Gereja Katolik St. Fransiskus Assisi Singkawang
Jl. P. Diponegoro No. 1 Singkawang
1 Nov 2017
Transitus Santo Fransiskus dari Assisi
14 Mar 2016
Dari Assisi, untuk Kehidupan dan Kemanusiaan di Singkawang
Dari Assisi, untuk Kehidupan dan Kemanusiaan di Singkawang
Jika baru-baru ini kita mendengar hiruk pikuk penggalangan suara demi terlaksananya Pilkada serentak di beberapa Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat, berbeda dengan yang terjadi di Kota Singkawang. Menilik lebih dekat, di Jln P. Diponegoro No. 1 ini bukan aksi penggalangan suara melainkan kegiatan penggalangan darah lewat aksi donor darah.
Dalam dua tahun terakhir, Gereja Santo Fransiskus Assisi Singkawang memang selalu menjalin kerjasama dengan organisasi bermotto “Setetes Darah Anda, Nyawa Bagi Sesama” tersebut. Kegiatan yang diketuai langsung oleh dr. Liem Jong Chun tersebut berhasil mengetuk hati 28 sukarelawan. Sebuah tindakan tanpa pamrih yang sangat luar biasa.
Hadir juga dalam kegiatan tersebut ketua Perhimpunan Donor Darah Indonesia (PDDI) Kota Singkawang Ibu Malika Awang Ishak. Ketua PDDI Singkawang yang memiliki nama asli Tjhai Nyit Khim itu secara langsung menyatakan sangat mendukung kegiatan sosial donor darah ini. “PPDI adalah sebuah organisasi yang berisi para sukarelawan. Nah, para pejuang-pejuang sosial ini bekerja tanpa dibayar dan terdiri dari semua unsur pekerja dan suku. Jadi siapapun yang ingin terjun dalam aksi sosial donor darah adalah anggota PDDI,” jelasnya.
Organisasi yang memiliki anggota inti sejumlah 10 orang ini berperan dalam menginisiasi adanya kegiatan donor darah baik di kalangan PNS Kota Singkawang, sektor swasta, dunia sekolah terutama SMA, hingga tempat-tempat religius seperti tempat peribadatan. “Jika Kebutuhan darah di Kota Singkawang terpenuhi tentu hal ini akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Singkawang itu. Bahkan jika memungkinkan kita bisa mengirim stock darah di Singkawang ke beberapa kabupaten tetangga.”
Hal senada juga diungkapkan oleh oleh ketua Seksi Sosial Hermanto Halim. Ia mengatakan akan terus mengadakan aksi kemanusiaan seperti ini minimal dua kali setahun demi mendukung terpenuhinya kebutuhan darah di Kota Singkawang. “Dalam dua tahun, ini adalah keempat kali kami mengadakan aksi donor darah. Setahun dua kali biasanya saat 17 Agustus dan menjelang Natal,” tambah pria yang berkecimpung dalam dunia usaha tersebut.
Di tengah gencarnya aksi kemanusiaan pengumpulan darah, ternyata sayup-sayup kita masih saja mendengar adanya istilah “cangkau darah” yang menurut beberapa orang dikatakan sebagai aksi tidak manusiawi. Sejatinya, darah yang telah disumbangkang demi keselamatan nyawa seseorang justru diperdagangkan demi keuntungan pribadi.
Menyadari masih adanya orang-orang “nakal” seperti itu, ibu Malika Awang Ishak menanggapi keras hal tersebut. Ia manyadari hal seperti itu memang ada dan dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. “Hal seperti itu biasanya terjadi jika kita menyerahkan orang lain yang mengurus kebutuhan darah untuk kita atau keluarga kita. Mereka akan meminta bayaran. Karena itulah kami menyiapkan sejumlah intel untuk mendeteksi hal ini. Semua pendonor terintegrasi baik dengan bank data yang kami miliki,” tegas wanita yang mengetuai organisasi itu sejak Februari 2015.Di satu sisi kita melihat ada kegiatan donor darah yang bisa dikatakan berisi orang-orang yang berpengalaman dalam bidangnya. Lalu tidak ada salahnya kita melihat sisi lain kegiatan donor darah tersebut.
