Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

30 Jul 2017

Kobarkan Semangat AYD di Kota Singkawang


Gawe akbar kembali digelar Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi Singkawang. Giat yang digadang akan diselenggarakan dari tanggal 30 Juli hingga 1 Agustus 2017 dan berskala internasional ini membidik kaum muda Katolik sebagai sasarannya. Sebanyak 30 orang tamu dari India, Myanmar dan juga dari region lokal Kalimantan; Ketapang, Sintang, dan Sanggau akan menyambangi kota amoy, tinggal bersama orang tua angkat, dan terlibat dalam berbagai acara yang telah disusun oleh panitia. 


Kedatangan 30 tamu ke kota seribu kelenteng ini dalam rangka Asian Youth Day (AYD). AYD merupakan suatu wadah bekumpulnya Orang Muda Katolik (OMK ) sebenua Asia dan digelar setiap tiga tahun sekali. Sebanyak 3000-an OMK dari 22 negara di Asia akan berkumpul dan mengikuti rangkaian acara yang akan diselenggarakan. AYD bercikal dari ide pembina OMK se-Asia dan disetujui oleh Federasi Konferensi Uskup-uskup se-Asia. AYD sendiri bertujuan untuk menumbuhkan semangat pewartaan kasih di kalangan muda Katolik. Dalam penyelenggaraannya, AYD terdiri dari 3 acara besar yakni Days in the Diocese, Days in AYD' Venue, dan Asian Youth Ministers' Meeting. Days  in the Dioceses diadakan 3-4 hari dimana peserta AYD tinggal (live in) di keuskupan-keuskupan negara tuan rumah, baru setelah itu para peserta live in akan diberangkatkan ke pusat berlangsungnya Days in AYD' Venue. AYD tercatat sudah enam kali digelar di berbagai negara, antara lain Thailand, Tiongkok, India, Hongkong, Filipina, dan Korea. Tahun ini Indonesia didaulat menjadi tuan rumah penyelenggara AYD, dan Keuskupan Agung Semarang yang berpusat di Kota Jogjakarta dipercaya sebagai penyelenggara utamanya. 


Paroki Singkawang merupakan salah satu paroki yang ditunjuk menjadi tempat Days in the Diocese telah mempersiapkan diri jauh-jauh hari untuk menyambut para tamu AYD. Serangkaian acara telah dipersiapkan oleh panitia dari Paroki Singkawang, antara lain city tour dan malam pentas hiburan. Beberapa tempat yang akan disambangi ketika city tour digelar antara lain Rumah Melayu, Masjid Raya, Kelenteng Tri Dharma Bumi Raya, Rumah Marga Tjhia, Vihara Dewi Kwan Im Kiung, GKKB, Tugu Naga, Rumah Radakng, Pantai Tanjung Bajau, dan Rumah Sakit Kusta Alverno. Bukan tanpa maksud tempat-tempat itu dipilih sebagai tujuan city tour. Panitia menilai tempat-tempat tersebut sangat mewakili kebhinekaan dan keindahan Kota Singkawang yang selama ini dikenal sangat toleran  bahkan berhasil menyabet peringkat ketiga kota paling toleran se-Indonesia. Di samping itu terdapat pula sebuah rumah sakit yang juga akan disambangi yaitu Rumah Sakit Kusta Alverno. Rumah sakit yang pada tahun ini genap berusia seabad itu menjadi destinasi juga bukan tanpa sebab, hal ini mengingat bahwa di regional Kalimantan, Alverno merupakan satu-satunya rumah sakit yang khusus menangani pasien kusta.


