Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

2 Jun 2015

MENGGAGAS MAKNA HIDUP DARI SUDUT PANDANG SANG USKUP

MENGGAGAS MAKNA HIDUP DARI SUDUT PANDANG SANG USKUP





                   Berbincang dengan sosoknya yang ekspresif, membuatnya serupa magnet, begitu energik sekaligus menarik. Monsignor Agustinus Agus, terlahir pada 22 Oktober 1949 di Lintang, Kapuas, Sanggau, Kalimantan Barat. Sang gembala umat yang ditahbiskan pada 3 Juni 2014 sebagai Uskup Agung di Keuskupan Agung Pontianak menggantikan pendahulunya Monsignor Hieronymus Herculanus Bumbun, OFM.Cap. Sebelum berkarya dalam tangan Tuhan di Keuskupan Agung Pontianak, ia lebih dahulu menjabat sebagai Uskup di Keuskupan Sintang.
                 Tak hanya cerdas, kesan hangat pun terpancar dari sosoknya yang mengaku menggemari tembang-tembang dari grup musik Koes Plus, D’lloyd dan Panbers.  Hal ini tampak ketika di tengah wawancara yang dilakukan redaksi LIKES pada kesempatan itu, beliau begitu terbuka melayani permintaan umat yang ingin mengabadikan momen bersamanya dalam slide-slide foto. Tak mengherankan, jika suatu ketika Anda berkesempatan untuk bertukar pikiran dengannya, maka prinsip hidup dan keramahannya tergambar seperti sosok pastor Almeida di film layar lebar besutan Hollywood, berjudul  Stigmata. 
  Berbincang tentang awal ketertarikan pada kehidupan membiara, diakui segalanya bermula ketika ketakjuban itu muncul tatkala ia berhadapan langsung dengan sosok misionaris asal Belanda. Ia yang saat itu masih kecil begitu terpesona pada pengabdian pastor dari belahan bumi Eropa tersebut. Dunia batinnya seolah berbisik bahwa orang Eropa yang begitu hebat dan maju saja mau menjadi pelayan umat bagi sesama, maka serta merta pula panggilan suara Tuhan seolah nyaring menggema dalam relungnya.
                 Banyak jalan membantu orang lain yang kurang beruntung secara ekonomi, namun ia lebih memilih jalan menjadi pastor karena sosok pastor dipandangnya dapat lebih total dalam melayani umat. Mengutip langsung pernyataannya, “Memandang kehidupan dari sisi paling logis tanpa mengesampingkan rohani, tidak cukup hanya berupa nasihat-nasihat kudus. Kesucian itu berhubungan dengan Tuhan. Kesucian nampak dari perbuatan. Seperti yang tertera dalam Injil  Matius, Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”
            Mata beliau beberapa saat sempat menerawang saat ditanya mengenai kerikil dalam perjalanan kegembalaannya. Lantas dengan suara lirih, Monsignor berusia 65 tahun ini memaparkan saat terberat itu menghampiri ketika keinginannya ditahbiskan sebagai imam dengan disaksikan ayahanda tercinta tak terwujud. Beliau sempat berujar, pada saat itu terlintas pemikiran paling manusiawi, “Jika Tuhan betul-betul memilih saya, biarkan ayah saya melihat pentahbisan saya sebagai imam.”, namun kiranya sang penguasa perasaan manusia berkendak lain. Di saat-saat paling getir itu, munculah penguatan dari sesama biarawan yang mengutip Injil Lukas 9:60, “Biarlah orang mati menguburkan orang mati; tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah kerajaan Allah di mana-mana.”    
            Di akhir obrolan singkat namun hangat, sang gembala umat yang juga memiliki kegemaran bermain bulutangkis ini mengetengahkan harapannya yang berkaitan dengan nafas gereja Katolik, “Semoga  di masa-masa yang akan datang, gereja lebih mendekatkan diri dengan pemerintah, gereja dapat lebih mendunia sekaligus lebih membumi.”, pungkasnya. (Hes)