Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri gereja dan dunia. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri gereja dan dunia. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

12 Sep 2015

MEMBERI KARENA MAU

MEMBERI KARENA MAU

 

Hampir setiap hari Minggu sekitar pukul 8 pagi Marieta sudah berdiri di depan pintu gereja. Gadis cilik yang masih duduk di kelas 6 Sekolah Dasar itu dipercayai untuk menjadi pengajar Sekolah Minggu di Stasi Trans SP2, stasi terjauh dari pusat Paroki Singkawang.  Satu demi satu anak-anak mulai berdatangan. Tanpa dikomando mereka pun langsung masuk gereja dan duduk di bangku paling depan. Seperti layaknya seorang guru Marieta langsung mengambil posisi. Dia berdiri menghadap anak-anak yang sudah  duduk rapi dan mulai memberi aba-aba untuk segera bernyanyi lagu-lagu rohani.  Dengan panduan  Marieta mengalunlah lagu-lagu rohani dari mulut anak-anak yang rata-rata masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Senandung lagu rohani itu terasa makin lengkap karena disertai dengan tarian. Hampir setiap lagu ada gerakannya. Anak-anak menari mengikuti  gerakan gurunya. Kadang disertai  derai tawa karena lebih sering anak-anak menari dan menyanyi semaunya sendiri.  Lagu yang terdengar lebih sering lari dari notasinya. Tarian mereka pun kadang tidak harmonis dan tidak serasi. Sifatnya lebih spontan. Tetapi tidak tergambar suasana kaku yang menakutkan. Justru dengan bebas dan polos anak-anak bernyanyi dan menari memuji Tuhan.

Meski jauh dari kisi-kisi pelajaran agama Sekolah Minggu yang disusun oleh Komisi Liturgi, tetapi Marieta sudah bisa mengajak anak-anak bergembira memuji Tuhan. Dalam pelajaran Sekolah Minggu yang diberikannya tidak ada yang namanya bacaan Kitab Suci. Tidak ada yang namanya merenungkan sabda Tuhan. Tidak ada doa pembukaan dan doa penutup yang tersusun rapi.  Marieta hanya sekedar mengajak anak-anak untuk bernyanyi dan menari bagi Tuhan.  Menuntut yang lebih jelas tidak mungkin dari seorang anak kecil yang baru duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 6. Modal Marieta hanyalah kemauan yang kuat. Yang penting anak-anak bisa bergembira dan sudah dibiasakan untuk memuji Tuhan pada hari Minggu.

Beberapa waktu lalu ketika saya turne ke Trans SP2, sehabis pelajaran Sekolah Minggu saya lihat wajah Marieta keliatan murung. Karena penasaran saya dekati Marieta dan bertanya kepadanya. 

“Kok Marieta sedih hari ini? Marieta sakitkah?” tanya saya. Marieta hanya menggelengkan kepalanya dan tertunduk agak lesu.

“Lalu kenapa? Boleh pastor tahu?” tanya saya sekali lagi.

Sambil mengangkat kepalanya, Marieta berkata dengan suara lirih. Hampir tidak terdengar sama sekali.

“Pastor, Marieta sebentar lagi akan pindah. Mau melanjutkan sekolah ke SMP Capkala. Nanti tidak ada lagi yang mengajak adik-adik ini benyanyi dan menari di sini”. Kembali kepalanya tertunduk memandangi lantai gereja yang mulai keropos.

Mendengar jawaban polos dari bocah kecil itu saya hanya bisa melongo. Hanya bisa diam dan membisu. Tiba-tiba saja  terasa ada genangan air di mata saya yang mau  jatuh tertumpah. Kerongkongan saya pun terasa kering.  Tidak tahu saya harus berkata apa. Hanya ada rasa haru bercampur rasa syukur. Bocah seusia Marieta mempunyai  hati yang murni untuk memberikan dirinya. Padahal dia tidak mendapat imbalan apapun dari tugasnya sebagai  pengajar Sekolah Minggu. Tetapi dia bisa merasakan kesedihan. Bukan sedih karena harus pergi dari kampung halamannya. Tetapi sedih  karena harus meninggalkan adik-adiknya. Marieta bukan berpikir untuk dirinya sendiri. Tetapi untuk adik-adiknya. Semangat pengorbanan tanpa pamrih, yang disertai perhatian terhadap orang lain.

Perjumpaan dan pembicaan dengan Marieta yang sangat singkat waktu itu memberi banyak pelajaran kepada saya. Marieta mengajari saya bahwa untuk bisa memberikan diri tidak harus kaya dan mempunyai banyak. Tidak sama sekali. Marieta baru kelas 6 Sekolah Dasar. Dia tidak mempunyai pemahaman bagaimana seharusnya menjadi guru. Dia juga tidak pernah ikut kursus menjadi guru Sekolah Minggu. Modal yang dia punyai hanyalah kemauan yang tulus. Dan ini sudah lebih dari cukup. Buktinya Marieta bisa mengajak adik-adiknya bernyanyi memuji Tuhan pada hari Minggu. Ketika dia harus pergi karena melanjutkan sekolahnya, perhatiannya masih tertuju untuk adik-adiknya. Terimakasih Tuhan, Engkau telah mempertemukan saya dengan gadis cilik yang tahu apa artinya memberikan diri. Bukan karena mampu, tetapi karena mau. Terimakasih Marieta,  engkau juga mengajari saya bagaimana itu memberikan diri. Andaikata dunia ini dipenuhi dengan orang-orang seperti kamu Marieta, pasti akan terasa sangat indah. (Gathot)


19 Des 2016

Perayaan Ekaristi: 24 Desember 2016 (Vigili Natal - Misa Sore Menjelang Hari Raya Natal)

Perayaan Ekaristi: 24 Desember 2016 (Vigili Natal - Misa Sore Menjelang Hari Raya Natal) 

VIGILI NATAL
Misa Sore menjelang Hari Raya Natal
(Warna Liturgi: PUTIH) 
Sabtu sore, 24 Desember 2016



RITUS PEMBUKA
       
LAGU PEMBUKA: -berdiri-
 
TANDA SALIB DAN SALAM -berdiri-

I. Dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus
U. Amin
I. Rahmat Tuhan kita Yesus Kristus, cinta kasih Allah dan persekutuan Roh Kudus bersamamu
U. Dan bersama rohmu

PENGANTAR  -berdiri-
       
SERUAN TOBAT

I. Saudara-saudari, marilah mengakui bahwa kita telah berdosa supaya layak merayakan peristiwa penyelamatan ini.

I. Tuhan Yesus Kristus, Engkaulah cahaya terang-benderang yang menyinari dunia yang gelap gulita karena dosa.
K. Tuhan, kasihanilah kami
U. Tuhan, kasihanilah kami.

I. Engkaulah yang merenggut beban derita kami dan mematahkan tongkat si penindas.
K. Kristus, kasihanilah kami
U. Kristus, kasihanilah kami.

I. Engkaulah Putra Bapa di surga, yang dianugerahkan kepada kami sebagai Penasihat Ulung, Pangeran Perdamaian, Raja Perkasa.
K. Tuhan, kasihanilah kami
U. Tuhan, kasihanilah kami.
 
I. Semoga Allah yang mahakuasa mengasihani kita, mengampuni dosa kita dan mengantar kita ke hidup yang kekal.
U. Amin.
         
MADAH KEMULIAAN
           
 
DOA PEMBUKA -berdiri-
I. Marilah kita berdoa:
(hening sejenak)
I.  Ya Allah, setiap tahun Engkau menggembirakan kami dengan menantikan penebusan. Semoga kami, yang dengan gembira menerima Putra Tunggal-Mu sebagai Penebus, layak menghadap Dia dengan hati tenang, manakala Ia datang sebagai hakim. Sebab Dialah Tuhan, Pengantara kami, yang bersama dengan Dikau dalam persatuan Roh Kudus, hidup dan berkuasa, Allah, sepanjang segala masa.
U. Amin.
 
LITURGI SABDA
 
BACAAN I (Yes 62:1-5)

 “Tuhan berkenan kepadamu.”
           
L. Bacaan dari Kitab Yesaya:

Oleh karena Sion aku tidak akan berdiam diri dan oleh karena Yerusalem aku tidak akan tinggal tenang, sampai kebenarannya bersinar seperti cahaya dan keselamatannya menyala seperti suluh. Maka bangsa-bangsa akan melihat kebaenaranmu, dan orang akan menyebut engkau dengan nama baru yang akan ditentukan oleh Tuhan sendiri. Engkau akan menjadi mahkota keagungan di tangan Tuhan dan serban kerajaan di tangan Allahmu. Engkau tidak akan disebut lagi "yang ditinggalkan suami", dan negerimu tidak akan disebut lagi "yang sunyi", tetapi engkau akan dinamai "yang berkenan kepada-Ku" dan negerimu "yang bersuami", sebab Tuhan telah berkenan kepadamu, dan negerimu akan bersuami, sebab seperti seorang muda belia menjadi suami seorang anak dara, demikianlah Dia yang membangun engkau akan menjadi suamimu, dan seperti girang hatinya seorang mempelai melihat pengantin perempuan, demikianlah Allahmu akan girang hati atasmu.
                 
L. Demikianlah Sabda Tuhan
U. Syukur kepada Allah.
 
MAZMUR TANGGAPAN  (Mzm 89:4-5.16-17.27.29; Ul: 2; PS 868)
Ulangan:




Ayat oleh Pemazmur :
1. Aku hendak menyanyikan kasih setia Tuhan selama-lamanya, hendak menuturkan kesetiaan-Mu turun-menurun. Sebab kasih setia-Mu dibangun untuk selama-lamanya kesetiaan-Mu tegak seperti langit.
2. Engkau berkata, "Telah Kuikat perjanjian dengan orang pilihan-Ku Aku telah bersumpah kepada Daud, hamba-Ku: Aku hendak menegakkan anak cucumu untuk selama-lamanya, dan membangun takhtamu turun-menurun."
3. Dia pun akan berseru kepada-Ku, "Bapa-kulah Engkau, Allahku dan gunung batu keselamatanku." Untuk selama-lamanya Aku akan memelihara kasih setia-Ku bagi dia, dan perjanjian-Ku dengannya akan Kupegang teguh.
 
BACAAN II   (Kis 13:16-17,22-25) -duduk-
   
“Kesaksian Paulus tentang Kristus, Anak Daud."
                     
