Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

2 Jul 2015

‘BULAN MADU’ SANG IMAM BARU

                                  ‘BULAN MADU’ SANG IMAM BARU

 


“Lebih susah bikin janji wawancara dengan Pastor ya, dari pada dengan Walikota.”

Demikian seloroh saya pada imam yang baru saja ditahbiskan pada akhir Januari 2015 itu. Sebenarnya hal ini cukup bisa dimaklumi mengingat para imam yang baru ditahbiskan biasanya mengalami masa ‘bulan madu’ dengan tugas imamatnya . Unik memang istilah bulan madu, seolah pengantin baru yang baru saja mengikat janji pernikahan dan disibukkan dengan aktivitas yang beraroma memetik sari manis kehidupan awal berumah tangga, demikian pula para imam yang baru ditahbiskan. Mereka menjalani aktivitas sebagai imam seusai mengucap kaul kekal untuk panggilan awal kegembalaan. 

Ada kisah menarik di balik wawancara saya dengan profil  imam yang pada edisi Likes kali ini diangkat menghiasi rubrik sosok. Pada awal penugasan, saya hanya diberitahu nama imam yang harus saya wawancarai. Sosok imam tersebut bernama Andreas Harmoko, OFMCap. Dari namanya, segera yang terlintas dalam benak saya adalah ingatan tentang seorang berkulit sawo matang, dengan sisiran rambut klimis, dan suaranya menggema  melalui TVRI atau RRI membacakan harga sembako, bawang merah serta cabe keriting dengan logat Jawa kental. Ya, yang terlintas saat itu adalah sosok menteri penerangan era Suharto. Otomatis paradigma saya yang terbentuk saat itu, saya akan dihadapkan pada sosok imam dari pulau seberang. Namun, di luar dugaan, ketika pertama kali saya menghubungi  via telepon imam yang harus saya angkat profilnya, suara beliau jauh dari kesan logat Jawa yang biasanya meskipun dipaksakan untuk terdengar normal tetap mengalami ‘keseleo’ pada pengucapan kata-kata tertentu. Untuk pertama, janji wawancara urung dilakukan karena pastor Harmoko memiliki mobilitas yang sangat tinggi dalam mempersembahkan misa perdana dari paroki satu ke paroki lain berkait tugas ‘bulan madu’ kegembalaan yang beliau emban. Lebih dari sebulan saya menunggu kesempatan untuk bertatap muka langsung dengan beliau. Akhirnya pada suatu malam di bulan Mei, saya berkesempatan menjumpai  pastor yang terlahir di Seringkong pada 30 Oktober 1984 itu di pastoran Paroki Singkawang, itu pun setelah dibantu temu janji oleh Pastor Gathot selaku pastor paroki.

Wajah beliau tersenyum hangat saat pertama kali tangannya saya jabat. Perbincangan santai lantas bergulir ditemani oleh pastor paroki dan seorang bruder yang saat itu sedang tidak bertugas melayani umat. Pada saat yang sama, saya mengutarakan kesan yang sebelumnya terlintas dalam pemikiran saya mengenai nama beliau. Jawaban yang cukup menggelitik lantas saya dapatkan. Dengan ringan beliau memaparkan sejarah nama yang disematkan pada dirinya memang ada kaitannya dengan sosok Harmoko yang pada era ’90-an menjabat sebagai menteri penerangan. Ya, kedua orang tua Pastor Harmoko, Bapak Petrus Tam dan Ibu Susana Serawati ini dulunya memang kader partai berbendera kuning tersebut. Jika oleh khalayak nama Harmoko seringkali diplesetkan sebagai akronim dari ‘Hari-hari omong kosong’, maka kita boleh berbangga bahwasanya gembala baru kita juga memiliki penjabaran akronim sendiri atas namanya yakni,  Harmoko; ‘Hari-hari omong kemuliaan ordo.’

Ketertarikan pastor yang merupakan anak pertama dari tiga bersaudara terhadap kehidupan membiara diawali saat SMA. Ia dibuat terpesona pada kesederhanaan Salib Tau yang dikenakan oleh para biarawan. “Salib itu dipakai dengan tali yang bersimpul-simpul, bukan dengan rantai,” ujarnya. Masih tentang awal ketertarikannya terhadap kehidupan membiara alasan lain yang cukup unik pun dilontarkannya, “Saya tertarik dengan orang-orang yang berjubah coklat itu. Penasaran bagaimana rasanya memakai jubah. Bayangkan saat jubah dipakai pastor dan berkibar-kibar ditiup angin, menimbulkan kesan dramatis,” ujarnya bersemangat. Diakuinya, ketika  memasuki  kehidupan membiara penuh dengan pertimbangan yang matang. “Selama setahun  setelah lulus SMA saya benar-benar berusaha mengenali arah yang saya tuju, pada akhirnya  dengan bantuan seorang bruder MTB saya disarankan menemui pastor paroki, pada saat itu Pastor Amandus Ambot. Oleh Pastor Ambot, saya dibimbing untuk menulis surat lamaran sebagai imam kepada Propinsial. Saya lantas  memberanikan diri mengirim surat lamaran, memantapkan pilihan memenuhi panggilan.  Puji syukur kepada Tuhan, surat lamaran saya dibalas dan saya terima tepat pada hari raya Pantekosta, 29 Mei 2003. Saat itu sangat luar biasa rasanya.”

