Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Tampilkan postingan dengan label Sosok. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sosok. Tampilkan semua postingan

13 Mar 2018

50 TAHUN BERKARYA, MENJADI LEBIH INDONESIA DARI YANG ASLI INDONESIA

50 TAHUN BERKARYA, MENJADI LEBIH INDONESIA DARI YANG ASLI INDONESIA

“Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” 

(Pramoedya Ananta Toer)

Kutipan tulisan Pramoedya Ananta Toer, sang sastrawan garda depan Indonesia itu ada benarnya. Dengan ‘senjata’ tinta dan pena, maka sebuah nama mungkin saja akan kekal sepanjang masa. Dikenang karena sumbangsih berupa tulisan bagi dunia pengetahuan, pendidikan maupun kebudayaan yang tentu akan berguna baik di masa sekarang maupun  masa depan. Ini pula yang tengah ditapaki oleh salah satu gembala kita. Meski karya-karyanya ia hasilkan tanpa tendensi apa-apa, namun publik boleh percaya bahwa apa yang dikerjakannya bukanlah suatu yang sia-sia dan besar pengaruhnya pada dunia pengetahuan, sejarah juga budaya.          

Sosoknya seperti orang Eropa pada umumnya. Tinggi besar, berkulit putih, bermata biru. Yang menjadikannya istimewa adalah kala ia bertutur menggunakan bahasa Indonesia yang begitu lancar, namun aksen Eropa tetap tak lekang dari lidahnya meski telah setengah abad bermukim di Indonesia.
C.M.W. Melis, lebih dikenal sebagai Pastor Yeremias, OFMCap atau dalam keseharian kebanyakan orang menyapanya dengan panggilan Pastor Yeri. Sosoknya baru benar-benar saya perhatikan pada 31 Desember 2014 lalu. Usai memimpin misa di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Singkawang, ia segera melepas jubah kuning yang saat itu dikenakannya lantas bergegas menuju deretan kursi belakang. Ia duduk tepat di hadapan saya yang kala itu ditugaskan meliput perayaan natal di lapas. Dengan tenang ia mulai menyulut rokok dan perlahan menghisapnya. Berada dekat perokok bukanlah hal asing bagi saya, hanya saja ketika memandang beliau yang tengah masyuk dengan batangan rokoknya, ada yang sukses menarik perhatian, khusus bagian kuku dan ujung jari Pastor Yeri tampak kecoklatan akibat dilekati nikotin pada rokok yang begitu setia menemani hari-harinya. Kala itu saya tersenyum kecil dan hanya sebagai pengamat pasif sosok pria 77 tahun itu. 


Kesan kedua yang benar-benar lekat dalam ingatan saya tentang Pastor Yeri selain kuku dan jarinya yang menjadi coklat karena nikotin  adalah saat saya meliput perayaan Naik Dango yang digelar pada bulan Mei lalu. Di tengah hiruk pikuk yang hadir, dari jarak belasan meter, saya yang saat itu tengah membidikkan lensa kamera ke arahnya sempat dibuat tertegun kala beliau ‘menyapa’ dengan anggukan kepala. Kesan ketiga dan yang paling menyentak kesadaran saya sebagai orang asli Indonesia adalah kala beliau menitipkan sebuah catatan kecil kepada pastor paroki berkait ketidaktepatan diksi yang saya gunakan saat menulis berita tentang beliau. Jujur, perasaan yang terlintas dalam benak saya saat itu adalah rasa sedikit jengkel, namun manakala saya telaah kembali, kritikan beliau memang ada benarnya. Bahkan, saya yang dilahirkan, dibesarkan dan berdarah asli Indonesia saja tidak memiliki pemahaman sebaik beliau dalam berbahasa. Sejak saat itu paradigma saya tentang beliau semakin mengerucut, beliau merupakan sosok yang sangat teliti. 

Beberapa bulan berselang, pada saat rapat redaksi digelar, saya yang memang selalu ditugaskan menulis pada Rubrik Sosok merasa ada yang sedikit menggusarkan pikiran. Bagaimana tidak, sosok biarawan yang dipilih untuk dikupas profilnya kali ini adalah Pastor Yeri. Sosok teliti yang juga harus saya hadapi dengan sedikit hati-hati. Saya tidak ingin melakukan kesalahan serupa untuk kedua kali berkait diksi. Dibantu temu janji oleh pastor paroki, akhirnya saya dipertemukan dengan pria yang mengaku tidak menyukai pesta namun diketahui menaruh perhatian begitu  besar terhadap lingkungan dan alam. 

Lagi-lagi ada yang menarik kala itu, beliau mengatakan hanya menyediakan waktu 10 menit untuk wawancara dan di tangannya telah tergenggam buku-buku yang ditulis maupun karya yang dialihbahasakannya. Kesimpulan yang saya tangkap, beliau hanya mau diwawancara berkaitan dengan buku-buku karyanya. Benar saja, belum sempat saya menjabat tangan, beliau telah lebih dulu membuka obrolan dengan panjang lebar menjabarkan dua buah buku tebal  berjudul Borneo Bagian Barat Geografis, Statistis, Historis 1854 dan Borneo Bagian Barat Geografis, Statistis, Historis 1856  tulisan Profesor Pieter Johannes Veth yang telah dialihbahasakannya dan diterbitkan pada April 2012. Khusus dua buku dengan judul yang telah disebutkan di atas dikerjakan dalam waktu yang terbilang cukup lama, kira-kira sepuluh tahun. Hal ini disebabkan pada saat beliau menggarapnya,  di masa yang sama beliau menjabat sebagai pastor paroki. Ia sendiri memulai terjun ke dunia kepenulisan sejak 1979, dalam buku Doa dan Berkat Sepanjang Tahun, yang pada 2004 saja telah menjejaki cetakan ke tujuh. Antusiasnya kentara kala  saya mengungkapkan ketertarikan pada salah satu buku yang diterbitkan bertepatan dengan 50 tahun ia berkarya di Indonesia, Sejarah Kongsi Lan-Fong Mandor yang telah saya baca tuntas sebelum proses wawancara dilakukan. 

Rupanya ada kisah yang cukup menggelikan di balik penerbitan buku-buku beliau yang diluncurkan bertepatan dengan tahun emas dalam berkarya di Indonesia. “Dulu satu tahun yang lalu, mereka bicara mau merayakan 50 tahun saya di Indonesia, saya bilang oke kalau segala buku beres, semua ikut menolong, kira-kira 15 orang. Kalau tidak minimum lima, kalau tidak, tidak jadi,” tegasnya. Berbekal kalimat sakti yang separuh berisi ‘ancaman’ ini maka panitia perayaan 50 tahun Pastor Yeri berkarya di Indonesia dituntut bekerja ekstra keras. Namun, di sela-sela penjabaran mengenai buku-buku yang diterbitkan bertepatan dengan perayaan setengah abad beliau berkarya di Indonesia, terdengar nada sedikit kurang puas  mengenai ketidaktepatan penerbit dalam mencetak yang jika dirunut dapat berakibat fatal. “Ada yang tidak beres, berubah waktu mereka cetak cepat-cepat, Lanskap Pinoh, tidak ditulis tahun berapa, orang pikir dibuat tahun ini. Di sini juga tidak disebut sumber, di sini juga kata pengantar dari saya, saya buat sebagai keterangan, tapi ditulis J.P.J. Barth. Ini juga ada, J.T. Willer juga, tidak disebut tahun, Eks Residen Pontianak,  dari ITLV dari situ diterbitkan. Kata pengantar, ditulis oleh J.T. Willer. Di sini ada lagi, catatan dari penerjemah, ditulis penerjemah J.T. Willer. Di buku Kongsi Monterado, ini juga tidak ada tahun, dan nama orang itu hilang. Gambar satu orang penting dari Monterado, ini terbit dari 1893, Liu Chang Po kapten Monterado dari abad ke 18. Harus ada nama itu juga di situ. Dunselman (buku dengan judul Adat dan Bahasa Dayak Kendayan Kalimantan Barat) di sini juga tidak ada tahun dan nama di sini, saya tulis mereka hilangkan. Ini Pastor Dunselman karena itu saya masukkan (sambil menunjuk salah satu biarawan yang terdapat di cover buku), dan foto ini juga sebenarnya menarik karena ini Seminaris Pontianak, sebelum zaman Jepang. Salah satu dari ini, Oevaang Oeray. Dia termasuk salah satu dari ini, saya pikir ini, tapi saya tidak tahu. (sambil spekulasi menunjuk salah satu dari orang-orang yang terdapat dalam foto di cover buku. Belakangan setelah saya coba telusuri fakta melalui internet, memang sosok yang ditunjuk oleh beliau adalah Oevaang Oeray). Nama selain Pastor Dunselman saya tidak tulis tapi justru ini, karena ini buku ditulis Pastor Dunselman. Dalam buku sama sekali tidak ada keterangan tentang foto. Tapi kalau di sini, ada nama, orang tahu itu penulis bukunya,” ujarnya.

Meski telah menghasilkan beberapa buku yang ditulis sendiri maupun alihbahasa, beliau masih selalu berproses dalam menghasilkan karya. Terdapat sekitar 7 buku yang sedang dalam proses penerbitan, belum lagi sebuah buku yang memang sedang dalam proses pengerjaan, buku berjudul Borneo Almanak. “Buku ini berisi kutipan dan foto-foto dengan  format 360 halaman. 76 halaman dengan foto saja, 629 foto. Borneo Almanak adalah buku tahunan dari Kapusin Belanda untuk mencari dana dan juga memperkenalkan daerah misi baik Borneo maupun Sumatera. Buku ini berisi cerita umum, lelucon dan apapun tapi juga banyak berisi informasi, surat yang pastor-pastor kirim, renungan, tapi juga banyak yang  mereka alami, dan berisi satu sejarah gereja, permulaan yang cukup menarik,” paparnya. 

Saya sempat mencecar beliau dengan pertanyaan mengenai alasan yang menggugah beliau untuk menerjemahkan buku-buku yang berkaitan dengan sejarah lokal Kalimantan. Jawaban cukup logis sekaligus mencengangkan  saya terima, “Orang hampir tidak tahu sejarah diri sendiri dan banyak catatan yang sekarang dibuat tidak benar, yang salah, atau semua sesuai dengan kepentingan sendiri terkadang dibuat menjadi sejarah. Setelah itu saya pikir ada satu-satunya kemungkinan karena sumber bahasa Indonesia tidak ada, pemeriksa juga hampir tidak ada, yang ada hanya dari Sumatera, Jawa, dan Bali, tidak ada kemungkinan lain lagi, buku semacam ini, orang Indonesia walaupun pandai bahasa Belanda cukup baik hampir tidak bisa menerjemahkan, karena bahasa sudah kuno, bahasa Belanda. Juga banyak bahasa Perancis dipakai, bahasa Jerman. Mengartikan itu harus ada orang yang ada sedikit feeling untuk menerjemahkan, lain kemungkinan untuk menerjemahkan tidak ada,” ujarnya.        

Pastor yang setelah purnakarya tak berniat kembali ke Belanda ini ‘terasa lebih Indonesia’ dibandingkan orang yang asli Indonesia, tak berlebihan dikatakan demikian karena berdasarkan fakta yang ditelusuri di lapangan, terdapat beberapa artikel yang menyebutkan bahwa pastor yang resmi menjadi WNI pada 1981 ini pernah membebaskan seorang warga terkait sengketa tanah yang akan dijadikan perkebunan. Kalimat pujian saja rasanya tak cukup untuk mengapresiasi tindakan beliau. Bahkan orang asli Indonesia sendiri kadang tidak peduli dengan kondisi lingkungan alamnya. Kembali jawaban merendah, menyuruk bumi namun bernada jenaka saya dapatkan,  “Tapi waktu itu saya tidak sendiri, Sering pastor harus menjadi bendera, harus muncul karena saya dengan sengaja pakai jubah putih, supaya orang nampak, supaya orang yang lebih hebat itu takut. Ini  taktik juga. Waktu dulu kerusuhan saya juga ambil lebih 300 anak asrama Nyarumkop, pindahkan ke Menjalin, sewa 10 bus dengan berapa truk, di tengah-tengah perang saya juga pakai jubah putih segala aparat tidak banyak omong,” paparnya dengan nada bersungguh-sungguh yang malah memancing gelak tawa saya. 

