Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

11 Jul 2015

ADA KETULUSAN DI BELANTARA KETERASINGAN

ADA KETULUSAN DI BELANTARA KETERASINGAN

 


“Kematian hanyalah mutasi mimpi.”

Sungguh kuat kalimat tersebut melekat dalam piranti pengingat, ketika kira-kira 22 tahun yang lalu, saya yang saat itu tengah duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar menonton sepekan film nasional yang ditayangkan oleh televisi plat merah. Kala itu saya belum cukup umur untuk menerjemahkan arti kalimat tersebut  dan hanya merasa begitu terpesona pada deret kata yang seingat saya diucapkan sebanyak tiga kali oleh Renny Djajoesman yang berpenampilan eksentrik dan pada film itu didapuk sebagai pemeran ibu dari seorang anak bernama Kania.

Belakangan, semakin bertambah usia rasanya semakin benderang makna kalimat tersebut dapat saya cerna, meski toh saya harus tetap berpegang pada esensi dunia kata-kata yang terkadang multimakna. “Kematian hanyalah mutasi mimpi,” rasanya menjadi suatu percikan permenungan tentang bagaimana cara kita memandang suatu fase dalam siklus sebagai makhluk hidup. Bahwasanya kematian dianggap sebagai mutasi dari mimpi. Saya kira tidak berlebihan jika tetap dikaitkan dengan dinamika kehidupan yang  kiranya akan menggeliat penuh harap dengan diawali dari mimpi. Demikian juga rangkaian kata dalam kalimat tersebut, setidaknya mengajak dan mengajar kita untuk tetap berharap adanya sesuatu yang lebih dari sekedar kematian itu sendiri yang akan terejawantah dengan diawali mimpi. 

Lebih dari dua dekade setelah saya menyaksikan film garapan anak bangsa yang saya jabarkan di atas, suatu hari di bulan Juni, saya berkesempatan mengikuti misa pemakaman seseorang yang bahkan sebelumnya tidak pernah saya jumpai atau kenal. Perbincangan singkat mengenai proses pemakaman dengan pastor paroki sehari sebelum berlangsung prosesi pemakamanlah yang menggiring langkah saya pagi itu ke arah kaki Gunung Sari Singkawang, ke suatu tempat bernama Alverno, kawasan yang didiami oleh para pasien kusta. Dari kebanyakan awam, mereka terkesan dipinggirkan, menjadi yang berlabel minoritas dan seolah berada di tengah belantara keterasingan.
    
Ibadat arwah yang digelar di kapel pagi itu hanya dihadiri 27 orang yang didominasi pasien kusta, seorang suster  pengurus Alverno, Pastor Marius (karena bertugas memimpin ibadat arwah) dan saya. Saat itu yang terlintas dalam benak saya adalah pemikiran betapa dalam hidup dan ketika ajal menjemput, atmosfer kesunyian pantang surut menghadang. Seketika aroma duka seolah berhasil berkolaborasi dengan harum dupa, meruap memenuhi ruangan sekaligus berlomba menyesaki dada. Jangankan mereka yang benar-benar mengenal sosok yang kini terbaring tenang di dalam peti, saya pun tak pelak dirangkul haru yang perlahan menyesap. 

Tak ada ratap berlebihan, tapi semua kepala tertunduk, begitu patuh pada belasungkawa. Tak ada sirine mobil jenazah yang meraung-raung membelah jalanan kota menuju kompleks pemakaman. Sunyi, teramat sunyi. Jika pun ada suara, itu hanya bunyi roda kereta pengangkut peti jenazah yang juga didorong oleh sesama penderita kusta, serta langkah kaki pelayat yang menggesek pada jalanan setapak beraspal. Sungguh seperti adegan pemakaman yang hanya setting-an dalam sinetron atau film-film dalam negeri yang lebih sering tidak masuk akal karena hanya dihadiri oleh orang dalam hitungan jari. 

Meski hanya dihadiri beberapa gelintir saja, semua mata dan raut wajah tampak tulus, jauh dari modus yang terkadang kita jumpai dalam pemakaman orang kebanyakan. Jika boleh saya meminjam istilah salah seorang penulis dalam negeri yang mengibaratkan kematian lebih sering dipandang hanya sebagai konstruksi duka, melayat dengan semangat mengisi absensi, namun keadaan itu tidak saya jumpai di area ini.