Setelah menjadi bagian dari Ordo Kapusin, pastor yang memiliki hobi mengoleksi dan membaca buku-buku filsafat serta teologi ini menuturkan di setiap fase baik ketika menempuh pendidikan maupun saat bergelut dengan kehidupan dan komunitas membiara  penuh dengan tantangan. Ketakseragaman pola pikir antar individu sesama kapusin, mundurnya beberapa teman calon biarawan yang seangkatan karena satu dan lain hal, serta keberagaman budaya geografis tempat tinggal, menjadi sekian dari beberapa alasan mendasar yang dianggap tantangan. Berbagai tantangan tersebut lantas disikapi dengan kedewasaan. Memantapkan hati terhadap pilihan menjadi biarawan, menolerir berbagai hal dengan berusaha menempatkan juga membawa diri dalam komunitas, menyamakan persepsi serta mengesampingkan idealisme.  “Kami dituntut harus mampu mengerem diri. Apa yang kami kerjakan tidak hanya cukup berdasarkan teori yang diterima saat sekolah, kami dituntut hidup dan ‘hadir’ bersama komunitas namun tetap menjadi diri sendiri. Kami harus lebih banyak belajar dari yang tua, mendengar mereka karena para pembimbing dalam komunitas  sudah lama hidup dalam ordo, sudah langsung menjalani  kehidupan membiara dan karena pembimbing dalam komunitas tugasnya berat dalam membimbing kami.”, ujar  imam yang dulu sempat menjadi pembina pramuka itu penuh bijaksana.

Suaranya sempat menjadi lebih pelan, dan pandangannya sedikit menerawang  saat mengisahkan terdapat teman lama serta umat yang memandang dirinya secara berbeda karena label imam yang telah melekat pada dirinya. Ia berharap tak dipandang secara ekslusif dan bisa menjalani hari-hari selayaknya, tak  ‘berjarak’ dengan umat.

Masih di kesempatan yang sama, ketika ingatannya seolah diajak pulang ke masa pentahbisan, sinar matanya berpendar. “Saya harus berterima kasih pada warga Paroki Kuala Dua. Dengan kerja keras umat yang meskipun di kampung, namun mereka mengusahakan prosesi pentahbisan imam dengan sangat meriah. Saat itu saya dan kedua orang tua saya diarak menggunakan mobil yang dibentuk menjadi miniatur gereja.”, kenangnya.

Di akhir obrolan yang cukup menyenangkan, pastor yang memiliki motto ‘Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati,’ ini menuturkan harapannya. “Semoga panggilan imamat ini tetap dan kekal, semoga umat selalu mendoakan para imamnya dalam menjalankan karya kegembalaan, dan semoga umat dengan rela hati memberikan diri ataupun putera dan puterinya menjadi biarawan dan biarawati,” pungkasnya. (Hes) 

Riwayat pendidikan dan kegembalaan.
SDN Kuala Dua (1990-1996)
SMPK Kuala Dua (1996-1999)
SMUN 1 Kembayan (1999-2002)
Tahun Orientasi Panggilan (Nyarumkop, 2003-2004)
Postulat (St. Leopold Mandic - Sanggau Kapuas, 2004-2005)
Novisiat (St. Padre Pio, Gunung Poteng - Singkawang, 2005-2006)
Kaul Perdana (26 Juli 2006)
Post Novisiat (Tirta Ria - Pontianak, 2006-2007)
Sekolah Filsafat (STFT St. Yohanes - Pematang Siantar, 2007-2011)
Pelantikan Lektor dan Akolit (Biara Kapusin St. Fransiskus Assisi, 2010)
Tahun Orientasi Pastoral (Paroki Pusat Damai, 2011-2012)
Sekolah Teologi (STT Pastor Bonus, 2012-2014)
Kaul Kekal (Novisiat St. Padre Pio, 2 Agustus 2013)
Tahbisan Diakon (Sanggau Ledo, 24 Juli 2014)
Masa Diakonat (Seminari Menengah St. Paulus Nyarumkop)
Tahbisan Imam (Kuala Dua, 31 Januari 2015)
Tugas saat ini (Seminari Menengah St. Paulus Nyarumkop)