L. Bacaan dari Kisah Para Rasul:
                                                                                               
Pada suatu hari Sabat, di rumah ibadat di Perga, setelah pembacaan dari hukum Taurat dan kitab nabi-nabi, Paulus bangkit dan memberi isyarat dengan tangannya, lalu berkata, "Hai orang-orang Israel dan kamu yang takut akan Allah, dengarkanlah! Allah umat Israel telah memilih nenek moyang kita, dan membuat umat itu menjadi besar, ketika mereka tinggal di Mesir sebagai orang asing. Dengan tangan-Nya yang perkasa Ia telah memimpin mereka keluar dari negeri itu. Lalu Allah mengangkat Daud menjadi raja mereka. Tentang Daud ini Allah telah menyatakan: Aku telah mendapat Daud bin Isai, seorang yang berkenan di hati-Ku dan yang melakukan segala kehendak-Ku. Dan dari keturunannyalah, sesuai dengan yang telah dijanjikan-Nya, Allah telah membangkitkan Juruselamat bagi orang Israel, yaitu Yesus. Menjelang kedatangan Yesus itu, Yohanes telah menyerukan kepada seluruh bangsa Israel supaya mereka bertobat dan memberi diri dibaptis. Dan ketika hampir selesai menunaikan tugasnya, Yohanes berkata: Aku bukanlah Dia yang kamu sangka, tetapi Ia akan datang kemudian daripada aku. Membuka kasut dari kaki-Nya pun aku tidak layak.
 
L. Demikianlah Sabda Tuhan
U. Syukur kepada Allah
               
BAIT PENGANTAR INJIL -berdiri-
Ulangan: Alleluya, alleluya, alleluya
Ayat. Besok kejahatan bumi akan dihancurkan: Juruselamat dunia akan memerintah atas kami.
 

BACAAN INJIL (Mat 1:18-25) -berdiri-
 
"Silsilah Yesus, anak Daud."
                         
I. Tuhan bersamamu
U. Dan bersama rohmu
I. Inilah Injil Yesus Kristus menurut Matius
U. Dimuliakanlah Tuhan.
I. Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham.

Abraham memperanakkan Ishak, Ishak memperanakkan Yakub, Yakub memperanakkan Yehuda dan saudara-saudaranya, Yehuda memperanakkan Peres dan Zerah dari Tamar, Peres memperanakkan Hezron, Hezron memperanakkan Ram, Ram memperanakkan Aminadab, Aminadab memperanakkan Nahason, Nahason memperanakkan Salmon, Salmon memperanakkan Boas dari Rahab, Boas memperanakkan Obed dari Rut, Obed memperanakkan Isai, Isai memperanakkan raja Daud.

Daud memperanakkan Salomo dari isteri Uria, Salomo memperanakkan Rehabeam, Rehabeam memperanakkan Abia, Abia memperanakkan Asa, Asa memperanakkan Yosafat, Yosafat memperanakkan Yoram, Yoram memperanakkan Uzia, Uzia memperanakkan Yotam, Yotam memperanakkan Ahas, Ahas memperanakkan Hizkia, Hizkia memperanakkan Manasye, Manasye memperanakkan Amon, Amon memperanakkan Yosia, Yosia memperanakkan Yekhonya dan saudara-saudaranya pada waktu pembuangan ke Babel.

Sesudah pembuangan ke Babel, Yekhonya memperanakkan Sealtiel, Sealtiel memperanakkan Zerubabel, Zerubabel memperanakkan Abihud, Abihud memperanakkan Elyakim, Elyakim memperanakkan Azor, Azor memperanakkan Zadok, Zadok memperanakkan Akhim, Akhim memperanakkan Eliud, Eliud memperanakkan Eleazar, Eleazar memperanakkan Matan, Matan memperanakkan Yakub, Yakub memperanakkan Yusuf suami Maria, yang melahirkan Yesus yang disebut Kristus.

Jadi seluruhnya ada: empat belas keturunan dari Abraham sampai Daud, empat belas keturunan dari Daud sampai pembuangan ke Babel, dan empat belas keturunan dari pembuangan ke Babel sampai Kristus.

Kelahiran Yesus Kristus adalah sebagai berikut: Pada waktu Maria, ibu Yesus, bertunangan dengan Yusuf, ternyata Maria mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka hidup sebagai suami isteri. Karena Yusuf, suaminya, seorang yang tulus hati, dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam. Tetapi ketika Yusuf mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata, "Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Maria akan melahirkan anak laki-laki, dan engkau akan menamai Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka." Hal itu terjadi supaya genaplah firman Tuhan yang disampaikan oleh nabi: 'Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamai Dia Imanuel' yang berarti: Allah menyertai kita. Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya, tetapi tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki, dan Yusuf menamai anak itu Yesus.
I. Demikianlah Injil Tuhan
U. Terpujilah Kristus
       

HOMILI -duduk-
 
hening sejenak
         
SYAHADAT PARA RASUL
DOA UMAT -berdiri-

I. Allah Bapa telah memilih kita menjadi putra dan putri-Nya yang terkasih oleh karena Kristus Putra-nya telah hadir di tengah-tengah kita. Marilah kita panjatkan doa-doa kita sebagai wujud syukur karena pemenuhan janji keselamatan-Nya melalui kedatangan Tuhan kita Yesus Kristus:
 
L. Bagi Umat Allah: Allah Bapa yang Mahabaik, teguhkanlah umat-Mu agar selalu tekun dan setia dalam mewartakan Kabar Gembira keselamatan Putra-Mu, Yesus Kristus, bagi seluruh alam semesta. Marilah kita mohon...
U. Tuhan, dengarkanlah umat-Mu.
   
L. Bagi para pejabat pemerintahan: Allah Bapa Mahapengasih dan penyayang, berkat kedatangan Kristus, Putra-Mu, terangilah hati dan budi para pejabat pemerintahan sehingga mereka selalu berjuang demi kesejahteraan masyarakat, terutama mereka yang lemah, miskin, dan tersingkir. Marilah kita mohon....
U. Tuhan, dengarkanlah umat-Mu.

L. Bagi anak-anak yatim piatu: Allah Bapa penuh kasih, arahkanlah pandangan-Mu kepada para yatim piatu. Semoga mereka selalu menemukan tangan-tangan penuh kasih, yang sanggup membantu mereka dalam memperjuangkan hidup di tengah kesulitan hidup. Marilah kita mohon....
U. Tuhan, dengarkanlah umat-Mu.

L. Bagi kita semua: Semoga Bapa meneguhkan iman, harapan, dan kasih kami berkat kedatangan Kristus, agar hidup dan karya kami semakin menjadi berkat bagi sesama. Marilah kita mohon.
U. Tuhan, dengarkanlah umat-Mu.  
 
I. Allah Bapa kami, dengarkanlah kiranya ungkapan hati kami putra-putri-Mu, yang selalu berharap kepada-Mu, sumber keselamatan kami. Dengan pengantaraan Kristus, Tuhan kami.
U. Amin.
   
LITURGI EKARISTI

A. PERSIAPAN PERSEMBAHAN
           
LAGU PERSIAPAN PERSEMBAHAN -duduk-

umat berdiri ketika didupai
DOA PERSIAPAN PERSEMBAHAN
I. Berdoalah, Saudara-saudari, supaya persembahanku dan persembahanmu berkenan pada Allah, Bapa yang mahakuasa. -berdiri-
U. Semoga persembahan ini diterima demi kemuliaan Tuhan dan keselamatan kita serta seluruh umat Allah yang kudus.  
I.  Ya Allah, dengan semangat tinggi kami kini berada di ambang hari raya. Bantulah kami supaya sekarang juga boleh merasakan awal penebusan. Dengan pengantaraan Kristus, Tuhan kami.
U. Amin.
 
B. DOA SYUKUR AGUNG      

PREFASI NATAL I -umat berdiri-
I. Tuhan bersamamu
U. Dan bersama rohmu
I. Marilah mengarahkan hati kepada Tuhan
U. Sudah kami arahkan
I. Marilah bersyukur kepada Tuhan, Allah kita
U. Sudah layak dan sepantasnya
I. Sungguh layak dan sepantasnya, ya Bapa yang kudus, Allah yang kekal dan kuasa, bahwa di mana pun juga kami senantiasa bersyukur kepada-Mu. Sebab ketika Sabda-Mu menjadi manusia Engkau memancarkan di hadapan kami keagungan-Mu yang tak terperikan. Engkaulah, Allah yang tak kelihatan, kini dapat kami kenal dalam diri Putra-Mu, Juru Selamat kami. Kabut yang meliputi hati dan budi ditembus sinar surgawi. Maka terbukalah cakrawala baru sehingga kini kami dapat mendambakan kasih karunia dan penyelamatan-Mu yang tadinya tak terbayangkan. Dari sebab itu, kami mengumandangkan kidung kemuliaan bagi-Mu bersama para malaikat dan seluruh laskar surgawi yang tak henti-hentinya bernyanyi:

KUDUS
Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah segala kuasa. Surga dan bumi penuh kemuliaan-Mu. Terpujilah Engkau di surga. Diberkatilah yang datang dalam nama Tuhan. Terpujilah Engkau di surga.
   
DOA SYUKUR AGUNG
       
C. KOMUNI


BAPA KAMI  -berdiri-
 
I. Atas petunjuk Penyelamat kita dan menurut ajaran ilahi, maka beranilah kita berdoa
I+U. Bapa kami yang ada di surga, dimuliakanlah nama-Mu, datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga. Berilah kami rezeki pada hari ini dan ampunilah kesalahan kami, seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami; dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan, tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat.
       
I. Ya Bapa, bebaskanlah kami dari segala yang jahat dan berilah kami damai-Mu. Kasihanilah dan bantulah kami supaya selalu bersih dari noda dosa dan terhindar dari segala gangguan sehingga kami dapat hidup dengan tenteram, sambil mengharapkan kedatangan Penyelamat kami, Yesus Kristus.
U. Sebab Engkaulah Raja yang mulia dan berkuasa untuk selama-lamanya.
               

DOA DAMAI -berdiri-
I. Tuhan Yesus Kristus, Engkau bersabda kepada para rasul, "Damai Kutinggalkan bagimu, damai-Ku Kuberikan kepadamu." Jangan memperhitungkan dosa kami, tetapi perhatikanlah iman Gereja-Mu, dan restuilah kami supaya hidup bersatu dengan rukun sesuai dengan kehendak-Mu. Sebab Engkaulah pengantara kami kini dan sepanjang masa.
U. Amin.