Masih pada kegiatan yang sama dan diruangan yang sama, sesuatu yang mungkin luput dari pengamatan adalah sumbangsih dari WKRI dan OMK Santo Fransisku Assisi Singkawang. Hanya segelintir anak muda yang secara langsung terjun dalam kegiatan tersebut dibantu seorang wanita yang akrab dengan sapaan “Bu De”. Paling tidak itu adalah yang terlihat saat kegiatan sedang berlangsung.
Sebuah ironi yang memang nyata ada, sebuah nama kelompok yang berarti besar mewakili sekian banyaknya orang. Namun dalam kegiatannya hanya beberapa pasang tangan saja yang bekerja. Atau mungkin kita bisa mencoba melihat secara terbalik? Sebuah kelompok besar yang pada saat acara berlangsung muncul dengan berbagai atribut pakaiannya namun menghilang di saat harus menyelesaikan “sisa-sisa” hasil “acara”.
Terlepas dari visualisasi sesaat itu, angkat topi harus diberikan kepada seluruh pihak yang berperan aktif dalam kegiatan tersebut. Tanpa menyebut nama dan kelompok semua yang kita lakukan adalah demi kemajuan dan kebersamaan umat di Santo Fransiskus Asisi Singkawang, demi gereja kita bersama dan terutama demi kehidupan. (Sabar Panggabean)
27 Okt 2015
“TRANSITUS” SANTO FRANSISKUS ASSISI KEMATIAN DALAM DAMAI MENUJU KEHIDUPAN KEKAL
“TRANSITUS” SANTO FRANSISKUS ASSISI
KEMATIAN DALAM DAMAI MENUJU KEHIDUPAN KEKAL
Pada tanggal 24 September 2015, umat Katolik Paroki Singkawang mengikuti misa Novena Santo Fransiskus Assisi selama 9 hari berturut-turut. Novena ini dipersiapkan untuk merayakan “Transitus” (tanggal 3 Oktober 2015). Transitus merupakan peringatan akan perjalanan iman dari Santo Fransiskus Assisi, peralihan kehidupan dunia lewat kematian menuju kehidupan yang kekal. Semasa hidup merasul, ia mengalami banyak ujian sebagai konsekuensi dari pilihan atas hidupnya. Mengalami siksaan fisik dan batin serta penolakan dari keluarga sendiri maupun dari orang-orang yang seiman bahkan secara hirarki menempa jiwa dan raganya. Ini bukan tanpa tujuan, kenyataannya ia menjadi sosok yang penuh cinta kasih, memberikan hidupnya pada kemiskinan dan penderitaan sesamanya. Mengambil penderitaan orang lain secara total meleburkan diri pada kasih tanpa keluhan. Santo Fransiskus Assisi sangat khusyuk mencintai Allah dengan segenap hati dan jiwa raga hingga akhir hayatnya.
Transitus dihadiri oleh saudara-saudari dari Komunitas OFS, MTB, OFM.Cap, SFIC, OSCCap, dan umat ikut pula mengenang wafatnya Sang Pembawa Damai. ‘Transitus’ dikemas layaknya ibadat perenungan. Kisah perenungan hidup Santo Fransiskus dibacakan oleh Bruder Flavianus MTB, Suster Benedikta SFIC, dan Suster Lidwina, OSCCap sambil diiringi alunan merdu paduan suara KEFAS (Keluarga Besar Fransiskan-Fransiskanes Singkawang).