Ditemui di sela-sela aktivitasnya Pastor Paroki Singkawang, Stephanus Gathot Purtomo, OFM.Cap., menyampaikan kegembiraannya. Dengan sumringah beliau menyatakan bahwa Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi Singkawang dengan penuh suka cita menyambut kehadiran para peserta AYD. "Kehadiran Anda sungguh merupakan rahmat dari Tuhan bagi kami. Selamat datang dan selamat menikmati live in di paroki kami, Singkawang kota seribu kelenteng," ujarnya.
Drs. Titus Pramana, M.Pd., selaku koordinator seksi acara juga menyatakan hal serupa. Beliau berharap banyak hal positif dapat dipetik dari kegiatan yang sedianya akan berlangsung selama tiga hari ke depan, "Saya berharap seluruh kegiatan yang dikemas dapat berjalan lancar dan menjadi suatu kenangan tidak terlupakan tentang Kota Singkawang yang indah dan toleran bagi tamu lokal maupun mancanegara yang akan hadir. Di samping itu saya juga mengundang orang muda Katolik untuk hadir dan menyaksikan pagelaran pentas seni pada malam tanggal 31 Juli 2017 di halaman Gereja Katolik Santo Fransiskus Asissi Singkawang," pungkasnya. (Hes)





11 Jun 2017

HARI RAYA TRI TUNGGAL MAHA KUDUS

HARI RAYA TRI TUNGGAL MAHA KUDUS


Dalam rangka Hari Raya Tritunggal Mahakudus, dan mengingat banyak Romo yang homilinya tentang Tritunggal kadang membuat umat kurang paham, berikut tentang penjelasan Trinitas:
KATEKISMUS BALTIMORE (Katekismus resmi GK-Amerika dari 1885-1960)
PELAJARAN KETIGA: MENGENAI KEESAAN DAN ALLAH TRITUNGGAL


P. Apakah hanya ada satu Allah?
J. Ya, hanya ada satu Allah.


P. Mengapa hanya ada satu Allah?
J. Hanya ada satu Allah, sebab Allah, sebagai yang sempurna dan tak terbatas, tak ada yang menyamaiNya.


P. Ada berapa pribadi dalam diri Allah?
J. Dalam Allah terdapat tiga Pribadi Ilahi, sangat berbeda dan setara dalam segala hal, Bapa, Putra dan Roh Kudus.