I. Damai Tuhan bersamamu
U. Dan bersama rohmu.
               
ANAK DOMBA ALLAH  -berdiri-
         
PERSIAPAN KOMUNI -berlutut/berdiri-

Ajakan menyambut Komuni
I. Inilah Anak Domba Allah, yang menghapus dosa dunia. Berbahagialah kita yang diundang ke perjamuan-Nya
U. Ya Tuhan, saya tidak pantas, Engkau datang kepada saya, tetapi bersabdalah saja, maka saya akan sembuh.
   
KOMUNI                                
       
LAGU KOMUNI
 
SAAT HENING -duduk-
 
DOA SESUDAH KOMUNI -berdiri-
I. Marilah kita berdoa:
I. Ya Allah, kami telah disemangati oleh perayaan menjelang kelahiran Putra Tunggal-Mu. Berilah kami kekuatan baru berkat makanan dan minuman dari misteri surgawi ini.Dengan pengantaraan Kristus, Tuhan kami, yang hidup dan berkuasa, sepanjang segala masa.
U. Amin.


RITUS PENUTUP

 
BERKAT MERIAH (umat berdiri)
I. Tuhan bersamamu
U. Dan bersama rohmu
I. Tundukkanlah kepalamu untuk menerima berkat Tuhan.

I. Semoga Allah meneguhkan keyakinan iman, yang malam ini ditumbuhkan-Nya dalam hati Saudara.
U. Amin.
I. Semoga Allah Putra yang datang di tengah kita, mendampingi Saudara dalam mewartakan kabar gembira keselamatan dalam hidup Saudara.
U. Amin.
I. Semoga Allah Roh Kudus memberi semangat untuk tekun mengikuti bimbingan Kristus dan mengusahakan damai bahagia bagi Saudara.
U. Amin.
I. Dan semoga Saudara sekalian, diberkati oleh Allah yang mahakuasa, Bapa dan Putra dan Roh Kudus.
U. Amin.
I. Dengan ini Perayaan Kelahiran Tuhan Kita Yesus Kristus sudah selesai.
U. Syukur kepada Allah.

   
PENGUTUSAN
 
I. Saudara sekalian, Perayaan Ekaristi sudah selesai.
U. Syukur kepada Allah.
I. Marilah pergi, kita diutus!
U. Amin.
         
PERARAKAN KELUAR



26 Nov 2016

TRANSITUS DAN PERAYAAN SYUKUR ST. FRANSISKUS DARI ASSISI, BAPA PELINDUNG PAROKI

TRANSITUS DAN PERAYAAN SYUKUR

ST. FRANSISKUS DARI ASSISI, BAPA PELINDUNG PAROKI 

Senin, 3 Oktober 2016 seperti tahun-tahun sebelumnya terlihat suasana yang berbeda di Gereja Pusat Paroki St. Fransiskus Assisi Singkawang, terutama menjelang Hari Raya St. Fransiskus Assisi. Peristiwa ini disebut oleh Keluarga Fransiskan-Fransiskanes sebagai “Transitus St. Fransiskus Assisi”. Apakah yang dimaksud dengan ‘Transitus’? Transitus adalah suatu istilah untuk mengilustrasikan beralihnya jiwa si miskin dari Assisi, dari dunia fana menuju surga penuh kemuliaan. 

Keluarga Fransiskan-fransiskanes Singkawang (suster SFIC, bruder MTB, Saudara Kapusin, Suster Klaris Kapusines, OFS (Ordo Fransiskan Sekular) dan Suster KFS), anak-anak asrama asuhan Bruder MTB dan suster SFIC serta umat se-paroki Singkawang memperingati Transitus St. Fransiskus Assisi dengan ibadat bersama. Ibadat bersama ini dipimpin oleh P. Gabriel Marcel, OFMCap dibarengi dengan permenungan mendalam dan khusyuk melalui drama singkat Transitus St. Fransiskus. Drama ini diperankan oleh para saudara Novis Kapusin Gunung Poteng. 

Adapun butir-butir renungan Ibadat Transitus disimpulkan oleh P. Gabriel dengan melihat kembali pengalaman hidup Fransiskus mulai dari pertobatannya sampai ia sendiri menghadapi kematian badani. P. Gabriel kembali menegaskan bahwa hidup St. Fransiskus adalah menepati Injil secara sederhana tetapi sempurna. Inilah yang menghantar dia ke negeri orang-orang yang hidup. Inilah yang membuka matanya pada pandangan sempurna akan Allah. Inilah yang mengangkat Fransiskus masuk ke persekutuan paling akrab dengan Allah Tritunggal, yang dirindukannya di atas segala-galanya. St. Fransiskus setia dalam menepati Injil sampai akhir hidupnya. Di akhir permenungan, P. Gabriel juga mengajak Keluarga Fransiskan-fransiskanes agar tetap setia pada janji yang telah diucapkan seturut “Ajakan Bapa Kita St. Fransiskus,” melakukan yang kita janjikan dan mendambakan yang dijanjikan kepada kita. Nikmat singkat, siksa kekal. Penderitaan tak berarti, kemulian tak terbatas. Banyak orang dipanggil, sedikit dipilih, semua orang mendapat balasan. 

Setelah mengakhiri permenungan singkat ini, acara dilanjutkan dengan  pembaharuan janji setia para Saudara-saudari Fransiskan kepada Tuhan dan sesama. Janji setia yang telah diucapkan ini menjadi tanda kesetiaan, keikutsertaan mereka dalam melakukan kehendak Allah, mewujudnyatakan karya keselamatan di tengah-tengah gereja dan dunia zaman ini. Dan Ibadat Transitus ditutup dengan pembagian roti St. Fransiskus sebagai tanda pemberian diri total para pengikutnya kepada Allah dan berbagi kasih terhadap sesama. 

Demikian proses Ibadat Tansitus berjalan dengan baik menyongsong perayaan besar St. Fransiskus Assisi keesokan harinya. Perayaan ini dimulai pada Selasa, 4 Oktober 2016 pukul 18.00 WIB dengan Misa Syukur Hari Raya St. Fransiskus Assisi. Misa syukur dipimpin oleh P. Gabriel Marcel, OFMCap sebagai selebran utama dan sebagai konselebran P. Stephanus Gathot Purtomo, OFMCap, P. Yeremias, OFMCap dan P. Felix Triono, OFMCap. Perayaan ini diikuti oleh seluruh umat Paroki Singkawang dengan khidmat dan penuh sukacita. (Fr. Diego)

23 Mar 2016

“Mentari Pembawa Cahaya”

“Mentari Pembawa Cahaya”

Google Images.Jpg


“Tak peduli dari mana asalmu, lahir di pelosok perdesaan ataupun perkotaan dan dari rahim orang tua manakah kamu berasal itu bukan menjadi persoalan. Yang terpenting adalah kebaikan hatimu. Hati yang membawa seberkas cahaya bagi dirimu sendiri dan dunia sekitarmu.”

Pesan itu jelas teringat kembali di benak Mentari. Pesan yang sangat kuat menyatu dalam hatinya. Tetua Dusun Paratisara yang bernama Pak Tua Sastranarendra selalu memberikan petuah-petuah bijak kepada putri angkat kesayangannya. Pak Tua selalu berkata kepada Mentari, tidak perlu malu dan merasa rendah diri tentang siapa diri kita. Kita yang berasal dari rumah pondok beralaskan tanah dengan memiliki niat mulia bagi kehidupan suatu saat akan berjodoh dengan nasib baik yang akan merubah keadaan dan dunia sekitarmu.

Mentari, gadis remaja yang berusia 13 tahun. Hidup di sebuah dusun pedalaman hutan karet, ladang dan sawah yang menghijau. Kedua orang tuanya telah lama tiada sejak kebakaran hutan yang membakar habis rumah beserta ladang dan merenggut nyawa kedua orang tua yang amat ia cintai. Sejak berumur 5 tahun, Mentari sudah dititipkan dengan Pak Tua “Ketua Adat” di dusun itu. Beliau hidup sangat sederhana bersama istrinya bernama “Mak Tua Amora”. Sejak kecil ia dididik untuk selalu dekat dengan alam semesta sumber kehidupan bagi umat manusia. 

Selepas bangun pagi, Mentari selalu diajak Pak Tua menuju sungai kecil di sekitar sawah padi milik tetangga mereka. Di tempat itulah mereka biasanya melakukan rutinitas keheningan. Berterima kasih kepada alam semesta. Konon, kata Pak Tua jika kita selalu berbakti kepada alam semesta maka kita akan dilindungi dan diberkati senantiasa. Sambil meminum aliran air sungai kecil di pancuran bambu, mereka bersama-sama mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya kepada Tuhan Sang Pencipta alam semesta. Berterima kasih pada gunung, sawah, hutan, sungai, langit, tanah, udara, angin, air, hujan, matahari, pelangi, hewan, tumbuhan dan segala semesta seisinya. Sejak kecil Pak Tua mengajari Mentari agar bersahabat bersama alam dan selalu menyapa mereka di mana pun ia berada.

Mentari merasakan kedekatan dengan alam semesta. Banyak bahasa semesta yang dapat ia dengar dan rasakan, seolah-olah mereka dapat berkata dan mengajari Mentari dalam bahasa heningnya. Tanah mengajarkan ia cara untuk bercocok tanam, air mengajarkan ia agar selalu tenang dan rendah hati,  dari matahari ia belajar menjadi ikhlas dan adil kepada semua makhluk ciptaan Tuhan. Karena matahari memiliki peran kebaikan sinar yang tak terbatas tanpa membeda-bedakan.  Mungkin, karena inilah kedua orang tuanya memberikan nama  “Mentari” dan menambahkan nama  baptis pelindung di depannya yaitu “Theresia Mentari”. Sosok matahari yang akan menginspirasi dan menjadi pedoman hidup anaknya agar kelak dapat bersinar terang penuh dengan kebaikan kepada semuanya. Itulah sedikit cerita peninggalan orang tua Mentari ketika ia lahir di Dusun Paratisara.

Daun-daun pohon bergoyang indah, seakan melambaikan tangan mengiringi langkah Mentari kemanapun ia pergi. Kehadiran semesta tampak nyata di dalam hidup Mentari mulai dari angin sepoi-sepoi yang menghiburnya kala ia kelelahan bekerja di ladang dan burung pipit yang bertengger di kepalanya bersiul-siul kecil. Mentari paling suka memandang langit biru, bersamanya ia menjadi semangat dan optimis memandang masa depan. Langit biru dengan keceriaannya selalu memberi pesan agar ia selalu giat dalam bekerja dan belajar. Terlebih lagi langit biru akan selalu menjaga ketika ia berjalan menuju sekolah di kaki bukit Hijau Permai. Di sanalah 6 tahun lamanya Mentari bersekolah hingga mendapatkan ijazah Sekolah Dasar Negeri 1 Dusun Paratisara, Kecamatan Permata, Kabupaten Mutiara. 

