Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

12 Sep 2016

Harapan Mengharu Biru Warnai Sambut Baru

Harapan Mengharu Biru Warnai Sambut Baru


Telah menjadi agenda tahunan Gereja Katolik di seluruh dunia untuk menerimakan Sakramen Ekaristi perdana (sambut baru/komuni pertama) bagi anak-anak maupun remaja yang sudah mengikuti proses pembelajaran dan pendalaman iman Katolik. Tak terkecuali dengan Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi Singkawang yang pada Minggu, 29 Mei 2016 menerimakan Sakramen Ekaristi perdana pada 67 anak dan remaja. 

Rona gembira dan antusias terpancar tak hanya dari calon penerima Sakramen Ekaristi namun hal serupa juga menghiasi wajah para pembina Sekolah Minggu beserta orang tua yang selama setahun telah mempersiapkan sekaligus menanti salah satu momen paling berharga dalam nafas gereja dan keluarga Katolik ini. 


Misa pagi itu dipimpin oleh Pastor Paroki Singkawang, Stephanus Gathot Purtomo, OFM.Cap. Dalam homilinya, Pastor Gathot memaparkan hal-hal yang sangat esensial. Melalui kalimat-kalimat yang menyejukkan, beliau mengingatkan bahwa Allah melalui Yesus Kristus telah memberikan diri menjadi santapan rohani. Dalam kesempatan yang sama pula beliau mengajak seluruh yang hadir dalam perayaan Ekaristi tidak hanya sekadar merayakan Ekaristi namun menjadi Ekaristi itu sendiri melalui tindakan konkrit menolong orang lain dan tidak lari tanggung jawab. Beliau mengutip langsung pernyataan Sri Paus yang mengingatkan perihal tanggung jawab sebagai sesama manusia yang seyogyanya dapat berangkat dari hal sederhana namun sangat mendasar dengan tidak membuang makanan. Dengan membuang makanan berarti kita telah merampas hak orang miskin. Dari hal kecil tersebut dapat ditarik dua kesimpulan, kita diajak untuk peduli, kita juga diajak untuk menghargai makanan dan minuman, sekaligus memeriksa batin hal apa yang telah kita perbuat guna meringankan beban saudara-saudari kita yang kekurangan.

Usai merangkul umat yang hadir melalui khotbah sejuknya, pastor lantas memulai prosesi pemberkatan hosti. Syahdan, satu persatu calon penerima Tubuh dan Darah Kristus yang didampingi oleh orang tua maupun wali  masing-masing, maju menghampiri Pastor Gathot yang dengan tenang memegang piala berisi hosti dan memberikannya kepada putra-putri berjubah putih, pakaian khas sambut baru disusul kemudian oleh umat yang hadir. 

Usai menerima Tubuh dan Darah Kristus, penerima komuni pertama kembali menempati bangku-bangku di sayap kiri gereja berusia sembilan dasawarsa tersebut. Masing-masing larut dalam doa usai menjalani pengalaman pertamanya menerima salah satu dari tujuh sakramen dalam gereja Katolik.

Usai perayaan Ekaristi, semua penerima Sakramen Ekaristi perdana bersama orang tua dan wali diundang dalam acara ramah tamah yang bertempat di Gua Maria samping gereja. Dijumpai di sela-sela acara ramah tamah, Dionisius Liau, ayah dari Ignatius Widiawan Liau, salah satu penerima Sakramen Ekaristi asal SDS Cahaya Kebenaran ini mengungkap harapan yang mengharu biru,

“Semoga dengan sambut baru ini menjadikannya tumbuh lebih agamis, dekat dengan gereja, dijauhkan dari hal-hal buruk, dan kalau bisa saya sangat berharap ada panggilan sebagai imam atas dirinya,” pungkasnya mengakhiri wawancara singkat. (Hes)    


Misdinar Singkawang Goes To Pontianak!

Misdinar Singkawang Goes To Pontianak!


(Minggu, 1 Mei 2016) Rombongan yang terdiri dari 65 peserta dan diikuti oleh beberapa pendamping dan orang tua berangkat ke Pontianak pada pukul 04.00 pagi dengan menggunakan bus. Sebelum pukul 04.00 peserta sudah berkumpul di gereja lengkap dengan peralatan yang mereka bawa seperti Rosario  dan peralatan pribadi lainnya. Saat itu sedang mati lampu dan hujan turun dengan lebatnya. Namun tidak menyurutkan semangat mereka untuk pergi ke Pontianak demi memperingati Perayaan Ulang Tahun Misdinar Paroki Singkawang.