Perenungan yang sangat mendalam di saat Santo Fransiskus mengalami masa sekarat. Ia mendapatkan anugerah yang teristimewa sebagai upah dari jiwa militannya. Ia mengalami 5 luka suci Yesus (Stigmata). Ini adalah penderitaan suci yang hanya dianugerahkan pada orang pilihan atau manusia unggul dari Allah. Di ambang saudara maut badani datang menjemput, Ia melepaskan jubah miliknya dan menggantinya dengan milik saudaranya seordo. Ia tak ingin memiliki apapun dan tak terikat oleh kemelekatan apapun di dunia, hanya merasakan cinta Allah yang Maha Besar kepada dirinya. Pada detik-detik terakhir nafas yang tersisa, ia melakukan perjamuan malam terakhir dengan saudara-saudaranya membagi-bagikan roti, memberkati semua saudaranya. Lalu, sambil mendaraskan mazmur, Ia menyerahkan nyawanya kepada Allah.
Akhir kisah Santo Fransiskus ini sangat memesona dan mengharukan. Ia telah menjadi teladan akan ‘kedamaian hati’ ketika menghadapi kematian, menyerahkan dan melepaskan penderitaan-penderitaannya kepada Allah hingga dapat menyatu dengan pribadi kudus-Nya. Salah seorang sahabat seordonya melihat jiwa Sang Santo menjadi sebuah bintang sebesar bulan, terbawa awan putih di langit yang luas. Pesan inilah yang disampaikkan kepada kita semua, bahwa kematian badani bukan akhir dari segalanya. Kematian itu membawa kita kepada janji akan kehidupan kekal bersama-Nya.
Pada penghujung perayaan ‘Transitus’, Ordo Fransiskan-Fransiskanes melakukan prosesi memegang lilin menyala. Memperbaharui kesetiaan pada wasiat Santo Fransiskus Assisi dan mengucapkan janji kaul-kaul mereka agar menjadi pembawa terang dan damai semasa penziarahan hidup di dunia ini. Dikumandangkan pula lagu “GITA SANG SURYA” dari paduan suara KEFAS mengiringi peletakan lilin penghormatan di Patung Santo Fransiskus Assisi. Berkat bagi kita umat yang hadir adalah memeroleh roti Santo Fransiskus Assisi pada bagian tengah roti terlukisan tanda salib bewarna merah. Rangkaian perayaan Transitus ini kiranya menguatkan iman dan kepercayaan kita akan kehidupan yang kekal setelah kematian. Ikut serta mengambil bagian dalam pewartaan kasih Allah menurut teladan Sang Duta Damai Santo Fransiskus Assisi. (SHe)
2 Jun 2015
MENGGAGAS MAKNA HIDUP DARI SUDUT PANDANG SANG USKUP
Tak hanya cerdas, kesan hangat pun terpancar dari sosoknya yang mengaku menggemari tembang-tembang dari grup musik Koes Plus, D’lloyd dan Panbers. Hal ini tampak ketika di tengah wawancara yang dilakukan redaksi LIKES pada kesempatan itu, beliau begitu terbuka melayani permintaan umat yang ingin mengabadikan momen bersamanya dalam slide-slide foto. Tak mengherankan, jika suatu ketika Anda berkesempatan untuk bertukar pikiran dengannya, maka prinsip hidup dan keramahannya tergambar seperti sosok pastor Almeida di film layar lebar besutan Hollywood, berjudul Stigmata.
Banyak jalan membantu orang lain yang kurang beruntung secara ekonomi, namun ia lebih memilih jalan menjadi pastor karena sosok pastor dipandangnya dapat lebih total dalam melayani umat. Mengutip langsung pernyataannya, “Memandang kehidupan dari sisi paling logis tanpa mengesampingkan rohani, tidak cukup hanya berupa nasihat-nasihat kudus. Kesucian itu berhubungan dengan Tuhan. Kesucian nampak dari perbuatan. Seperti yang tertera dalam Injil Matius, Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”
Mata beliau beberapa saat sempat menerawang saat ditanya mengenai kerikil dalam perjalanan kegembalaannya. Lantas dengan suara lirih, Monsignor berusia 65 tahun ini memaparkan saat terberat itu menghampiri ketika keinginannya ditahbiskan sebagai imam dengan disaksikan ayahanda tercinta tak terwujud. Beliau sempat berujar, pada saat itu terlintas pemikiran paling manusiawi, “Jika Tuhan betul-betul memilih saya, biarkan ayah saya melihat pentahbisan saya sebagai imam.”, namun kiranya sang penguasa perasaan manusia berkendak lain. Di saat-saat paling getir itu, munculah penguatan dari sesama biarawan yang mengutip Injil Lukas 9:60, “Biarlah orang mati menguburkan orang mati; tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah kerajaan Allah di mana-mana.”