Sejak kecil Mentari terbiasa bekerja membantu Pak Tua dan Mak Tuanya. Sepulang sekolah. ia dengan tertib menyimpan tas, sepatu sekolah dan menganti baju seragamnya. Sambil berdendang riang kecil, ia berlari pergi menuju ladang dan sawah garapan orang tua angkatnya. Ia mencabut rumput, membersihkan daun-daun  kering dan gulma yang menyerang tanaman dan padi mereka. Sesekali ia beristirahat menikmati bekal makan siang yang dibawakan Mak Tua Amora. Kadang pula ia mengangkut air sungai sumber mata air pegunungan di dusun tersebut untuk persediaan air bersih di rumahnya. Semuanya Mentari lakukan dengan senang dan gembira. Mentari terkenal sangat ringan tangan, sering membantu teman sebayanya dalam bercocok tanam dan menjual hasil ladangnya di pengumpulan hasil panen rumah saudagar “Pak Tony” di dusun seberang. Hal itulah yang membuat semua orang di Dusun Paratisara mencintai dan menyayangi Mentari. 

Kesibukan Mentari di malam hari adalah membuat kelompok belajar bersama anak-anak tetangga sekitarnya. Mentari yang lebih tua mengajari anak yang lebih muda, belajar membaca dan menulis. Terkadang ia memberikan pertanyaan-pertanyaan pengetahuan umum pada teman-temannya yang ia peroleh dari siaran favoritnya yaitu acara kuis di televisi ataupun buku yang telah dipelajarinya. Mereka sangat senang akan kebaikan hati si ‘guru cilik’ Mentari. Sesuatu yang sederhana dapat menjadi sangat luar biasa bagi yang mengamati dan melihat cara Mentari memberikan pengetahuan dan pengajaran bagi anak-anak lainnya.  Mentari merasa bahagia dapat membagikan ilmu yang dimilikinya. Baginya berbagi ilmu adalah kebaikan tertinggi, kelak ia akan lebih mendapatkan banyak pengetahuan tak terbatas ketika ia mau berbagi kepada yang lain. Itu merupakan  motto hidupnya.

Suatu hari yang cerah, burung mengangkasa membubung tinggi ke langit biru, angin semilir sepoi-sepoi bertiup seakan melodi yang berirama mengalunkan nada semesta. Kediaman Pak Tua Sastranarendra kedatangan sebuah mobil jeep merah tua. Seorang pria separuh baya memakai jubah coklat bersama seorang pemuda gagah datang mengunjungi pondok itu. Tak disangka, ternyata beliau adalah seorang Pastor Paroki yang ada di Gereja Santa Maria di Kabupaten Mutiara. Pastor Paroki itu bernama Ignatius Raymond. Sedangkan pria yang bersamanya adalah seorang pemuda yang berasal dari Jakarta yang bernama Raden Bagus Jayadiningrat. Maksud kedatangan mereka adalah ingin memberikan bantuan beasiswa bagi siswa yang berprestasi. Pastor Ignatius Raymond mengetahui bahwa selama Ia tourney ke Dusun Paratisara, ia melihat Mentari merupakan anak berbakat yang putus sekolah. Selain itu, ia juga melihat kebaikan murni yang ada di diri Mentari. Pastor Raymond yakin Mentari akan dapat menjadi seorang yang memiliki manfaat lebih bagi sesamanya. 

Pemuda Raden Bagus Jayadiningrat merupakan seorang donatur yang peduli akan pendidikan anak bangsa. Ia juga memiliki sekolah yayasan SD, SMP, SMA, dan Universitas yang Ia bangun bersama donatur-donatur yang peduli akan pendidikan di Indonesia. Mendengar hal ini, Mentari berderai air mata terharu dan bahagia. Mimpinya yang semula hanya ingin menjadi guru baca dan tulis bagi teman sebayanya, ia menemukan “pintu ajaib” yang akan membawanya menjadi seseorang yang lebih baik lagi. Mentari pun menyanggupi untuk bersekolah di SMP, SMA dan Universitas Yayasan “Indonesia Bangkit” milik kumpulan para donatur yang berhati malaikat itu. Dengan berat hati Pak Tua dan Mak Tua nya melepas kepergian Mentari. Pesan terakhir Mak Tua Amora kepada Mentari adalah : “Jika kamu menjadi orang besar nanti, jangan lupa kedudukan, jabatan, kekayaan, kepandaian adalah sebuah jembatan untuk menghubungkan kebaikan Tuhan yang ada di dirimu. Kamulah Mentari, bawalah cahaya itu bersama hatimu. Lakukanlah banyak kebaikan yang dapat memberikan kehidupan bagi sesama.”

Petuah-petuah bijak Pak Tua dan Mak Tua akan selalu Mentari ingat dan laksanakan dalam perjalanan hidupnya. Mentari dengan ikhlas dan penuh hormat berpamitan dengan kedua orang tua angkatnya yang sudah a anggap sebagai Ayah dan Ibu kandungnya. Ia memiliki cita-cita yang luhur, jika telah lulus nanti ia akan kembali pulang ke kampung halamannya untuk menjadi jembatan bagi anak-anak lainnya. Mentari ingin memberikan hidup bagi sesamanya yang membutuhkan dan berkekurangan. 

Seseorang yang sangat menghormati alam semesta dan memiliki kebaikan murni yang berasal dari hatinya, selalu diberikan kebaikan-kebaikan oleh tangan-tangan yang tak terduga. Tetaplah memiliki kebaikan hati layaknya Mentari. Kebaikan hati itulah yang akan menjadi cahaya penuntun perjalanan hidup kita selanjutnya. (SHe)


JALAN SALIB PERHENTIAN 1-14

Memasuki masa Prapaska tiada salahnya kita hening dalam permenungan yang menjadikan kita setapak tak berjarak dengan-Nya dan Sang Putera yang atas darah-Nya janji keselamatan sungguh tidak terbantahkan.    

JALAN SALIB PERHENTIAN 1-14

Perhentian pertama: Yesus Dihukum Mati.



Maka berteriaklah mereka, “Enyahkan Dia! Enyahkan Dia! Salibkan Dia! 

Dia tidak melawan dengan kata maupun perbuatan atas segala sesah, maki dan fitnah, yang bagai berkekuatan ribuan godam dihantamkan pada dahi-Nya, pada wajah-Nya, pada tubuh-Nya. Dia diputus mati oleh pengadilan manusia-manusia pendosa,  Dia memilih bungkam untuk semua hal yang tak dilakukan namun ditimpakan atas raga-Nya yang berwujud manusia.  Ribuan bilur luka yang sengaja ditorehkan manusia pendosa pada tubuh-Nya, diterima-Nya dengan mata memincing menahan perih tanpa sedikitpun mengaduh walau dalam lirih. Air mata-Nya tak lagi bening, sudah berupa darah dan nanah mengalir menjadi anak-anak sungai keselamatan abadi  bagi umat yang dimaterai-Nya. 

Seringkali dalam hidup kita tak pernah bisa terima ketika mendapat sedikit saja perlakuan yang dirasa tidak adil bagi diri kita, keluarga kita atau sanak saudara kita. Kita lantas tak memilih bungkam atas perlakuan tak adil itu, kita berpikir, memutar otak bagaimana cara termangkus membalas perlakuan tak adil tersebut, minimal memprotes keras, tanpa berusaha introspeksi diri mengapa sampai kita menerima perlakuan tak adil. Ketika terjerembab dalam situasi itu, ingatlah bahwa dua ribu tahun yang lalu, Yesus telah mengajarkan kita untuk berusaha diam, menahan diri, dan melihat lebih jauh maksud dari penyelenggaraan Bapa. Dia yang kita sebut Anak Allah rela membiarkan tubuh-Nya tergantung di kayu Salib demi apa yang tak pernah diperbuat-Nya, layakkah kita yang hanya disesah sedikit saja permasalahan dari dunia manusia yang fana selalu mencari pembenaran diri?

Perhentian kedua: Yesus Memanggul Salib.


Sambil memikul salib-Nya Ia pergi keluar ke tempat yang bernama tempat Tengkorak, dalam bahasa Ibrani: Golgota.

Disesah, diludahi, dipukul, dihina untuk sesuatu yang sama sekali tak diperbuat-Nya. Dia diam, Dia tetap berjalan memanggul ratusan kilo kayu yang nanti menjadi singgasana terakhir-Nya dalam dunia fana, singgasana yang sebelum pengkultusan-Nya adalah simbol bagi yang paling hina, yang paling jahat, yang paling biadab. Dalam diam, tak hanya tubuh-Nya yang rusak oleh pembantaian, ada yang  lebih menyiksa dari itu, batin-Nya remuk redam. Umat yang dicintai-Nya, umat yang kepada mereka seringkali diberkahi-Nya dengan mujizat, umat yang seminggu sebelumnya mengelu-elukan nama-Nya dengan daun palma kini berbalik menghujat-Nya. Penderitaan macam apa yang lebih menyakitkan selain dikhianati? Selain tidak diakui, selain ditolak? Dia mengalami itu semua, Dia mengalaminya dalam satu kurun masa, namun Dia tetap membungkam mulut-Nya meneruskan perjalanan dengan beban salib pada pundak-Nya. 

Seringkali dalam kehidupan kita mengalami serupa yang dialami-Nya, merasa memanggul salib dalam kehidupan kita.  Salib yang membebani pundak kita tak dapat kita bandingkan dengan salib yang berada di pundak-Nya. Salib di pundak-Nya adalah salib dosa miliaran umat manusia, lebih berat, lebih kasar, lebih menyiksa. Salib yang kita panggul adalah salib pribadi kita sendiri. Namun meski ringan seringkali kita mengeluh, merasa menjadi manusia paling menderita di dunia, merasa paling mengalami nasib sial padahal jika sedikit saja kita mau membuka mata kita, kita akan melihat di sekitar kita ada salib lebih berat yang dipanggul sesama kita. Masih layakkah kita mengeluh?

Perhentian ketiga: Yesus Jatuh Pertama Kali




Begitu berat beban salib kasar yang dipanggul-Nya, dalam langkah tertatih, Ia terjerembab pertama kalinya.