Hal lain yang juga menjadi fokus perhatian dalam hidup beliau adalah mengenai pelestarian alam. Dengan wajah serius beliau memaparkan, “Tanah Kalimantan sebenarnya tidak cocok untuk kelapa sawit,  hanya dengan tambah banyak pupuk. Tidak bisa disamakan dengan tanah di Sumatera. Di sini kalau satu kali ditanam sudah, habis. Lain di Sumatera, bisa berganti-ganti, di sini tidak. Lihat asap, lihat air.  Lihat segala-galanya mengalami kemunduran. Apa yang dicintai manusia nanti juga akan hilang.  Saya benar-benar meragukan nanti kalau khusus berhubungan dengan orang Dayak bahwa sepuluh, dua puluh tahun masih ada orang Dayak atau tidak. Memang manusia tetap akan ada, tapi suku bukan sebagai suku lagi, segala dasar akan hilang, artinya mereka nanti akan menjadi terpinggirkan oleh segala perubahan, pulau hancur. Lihat asap. Harus baca doa kami bagi orang yang ‘membangun’ Kalimantan,” ungkapnya. (Bahwasanya doa para ‘pembangun’ Kalimantan 2015 ditulisnya sebagai sarkasme yang dibacakan saat beliau memimpin perayaan Ekaristi  pada 27 September 2015 di Gereja St. Fransiskus Assisi. Di bagian akhir artikel ini dilampirkan ‘doa’ tersebut.) 

Kiranya selain pembahasan mengenai buku, obrolan tentang lingkungan dan alam mangkus menjadi senjata saya mengulur waktu untuk menggali lebih banyak hal yang berkaitan dengan pandangan anak kedua dari lima bersaudara kelahiran Belanda, yang ia sendiri tidak tahu tanggal lahirnya namun hanya mengingat hari Minggu, pukul 2 siang, pada suatu April di 1938 itu. Bukan rahasia jika kebanyakan sosok Eropa dikenal mencintai Indonesia karena tertarik pada budaya maupun kultur, namun baginya, tak ada hal lain yang mendasar yang membuatnya bertahan berkarya selama setengah abad  di Indonesia selain karena alasan  mencintai manusia. “Kebudayaan sesuatu ungkapan, dari siapa orang itu dan bagaimana mereka hidup, bisa disuka, bisa dilihat, tapi bukan itu alasan saya di sini. Alasan manusia, dan alam yang dirusak,” tegasnya. 

Sedikit mengalami kesukaran kala saya berusaha menggali lebih lanjut mengenai kehidupan pribadinya. Saat itu saya pertanyakan alasannya memilih menjadi biarawan, hanya jawaban ringkas yang saya dapatkan, “Kalau saya lahir sekarang mungkin tidak menjadi pastor. Ini jalan Tuhan. Saya juga tidak tahu.” Kejahilan saya kambuh manakala mendengar jawaban beliau. Iseng saya tawarkan beberapa profesi, artis, dosen, atau penulis buku, spontan beliau menjawab dengan nada khasnya bicara yang serius tetapi malah mengundang derai tawa, “Artis pasti tidak, saya tidak bisa menyanyi, tidak pandai bersandiwara. Saya belum pernah mengajar, saya belum pernah beri retret. Saya juga tidak pandai omong setengah jam, satu jam, hanya menjadi omong kosong. Seperti berapa kali di gereja khotbah setengah jam atau lebih sebenarnya berapa kali saya mau lari tapi saya pikir banyak orang lihat, benar itu kalau orang tidak lihat, saya pasti lari. Kalau khotbah begitu lama  dan sama sekali tidak ada aturan apapun, omong mengenai apa, setengah hati pun tidak bisa ditangkap, lihat umat di gereja dalam ekspresi mengantuk. Hampir tidak ada yang mendengar, apa gunanya saya pikir itu. Untung saya pikir orang Katolik itu baik rupanya, coba tahan mendengar itu ya,” candanya.

Pada akhirnya 52 menit total waktu obrolan dari yang awalnya hanya bersedia 10 menit saja untuk melayani wawancara. Begitu banyak hal didapat untuk mengenal pribadinya secara lebih dekat. Pribadi yang humoris, cermat, hangat dan begitu bersahabat. Profisiat, Pastor. Semoga selalu sehat dan penuh berkat dalam berkarya dan melayani umat. (Hes)  

Bibliografi:
  •  Doa dan Berkat Sepanjang Tahun (tahun terbit; 1979), hingga kini masih dicetak dapat diperoleh di Emaus.    Batakki (Berita Antar Kampung Kita)  (tahun terbit; 1997)
  • Borneo Bagian Barat Geografis, Statistis, Historis 1854, penulis P.J. Veth, dialihbahasakan P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; April 2012), diterbitkan oleh Institut Dayakologi
  • Borneo Bagian Barat Geografis, Statistis, Historis 1856, penulis P.J. Veth, dialihbahasakan P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; April 2012), diterbitkan oleh Institut Dayakologi
  • Sejarah dan Geografi Daerah Sungai Kapuas Kalimantan Barat,  penulis J.J.K. Enthoven, 1905, judul asli Bijdragen Tot De Geographie van Borneo’s Wester-Afdeeeling, dialibahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; 2013), diterbitkan oleh Institut Dayakologi
  • Sejarah Sanggau “Het Rijk Sanggau” (tahun terbit; 2014) terjemahan diambil dari buku Indische Taal; Land; en Volkenkunde, terbitan Bativaansch Genootschapp van Kunsten en Wetenschappen tahun 1884, penulis H.P.A. Bakker, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, diterbitkan kembali oleh Pemerintah Kabupaten Sanggau, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sanggau.
  • Adat dan Bahasa Dayak Kendayan Kalimantan Barat, penulis P. Donatus Dunselman, OFMCap, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; September 2015), diterbitkan oleh Pohon Cahaya, dapat diperoleh di Pastoran Singkawang.
  • Kongsi-kongsi Monterado Sumbangan kepada sejarah dan pengetahuan dari perkumpulan-perkumpulan orang Cina di Pantai Barat Borneo, penulis S.H. Schaank, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; September 2015), diterbitkan oleh Pohon Cahaya, dapat diperoleh di Pastoran Singkawang.
  • Kronik Mampawah (dan Pontianak), penulis J.T. Willer, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; September 2015), diterbitkan oleh Pohon Cahaya, dapat diperoleh di Pastoran Singkawang.
  • Lanskap-lanskap di Pinoh-Hulu (Bagian Barat Borneo), penulis J.P.J. Barth, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; September 2015), diterbitkan oleh  Pohon Cahaya, dapat diperoleh di Pastoran Singkawang.
  • Sejarah Kongsi Lan-Fong Mandor, penulis Dr. JJ.M. De Groot dan J.W. Young, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; September 2015), diterbitkan oleh Pohon Cahaya, dapat diperoleh di Pastoran Singkawang.  

DOA PARA ‘PEMBANGUN’ KALIMANTAN 2015

Karya Pena : Pastor Yeremias, OFMCap

Bapa kamu, UANG, yang ada di bumi
dimuliakanlah namamu, perkuatkanlah kerajaanmu

Engkaulah, Uang, mengatur raja-raja, pemerintah-pemerintah,
mereka yang harus ambil keputusan.

Tutup mata dan hati mereka terhadap penderitaan rakyat
dan penghancuran lingkungan hidup.

Berilah bahwa kami tidak ditindak
kalau kami membersihkan lapangan yang kami butuhkan
dengan membakar saja,
walaupun itu mengakibatkan banyak asap
yang merugikan banyak orang,
baik fisik, ekonomis dan mental.

Semoga di bawah bimbinganmu perkebunan sawit dan
pertambangan bertambah banyak.

Berilah kami, dibantu oleh pemberianmu sendiri,
banyak orang yang mudah dibutakan
agar mereka tidak melihat masa depannya sendiri
dan dari anak-cucunya.

Berilah kami banyak orang yang mau kerja dengan gaji rendah
tanpa mengomel.

Aturlah bahwa mereka semua kehilangan tanahnya
dan berhutang kepada kami
agar mereka selama-lamanya terikat.

Jangan membawa kami kepada pertobatan,
tetapi tolonglah agar pemimpin-pemimpin agama-agama,
dan tokoh-tokoh masyarakat tetap bersedia,
memberkati atau mendukung usaha-usaha kami,
sesudah terima sumbangan secukupnya
untuk tujuan yang baik atau koceknya sendiri.

Karena hanya Engkaulah Uang yang penting
dan pantas dicari dan dipuji untuk selama-lamanya.

Amin.




5 Jun 2017

23 Tahun Imamat; 10 Tempat Menggembala Umat

23 Tahun Imamat; 10 Tempat Menggembala Umat


Jika tak mengenal pribadinya, jika sekilas saja awam memandangnya, maka kesan pertama yang akan muncul darinya adalah sosok seorang pengusaha. Dengan kulit yang putih bersih dan tampilan demikian rapi rasanya tak berlebihan andaikata banyak yang terkecoh. 

Pribadinya dinamis, antusias, dan sangat cermat memperhatikan lawan bicara. Setidaknya itulah kesan yang saya tangkap manakala berhadapan dengan pria yang sudah menghayati kehidupan imamatnya selama 23 tahun. Siang itu di tengah riuhnya derai tawa dan canda para biarawan region Singkawang dan sekitarnya berkumpul di pastoran Singkawang, ia adalah salah seorang di antaranya. Saat itu saya sengaja singgah ke pastoran guna mengembalikan diska lepas pada pastor paroki yang beberapa hari sebelumnya diserahkan kepada saya guna menyetorkan artikel yang akan dimuat di buletin. Pada kesempatan itu juga saya sempat menanyakan pada pastor paroki siapa kiranya sosok yang akan dikupas profilnya pada buletin edisi yang akan datang. Entah mengapa, saya dan pastor paroki semacam tak sengaja bersepakat mengarahkan pandangan pada sosoknya. Ia yang siang itu mengenakan kemeja merah memang tampak mencolok di antara pastor-pastor lainnya. Serta merta pada kesempatan itu juga saya ‘melamar’ kesediaannya untuk menjadi sosok yang akan diangkat dalam Rubrik Sosok Likes edisi 13. Bukan tanpa alasan saya menyematkan kesan dinamis, antusias, dan cermat padanya, karena di siang itu juga ‘lamaran’ saya diterima dengan sangat terbuka, nada suara ringan, dan tak bertele-tele.

Temu janji dilakukan. Di tengah kesibukannya memimpin persekolahan ia tetap memberikan saya ruang dan kesempatan. Ketukan pada pintu saya daratkan. Tak lama, pintu dibukakan langsung oleh sosok yang saya tuju. Dengan ramah saya disilakan menuju ruang makan yang cukup teduh dan luas. Diiringi tembang-tembang rohani yang mengalun lembut, saya memulai pembicaraan.

Jujur ketika menghadapi beliau hampir semua daftar pertanyaan yang sudah saya susun sebelumnya menjadi berantakan. Pertanyaan-pertanyaan saya yang sungguh awam terhadap posisi beliau membuat wawancara sedikit mengalami kekacauan. Sepertinya beliau menangkap kebingungan saya, namun dengan kebijakan dan keramahtamahan beliau, obrolan tetap mengalir ringan.   