Di akhir obrolan singkat namun hangat, sang gembala umat yang juga memiliki kegemaran bermain bulutangkis ini mengetengahkan harapannya yang berkaitan dengan nafas gereja Katolik, “Semoga di masa-masa yang akan datang, gereja lebih mendekatkan diri dengan pemerintah, gereja dapat lebih mendunia sekaligus lebih membumi.”, pungkasnya. (Hes)
3 Jun 2022
TIGA TAHUN BERSAMA KOMSOS PAROKI SINGKAWANG
TIGA TAHUN BERSAMA KOMSOS PAROKI SINGKAWANG
Komsos Paroki Singkawang merayakan 3 Tahun kebersamaaannya bersama umat Paroki Singkawang bertepatan dengan Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-56 (28/5/2022) yang bertema “Mendengarkan dengan Telinga Hati”. Dengan ini, sudah tiga tahun komsos dipercayai sebagai sarana pewartaan kabar paroki kepada seluruh umat serta bertanggungjawab atas pemanfaatan media cetak serta internet, seperti website, twitter, Instagram, dan Email.
Melalui dukungan umat, akun sosial media Paroki Singkawang berkembang begitu pesat. Data statistik menunjukan bahwa media sosial khususnya Instagram selama 1 tahun memiliki kenaikan drastis. Ditinjau melalui laman sosial media paroki singkawang, dilaporkan bahwa pengikut Instagram paroki memiliki kenaikan sebesar 1.500 dari tahun sebelumnya, bahkan jumlah pengunjung mencapai angka 648.000.
Siapa sangka bahwa buah pembicaraan yang layaknya basa-basi oleh beberapa pemuda gereja bersama pastor paroki terdahulu, Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFMCap. Ternyata menghasilkan buah manis. Liputan dan konten yang dihadirkan oleh komsos mendapat sambutan hangat dari umat Paroki Singkawang. Bermacam reaksi serta apresiasi sering menghiasi kolom komentar Instagram yang dikelola oleh komsos paroki singkawang. Hingga tak terasa, tiga tahun sudah kita berjalan bersama, mewartakan kasih Allah menggunakan teknologi yang juga turut berkembang pesat.
Sebagai ucapan syukur atas perjalanan 3 tahun bersama, KOMSOS merayakan ulang tahunnya. Dihadiri oleh Pastor Paroki, Pastor Joseph Juwuno, OFMCap. Pastor Paschalis Soedirjo, OFMCap. Dan Ketua PSE Paroki Singkawang, Bapak Hermanto Halim. Pastor paroki menyampaikan ungkapan terimakasihnya kepada KOMSOS Paroki yang senantiasa menyajikan konten dan informasi seputar gereja hingga dapat diakui bahwa media sosial Paroki Singkawang menjadi salah satu sosial media terupdate di Keuskupan Agung Pontianak. Ketua PSE, Bapak Hermanto Halim juga menyampaikan apresiasi atas hasil kerja Komsos Paroki Singkawang. Banyak harapan dan juga tujuan yang akan dicapai Komsos Paroki Singkawang dikemudiah hari.
Terimakasih sedalam-dalamnya kepada para senior yang mau memberikan arahan dan bimbingan kepada Anggota Komsos. Rintisan dan usaha untuk mewartakan kasih Allah yang awalnya melalui media cetak hingga sekarang beralih ke media sosial. Terimakasih pula kepada semua pihak yang telah menyumbangkan tenaga, waktu, ide, dan dukungan dalam bentuk moril maupun materi. Segala apresiasi dan antusiasme umat membuat kami, KOMSOS Paroki Singkawang berusaha untuk berbenah dan bertekad menyajikan karya yang lebih lagi dikemudian hari.