P. Apakah Bapa adalah Allah?
J. Bapa adalah Allah dan Pribadi pertama dari Trinitas yang Terberkati.


P. Apakah Putra adalah Allah?
J. Putra adalah Allah, dan Pribadi kedua dari Trinitas yang Terberkati.


P. Apakah Roh Kudus adalah Allah?
J. Roh Kudus adalah Allah dan Pribadi ketiga dari Trinitas yang Terberkati.


P. Apakah Tritnitas yang Terberkarti itu?
J. Trinitas yang Terberkati adalah Allah yang satu dalam tiga Pribadi Ilahi.


P. Apakah ketiga Pribadi Ilahi setara dalam segala hal?
J. Ketiga Pribadi Ilahi tersebut adalah setara dalam segala hal.


P. Apakah tiga Pribadi Ilahi adalah satu dan Allah yang sama?
J. Tiga Pribadi Ilahi adalah satu dan Allah yang sama, memiliki kodrat Ilahi yang satu dan sama
*
Renungan:
Susah untuk menjelaskan Trinitas karena di alam raya ini tidak ada yang bisa dijadikan analogi yang pas atas trinitas. Dulu banyak penjelasan Romo dan buku-buku yang saya baca tapi juga kurang memuaskan.
Namun saya akhirnya mendapat penjelasan yang mencerahkan mengenai trinitas. Ini yang coba saya share (bagikan) kepada Anda.
Kristen termasuk agama monoteis (mono = satu; teis = Allah). Jadi sama dengan Islam yang mengakui ke-esa-an Allah. Allah yang satu dan esa itu mempunyai tiga pribadi. Yang satu itu adalah “substansi” alias "kodrat" Allah, sementara yang tiga itu adalah “pribadi” Allah.
Ketika kita menunjuk sesuatu dan bertanya “apakah itu?” kita bertanya mengenai “substansi” dari hal tersebut. Jadi misalnya kita menunjuk si Manis yang sedang menjilati tubuhnya dan bertanya “apakah itu?” maka jawabannya adalah “kucing”. Jadi substansi:kodrat si manis adalah kucing. Begitu pula kalau kita menunjuk ke pucuk tugu Monas dan bertanya “apakah itu?” maka jawabannya adalah “emas” karena emas itulah substansi berwarna kuning yang nempel di Monas (kita UMPAMAKAN SAJA emas diatas Monas itu seluruhnya terdiri dari emas, padahal kenyataannya yang emas cuma lapisannya).
Lalu, kalau kita menunjuk seseorang dan bertanya “apakah itu?” maka jawabannya adalah “manusia”. Nah, untuk manusia kita bisa bertanya juga “siapakah itu?” maka jawabannya bisa “Bagus, Slamet, Budi, Anita, Rini dan lain-lain”. ITULAH YANG DISEBUT “PRIBADI”!
Jadi “pribadi” adalah “SIAPA”, bukannya “APA” (yang “apa” adalah substansi/kodrat).
Sekarang, KATAKANLAH anak saya yang lugu menunjukkan jari kepada sang ALLAH (kita umpamakan bahwa Allah itu bisa ditunjuk) dan bertanya kepada saya “Pak, itu APA?” Maka saya akan menjawab “itu Allah, nak”. Kalau anak saya bertanya “Pak, itu SIAPA?” maka saya akan menjawab “itu, Bapa, Putra dan Roh Kudus, nak.”
Inilah yang dimaksud bahwa Allah itu satu (substansi) dan Dia adalah Tiga (Pribadi).
Seperti yang saya katakan sebelumnya, di alam raya ini tidak ada yang seperti Allah (maksudnya terdiri dari SATU substansi dan TIGA pribadi). Kita-kita ini manusia hanya terdiri dari SATU substansi dan SATU pribadi. Tidak ada manusia yang punya lebih dari satu pribadi (“pribadi” disini berbeda dengan “personalitas”. ini mengingat ada penyakit jiwa dimana seorang manusia mempunyai lebih dari satu “personalitas”. Meskipun begitu orang ini pribadinya tetap satu).
PS:
Substansi dan kodrat adalah sama. Cuma istilah itu dipergunakan berbeda. Kalau berkenaan dengan makhluk hidup, substansi si makhluk hidup disebut "kodrat."
Sumber: FB Katolik Imanku


9 Jun 2017

Merajut Cinta Si Kupu - Kupu Percakapan Imajiner

 Merajut Cinta Si Kupu - Kupu
Percakapan Imajiner

Sang surya terpaksa beristirahat lebih awal karena barisan awan gelap datang berbondong-bondong menyelimuti senja dan akhirnya hujan turun begitu lebat sepanjang malam.

Namun esok paginya, Sang Surya telah muncul di ufuk timur, melepas kerinduan, menyapa bumi yang selalu menanti. Pucuk-pucuk dedaunan merasakan sapaan lembut Sang Surya dengan penuh kehangatan, setelah semalaman mereka mengginggil kedinginan diguyur hujan.

Suasana yang sedemikian damai telah mampu menghantarkan penghuni taman untuk tidak hanya merenungkan, tetapi sekaligus merasakan keagungan Sang Pencipta. Tiba-tiba suasana menjadi ramai tak terkendali ketika dari kejauhan terbang mendekat seekor kupu-kupu dengan lincah dan gagah, berkelit di antara bunga-bunga di taman. Dari cara terbangnya yang lembut, pakaian  di sayapnya pun tampak serasi dipadu dengan dasi di lehernya dan hal ini membuat bunga-bunga salah tingkah. Si Kupu-kupu hinggap di sepotong ranting mangga kering yang masih menempel di cabangnya.Semua bunga memaksakan diri untuk segera membuka kelopaknya, memamerkan keindahan dan kelebihan mereka masing-masing. Rupanya bunga-bunga di taman begitu terpesona melihat ketampanan sang Kupu-kupu yang baru datang di taman itu. 



Dengan suaranya yang manja merayu, bunga-bunga di taman berusaha mengajak Si Kupu-kupu untuk berkenan singgah sejenak di taman hatinya.

“Singgahlah kemari, sayang, dan jangan kau bertualang lagi, Kupu-kupu pujaan hati,” si Bunga Kanthil mendahului rayuannya. “Bukankah warna bungaku yang putih bersih merupakan dasar dari segala keindahan warna yang ada? Seluruh ciptaan Tuhan akan mengagumimu kalau kau bersamaku, sebab akulah lambang kesucian. Lihatlah, banyak manusia yang mau merelakan apa saja yang dimilikinya demi mengejar kesucian. Yah, dunia akan hancur kalau tidak ada ciptaan yang mau mencariku, sebab apa arti semua yang ada di dunia ini kalau tidak ada ciptaan Tuhan yang mau membawa yang lain kepada kesucian?” kata si Bunga Kanthil mencoba meyakinkan si Kupu-kupu untuk singgah dalam hatinya.