Terlahir di Ketori, 53 tahun silam tepatnya 20 April 1964, ia sulung dari tujuh bersaudara. Dengan penuh semangat dan bangga ia menuturkan bahwa ayahnya adalah seorang katekis yang banyak meng-Katolikkan orang dan seringkali memimpin ibadat pernikahan. Melalui jalan katekis itu juga yang membuatnya berdiri begitu rapat dan erat dengan panggilan imamat. Heri kecil tak dapat menyangkal keterpesonaannya terhadap jubah para imam yang ketika turne seringkali menginap di rumah orang tuanya. Baginya jubah yang dikenakan oleh para imam sangat sakral. Sungguh berbeda dan istimewa, tak semua awam bisa mengenakannya. Ada penggalan kenangan jenaka dituturkannya berkenaan dengan denyar panggilan imamat yang sejak usia dini sudah didengarnya, “Sejak kecil saya sudah sering bermain misa-misaan. Umatnya adik saya, pastornya saya. Lalu saya memakai pakaian ibu yang diandaikan sebagai jubah, dan irisan pisang sebagai hostinya,” ujarnya dengan sudut mata menyipit menandakan ada suatu dimensi waktu di masa lalu yang menyambangi ingatan dan perasaannya sekaligus menimbulkan efek bahagia ketika dikenang. 

Masih berkait dengan panggilannya sebagai imam, ia juga sempat menuturkan bahwasanya semasa masih berusia remaja nanggung ia berkuat hendak menempuh kehidupan sebagai gembala karena dalam angannya seorang imam tak perlu menempuh pendidikan yang melibatkan ilmu yang beragam, matematika dan lain sebagainya. Pendek kata ia berpikir bahwa untuk ditahbiskan menjadi pastor ilmu yang dikuasai hanya ilmu pastor. Tergelak saya mendengar kisah yang disampaikannya dan membuat saya berujar, “Padahal untuk menjadi pastor jauh lebih berat ya, minimal harus bergelut dengan filsafat yang begitu berat, dan teologi yang juga tidak bisa serta merta langsung dipahami.” 

Kisah lain yang tak kalah mewarnai keragu-raguannya dalam memulai langkah pastoral adalah pengalaman yang sempat menciutkan hatinya berkenaan dengan tarik suara. Terdengar agak ajaib memang jika Heri kecil sempat berpikir untuk mengurungkan niatnya menjadi imam karena ia merasa tak pandai menyanyi. Pengalaman ketika kecil memiliki dan berhadapan dengan pastor asal Swiss yang jago bernyanyi membuatnya berpikir untuk menjadi seorang pastor haruslah sosok yang pandai bernyanyi. Akhirnya semakin bertambah usia, pengetahuannya semakin terang benderang, bahwasanya pandai menyanyi bukanlah salah satu tuntutan untuk menjadi pastor.
 
Bicara soal penempatan tugasnya sebagai imam, pria berkacamata silinder ini bercerita banyak dan sangat runtut. Ia masih kuat mengingat berbagai kejadian monumental yang akhirnya membentuk jejak-jejak tak terlupakan dalam kenangan. Sekelumit kisah yang sebenarnya membekas bahkan mengundang traumatik ia tuturkan. Ibarat kata, lukanya memang sudah sembuh, namun bekasnya masih terasa bila diraba. Ya, beliau sempat beberapa waktu merasakan enggan ketika hendak dikirim pulang ke tempat awal menggembala usai ia ditahbiskan. Seperti yang disampaikannya ketika awal kehidupan menggembala ia ditempatkan di persekolahan Nyarumkop dan bertugas sebagai salah satu pengajar. Dalam kurun waktu singkat berbagai kejadian silih berganti menempa kematangan emosionalnya. Hal terberat yang menggusarkan mata batinnya adalah ketika sudah dengan sepenuh jiwa ia mengusahakan untuk berkarya, namun ada saja pihak yang tak membaca perjuangannya sebagai sesuatu daya yang bertujuan membentuk karakter anak menjadi lebih mulia. “Kita sudah memberikan waktu siang malam tetapi itu yang kira terima, umpatan, makian. Tapi saya menyadari bahwa itu semua adalah bagian dari pelayanan,” tegasnya. Ya, ia yang kini duduk di hadapan saya telah berhasil melewati masa-masa pendewasaan itu. Sesuai dengan kutipan Pram, “Bila akar dan batang sudah cukup kuat dan dewasa, dia akan dikuatkan oleh taufan dan badai.” (Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah)
 
Tercatat sepanjang karir kegembalaan, ia telah berpindah ke berbagai tempat pelayanan sebanyak sepuluh kali. Menyikapi hal itu pemilik nama lengkap Heribertus Samuel, OFMCap., ini selalu memegang prinsip di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. “Suasana tempat tugas di mana-mana pasti berbeda. Pertama dan menjadi kunci utama kita harus merasa at home. Harus cepat beradaptasi dengan pekerjaan dan lingkungan, dengan demikian kita dapat bekerja dengan baik. Sepuluh kali pindah saya tidak merasa terikat dengan satu tempat. Pindah ya pindah. Contoh ketika propinsial menelepon memindahkan saya. Tidak harus bertemu langsung tapi by phone, oh bisa  pindah ke mana saja ok.” Baginya hal yang bisa dipermudah tidak perlu dipersulit. “Pimpinan tentunya  sudah menimbang dan mendiskusikan kemanapun saya ditempatkan,” lanjutnya. Dalam batin saya menggumam, betapa patuh dan taatnya ia pada panggilan pelayanannya. Tak berhenti sampai di situ kekaguman saya menyeruak terhadap sosoknya karena di sela-sela obrolan kami, ia sempat menceritakan kesukaannya bercocok tanam dan memelihara hewan ternak. Rasanya tak terbayang jika sosok rapi dan bersih yang sedang duduk di hadapan saya bersedia membersihkan kandang dan berbagai jenis kotoran hewan. Namun itulah yang terjadi. Dari jagung hingga sayur, dari ayam sampai marmut tak lepas dari sentuhan tangan dinginnya. Baginya, menghayati bekerja adalah sebagai bagian dari hidup. “Homo laboran, salah satu identitas manusia. Jika manusia malas dia bukan manusia. Malas yang betul-betul malas, ya. Bagi saya segala pekerjaan adalah relatif. 

Dasarnya saya tidak memilih kerja. Dari memungut sampah, bersih-bersih lingkungan, berkebun, bakar sampah dan itu biasa saya lakukan, hampir setiap hari. Nanti sore penampilan saya akan lain. Saya bekerja memakai kaos, sepatu boot untuk berkebun, akan lain dengan yang sekarang,” paparnya. Saya berdecak. Sungguh, rasanya masih sulit membayangkan ia yang demikian rapi tiba-tiba harus bergelut dengan sampah atau mencangkul tanah.


Ketika iseng saya bertanya di mana tempat bertugas paling istimewa, maka dengan gamblang ia menuturkan bahwa semua tempat tugas baginya masing-masing memiliki keistimewaannya. “Jakarta tidak bisa disamakan dengan Pontianak, apalagi Nyarumkop. Untuk kenyamanan yang terpenting kita cepat merasa at home sehingga kita tidak lagi memikirkan yang sudah lewat. Ada kenyamanan dan sebagainya, itu kan ekstra, yang sudah lewat ya sudah di awang-awang, tempat tugas terbaru kita dan di mana kita berada saat ini adalah yang  real. Memang tidak selalu gampang ketika pindah, tapi ini perutusan dari kongergasi utk melayani. Karena itu saya selalu bersyukur diminta untuk bertugas sana-sini, membuat pengalaman kita lebih beragam. Setiap pengalaman relatif namun dasar pelayanan adalah prinsip ketaatan untuk gereja,” imbuhnya.
 
Meski ia berdarah asli tanah Borneo, namun putera dari almarhum Bapak Alfonsus Agen dan almarhumah Ibu Bernadeta Deta ini sama sekali tak keberatan dipanggil dengan sebutan Romo, sebutan bagi umumnya gembala di tanah Jawa. Hal ini berkait erat dengan pengalamannya menggembala umat di ibu kota. Tercatat dua kali ia ditempatkan di pulau Jawa dan dalam kurun waktu itu juga ia merasakan berkat yang sungguh pekat dalam kehidupan imamat. Setidaknya dataran Eropa baik timur maupun barat telah dijelajahinya, beberapa negara di Asia telah disambanginya, dan berbagai pengalaman tak biasa telah  dirasakannya, termasuk pengalaman berakting dalam sinema elektronika mini bertajuk rohani. Ya, semua hal itu sangat disyukurinya sebagai buah dari kehidupan menggembala.

Ditanya soal perspektif memandang dunia pendidikan yang kini dibawahinya dan relevansi dengan kondisi saat ini, dengan lugas ia bertutur, “Pendidikan sangat penting karena pendidikan membuka wawasan pikiran. Sesuai dengan moto pendidikan di sini, Non schole sed vitae discimus, kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup. Dengan sekolah orang membuka pikiran, dan tentu dengan pikiran yang terbuka kesuksesan dalam hidup dapat diraih. Untuk suasana real di lapangan sendiri zaman dulu jauh berbeda dengan sekarang. Sekarang terasa semangat studi sangat lemah padahal sekarang kompetitifnya lebih susah. Setiap hari ada kasus. Ada sifat melawan dari anak, cuek, menyukai hal-hal praktis. Memang tidak semua siswa bersikap seperti itu, tapi yang sedikit itu bisa memengaruhi yang lain karna itu masalah ketika hidup dalam lingkungan sosial. Tapi itulah tantangan. Tapi bisa kita lihat hasilnya, tamatan dari Nyarumkop akan lain karena mereka tinggal di asrama” ujarnya mantab.

Disoal mengenai harapan ke depan tentang dunia yang kini dalam asuhannya, ia menyatakan sangat memendam asa bahwa Persekolahan Katolik Nyarumkop dapat lebih eksis dan mampu bersaing dengan sekolah lain. Selain itu pendidikan tidak berjalan sepihak dalam artian antara pendidik, yang dididik, dan pihak keluarga dapat kooperatif dalam membentuk manusia berkarakter mulia. 

Kini ia berada nun di timur Kota Amoy, bertenang diri dan mengabdi sebagai pemimpin umum Persekolahan Katolik Nyarumkop. Menjamin keberlangsungan segala hal yang berkait dengan pendidikan di persekolahan yang berdiri lebih dari seabad yang lalu tetap berjalan dengan baik dari jenjang Taman Kanak hingga Topang. Selamat bertugas, Romo. Semoga selalu sehat dan bersemangat dalam panggilan imamat dan dalam tugas-tugas berat. (Hes)

Riwayat Pendidikan 

SDN Ketori (1973 - 1979)
SMP Gunung Bengkawan (1979 - 1981)
SMA Seminari Santo Paulus Nyarumkop (1981 - 1984)
Tahun Persiapan/Retorika, Pematang Siantar (1984 - 1985)
Novisiat Parapat (1985 - 1986)
STFT St Yohanes (1987 - 1991)
Tahun Orientasi Panggilan, Menjalin (1991 - 1992)
STFT St Yohanes (1992 - 1994)

Kegembalaan

Tahbisan Imam 20 Oktober1994 di Laverna, Sanggau.
Ngabang (1994)
Nyarumkop (1995 - 1997)
Paroki Tebet, Jakarta (1997 - 1999)
Postulat Sanggau (1999 - 2003)
Pos Novisiat Singkawang (2003 - 2004)
Tirta Ria, Pontianak (2004)
Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (2004 - 2007)
Paroki Tebet, Jakarta (2007 - 2012)
Biara San Lorenzo, Pontianak (2012 - 2016)
Pimpinan Umum Persekolahan Katolik Nyarumkop (2016 - sekarang)          

6 Mar 2017

Profil Pastor Jeneripitus, OFMCap.

Jeneripitus, OFMCap.

Motto tahbisan : ”Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.” (Ayub 42:2).



