagi umumnya gembala di tanah Jawa. Hal ini berkait erat dengan pengalamannya menggembala umat di ibu kota. Tercatat dua kali ia ditempatkan di pulau Jawa dan dalam kurun waktu itu juga ia merasakan berkat yang sungguh pekat dalam kehidupan imamat. Setidaknya dataran Eropa baik timur maupun barat telah dijelajahinya, beberapa negara di Asia telah disambanginya, dan berbagai pengalaman tak biasa telah  dirasakannya, termasuk pengalaman berakting dalam sinema elektronika mini bertajuk rohani. Ya, semua hal itu sangat disyukurinya sebagai buah dari kehidupan menggembala.

Ditanya soal perspektif memandang dunia pendidikan yang kini dibawahinya dan relevansi dengan kondisi saat ini, dengan lugas ia bertutur, “Pendidikan sangat penting karena pendidikan membuka wawasan pikiran. Sesuai dengan moto pendidikan di sini, Non schole sed vitae discimus, kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup. Dengan sekolah orang membuka pikiran, dan tentu dengan pikiran yang terbuka kesuksesan dalam hidup dapat diraih. Untuk suasana real di lapangan sendiri zaman dulu jauh berbeda dengan sekarang. Sekarang terasa semangat studi sangat lemah padahal sekarang kompetitifnya lebih susah. Setiap hari ada kasus. Ada sifat melawan dari anak, cuek, menyukai hal-hal praktis. Memang tidak semua siswa bersikap seperti itu, tapi yang sedikit itu bisa memengaruhi yang lain karna itu masalah ketika hidup dalam lingkungan sosial. Tapi itulah tantangan. Tapi bisa kita lihat hasilnya, tamatan dari Nyarumkop akan lain karena mereka tinggal di asrama” ujarnya mantab.

Disoal mengenai harapan ke depan tentang dunia yang kini dalam asuhannya, ia menyatakan sangat memendam asa bahwa Persekolahan Katolik Nyarumkop dapat lebih eksis dan mampu bersaing dengan sekolah lain. Selain itu pendidikan tidak berjalan sepihak dalam artian antara pendidik, yang dididik, dan pihak keluarga dapat kooperatif dalam membentuk manusia berkarakter mulia. 

Kini ia berada nun di timur Kota Amoy, bertenang diri dan mengabdi sebagai pemimpin umum Persekolahan Katolik Nyarumkop. Menjamin keberlangsungan segala hal yang berkait dengan pendidikan di persekolahan yang berdiri lebih dari seabad yang lalu tetap berjalan dengan baik dari jenjang Taman Kanak hingga Topang. Selamat bertugas, Romo. Semoga selalu sehat dan bersemangat dalam panggilan imamat dan dalam tugas-tugas berat. (Hes)

Riwayat Pendidikan 

SDN Ketori (1973 - 1979)
SMP Gunung Bengkawan (1979 - 1981)
SMA Seminari Santo Paulus Nyarumkop (1981 - 1984)
Tahun Persiapan/Retorika, Pematang Siantar (1984 - 1985)
Novisiat Parapat (1985 - 1986)
STFT St Yohanes (1987 - 1991)
Tahun Orientasi Panggilan, Menjalin (1991 - 1992)
STFT St Yohanes (1992 - 1994)

Kegembalaan

Tahbisan Imam 20 Oktober1994 di Laverna, Sanggau.
Ngabang (1994)
Nyarumkop (1995 - 1997)
Paroki Tebet, Jakarta (1997 - 1999)
Postulat Sanggau (1999 - 2003)
Pos Novisiat Singkawang (2003 - 2004)
Tirta Ria, Pontianak (2004)
Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (2004 - 2007)
Paroki Tebet, Jakarta (2007 - 2012)
Biara San Lorenzo, Pontianak (2012 - 2016)
Pimpinan Umum Persekolahan Katolik Nyarumkop (2016 - sekarang)          