Acara ulang tahun ini merupakan acara tahunan dari Misdinar Paroki Singkawang dimana perayaannya sering dilaksanakan di pantai maupun di gereja dengan agenda rekreasi dan pemilihan kepengurusan yang baru. Namun tahun ini, perayaannya berbeda. Demi mencari suasana yang baru, Pengurus Misdinar 2015/2016 ingin merayakannya dengan berkunjung ke Katedral Pontianak, membuka Bulan Maria dengan berdoa Rosario bersama dan berkunjung ke Rumah Radakng. Tentunya tidak melewatkan tradisi wajib yaitu pemilihan pengurus baru 2016/2017.

Puji Tuhan, perjalanan sangat diberkati walaupun sempat diguyur hujan. Rombongan sampai di Katedral St Yosef Pontianak pada pukul 08.10 Wib dan mengikuti Perayaan Misa Kudus. Para anggota dan pendamping sangat antusias saat perayaan misa. Mereka terpukau dengan arsitektur Katedral dan ornamen-ornamen yang mewah. Hal yang sangat ditunggu-tunggu yaitu melihat para Misdinar yang bertugas saat itu. Setelah misa, para peserta tak ingin melewatkan momen untuk berfoto bersama di sekitaran altar maupun di sisi lain Katedral Pontianak. Kami tidak sempat untuk bertemu dengan Misdinar Katedral karena mereka mungkin sedang ada pertemuan rutin dan tentu kami tidak ingin mengganggu.

Setelah itu rombongan menuju ke Plaza Maria yang terletak di samping Katedral. Rombongan berdoa Rosario bersama yang dipimpin oleh Nicolas selaku Ketua Misdinar periode 2015/2016. Setelah berdoa Rosario, rombongan menuju ke took devosionalia Katedral dan membeli beberapa barang di sana.

Setelah mengunjungi Katedral dan membuka Bulan Maria bersama, rombongan langsung menuju ke Rumah Radakng. Di sinilah acara inti dilaksanakan. Sebelum memulai acara inti, para rombongan diijinkan untuk bersantai, berkeliling dan berfoto di sekitaran Rumah Radakng tersebut. Setelah itu acara dimulai dengan pemilihan King and Queen Misdinar yang dipilih oleh para peserta. Kemudian acara dilanjutkan dengan pemilihan Pengurus Baru periode 2016/2017. Semua anggota Misdinar Singkawang, baik yang ikut ke Pontianak maupun yang tidak tetap harus memberikan suaranya. Hasil pemilihannya yaitu :

· Skolastika Winda Sinaga (60 Suara) (Ketua)
· Bonifacius Ivan Wiranata (14 Suara) (Wakil Ketua)
· Cinda Leo Morgan (11 Suara) (Sekretaris)

Setelah menerima hasil jumlah suara, para pengurus baru mengucapkan terima kasih atas dukungan dan kepercayaan yang telah diberikan kepada mereka. Setelah itu, ketua yang lama, Nicolas Gratia Gagasi tak lupa mengucapkan maaf dan terima kasih atas dukungan dan kerjasama dari semua anggota misdinar yang membantunya dan para penguruslainnya demi mewujudkan visi dan misi yang pernah disampaikan hingga semua tercapai. Jumlah pemilihan suara untuk ketua periode 2016/2017 meningkat pesat bila dibandingkan dengan pemilihan suara untuk ketua periode 2015/2016, hal ini menandakan bahwa terjadi peningkatan jumlah anggota di dalam Misdinar Paroki Singkawang.



Setelah pemilihan pengurus baru, acara dilanjutkan dengan bernyanyi dan bermain bersama. Begitu asyiknya, tak terasa waktu berjalan cepat. Acara dilanjutkan dengan tiup lilin ulang tahun misdinar dan pemberian penghargaan nominasi-nominasi kepada anggota yang terpilih.

· Nominasi Misdinar Paling Rajin diterima oleh Mechtildis, Bonifacius dan Georgia
· Nominasi King and Queen Misdinar diterima oleh Nicolas dan Skolastika
· Nominasi Misdinar Pemberi contoh diterima oleh Albert, Christoforus dan Georgia.