“Kupu-kupu yang manis, ciptaan manapun tidak akan mampu mewujudkan kesucian kalau dalam hidupnya ia tidak berani mewujudkan cintanya. Manusia lebih suka mencariku karena warna merah bungaku merupakan lambang keberanian dari ciptaan yang hendak menyatakan cintanya. Lihatlah, bibir gadis-gadis di kota pun diberi lipstik merah merekah seperti warna mahkotaku, menatap dunia penuh keberanian!” timpal si Bunga Mawar Merah.

“Walau warna merah lebih menggairahkan dari pada warna putih yang pucat, tetapi kesemuanya itu tidak seberapa dibandingkan dengan penampilanku. Dengan warna kuningku, aku merupakan lambang ciptaan Tuhan yang siap mengabdi. Apa artinya mencintai kalau tidak diwujudkan dalam pengabdian? sela si Bunga Matahari.

“Huh, apa artinya pengabdian kalau semuanya itu selalu kau gembar-gemborkan! Kau pandai berkata-kata tentang pengabdian, tetapi kau tak pernah memperjuangkannya secara konkret, sebab hidupmu jauh dari keagungan itu sendiri.

Bersamalah denganku saja Kupu-kupu! Hidupmu akan menjadi begitu agung karena aku tidak pernah membosankan dan aku selalu tampil anggun dan sederhana, tampil bersahaja,”  Anggrek Ungu juga tak mau kalah ambil bagian dalam rayuan. 

Sang Surya di sudut sana mendengarkan argumen-argumen mereka dengan baik dan kadang-kadang dia tersenyum. Masing-masing mereka selalu memuji dirinya sendiri,
“Langit biru, laut biru, gunung biru semua ciptaan yang perkasa berwarna biru.
Aku mampu mengubah semua wajah menjadi sangat cantik, asri dan tampak ceria!” ungkap si Anggrek Ungu sambil menatap mesra si Kupu-kupu.



“Semua warna bunga di taman ini sangat baik, namun sebaliknya, justru penampilan kalianlah yang membuat kalian tampak buruk, karena keegoisan kalian itulah, kalian tidak bijak dalam memberikan penilaian, sebab baik dan buruk yang kalian ungkapkan itu lahir dari kelekatan pada anggapan kalian sendiri-sendiri,” sang Kupu-kupu yang sedari tadi tidak berbicara kini mulai mengeluarkan isi hatinya sambil masih tetap hinggap di ranting kering cabang pohon mangga tersebut.

“Kalian  cenderung mengatakan orang lain sebagai sesuatu yang jelek. Berhati-hatilah, sebaiknya kalian tidak menilai diri kalian terlalu tinggi lantas menilai yang lain terlalu rendah dan karena itu kalian akan mudah jatuh dalam sikap sombong ataupun congkak.”

Mereka semua hanya diam, tidak menjawab atau menyanggah apa yang dikatakan oleh si Kupu-kupu tentang diri mereka.

“Memang kalau tidak hati-hati, baik dan buruk akan keluar karena perasaan egois semata,” si Kupu-kupu melanjutkan. “Pada waktu senang, apapun yang ada kalian anggap baik, sementara pada waktu kalian sedih apa saja kalian anggap jelek. Padahal baik maupun buruk bukanlah terletak pada perasaan. Karena digerakkan oleh rasa senangmu, kalian menyuruhku untuk singgah di bunga kalian. Bila demikian, hal yang sama pun akan kalian perbuat kepadaku, kalian akan mengusirku disaat kalian menjadi merasa bosan dengan kehadiranku!” Si Kupu-kupu menyudahi lontaran rasa kekecewaannya. Sang Surya yang sejak tadi mengikuti dengan cermat percakapan imajiner tersebut, puas dengan paparan si Kupu-kupu dan Sang Surya tersenyum sendiri di pojok langit.