Perlahan namun pasti Dia melangkah pada tanah kerontang, darah dari luka-Nya tak kunjung berhenti menetes. Ia dipukul, dicambuk, dipaksa kuat menanggung beban salib begitu berat. Sampai pada suatu tempat, langkah-Nya terhenti, kaki-Nya tak kuat menyangga tubuh perih penuh luka cambuk dari para algojo belum lagi sang beban yang semakin menapak seolah semakin berat. Saat itu, dalam kekuatan-Nya yang hanya berwujud manusia biasa, Ia roboh mencium tanah Bapa-Nya. 

Pertama dari ketiga kali, Ia yang saat itu hanya berkekuatan dan berwujud manusia biasa jatuh dalam perjalanan-Nya menuju bukit Golgota. Ia terjerembab di tanah kerontang, tanah para pendosa. Kejatuhan-Nya pertama kali seperti halnya ketika kita melalui fase dalam hidup. Ketika masih berwujud kanak-kanak, sering dalam perjalanan menuju kedewasaan kita mengalami kejatuhan. Saat itu segala asa seolah bertaruh dalam jiwa kanak-kanak kita. Ketika jatuh pertama kali dalam perjalanan menuju Golgota, tanpa berselang lama, Yesus kembali berdiri, Dia mengumpulkan segala kekuatan-Nya untuk meneruskan perjalanan-Nya, Dia kembali menapaki jalan luka-Nya. Dia memberikan suri teladan bagi kita, yang ketika kanak-kanak mungkin pernah mengalami keterpurukan, trauma dan kesakitan dalam khas dunia kanak-kanak.  Dia bangkit berdiri, lantas, apa alasan kita untuk tak mengikut  jejak-Nya? 

Perhentian keempat: Yesus Berjumpa dengan Ibu-Nya.



Tiada lagi semarak pada wajah-Nya, ketampanan-Nya sirna oleh darah yang mengucur dari dahi-Nya yang bermahkota semak duri tajam. Ia berhenti dalam perjalanan-Nya, dijumpai-Nya bunda-Nya dalam perjalanan luka-Nya.

Dalam perjalanan luka-Nya, tertegun ia menatap wajah ibu-Nya. Ibu yang mengandung-Nya dalam rahim yang suci, ibu yang mengusap peluh-Nya saat nyali-Nya tak sengaja runtuh, ibu yang selalu membasuh hati-Nya dengan pandangan penuh cinta. Mereka beradu pandang, namun keduanya diam, sama menangis, sama menyelami luka, sama menyelami derita. Dalam bungkam, dalam diam, jiwa-Nya saling berselam, batin-Nya saling mengobati. Tanpa harus diucapkan, ibu paling memahami arti air mata-Nya, ibu paling tersiksa melihat bilur-bilur luka sang belahan jiwa.  

Ibu, sosok wanita terhebat dalam setiap hidup manusia. Ibu yang lemah lembut, sabar sekaligus tegar menghadapi segala permasalahan dalam kerasnya percaturan hidup. Namun seringkali ketangguhan dan kasih sayang ibu tergeser ketika kita mulai mengenal lawan jenis yang mampu menggetarkan hati kita, menjadi pasangan kita. Ketika mengalami kesenangan, yang sering kali kita cari adalah pasangan,  ketika  mengalami kesedihan, kepada ibu kita selalu berkeluh kesah menceritakan , saat sukses kita ceritakan pada pasangan,  saat gagal, kita hanya bercerita pada ibu sebagai sandaran. Saat bahagia kita memeluk erat pasangan, saat sedih kita peluk erat ibu, kita selalu total saat mengingat pasangan, sementara, selalu hanya ibu yang mengingat semua hal tentang kita. Ibu selalu memberikan sepenuh hidupnya untuk anak-anaknya, namun berapa banyak yang sanggup mengelap muntahan ibunya? Berapa banyak yang sanggup mengganti lampin ibunya ketika ibu menjadi tua? Berapa banyak yang sanggup membersihkan kotoran ibunya? Berapa banyak yang  sanggup membuang ulat dan membersihkan luka kudis ibunya? Berapa banyak yang sanggup berhenti bekerja untuk  menjaga ibunya? Dan akhir sekali: Berapa banyak yang memanggul jenazah ibunya? Kalau ibu sudah tiada, kita hanya sanggup berkata “Ibu, aku rindu, aku sangat rindu, aku ingin berada dalam peluk hangatmu!”

Tak perlu kita menggeliat, berjalan jauh mencari, memburu  cinta sejati, karena cinta sejati itu ada di dekatmu, cinta sejati itu, ibu!

Perhentian kelima: Yesus Ditolong Simon dari Kirene



Dalam perjalanan luka-Nya, Ia terhuyung memikul beban salib pada pundak-Nya. Hati-Nya cemas tak sanggup tuntas berjalan menuju bukit tengkorak. Dalam kecemasan-Nya, Bapa menggerakkan hati seorang dari antara manusia-manusia pendosa untuk membantu memanggul salib-Nya ke Golgota. 

Adalah Simon yang berasal dari Kirene mengikuti perjalanan Anak Manusia memanggul salib menuju Golgota. Perjalanan yang mungkin jika ditempuh dalam kondisi tubuh normal tak akan seberat ketika dijalani oleh tubuh dengan luka meluruh, dengan darah yang mengucur basah, dengan perih yang teramat pedih. Yesus yang sekujur tubuh-Nya telah dipenuhi luka sesah para algojo hampir roboh ketika itu. Bapa lantas menggerakkan hati  seorang dari antara mereka, nama Simon dari Kirene yang dipilih-Nya menjadi salah satu yang memenuhi kitab dalam kisah perjalanan sengsara.

Dalam hidup seringkali kita berkeluh kesah “Ya Tuhan, mengapa harus aku yang menjalani kisah ini, nasib ini, derita ini. Mengapa bukan orang lain saja yang Kaupilih untuk Kau coba?!” mungkin saja Simon dari Kirene yang juga adalah manusia biasa saat itu memiliki pemikiran serupa dengan kita saat dipilih Tuhan dalam menjalani pencobaan kehidupan, namun, yang terjadi ribuan tahun kemudian, nama Simon dari Kirene memenuhi kitab dalam perjanjian. Kita manusia biasa, hidup kita hanya mengenal untung dan malang, suka dan duka. Kita sering alpa pada maksud di balik segala apa yang mejadi penyelenggaraan-Nya. Dia memilih sekaligus memberikan masing-masing kisah dalam setiap hidup manusia bukan tanpa tujuan, pun dengan segala bumbu dan rahasia hidup yang jika saja kita menyadarinya akan berubah menjadi  jalan menuju bahagia.  Masih layakkah kita bertanya, Tuhan, mengapa harus aku yang menjadi pilihan-Mu?

Perhentian keenam: Wajah Yesus Diusap oleh Veronika



Mahkota duri yang dikenakan pada kepala-Nya membuat  wajah-Nya  bersimbah darah. Ia tak lagi tampan, semarak-Nya pun hilang. 

Dalam langkah gontai-Nya memanggul salib agung, di hadapan-Nya lantas bersujud seorang perempuan lembut penuh kasih, Veronika. Awalnya Veronika berniat memberikan air pelepas dahaga bagi Putra Bapa, namun para algojo menepis cawan yang digenggam Veronika, tinggallah kain berada di tangannya, dengan segala cinta dan sisa keberanian yang ada, Veronika mengusap wajah Yesus yang telah dipenuhi peluh  dan darah. Sebagai balasannya, Yesus meninggalkan lukisan wajah-Nya di kain yang dibawa oleh Veronika.

Pernahkah dalam hidup di zaman yang serba tega ini kita memiliki sejumput keberanian untuk membantu sesama seperti Veronika? Jika pun ada, pernahkah kita berpikir bahwa yang kita lakukan itu tanpa tendensi apa-apa? Kebanyakan dari kita memilih bersikap acuh terhadap apa yang dialami sesama, atau minimal memiliki tendensi pada setiap apa yang kita perbuat untuk sesama. Mungkin demi dikenal, mungkin demi mendapat balasan, mungkin kita berharap satu ketika kita pun akan diperlakukan serupa seperti orang yang telah menerima bantuan dari kita. Lupakah kita pada hukum cinta kasih yang diajarkan Bapa melalui Dia yang adalah jalan kebenaran dan hidup.  Ingatlah bahwa Dia pernah berpesan, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang hina ini, kamu telah melakukannya untuk-Ku.”  Maka dari itu perbuatlah segala kebaikan karna kau melihat rupa Allah dalam diri sesamamu.  

Perhentian ketujuh:  Yesus Jatuh Kedua Kali


Perjalanan semakin menapak, tubuhnya semakin layu. Dalam batas kekuatan-Nya sebagai manusia,Ia hampir tak berdaya.

Betapa berat salib kasar dan besar yang masih setia menjadi beban pundak-Nya. Tubuh-Nya semakin layu, ia dihinggapi keletihan dan kesakitan yang amat sangat. Ia kehilangan satu per satu suara-suara penyemangat. Ia sampai pada batas kekuatan-Nya, tubuh-Nya yang dipenuhi luka roboh untuk kedua kalinya. Ketika jatuh pun salib itu setia menindih-Nya. Tiada ada lagi manusia membantu mengangkat kayu salib agung dari atas tubuh-Nya. Disertai bakti-Nya pada Bapa, ia bangkit meneruskan perjalanan  sengsara-Nya.

Dalam metamorfosa hidup, fase kedua manusia setelah kanak-kanak adalah menjadi dewasa. Segala problematika hidup manusia seolah berkumpul padu pada masa itu. Banyak manusia gagal menjadi dewasa dalam hidupnya. Mengalami kajatuhan, keterpurukan, kekacauan, kehancuran. Betapa dalam kisah sengsara-Nya, Yesus yang telah remuk redam disesah luka menganga dan darah yang mengalir begitu rupa  masih berusaha bangkit untuk meneruskan perjalan-Nya memenuhi janji pada Bapa. Haruskah kita yang hanya manusia biasa dangan beban hidup yang juga tergolong biasa lantas menyerah begitu saja pada cobaan yang menghampiri kita? Dalam iman Katolik, kita pun ditempa dalam perjalanan sengsara dalam memenuhi janji kodrat kehidupan  kita pada Bapa.


Perhentian kedelapan: Yesus Menghibur Wanita-wanita yang Menangis



Ia berhenti di hadapan wanita-wanita yang meratapi kisah sengsara-Nya.