Selamat tiga tahun KOMSOS Paroki Singkawang. Mari menyongsong masa depan gereja dalam bidang teknologi dan komunikasi. Dunia berubah seiring waktu, namun kasih Allah kekal adanya. Semoga kita bertemu kembali ditahun yang akan datang, sampai jumpa.
Seksi Komunikasi Sosial Paroki Singkawang
(28 Mei 2019-28 Mei 2022)
12 Sep 2015
MEMBERI KARENA MAU
MEMBERI KARENA MAU
Meski jauh dari kisi-kisi pelajaran agama Sekolah Minggu yang disusun oleh Komisi Liturgi, tetapi Marieta sudah bisa mengajak anak-anak bergembira memuji Tuhan. Dalam pelajaran Sekolah Minggu yang diberikannya tidak ada yang namanya bacaan Kitab Suci. Tidak ada yang namanya merenungkan sabda Tuhan. Tidak ada doa pembukaan dan doa penutup yang tersusun rapi. Marieta hanya sekedar mengajak anak-anak untuk bernyanyi dan menari bagi Tuhan. Menuntut yang lebih jelas tidak mungkin dari seorang anak kecil yang baru duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 6. Modal Marieta hanyalah kemauan yang kuat. Yang penting anak-anak bisa bergembira dan sudah dibiasakan untuk memuji Tuhan pada hari Minggu.
Beberapa waktu lalu ketika saya turne ke Trans SP2, sehabis pelajaran Sekolah Minggu saya lihat wajah Marieta keliatan murung. Karena penasaran saya dekati Marieta dan bertanya kepadanya.
“Kok Marieta sedih hari ini? Marieta sakitkah?” tanya saya. Marieta hanya menggelengkan kepalanya dan tertunduk agak lesu.
Mendengar jawaban polos dari bocah kecil itu saya hanya bisa melongo. Hanya bisa diam dan membisu. Tiba-tiba saja terasa ada genangan air di mata saya yang mau jatuh tertumpah. Kerongkongan saya pun terasa kering. Tidak tahu saya harus berkata apa. Hanya ada rasa haru bercampur rasa syukur. Bocah seusia Marieta mempunyai hati yang murni untuk memberikan dirinya. Padahal dia tidak mendapat imbalan apapun dari tugasnya sebagai pengajar Sekolah Minggu. Tetapi dia bisa merasakan kesedihan. Bukan sedih karena harus pergi dari kampung halamannya. Tetapi sedih karena harus meninggalkan adik-adiknya. Marieta bukan berpikir untuk dirinya sendiri. Tetapi untuk adik-adiknya. Semangat pengorbanan tanpa pamrih, yang disertai perhatian terhadap orang lain.
Perjumpaan dan pembicaan dengan Marieta yang sangat singkat waktu itu memberi banyak pelajaran kepada saya. Marieta mengajari saya bahwa untuk bisa memberikan diri tidak harus kaya dan mempunyai banyak. Tidak sama sekali. Marieta baru kelas 6 Sekolah Dasar. Dia tidak mempunyai pemahaman bagaimana seharusnya menjadi guru. Dia juga tidak pernah ikut kursus menjadi guru Sekolah Minggu. Modal yang dia punyai hanyalah kemauan yang tulus. Dan ini sudah lebih dari cukup. Buktinya Marieta bisa mengajak adik-adiknya bernyanyi memuji Tuhan pada hari Minggu. Ketika dia harus pergi karena melanjutkan sekolahnya, perhatiannya masih tertuju untuk adik-adiknya. Terimakasih Tuhan, Engkau telah mempertemukan saya dengan gadis cilik yang tahu apa artinya memberikan diri. Bukan karena mampu, tetapi karena mau. Terimakasih Marieta, engkau juga mengajari saya bagaimana itu memberikan diri. Andaikata dunia ini dipenuhi dengan orang-orang seperti kamu Marieta, pasti akan terasa sangat indah. (Gathot)