15 Jan 2016

SETAPAK TAK BERJARAK DENGANNYA, SANG MUTIARA PENEBAR CERIA

SETAPAK TAK BERJARAK DENGANNYA, SANG MUTIARA PENEBAR CERIA

“Mahkota apa yang saya cari selain satu tujuan, mencerdaskan generasi bangsa. Sudah terlalu tua bagi saya untuk mencari sensasi. #renungan”



Tersentak saya kala membaca status media sosial pada aplikasi pesan instan biarawan periang nan enerjik itu. Status itu pula yang semakin menyadarkan dan menguatkan paradigma saya bahwa sosoknya berbeda, ia begitu istimewa. 

Bruder Valensius Ngardi, S.Pd, MTB, atau lebih sering disapa Bruder Flavi. Pria kelahiran Manggarai, Flores, 4 Juli 1975 itu pertama kali saya jumpai pada 3 September 2014 lalu. Kala itu dalam suasana formal sebuah pertemuan yang digagas oleh dinas yang menaungi  tempat keseharian kami berkarya tengah getol-getolnya menyasar tiap sekolah guna menyosialisasikan kurikulum baru. Pada saat itu saya sempat mengamati dari kejauhan, beliau yang baru menduduki jabatan sebagai pucuk pimpinan salah satu Sekolah Menengah Pertama di Singkawang terkesan sedikit canggung ketika harus berbaur dengan pimpinan dari sekolah lain. Saya sempat menanyakan perihal wajahnya yang rasanya begitu asing bagi saya kepada salah satu pimpinan sekolah yang saya kenal. Jawaban yang lantas mampu menuntaskan keingintahuan saya terima, “Beliau Kepala Sekolah SMP Tarsisius yang baru.” Pada saat itu yang terlintas dalam pikiran saya, “Ow, ini rupanya sosok yang kemarin-kemarin sempat diceritakan rekan sesama pengajar di sekolah tempat saya mengabdi dulu.” Sadar jika diperhatikan, beliau lantas melempar senyum ke arah saya yang saya balas dengan anggukan.

Pertemuan kedua kami terjadi pada medio Desember 2014. Kali ini jabat tangan dan perkenalan diri dapat kami lakukan secara langsung dalam suasana yang lebih santai dan akrab. Saya ingat betul kalimat yang lantas dilontarkan beliau pada saat berjabat tangan, 

“Rasanya sering lihat, Mbak.,” 
“Ya, Der, kita pernah bertemu di sosialisasi Kurikulum 2013, saya salah satu instruktur yang ada di situ, mungkin Bruder juga pernah lihat foto saya di Tarsi, saya dulu mengajar di Tarsi (SMP Santo Tarsisius.red).”  

“Ow, ya, ya, kita sekarang satu tim.” 
Ya, saat ini kami satu tim dalam meramu buletin gereja. Pertemuan kali itu berlangsung begitu singkat. Tidak banyak yang dapat saya tangkap dalam kesan pada pertemuan kali itu selain nada bicaranya yang ringan dan terasa begitu bersahabat. 

Perkenalan selanjutnya hanya berjalan searah, prosesnya terjadi melalui kebiasaan saya yang sering berusaha mengenali pribadi orang lain dengan cara mengamati ekspresi wajah dan gaya melalui  foto-foto. Ada rasa takjub manakala saya disodori foto sesosok lelaki dengan dandanan dan kostum lengkap sebagai badut dengan latar belakang persawahan ditambah keterangan dari sang juru foto, “Mbak, tahu ini siapa? Ini Bruder Flavi, lho!” Mengernyit dahi saya kala itu, mencoba menelisik detil foto di hadapan saya sembari perlahan mengurai pola pikir yang rasanya bersimpul-simpul, menyeimbangkan antara kenyataan beliau adalah pucuk pimpinan di sekolah dan begitu berwibawa dengan kontradiktif sikapnya yang membumi menjadi penghibur, pembawa ceria bagi sesama yang dijumpainya dalam balutan kostum dan dandanan badut. Ya, kala itu beliau berdandan ala badut guna menghibur umat di salah satu stasi dalam rangka perayaan natal bersama.     