Tidak selesai sampai di situ, ada yang lebih meradangkan keharuan saya manakala di area pemakaman, tempat liang lahat dipersiapkan, para penggali makam yang sedari awal telah setia menunggu  dengan cekatan menerima serta menanggapi kedatangan jenazah sahabat mereka. Ya, para penggali makam ini adalah juga pasien-pasien Alverno. Mereka bekerja seolah tanpa penghalang meski anggota badan ada yang telah hilang. Saya terkesima saat salah satu dari antara mereka yang telah kehilangan telapak tangan begitu terampil menguruk tanah pemakaman dengan cangkul yang diikat di bagian pergelangan tangan kanan dan dibantu tangan kiri yang pun telah kehilangan beberapa jari. Di akhir proses pemakaman, ketika masih berada di antara mereka, saya yang saat itu tengah mengabadikan gambar makam, sempat mendengar obrolan antara suster pengurus Alverno dengan seorang ibu yang meminta para penggali makam  agar tidak bubar dan mengarahkan mereka ke dapur untuk bersantap bersama. Hanya dengan makanan mereka ‘diganjar’ atas pekerjaan yang mereka lakukan, namun segalanya diterima dengan penuh syukur dan kegembiraan. Mereka sungguh luar biasa, mereka bekerja tanpa tendensi apa-apa. Atas nama solidaritas, segalanya dilakukan dengan tulus dan ikhlas.

Masih di area pemakaman yang teduh ini, laci-laci emosi saya kembali digeledah demi menyaksikan penanda makam hanya dari batang tanaman yang dipatahkan. Tanpa nama, apalagi embel-embel  gelar sarjana seperti yang sering kita jumpai pada nisan orang kebanyakan yang sebenarnya memang tak ada korelasinya dengan kelahiran, kematian, apalagi Tuhan.

Pada jalan setapak menuju tempat saya memarkir kendaraan, saya sempat terlibat perbincangan singkat dengan Pastor Marius. Beliau seolah menangkap duka yang tergurat di wajah saya, dengan tenang beliau berujar, “Kematian adalah kegembiraan. Ini sesuai janji Yesus Kristus tentang kehidupan kekal setelah kematian yang diperoleh melalui permandian.” Dijejali rasa masygul, saya menghayati kalimat yang lantas saya kaitkan dengan dialog film yang saya saksikan 22 tahun silam, “Kematian hanyalah mutasi mimpi.” Kehidupan kekal setelah kematian yang diperoleh melalui permandian seolah menjadi jawaban segala impian. Impian tentang kehidupan kekal berbalur kebahagiaan.   

Saat membalikkan badan, berjalan ke arah pulang, entah mengapa saya merasa kesesakan semakin menjalari rongga dada, sekaligus seperti baru saja kehilangan jutaan kosa kata dalam pikiran untuk menerjemahkan apa yang saya rasakan ketika menghadiri pemakaman barusan. (Hes)   

  

7 Jul 2015

OSCCap Of Historis

OSCCap Of Historis


Para Rubiah Klaris-Kapusines Ordo Santae Clarae Cappuccinarum sering disebut Ordo Santa Klara Kapusines (OSCCap) merupakan  Ordo yang didirikan oleh Santa Klara yang berpusat di Kota Assisi. Di tanah Borneo mereka tinggal di Jl. Diponegoro  Singkawang, Sarikan Toho dan Bajabang Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Wejangan Santa Klara  sangat mengguggah hati para pengikutnya: “Saudariku…, Berlarilah dengan gesit dan… kaki-kaki tidak terantuk menuju Dia”, merupakan obor penyuluh Ilahi bagi anggotanya untuk berjuang merebut mahkota kesucian Ilahi dalam istana keheningan dan kebeningan jiwa bersama-Nya setiap saat.