Ujung perjalanan belum tampak di hadapan. Ia masih setia memanggul salib kasar dan besar itu di pundak-Nya. Di tengah gontai langkah-Nya, ia menemukan sekumpulan wanita yang menangis meratapi perjalanan sengsara-Nya. Ia lantas berhenti  dan menatap wanita-wanita itu. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada pada tubuh-Nya, ia berupaya menenangkan wanita-wanita itu. Betapa agung jiwa-Nya. Di tengah penderitaan yang ditimpakan pada-Nya,  mental-Nya tak roboh total. 

Betapa Tuhan memberikan teladan bagi kita. Dalam segala derita yang dirasakan-Nya, Dia tak lantas egois, Dia tak lantas terpuruk, Dia malah menjadi sumber penghiburan bagi hati-hati yang tengah dilanda kerawanan. Ya Tuhan, betapa dalam kehidupan kami sehari-hari kami lebih sering menganggap bahwa dengan kondisi yang kesulitan kami hadapi, kami tak memiliki kesempatan dan kekuatan untuk menguatkan orang lain. Betapa egoisnya kami sebagai manusia-manusia pendosa. 
Permampukan kami, Tuhan untuk menjadi garam dan terang dunia, seturut teladan Tuhan kami Yesus Kristus.

Perhentian kesembilan: Yesus Jatuh Ketiga Kali




Golgota di depan mata, kekuatan hampir habis, kesanggupan berjalan semakin menipis. Anak Domba Allah, jatuh untuk ketiga kalinya.

Matahari semakin tinggi, sinarnya menyengat terik membakar peluh dari semangat yang semakin runtuh. Janji-Nya pada Bapa tak hendak dikhianati-Nya. Dengan tenaga yang tersisa, diseret-Nya langkah kaki-Nya. Namun beban terlampau berat, tubuh-Nya pun tak lagi sanggup menahan sakit dan penat. Ia roboh untuk ketiga kalinya.  

Fase hidup yang ketiga, menjadi tua dengan tubuh yang semakin renta. Ketika Yesus dalam perjalanan sengsara mengalami jatuh kali ke tiga, betapa dalam hal ini Bapa mengingatkan kita dalam tujuan hidup kita ke arah kekal, seringkali kita pun mengalami jatuh di masa tua. Bukanlah kegagalan di masa muda penyebabnya, namun sikap hidup kita yang acapkali merasa sudah renta, tak lagi berguna bagi sesama dan gereja, padahal  justru ketika usia kita semakin menapaki senja, kita semakin berpeluang besar berbuat banyak hal bagi sesama. Tubuh renta bukan alasan, usia senja tak menjadi sekat dalam pengasingan diri menebar kasih pada sesama.

    
Perhentian kesepuluh: Pakaian Yesus Ditanggalkan




Maka genaplah yang tertulis dalam kitab suci setelah pakaian-Nya ditanggalkan, “Mereka membagi-bagi pakaianKu di antara mereka dan mereka membuang undi atas jubah-Ku.”

Tiada lagi yang bersisa dari Anak Domba Allah, kekuatannya habis, kehormatan-Nya di hadapan manusia-manusia pendosa habis-habisan dikikis. Bahkan untuk pakaian penutup tubuh-Nya pun telah mereka rampas. “Mereka mengambil  pakaian-Nya lalu membaginya menjadi empat bagian untuk tiap-tiap prajurit satu bagian - dan jubah-Nya juga mereka ambil. Jubah itu tidak berjahit, dari atas ke bawah hanya satu tenunan saja. Karena itu mereka berkata seorang kepada yang lain: “Janganlah kita membaginya menjadi beberapa potong, tetapi baiklah kita membuang undi untuk menentukan siapa yang mendapatkannya.”

Sekali lagi Allah Bapa menegur kita melalui perantara putera-Nya dalam rentetan kejadian di kisah sengsara. Anak Domba bungkam meski pakaian-Nya ditanggalkan, pakaian penutup tubuh yang menjadi dasar kehormatan seorang manusia. Ia dihinakan di hadapan manusia-manusia pendosa meski Ia tiada bercacat, cela dan dosa. Seringkali dalam kehidupan kita pun mengalami hal serupa, ketika kita merasa kehormatan kita sebagai manusia diinjak-injak, kita dengan sekuat tenaga melawan, mencari keadilan atau  lebih dari itu, ketika kita berperan ibarat serdadu yang menanggalkan pakaian serta kehormatan sesama kita. Kita seringkali berlaku culas dan gembira atas kehinaan sesama kita. Di manakah hati nurani berada? Masih pantaskah kita bergembira di atas kehinaan sesama kita?  


Perhentian kesebelas: Yesus Disalibkan


Ia menuntaskan perjalanan-Nya memanggul salib menuju  Golgota. Salib kasar tanda dosa besar, Ia dibaringkan di situ, kemudian paku besar  ditumbukkan dengan martil tanpa ampun menembus telapak tangan dan kaki-Nya, darah mengucur deras, mengalir pada salib. Ia disalibkan di antara orang berdosa, dan pada salib-Nya tertulis: “ Yesus Orang Nazaret, Raja Orang Yahudi.”

Dalam diri-Nya yang berwujud  manusia biasa, penderitaan yang ditimpakan pada-Nya melebihi ambang batas kekuatan normal manusia. Ia diperlakukan dan dihukum seperti seorang penjahat tak terampuni namun segalanya tetap Ia jalani. Tubuh-Nya dipaksa mangangkat salib yang akhirnya digunakan untuk merenggut nyawa-Nya sendiri. Dalam kepasrahan yang luar biasa Dia memenuhi janji pada Bapa-Nya, Dia mengorbankan tubuh dan darah-Nya untuk menjadi  materai keselamatan umat manusia yang mengimani-Nya. 

Ia hidup sebagai manusia biasa, namun bedanya Ia tidak berdosa, tidak bercacat cela. Ia menerima perlakuan tak adil dari manusia-manusia pendosa, namun Ia bungkam. Ia membiarkan cawan yang diberikan Bapa, tak berlalu dari hadapan-Nya. Yesus memberikan teladan bagi kita untuk menuntaskan segala apa yang telah dipercayakan kepada kita untuk kita selesaikan.  Mengerjakan dan memberikan segenap cinta dan penuh kasih pada apa yang menjadi tanggung jawab pribadi kita. Iman Katolik mengajarkan ketaatan pada tanggung jawab yang penuh cinta kasih. 


Perhentian kedua belas: Yesus Wafat di Kayu Salib




Ketika itu hari sudah kira-kira jam dua belas, lalu kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga, sebab matahari tidak bersinar. Gempa bumi terjadi di mana-mana, dan tabir bait suci terbelah dua.  

“Sesudah itu, Yesus tahu, bahwa segala sesuatu telah selesai, berkatalah Ia - supaya genaplah yang tertulis dalam Kitab Suci - ; “Aku haus!” Di situ ada suatu bekas penuh anggur asam. Maka mereka mencucukkan bunga karang, yang telah dicelupkan dalam anggur asam, pada sebatang hisop lalu mengunjukkannya ke mulut Yesus. Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu , Kuserahkan nyawa-Ku” Lalu ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya.”

Ia anak Allah, Ia manusia tanpa dosa, Ia memegang teguh janji-Nya pada Bapa meski  sebagai manusia Ia sempat merasakan kegentaran saat mengetahui isi cawan yang dihadirkan Bapa di hadapan-Nya. Ia taat sampai wafat, bahkan wafat disalib. Sekali lagi, dalam wujud manusia, putera Bapa mengajarkan pada kita tentang ketaatan dan penerimaan demi kemuliaan hidup yang kekal.  


Perhentian ketiga belas: Yesus Diturunkan dari Salib



“Ia telah mati, mereka tidak mematahkan kaki-Nya, tetapi seorang dari antara prajurit itu menikam lambung-Nya dengan tombak, dan  segera mengalir keluar darah dan air. Sesudah itu Yusuf dari Arimatea - ia murid Yesus, tetapi sembunyi-sembunyi karena takut kepada orang-orang Yahudi  - meminta kepada Pilatus, supaya ia diperbolehkan menurunkan mayat Yesus.”

Malam menjelang, Maria bersama beberapa wanita dan murid kesayangan Yesus dibantu oleh Yusuf dari Arimatea menurunkan tubuh Yesus yang tak lagi bernyawa. Maria berada di bawah kayu salib, menyambut jenazah sang putera. Betapa hancur dan remuk redam hatinya. Putera kesayangan, yang dikandungnya, yang dibesarkannya, yang dikasihinya dengan segenap kekuatan yang dimilikinya diperlakukan tak adil, dihukum mati dan disalibkan. 

Hingga jenazah diturunkan dan kembali ke dalam pelukan ibu-Nya banyak hal menjadi teladan bagi kita. Kepasrahan dan ketaatan yang terkadang rasa sakitnya melebihi kekuatan yang kita punya sebagai manusia. Namun tetaplah berpegang pada janji Tuhan, janji akan keselamatan dan kehidupan kekal, janji yang tak akan pernah Ia ingkari. 

Perhentian keempat belas: Yesus Dimakamkan



Mereka mengambil mayat Yesus, mengafaninya dengan kain lenan dan membubuhinya dengan rempah-rempah menurut adat orang Yahudi bila menguburkan mayat. Di tempat di mana Yesus disalibkan ada suatu taman dan dalam taman itu ada suatu kubur baru yang di dalamnya belum pernah dimakamkan seseorang. 

Genaplah yang tertulis dalam kitab suci, makam-Nya berada di tengah -tengah makam orang berdosa. Tubuh-Nya yang rusak karna disesah para serdadu dan algojo telah dibersihkan dan diurapi rempah-rempah sesuai adat Yahudi. 

Penderitaan-Nya di dunia telah usai, Ia kembali pada Bapa-Nya, Ia kembali pada pemilik-Nya. Namun tetap dengan satu janji keselamatandan kehidupan kekal bagi umat yang mengimani-Nya. Dialah jalan kebenaran dan hidup, Dialah garam dan terang dunia, tiada yang sampai kepada Bapa tanpa melalui Dia. Dialah awal dan akhir, Alpa dan Omega. Masihkah kita mengingkari-Nya? (Hes) 




13 Sep 2020

30 HARI PASCAPATAH HATI UMAT PAROKI SANTO FRANSISKUS ASSISI





KANGEN 

Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku 
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta.

Kau tak akan mengerti segala lukaku 
karena cinta telah sembunyikan pisaunya.

Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.

Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi.
Itulah berarti.
Aku tungku tanpa api.

