Transitus Santo Fransiskus dari Assisi
Reported by: Fr. Agusto Tshang, OFM Cap. dan Fr. Inigo Banyu Segara, OFM Cap.
Pada
Selasa sore tanggal 3 Oktober 2017, sungguh
tidak
seperti sore-sore hari biasanya. Banyak orang datang, memasuki dan memenuhi gereja
St. Fransiskus Asisi di Singkawang. Ini menarik dan jarang terjadi, karena hari
itu bukan hari Minggu. Rupanya, saat itu Keluarga Fransiskan Singkawang (KEFAS)
yang terdiri dari para saudara Kapusin, Suster-Suster Klaris Kapusines, Suster-Suster
SFIC, anggota OFS (Ordo Fransiskan sekular) dan Bruder-Bruder MTB, berkumpul untuk
mengadakan Ibadat
Sore bersama. Usut punya
usut, ternyata hari itu adalah pesta peringatan wafatnya St. Fransiskus dari
Assisi. Secara umum, pesta peringatan ini dikenal sebagai Transitus.
Perayaan
Transitus dipimpin oleh Pater Stepanus Gathot Purtomo,OFMCap., selaku Pastor Kepala paroki Singkawang dan diiringi oleh koor
gabungan dari KEFAS serta beberapa umat paroki. Perayaan ini terbuka untuk
umum, sehingga umat selain anggota KEFAS-pun boleh mengikutinya. Tahun ini para
frater dari Novisiat Kapusin Gunung Poteng diminta untuk menganimasi perayaan
(dalam bentuk dramatisasi dan semi-tablo) menjelang dan saat wafatnya St Fransiskus
Assisi. Tujuannya, agar umat yang hadir dalam perayaan dapat mengetahui dan
mengalami secara nyata gambaran saat-saat terakhir hidup Fransiskus Asisi yang
dapat menginspirasi umat beriman dalam memaknai “kematian”, penghujung hidup
duniawi dan jelang pintu surgawi.
Dalam kata pengantarnya, Rm.
Gathot menjelaskan pandangan Gereja
Katolik dan St. Fransiskus tentang kematian. Kematian bukan-lah sesuatu yang
harus ditakuti. Kematian dipandang sebagai
syarat untuk sampai kepada penggenapan janji Allah terhadap manusia. Karena
tanpanya, manusia tak dapat memperoleh kehidupan kekal sebagaimana Yesus
janjikan. Setelah
pengantar, Rm. Gathot kemudian mempersilahkan para Frater Novis untuk memulai
drama.
***
“Ringkasan
Drama dalam Transistus”
Ya,
itulah rombongan Fransiskus dan para muridnya memasuki kota Assisi. Diterangi
cahaya obor yang tidak begitu terang, mereka berjalan perlahan untuk sampai ke
Gereja Portiuncula. Tiba-tiba, Fransiskus meminta para muridnya berhenti,
katanya: “Tunggu, tunggu dulu”. Ia menanyakan kepada para muridnya, apakah mereka
sudah sampai di Assisi dan setelah mengetahui secara pasti bahwa itu benar ia
pun kembali berkata: “Assisi, oh, assisi ! Disanalah semua bermula . . . . Mari
kita mulai, sebab kita belum berbuat apa-apa”. Bunyi lonceng kembali terdengar
dan perlahan namun pasti Assisi sudah sejangkauan mata.
Di
dalam Gereja Portiuncula, mereka membaringkan Fransiskus dan mengelilinginya.
Raut wajah sendu menghiasi paras para saudara Fransiskus. Ketika itulah,
Fransiskus mencurahkan segala yang telah ia rasakan dan alami pada awal
pertobatan setelah perjumpaannya dengan Kristus yang tersalib. Setiap perkataan
dari mulutnya adalah petuah dan wasiat berharga bagi para muridnya. Bagaimana
ia merasa jijik kala berjumpa orang kusta namun kemudian berubah menjadi
kemanisan yang tiada terkatakan.