Kesan ketiga yang juga benar-benar lekat dalam ingatan saya adalah ketika suatu sore di bulan  Juni 2015, usai gerimis tipis mengguyur kota Singkawang, langkah kaki saya digiring ‘pulang’ ke tempat saya pernah mengabdikan diri. Saat itu saya sengaja ‘pulang’ ke sekolah tempat dimana sang badut yang sekaligus pucuk pimpinan mempersembahkan segenap waktu, tenaga, dan pikirannya dalam berkarya, SMP Santo Tarsisius. Sambutan hangat seolah menyambut kerabat dekat pun segera saya dapat. Banyak hal kami perbincangkan, beliau begitu antusias membahas rencana-rencana dalam membangun sekolah ke arah kemajuan. Yang membuat sangat terkesan adalah keterbukaannya menerima berbagai masukan yang saya berikan. Padahal seringkali dalam keseharian, saya merasa dianggap ‘anak bawang’, suara dan pendapat saya lebih sering dikesampingkan, namun di hadapan beliau pendapat saya diperhitungkan. Satu lagi kesan yang saya dapatkan, beliau adalah tipikal pemimpin yang menghargai dan mendengarkan. 

Usai kunjungan ‘pulang’ saya ke SMP Santo Tarsisius sore itu, komunikasi kami lebih banyak dilakukan via pesan instan maupun surat elektronik. Pernah dalam kurun suatu masa, anak keempat dari enam bersaudara ini bertubi-tubi mengirimkan artikel melalui surat elektronik untuk dimuat di Buletin Likes. Saya begitu takjub dengan kesanggupannya meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menulis berita di sela-sela kesibukannya sebagai pimpinan yang saya yakini sudah terlampau sarat tugas dan kewajiban. 

Kiranya keberuntungan untuk lebih mengenal dekat sosoknya selalu menyertai saya. Pada suatu kesempatan, tepatnya pada perayaan 110 tahun Kapusin berkarya di Singkawang, kami digadang dalam sebuah tim yang menangani sektor pameran. Entah mengapa kala membaca namanya sebagai koordinator seksi pameran, tidak ada kepanikan yang saya rasakan meski mengetahui pameran ini akan dikunjungi minimal dengan skala regional Kalimantan Barat. Dan benar saja, dalam beberapa kesempatan rapat persiapan juga saat eksekusi ide yang sudah dirancang, sosoknya yang periang kembali menimbulkan kejutan-kejutan. Pada umumnya, orang yang sifatnya periang dan enerjik yang selalu saya jumpai bukanlah tipikal orang yang detil dalam menghadapi apapun, namun ternyata pengecualian berlaku pada putera Bapak Ignasius Gentor dan Ibu Elisabet Ahul ini. Beberapa kali saya terperangah ketika  beliau begitu rinci meneliti satu persatu kesiapan kegiatan. Tidak berhenti sampai di situ, lagi-lagi sikapnya yang membumi seolah melucuti rasa malu saya satu per satu. Di tengah persiapan kegiatan, saya yang saat itu tengah memasang proyektor untuk menampilkan slide-slide foto di ruang pameran sempat mematung demi menyaksikan sosoknya yang dengan cekatan mengepel ruangan pameran. Kembali logika saya dibenturkan pada kenyataan antara sosoknya yang seorang pimpinan dengan keikhlasannya melakoni berbagai pekerjaan.

Siang itu, di sela kesibukannya mengurus rumah tangga persekolahan yang dipimpinnya saya melakukan temu janji. Ketika saya menyambanginya, tak seperti pemimpin yang pada umumnya berkutat di ruang kerja, dari jauh ia terlihat duduk santai di pinggir lapangan basket. Membaur, tak menjarak dengan peserta didiknya. Tak perlu heran jika suatu kali Anda akan menjumpainya duduk lesehan di lantai saat jam istirahat sekolah, bergabung dengan para murid, karena memang demikianlah dalam kesehariannya. 