Jika ditanya untuk apa mereka jauh-jauh dari Belanda menebar Inijil di tanah Borneo? Pastinya mereka bukan untuk menjadi kaya bukan untuk menjadi terkenal melainkan untuk mempersembahkan hidup sebagai pujian dan doa bagi gereja dan seluruh dunia. Seluruh hidup mereka setiap hari bersama Tuhan dengan doa, ibadat harian, devosi, meditasi, kontemplasi ekaristi serta kegiatan rohani lainnya yang sangat membantu umat Allah yang sedang berziarah di muka bumi ini. Jadi mereka berdoa bukan hanya untuk dirinya tetapi juga bagi seluruh umat Allah di dunia. Dan untuk membiaya hidupnya merupakan hasil dari karya tangannya sendiri.

Kita sedikit membidik sang pendiri ordo, dan pastinya akan terpesona dengan bidata profilnya. Klara itulah namanya. Seorang gadis cantik, putri bangsawan Favarone di Offreducio yang hidup sejak (1193-1253). Ia menyebut dirinya: ‘Tanaman kecil St. Fransiskus, si Miskin dari Assisi.’ Ia mengikuti Jejak Yesus Kristus yang miskin dan tersalib. Miskin seperti Kristus itulah cita-cita yang dihayati oleh Klara dalam keheningan dan doa di Biara San Damiano Kota  Assisi.

Lalu jika ditanya apa hubungannya dengan Kapusin? Dalam perjalanan selanjutnya, tiga abad kemudian seorang janda kaya dari Napoli yang bernama Maria Lurentia Longo memperbaharui kembali cita-cita Klara dalam semangat pembaharuan para Kapusin. Maka kelompoknya disebut Kapusines. Saat ini mereka taat dibawah pimpinan Provinsial  Pastor Kapusin Keuskupan Pontianak khususnya yang berkarya di Kalimantan Barat. 

Kapan mereka masuk ke Singkawang? Lima abad kemudian, tepatnya tanggal 22 Oktober 1937, sembilan suster muda yang penuh semangat datang dari Belanda untuk meneruskan cita-cita Klara di tanah Borneo atau sekarang dikenal sebagai Kalimantan. Kini sudah lebih dari 70 tahun, cita-cita Santa Klara telah diikuti oleh gadis-gadis yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Lalu apa yang khas dalam cara hidup mereka? Jawabannya adalah:  “Keheningan dan ketersembunyian dijunjung tinggi. Sarana ampuh untuk mencapai persatuan dengan Tuhan dalam doa”. Mereka menghayati dan melakukan cara, hidup seperti  Bunda Maria, Hidup Yesus cermin menjadi cerminan cara hidupnya, Merayakan Ekaristi dan menyambut Tuhan dalam hati. Selain itu ‘berdoa’ yaitu: dalam semangat doa dan kasih Tuhan Yesus Kristus,  bekerja dalam kesetiakawanan dengan yang miskin dan menderita. Semuanya mereka persembahkan kepada Tuhan. Dan akhirnya menghayati dan mewujudnyatakan ‘Persaudaraan yang riang’ dalam hidup bersama tiap hari. Mungkin kamu seorang pemudi satu-satunya mengetuk hati dan  ingin bergabung dengan mereka? Datanglah, mereka sudah menunggu kalian tapi jangan lupa persyaratannya:

·    Beragama Katolik sekurang-kurangnya tiga tahun telah dibaptis)
·    Sehat jasmani dan rohani
·    Pendidikan sekurang-kurangnya SMP
·    Umur minimal 21 tahun
·    Motivasi jelas
·    Persetujuan orang tua
·    Keterangan dari Pastor Paroki

Biara mereka  satu atap dengan Gereja Paroki St. Fransiskus Assisi Singkawang. Sebagai simbol dan tanda nyata, dari kesatuan  yang tak dapat dipisahkan dengan Bunda Gereja yang kudus. Di dalam rumah ini para suster Klaris Kapusines, mempersembahkan hidupnya untuk menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan. Dari rumah/biara inilah mereka menggemakan kidung pujian, doa dan jeritan hati banyak orang yang sedang berjuang di dunia ini, karena mereka adalah suara, suara seluruh gereja dan umat manusia.