Biodata 

Nama: Jeneripitus
Tempat dan tanggal lahir: Daok, 7 Agustus 1985
SDN 2 Milas, tamat 1998
SMP Negeri 1 Parindu, tamat 2001
SMKN 1 Sanggau, tamat 2004
Topang tahun 2006/2007
Postulan tahun 2007/2008
Novisiat Poteng 2008/2009
STFT Pematangsiantar 2009-2013
TOP di Paroki Pahauman 2013-2014
STT Pastor Bonus Pontianak 2014-2016

Riwayat Panggilan 

Sejak muda belia, di masa awal remaja, suara panggilan Tuhan saya rasakan mulai kuat menggema di jiwa. Jubah putih bersih membuat hati selalu ingin tahu tentang mereka secara lebih. Tak hanya sampai di situ, kenangan masa kecil tentang ‘Plater’ (sebutan orang-rang di kampung untuk frater) sungguh menawan ingatan saya. Ingatan seorang remaja yang begitu terpesona pada penampilan calon gembala, jubah coklat bertali ikat putih melilit, bersimpul tiga di pinggang. Kala itu usai sembahyang digelar, sosok berjubah coklat yang datang dengan sikap tenang yang sungguh memikat memperkenalkan diri sebagai Kapusin. Betapa jubah coklat nan sederhana itu mampu mencuri perhatian dan membuat penasaran, belum lagi disertai keterangan bahwa kesederhanaan yang diterapkan adalah sebuah ajaran dari sosok yang menjadi suri teladan. Santo Fransiskus Assisi, kesederhanaan namun sarat akan keteladanan dalam kehidupan sungguh mampu membuat saya kukuh bertahan menanggapi panggilan sebagai imam. 




Profil Pastor Yosua Boston Sitinjak, OFMCap.

Yosua Boston Sitinjak, OFMCap.


Motto
“Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” 
(1 Petr: 5:7)

Biodata

Nama lahir : Boston Sitinjak
Nama Biara : Yosua Boston Sitinjak, OFMCap.
Tempat/tgl lahir : Pematang Kerasaan/16 Januari 1986
Putra : Pertama dari lima bersaudara
Nama Ayah : Pendi Sitinjak
Nama Ibu : Martauli br. Gultom
Paroki  Asal : Kristus Raja - Perdagangan Keuskupan Agung Medan
Kaul Perdana : Pontianak, 1 Agustus 2009
Kaul Kekal : Novisiat Padre Pio - Gunung Poteng, 30 Juli 2015
Tahbisan Diakon : Paroki Salib Suci Ngabang, 27 Agustus 2016
Riwayat Pendididikan
1991 - 1997 : SDN 901631 - Pematang Kerasaaan (Sumut)
1997 - 2000 : SLTP Katolik Abdi Sejati - Perdagangan
2000 - 2003 : SMK Katolik Abdi Sejati - Kerasaan I
2004 - 2007 : KJJ STP IPI Malang
2007 -2008 : Postulat St. Leopold Mandic - Bunut, Sanggau Kapuas
2008 - 2009 : Novisiat St. Padre Pio Gunung Poteng - Singkawang
2009 - 2013 : Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) St Yohanes - Pematang Siantar
2013 - 2014 : Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki St. Perawan Maria Tak Bernoda - Pusat Damai
2014 - 2016 : Sekolah Tinggi Teologi Pastor Bonus - Pontianak
2016 - 2017 : Diakonat di Paroki St. Parawan Maria Diangkat ke Surga Balai Sebut

Riwayat Panggilan

Nun di timur kota Singkawang, awal saya jatuh hati pada kehidupan gembala gerejawi. Pada sebuah rumah Novisiat yang mengenalkan arti sahabat, pada sebuah biara yang mengajarkan makna kehidupan bersaudara dalam hidup bersama. Kembali kekuatan tentang panggilan saya temukan ketika berhadapan dengan para suster (OSCCap) yang selalu menguatkan manakala saya ragu menanggapi panggilan.  

Tak berhenti sampai di situ, langkah menuju kehidupan imamat pun terganjal restu. Kedua orang tua tercinta tak serta merta memberikan izinnya mengingat dalam adat Batak Toba, saya adalah putra pertama yang diharapkan meneruskan nama marga dalam keluarga. 

Empat tahun menjalani pendidikan tanpa restu di tangan, di tahun kelima masa pendidikan segala kesungguhan akhirnya menuai buah kemenangan. Tekad kuat mengalahkan segala yang menghambat, restu orang tua lantas saya dapat. Satu pesan dari kedua orang tua yang berisi harapan juga restu, “Jangan buat kami malu.”

Setelah hampir sedasawarsa, melalui doa teladan Santo Fransiskus Assisi, Bunda Maria, dukungan orang tua, segenap keluarga, dan para Saudara Kapusin, kini saya melangkah pasti menuju kehidupan imamat gerejawi. 
  

Profil Pastor Aloysius Anong, OFMCap.


Aloysius Anong, OFMCap.



Motto Tahbisan Imam:
“Siapakah Aku ini Tuhan sehingga Engkau memilihku” bdk. (Luk. 1:43)

Biodata

Nama                         : Aloysius Anong
Tempat/tanggal Lahir : Jernang, 7 November 1982
Ayah                  : Naning
Ibu                         : Eva
Bersaudara         : Anak pertama dari tiga orang bersaudara
Paroki Asal         : St. Yoseph Samalantan, Keuskupan Agung Pontianak
Masuk Postulat : Leopold Mandic, Juli 2007
Masuk Biara/Novisiat : Gunung Poteng, 16 Juli 2008
Kaul Perdana         : Paroki St. Agustinus Sei. Raya, 1 Agustus 2009
Kaul Kekal         : Novisiat Gunung Poteng, 30 Juli 2015
Tahbisan Diakon : Paroki Salib Suci Ngabang, 27 Agustus 2016
Riwayat Pendidikan
1. SD         : SDN 22 Jernang, Desa Godang Damar, (1989-1996) 
2. SLTP : SLTPN 1 Samalantan, (1996- 1999)
3. SMU : SMUN 1 Singkawang, (1999- 2002)
4. Data Computer Informatika-Pontianak, (2002-2003)
5. TOPANG (Tahun Orientasi Panggilan) Nyarumkop, (2006-2007)
6. Postulat Kapusin St. Leopold, Bunut Sanggau Kapuas (2007-2008)
7. Novisiat Kapusin Gn. Poteng, Pajintan (2008-2009)
8. Seminari Tinggi (S1) Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Pematangsiantar-Sumatera Utara,                 (2009-2013)
9. Tahun Orientasi Pastoral (TOP) Komunitas Provinsialat Kapusin dan Rumah Retret St                         Fransiskus Assisi Tirta Ria Pontianak (2013-2014)
10. Teologi (Post S1) Sekolah Tinggi Teologi Pastor Bonus, Siantan-Pontianak (2014-2016)
11. Masa Diakonat Komunitas Provinsialat Kapusin dan Rumah Retret St. Fransiskus Assisi Tirta             Ria Pontianak (2016-2017).

Riwayat Panggilan

Sungguh, tidak ada hal fantastik dan dramatis yang melatari alasan saya menjadi  bagian dari calon gembala. Kehidupan masa remaja saya seperti  remaja lain pada umumnya.  Namun harus saya akui, suara Tuhan adalah denyar paling halus namun berulang yang tidak dapat saya sangkal. Panggilan yang berawal dari kesan mendalam pada slide-slide bisu seabad karya misi Kapusin di Borneo, ditambah secarik kertas berisi tawaran bergabung dengan ordo berciri jubah coklat dengan cingulum putih melingkar di pinggang ini tak serta-merta menemukan kekuatannya. Hingga pada suatu masa, berawal dari celetukan bernada canda untuk menjadi gembala ditanggapi serius oleh pastor paroki di wilayah saya, sejak itu pula permenungan tentang ke mana arah iman lantas menggiring niat serius mengagapi seruan kehidupan menjadi imam. Kala itu ragu masih menjalari setiap sudut kalbu, namun dengan tekad kuat, saya lantas menjawab panggilan imamat. Jalan terjal dan beragam pergulatan harus saya tempuh untuk menjadi  ‘kuntum coklat muda’ yang siap mekar, merasul di tengah rimba raya kehidupan. Panggilan itu tumbuh perlahan namun pasti setelah berbagai proses menempanya. Bukan tanpa tantangan meninggalkan hedonisme kehidupan yang kerap berbenturan dengan rasa bosan. Namun dengan berbekal suara hati, pengalaman rohani, studi, juga penguatan dari rekan-rekan biarawan dan biarawati, hari ini saya dapat berdiri di sini untuk menjawab panggilan suci.  





















3 Mar 2017

Menguji Kelestarian Panggilan dan Kesetiaan Pilihan dalam Pengalaman Hidup

Menguji Kelestarian Panggilan dan Kesetiaan Pilihan dalam Pengalaman Hidup


 “Bukan semudah membalikkan telapak tangan untuk setia pada satu pilihan, pilihan yang berlaku seumur hidup, sepenuh usia, sepanjang hayat. Sama seperti orang awam, kaum rohaniawan juga mengalami hal serupa. Jika jejak langkah awam dihadapkan pada jibaku persoalan hidup yang seolah tidak pernah surut, pun demikian halnya dengan mereka yang hidup di balik tembok biara. Masing-masing dengan perannya, masing-masing dengan tantangan hidupnya, masing-masing dengan persoalan yang membelit kesehariannya.” 

Mendung masih bergelayut enggan pupus meski langit sesiang tadi sempat memuntahkan hujan seperti tembikar sarat akan air yang pecah di udara manakala saya memacu kendaraan ke arah jantung kota. Hari itu hari Sabtu, dan saat itu tujuan saya satu, segera berada di sebuah biara yang bersebelahan dengan gereja, Biara Providentia. Kamis sebelumnya saya membuat janji dengan salah satu penghuninya. Melalui piranti komunikasi temu janji disambut suara ringan nan gembira yang siap menyambut kehadiran saya untuk melakukan wawancara. Suara yang terdengar semanis paras pemiliknya adalah suara Suster M. Laetitia, OSCCap. Maka Sabtu, kira-kira dua jam menjelang senja, rinai gerimis mengantarkan langkah saya menjumpainya. 

Kedatangan saya disambut senyumnya yang jernih seperti yang biasa tergambar pada jiwa yang menyerahkan sepenuhnya kesulitan dunia pada penciptanya dan selalu bersyukur pada setiap keriaan sekecil apapun bentuknya. Jabat erat saya dapat disertai kecup dan pelukan hangat. Kami berhadap-hadapan pada sebuah ruangan berukuran 3 x 4, dihalangi meja lengkap dengan minuman dan kudapan. Sepanjang wawancara senyum dalam binar mata ramah bersahaja membingkai di wajahnya. Ia begitu antusias ketika saya mulai menyoal ketertarikannya menanggapi panggilan hidup membiara. Segalanya berawal dari dalam keluarga. Tepat kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Putri kedelapan dari dua belas bersaudara pasangan bapak Paulus Hendrikus Pawe dan ibu Katarina Irmina Meo ini memang berlatar ayah dan ibu yang merupakan mantan calon biarawan dan biarawati. Keinginan kedua orang tuanya di masa muda untuk menapaki hidup membiara terkendala karena jauh sebelum keduanya bersua, ternyata pihak keluarga telah seiya sekata menjodohkan keduanya hingga mereka menyatu dalam biduk rumah tangga. Namun bagai gayung bersambut oleh buah hati mereka, Laetitia muda menjadi penawar dahaga cita-cita yang tertunda. 

Laetitia tumbuh di lingkungan Katolik yang taat. Berlatar kedua orang tua yang paham benar tentang agama, segala ritual pujian bagi yang maha juga rapalan untaian doa merupakan menu wajib dilakukan dalam keluarga dan bukan hal yang sama sekali baru baginya hingga tak lagi mengejutkan ketika ia mulai menapaki kehidupan membiara. Rumah masa kecilnya pun menjadi saksi bisu perjalanan kegembalaan biarawati dan biarawan maupun para frater, calon balatentara Tuhan yang menggelar kegiatan pelayanan keagamaan. Tidak berhenti sampai di situ, keterbiasaan menyaksikan pemandangan yang berkait erat dengan pelayanan, ketika kecil, ia bersama teman acapkali bermain peran menjadi kaum rohaniawan, membagi hosti yang adalah roti dalam sebuah permainan perayaan Ekaristi.   