Untuk nominasi Misdinar paling rajin, pemilihannya berdasarkan pengamatan oleh para pengurus.
Tak terasa waktu menunjukan pukul 17.00 sore. Sebelum berangkat pulang, rombongan masih sempat untuk mengambil foto bersama di depan Rumah Radakng. Terima kasih atas kerja keras para pengurus misdinar periode 2015/2016 dan sukses bagi para pengurus baru periode 2016/2017. Semoga dengan pengurus yang baru, Misdinar St Tarsisius Paroki Singkawang semakin giat dalam melayani gereja dan Tuhan, terus maju dan selalu memberi contoh yang baik bagi umat. Serve Him With Joyful Heart! Bergembira, layani Tuhan! (Nicolas Gratia Gagasi)


Istimewanya Menjadi Misdinar

Istimewanya Menjadi Misdinar


Misdinar St Tarsisius Paroki Singkawang telah mengadakan rekoleksi yang bertemakan “Istimewanya Menjadi Misdinar” yang diadakan dari tanggal 8 s/d 9 Maret 2016 di GerejaParoki St Fransiskus Assisi Singkawang, tepatnya di Gedung Sekretariat Paroki. Acara rekoleksi kali ini diikuti oleh anggota Misdinar sebanyak 104 orang, Big Brothers Team, dan Frater Hendri.

Acara reoleksi tersebut ditujukan untuk semua anggota misdinar Paroki Singkawang untuk menyadari betapa istimewanya mereka menjadi seorang misdinar. Keistimewaan tersebut tentunya tidak bias dirasakan oleh semua anak didunia, bahkan anak-anak di sekitaran paroki kita pun belum tentu dapat merasakannya. Keistimewaan tersebut antara lain dapat melayani Tuhan secara lebih dekat dan akrab dalam Ekaristi Kudus, menjadi umat pertama yang menerima Tubuh Tuhan saat komuni, berkesempatan memakai pakaian liturgi, bisa berdiri, duduk, dan berlutut di sekitaran Altar Tuhan/Panti Imam, menjadi teladan atau contoh bagi umat dan lain-lain.

Rekoleksi dibuka dengan berdoa Rosario bersama di Goa Maria Paroki. Ujud-ujud yang disampaikan pun tak lepas dari kehidupan sehari-hari antara lain bagi para Misdinar, bagi orang sakit, bagi orang tua, bagi pendidikan para peserta, bagi Bapa Suci dan kaum biarawan/biarawati, bagi jiwa-jiwa di Api Pencucian,  dan bagi para pendosa yang belum tergerak hatinya untuk bertobat. Setelah itu, para peserta akhirnya dipecah menjadi    sembilan kelompok yang namanya diambil dari nama-nama peralatan saat Misa yang tentu nama tersebut tidak asing di telinga para Misdinar,  yaitu kelompok Tabernakel, Monstran, Ampul, Piala, Candella, Lonceng, Gong, Wiruk, dan Patena. Setelah pembagian kelompok,  acara dilanjutkan dengan santap malam bersama kemudian dilanjutkan dengan malam keakraban. Dengan dikomando oleh Big Brothers Team malam keakraban bias dilaksanakan dengan begitu menyenangkan di antaranya penampilan yel-yel tiap kelompok, beberapa permainan yang mengasah otak, dan lain-lain. Untuk menutup malam keakraban, acara dilanjutkan dengan refleksi dan ibadat malam yang dipimpin oleh Frater Hendri.

Antusias peserta terhadap acara rekoleksi sangat tinggi. Hal ini terbukti ketika jam tiga subuh para peserta sudah mempersiapkan diri untuk mengikuti kelanjutan rangkaian acara rekoleksi, padahal panitia sedianya menyediakan waktu untuk mempersiapkan diri mulai pukul 05.00 pagi.

Setelah persiapan pribadi, acara dilanjutkan denga ibadat pagi yang dipimpin oleh Frater Hendri, kemudian dilanjutkan dengan sarapan bersama. Setelah itu para peserta diajak untuk masuk ke dalam gedung paroki untuk menerima materi yang akan disampaikan oleh Frater Hendri seputar keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki oleh seorang misdinar. Tentunya di sela-sela materi para peserta diajak untuk menyanyi dan menari bersama atau yang dikenal dengan istilah Ice Breaking demi memecah suasana yang mungkin saja menimbulkan rasa kantuk. Setelah menerima materi, panitia mengajak semua kelompok untuk menuliskan komitmen mereka pada sebuah kertas warna-warni dan menempelnya pada sebuah karton, kemudian harus dihias dengan menarik. Waktu yang diberikan oleh panitia sangat singkat, sehingga membuat para peserta sangat geregetan. Namun, hasilnya lumayan juga.

Setelah menuliskan komitmen mereka, dimulailah arak-arakan menuju gereja dengan membawa lilin bernyala dan meletakannya pada papan-papan di bawah Arca Maria Bunda Allah. Tahun Kerahiman Ilahi pun dimanfaatkan oleh para panitia. Hal tersebut terlihat dengan penerimaan sakramen tobat secara pribadi yang dibantu oleh tiga orang pastor yaitu Pastor Gathot, Pastor Marius dan Pastor Yeri.