Singkawang, awal  April 2017.

CINTA

CINTA


Kita benar-benar harus memahami orang yang ingin kita cintai.
Jika cinta hanyalah kemauan untuk memiliki, itu bukanlah cinta.
Jika kita hanya memikirkan diri sendiri, jika hanya mengetahui kebutuhan diri sendiri, dan mengabaikan kebutuhan orang lain, kita tidak bisa mencintai.
Kita harus melihat dalam-dalam agar bisa melihat dan memahami kebutuhan, cita-cita, dan duka orang yang kita kasihi. Inilah landasan cinta sejati. Anda tidak bisa tidak mencintai seseorang tatkala Anda benar-benar memahami orang tersebut.

Dari waktu ke waktu,  duduklah di dekat orang yang Anda cintai, peganglah tangannya, dan tanyakanlah,; Sayang, apa aku cukup memahamimu? Atau aku membuatmu menderita? Tolong beri tahu aku supaya aku bisa belajar mencintaimu dengan layak. Aku tak ingin membuatmu menderita, dan jika aku melakukannya karena ketidaktahuanku, tolong beri tahu aku agar aku bisa lebih baik mencintaimu, supaya kamu bisa bahagia.
Jika Anda mengatakan itu dengan suara yang mengomunikasikan keterbukaan sejati Anda untuk memahami, orang itu mungkin bisa menangis. Itu pertanda yang baik, karena itu berarti pintu pemahaman sedang terbuka dan segala sesuatu akan menjadi mungkin lagi.

Mungkin seorang ayah tidak punya waktu atau tak cukup berani menanyai putranya pertanyaan seperti itu. Maka cinta antara mereka tidak akan sepenuh yang bisa terjadi.
Kita memerlukan keberanian untuk menanyakan pertanyaan tersebut, namun jika kita tidak bertanya, semakin kita mencintai, semakin kita menghancurkan orang yang berusaha kita cintai.
Cinta sejati memerlukan pengertian. Dengan pengertian, orang yang kita cintai niscaya akan mekar.

Jika Anda mencintai seseorang, pasti Anda ingin ia bahagia. Jika ia tidak bahagia, maka Anda pasti tidak bahagia juga.
Kebahagiaan bukanlah masalah pribadi.

Cinta sejati membutuhkan pengertian yang mendalam. Pada dasarnya, cinta adalah nama lain dari pengertian.
Jika Anda tidak mengerti, Anda tidak dapat mencintai dengan semestinya.
Tanpa pengertian, cinta Anda hanya menjadi penyebab penderitaan bagi orang lain.

Untuk mencintai dengan cara yang benar, Anda harus memiliki pengertian. Pengertian maksudnya dapat melihat kegelapan, kesakitan, dan penderitaan orang lain.
Jika tidak dapat melihatnya, apapun yang Anda lakukan demi dia, hanya akan menambah penderitaannya.

Meskipun memiliki keinginan baik, Anda dapat membuat pasangan Anda tidak bahagia.
Belajarlah untuk menciptakan kebahagiaan. Belajarlah untuk mencoba mengerti, dan berikanlah cinta kasih dan welas asih yang tanpa syarat, mau merawat dan membantu pasangan Anda berkembang dan menjadikan kebahagiaan sesuatu yang nyata.

Goresan Pena : Herry Kusuma

Dengan Iman Kristiani, Cermat dalam Mengolah Isu Sara

Dengan Iman Kristiani, Cermat dalam Mengolah Isu Sara


Palu hakim telah diketuk dengan vonis 2 tahun penjara untuk Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Namun drama itu belum berakhir. Di berbagai kota di Indonesia muncul aksi lanjutan sebagai bentuk ekspresi masyarakat terhadap putusan atas Ahok. Kekhawatiran munculnya efek domino negatif di berbagai daerah seperti bom waktu yang siap meledak kapan pun. Akar rumput yang tidak kasat mata sudah mulai menimbulkan riak dan benih-benih konflik yang tidak bisa dianggap sepele. Apalagi dengan mudahnya akses media sosial dan informasi rawan untuk dijadikan alat provokasi. Tidak terkecuali di Kota Singkawang.

