Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

9 Jun 2017

Dengan Iman Kristiani, Cermat dalam Mengolah Isu Sara

Dengan Iman Kristiani, Cermat dalam Mengolah Isu Sara


Palu hakim telah diketuk dengan vonis 2 tahun penjara untuk Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Namun drama itu belum berakhir. Di berbagai kota di Indonesia muncul aksi lanjutan sebagai bentuk ekspresi masyarakat terhadap putusan atas Ahok. Kekhawatiran munculnya efek domino negatif di berbagai daerah seperti bom waktu yang siap meledak kapan pun. Akar rumput yang tidak kasat mata sudah mulai menimbulkan riak dan benih-benih konflik yang tidak bisa dianggap sepele. Apalagi dengan mudahnya akses media sosial dan informasi rawan untuk dijadikan alat provokasi. Tidak terkecuali di Kota Singkawang.

Lalu bagaimana pandangan Kristiani akan hal ini? Tanpa kita sadari ternyata kasus Ahok yang keberadaannya ribuan kilometer dari sini secara perlahan namun pasti mengangkat sentimen kita. Membuat kita ingin berpendapat dan tanpa disadari kita melakukannya. Bahkan kita mengadopsinya dalam lingkungan gereja. Apa yang dirasakan oleh Ahok seperti mewakili perasaan umat Kristiani di Indonesia. Dianggap kafir, minoritas dan menistakan agama yang notabene mayoritas. Tuduhan berlabel Suku Agama Ras dan Antorgolongan (SARA) disematkan padanya. Lalu perlukah dukungan gereja dan umat Kristen terhadap Ahok? 

Ketika kata ‘kafir’ yang memang ada di dalam kitab suci agama Islam diangkat di ranah publik kemudian diucapkan berkali-kali dan terus menerus, tentu saja melukai perasaan umat dengan agama yang berbeda. Begitu pula dengan kata ‘minoritas’ dan ‘mayoritas’. Saya sendiri merasa tidak ada kata ‘minoritas’ dan ‘mayoritas’ di negara ini. Sebab sejak dahulu sampai sekarang negara Indonesia terbentuk karena keberagaman, bukan karena ‘siapa yang lebih banyak’. Setiap orang dilindungi hak-hak hidup dan berpolitiknya. 

Semua orang mungkin tahu kalau Pilkada DKI telah dieksploitasi menjadi isu SARA demi keuntungan segelintir orang. Berdampak pada Gerakan Bela Islam hingga berjilid-jilid meminta Ahok dihukum. Lalu muncul pertanyaan perlukah ada dukungan khusus  buat Ahok sebagai penyeimbang Gerakan Bela Islam tersebut dari umat Kristiani?

Menurut saya, Gereja tidak perlu terpancing dalam polarisasi dukung mendukung. Tidak perlu melakukan aksi dan mengeluarkan pernyataan yang justru akan memunculkan masalah baru dan berakibat pada perpecahan di Singkawang. Mungkin kita perlu membuka lagi Tri Kerukunan Umat Beragama yang telah lama terlupakan dan menghayatinya kembali.

Sentimen-sentimen balasan akan aksi lilin yang marak diberbagai kota mulai sedikit terasa. Tentu saja pada akhirnya sayup terdengar kalimat minor yang dapat berubah menjadi pemicu aksi provokasi. Saat ini bangsa kita seperti sedang dirongrong menjelang seabad berdirinya Negeri Rayuan Pulau Kelapa. Terorisme dan aksi separatis tidak ada habisnya, korupsi merajarela dan narkoba menyebabkan kondisi negara darurat. Kenapa tidak berbuat sesuatu yang lebih bermanfaat untuk semua daripada hanya mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan. Kalau kita ingat bagaimana negeri kita didirikan dengan darah nenek moyang kita sendiri, lalu apa harus kita hancurkan dengan perang saudara yang juga meneteskan darah kita dan keturunan kita? 

Seharusnya kita sudahi segala aksi tolak menolak dan dukung mendukung dengan kekerasan. Kita dapat menyelesaikan semuanya dengan musyawarah. Saling mendinginkan satu dengan yang lain. Palu telah diketuk, putusan telah dibacakan dan lilin-lilin sebagai gambaran ekspresi telah dinyalakan. Saatnya bersih-bersih dan kembali jaga keutuhan dan keberagaman.    