Acara rekoleksi tahun 2016 ditutup dengan Misa Kudus yang dipimpin oleh Pastor Gathot. Setelah Misa, para peserta dipersilakan untuk berkemas-kemas. Semoga dengan acara rekoleksi tahun ini, para Misdinar di paroki kita semakin giat bertugas dan tidak takut salah ketika bertugas. Misdinar St. Tarsisius, Istimewa! (Nicolas Gratia Gagasi)


29 Mei 2016

BULIR PADI - MELEPAS BAJU



BULIR PADI - MELEPAS BAJU

 

          


Pak Tegar adalah seorang pekerja keras, petani yang ulet. Sawah yang diusahakannya dengan membanting tulang memeras keringat, membuat sawahnya selalu menepati janji memberi kehidupan, tetapi juga memberikan kemurahan hingga panenan tahun ini sungguh berhasil dengan baik. Pak Tegar bersama istri dan anaknya berjalan riang, menapaki pematang sawah. Mereka melangkah menuju ke sawahnya. Kicauan burung menyambut mentari pagi yang bersinar cerah, mengiringi langkah mereka yang mulai menuai hamparan padi yang telah menguning. Mereka hendah menuai hamparan padi yang telah menguning.

Mentari yang bersinar keputih-putihan, bekerja keras sepanjang hari tanpa mengenal lelah membantu Pak Tegar dan juga para petani yang lain, mengeringkan padi mereka yang dijemur. Senda gurau dan derai tawa Pak Tegar dan keluarganya menghiasi kerja mereka disaat menumbuk padi, anak-anaknya, baik yang laki maupun yang perempuan.

Hentakan alu mereka yang tidak selalu ditujukan pada bulir-bulir padi, tetapi sekali-kali alu mereka dipukulkan ke bibir lesung atau pun beradu dengan alu yang lain, menimbulkan suatu irama musik alami yang menghasilkan suara yang merdu layaknya musik di sebuah pesta mengiringi dengan setia lenggak-lenggok gerak badan penari yang hendak mengungkapkan kebahagiannya.



“Istirahat dulu, Pak,” kata istrinya. “Sekarang saya akan membersihkan buliran beras, karena sudah banyak buliran padi yang telah terkelupas dari kulitnya,” istrinya melanjutkan.

“Baik,  terima kasih, Mak,” jawab Pak Tegar sambil menyeka keringatnya lalu dia berjalan ketempat yang lebih teduh, diikuti oleh si Sarmo anak laki-lakinya.

“Ayah dan kakak memang hebat ya, Mak! Mereka menumbuk padi sangat kuat sehingga sebentar saja sudah banyak bulir padi yang terkelupas kulitnya,” si Sarmi, anak perempuannya memuji.

“Eh, Sarmi, terkelupasnya kulit pada itu bukan semata-mata karena kekuatan ayah dan kakakmu, dalam menumbuknya,” sahut emaknya.

“Lalu kalau bukan karena itu, karena apa, Mak?” si Sarmi protes karena merasa kerja ayah dan kakaknya tidak dihargai.

“Gini lho, selain tumbukan dari alu ayahmu dan kakakmu, biji padi yang kita letakkan dalam lesung ini sebenarnya antara mereka sendiri, antara bulir-bulir padi itu saling bergesekan, saling membantu antara bulir yang satu  dengan bulir lainnya sehingga kulitnya bisa terlepas,” jawab ibunya sambil terus menampi.

“Demikian juga dengan apa yang ada dalam hidup ini, Nak. Setiap pertemuan dan perjumpaan antara orang yang satu dengan yang lain juga akan mengakibatkan terjadinya gesekan dan benturan dalam berbagai hal,” timpal ayahnya, Pak Tegar,  sambil menghampiri mereka, karena mendengar percakapan antara istri dan anak gadisnya.

“Apa maksudnya itu, Ayah?” tanya Sarmi.

“Setiap orang di dalam pergaulan itu bisa saling memperkembangkan!” sela emaknya

“Wuah, kalau demikian perjumpaan dan pergaulan kita dengan orang lain dalam hidup ini juga dapat membantu kita untuk mencapai cita-cita secara bersama ya, Mak?” si Sarmi makin ingin tahu.

“Betul Sarmi, tetapi kamu dan teman-temanmu tidak sesederhana bulir-bulir padi ini. Banyak mempunyai kemiripan tetapi juga banyak perbedaan.

“Lho kok gitu, Mak?” kata Sarmi.


