Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

11 Jul 2015

ADA KETULUSAN DI BELANTARA KETERASINGAN

ADA KETULUSAN DI BELANTARA KETERASINGAN

 


“Kematian hanyalah mutasi mimpi.”

Sungguh kuat kalimat tersebut melekat dalam piranti pengingat, ketika kira-kira 22 tahun yang lalu, saya yang saat itu tengah duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar menonton sepekan film nasional yang ditayangkan oleh televisi plat merah. Kala itu saya belum cukup umur untuk menerjemahkan arti kalimat tersebut  dan hanya merasa begitu terpesona pada deret kata yang seingat saya diucapkan sebanyak tiga kali oleh Renny Djajoesman yang berpenampilan eksentrik dan pada film itu didapuk sebagai pemeran ibu dari seorang anak bernama Kania.

Belakangan, semakin bertambah usia rasanya semakin benderang makna kalimat tersebut dapat saya cerna, meski toh saya harus tetap berpegang pada esensi dunia kata-kata yang terkadang multimakna. “Kematian hanyalah mutasi mimpi,” rasanya menjadi suatu percikan permenungan tentang bagaimana cara kita memandang suatu fase dalam siklus sebagai makhluk hidup. Bahwasanya kematian dianggap sebagai mutasi dari mimpi. Saya kira tidak berlebihan jika tetap dikaitkan dengan dinamika kehidupan yang  kiranya akan menggeliat penuh harap dengan diawali dari mimpi. Demikian juga rangkaian kata dalam kalimat tersebut, setidaknya mengajak dan mengajar kita untuk tetap berharap adanya sesuatu yang lebih dari sekedar kematian itu sendiri yang akan terejawantah dengan diawali mimpi. 

Lebih dari dua dekade setelah saya menyaksikan film garapan anak bangsa yang saya jabarkan di atas, suatu hari di bulan Juni, saya berkesempatan mengikuti misa pemakaman seseorang yang bahkan sebelumnya tidak pernah saya jumpai atau kenal. Perbincangan singkat mengenai proses pemakaman dengan pastor paroki sehari sebelum berlangsung prosesi pemakamanlah yang menggiring langkah saya pagi itu ke arah kaki Gunung Sari Singkawang, ke suatu tempat bernama Alverno, kawasan yang didiami oleh para pasien kusta. Dari kebanyakan awam, mereka terkesan dipinggirkan, menjadi yang berlabel minoritas dan seolah berada di tengah belantara keterasingan.
    
Ibadat arwah yang digelar di kapel pagi itu hanya dihadiri 27 orang yang didominasi pasien kusta, seorang suster  pengurus Alverno, Pastor Marius (karena bertugas memimpin ibadat arwah) dan saya. Saat itu yang terlintas dalam benak saya adalah pemikiran betapa dalam hidup dan ketika ajal menjemput, atmosfer kesunyian pantang surut menghadang. Seketika aroma duka seolah berhasil berkolaborasi dengan harum dupa, meruap memenuhi ruangan sekaligus berlomba menyesaki dada. Jangankan mereka yang benar-benar mengenal sosok yang kini terbaring tenang di dalam peti, saya pun tak pelak dirangkul haru yang perlahan menyesap. 

Tak ada ratap berlebihan, tapi semua kepala tertunduk, begitu patuh pada belasungkawa. Tak ada sirine mobil jenazah yang meraung-raung membelah jalanan kota menuju kompleks pemakaman. Sunyi, teramat sunyi. Jika pun ada suara, itu hanya bunyi roda kereta pengangkut peti jenazah yang juga didorong oleh sesama penderita kusta, serta langkah kaki pelayat yang menggesek pada jalanan setapak beraspal. Sungguh seperti adegan pemakaman yang hanya setting-an dalam sinetron atau film-film dalam negeri yang lebih sering tidak masuk akal karena hanya dihadiri oleh orang dalam hitungan jari. 

Meski hanya dihadiri beberapa gelintir saja, semua mata dan raut wajah tampak tulus, jauh dari modus yang terkadang kita jumpai dalam pemakaman orang kebanyakan. Jika boleh saya meminjam istilah salah seorang penulis dalam negeri yang mengibaratkan kematian lebih sering dipandang hanya sebagai konstruksi duka, melayat dengan semangat mengisi absensi, namun keadaan itu tidak saya jumpai di area ini.

Tidak selesai sampai di situ, ada yang lebih meradangkan keharuan saya manakala di area pemakaman, tempat liang lahat dipersiapkan, para penggali makam yang sedari awal telah setia menunggu  dengan cekatan menerima serta menanggapi kedatangan jenazah sahabat mereka. Ya, para penggali makam ini adalah juga pasien-pasien Alverno. Mereka bekerja seolah tanpa penghalang meski anggota badan ada yang telah hilang. Saya terkesima saat salah satu dari antara mereka yang telah kehilangan telapak tangan begitu terampil menguruk tanah pemakaman dengan cangkul yang diikat di bagian pergelangan tangan kanan dan dibantu tangan kiri yang pun telah kehilangan beberapa jari. Di akhir proses pemakaman, ketika masih berada di antara mereka, saya yang saat itu tengah mengabadikan gambar makam, sempat mendengar obrolan antara suster pengurus Alverno dengan seorang ibu yang meminta para penggali makam  agar tidak bubar dan mengarahkan mereka ke dapur untuk bersantap bersama. Hanya dengan makanan mereka ‘diganjar’ atas pekerjaan yang mereka lakukan, namun segalanya diterima dengan penuh syukur dan kegembiraan. Mereka sungguh luar biasa, mereka bekerja tanpa tendensi apa-apa. Atas nama solidaritas, segalanya dilakukan dengan tulus dan ikhlas.

Masih di area pemakaman yang teduh ini, laci-laci emosi saya kembali digeledah demi menyaksikan penanda makam hanya dari batang tanaman yang dipatahkan. Tanpa nama, apalagi embel-embel  gelar sarjana seperti yang sering kita jumpai pada nisan orang kebanyakan yang sebenarnya memang tak ada korelasinya dengan kelahiran, kematian, apalagi Tuhan.

Pada jalan setapak menuju tempat saya memarkir kendaraan, saya sempat terlibat perbincangan singkat dengan Pastor Marius. Beliau seolah menangkap duka yang tergurat di wajah saya, dengan tenang beliau berujar, “Kematian adalah kegembiraan. Ini sesuai janji Yesus Kristus tentang kehidupan kekal setelah kematian yang diperoleh melalui permandian.” Dijejali rasa masygul, saya menghayati kalimat yang lantas saya kaitkan dengan dialog film yang saya saksikan 22 tahun silam, “Kematian hanyalah mutasi mimpi.” Kehidupan kekal setelah kematian yang diperoleh melalui permandian seolah menjadi jawaban segala impian. Impian tentang kehidupan kekal berbalur kebahagiaan.   

Saat membalikkan badan, berjalan ke arah pulang, entah mengapa saya merasa kesesakan semakin menjalari rongga dada, sekaligus seperti baru saja kehilangan jutaan kosa kata dalam pikiran untuk menerjemahkan apa yang saya rasakan ketika menghadiri pemakaman barusan. (Hes)