Gereja memandang bahwa bisa saja sikap dukung mendukung akan mudah dipolitisasi pihak lain dengan kekuatan media sosial lalu dibelokkan sesuai kepentingan kelompok tertentu yang tidak ingin Indonesia maju. Gereja harus lebih tenang, objektif, dan perbanyak jaringan dengan kelompok agama lain dan komunitas lain yang memiliki visi misi sama dalam menguatkan keutuhan NKRI.

Kita bisa memulainya dari diri kita sendiri. Tidak menjadi kelompok atau pribadi eksklusif yang tertutup dengan orang lain yang berbeda, tapi jadilah inklusif dan membangun jejaring sebanyak mungkin. Umat Kristen tidak perlu ikut-ikutan ke jalan, cukuplah kita berdoa. Kalau berdoa masuklah dalam kamar. Sejenak kita perlu diam dan hening supaya dapat menemukan yang sejati, pokok, inti dalam hidup dengan kepedulian dan kesederhanaan.

Menilik ke belakang, dalam beberapa kasus Gereja sering terbawa arus, terbawa isu SARA. Sebab itu Gereja sebaiknya tidak menghangatkan isu SARA, apalagi ikut merespon atau membalas media sosial yang tujuannya tidak baik dan melakukan aksi-aksi yang provokatif. Sebagai umat Gereja yang diajarkan untuk mengasihi dan mengampuni sesama, penting bagi kita menjaga netralitas ke-nabi-an Gereja bagi perkembangan demokrasi nasional. 

Semoga dengan netralitas Gereja kita tidak perlu masuk dalam ranah politik praktis dan mencampurnya dengan kehidupan gerejawi. Mari bersama kita jaga keutuhan dan kesatuan NKRI dengan kebhinekaan yang menjadi ciri khas kita dan toleransi antar umat beragama dalam iman Kristiani. (Sabar Panggabean)

7 Jun 2017

BERBICARA PADA HENINGMU

BERBICARA PADA HENINGMU




Di atas hamparan bukit kecil dengan segala sunyinya
Basah dingin curam membaca
Setiap syair bermekar kuntum
Tetaplah mekar

Berjalanlah sampai pagi menyentuh heningmu
Kan selalu ada puisi yang menemani dirimu

Di balik bulan purnama terdapat kawanan bintang
Pejamkanlah matamu
Rasakan dengan hatimu
Rasakan hangatnya setiap kedip cahaya
Semua perwujudan cinta

Hati yang luas bagaikan langit
Masalah hadir bagai halilintar
Mampukah kilatan itu meninggalkan luka pada dada langit?

Waktu bagaikan tamu
Setelah lewat dia tak akan kembali
Tertinggal hanyalah memori

Hati sekuntum mawar
Merawat luka seperti menyentuh duri ditangkai bunga
Sentuhlah dengan lembut dan hati-hati
Maka tak akan ada yang terlukai

Ingatlah
Bahwa kita mampu merawat luka dengan sabar
Maka luka akan terobati

Dengan satu kalimat yang indah Gibran sang Penyair  Lebanon pernah menuliskan;
"Semakin dalam kesedihan menggoreskan luka ke dalam jiwa, semakin mampu sang jiwa menampung kebahagiaan"

Aku tidak dapat menjelmakan kalimat yang indah
Seperti yang kamu minta pada pujangga
Namun satu bait ingin aku titipkan di bukit sunyimu yang teduh

Pahamilah duka seperti memahami suka
Usaplah kesedihan serupa dengan membelai kesenangan
Terimalah kehidupan secara utuh
Inilah kebahagiaan.


(Goresan Pena : Herry Kusuma)


















Sakramen Tobat

Sakramen Tobat




Ketika pusat hidupku menjadi kain yang ternoda
karena buah apel yang tersaji,
pusat diriku menjadi asing dengan dirinya sendiri
karena jiwa menjadi leher yang tercekik
dan menjadi kapal di tengah badai lautan

Itu karena jiwa tertipu oleh ilusi
Seakan yang bertumbuh dan hati dalam keutuhannya
ada dalam kemauannya
ada dalam genggamannya

Ketika pusat hidupku menjadi kain yang ternoda,
hatinya mendamba pulang kembali ke rumahnya
Pada saat itulah Sang Ada melalui gereja-Nya
memberikan jalan pembebasan dari jerat

