Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

12 Sep 2015

MEMBERI KARENA MAU

MEMBERI KARENA MAU

 

Hampir setiap hari Minggu sekitar pukul 8 pagi Marieta sudah berdiri di depan pintu gereja. Gadis cilik yang masih duduk di kelas 6 Sekolah Dasar itu dipercayai untuk menjadi pengajar Sekolah Minggu di Stasi Trans SP2, stasi terjauh dari pusat Paroki Singkawang.  Satu demi satu anak-anak mulai berdatangan. Tanpa dikomando mereka pun langsung masuk gereja dan duduk di bangku paling depan. Seperti layaknya seorang guru Marieta langsung mengambil posisi. Dia berdiri menghadap anak-anak yang sudah  duduk rapi dan mulai memberi aba-aba untuk segera bernyanyi lagu-lagu rohani.  Dengan panduan  Marieta mengalunlah lagu-lagu rohani dari mulut anak-anak yang rata-rata masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Senandung lagu rohani itu terasa makin lengkap karena disertai dengan tarian. Hampir setiap lagu ada gerakannya. Anak-anak menari mengikuti  gerakan gurunya. Kadang disertai  derai tawa karena lebih sering anak-anak menari dan menyanyi semaunya sendiri.  Lagu yang terdengar lebih sering lari dari notasinya. Tarian mereka pun kadang tidak harmonis dan tidak serasi. Sifatnya lebih spontan. Tetapi tidak tergambar suasana kaku yang menakutkan. Justru dengan bebas dan polos anak-anak bernyanyi dan menari memuji Tuhan.

Meski jauh dari kisi-kisi pelajaran agama Sekolah Minggu yang disusun oleh Komisi Liturgi, tetapi Marieta sudah bisa mengajak anak-anak bergembira memuji Tuhan. Dalam pelajaran Sekolah Minggu yang diberikannya tidak ada yang namanya bacaan Kitab Suci. Tidak ada yang namanya merenungkan sabda Tuhan. Tidak ada doa pembukaan dan doa penutup yang tersusun rapi.  Marieta hanya sekedar mengajak anak-anak untuk bernyanyi dan menari bagi Tuhan.  Menuntut yang lebih jelas tidak mungkin dari seorang anak kecil yang baru duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 6. Modal Marieta hanyalah kemauan yang kuat. Yang penting anak-anak bisa bergembira dan sudah dibiasakan untuk memuji Tuhan pada hari Minggu.

Beberapa waktu lalu ketika saya turne ke Trans SP2, sehabis pelajaran Sekolah Minggu saya lihat wajah Marieta keliatan murung. Karena penasaran saya dekati Marieta dan bertanya kepadanya. 

“Kok Marieta sedih hari ini? Marieta sakitkah?” tanya saya. Marieta hanya menggelengkan kepalanya dan tertunduk agak lesu.

“Lalu kenapa? Boleh pastor tahu?” tanya saya sekali lagi.

Sambil mengangkat kepalanya, Marieta berkata dengan suara lirih. Hampir tidak terdengar sama sekali.

“Pastor, Marieta sebentar lagi akan pindah. Mau melanjutkan sekolah ke SMP Capkala. Nanti tidak ada lagi yang mengajak adik-adik ini benyanyi dan menari di sini”. Kembali kepalanya tertunduk memandangi lantai gereja yang mulai keropos.

Mendengar jawaban polos dari bocah kecil itu saya hanya bisa melongo. Hanya bisa diam dan membisu. Tiba-tiba saja  terasa ada genangan air di mata saya yang mau  jatuh tertumpah. Kerongkongan saya pun terasa kering.  Tidak tahu saya harus berkata apa. Hanya ada rasa haru bercampur rasa syukur. Bocah seusia Marieta mempunyai  hati yang murni untuk memberikan dirinya. Padahal dia tidak mendapat imbalan apapun dari tugasnya sebagai  pengajar Sekolah Minggu. Tetapi dia bisa merasakan kesedihan. Bukan sedih karena harus pergi dari kampung halamannya. Tetapi sedih  karena harus meninggalkan adik-adiknya. Marieta bukan berpikir untuk dirinya sendiri. Tetapi untuk adik-adiknya. Semangat pengorbanan tanpa pamrih, yang disertai perhatian terhadap orang lain.

Perjumpaan dan pembicaan dengan Marieta yang sangat singkat waktu itu memberi banyak pelajaran kepada saya. Marieta mengajari saya bahwa untuk bisa memberikan diri tidak harus kaya dan mempunyai banyak. Tidak sama sekali. Marieta baru kelas 6 Sekolah Dasar. Dia tidak mempunyai pemahaman bagaimana seharusnya menjadi guru. Dia juga tidak pernah ikut kursus menjadi guru Sekolah Minggu. Modal yang dia punyai hanyalah kemauan yang tulus. Dan ini sudah lebih dari cukup. Buktinya Marieta bisa mengajak adik-adiknya bernyanyi memuji Tuhan pada hari Minggu. Ketika dia harus pergi karena melanjutkan sekolahnya, perhatiannya masih tertuju untuk adik-adiknya. Terimakasih Tuhan, Engkau telah mempertemukan saya dengan gadis cilik yang tahu apa artinya memberikan diri. Bukan karena mampu, tetapi karena mau. Terimakasih Marieta,  engkau juga mengajari saya bagaimana itu memberikan diri. Andaikata dunia ini dipenuhi dengan orang-orang seperti kamu Marieta, pasti akan terasa sangat indah. (Gathot)