WS. Rendra

Puisi Rendra: Kangen, melintas begitu rupa usai berita kepindahan itu aku terima. Meski kepindahannya itu belum terjadi, namun aku sudah bisa membayangkan bagaimana perasaan kangen atau rindu akan membayangi benak umat paroki ini.

Sebenarnya berita kepindahan itu telah sampai di tanganku sejak 3 Juli 2020. Seorang rekan kerja sesama tim komunikasi sosial paroki yang begitu rapat dengan kehidupan pastoral mengabarkan kepindahannya per 1 Agustus 2020 melalui aplikasi pesan singkat, Whatsapp. Mungkin begitulah rasanya istilah bagai disambar petir di siang bolong terjadi. Ya, siang itu, kira-kira 12 menit menjelang jam istirahat makan siang, kuterima berita kepindahan beliau yang hampir sewindu menjadi gembala kami, umat Paroki Singkawang.

Sedih, pasti. Terperanjat, sangat! Merasa kehilangan, rasanya tak terkatakan. Bagaimana tidak, sosok gembala yang luar biasa sederhana, hampir tak bercacat cela seolah begitu saja dirampas dari batin umat yang selama ini sudah demikian rapat, lekat, dan hangat dengan pribadinya. 

Sejak awal beliau datang, hampir delapan tahun silam, kala itu paroki berumur lebih dari seabad ini seolah sejuk disirami dengan candaan ringan yang rasanya, 'receh' istilah anak gaul milenial. 

"Perkenalkan, nama saya, Gathot, singkatan dari ganteng total!"

Bayangkan, dengan nada polos dan jenaka kalimat tersebut meluncur begitu saja dari bibir seorang gembala dan tentunya segera disambut gelak tawa umat seantero gereja. Dengan kalimat sesederhana namun jenaka itu ia seolah menjelma menjadi kelebat kilatan blitz, dengan cara begitu instan beliau mampu mencuri hati umat yang tentu sebelumnya diliputi gundah gulana karena ditinggalkan pastor paroki sebelumnya, Amandus Ambot, OFMCap, yang mendapat tugas baru sebagai propinsial.

Berikutnya dapat ditebak, seiring berjalannya waktu, sinergi mampu diciptakannya di Fransiskus Assisi.  Ia begitu lembut, memberi dan menanggapi. Ia begitu sederhana, terampil namun tetap bersahaja. Persis seperti kesan seorang ketua lingkungan pada saat menyampaikan pidato perpisahan, "Selama beliau memimpin paroki ini, tak pernah sekalipun kami mendapati beliau marah atau bicara dengan nada tinggi." Rasanya untuk seorang manusia itu adalah hal yang luar biasa. Memang yang tampak pada kami adalah sosoknya yang tenang, tidak pernah terpancing emosi. Namun siapa yang mampu menyangka gejolak dalam hati. Ada kalimat bijak mengungkap, tidak semua orang tahu bahwa ruangan yang hening kadang menyimpan rasa paling bergemuruh. Ya, tidak semua orang tahu dan mau memahami. Hanya dia dan penciptanya saja yang tahu gejolak batinnya. Namun ekspektasi orang tentang gembala yang menjadi pengayomnya dibingkai utuh dalam sosok sederhana, tenang, bijaksana, tak bercacat cela sanggup dipersembahkannya. Hampir delapan tahun beliau memang mampu mewujudnyatakan itu pada umat yang digembalakannya.

Selama hampir sewindu itu juga beliau hanya mengambil hitungan jari pada kedua telapak tangan untuk merasakan istirahat cuti melayani tugas kegembalaan. Pun dalam istirahat cutinya itu beliau tetap tak lepas memonitor geliat paroki tempatnya menggembala. Dering ponselnya seolah tak pernah ikhlas melepasnya beristirahat. Ada saja sapaan, aduan, keluhan, atau sekadar pernyataan yang mau tidak mau, suka tidak suka harus tetap selalu dilayaninya. Jika merujuk pada iklan brand salah satu minuman berkarbonasi, maka tak lebih tak kurang pada beliau dapat disematkan jargon, "Kapan saja, di mana saja!" Begitulah dia, mau dan mampu melayani umat kapan saja dan di mana saja. 

Hei rupanya tidak hanya umatnya saja yang dilayaninya sekuat pikir dan tenaga. Saudara-saudara seper-imam-annya pun tak luput dari pantauannya selama tinggal di Fransiskus Assisi. Betapa diam-diam beliau selalu memastikan keadaan kesehatan senior-senior yang seatap dengannya (Pastor Marius, Pastor Yeri {almarhum}, Romo Agus, dan Pastor Pasifikus). Pernah suatu masa, kala itu beliau sedang bersama kami sebagian kecil panitia tahun acara ulang tahun 111 tahun paroki melepas penat seusai giat. Kami memutuskan untuk sekadar bersantap di luar sekaligus menyegarkan pikiran. Usai bersantap salah seorang dari kami menawarkan untuk melanjutkan menikmati malam dengan menyesap kopi di kedai kopi. Jawaban beliau tak terduga. Beliau menolak halus ajakan kami dengan ujaran, "Saya harus pulang, asuhan saya ada empat di rumah, khawatir beliau-beliau butuh sesuatu atau butuh saya." Seketika kami semua memutuskan balik kanan, bubar jalan. Masing-masing akhirnya memilih pulang tak jadi melanjutkan menikmati malam. Oh ya, ada sedikit bocoran ketika Sang Meneer Belanda yang keras kepala (alm Pastor Yeremias Mellis, OFMCap) meninggal dunia. Saat itu mantan pastor paroki ini baru saja kembali ke pastoran. Mendengar kabar Pastor Yeri berpulang, beliau berlari sekencang-kencangnya sambil berurai air mata menuju rumah sakit yang bersebelahan dengan pastoran dan gereja. Beliau total merasakan duka kehilangan.  

Baik, mari tepiskan kenangan yang menyesakkan tentang kisah duka kehilangan pastor dari tanah Nederland, kita kembali pada geliat kegembalaan beliau di Paroki Singkawang. Hampir sewindu beliau mencurahkan segala tenaga dan pikiran demi harmonisasi umat Fransiskus Assisi. Banyak perubahan dihasilkan, banyak kemajuan dirasakan, banyak mata dan perhatian dari pihak luar menyorot ke Paroki Singkawang. 

Atmosfer hangat begitu nyata dirasakan ketika siapapun menyambangi gereja yang berposisi di jalur urat nadi kota paling tinggi toleransi ini. Dalam senyap beliau bekerja, mengumpulkan yang terserak, menyambung yang terputus, menyatukan yang tercerai, memperbaiki yang luka hati. Coba tanya pada umat Paroki Singkawang, acak, siapa saja, bagaimana sosok beliau di mata mereka. Siap-siap jawaban serupa akan Anda terima, dan garansi jawabannya adalah: beliau itu sederhana dan kehadirannya sungguh mendatangkan suka cita!

Sepengakuan beliau ketika dulu mendapat tugas kegembalaan di Paroki Singkawang, dan ketika menjejakkan kaki pertama kali dengan status pastor paroki, di pundaknya seolah disampirkan beban yang tak terukur beratnya. Belum lagi adaptasi lingkungan baru, mengenal wajah-wajah baru, karakter-karakter baru, pola pendekatan yang juga baru, menyesuaikan apa, siapa, bagaimana, dan kemana arah lawan bicara. Memang, suatu pekerjaan rumah yang tidak mudah. Namun sekali lagi berbekal teladan Fransiskus Assisi yang diikuti, ditambah sifat hangat dan jiwa bersahaja, tembok tinggi benteng umat paroki berhasil ia lompati. Sinergi, ya akhirnya hanya sinergi yang tercermin dari paroki ini. Betapa dengan kekuatan sinergi segala hal mampu diatasi, segala gawe akbar dikemas menjadi gebyar, segala keberhasilan mampu diwujudnyatakan.

Pilu membayangkan sosoknya duduk di muka pintu gereja yang digembalainya hampir sewindu dengan jutaan kenangan yang mengembara dalam benaknya. Seperti yang ia sampaikan ketika hampir meninggalkan Paroki Singkawang, di suatu sore duduk tepat di depan gereja, melayangkan ingatan pada kenangan-kenangan yang mungkin saja sanggup ia tepiskan namun tidak akan terlupakan. Menapak tilas seorang putra kelahiran Muntilan yang mampu menaklukkan hati umat Paroki Singkawang dalam karya kegembalaan. Dialah Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFMCap atau yang akrab disapa Romo Gathot. Seorang romo yang berita kepindahannya menjadi hari patah hati umat paroki.

Romo, kini kami telah mendapat gembala pengganti. Yang dari suaranya selalu tampak riang hati, yang dari tutur katanya sungguh mencerminkan kecerdasaannya, yang dari penampilannya pun tak kalah bersahaja. Seperti penggalan puisi Rendra di atas, 

"Kau tak akan mengerti segala lukaku 
karena cinta telah sembunyikan pisaunya."

Ya, cinta kasih gembala baru yang kiranya akan sanggup meredam luka kehilangan gembala sepertimu. 

Pinta kami, umat paroki, bawa kami selalu dalam doa, Romo. Terima kasih untuk segala keringat dan buah pemikiran yang sudah Romo curahkan bagi Paroki Singkawang. Selamat berkarya di tempat baru, semoga selalu mampu menjelma sebagai pelita agar sekitarmu semakin merasakan benderang cahaya-Nya. (Hest)



2 Jun 2015

BE A BROTHER FOR ALL

BE A BROTHER FOR  ALL


Selayang Pandang OFM.Cap

               Be A Brother For  All (Menjadi Saudara Bagi Semua) merupakan motto dari OFMCap (Ordo Fraterum Minorum Cappucinorum) yang dapat diartikan sebagai ordo saudara-saudara  dina dari Kapusin menjadi denyut dan aura jiwa bagi penghayatan para pengikutnya setiap hari. Ordo ini  didirikan oleh Santo Fransiskus dari Assisi  (1882-1226), menjadi magnet pribadi banyak orang sekaligus maestro yang dikagumi di abad 21 sebagai Santo yang spektakuler dalam spiritualitas kemiskinan dan hina dina.
               Dalam perjalanan waktu Ordo ini berkembang menjadi Ordo pertama untuk laki-laki  (OFM, OFMConv dan OFMCap). Ketiga Ordo pertama ini menghidupi anggaran dasar yang disusun oleh Fransiskus dari Assisi dan disahkan oleh Paus Honorius III. Ordo kedua untuk perempuan (para Suster Klaris) dan ordo ketiga untuk awam maupun imam sekular (regular dan secular). Ordo Kapusin dimulai oleh Matheus dari Bascio dan resmi berdiri pada 3 Juli 1528 dengan Bulla Religionis Zellus oleh Paus clement VII. Adapun anggota Ordo Kapusin ini terdiri dari ‘klerus’ (imam) dan  ‘laikus’ yang biasa disebut bruder.