Sebelum menjalani hidup di biara, Suster Laetitia yang dulunya bernama Yosefina Basildis ini sempat menjalani pendidikan sebagai perawat kesehatan di sebuah SPK nun di gugusan Flobamora (Flores, Sumba, Timor, dan Alor). Seolah tumbuh menjadi mawar gurun yang mekar, kala itu tidak sedikit pemuda yang hatinya sanggup dibuatnya tergetar. Bukan hanya satu atau dua pemuda belaka, namun lebih dari hitungan jumlah jari pada kedua telapak tangan telah tercatat mencoba merebut hatinya dengan segala cara. Dari cara yang halus hingga yang ketus, dari yang terselubung hingga yang nyata-nyata mengajak pemuda lain tarung. Dengan rendah hati, ia menanggapi segalanya dengan tetap merangkul semua menjadi sanak saudara untuk tetap saling menjaga dalam doa. Baginya segala cinta dari lawan jenis yang silih berganti menghampiri tak ayal merupakan perpanjangan tangan Tuhan untuk menyentuh dan menyadarkannya bahwa tiada kasih yang lebih besar dari kasih Juru Selamatnya. “Semua hadir untuk menguji kelestarian panggilan dan kesetiaan pilihan dalam pengalaman hidup, kalau tidak ada tantangan, kita tidak bisa tahu bahwa panggilan ini benar-benar berharga. Panggilanku ini adalah pilihanku dan inilah yang dikehendaki Tuhan,” begitu ia berujar. Mungkin benar, untuk mengetahui kadar ketebalan iman seseorang, terkadang memang diperlukan ujian. Iseng saya bertanya untuk sekadar mengetahui siapa saja yang hadir  menawarkan hati pada suster yang sangat senang bersahabat ini, namun begitu rapat ia merahasiakan semua nama yang masih mencoba mendekatinya meski ia telah hidup dalam lingkup biara. Pernah pada suatu masa, sehari menjelang kaul kekalnya, ia menghadapi godaan yang sungguh luar biasa. Kala itu ada suara lain yang didengarnya yang sempat menggetarkan hatinya. Suara dari seseorang yang hampir saja membuatnya urung mengucap kaul kekal dan berpikir ulang untuk meneruskan panggilan. Ya, suara seorang dari antara kaum adam yang selama ia berada dalam masa pendidikan selalu memberikan perhatian. Pergulatan sungguh menjadi awan hitam yang meliputi batinnya, namun dalam seluruh kekuatan ia menyerahkan sepenuhnya ke tangan Bapa dalam doa. Lelah berdoa ia jatuh tertidur hingga akhirnya pada saat terbangun hal pertama yang dilihatnya adalah salib Kristus. Serta merta dipeluknya tanda penyelamat hidupnya. Seketika hilang rasa ragu, dengan mantap ia menjawab panggilan itu.

Rasanya sungguh padan jika kutipan catatan seorang maestro kesusastraan Indonesia disematkan pada suster yang hobi bernyanyi dan menari ini; “Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya.”* Suster yang pada 31 Maret 2017 mendatang genap berusia 55 tahun ini sungguh lembut namun tegas, begitu halus tetapi kukuh. Pribadinya ibarat menolak tangan berayun kaki, memeluk tubuh mengajar diri. Sungguh, ia disiplin dan hanya sedikit berkompromi untuk hal-hal yang bersifat duniawi. Hedonisme ia tinggalkan, bersetia ia pada panggilan. Hal ini ditunjukkan ketika dengan segala kesempatan untuk berada di tengah-tengah keramaian, hati kecilnya tetap rindu untuk pulang. Biaralah rumahnya, sebagai suster pendoalah panggilan kemanusiaannya. 

Masih berkisar pada pengalaman panggilan yang dialaminya, suster yang ketika belia menjadi primadona remaja ini mengalami suatu kejadian tak terlupakan. Manakala bersama teman-teman seusianya berolah raga, matanya tiba-tiba terpaku pada sosok biarawati yang meski berada di tengah keriuhan tetap setia merapal doa dengan rosario dalam genggamannya. Saat itu tanpa banyak bicara, Laetitia berlari menjauh dari perkumpulan. Masuk kamar ia kembali merenungkan niatnya menanggapi panggilan. Dengan pemandangan sesederhana itu, Tuhan kembali hadir menyentuh inti kalbu. 

Suatu ketika dalam masa pencarian ordo yang benar-benar dirasa pas di hati, ia menemukan jawaban secara tak sengaja. Melalui majalah Hidup yang saat itu memuat profil dan foto Bapa Uskup Mgr Hieronimus Bumbun bersama dua orang suster OSCCap, Laetitia membulatkan tekadnya. Korespondensi dilakukan, harap-harap cemas ia menanti balasan. Tak berapa lama berselang, bagai tak bertepuk sebelah tangan, jawaban memuaskan ia dapatkan. Bapa Uskup menyambut baik keinginannya bahkan menunjukkan cara untuk memuluskan niat sucinya. Suatu kebetulan yang menyenangkan berselang beberapa waktu kemudian dalam urusan pekerjaan  Bapa Uskup mengunjungi provinsi tempat ia berdomisili. Dibantu oleh Bapa Uskup, Laetitia akhirnya sampai ke Biara Providentia yang sangat didambanya. Kesan pertama melihat bangunan biara, ia langsung merasa bahwa inilah tujuan hidupnya, inilah ‘rumah’ baginya.

Sejak awal hidup di biara, ia bersama teman-temannya saling menguatkan dalam doa. Rasa rindu pada orang tua serta sanak keluarga merupakan hal jamak dan tak terhindarkan. Laetitia sempat rapuh ketika di awal masa panggilan ia seolah sengaja diputus kontak oleh kedua orang tua. Seluruh surat yang dikirimnya ke kampung halaman tak jua kunjung ada balasan. Sedih dan merasa dikucilkan, rindu namun semacam terbuang. Ia tak mengetahui alasan di balik sikap kedua orang tua yang tidak pernah membalas surat-suratnya. Sedih tak tertahan, letih hati menahan rindu tidak berkesudahan, ia merasa sendirian, hanya Surat Rasul Paulus kepada umat yang termuat dalam Kitab Suci selalu menjadi hiburan. Pada suatu kesempatan ia menghadap Bapa Uskup Hieronimus Bumbun, mengadukan ihwal yang mengganggu batinnya. Jawaban tak terduga melipurkan laranya. Bapa Uskup menguatkannya hanya dengan kata-kata, “Buat apa bersedih, saya dan yang lain yang hidup dalam panggilan juga sendirian. Tidak sedang bersama orang tua, kita semua sama.” Dengan jawaban sederhana itu Laetitia merasakan kekuatan dan bahwa ia memang tidak sendirian. Hingga tiba pada suatu masa, ia diberi keleluasaan untuk kembali mengunjungi orang tua di kampung halamannya. Saat itu baru ia dapatkan jawaban atas segala yang menjadikannya ragu. Kedua orang tuanya tak ingin masa pendidikannya terusik rindu yang pada akhirnya akan mengganggu.  

Semua yang hidup akan tetap menemukan gairahnya jika ia masih meniupkan asa dalam cita-cita, dalam sebuah keinginan, dan dalam selaksa harapan. Pun demikian halnya dengan Laetitia. Hal yang belum terpenuhi dan menjadi sebuah harapan sepanjang pembaktian hidupnya dalam membiara dituturkannya, “Saya hanya merindukan menjadi seorang pendoa yang sungguh-sungguh menjadi penyalur rahmat bagi banyak orang, bisa menjadi seorang pribadi yang sungguh berguna bagi diri, keluarga, gereja dan dunia. Dan jika saya meninggal saya ingin menjadi kudus, tapi itu rasanya masih jauh dari bisa menjadi kudus,’ ungkapnya yang disusul sipu malu dalam senyumnya yang bersahaja.

4 Oktober 2016, tercatat tepat 25 tahun ia berkarya. Berbagai cobaan dan rintangan silih berganti menghampiri, namun tangan Tuhan kiranya terus bekerja, menjaga ia setia pada panggilan imannya. Selamat berkarya, Suster. Tetaplah menjadi pendoa kami semua. (Hes) 

NB: (*) kutipan tulisan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru: Rumah Kaca.   
Biodata Singkat

Nama: Yosefina Basildis Anu Pawe.
Tempat tanggal lahir: Flores, Bajawa Mataloko, 31 Maret 1962 
Tahun 1977 tamat SD Katolik Toda Belu II.
Tahun 1981 Masuk SMP Kartini Mataloko.
Tahun 1982 pindah ke SMP Immaculata Ruteng Manggarai.
Tahun 1983 masuk ke SPK (Sekolah Pendidikan Kesehatan) di Lela Maumere.
Setelah tamat, bekerja di Rumah Sakit St. Gabriel Kewapante Maumere, sebagai pembantu bidan bersama Sr. Solmaris, S.Sps selama 2 tahun.
Pada tahun 1987 berkenalan dengan biara Providentia melalui majalah Hidup. 
Tanggal 6 Agustus 1988 berangkat ke Singkawang bersama Sr. Emiliana SFIC dan diantar ke biara Providentia oleh Sr. Paulin SFIC.
Tanggal 6 Agustus 1988: masuk sebagai calon (aspiran)
Tanggal 29 September 1988: Masuk Postulan
Tanggal 4 Oktober 1989: Masuk Novis
Tanggal 4 Oktober 1991: mengikrarkan Kaul sementara.
Tahun 1991-1992 tinggal di Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 1993 kembali ke Biara Providentia Singkawang.
Tanggal 4 Oktober 1994: Mengikrarkan kaul kekal meriah.
Tahun 1996 di tugaskan kembali ke Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 1997 kembali ke Singkawang.
Tahun 2003 ditugaskan kembali ke Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 2005 kembali ke Biara Providentia Singkawang sampai saat ini.
Tanggal 4 Oktober 2016, genap 25 tahun hidup kaul membiara.


      


30 Nov 2016

Menepi, Mengawal Para Hati Pragembala Gerejawi

Menepi, Mengawal Para Hati Pragembala Gerejawi

 “kau akan berhasil dalam setiap pelajaran, dan kau harus percaya akan berhasil, dan berhasillah kau; anggap semua pelajaran mudah, dan semua akan jadi mudah; jangan takut pada pelajaran apapun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan semua.” ― Bumi Manusia: Pramoedya Ananta Toer.


Kutipan tulisan Pramoedya Ananta Toer di atas pantas dilekatkan pada pribadi yang kali ini profilnya dikupas dalam Rubrik Sosok. Pribadi yang mau dan tidak takut belajar hal-hal baru, malah memiliki kecenderungan merasa tertantang manakala dihadapkan pada berbagai hal baru yang bisa dikata di luar ranah minatnya.  

Gabriel Marcel, OFM. Cap., atau lebih akrab disapa Pastor Gebi. Saya mendengar namanya sudah hampir setahun yang lalu dalam perbincangan dengan seorang sahabat yang memang dekat dengan kehidupan biara di Novisiat Kapusin St Padre Pio, Poteng. Persis beberapa hari setelah beliau menggantikan Magister Novisiat Kapusin Poteng sebelumnya yang dijabat oleh Pastor Cahyo, OFM. Cap. Kala mendengar namanya untuk pertama kali, seketika muncul keinginan suatu waktu akan menjumpai beliau di tengah area ‘pertapaannya’, nun di kaki gunung yang menjadi salah satu ikon kota Singkawang.

Selasa, 25 Oktober pukul 14.47 Wib. Saya memacu kendaraan ke arah timur kota Amoy. Kala itu cuaca cerah membantu perjalanan saya dengan ingatan yang setengah meraba-raba menuju novisiat yang berdiri sejak 2001. Maklumlah, ini baru kali kedua bagi saya yang cukup pelupa kala mengunjungi  Padre Pio sejak pertama kalinya. Digital di pergelangan kiri  menunjukkan angka 15.17 Wib kala saya memarkir kuda besi yang saya tunggangi dan dengan segera ritual penyambutan sederhana terdengar dari gonggongan makhluk-makhluk menggemaskan lengkap dengan kibasan ekornya. Seekor di antaranya memberanikan diri mendekati dan mengendus kaki saya. Manakala saya gendong si kecil yang menggemaskan itu, seorang calon biarawan muda keluar dari kapel menjumpai saya dan mengatakan, “Sebentar ya, Kak, kami belum selesai ibadah,” segera saya menjawab dengan senyum dan anggukan.