“Iya, kamu dan teman-temanmu itu mempunyai bakat, kemampuan, minat, sifat dan sebagainya yang sangat mungkin berbeda, karena kalian masing masing memiliki keunikan. 

Manusia itu adalah makhluk yang unik!” emaknya menjelaskan.

“Apakah keunikan itu dapat juga menjadi penghalang dalam pergaulan, Ayah?” tiba-tiba Sarmo, anak laki-lakinya ikut nimbrung dalam pembicaraan.

“Memang, keunikan itu kalau tidak disadari akan menimbulkan gesekan-gesekan, karena satu sama lainnya berfikir dan berbuat sesuai dengan latar belakang kehidupannya. Tetapi kalau disadari justru keunikan satu sama lainnya itu dapat saling melengkapi, bekerja sama membedah keegoisan diri.

Maka kita harus sadar, bahwa tidak ada manusia sebagai makhluk sempurna. Kita manusia pasti mempunyai kelebihan dan kekuarangan masing-masing. Oleh sebab itu, satu dengan yang lainnya perlu menjadi sahabat, sahabat yang tidak hanya memuji ataupun mencela, sebaliknya menjadi sahabat yang mau menegur sahabatnya yang berbuat salah karena cinta, dan mau mendukung bila melihat sahabatnya tengah berjuang meraih kebijaksanaan ataupun kebenaran hidup! Sahabat itu adalah telinga yang mau mendengar dan hati yang siap berbagi maupun tangan yang siap menolong!” Pak Tegar mengakhiri wejangan pada anak-anaknya.

Singkawang, akhir April 2016.



Kejenakaan Telur Paskah

Kejenakaan Telur Paskah

 

Agama yang menarik adalah agama yang mampu menerjemahkan kultur sebagai bagian dari ruang gerak keimanan. Dalam agama apapun juga, kultur adalah bagian dari 'bahasa penerimaan' mereka di tengah masyarakat.

Seperti misalnya orang Islam di Jawa mengenalkan ketupat sebagai simbol dalam perayaan Idul Fitri, atau Hindu di Bali mengenalkan pada Ogoh-ogoh sebagai simbol refleksi ruang kemanusiaan yang terpancar dalam dirinya.

Begitu juga dengan umat Kristiani yang tak lepas dari memadukan antara kultur dengan simbol-simbol proses ketika manusia menemui Tuhan-nya, ketika ruang kemanusiaan masuk ke dalam alam Ke-Tuhanan, di sini banyak sekali simbol yang ada, baik itu simbol yang misterius penuh teka teki seperti yang sering kita baca dalam sejarah tradisi Kristen ataupun simbol yang disenangi dengan cara yang lugas, menyenangkan dan mudah dimengerti seperti: pohon Natal dan telur Paskah.

Telur Paskah sendiri merupakan sebuah irama yang menyenangkan ketika anak-anak Kristiani merayakan hari Paskah. Bagi kaum Kristiani, Paskah adalah lambang 'mulainya kehidupan batin' atau 'dimulainya hidup dengan pencerahan'. Paskah bermula pada Yesus Kristus dibangkitkan ke langit, melayang ke angkasa dan menemui ruang Tuhan, ruang keabadian, di sini manusia dan Tuhan luruh dalam keabadian, tak ada lagi waktu, tak ada lagi dimensi keterbatasan. Peristiwa ini kerap dianggap sebagai 'permulaan hidup baru' bagi manusia ketika manusia menemui pencerahannya tentang 'Alam Ketuhanan'.

Pencerahan ini kemudian di banyak tempat diadopsi dengan telur. Telur serupa benda mati, ia kemudian pecah dan tiba-tiba ada kehidupan. Begitulah manusia, ketika 'hatinya beku', ketika 'hatinya menjadi terpaku pada duniawi yang mandeg' tiba-tiba tersadarkan ketika 'sentuhan ke-Tuhanan' mengubah dirinya. Maka 'lahirlah' kehidupan.

Telur yang pecah, adalah kehidupan itu sendiri. Momen telur pecah ini bukan saja bermula pada ketika Jesus diangkat ke langit, tapi sudah lama menjadi bagian kultur masyarakat lama. Telur bagi masyarakat Persia kuno sering dihadiahkan pada permulaan musim semi. Orang Yunani yang sedari dulu cinta dan benci pada bangsa Persia mengadopsi hal ini. Lantas ratusan tahun kemudian masyarakat Indo-Eropa juga mulai menggunakan telur sebagai simbol kehidupan.