Bila ingin  bergabung, memohon doa dan ingin menjadi suster Klaris, datanglah ke rumah mereka dengan alamat: BIARA PROVINDENTIA Jl. Diponegoro No.1, Singkawang 79123 Kalimantan Barat Tel.0562-632753
E-mail: providential@telkom.net <mailto:providential@telkom.net>. (bruf)

MENJADI EKARISTI BAGI SESAMA

MENJADI EKARISTI BAGI SESAMA

 

 


Kepada setiap anak sekolah yang hadir dalam pesta perpisahan kelas, dibagikan nasi kotak untuk santap siang bersama. Begitu selesai doa makan, setiap anak langsung ‘sibuk’ dengan nasi kotaknya. Masing-masing mulai menyantap nasi yang sudah ada di tangannya. Tetapi tidak demikian halnya dengan seorang bocah yang dari tadi hanya memegang nasi kotaknya dan memandangi teman-temannya. Tatapannya kosong. Seorang ibu guru mendekatinya dan bertanya, “Mengapa Putri tidak makan? Putri sudah kenyang ya?”. Anak yang dipanggil Putri itu hanya menggelengkan kepala.

“Lalu kenapa nasi kotaknya tidak dibuka? Atau jangan-jangan Putri gak suka dengan menunya?” tanya ibu guru sekali lagi.

Sambil terbata-bata Putri pun menjawab, “Tadi sebelum berangkat ke sekolah, mama terbaring karena sakit. Nasi kotak ini mau Putri berikan pada mama supaya mama cepat sembuh”. Putri, seorang bocah kecil, mau berbagi dengan mamanya yang sedang sakit.

Kerelaan untuk berbagi. Itulah salah satu pesan yang sangat kuat dari perayaan Ekaristi yang diwariskan oleh Tuhan Yesus kepada kita.  Kalau kita renungkan seluruh hidup Yesus sendiri sebenarnya merupakan ungkapan hidup Allah yang mau dibagikan kepada manusia. Pemberian diri Allah itu mencapai puncaknya dalam peristiwa wafat dan kebangkitan-Nya. Kita menyebutnya sebagai peristiwa Paskah. Pesta Paskah inilah yang selalu kita rayakan dalam Ekaristi. Setiap kali kita merayakan Ekaristi, sebenarnya kita mengenangkan dan menghadirkan kembali pemberian diri Allah. Memang yang kita hadirkan bukan lagi peristiwa di Golgota di mana Yesus disalibkan kembali sebab wafat Yesus berlaku satu kali untuk selamanya. Tetapi kita menghadirkan pemberian diri Allah secara simbolis sebagaimana nampak dalam rupa roti dan anggur.

Pemberian diri Allah ini ditegaskan oleh Yesus dengan kata-kata-Nya sendiri. ‘Inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagimu. Inilah darah-Ku yang ditumpahkan bagimu.’ Kata tubuh dan darah bukanlah dimengerti dalam pemahaman sehari-hari. Bukan merupakan salah satu organ dari anggota badan manusia, seperti tulang, otot, rambut, kuku dsb. Yang Yesus maksudkan dengan kata tubuh dan darah adalah diri-Nya yang utuh, yang mau dibagikan kepada kita. Yesus mau membagikan hidup ilahi-Nya supaya kita mengambil bagian dalam hidup Allah sehingga kita pun memperoleh kehidupan. Secara simbolis pemberian diri Tuhan itu juga nampak dalam ritus roti yang dipecah-pecah dan anggur yang dicurah.

Nah, pemberian diri Allah yang terjadi dalam Ekaristi menjadi undangan bagi kita untuk juga memberikan diri kepada sesama dalam arti yang luas. Setelah menerima anugerah dari Allah sendiri, logikanya kita pun hendaknya menjadi berkat bagi sesama. Allah dan berkat-Nya yang kita terima bukan kita simpan untuk diri sendiri. Kita tidak boleh egois. Seturut teladan Yesus, kita juga diundang untuk saling berbagi supaya orang lain pun mengalami hidup. Dalam ritus perayaan Ekaristi tugas ini disampaikan oleh imam setelah memberikan berkat: Marilah pergi! Kita diutus! Diutus untuk apa? Untuk membagikan berkat kepada sesama.