Kira-kira berselang belasan menit kemudian, suara ramai saya dapati dari arah kapel. Ibadah telah usai. Hampir saja bubar rombongan biarawan dan calon biarawan itu jika tidak setengah saya paksa untuk berpose bersama lengkap dengan jubah coklat khas para saudara Kapusin. Kala itu saya sempat sedikit dikerjai oleh objek yang sebenarnya saya sasar untuk diwawancara. Saya diarahkan ke Pastor Felix yang diperkenalkannya sebagai Pastor Gebi. Saya sempat mengalami kebingungan karena memang belum mengenal sosok yang akan saya wawancara. Tak tega melihat kebingungan saya berlarut, akhirnya sembari menderaikan tawa ia mengaku, bahwa ia-lah pastor yang akan saya wawancarai. Ya, kesan pertama terhadap beliau ternyata beliau sosok yang menyenangkan, iseng, dan cukup jenaka. 

Usai mengabadikan gambar mereka, kami berjalan menuju ruang makan di sebelah dapur. Saya digiring untuk merasakan atmosfer layaknya di rumah sendiri. Tenang dan nyaman. Duduk berhadap-hadapan di antara susunan dua meja cukup besar untuk sebuah perjamuan dengan sepuluh kursi kayu berpolitur, saya memulai wawancara ringan dengannya yang saat itu masih masyuk mengaduk kopi. 

Tidak sulit beradaptasi dengan Saudara Kapusin yang terlahir sebagai anak ketiga dari pasangan almarhum Bapak Ignatius Naong dan almarhumah Ibu Yulia Simoh. Pribadinya cukup terbuka, pilihan kata yang dikenakan saat berkomunikasi menandakan tingkat intelektualitasnya di atas rata-rata. Satu hal yang juga berkesan dari sosok biarawan berkacamata ini adalah sikapnya yang dinamis. Hal ini terekam jelas dalam ingatan saya ketika dengan tatapan mata yang tegas dan nada bicara yang antusias ia menyoal kukuhnya keinginan menjadi penerima Sakramen Imamat meski sang ayah yang kini telah berpulang ke hadirat Bapa awalnya sempat tak merestui niatnya. Kala itu, ayah yang merupakan pengawas sekolah dan pemilik usaha sampingan di bidang perdagangan menginginkan sosok Gebi remaja untuk meneruskan usahanya. Namun kiranya sedari belia, panggilan untuk menjadi laskar Tuhan lebih dahulu terdengar dan terlanjur memenuhi relung hatinya terdalam. Pada suatu masa, di mana Gebi remaja mengikuti sebuah retret rohani yang di dalamnya terdapat sesi pengenalan dan arah diri. Ia melukiskan keinginan dan cita-cita dalam sebuah gambaran diri tentang sosok orang desa yang berguna bagi sesama. Bagai searah bertukar jalan, sang pembimbing lantas menerjemahkan cita-citanya sebagai suatu keinginan menjadi seorang biarawan.
Sejak saat itu, semakin jelas arah dan tujuan Gebi dalam melangkah mewujudkan angan. Restu ibu menjadi penguat paling jitu saat langkahnya terganjal ragu. Ya, sosok almarhumah ibunya lebih moderat kala memerdekakan pilihan cita-cita sang buah cinta.

Kala menyoal suka-duka menanggapi panggilan awal sebagai imamat, saya sempat menangkap perubahan spontan di wajahnya. Sudut matanya memincing, pandangannya mengembara ke luar ruang bersekat pintu besi tempat kami berbicara. Ia seolah berupaya menggapai sesuatu dari masa lalu. Ia mengungkap dalam masa pendidikan sebagai imam, satu-satunya hal yang dirasa berat adalah ketika harus meninggalkan keluarga. Pada saat itu ketika masih frater, ayahanda berpulang ke rumah Bapa sementara ibu hanya tinggal dengan adik yang belum beranjak dewasa. Sebagai anak lelaki dalam keluarga keadaan itu memanggil nuraninya untuk pulang, bertanggung jawab atas kehidupan ibu dan adik yang sangat dicintainya. Namun karena niat menjadi imam merupakan kebulatan tekad, jalan yang disediakan Tuhan selalu lebih indah dibanding segala kesulitan yang dianggap manusia sebagai belukar penuh duri penghalang.    

Terhitung sejak 25 November 2015, hampir setahun menjadi formator di Novisiat Padre Pio, penyuka berbagai bacaan ini mengungkap tak menemukan hambatan berarti kala meneruskan tugas magister novisiat sebelumnya. Kehadirannya untuk meneruskan karya pendahulunya adalah sebuah tugas yang diterima di tengah masa pendidikan di Roma. Pendidikan yang sedianya ditempuh selama tiga tahun secara otomatis berhenti sejenak karena ia harus lebih mengutamakan panggilan kegembalaan yang kini dipercayakan di pundaknya. Di sela kilas balik masa pendidikan di Roma, ia sempat menuturkan bahwa ketika menuntut ilmu di negeri Menara Pisa satu-satunya kendala yang cukup menyita adalah bahasa. Hanya dalam kurun waktu tiga bulan ia dituntut untuk mampu beradaptasi dalam hal komunikasi. Tentu bukan perkara ringan dan menyenangkan, namun berkat kegigihan kendala tersebut mampu ia taklukkan.  

Kepulangannya ke Indonesia praktis memutus interaksi intens dengan orang dari berbagai negara maupun semarak kehidupan civitas akademika yang sebelumnya mewarnai hari-harinya. Tak tanggung-tanggung, penempatan tugas kegembalaan mengutusnya menepi, mengawal para hati pragembala gerejawi. Letak rumah novisiat di pinggir kota, di kaki gunung menggugah keingintahuan saya tentang bagaimana ia harus beradaptasi dari dunia yang awalnya gempita lantas jalin-menjalin rasa dengan heningnya suasana biara. “Kesepian adalah bagian dari hidup yang tidak bisa dihindari namun bisa kita kelola. Saya bukan orang yang anti sosial, tapi jika dihadapkan pada situasi sepi saya mampu mengatasinya,” ujar pria yang awalnya bercita-cita menjadi tentara ini.

Dalam tugas sebagai formator  para novis Kapusin hampir setahun belakangan, pastor yang terlahir di bumi Semayang pada 28 Mei 1979 silam ini banyak menjumpai hal yang mampu semakin menghidupkan jiwanya. Di lingkup Padre Pio di bawah asuhannya pola belajar tak hanya berjalan searah namun lebih pada interaksi baik oleh sang magister kepada novis maupun sebaliknya. “Jika dipersenkan kira-kira 95 persen bahagianya. Dapat berinteraksi dengan orang muda, mereka selalu hidup semangatnya. Saya banyak belajar dari mereka. Mereka punya banyak kemampuan yang tidak saya punya. Berbagai bakat dan intelektualitas mereka sudah baik, jika dibentuk lagi akan jauh lebih baik. Mereka bisa jauh lebih hebat. Sebaliknya kita pun bisa berbagi ilmu yang kita tahu,” paparnya. 

Bicara mengenai perannya sebagai formator, ada kiat khusus kala ia menghadapi para novis di bawah asuhannya. Penekananan kebersamaan sakit sama mengaduh, luka sama mengeluh, seiya sekata dalam rupa-rupa suasana suka maupun duka terasa begitu kental di Novisiat Padre Pio ini. “Menganggap diri sebagai saudara, tempat berbagi dan belajar bersama,” Mereka (para novis) pun sudah tahu tujuan utama mereka ada di tempat ini,” jelasnya. Ia juga tak sungkan untuk selalu melibatkan rekan-rekan sesama Saudara Kapusin sebagai tempat beradu tanya berkeluh rasa ketika harus dihadapkan pada kondisi sulit yang kadang menghampiri. “Belajar selalu belajar, mau belajar. Di mana kita tidak tahu, kita bertanya. Di mana kita tidak mampu, katakan tidak mampu. Segala sesuatu belajar. Setiap Saudara Kapusin adalah formator bagi yang lain,” ungkapnya. 

Setengah merendah ia berujar bahwa tugasnya saat menghadapi para calon gembala adalah hal yang tak lebih berat karena sebagian novis, para calon biarawan ini sudah melewati masa seminari, tahun orientasi panggilan, atau postulat. “Jadi saya tinggal menerima dari proses sebelumnya. Tugas saya cukup ringan menghadapi mereka yang sudah terarah. Hanya kadang terasa sedikit berat pada tanggung jawab moral mengingat mereka akan menjadi penerus. Di situ terkadang saya merasa tidak layak sebagai formator. Tapi pembentuk utama adalah yang di atas. Mereka datang kita hanya mengingatkan. Setiap orang unik. Biar orang berkembang dengan keunikannya,” imbuhnya. Kesungguhannya menjalankan tugas yang diletakkan di pundaknya semakin dikuatkan manakala ia berujar, “Jika kita sudah ditempatkan di suatu tempat buatlah segala sesuatu dengan sepenuh kemampuan kita, mengabdikan diri secara total. Kita tidak tahu ke depan, hanya tahu hari ini. Yang bisa dikerjakan hari ini kerjakanlah, esok kita tidak tahu.”  

Melirik sisi lain dari pria pehobi olahraga sepakbola ini, ternyata ia menaruh minat yang begitu besar pada literasi dan dunia jurnalistik. Ketertarikan terhadap literasi dan jurnalistik sempat memacu produktivitasnya. Di tempat bertugas sebelumnya ia mengasuh dan membidani lahirnya buletin pewartaan. Namun saat langkah kaki mengharuskannya menggurat karya di tempat berbeda, buletin yang digagasnya lekang tanpa ada yang meneruskan. Sungguh suatu keadaan yang sangat disayangkan. 

Sampai pada menit ke-32 wawancara kala saya mencecar mengenai keinginannya yang selama ini belum tercapai, dan dengan nada bicara khas ia menyatakan impian untuk melanjutkan pendidikan yang sempat tertunda saat harus kembali ke Indonesia. Uniknya selain ingin melanjutkan pendidikan sebagai formator, ia juga menyatakan ketertarikan untuk mendalami filsafat atau ilmu kajian budaya. Namun dengan cepat diimbuhnya dengan pernyataan yang sangat bijak, “Tapi segala sesuatu sekarang bisa dikatakan bukan lagi kehendak pribadi, dalam artian kehendak diri yang dimodifikasi menjadi kehendak ordo. Meskipun menurut teori Abraham Maslow (psikolog asal Amerika.red) kebahagiaan itu hadir ketika bisa mengaktualisasi diri, tapi semua kembali pada kebutuhan ordo,” ungkapnya. 

Disoal mengenai sosok yang menginspirasi jejak langkah imamatnya, dengan sigap ia menuturkan pendiri ordo adalah sosok yang memberikan pengaruh begitu kuat, sementara guru utama dan guru spiritual baginya tidak lain adalah Yesus. Pribadi yang Illahi namun sangat manusiawi. Ia lantas menjabarkan lebih lanjut, “Yesus mau seperti kita. Berinteraksi dengan sesama. Yesus bukan Tuhan yang di awang-awang, Ia Tuhan yang ada bersama kita, kita tidak dibiarkan berjalan sendiri, hal itu yang menjadi teladan, membuat semakin teguh dalam iman. Hal itu sangat memengaruhi untuk dapat menerima dan menjalankan tugas-tugas. Sabdanya menguatkan. Ini sejalan dengan moto saat saya ditahbiskan, saya mengutip Injil Yohanes 6: 68, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal.” 