Di Irlandia, permainan anak-anak lomba mencari telur bermula sekitar tahun 1200-an , kemudian diikuti oleh tradisi permainan anak-anak Belanda yang dibawa ke negeri jajahan mereka di Indonesia. Di Norwegia mereka menciptakan permainan yang disebut 'Knekke' . Di Amerika Serikat perayaan Paskah menjadi meriah ketika negara koloni Inggris berhasil mengusir pasukan Inggris dari daratan Amerika Serikat. Adalah George Washington yang merayakan paskah dengan merebus banyak telur dan mengadakan lomba pertandingan gelinding telur dari atas bukit di belakang rumahnya di Virginia. Thomas Jefferson, Presiden Amerika Serikat menyatakan permainan telur gelinding sebagai permainan resmi negeri itu, hal ini sama persis seperti panjat pinang ketika Indonesia merayakan hari kemerdekaannya.

Pada hakikatnya, permainan anak-anak dalam mencari telur ini merupakan simbol bahwa ‘anak-anak manusia mencari kehidupan, mencari telurnya di dalam dirinya, dalam konsep "pecah telur" dunia kanak-kanak maka akan masuk ke dalam pengertian mereka tentang jalannya dunia yang baik'. Permainan anak-anak kerap menginspirasi banyak sastrawan berbasis agama dalam menyebarkan pengertian manusia dengan Tuhan, seperti jika Islam di Jawa, Sunan Kalijaga mengenalkan tembang Lir-Ilir, yang yang menjadi tembang anak-anak padahal merupakan sebuah lagu yang amat dalam makna spiritualnya. Begitu juga pada 'pencarian telur Paskah', permainan ini juga merupakan permainan yang memiliki bahasa spiritual yang amat dalam bagi manusia dan Tuhan yang diterjemahkan dalam permainan kanak-kanak dengan sikap jenaka.

-Selamat Paskah-.
ANTON DH NUGRAHANTO.







24 Karat, Tanpa Syarat

24 Karat, Tanpa Syarat


“Urusan hati, soal rasa, kadang tak terjangkau dengan logika.”

“Anda pernah jatuh cinta?” Atau jika saya sedikit menaikkan kadar keisengan pertanyaan saya, maka saya akan menanyakan, “Seberapa sering Anda jatuh cinta?” Jatuh cinta atau mengagumi apa yang memikat dari objek yang membuat kita akhirnya merasa jatuh cinta, terkadang menimbulkan kesulitan untuk  sekadar membedakan gradasi rasa yang tercipta. Apakah rasa itu timbul murni bukan berdasar suatu kondisi atau semata-mata tercipta karena tendensi. 

Kebanyakan dari kita punya seribu satu alasan untuk mendeskripsikan ketertarikan terhadap seseorang yang hendak, atau bahkan sudah menjadi pasangan. Mulai dari hal yang kasat mata, ketampanan, kecantikan, bentuk badan, serta jutaan keindahan yang rasanya diciptakan Tuhan khusus untuk memikat alam bawah sadar. Tidak berhenti sampai di situ, ketertarikan tak ayal merambat, menjangkau segala sifat yang menyentuh perasaan. Mulai dari sifat tenang, keibuan, kebapakan, bijaksana, atau ragam pilihan lain yang pada intinya menyuguhkan bergumpal-gumpal karakter positif orang yang kepadanyalah kita bertekad bulat menjatuhkan pilihan. Pendeknya, segala kelebihan menjadi hal mutlak untuk bahan perbandingan, tanpa mau menerima segenap kekurangan pribadi yang bersangkutan. Belum lagi jika rasa tercipta karena berbagai bentuk tuntutan  kehidupan. Jika disederhanakan maka akan timbul pernyataan, “Saya mau dengan kamu karena kamu punya ini, punya itu,” atau “Karena kamu anak si ini, si itu,” “Karena kamu pendidikannya ilmu ini, ilmu itu,” dan berbagai hal yang melatari timbulnya ungkapan ‘mau’. Sungguh penuh syarat, bahkan terkadang rasanya terlampau sarat dan berat.   

Suatu malam, pada ingar bingar derai tawa dalam pesta pertambahan usia seorang sahabat, Pastor Paroki  yang juga hadir, melontarkan undangan lisan kepada saya untuk menghadiri sebuah pesta. Pesta pernikahan. Pada awal ajakannya serasa tak ada yang istimewa. Puluhan, bahkan ratusan pesta pernikahan telah lewat begitu saja dalam laman hidup saya. Kadang saya menjadi bagian dari sukses jalannya pesta pernikahan, entah sebagai pengabadi gambar, pembaca kutipan ayat suci dalam pemberkatan pernikahan, dan lebih sering saya  datang hanya sebagai tamu undangan. Biasa pula saya melewati prosesi pernikahan yang menjadi momen paling sakral bagi kedua pasangan dengan rasa yang datar, tanpa embel-embel perasaan rawan yang mangkus menyita keharuan. 