Lalu bagaimana pandangan Kristiani akan hal ini? Tanpa kita sadari ternyata kasus Ahok yang keberadaannya ribuan kilometer dari sini secara perlahan namun pasti mengangkat sentimen kita. Membuat kita ingin berpendapat dan tanpa disadari kita melakukannya. Bahkan kita mengadopsinya dalam lingkungan gereja. Apa yang dirasakan oleh Ahok seperti mewakili perasaan umat Kristiani di Indonesia. Dianggap kafir, minoritas dan menistakan agama yang notabene mayoritas. Tuduhan berlabel Suku Agama Ras dan Antorgolongan (SARA) disematkan padanya. Lalu perlukah dukungan gereja dan umat Kristen terhadap Ahok? 

Ketika kata ‘kafir’ yang memang ada di dalam kitab suci agama Islam diangkat di ranah publik kemudian diucapkan berkali-kali dan terus menerus, tentu saja melukai perasaan umat dengan agama yang berbeda. Begitu pula dengan kata ‘minoritas’ dan ‘mayoritas’. Saya sendiri merasa tidak ada kata ‘minoritas’ dan ‘mayoritas’ di negara ini. Sebab sejak dahulu sampai sekarang negara Indonesia terbentuk karena keberagaman, bukan karena ‘siapa yang lebih banyak’. Setiap orang dilindungi hak-hak hidup dan berpolitiknya. 

Semua orang mungkin tahu kalau Pilkada DKI telah dieksploitasi menjadi isu SARA demi keuntungan segelintir orang. Berdampak pada Gerakan Bela Islam hingga berjilid-jilid meminta Ahok dihukum. Lalu muncul pertanyaan perlukah ada dukungan khusus  buat Ahok sebagai penyeimbang Gerakan Bela Islam tersebut dari umat Kristiani?

Menurut saya, Gereja tidak perlu terpancing dalam polarisasi dukung mendukung. Tidak perlu melakukan aksi dan mengeluarkan pernyataan yang justru akan memunculkan masalah baru dan berakibat pada perpecahan di Singkawang. Mungkin kita perlu membuka lagi Tri Kerukunan Umat Beragama yang telah lama terlupakan dan menghayatinya kembali.

Sentimen-sentimen balasan akan aksi lilin yang marak diberbagai kota mulai sedikit terasa. Tentu saja pada akhirnya sayup terdengar kalimat minor yang dapat berubah menjadi pemicu aksi provokasi. Saat ini bangsa kita seperti sedang dirongrong menjelang seabad berdirinya Negeri Rayuan Pulau Kelapa. Terorisme dan aksi separatis tidak ada habisnya, korupsi merajarela dan narkoba menyebabkan kondisi negara darurat. Kenapa tidak berbuat sesuatu yang lebih bermanfaat untuk semua daripada hanya mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan. Kalau kita ingat bagaimana negeri kita didirikan dengan darah nenek moyang kita sendiri, lalu apa harus kita hancurkan dengan perang saudara yang juga meneteskan darah kita dan keturunan kita? 

Seharusnya kita sudahi segala aksi tolak menolak dan dukung mendukung dengan kekerasan. Kita dapat menyelesaikan semuanya dengan musyawarah. Saling mendinginkan satu dengan yang lain. Palu telah diketuk, putusan telah dibacakan dan lilin-lilin sebagai gambaran ekspresi telah dinyalakan. Saatnya bersih-bersih dan kembali jaga keutuhan dan keberagaman.    

Gereja memandang bahwa bisa saja sikap dukung mendukung akan mudah dipolitisasi pihak lain dengan kekuatan media sosial lalu dibelokkan sesuai kepentingan kelompok tertentu yang tidak ingin Indonesia maju. Gereja harus lebih tenang, objektif, dan perbanyak jaringan dengan kelompok agama lain dan komunitas lain yang memiliki visi misi sama dalam menguatkan keutuhan NKRI.