Akhirnya, selamat bertugas, Pastor. Selamat berjuang menjadi bala tentara Bapa yang siap mengawal para hati pragembala gerejawi. (Hes)  

Pendidikan dan Kegembalaan
SDN 1 Semayang (1986 - 1992)
SMPN 1 Kembayan (1992 - 1995)
SMU Katolik Yohanes don Bosco Sanggau Kapuas (1995 - 1998)
Tahun Orientasi Panggilan/Topang, Nyarumkop (1998 - 1999)
Postulat Santo Leopold,  Bunut  Sanggau (1999 - 2000)
Novisiat St Fidelis Parapat, Sumatera Utara (2000 - 2001)
STFT St Yohanes, Pematang Siantar (2001 - 2005)
Tahun Orientasi Pastoral/TOP, Paroki St Maria, Jangkang, Sanggau (2006 - 2007)
STT Pastor Bonus (2007 - 2009)    
Kaul Kekal (2009)
Masa diakonat (2009 - 2010)
Tahbisan Imam (11 Februari 2010)
Pastor rekan di Paroki Sambas (2010 - 2011)
Kalimantan Tengah (2011 - 2012)
Melanjutkan studi di Roma (2013 - 2015)
Novisiat Poteng (25 November 2015 - sekarang)  


19 Mar 2016

Ia di Antara Biola, Kamera dan Komuni untuk Lansia

Ia di Antara Biola, Kamera dan Komuni untuk Lansia


“Tahun-tahun yang memutih di kepala menandai tinggi batang usia kiranya bukan penghalang baginya yang sering terlihat masyuk dengan kamera. Di umur rambang senja, ia bahkan menjadi daya tarik tersendiri mengingat sosok lain yang seusia umumnya tak lagi menggubris perkembangan teknologi yang setia bergulir di dunia.”



Pastor Marius, OFMCap, gembala yang selalu tampil formal, berkemeja lengan panjang, dimasukkan rapi, bersemat salib kecil di kerah kiri, dan selalu beralas kaki hitam ini bukan sosok asing di lingkungan Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi. Putra kelima dari pasangan bapak Mateus Chen dan ibu Yohana Lay ini begitu tak terganggu manakala ratusan pasang mata memandang aksinya kala mengabadikan berbagai peristiwa yang berlangsung di gereja maupun hal lain yang sanggup menarik perhatiannya. Meskipun bersifat pribadi, betapa aktivitasnya sangat membantu gereja dalam mengabadikan setiap rangka masa. Entah telah menghabiskan berapa giga bahkan tera kapasitas hardisk guna membingkai laman waktu dalam gambar bergerak maupun slide-slide bisu. Tak berhenti sampai di situ, suaranya terdengar begitu ringan menandakan sama sekali tiada berkeberatan ketika hasil bidikan kameranya diunduh orang guna memenuhi berbagai kepentingan. 

Terlahir dengan nama Chen, semenjak kecil ia telah begitu terpesona pada kehidupan membiara. Chen kecil yang menunjukkan ketertarikannya pada kaum berjubah menggiring langkah remajanya menekuni panggilan iman hingga ke Holand. Pada 1947, dua tahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, ia telah melanglang buana ke negeri Belanda. Zaman dulu menempuh pendidikan menjadi imam kesempatannya tidak seluas sekarang. Ia harus berjibaku dengan teologi dan filsafat ilmu hingga ditahbiskan sebagai imam di negeri kembang tulip itu pada 1961. 

Empat belas tahun di benua Eropa, begitu banyak hal dipelajarinya. Selain kian mematangkan pendidikannya menjadi gembala, ia mulai akrab dengan biola. Secara otodidak ia mempelajari cara memainkan alat musik yang tak sekadar menggesek dawai belaka, namun juga mengandalkan kehalusan jiwa untuk mampu sampai ke hati penikmatnya. Kepiawaiannya mengalunkan nada melalui biola bak gayung bersambut manakala ia kembali ke negeri asalnya. Sempat menggembala umat selama setahun di Nyarumkop pada 1962 sebelum akhirnya di tahun  1963 ia kembali berkarya di Katedral, di jantung Khatulistiwa. 

Pada tarikh 1963−1997 penempatan tugas pastoral membuatnya mengabdikan diri di Gembala Baik. Di sinilah ia berkolaborasi dengan ketua Yayasan Persekolahan Gembala Baik yang sepaham dengannya mengenai pembelajaran ekstra bagi siswa. Ia seiya sekata dengan Bapak Yan Fredrik yang menggagas mengenai pembelajaran biola untuk menghaluskan jiwa para peserta didiknya. Dengan telaten dan sabar, ia menularkan kebisaannya memainkan biola pada siswa-siswinya. “Pak Yan mewariskan satu hal tidak diduga, ia mengajar musik terutama biola kepada murid karena ia mau muda-mudi kita tetap peka terhadap sesuatu yang indah. Contohnya jika ada berita orang yang mengalami musibah di sekitar kita dan kita melihatnya sebagai sesuatu yang biasa, hal ini terjadi karena tidak ada kepekaan terhadap yang indah. Mulanya saya tidak mengerti, tetapi akhirnya saya memahami dan sesuatu yang paling indah adalah yang dilakukan oleh Yesus di kayu salib, wafat bagi orang lain. Hal ini dapat terjadi karena jiwa yang peka. Karena sesuatu yang indah dapat memengaruhi kepekaan sikap jiwa. Sehingga dia merasa indah juga bisa menolong orang, malahan bila perlu berkorban untuk orang lain. Saya ambil warisan itu. Saya melanjutkan itu. Biarlah kelihatan atau tidak, berhasil atau tidak, tapi pasti tidak rugi jikalau dari anak-anak itu masih dapat kesempatan untuk mematangkan rasa mereka terhadap keindahan. Karena otomatis akan mempengaruhi mereka punya jiwa,” urainya. Hingga usianya hampir menginjak 87 tahun, ia tetap setia melatih bermain biola. Dan satu hal yang sungguh luar biasa, ia melatih tanpa memungut sepeserpun biaya dari para didikannya. “Saya melanjutkan semua itu bukan sebagai hobi saja, tapi dengan harapan dasar supaya muda mudi kita menyebarkan keindahan yang mereka rasa, yang secara otomatis meningkatkan sikap jiwanya.” 

Hal unik lain dari sosoknya, di tahun 1947 dimana bangsa ini baru mengecap haru biru hawa kemerdekaan bahkan mungkin saja masih latah terhadap perputaran zaman, ia telah selangkah lebih maju. Ia akrab dan paham dengan peralatan media rekam. Sungguh berada di luar duga bahwa ia memang mesra dengan kamera semenjak dulu kala. Di samping itu, ia juga memanfaatkan media sosial untuk berbagi banyak hal yang direkamnya. Bukan tanpa maksud, namun  aktivitas tersebut berkiblat pada manfaat berbagi dan menarik esensi dari berbagai hal baik yang sanggup menginspirasi. “Ya memang hobi, dengan arti, itu adalah media yang bisa menyampaikan sesuatu. Hasil rekamnan saya banyak simpan di Facebook dan Youtube. Dari yang dibagikan di Facebook dapat dibaca juga notes berisi keterangan di bawahnya. Di situ saya banyak menulis hasil-hasil pembicaraan, menjawab pertanyaan orang tentang berbagai hal, tentang perkawinan, tentang hidup, tentang kematian.” Ia tak gagap teknologi, bahkan sukses memanfaatkannya menjadi media untuk menggembala umatnya. 

Usianya memang tak lagi muda, namun ia tampak tak pernah menyerah begitu saja pada deret angka penanda masa hidup manusia. Ia masih selalu bersemangat melakukan berbagai aktivitasnya sendiri. Menyetir, bersepeda, berjalan kemana pun tugas gembala mengharuskan langkahnya berada, semua dijalaninya dengan suatu kesadaran bahwa kemandirian berdampak penuh terhadap kondisi kesehatan. Hingga kini, ia masih melayani, mengantar sendiri komuni suci bagi para lansia, baik di dalam maupun di luar kota. Jumlahnya pun tidak sedikit, terdapat dua putaran dalam hantaran yang totalnya berada di kisaran angka enampuluhan.
  
Meski menyadari sepenuhnya terhadap berbagai hal yang berpengaruh besar pada kesehatan, Pastor Marius bukan insan yang menyangkal kematian. Pernah dalam satu kurun waktu ia bolak-balik melewati jalan yang sama menuju kompleks pekuburan. Aktivitasnya itu disadari oleh seorang umat yang serta merta menanyakan alasannya. Dengan nada berkelakar ia mengungkap alasannya menjalani aktivitas yang tergolong tidak biasa itu dengan harapan ketika kematian menjemput, jiwanya bisa mandiri, berjalan sendiri karena sudah hafal jalan dari pastoran menuju kompleks pekuburan.

Pria yang terlahir pada 1 Agustus 1929 ini pernah mengalami mujizat dalam hidupnya. Dikisahkannya pada wawancara dengan tatapan bersungguh-sungguh pada tahun 2002 ia berada dalam perjalanan dari Pontianak menuju Singkawang. Kala itu di daerah Sungai Limau nasib tak mujur menghampirinya, ia terlibat dalam kecelakaan di jalan raya. Namun suatu hal yang benar-benar dirasanya adalah terdapat tangan seseorang yang memegangnya, menahannya agar tak terlalu kuat menghantam setir maupun dashboard mobil yang dikemudikannya. Saat kecelakaan terjadi ia bersama dengan dua orang lain yang duduk jauh di belakang setir yang dikendalikannya. Suatu kondisi dimana dua orang di belakangnya tidak mungkin melakukan hal yang dirasakannya sebagai ‘pegangan tangan seseorang’. Saat dievakuasi, tim medis yang menanganinya merasa tipis harapan nyawanya dapat diselamatkan mengingat kondisinya yang sangat memprihatinkan. Di luar dugaan, ketika Pastor Marius siuman dan satu hal yang langsung ia ingat saat itu ia harus memimpin misa berbahasa Tionghoa. Dengan kondisi luka dalam yang jika orang awam hanya bisa bertahan selama tiga jam, Pastor Marius merasa menerima sentuhan kekuatan hingga ia dapat bertahan selama delapan jam sebelum akhirnya mendapat perawatan lanjutan. Dalam kondisi itu ia menguatkan diri untuk pulang ke Singkawang. Tim medis di Singkawang hanya menggeleng-geleng takjub menyaksikan betapa mujizat Tuhan bekerja atas diri pastor ini. Usai merasakan kuasa keajaiban pada tahun 2002, Pastor Marius semakin meyakini segala keselamatan yang dialaminya tak lain karena campur tangan Bunda Maria. 

Hal lain yang juga menjadi kisah tersendiri dari diri pastor yang satu ini adalah dalam kurun masa tertentu, beliau pernah menggunakan peti mati sebagai fasilitas tidurnya. Tentunya hal ini menjadi kondisi tak biasa bagi orang kebanyakan yang secara general memandang segala hal yang berkaitan dengan kematian adalah sesuatu yang masih begitu menakutkan. Ya, pastor Marius memang sudah memesan sebuah peti kepada sahabatnya yang berprofesi sebagai pembuat peti demi kepentingannya sendiri di kemudian hari. Serta merta peti pesanannya dititipkan kepada si pembuat karena untuk membawa peti jenazah ke pastoran bukan hal yang mudah. Selain akan memakan banyak tempat, adalah tak lazim meletakkan peti dalam ruangan yang sebenarnya bukan tempatnya. Suatu waktu ketika sang sahabat pembuat peti berpulang ke penciptanya, peti jenazah pesanannya harus dibawanya ke kediamannya, ke pastoran. Ia lantas meletakkan peti pesanannya di dalam kamarnya dan menjadikannya sebagai tempat beristirahat. Ia tidur di dalam peti jenazah. Cukup lama keadaan itu dijalaninya hingga suatu ketika ia tak dapat bertahan lagi karena hawa panas yang menyelimuti ketika ia tidur di dalam peti. Suatu pengalaman jenaka yang tidak disangka terjadi atas dirinya. Meski kini peti itu tetap berada di kamarnya, kondisinya saat ini kokoh berdiri dan telah beralih fungsi menjadi almari. 