Nama Kapusin
                  Panggilan nama Kapusin berawal dari sorakan anak-anak yang melihat para saudara dina yang memakai jubah dengan kap panjang dan runcing. Mereka meneriakkan:  “Scapucini!, Scapucini!” (menggunakan kap). Dari teriakan inilah lahir nama Kapusin.  Ordo Kapusin sudah tersebar luas ke seantero dunia di 106 negara. Saudara Kapusin mulai berkarya di Indonesia sejak tahun 1905 dan pada Februari 1994 dimekarkan menjadi 3 Propinsi: Medan, Sibolga, dan Pontianak. Kapusin Propinsi Pontianak, dengan nama pelindung Santa Maria Ratu Para Malaikat, didirikan secara resmi pada tanggal 21 Februari 1994.
             Adapun wilayah karyanya yaitu: Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Sanggau, Keuskupan Sintang, Keuskupan Palangka Raya dan Keuskupan Agung Jakarta, dan pastinya di Singkawang beralamat Pastoran Katolik,  Jln. P. Diponegoro No. 1 Singkawang. Para saudara Kapusin yang berada di lima keuskupan ini dipimpin langsung oleh Minister Propinsial.
Jenis Karya dan Ciri Khas Hidupnya
                  Para saudara Kapusin lebih memperhatikan karya dan pengabdianya dengan fokus pada: pelayanan pastoral parochial dan kategorial, pembimbing rohani dan retret, pendamping kaum muda, pengelola pertukangan dan bangunan, pengurus rumah tangga komunitas, pelayanan di bidang medis, pertanian, dan pendidikan, pengembangan masyarakat, pemelihara, dan pendukung seni budaya, berkarya di daerah misi dan pendamping kaum terlantar.
                  Adapun ciri khas hidupnya adalah : (1) hidup dalam persaudaraan – Fraternitas, (2) doa menjadi nafas hidup dan karya setiap saudara, (3) para saudara Kapusin menghayati kemiskinan dan kedinaan dengan hidup sederhana baik dalam penampilan maupun dalam tutur kata, dan berpihak kepada orang kecil dan miskin (option for the poor), (4) terbuka pada setiap tugas yang dibutuhkan oleh ordo maupun gereja lokal, ikut mempromosikan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan (Justice, Peace and Intergrity of Creation).
Ajakan
            Anda terpanggil menjadi calon dan mau bergabung dengan mereka, hendaklah memperhatikan hal-hal tersebut. Calon yang hendak melamar menjadi Kapusin haruslah seorang pria beriman Katolik (minimal 2  tahun setelah baptisan). Punya kemauan yang baik dan suci. Artinya, ingin mewujudkan dalam hidupnya cita-cita persaudaraan Kapusin. Sehat jiwa dan raga sehingga berdaya guna untuk mengemban salah satu jenis pengabdian dengan baik dan menggembirakan. Berpendidikan minimal SMU atau setingkatnya, demi menjamin mutu pemahaman atas cara hidup membiara dan terbuka kemungkinan untuk mengembangkan diri sesuai dengan bakat dan kemampuan.
                  Untuk itu kami mengajak, “Hai Kaum Muda Katolik, mari bergabung bersama kami mengikuti Tuhan Yesus Kristus menurut teladan St. Fransiskus Assisi dalam Ordo Saudara Dina Kapusin Propinsi Pontianak.” Sertakan surat lamaran Anda: surat keterangan pastor paroki, surat kesaksian dari pembimbing, atau surat rekomendasi dari sekolah atau tempat bekerja. Riwayat hidup singkat, pasfoto 3x4 (3 lembar), surat persetujuan orang tua/wali. Kirim ke Minister Propinsial Kapusin Pontianak: Jl. Adisucipto KM 9,6 Tirta Ria - Sungai Raya, Kotak Pos 6300. Pontianak-Kalbar 78391 Telp. (0561) 722430/78391. Fax: (0561)-724012.E-mail: kapusin.pontianak@kapusin.org.
                   Bila ingin mengetahui lebih mendalam  langsung pada contact person: P. Joseph Yuwono, OFMCap - Tirta Ria (081251154671) - P. Chrispinus, OFMCap (081345766156) - Nyarumkop. Nah, tunggu apa lagi, mungkinkah Anda salah satu insan yang terpanggil saat ini?
(Ditulis kembali oleh Bruf dengan bersumber pada Brosur OFMCap)

27 Okt 2015

“TRANSITUS” SANTO FRANSISKUS ASSISI KEMATIAN DALAM DAMAI MENUJU KEHIDUPAN KEKAL

 “TRANSITUS” SANTO FRANSISKUS ASSISI

KEMATIAN DALAM DAMAI MENUJU KEHIDUPAN KEKAL 

Santo Fransiskus dari Assisi merupakan pendiri Ordo Fransiskan dan sekaligus Santo Pelindung Gereja Katolik Paroki Singkawang. Ia lahir di Assisi, Italia pada tanggal 5 Juli 1182 dan meninggal pada tanggal 3 Oktober 1226. Fransiskus muda yang lahir dari kalangan bangsawan, dalam hidup kesehariannya bergelimang kemewahan dimanjakan oleh pesta-pora. Pada akhirnya jiwanya runtuh oleh cinta kasih melalui sapaan Tuhan. Dalam perjumpaannya dengan pengemis dan para penderita kusta, mengubahkan hidupnya menjadi seorang mempelai Allah dengan semangat kemiskinan. Menurut sejarah, Ia dikenal pula sebagai santo pelindung binatang dan lingkungan hidup serta pedagang. Santo Fransiskus Assisi telah mendirikan Ordo Fransiskan atau Ordo Friar Minor (Ordo Saudara-saudara Dina). Ordo tersebut meneladani hidup dari Santo Fransiskus Asisi yakni menjalankan injil, setia kepada Gereja Katolik Roma, dan melaksanakan cinta kasih persaudaraan universal.

Pada tanggal 24 September 2015, umat Katolik Paroki Singkawang mengikuti misa Novena Santo Fransiskus Assisi selama 9 hari berturut-turut. Novena ini dipersiapkan untuk merayakan “Transitus” (tanggal 3 Oktober 2015). Transitus merupakan peringatan akan perjalanan iman dari Santo Fransiskus Assisi, peralihan kehidupan dunia lewat kematian menuju kehidupan yang kekal.  Semasa hidup merasul, ia mengalami banyak ujian sebagai konsekuensi dari pilihan atas hidupnya. Mengalami siksaan fisik dan batin serta penolakan dari keluarga sendiri maupun dari orang-orang yang seiman bahkan secara hirarki menempa jiwa dan raganya. Ini bukan tanpa tujuan, kenyataannya ia menjadi sosok yang penuh  cinta kasih, memberikan hidupnya pada kemiskinan dan penderitaan sesamanya. Mengambil penderitaan orang lain secara total meleburkan diri pada kasih tanpa keluhan. Santo Fransiskus Assisi  sangat khusyuk mencintai Allah dengan segenap hati dan jiwa raga hingga akhir hayatnya. 

Transitus dihadiri oleh saudara-saudari dari Komunitas OFS, MTB, OFM.Cap, SFIC, OSCCap,  dan umat ikut pula mengenang wafatnya Sang Pembawa Damai. ‘Transitus’ dikemas layaknya ibadat perenungan. Kisah perenungan hidup Santo Fransiskus dibacakan oleh Bruder Flavianus MTB, Suster Benedikta SFIC, dan Suster Lidwina, OSCCap sambil diiringi alunan merdu paduan suara KEFAS (Keluarga Besar Fransiskan-Fransiskanes Singkawang).

Perenungan yang sangat mendalam di saat Santo Fransiskus mengalami masa sekarat. Ia mendapatkan anugerah yang teristimewa sebagai upah dari jiwa militannya. Ia mengalami 5 luka suci Yesus (Stigmata).  Ini adalah penderitaan suci yang hanya dianugerahkan pada orang pilihan atau manusia unggul dari Allah. Di ambang saudara maut badani datang menjemput, Ia melepaskan jubah miliknya dan menggantinya dengan milik saudaranya seordo. Ia tak ingin memiliki apapun dan tak terikat oleh kemelekatan apapun di dunia, hanya merasakan cinta Allah yang Maha Besar kepada dirinya. Pada detik-detik terakhir nafas yang tersisa, ia melakukan perjamuan malam terakhir dengan saudara-saudaranya membagi-bagikan roti, memberkati semua saudaranya. Lalu, sambil mendaraskan mazmur, Ia menyerahkan nyawanya kepada Allah. 

Akhir kisah Santo Fransiskus ini sangat memesona dan mengharukan. Ia telah menjadi teladan akan ‘kedamaian hati’ ketika menghadapi kematian, menyerahkan dan melepaskan penderitaan-penderitaannya kepada Allah hingga dapat menyatu dengan pribadi kudus-Nya. Salah seorang sahabat seordonya melihat jiwa Sang Santo menjadi sebuah bintang sebesar bulan, terbawa awan putih di langit yang luas. Pesan inilah yang disampaikkan kepada kita semua, bahwa kematian badani bukan akhir dari segalanya. Kematian itu membawa kita kepada janji akan kehidupan kekal bersama-Nya.

Pada penghujung perayaan ‘Transitus’, Ordo Fransiskan-Fransiskanes melakukan prosesi memegang lilin menyala. Memperbaharui kesetiaan pada wasiat Santo Fransiskus Assisi dan mengucapkan janji kaul-kaul mereka agar menjadi pembawa terang dan damai semasa penziarahan hidup di dunia ini. Dikumandangkan pula lagu “GITA SANG SURYA” dari paduan suara KEFAS mengiringi peletakan lilin penghormatan di Patung Santo Fransiskus Assisi.  Berkat bagi kita umat yang hadir adalah memeroleh roti Santo Fransiskus Assisi pada bagian tengah roti terlukisan tanda salib bewarna merah. Rangkaian perayaan Transitus ini kiranya menguatkan iman dan kepercayaan kita akan kehidupan yang kekal setelah kematian. Ikut serta mengambil bagian dalam pewartaan kasih Allah menurut teladan Sang Duta Damai Santo Fransiskus Assisi. (SHe)