Kekayaan dan jabatan tidak lagi menggiurkannya. Laksana pria yang jatuh cinta
kepada seorang gadis pada pandangan pertama, Fransiskus begitu cinta akan “putri kemiskinan” yang dihadiahkan
Kristus kepadanya. Semua seolah diwakilkan dengan permintaannya kepada para
saudara untuk menanggalkan jubahnya. Walau hal itu ditentang, ia tetap
bersikukuh. Kini, kesetian terbukti dan
ketaatan terjaga.
Keagungan
dan kebesaran Allah selalu hadir pada orang-orang yang percaya dan taat
kepadaNya. Menjelang kematiannya Fransiskus malah membaluti diri dengan
kemiskinan teramat suci. Kedatangan saudari maut disambutnya dengan penuh suka
cita dan damai. Kematian baginya adalah penyatuan diri kepada Allah serta
puncak dan tujuan dari hidupnya yang keras dan radikal. Hal inilah yang
menguatkan para muridnya untuk berbuat lebih, lebih dan lebih lagi. Sebab apa
yang telah mereka perbuat saat itu belum menghasilkan apa-apa. Kesedihan yang
tadinya dirasakan berubah menjadi kedamaian di hati setiap pengikut
Fransiskus. Kembali dengan sunyi senyap dan tenang mereka menandu Fransiskus
yang telah berpulang menuju tempat peristirahatan untuk raganya yang telah ia
wasiatkan sebelumnya. Hari itu bukanlah akhir melainkan awal dari segalanya bermula. Demikian ringkasan cerita Transitus.
***
Makna
singkat Transitus
Setelah
drama dibawakan, menyusul
renungan singkat yang dibawakan oleh Rm. Gathot. Rm. Gathot menjelaskan
bahwa suasana saat terakhir hidup St. Fransiskus tidak se-sedih peristiwa kematian pada umumnya. St. Fransiskus beranggapan
bahwa kematian bukan-lah akhir dari segalanya, melainkan sebuah batu pijakan untuk memperoleh hidup
baru. Maka dari itu, St. Fransiskus menyambut kematian dengan bahagia dan penuh
rasa syukur. Berangkat dari hal ini, umat yang hadir diajak untuk tidak merasa
was-was dan takut karena kematian bukanlah hal yang menakutkan. St. Fransiskus
bahkan menggelarinya “saudari maut” karena ia sadar bahwa kematian menjadi hal
mutlak yang harus dilalui untuk sampai kepada kesempurnaan sebagai pengikut
Kristus. St. Fransiskus dengan gembira menyambut kedatangan maut dengan sapaan:
“Selamat datang saudariku maut
!”Jadi, tidak ada alasan untuk mengatakan kematian adalah malapetaka dan
kesia-siaan.
Di
akhir acara, dibagikan roti tak beragi yang menjadi makanan favorit St. Fransiskus
kala ia hidup sebagai pentobat dari Assisi. Umat berbaris rapi dan teratur maju
menyambut roti itu. Layaknya pada saat hendak menerima Tubuh dan Darah Kristus.
Ya perjalanan
kita, sebagai peziarah di dunia ini semesti diwarnai dalam “berbagi Roti Hidup”
dan akan paripurna ketika bersatu dalan “perjamuan Anak Domba”. “Cukup
sederhana namun meninggalkan kesan yang mendalam” ujar salah seorang umat yang
hadir. Semoga Pesta peringatan wafatnya St. Fransiskus ini dapat membawa pada kesadaran
akan pertobatan yang terus menerus untuk
sampai pada kesempurnaan dan tidak lagi
menganggap bahwa kematian
itu suatu yang “mengerikan”, seolah tiada pengharapan, justru sebaliknya suatu
“saat” sukacita karena akan berjupa dengan sang Kehidupan itu sendiri. “Hai maut dimana sengatkahmu kini….?!”. Semoga,
ya semoga, amin.
“Deus meus et omnia”
0 komentar:
Posting Komentar