Melalui sakramen tobat
diakuinyalah kelemahan kita
Melalui sakramen tobat
dimaklumkanlah uluran air pelepas dahaga-Nya

Ketika jiwa saling berpelukan
ia menjadi lahir kembali
yang siap hati dibakar oleh api-Nya dan membasuh kaki yang lain
memang itulah yang menjadi citra dirinya

(FCW, Roma 10 Oktober 2004)

Doa Salam Maria dan Komentarnya

Doa Salam Maria dan Komentarnya




Jangan katakan : Salam Maria, jika engkau dalam hidupmu tidak pernah sungguh menghormatinya.
Jangan katakan : Penuh rahmat, jika engkau sendiri terus bertegar hati dalam dosa-dosamu.
Jangan katakan : Tuhan sertamu, jika engkau hanya memikirkan dirimu sendiri.
Jangan katakan : Terpujilah engkau di antara wanita, jika engkau suka melecehkan kaumnya.
Jangan katakan : Terpujilah buah tubuhmu, Yesus, jika engkau tidak sungguh mengikuti jejak Yesus, puteranya.
Jangan katakan : Santa Maria, jika cara hidupmu sungguh tercela.
Jangan katakan : Bunda Allah, jika engkau tidak mau menempatkan dirimu sebagai anaknya.
Jangan katakan : Doakanlah kami yang berdosa ini, jika engkau tidak pernah mau berdoa bersamanya.
Jangan katakan : Sekarang dan waktu kami mati, jika selama hidupmu engkau memang tidak sungguh bertobat.
Jangan katakan : Amin, jika engkau tidak serius berdoa “Salam Maria”

                    (Sang Musafir, 12 Maret 2001)

Baju Baru Nayla

Baju Baru Nayla

“Nayla....!” panggil ibu dari dapur, bergegas ia keluar dari kamarnya menuju dapur. ”Belikan ibu garam di warung ya, itu uangnya” ucap ibu. Nayla segera mengambil uang itu lalu pergi ke warung. Setelah membeli garam ia berjalan sangat lambat sambil memikirkan percakapannya dengan teman-temannya tadi di sekolah. Semua temannya sudah membeli baju baru untuk hari raya Paskah sedangkan dia masih belum memilikinya. Ia tahu bahwa ibunya sedang sibuk sekali karena pada hari Paskah ini semua keluarga besar akan berkumpul di rumahnya.

Sesampainya di rumah Nayla langsung menuju ke dapur, sambil meletakkan garam di meja Nayla pun bertanya “Bu... aku mau beli baju baru. Teman-temanku saja sudah membeli baju baru,” sambil melihat Nayla ibu berkata ”Nay, maaf ibu belum sempat setiap pagi ibu harus merapikan rumah, kamu tahukan nanti keluarga besar kita akan berkumpul di sini, jadi tunda dulu ya beli bajunya,” ucap ibu Nayla. 

Nayla pun kembali ke kamarnya, jam sudah menunjukkan pukul 1 siang tapi masih saja Nayla memikirkan baju barunya, perkataan teman-temannya masih saja bergema di kepala Nayla. Tiba-tiba telepon rumah berdering, kring...kring... segeralah Nayla beranjak dari kamarnya menuju telepon rumah yang berada di ruang keluarga. Segera Nayla mengangkat telepon itu. 

“Selamat siang” ucap si penelpon dengan ramah. Nayla pun menjawab “Selamat siang ini siapa ya?” 

”Ini Ibu Rika, ibu guru Sekolah Minggu” ucap si penelpon lagi, 

“Ooo... Ibu Rika mau bicara dengan siapa, Bu” ucap Nayla ramah. 

Maka si penelpon menjawab ”Saya mau bicara sama nak Nayla” 

”Iya ini saya sendiri, ada apa, Bu ada yang bisa saya bantu?” 

Maka si penelpon pun menjelaskan maksud menelpon Nayla. 

”Begini nak Nayla ibu perlu bantuan mu. Untuk menjadi MC di acara Paskah anak-anak nanti, maukah Nayla membantu Ibu?”

”Tentu, Bu, kapan latihannya?” tanya Nayla lagi. 

Bu Rika menjawab ”sore ini nak pukul 15.00 di gereja ya. Nanti kamu akan menjadi MC bersama Tata”

”Ooo....siap, Bu”, ucap Nayla mantap. 

”Baiklah, Nak itu saja yang ingin ibu sampaikan. Sudah dulu ya. Sampai bertemu di gereja.” 