Kita bisa memulainya dari diri kita sendiri. Tidak menjadi kelompok atau pribadi eksklusif yang tertutup dengan orang lain yang berbeda, tapi jadilah inklusif dan membangun jejaring sebanyak mungkin. Umat Kristen tidak perlu ikut-ikutan ke jalan, cukuplah kita berdoa. Kalau berdoa masuklah dalam kamar. Sejenak kita perlu diam dan hening supaya dapat menemukan yang sejati, pokok, inti dalam hidup dengan kepedulian dan kesederhanaan.

Menilik ke belakang, dalam beberapa kasus Gereja sering terbawa arus, terbawa isu SARA. Sebab itu Gereja sebaiknya tidak menghangatkan isu SARA, apalagi ikut merespon atau membalas media sosial yang tujuannya tidak baik dan melakukan aksi-aksi yang provokatif. Sebagai umat Gereja yang diajarkan untuk mengasihi dan mengampuni sesama, penting bagi kita menjaga netralitas ke-nabi-an Gereja bagi perkembangan demokrasi nasional. 

Semoga dengan netralitas Gereja kita tidak perlu masuk dalam ranah politik praktis dan mencampurnya dengan kehidupan gerejawi. Mari bersama kita jaga keutuhan dan kesatuan NKRI dengan kebhinekaan yang menjadi ciri khas kita dan toleransi antar umat beragama dalam iman Kristiani. (Sabar Panggabean)

7 Jun 2017

BERBICARA PADA HENINGMU

BERBICARA PADA HENINGMU




Di atas hamparan bukit kecil dengan segala sunyinya
Basah dingin curam membaca
Setiap syair bermekar kuntum
Tetaplah mekar

Berjalanlah sampai pagi menyentuh heningmu
Kan selalu ada puisi yang menemani dirimu

Di balik bulan purnama terdapat kawanan bintang
Pejamkanlah matamu
Rasakan dengan hatimu
Rasakan hangatnya setiap kedip cahaya
Semua perwujudan cinta

Hati yang luas bagaikan langit
Masalah hadir bagai halilintar
Mampukah kilatan itu meninggalkan luka pada dada langit?

Waktu bagaikan tamu
Setelah lewat dia tak akan kembali
Tertinggal hanyalah memori

Hati sekuntum mawar
Merawat luka seperti menyentuh duri ditangkai bunga
Sentuhlah dengan lembut dan hati-hati
Maka tak akan ada yang terlukai

Ingatlah
Bahwa kita mampu merawat luka dengan sabar
Maka luka akan terobati

Dengan satu kalimat yang indah Gibran sang Penyair  Lebanon pernah menuliskan;
"Semakin dalam kesedihan menggoreskan luka ke dalam jiwa, semakin mampu sang jiwa menampung kebahagiaan"

Aku tidak dapat menjelmakan kalimat yang indah
Seperti yang kamu minta pada pujangga
Namun satu bait ingin aku titipkan di bukit sunyimu yang teduh

Pahamilah duka seperti memahami suka
Usaplah kesedihan serupa dengan membelai kesenangan
Terimalah kehidupan secara utuh
Inilah kebahagiaan.


(Goresan Pena : Herry Kusuma)


















Sakramen Tobat

Sakramen Tobat




Ketika pusat hidupku menjadi kain yang ternoda
karena buah apel yang tersaji,
pusat diriku menjadi asing dengan dirinya sendiri
karena jiwa menjadi leher yang tercekik
dan menjadi kapal di tengah badai lautan

Itu karena jiwa tertipu oleh ilusi
Seakan yang bertumbuh dan hati dalam keutuhannya
ada dalam kemauannya
ada dalam genggamannya

Ketika pusat hidupku menjadi kain yang ternoda,
hatinya mendamba pulang kembali ke rumahnya
Pada saat itulah Sang Ada melalui gereja-Nya
memberikan jalan pembebasan dari jerat

Melalui sakramen tobat
diakuinyalah kelemahan kita
Melalui sakramen tobat
dimaklumkanlah uluran air pelepas dahaga-Nya

Ketika jiwa saling berpelukan
ia menjadi lahir kembali
yang siap hati dibakar oleh api-Nya dan membasuh kaki yang lain
memang itulah yang menjadi citra dirinya

(FCW, Roma 10 Oktober 2004)