Bayangan tentang pesta pernikahan pada umumnya lantas silang semburat dalam buncahan pikiran saya, namun segera dipadamkan oleh kalimat susulan Pastor Paroki, “Yang menikah pasien rumah sakit kusta, Mbak, dengan orang luar.”  Saat itu saya tak banyak bertanya, namun di dada dan di kepala seperti ada yang berlomba-lomba, bergegas hendak menyaksikan perhelatan untuk menuntaskan segala dahaga akan berbagai keingintahuan.

22 April 2016. Suatu sore yang teduh di Jumat  yang penuh berkat. Di hadapan saya berdiri sepasang muda-mudi, berbusana pengantin lengkap dengan buket bunga di tangan calon pengantin wanita. Sekilas tak ada yang sumbang dalam pandangan mata. Jika pun wajah mereka terlihat tegang, segala kemakluman boleh disematkan. Siapa yang tak tegang jika sebentar lagi akan mengalami perubahan status dalam kehidupan. Semisal yang awalnya sendirian lantas berpasangan, atau manakala pasangan menantikan kelahiran buah hati penerus keturunan. Ya, ketegangan yang wajar dari sebuah fase penting perubahan dalam kehidupan perorangan. Yang pria bernama Roni, yang wanita adalah Ida. 


Melihat ketegangan di wajah keduanya, saya yang ikut mengabadikan dalam slide diam momen penting keduanya lantas berkelakar, “Roni, mukanya tegang amat, wajah senang, Roni, wajah senang! Idaaa…, senyum!” Namun usaha saya tak sepenuhnya berhasil, keduanya tetap memandang tegang ke arah saya, sebaliknya tamu-tamu lain malah semakin bersemangat menggoda keduanya. 

Beberapa menit berselang, tiba saat keduanya beriringan memasuki kapel di lingkup Rumah Sakit Kusta, Alverno. Sedikitpun tak ada yang lepas dari pengamatan saya di balik lensa kamera. Dari balik lensa pulalah pancaran keharuan mulai meradang dan berpendar dalam dada saya. Jika pemandangan pernikahan pada umumnya pengantin wanita melangkah lancar dengan buket bunga tetap di tangan, Ida mengalami sedikit kerepotan karena gaun pengantin yang panjang menghalangi langkah kakinya yang kurang sempurna disebabkan oleh penyakit kusta. Serta-merta Ida menyerahkan buket bunga pada ibunya dan menjinjing gaun pengantin putihnya, berjalan terseok, namun tanpa kehilangan keanggunan sebagai perempuan. Menghadapi pemandangan ini, usai menekan rana pada kamera, saya bergegas membalikkan badan, secepatnya memasuki kapel. Tak tega, hati saya kehilangan kuasa, mata saya mulai berkaca-kaca.

Misa pemberkatan pernikahan yang sedianya dipimpin oleh pastor lain ternyata sengaja diambil alih oleh Pastor Paroki. Beliau rupanya tak ingin kehilangan momen spesial mempersatukan dua insan yang telah dipilih dan dipertemukan Tuhan dalam ikatan pernikahan. 

Prosesi pemberkatan pernikahan berjalan lancar. Sedikit yang berbeda adalah pada bagian saat pasangan meminta restu dari orang tua untuk memulai  babak baru kehidupan. Jika pada umumnya kedua pasangan memohon restu dengan cara sungkem, maka disebabkan keterbatasan fungsi organ tubuh pengantin perempuan, proses sungkem tak dilakukan, melainkan diganti dengan penumpangan  tangan orang tua pengantin di pundak keduanya. Pada bagian ini keharuan masih melingkupi atmosfer kapel. 

Ketegangan hilang manakala janji pernikahan usai diikrarkan, penyematan cincin pengikat telah dilakukan, prosesi dilanjutkan dengan pembukaan cadar pengantin perempuan yang disusul pendaratan ciuman oleh sang pasangan. Sorak-sorai dan tepuk tangan 70-an hadirin yang didominasi rekan-rekan pasien kusta lainnya membahana dalam kapel nan sederhana. Semua sungguh bergembira, semua larut dalam tawa, semua membaur dalam suka cita.