“Iya, Bu” ucap Nayla mengakhiri telepon.

Nayla seakan-akan lupa tentang baju baru. Sekarang sudah menunjukan pukul 14.00, aku harus siap-siap ujar Nayla dalam hati. Dia segera berganti pakaian lalu menyiapkan bekal minum yang akan dia bawa. Setelah itu dia langsung menuju ke dapur tempat di mana ibu dari tadi  sibuk mengiris sayur dan daging. Nayla pun berkata,

”Bu... tadi, Bu Rika telepon, beliau meminta bantuanku untuk menjadi mc di acara paskah anak-anak nanti. Antar aku latihan ya Bu, di Gereja” ujar Nayla. Ibu pun menjawab ”Nay..., bukan ibu tak mau mengantarmu tapi lihatlah ibu masih harus berkemas-kemas, jadi kamu naik sepeda aja ya, kan dekat” ujar ibu menjawab. Nayla pun berkata ”Ya, sudah kalau begitu Nayla pamit, ya Bu” sambil menyalami ibu. Nayla pun segera berangkat ke gereja dengan mengayuh sepedanya.

Sesampainya di gereja dia langsung di sambut oleh Bu Rika dan juga Suster pembimbing Sekolah Minggu, serta teman-teman Sekolah Minggu yang lain. Mereka tidak membuang waktu. Mereka langsung latihan. Waktu terus berjalan, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 maka berakhirlah latihan menjadi mc untuk hari ini. Tata teman sekolah minggu Nayla memperlihatkan baju barunya lewat foto yang ada di smartphone-nya dengan bangga.  Tata pun dijemput maka sekarang Nayla lah yang harus pulang. Tapi ternyata ia masih duduk melamun di bawah pohon rindang di halaman gereja. Pastor yang bingung melihat tingkah Nayla yang tak seperti biasa pun menyapa Nayla 

”Selamat sore Nayla, kenapa kok murung gak kayak biasanya?” ucap pastor dengan ramah. 

Nayla yang baru menyadari bahwa sedari tadi ada pastor yang menyapanya pun terkejut 

”Eeeh pastor...maaf, tapi Nayla gk ada mikir apa-apa kok” ucap Nayla menyangkal 

”Ayo jangan bohong keliatan tahu kalau anak Tuhan sedang bohong. Ayo cerita, siapa tau pastor bisa membantu” ucap pastor sambil bercanda dan mencairkan suasana.

Nayla pun menjawab 

”Begini Pastor, sebentar lagikan hari raya Paskah, apalagi besok sudah memasuki Tri Hari Suci, tapi Nayla belum membeli baju baru sedangkan teman-teman saja sudah pada beli. Mama sedang sibuk beres-beres rumah sedangkan papa sibuk bekerja, yah bagaimana dengan baju baruku?” ucap Nayla sambil menghela napas panjang. 

Sekarang pastor mengerti kenapa Nayla murung. Maka pastor pun berkata,
”Tidak semua orang bisa bahagia seperti Nayla mereka tidak mungkin punya baju baru, bahkan untuk makan sehari-hari pun susah. Tapi lihatlah mereka bahkan bisa tertawa bahagia, karna apa? karna mereka tahu Tuhan selalu mendampingi mereka dalam keadaan apapun dan bagaimanapun. Tuhan rela mengorbankan nyawanya untuk menebus semua dosa manusia. Jadi syukurilah apa yang sudah kamu miliki Nayla” ucap pastor dengan lembut.

Segera Nayla berpamitan dengan pastor lalu pulang kerumahnya ia merasakan bahwa dia sudah benar-benar puas akan apa yang sudah dia miliki. Sesampainya di rumah Nayla langsung mandi dan belajar di kamar, tiba-tiba ibu mengetuk pintu kamar Nayla. 

”Ya” ucap Nayla.  

”Boleh ibu masuk, Nak?”

”Tentu, Bu” Nayla menjawab 

“Nak maaf ya ibu belum sempat membelikanmu baju baru, ibu sangat sibuk jadi susah cari waktu untuk belanja,” ucap ibu mengawali pembicaraan 

”Tak mengapa, Bu, bukan baju baru yang penting untuk menyambut hari Paskah tapi hati yang penuh suka cita karena Tuhan Yesus bangkit di antara orang-orang yang mati untuk menyelamatkan kita semua” ucap Nayla mantap. 