Dengan demikian perayaan Ekaristi bukan hanya kesalehan individual. Juga bukan hanya sekedar acara ritual yang berhenti di gereja. Ekaristi harus bersambung dalam hidup sehari-hari. Ekaristi mendorong kita untuk membagikan diri dalam kasih kepada orang lain. Bila kita menghayati demikian maka kita bukan hanya sekedar merayakan Ekaristi. Tetapi kita sudah menjadi Ekaristi itu sendiri. Selamat menjadi Ekaristi bagi sesama. (Gathot)

MADAH SURGA DARI KOOR CAECILIA

MADAH SURGA DARI KOOR CAECILIA

 


Minggu, 5 Juli 2015

Pagi itu wajah-wajah asing namun terkesan menyejukkan dari dua puluh lima orang muda berkostum kuning cerah memenuhi bangku-bangku terdepan di sayap kanan  Gereja katolik St. Fransiskus Asissi Singkawang. Kehadiran mereka sempat menculik perhatian umat yang hadir serta menimbulkan tanya dan terka siapa gerangan mereka. Namun semua lantas menjadi begitu terang saat membaca tulisan di bagian belakang seragam yang mereka kenakan. Ya, mereka adalah sekelompok orang muda dari kelompok Koor Caecilia, asal Paroki Gembala Baik, Pontianak.



Semarak kehadiran mereka ternyata membawa misi mulia, menjadi bagian pelayan misa dalam melambungkan madah surga. Kelompok orang muda yang bertalenta dalam hal tarik suara ini sukses mencengangkan umat di perayaan misa. Dengan garapan aransemen musik bernuansa oriental, mereka berhasil meremangkan rambut-rambut  tengkuk para pendengar.

Merdu dan memukau. Itulah kesan yang timbul kala pemazmur yang dengan gayanya yang khas anak muda, mangkus menyita perhatian seluruh umat di gereja kala melantunkan pujian. Lembut dan terampil ketika lentik jemari pemain organ menari di atas tuts, teliti serta teratur manakala tiga violin menggesek dawai mengikuti alur partitur, gemulai alunan tangan sang dirigen mampu memandu suara-suara merdu hingga menjadi kesatuan yang padu.

Eksistensi mereka pagi itu sungguh menghidupkan Ekaristi sehingga menjadi semakin berarti.



Di akhir misa sebelum sampai pada berkat penutup, Pastor Gathot yang pada pagi itu memimpin misa, memberikan kesempatan bagi pemimpin  koor yang dalam hal ini diwakili Sdr. Herman untuk menyampaikan sambutan.

“Kami dari Koor Caecilia, Paroki Gembala Baik, Pontianak, mengucapkan terima kasih kepada warga Paroki Singkawang, khususnya Gereja St. Fransiskus Asissi yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk mengiringi misa hari ini. Ayo anak muda, Tuhan memanggil kita untuk terlibat dalam kegiatan gereja.  Jangan ragu mengisi panggilan itu,” ujarnya yang lantas disambut tepuk tangan meriah dari umat yang hadir dalam  perayaan misa. (Hes)



REKREASI PUTRA PUTRI ALTAR

REKREASI PUTRA PUTRI ALTAR

Beberapa bulan yang lalu, kami, Putra-Putri Altar Paroki Singkawang mengadakan perayaan ulang tahun yang ke-30. Awalnya, kami akan merayakannya pada tanggal 12 April 2015. Tapi karena berhalangan, kami menundanya hingga tanggal 26 April 2015. Kami ingin membuat acara yang menyenangkan dan santai, jadi kami memilih lokasi Pantai Pasir Panjang. Kami pun mulai mempersiapkan segalanya. Kami mulai membentuk panitia yang menyiapkan transportasi, konsumsi, dan juga games. Tak lupa kami menyiapkan hadiah bagi tim yang terbaik, terheboh, dan yang terkompak. Berkaitan dengan pendanaan, kami sungguh berterimakasih atas bantuan dari Paroki Singkawang. Kami juga menambahnya dengan uang kas dan uang parkir, sehingga dana yang tersedia lebih dari cukup. 