Manakala ditelisik alasannya memilih kehidupan membiara, dengan antusias ia mengisahkan ketertarikannya diawali ketika masih duduk di sekolah dasar, ia telah bergelut dengan aktivitas sebagai misdinar. Berlatar orang tua sebagai ketua kring pun ternyata menjadi salah satu hal yang semakin menguatkannya untuk mengenal lebih dekat kehidupan ‘kaum berjubah’. “Dulu kami tinggal di pedalaman, dikunjungi pastor sekali sebulan, dan bisa dipilih menjadi misdinar rasanya senang sekali,” uangkapnya bernostalgia.

Di balik penampilan cerianya, ternyata ia menyimpan penggalan kisah mengharu biru. Flavi kecil pernah hampir putus sekolah. Disebabkan latar ekonomi keluarga yang agak terseret karena ayahnya harus membiayai kakak-kakak lainnya yang juga bersekolah, ia lantas diajak untuk tinggal di pastoran sebagai karyawan semacam koster. Membaca tekadnya yang gigih untuk beroleh pendidikan, sang pastor baik hati yang mengajaknya tinggal di pastoran itu lantas memberikan lampu hijau padanya untuk dapat melanjutkan pendidikan, dengan catatan setiap Sabtu, Flavi kecil harus izin sekolah dan tetap membantu pastor untuk mengunjungi stasi.

Berbagai pergulatan dalam menempuh kehidupan dan pendidikan akhirnya mengantar langkah Flavi pada Kongergasi MTB. Ia paham betul bahwa dunia pendidikan menjadi salah satu konsentrasi dalam kehidupan religiusnya sebagai biarawan. Sebenarnya tak ada hal muluk yang ia harapkan dalam kehidupan karyanya, namun ternyata pimpinan kongergasi membaca kemampuannya dalam memanajemen lembaga. Sepanjang lima tahun belakangan, telah dua sekolah berada di bawah kepemimpinannya, SMA Santo Paulus Pontianak (2010−2014), dan SMP Santo Tarsisius Singkawang (2014−sekarang). Manakala disoal tentang keinginannya yang belum terwujud, masih dengan nada antusias ia berujar, “Saya ingin menulis buku yang isinya tentang humaniora, dan hal lain yang sangat saya inginkan adalah melanjutkan pendidikan ke jenjang S2. Saya hanya ingin melayani dalam dunia pendidikan tetapi jangan posisi sebagai pemimpin, berat bagi saya,” ungkapnya disertai derai tawa. 

Pada akhirnya, banyak hal yang dapat diserap menjadi suri teladan dari sosok pehobi voli dan basket ini; menjadi  pemimpin yang mendengarkan, menghargai, memotivasi, membumi, menebar damai dan sukacita bagi sesama. Selamat berkarya, Der. Semoga selalu dianugerahi kondisi sehat dan penuh dengan berkat. (Hes)   


Riwayat Pendidikan dan Kekaryaan
SD Swasta Katolik (1982-1988)
SMP Swasta Katolik St. Stefanus (1989-1992)
SMA Don Bosco, Ruteng (1992-1995)
KPA St. Paulus, Mataloko, Flores (1995-1996)
Bekerja di Jakarta dan Semarang (1997)
Biara di Jateng (1998-2000)
Pengurus rumah tangga dan guru SD Bruder Kanisius, Siantan Pontianak (2000-2002)
Kuliah di IPAK, Universitas Sanata Dharma, Jogjakarta (2002-2006)
Asisten Magister Postulan di Pati, Jateng (2006-2007)
Pengurus dan Pembina Asrama dan dosen di Merauke (2007-2010)
Kepala Sekolah SMA St. Paulus, Pontianak (2010-2014)
Kepala Sekolah SMP St. Tarsisius, Singkawang (2014-sekarang)