Ibu sangat bangga mendengar jawaban Nayla, ibu pun memeluk Nayla dengan bahagia.

By. Georgia Laura Viwanda.

Sejarah Doa Perlindungan ‘SATOR AREPO TENET OPERA ROTAS’

Sejarah Doa Perlindungan ‘SATOR AREPO TENET OPERA ROTAS’


Doa ini semacam palindrom (sebuah kata, frasa, angka maupun susunan lainnya yang dapat dibaca dengan sama baik dari depan maupun belakang). 

Kata ‘palindrom berasal dari bahasa Yunani: palin (‘balik’) dan dromos (‘pacuan kuda’).
Menurut buku Mother Tongue: English & How It Got That Way (hal. 227): “Palindrom berumur setidaknya 2.000 tahun."

Palindrom Latin Sator Arepo Tenet Opera Rotas sangat unik karena ia akan mengulang kalimatnya lagi jika kita membentuk kata dari huruf pertama setiap kata kemudian disambung dengan huruf kedua setiap kata, dan seterusnya. Karena itu ia juga dapat disusun dalam sebuah kotak yang dapat dibaca secara vertikal maupun horisontal:

Palindrom ada dalam banyak bahasa-bahasa Barat, terutamanya di bahasa Inggris. Meskipun begitu, gelar ‘bahasa palindrom’ jatuh pada bahasa Finlandia.
Selain itu, palindrom juga ada dalam bahasa-bahasa non-Barat, contohnya bahasa Jepang, bahasa Tionghoa dan bahasa Korea.

Lebih lanjut, doa ini mulai dikenal luas dengan berlatar belakang peristiwa Perang Dunia I, di mana terdapat seorang pemuda atheis yang mengikuti wajib militer sedang diliputi rasa takut yang luar biasa ketika ia akan diberangkatkan menuju medan perang. 

Di tengah gejolak rasa takutnya, ia bertemu dengan seorang pastor yang memberikan nasihat kepadanya agar ia tidak risau dan takut, seraya mengajarkan suatu doa singkat yang mudah untuk diingat dan dihafalkan apabila diucapkan secara berulang-ulang. Pastor tersebut berpesan kepada pemuda itu agar selalu melafalkan doa tersebut setiap saat dalam bahasa aslinya (Latin) supaya ia dapat selamat dari segala mara bahaya. 

Pemuda itu meyakini apa yang dinasehatkan oleh pastor tersebut serta mendoakannya berulang-ulang sekalipun tidak mengerti akan arti doa tersebut. Dalam suatu pertempuran yang besar, seluruh anggota pasukan pemuda tersebut gugur dalam pertempuran, namun hanya pemuda atheis itu sendiri yang selamat dari gempuran pasukan musuhnya. Karena doa ini, pemuda tersebut bertobat, dan menyebarkannya sebagai doa perlindungan.

Arti Doa
Sator: Bapa.
Arepo: Tempat perlindungan.
Tenet: Memelihara.
Opera: Mempersembahkan sepenuh hati.
Rotas: Nasib / Perputaran Hidup.
Apa makna dari doa tersebut?

 Dari pihak Tuhan, bermakna:
"Bapa tempat perlindunganku, yang memelihara hidupku dengan segenap hati-Nya"
Dari pihak manusia, bermakna:
"Aku mempersembahkan seluruh hidupku dengan sepenuh hatiku kepada Bapa yang menjadi tempat perlindunganku" 

Bagaimana cara menggunakan doa tersebut?
Doa ini adalah doa yang tak kunjung putus, karena doa ini dapat dibaca dari segala penjuru dengan makna yang sama (baca dari kanan ke kiri; atas ke bawah; kiri ke kanan; bawah ke atas).
Ini adalah doa sederhana yang mempunyai kekuatan besar. Doa ini biasanya diucapkan secara berulang-ulang/terus-menerus hingga dirasakan cukup (dapat diucapkan secara bersuara ataupun hanya bersuara dalam batin), melafalkan doa versi latin ataupun versi Indonesia, yang penting menyentuh kedalaman makna yang dipanjatkan kepada Tuhan. Doa ini juga boleh dilakukan dengan ataupun tanpa memegang medali doa atau salib di dada, maka Allah Bapa akan berperan serta secara penuh dalam hidup kita. (Disadur dari berbagai sumber (Google)


.