Pada akhirnya sekelumit kisah hidup yang terajut menjadi sisi lain bagi kita memandang sang gembala. Selamat berkarya, Pastor. Semoga selalu sehat dan dilindungi dalam setiap langkah. (Hes)      
NB: Bagi umat yang ingin berinteraksi dengan beliau dapat mengunjungi laman
Facebook: Mar Chen (Marius) dan Youtube: mari2chen.                    


15 Jan 2016

SETAPAK TAK BERJARAK DENGANNYA, SANG MUTIARA PENEBAR CERIA

SETAPAK TAK BERJARAK DENGANNYA, SANG MUTIARA PENEBAR CERIA

“Mahkota apa yang saya cari selain satu tujuan, mencerdaskan generasi bangsa. Sudah terlalu tua bagi saya untuk mencari sensasi. #renungan”



Tersentak saya kala membaca status media sosial pada aplikasi pesan instan biarawan periang nan enerjik itu. Status itu pula yang semakin menyadarkan dan menguatkan paradigma saya bahwa sosoknya berbeda, ia begitu istimewa. 

Bruder Valensius Ngardi, S.Pd, MTB, atau lebih sering disapa Bruder Flavi. Pria kelahiran Manggarai, Flores, 4 Juli 1975 itu pertama kali saya jumpai pada 3 September 2014 lalu. Kala itu dalam suasana formal sebuah pertemuan yang digagas oleh dinas yang menaungi  tempat keseharian kami berkarya tengah getol-getolnya menyasar tiap sekolah guna menyosialisasikan kurikulum baru. Pada saat itu saya sempat mengamati dari kejauhan, beliau yang baru menduduki jabatan sebagai pucuk pimpinan salah satu Sekolah Menengah Pertama di Singkawang terkesan sedikit canggung ketika harus berbaur dengan pimpinan dari sekolah lain. Saya sempat menanyakan perihal wajahnya yang rasanya begitu asing bagi saya kepada salah satu pimpinan sekolah yang saya kenal. Jawaban yang lantas mampu menuntaskan keingintahuan saya terima, “Beliau Kepala Sekolah SMP Tarsisius yang baru.” Pada saat itu yang terlintas dalam pikiran saya, “Ow, ini rupanya sosok yang kemarin-kemarin sempat diceritakan rekan sesama pengajar di sekolah tempat saya mengabdi dulu.” Sadar jika diperhatikan, beliau lantas melempar senyum ke arah saya yang saya balas dengan anggukan.

Pertemuan kedua kami terjadi pada medio Desember 2014. Kali ini jabat tangan dan perkenalan diri dapat kami lakukan secara langsung dalam suasana yang lebih santai dan akrab. Saya ingat betul kalimat yang lantas dilontarkan beliau pada saat berjabat tangan, 

“Rasanya sering lihat, Mbak.,” 
“Ya, Der, kita pernah bertemu di sosialisasi Kurikulum 2013, saya salah satu instruktur yang ada di situ, mungkin Bruder juga pernah lihat foto saya di Tarsi, saya dulu mengajar di Tarsi (SMP Santo Tarsisius.red).”  

“Ow, ya, ya, kita sekarang satu tim.” 
Ya, saat ini kami satu tim dalam meramu buletin gereja. Pertemuan kali itu berlangsung begitu singkat. Tidak banyak yang dapat saya tangkap dalam kesan pada pertemuan kali itu selain nada bicaranya yang ringan dan terasa begitu bersahabat. 

Perkenalan selanjutnya hanya berjalan searah, prosesnya terjadi melalui kebiasaan saya yang sering berusaha mengenali pribadi orang lain dengan cara mengamati ekspresi wajah dan gaya melalui  foto-foto. Ada rasa takjub manakala saya disodori foto sesosok lelaki dengan dandanan dan kostum lengkap sebagai badut dengan latar belakang persawahan ditambah keterangan dari sang juru foto, “Mbak, tahu ini siapa? Ini Bruder Flavi, lho!” Mengernyit dahi saya kala itu, mencoba menelisik detil foto di hadapan saya sembari perlahan mengurai pola pikir yang rasanya bersimpul-simpul, menyeimbangkan antara kenyataan beliau adalah pucuk pimpinan di sekolah dan begitu berwibawa dengan kontradiktif sikapnya yang membumi menjadi penghibur, pembawa ceria bagi sesama yang dijumpainya dalam balutan kostum dan dandanan badut. Ya, kala itu beliau berdandan ala badut guna menghibur umat di salah satu stasi dalam rangka perayaan natal bersama.     

Kesan ketiga yang juga benar-benar lekat dalam ingatan saya adalah ketika suatu sore di bulan  Juni 2015, usai gerimis tipis mengguyur kota Singkawang, langkah kaki saya digiring ‘pulang’ ke tempat saya pernah mengabdikan diri. Saat itu saya sengaja ‘pulang’ ke sekolah tempat dimana sang badut yang sekaligus pucuk pimpinan mempersembahkan segenap waktu, tenaga, dan pikirannya dalam berkarya, SMP Santo Tarsisius. Sambutan hangat seolah menyambut kerabat dekat pun segera saya dapat. Banyak hal kami perbincangkan, beliau begitu antusias membahas rencana-rencana dalam membangun sekolah ke arah kemajuan. Yang membuat sangat terkesan adalah keterbukaannya menerima berbagai masukan yang saya berikan. Padahal seringkali dalam keseharian, saya merasa dianggap ‘anak bawang’, suara dan pendapat saya lebih sering dikesampingkan, namun di hadapan beliau pendapat saya diperhitungkan. Satu lagi kesan yang saya dapatkan, beliau adalah tipikal pemimpin yang menghargai dan mendengarkan. 

Usai kunjungan ‘pulang’ saya ke SMP Santo Tarsisius sore itu, komunikasi kami lebih banyak dilakukan via pesan instan maupun surat elektronik. Pernah dalam kurun suatu masa, anak keempat dari enam bersaudara ini bertubi-tubi mengirimkan artikel melalui surat elektronik untuk dimuat di Buletin Likes. Saya begitu takjub dengan kesanggupannya meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menulis berita di sela-sela kesibukannya sebagai pimpinan yang saya yakini sudah terlampau sarat tugas dan kewajiban. 

Kiranya keberuntungan untuk lebih mengenal dekat sosoknya selalu menyertai saya. Pada suatu kesempatan, tepatnya pada perayaan 110 tahun Kapusin berkarya di Singkawang, kami digadang dalam sebuah tim yang menangani sektor pameran. Entah mengapa kala membaca namanya sebagai koordinator seksi pameran, tidak ada kepanikan yang saya rasakan meski mengetahui pameran ini akan dikunjungi minimal dengan skala regional Kalimantan Barat. Dan benar saja, dalam beberapa kesempatan rapat persiapan juga saat eksekusi ide yang sudah dirancang, sosoknya yang periang kembali menimbulkan kejutan-kejutan. Pada umumnya, orang yang sifatnya periang dan enerjik yang selalu saya jumpai bukanlah tipikal orang yang detil dalam menghadapi apapun, namun ternyata pengecualian berlaku pada putera Bapak Ignasius Gentor dan Ibu Elisabet Ahul ini. Beberapa kali saya terperangah ketika  beliau begitu rinci meneliti satu persatu kesiapan kegiatan. Tidak berhenti sampai di situ, lagi-lagi sikapnya yang membumi seolah melucuti rasa malu saya satu per satu. Di tengah persiapan kegiatan, saya yang saat itu tengah memasang proyektor untuk menampilkan slide-slide foto di ruang pameran sempat mematung demi menyaksikan sosoknya yang dengan cekatan mengepel ruangan pameran. Kembali logika saya dibenturkan pada kenyataan antara sosoknya yang seorang pimpinan dengan keikhlasannya melakoni berbagai pekerjaan.

Siang itu, di sela kesibukannya mengurus rumah tangga persekolahan yang dipimpinnya saya melakukan temu janji. Ketika saya menyambanginya, tak seperti pemimpin yang pada umumnya berkutat di ruang kerja, dari jauh ia terlihat duduk santai di pinggir lapangan basket. Membaur, tak menjarak dengan peserta didiknya. Tak perlu heran jika suatu kali Anda akan menjumpainya duduk lesehan di lantai saat jam istirahat sekolah, bergabung dengan para murid, karena memang demikianlah dalam kesehariannya. 

Manakala ditelisik alasannya memilih kehidupan membiara, dengan antusias ia mengisahkan ketertarikannya diawali ketika masih duduk di sekolah dasar, ia telah bergelut dengan aktivitas sebagai misdinar. Berlatar orang tua sebagai ketua kring pun ternyata menjadi salah satu hal yang semakin menguatkannya untuk mengenal lebih dekat kehidupan ‘kaum berjubah’. “Dulu kami tinggal di pedalaman, dikunjungi pastor sekali sebulan, dan bisa dipilih menjadi misdinar rasanya senang sekali,” uangkapnya bernostalgia.

Di balik penampilan cerianya, ternyata ia menyimpan penggalan kisah mengharu biru. Flavi kecil pernah hampir putus sekolah. Disebabkan latar ekonomi keluarga yang agak terseret karena ayahnya harus membiayai kakak-kakak lainnya yang juga bersekolah, ia lantas diajak untuk tinggal di pastoran sebagai karyawan semacam koster. Membaca tekadnya yang gigih untuk beroleh pendidikan, sang pastor baik hati yang mengajaknya tinggal di pastoran itu lantas memberikan lampu hijau padanya untuk dapat melanjutkan pendidikan, dengan catatan setiap Sabtu, Flavi kecil harus izin sekolah dan tetap membantu pastor untuk mengunjungi stasi.

Berbagai pergulatan dalam menempuh kehidupan dan pendidikan akhirnya mengantar langkah Flavi pada Kongergasi MTB. Ia paham betul bahwa dunia pendidikan menjadi salah satu konsentrasi dalam kehidupan religiusnya sebagai biarawan. Sebenarnya tak ada hal muluk yang ia harapkan dalam kehidupan karyanya, namun ternyata pimpinan kongergasi membaca kemampuannya dalam memanajemen lembaga. Sepanjang lima tahun belakangan, telah dua sekolah berada di bawah kepemimpinannya, SMA Santo Paulus Pontianak (2010−2014), dan SMP Santo Tarsisius Singkawang (2014−sekarang). Manakala disoal tentang keinginannya yang belum terwujud, masih dengan nada antusias ia berujar, “Saya ingin menulis buku yang isinya tentang humaniora, dan hal lain yang sangat saya inginkan adalah melanjutkan pendidikan ke jenjang S2. Saya hanya ingin melayani dalam dunia pendidikan tetapi jangan posisi sebagai pemimpin, berat bagi saya,” ungkapnya disertai derai tawa. 

Pada akhirnya, banyak hal yang dapat diserap menjadi suri teladan dari sosok pehobi voli dan basket ini; menjadi  pemimpin yang mendengarkan, menghargai, memotivasi, membumi, menebar damai dan sukacita bagi sesama. Selamat berkarya, Der. Semoga selalu dianugerahi kondisi sehat dan penuh dengan berkat. (Hes)   


Riwayat Pendidikan dan Kekaryaan
SD Swasta Katolik (1982-1988)
SMP Swasta Katolik St. Stefanus (1989-1992)
SMA Don Bosco, Ruteng (1992-1995)
KPA St. Paulus, Mataloko, Flores (1995-1996)
Bekerja di Jakarta dan Semarang (1997)
Biara di Jateng (1998-2000)
Pengurus rumah tangga dan guru SD Bruder Kanisius, Siantan Pontianak (2000-2002)
Kuliah di IPAK, Universitas Sanata Dharma, Jogjakarta (2002-2006)
Asisten Magister Postulan di Pati, Jateng (2006-2007)
Pengurus dan Pembina Asrama dan dosen di Merauke (2007-2010)
Kepala Sekolah SMA St. Paulus, Pontianak (2010-2014)
Kepala Sekolah SMP St. Tarsisius, Singkawang (2014-sekarang)