REKAM JEJAK SURGA MASA SILAM DI BRUDERAN
Ada jejak surga masa silam yang tercecer di salah satu sudut Kalimantan. Kiranya tak berlebihan jika diandaikan demikian. Siapa nyana, jika dalam keseharian, kompleks Bruderan yang letaknya di jalur arteri Singkawang dan sering kita lewati tanpa kesan, ternyata menyimpan surga bisu sejarah masa lalu.
Museum mini bernama Mgr. J. Van Hooy Donk ini serupa kilatan blitz yang ketika menyala mampu menculik perhatian orang-orang sekitarnya. Eksistensinya seperti menyentak kesadaran, bahwa apa yang tampak sederhana di depan mata seringkali menyimpan sejuta pesona yang tak berhingga di dalamnya. Lingkupnya tak terlalu luas, tapi cukup representatif membahasakan, mengisahkan, dan memberikan gambaran tentang sejarah masa lalu. Sejak awal memasuki ruangan, kita akan disambut pemandangan yang seolah menjadi prolog yang menyeret kembali ke puluhan tahun silam. Perpaduan lukisan dan beberapa foto yang menyimpan cerita masa lalu dipajang dalam bingkai kekinian dan dijajar rapi sepanjang lorong museum mini ini. Atmosfer masa lalu semakin menyeruak manakala barang-barang bernilai sejarah lainnya mendapat perlakuan istimewa dari sang pengelola dengan menempatkannya di masing-masing posisi yang begitu mumpuni.
Berdiri sejak 2003 keberadaan museum mini ini merupakan gagasan dari Bruder Gabriel selaku pimpinan kongregasi MTB Pontianak, namun kala itu masih belum maksimal pengelolaannya. Hingga pada 2005 lalu, museum ini dialihtugaskan penanganannya pada Br. Gregorius Petrus Boedi Sapto Noegroho, MTB atau yang akrab disapa Br. Greg. Melalui tangan dinginnya museum mini ini boleh dikata mengalami metamorfosa sempurna.
Kiranya warga Katolik Singkawang cukup beruntung karena keberadaan museum ini bertempat dan hanya ada di Singkawang, sebagai pusat misi pertama para bruder pada tahun 1921. Adapun tujuan pendirian museum ini sebagai saksi bisu sekaligus sarana bagi para bruder muda dalam napak tilas dan meditasi bruder masa lalu, di samping itu sebagai upaya melestarikan tinggalan-tinggalan sejarah dalam rupa barang-barang masa lalu, dan sebagai ranah edukasi bagi pengunjung yang menyasar anak sekolah agar tetap bisa menyaksikan rupa sejarah masa lalu.
Keberadaan museum yang tak memungut retribusi sama sekali dari pengunjung ini memanfaatkan ruangan pertama ketika para bruder asal negeri Belanda menjalankan misinya di Bumi Khatulistiwa, ditambah ruang kapel yang kini disarati barang bernilai sejarah tinggi, juga rencana yang menggagas lantai dua sebagai tambahan ruang lingkupnya. Namun di balik kesuksesan penanganan museum yang ditaksir telah menelan dana hingga 300 juta dan sudah berkembang mencapai 80% pada ruang di lantai satu ini mengandung sekelumit cerita yang menggugah rasa. Seperti layaknya sesuatu yang ingin tampil cantik, menarik, dan ciamik, museum ini membutuhkan pengeluaran yang tidak ala kadarnya. Dalam perawatannya saja, satu bulan bisa menelan biaya berkisar tiga juta. Belum lagi kisah awal dalam perjalanan eksistensi museum ini, Br. Greg pada tiga tahun pertama menjalankan tugasnya sebagai pengelola mengalami gangguan pada paru-paru saat membersihkan barang-barang pengisi museum hingga mengakibatkan alergi pernapasan yang tidak biasa dan harus dilarikan ke sebuah rumah sakit di Semarang. Dapat kita bayangkan, beliau harus bersentuhan langsung dengan barang-barang tua yang telah ada sejak tahun 1921. Sejenak terlintas dalam benak ketika membayangkan masa lalu, debu-debu yang berasal dari berpuluh tahun itu yang dihirup oleh beliau.
Dalam pengelolaannya Br. Greg juga sangat teliti dan hati-hati. Hal ini dikuatkan saat beliau menyatakan bahwa lingkup perawatan harian yang berkaitan dengan pembersihan ruangan dapat dilakukan oleh orang lain, namun yang bersentuhan langsung dengan barang koleksi museum dilakukannya sendiri, jika pun melibatkan orang lain harus tetap berada dalam pengawasannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari rusaknya objek-objek pengisi museum.
Kita akan begitu terkesima kala dihadapkan pada proyektor pemutar slide bisu yang ternyata masih mampu bekerja dengan sempurna. Kita akan terperangah saat melihat orgen zaman dahulu yang cara memainkannya menimbulkan imajinasi dalam pikiran bahwa alat musik ini sekaligus dapat menjadi fasilitas olahraga karena perlu digenjot seperti tengah menggowes sepeda. Kita akan terpana manakala berhadapan dengan setrika arang, saxofon yang mungkin saja eksis di zaman penjajahan Jepang, atau buku ketentuan perayaan Ekaristi sebelum Konsili Vatikan, dan seribu satu barang yang seolah mengajak berinteraksi dengan masa silam.
Bicara tentang kesan mendalam ketika mengelola museum ini, Br. Greg memaparkan pengalaman-pengalaman uniknya semisal saat membersihkan objek koleksi museum, beliau seringkali seolah diajak teleportasi ke masa lalu kala membayangkan barang-barang ini difungsikan oleh sang empunya. “Ketika membersihkan artifak-artifak itu, saya seringkali membayangkan mereka tengah menggunakan alat-alat itu, entah sepeda, mesin ketik, dan saya membayangkan mesin ketik itu ribuan kali dipencet tutsnya pada masa itu, seolah saya mengalami hidup di zaman mereka.”, ungkapnya.
Dalam mengelola museum, Bruder yang merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara ini juga mengungkapkan kendala utama dalam pengumpulan objek-objek museum berkisar pada langkanya barang-barang bernilai sejarah tinggi. Di samping itu tingkat kelembaban yang luar biasa di ruangan museum mini ini juga menjadi aral tersendiri. “Sebagian isi museum merupakan barang-barang pribadi Bruderan Singkawang, juga sumbangan dari Bruderan Pontianak dan Bruderan lain yang berbaik hati, peduli untuk melengkapi koleksi museum ini,” paparnya.
Pada akhir kunjungan singkat kami, Br. Greg mengimbuhkan rencana ke depan berkenaan dengan pengelolaan museum yang sifatnya hanya untuk kalangan terbatas ini, “Ke depannya akan direncanakan waktu kunjung museum yang mungkin akan kami tetapkan harinya, semisal dalam seminggu meliputi hari apa saja museum ini dibuka,” pungkasnya. (Hes)