Tibalah pada hari yang kami tunggu-tunggu. Jumlah peserta yang ikut ditambah dengan panitia dan pembina sekitar 75 orang. Kami berkumpul di Gereja setelah misa kedua. Setelah mengabsen dan berdoa, kami pun berangkat kira-kira pukul 10.15. Kami tibai di sana sekitar pukul 11.00. Setibanya di sana, kami makan siang dan memberi waktu bebas bagi peserta. Kami, panitia, mulai mempersiapkan mainan dan hukuman. Pukul 14.00, kami memulai permainan. Ada 4 jenis permainan yang kami siapkan. Opposite, baskom berjalan, mencari teman, dan mencari pasangan. Permainan berlangsung sangat seru dan heboh. Bagi yang kalah, kami menghukumnya dengan mengoleskan cairan warna-warni dan menyiram mereka dengan air. Kami semua sangat menikmatinya. Setelah permainan selesai, kami pun mandi dan berganti pakaian. Lalu kami pun pulang ke Singkawang. Kami tiba di Gereja pada pukul 17.30. Benar-benar hari yang menyenangkan. (Clarissa Nathania) 



6 Jul 2015

PUISI : UDARA

UDARA
 
Udara…
Kau begitu sederhana, istimewa mengagumkan dan memesonakan
Walau kau tak berupa, tak berbentuk, tak berwarna dan tak bercita rasa
Tapi…tanpa engkau, pepohonan akan merunduk layu, margasatwa dan ikan-ikan akan menggelepar mati dan manusia akan megap-megap kehabisan nafas.
Bumi akan menjadi padang kuburan masal

Udara…
Kau selalu hadir kapan saja dan di manapun
Sebagai angin sepoi-sepoi ataupun sebagai angin badai
Kau kembangkan layar-layar perahu para nelayan
Kau menghantarkan gelombang bunyi suara ombak di tepi pantai
Burung berkicauterdengar merdu indah bagaikan balada malaikat memuji Sang Pencipta.
Kau menyambung bahasa cinta yang membahagiakan
Kau membantu menguapkan air ke langit bagaikan proses kehidupan
Kau menyegarkan badan dan jiwa manusia.

Udara…
Kau mengusap wajahku di kala pagi
Menyentuh pori-pori tubuhku, masuk ke relung-relung dadaku
Kurasakan belaiannya yang lembut dan halus.
Dalam keheningan, ketenangan, dan kedamaian.
Yang membawa dan menghantar betapa menakjubkan manfaat dan daya kehidupan darimu oh…udara.


                   Buah karya Sr. Maria Magdalena OSCCap (Biara Providentia Singkawang)    

BPK BERGURU PADA KEBIJAKSANAAN ALAM "PANCURAN AIR"

BPK BERGURU PADA KEBIJAKSANAAN ALAM

PANCURAN AIR

 

Saat sang mentari muncul di ufuk timur menyambut fajar, Pak Togar sang petani, dengan langkah tegap menuju ke sawahnya. Dengan segenap tenaga, dia mengayunkan cangkul, mengolah sawah menyongsong musim tanam yang segera tiba.

Keringat mengucur membasahi sekujur tubuhnya. Dan tak terasa matahari mulai bergeser ketengah, maka Pak Togar berjalan menuju pancuran bambu yang berada di pinggir sungai  tak  jauh dari sawahnya. Sambil melepas rasa lelahnya, Pak Togar duduk di bawah pohon sambil melinting rokok yang sudah dibumbui cengkeh kesukaannya dan mulailah Pak Togar menghisap rokok kretek buatannya sendiri. Kepulan asap keluar dari mulutnya, tetapi matanya begitu tajam menatap air pancuran, seakan ada sesuatu yang istimewa yang datang dari pancuran bambu tersebut.

Pak Togar begitu terkejut ketika disapa oleh temannya Pak Iman yang juga bermaksud mandi untuk membersihkan diri dan menikmati kesegaran air pancuran tersebut.
“Hai kawan, mengapa tidak segera mandi, malah duduk melamun!”, katanya menghardik Pak Togar yang lagi asyik memandangi pancuran bambu tersebut.