Ida, masih dari balik lensa, manakala saya temukan rona bahagia memancar dari pribadimu yang sederhana. Cinta dan kemenangan telah kau genggam dalam sematan cincin pernikahan. Ya, dalam cinta 24 karat dari Roni yang memilih dan mencintaimu, tanpa syarat. (Hes) 


Selalu Bersyukur

Selalu Bersyukur

Bagi sebagian besar umat Katolik di stasi-stasi yang ada di wilayah  paroki Singkawang, perayaan Paskah memiliki arti ganda. Selain sebagai perayaan syukur atas  kebangkitan Tuhan Yesus,  peristiwa Paskah juga menjadi sarana untuk menyampaikan ucapan syukur kepada Tuhan atas panen padi yang baru saja mereka lewati. Ucapan syukur ini juga disertai dengan permohonan berkat dari Tuhan agar di musim tanam berikut mereka mendapatkan hasil yang lebih baik. Itu sebabnya momen Paskah selalu dinanti-nantikan. Bahkan beberapa stasi lewat pengurusnya sudah memesan jauh-jauh hari, agar dirayakan misa paskah di stasinya. Sekiranya tidak bisa bertepatan dengan hari Paskah, mereka masih berharap agar bisa merayakan misa seminggu atau dua minggu setelah Paskah.

Harapan itu jugalah yang hendak  disampaikan oleh Pak Erna, seorang umat dari Stasi Parit Baru.  Hari itu tanggal 3 April, bertepatan dengan hari Minggu Paskah II , Sejak pagi Pak Erna sudah menunggu kedatangan saya yang mau merayakan Misa Paskah di kampungnya. Begitu tiba di depan gereja dan baru saja mesin sepeda motor saya matikan, dia langsung menghambur dan mendatangi saya.

 “Selamat datang, Pastor,” sapanya ramah sambil mengulurkan tangan kanannya kepada saya.

 “Selamat pagi, Pak Erna. Sudah lama menunggu?” tanya saya kepadanya sambil menerima uluran      tangan kanannya.

“Sudah dari tadi pagi, Pastor. Kan kami mau meminta berkat untuk padi yang mau kami tanam,” katanya lagi sambil menunjukkan benih padi yang dipegang di tangan kirinya. Saya pun tersenyum kepadanya dan meminta supaya benih padi diletakkan di bawah altar. Tanpa menunggu komando umat yang lain pun segera masuk gereja dengan membawa benih-benih padi dan meletakkannya di bawah altar.

Rupanya umat di Stasi Parit Baru pun tidak mau melewatkan momen yang sangat istimewa tersebut. Hampir semua umat yang hadir membawa “bekal” berupa benih padi dan bungkusan plastik lain yang belakangan saya tahu itu adalah padi baru. Benih padi yang mereka bawa akan mereka tanam pada musim tanam berikut. Dengan membawanya ke Gereja, mereka mengharapkan berkat dari Tuhan agar di musim tanam berikut mereka bisa menuai panen yang lebih baik. Sedangkan padi baru yang mereka bawa akan dipersembahkan kepada saya sebagai wujud syukur mereka kepada Tuhan seraya mau berbagi dengan pastor-pastor yang melayani mereka. 

Begitu misa selesai Pak Erna kembali lagi mendatangi saya sambil membawa bungkusan plastik berwarna hitam.

“Maaf, Pastor, padi baru ini tidak seberapa karena hasil panen tahun lalu kurang bagus. Banyak diserang hama. Ini ya, Pastor, supaya Pastor tetap bisa makan padi baru bah,” kata Pak Erna lagi sambil memberikan bungkusannya kepada saya.

“Wah terima kasih, terima kasih banyak. Saya sangat suka makan padi baru. Sehat dan enak,” jawaban saya kepada Pak Erna yang terus menggenggam tangan kanan saya.

Peristiwa sepele yang sarat makna itulah yang saya bawa pulang ke Singkawang sebagai “oleh-oleh”. Bagaimana tidak? Seorang Pak Erna “hanyalah” seorang petani sederhana. Tetapi dia mengajari saya apa artinya selalu bersyukur. Meskipun hasil panen di tahun lalu kurang menggembirakan, Pak Erna tetap bisa bersyukur kepada Tuhan. Dia sama sekali tidak menyalahkan Yang Mahakuasa atas hasil panen yang hanya sedikit. Dia menerima pemberian dari Yang Di Atas tanpa mengeluh dan menuntut lebih.  Malah dalam sedikitnya hasil panen itu dia masih mau berbagi padi baru kepada saya. Lebih dari itu Pak Erna masih tetap menggantungkan harapannya kepada Tuhan agar di musim tanam berikut Yang Mahakuasa mau memberkati segala jerih payah yang akan dimulai dengan mengolah sawahnya. Harapan itu dimulai dengan memohon berkat untuk padi yang akan dia tanam. Semoga demikian adanya. (Gathot)