5 Jun 2017

23 Tahun Imamat; 10 Tempat Menggembala Umat

23 Tahun Imamat; 10 Tempat Menggembala Umat


Jika tak mengenal pribadinya, jika sekilas saja awam memandangnya, maka kesan pertama yang akan muncul darinya adalah sosok seorang pengusaha. Dengan kulit yang putih bersih dan tampilan demikian rapi rasanya tak berlebihan andaikata banyak yang terkecoh. 

Pribadinya dinamis, antusias, dan sangat cermat memperhatikan lawan bicara. Setidaknya itulah kesan yang saya tangkap manakala berhadapan dengan pria yang sudah menghayati kehidupan imamatnya selama 23 tahun. Siang itu di tengah riuhnya derai tawa dan canda para biarawan region Singkawang dan sekitarnya berkumpul di pastoran Singkawang, ia adalah salah seorang di antaranya. Saat itu saya sengaja singgah ke pastoran guna mengembalikan diska lepas pada pastor paroki yang beberapa hari sebelumnya diserahkan kepada saya guna menyetorkan artikel yang akan dimuat di buletin. Pada kesempatan itu juga saya sempat menanyakan pada pastor paroki siapa kiranya sosok yang akan dikupas profilnya pada buletin edisi yang akan datang. Entah mengapa, saya dan pastor paroki semacam tak sengaja bersepakat mengarahkan pandangan pada sosoknya. Ia yang siang itu mengenakan kemeja merah memang tampak mencolok di antara pastor-pastor lainnya. Serta merta pada kesempatan itu juga saya ‘melamar’ kesediaannya untuk menjadi sosok yang akan diangkat dalam Rubrik Sosok Likes edisi 13. Bukan tanpa alasan saya menyematkan kesan dinamis, antusias, dan cermat padanya, karena di siang itu juga ‘lamaran’ saya diterima dengan sangat terbuka, nada suara ringan, dan tak bertele-tele.

Temu janji dilakukan. Di tengah kesibukannya memimpin persekolahan ia tetap memberikan saya ruang dan kesempatan. Ketukan pada pintu saya daratkan. Tak lama, pintu dibukakan langsung oleh sosok yang saya tuju. Dengan ramah saya disilakan menuju ruang makan yang cukup teduh dan luas. Diiringi tembang-tembang rohani yang mengalun lembut, saya memulai pembicaraan.

Jujur ketika menghadapi beliau hampir semua daftar pertanyaan yang sudah saya susun sebelumnya menjadi berantakan. Pertanyaan-pertanyaan saya yang sungguh awam terhadap posisi beliau membuat wawancara sedikit mengalami kekacauan. Sepertinya beliau menangkap kebingungan saya, namun dengan kebijakan dan keramahtamahan beliau, obrolan tetap mengalir ringan.   

Terlahir di Ketori, 53 tahun silam tepatnya 20 April 1964, ia sulung dari tujuh bersaudara. Dengan penuh semangat dan bangga ia menuturkan bahwa ayahnya adalah seorang katekis yang banyak meng-Katolikkan orang dan seringkali memimpin ibadat pernikahan. Melalui jalan katekis itu juga yang membuatnya berdiri begitu rapat dan erat dengan panggilan imamat. Heri kecil tak dapat menyangkal keterpesonaannya terhadap jubah para imam yang ketika turne seringkali menginap di rumah orang tuanya. Baginya jubah yang dikenakan oleh para imam sangat sakral. Sungguh berbeda dan istimewa, tak semua awam bisa mengenakannya. Ada penggalan kenangan jenaka dituturkannya berkenaan dengan denyar panggilan imamat yang sejak usia dini sudah didengarnya, “Sejak kecil saya sudah sering bermain misa-misaan. Umatnya adik saya, pastornya saya. Lalu saya memakai pakaian ibu yang diandaikan sebagai jubah, dan irisan pisang sebagai hostinya,” ujarnya dengan sudut mata menyipit menandakan ada suatu dimensi waktu di masa lalu yang menyambangi ingatan dan perasaannya sekaligus menimbulkan efek bahagia ketika dikenang. 