 “Aku tidak melamun, kawan. Tetapi aku sedang merenungkan air yang deras mengalir dari pancuran bambu itu. Pak Iman, tahukah mengapa air itu dapat menyatu dan keluar dari bambu dengan leluasa?”, ujar Pak Togar.

 “Ah gampang itu, karena tidak ada sekat di dalam bambu itu, sehingga air dapat mengalir tanpa hambatan. Lalu apa istimewanya?”, kata pak Iman.

“Betul jawabmu, Kawan. Namun,yang menjadi masalah adalah bagaimana kita juga dapat hidup seperti bambu itu yang mengalirkan air dengan sempurna !”

“Maaf, aku kok nggak mudeng dengan pertanyaanmu itu?”, tukas pak Iman.

“Gini lho, maksudku, bagaimana dalam hidup kita ini kita juga mampu menyediakan ruang yang luas dalam hati kita sehingga saudara-saudara kita dapat keluar masuk dalam kehidupan kita sehari-hari”,  jawab Pak Togar.

Pak Iman berdiam diri mencari jawaban, karena selama ini tidak terlintas bahwa begitu besar kebijaksanaan si pancuran bambu, yang menyediakan ruang sepenuhnya untuk perjalanan si air. 

Setelah mereka saling diam tanpa dapat menemukan jawabannya, tiba-tiba si bambu berkata:
“Kawanku para petani, kalau tidak keberatan aku akan membantu kalian memecahkan persoalan ini.”

“Dengan senang hati kami akan mendengarkanmu, bambu.” kata Pak Togar dan Pak Iman serentak.

“Tetapi, jawabanku, tidaklah sempurna, karena aku hanyalah pancuran bambu. Manurutku kalian juga akan mengalami seperti diriku yang mampu mengucurkan air dengan sempurna kalau kalian juga menyediakan ruang yang cukup bagi sesamamu.”, kata pancuran bambu melanjutkan.

“Yang menjadi masalah bagaimana kami dapat menyediakan ruang bagi saudara-saudara kami?”, sahut Pak Togar dan Pak Iman serentak seperti paduan suara.

“ Begini, pertama-tama adalah sikap ramah. Sikap ramah tamah akan membuat orang lain menjadi tamu di dalam hati kita, bukan sebagai orang asing. Dengan dijadikan tamu, maka akan membuat orang lain akan merasa bebas bersahabat dengan kita karena tidak ada lagi hati yang tersekat-sekat oleh kepentingan diri sendiri. Kalau sikap ramah tamah itu sudah menjadi sikap semua orang, maka semua makluk hidup akan menjadi bahagia. Bahkan si musuhpun akan datang karena sikap yang ramah tamah itu.

Kedua, bersiaplah untuk mendengar. Berilah kesempatan seluas-luasnya untuk membuka telinga dan mendengarkan keluhan, kegembiraan, pandangan hidup yang sedang diperjuangkan orang lain. Ingatlah bahwa pembicara yang baik sebenarnya justru apabila kita mampu menjadi pendengar yang baik pula. Dengan mampu mendengarkan orang, maka kita akan dijauhkan  dari sikap yang hanya menyalahkan dan mengadili orang lain sesuai dengan ukuran kita sendiri.

Bila ada masalah pada saudaramu, berhati-hatilah dalam menyumbangkan saran. Kekeliruan sedikit saja, saran akan menjadi sumbang, bagi saudaramu. Kalau saudaramu datang kepadamu untuk memecahkan masalah yakinkan bahwa saudaramu adalah orang bijak. Sehingga dengan perjuangannya sendiri, ia akan mampu memecahkan masalah yang sedang dihadapinya. Oleh sebab itu hindarilah untuk selalu membuat kalimat perintah, tetapi buatlah suatu kalimat tawaran, maka, saudaramu akan selalu datang kepadamu untuk membuka kesalahan yang telah dibuatnya, tanpa kita harus menunjukkan letak kesalahannya.
Hanya sebuah permenungan.

(Singkawang, 25 Mei  2015, FX. Arie Koeswoyo)