Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

4 Nov 2015

BPKA (Berguru Pada Kebijaksanaan Alam) MENGAIL DI AIR JERNIH

BPKA (Berguru Pada Kebijaksanaan Alam)

MENGAIL DI AIR JERNIH

 

Suatu hari yang cerah, terjadi sebuah percakapan imajiner antara seorang pemuda dengan sebuah sungai di kampungnya pak Tegar. 

Ada seorang pemuda yang sedang galau, pikirannya sumpek. Gelar kesarjaan  yang telah disandangnya setelah kuliah hampir lima tahun dan hampir  satu tahun ijazah itu digenggamnya, ia masih tetap seorang pengangguran. Walaupun ia telah membuat banyak lamaran, namun tak satupun perusahaan yang mau menerimanya. 

Untuk menghilangkan rasa kejenuhan hidup, ia memutuskan untuk mengail di sungai, dan dia mulai mencari suatu tempat yang enak untuk memulai aktivitasnya yaitu memancing. Sudah hampir empat jam dia duduk di tepi sungai beralaskan batu, menunggu kalau-kalau ada ikan yang menyantap umpannya. Sampai tengah hari ternyata tak seekor ikan pun mendekati kailnya. Ia merasa ditipu oleh teman-temannya, katanya di sungai   tempat   ia   mengail   itu  terdapat berbagai jenis ikan. 

Kekecewaan sang pemuda memuncak, dia berdiri kesal dan bermaksud mematahkan joran pancingnya dan membuangnya  ke sungai. Tetapi niat itu segera diurungkannya setelah mendengar suara teguran.

“Hai kawan, janganlah kau patahkan kailmu itu!” si pemuda bingung, melihat ke kiri dan ke kanan, dia hanya sendiri tiada siappun lalu siapa yang berani menegurnya.

“Engkau akan menyesal di kemudian hari, sebab engkau tidak bisa datang ke tempatku lagi untuk mengail kembali“. Barulah si pemuda sadar yang telah menegurnya adalah si sungai itu sendiri.

“Aku kecewa, karena dari pagi-pagi sampai sesiang ini tak seekorpun ikan yang mendekat pada kailku. Aku merasa ditipu oleh teman-temanku,“  sahutnya.

“Kawan, kegagalanmu untuk mendapatkan ikan itu bukan karena kailmu, dan juga bukan karena teman-temanmu. Kegagalanmu itu murni karena kesalahanmu sendiri.”

“Karena aku sendiri?” sahut si pemuda.

“Benar kawan, Cobalah kamu lihat dirimu sejenak agar kamu tahu kesalahanmu,“ kata si sungai melanjutkan.

“Jadi aku yang salah?” sahut si pemuda sengit. “Tunjukan kesalahanku secara jelas, aku sudah jenuh dengan nasihat.“

“Aku bertanya dulu, mengapa engkau memancing di tempat ini,“ tanya si sungai.

“Aliran air di sini bersih, sehingga aku akan dapat melihat dengan jelas gerak-gerik ikan yang mendekat pada umpanku. Dengan demikian aku akan dapat bersiap-siap untuk menangkap ikan yang mendekat pada pancingku. Lagi pula kan ditempat ini suasanya sangat nyaman, teduh tidak panas, sebaliknya kalau di kelokan itu banyak lumpur, pakaianku akan kotor,“ si pemuda berusaha menjelaskan alasannya.

“Kawan, ikan yang besar yang seperti kamu inginkan itu tidak suka tinggal di air yang jernih. Sebaliknya ikan-ikan itu akan lari ketika melihatmu, karena ikan-ikan itu sadar kedatanganmu akan membawa ancaman bagi mereka. Ikan-ikan itu lebih suka tinggal di tempat yang gelap agar orang-orang tidak melihatnya. Kamu ini datang untuk mengail atau untuk pameran busana?. Di tempat ini, kamu tidak akan mendapat ikan tetapi justru di kelokan itulah yang banyak ikannya. Nah, itu kesalahanmu yang pertama, bekerja hanya mencari tempat yang enak, yang nyaman dan tidak berani bekerja secara total,” si sungai berhenti sejenak, sambil mengamati wajah si pemuda.

“Lalu apa kesalahanku yang lain?” si pemuda melanjutkan bertanya.

“Kamu menggunakan umpan yang tidak lazim seperti yang dilakukan pemancing yang lain yang menggunakan cacing sebagai umpannya.“

“Tetapi bukankah umpan roti itu lebih enak dan lebih mahal dari pada cacing yang menjijikkan! Aku yakin dengan umpan roti, ikan-ikan yang ada akan datang untuk menyantap umpanku,“ jawab si pemuda membenarkan dirinya. 

“Kamu ingin mengail ikan, atau mengail dirimu sendiri? Memang, roti lebih enak dan lebih mahal dari pada cacing, tetapi itu untuk kamu bukan untuk ikan.“

Tiba-tiba dari kejauhan ada seorang anak yang berpakaian kotor berlumpur. Anak itu memegang joran pancing di tangan kirinya sementara tangan kanannya menenteng serenteng ikan yang besar-besar, kegagalannya dalam memancing membuat si pemuda bertanya dalam hatinya,
“Mungkinkah kegagalan dalam hidupku selama ini karena aku egois, kurangnya totalitas dan hanya mencari tempat yang enak yang sesuai ukuranku, seperti kegagalanku dalam memancing?”

Memancing adalah sebuah seni hidup. Sebab hanya orang yang memasang umpan dengan benar saja yang akan didatangi berbagai jenis ikan. Dalam hidup pergaulan sehari-hari, orang sering mengalami kesepian karena tidak mempunyai teman yang sungguh-sungguh mau bersahabat dengannya. Kegagalan persahabatan itu disebabkan orang tidak mau memberi umpan yang tepat sehingga orang lain mau mendekat dan mau bersahabat dengannya.

Untuk memengaruhi orang lain, orang sering memberikan nasihat bijak, supaya orang lain bertindak sesuai dengan gambarannya. Tetapi orang lupa untuk membangkitkan semangat orang lain agar nasihat yang diberikan tidak hanya dipandang sebagai sesuatu yang menggurui. Nasihat bijak tidak selamanya menyelesaikan masalah, karena orang lebih suka menggunakan kacamatanya sendiri untuk melihat sesuatu, padahal kejelian melihat dengan menggunakan kacamata orang lain merupakan tindakan bijak yang sesungguhnya. Orang tidak mau melihat keadaan orang lain karena terlalu egois dan hanya memandang dirinya sebagai sumber kebenaran. Di lain pihak, cara pandang orang lain dianggap sebagai suatu kebodohan yang harus dibetulkan. Sebagaimana si pemuda tadi yang memasang umpan  berupa roti pada mata pancingnya, karena dia menganggap bahwa roti itu lebih enak dan lebih mahal dari pada daging cacing. Itu semua terjadi karena sebagian orang lebih berorientasi pada apa yang diinginkan dirinya dari pada melihat apa yang diinginkan orang lain. Dengan mencoba memikirkan apa yang dipikirkan orang lain, manusia akan mampu mengurangi rasa kuatir dan ketakutan dalam menyelusuri peziarahan hidup ini. Semoga.

Singkawang, awal Oktober 2015
Disadur oleh Kong Arie.