Masih berkait dengan panggilannya sebagai imam, ia juga sempat menuturkan bahwasanya semasa masih berusia remaja nanggung ia berkuat hendak menempuh kehidupan sebagai gembala karena dalam angannya seorang imam tak perlu menempuh pendidikan yang melibatkan ilmu yang beragam, matematika dan lain sebagainya. Pendek kata ia berpikir bahwa untuk ditahbiskan menjadi pastor ilmu yang dikuasai hanya ilmu pastor. Tergelak saya mendengar kisah yang disampaikannya dan membuat saya berujar, “Padahal untuk menjadi pastor jauh lebih berat ya, minimal harus bergelut dengan filsafat yang begitu berat, dan teologi yang juga tidak bisa serta merta langsung dipahami.” 

Kisah lain yang tak kalah mewarnai keragu-raguannya dalam memulai langkah pastoral adalah pengalaman yang sempat menciutkan hatinya berkenaan dengan tarik suara. Terdengar agak ajaib memang jika Heri kecil sempat berpikir untuk mengurungkan niatnya menjadi imam karena ia merasa tak pandai menyanyi. Pengalaman ketika kecil memiliki dan berhadapan dengan pastor asal Swiss yang jago bernyanyi membuatnya berpikir untuk menjadi seorang pastor haruslah sosok yang pandai bernyanyi. Akhirnya semakin bertambah usia, pengetahuannya semakin terang benderang, bahwasanya pandai menyanyi bukanlah salah satu tuntutan untuk menjadi pastor.
 
Bicara soal penempatan tugasnya sebagai imam, pria berkacamata silinder ini bercerita banyak dan sangat runtut. Ia masih kuat mengingat berbagai kejadian monumental yang akhirnya membentuk jejak-jejak tak terlupakan dalam kenangan. Sekelumit kisah yang sebenarnya membekas bahkan mengundang traumatik ia tuturkan. Ibarat kata, lukanya memang sudah sembuh, namun bekasnya masih terasa bila diraba. Ya, beliau sempat beberapa waktu merasakan enggan ketika hendak dikirim pulang ke tempat awal menggembala usai ia ditahbiskan. Seperti yang disampaikannya ketika awal kehidupan menggembala ia ditempatkan di persekolahan Nyarumkop dan bertugas sebagai salah satu pengajar. Dalam kurun waktu singkat berbagai kejadian silih berganti menempa kematangan emosionalnya. Hal terberat yang menggusarkan mata batinnya adalah ketika sudah dengan sepenuh jiwa ia mengusahakan untuk berkarya, namun ada saja pihak yang tak membaca perjuangannya sebagai sesuatu daya yang bertujuan membentuk karakter anak menjadi lebih mulia. “Kita sudah memberikan waktu siang malam tetapi itu yang kira terima, umpatan, makian. Tapi saya menyadari bahwa itu semua adalah bagian dari pelayanan,” tegasnya. Ya, ia yang kini duduk di hadapan saya telah berhasil melewati masa-masa pendewasaan itu. Sesuai dengan kutipan Pram, “Bila akar dan batang sudah cukup kuat dan dewasa, dia akan dikuatkan oleh taufan dan badai.” (Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah)
 
Tercatat sepanjang karir kegembalaan, ia telah berpindah ke berbagai tempat pelayanan sebanyak sepuluh kali. Menyikapi hal itu pemilik nama lengkap Heribertus Samuel, OFMCap., ini selalu memegang prinsip di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. “Suasana tempat tugas di mana-mana pasti berbeda. Pertama dan menjadi kunci utama kita harus merasa at home. Harus cepat beradaptasi dengan pekerjaan dan lingkungan, dengan demikian kita dapat bekerja dengan baik. Sepuluh kali pindah saya tidak merasa terikat dengan satu tempat. Pindah ya pindah. Contoh ketika propinsial menelepon memindahkan saya. Tidak harus bertemu langsung tapi by phone, oh bisa  pindah ke mana saja ok.” Baginya hal yang bisa dipermudah tidak perlu dipersulit. “Pimpinan tentunya  sudah menimbang dan mendiskusikan kemanapun saya ditempatkan,” lanjutnya. Dalam batin saya menggumam, betapa patuh dan taatnya ia pada panggilan pelayanannya. Tak berhenti sampai di situ kekaguman saya menyeruak terhadap sosoknya karena di sela-sela obrolan kami, ia sempat menceritakan kesukaannya bercocok tanam dan memelihara hewan ternak. Rasanya tak terbayang jika sosok rapi dan bersih yang sedang duduk di hadapan saya bersedia membersihkan kandang dan berbagai jenis kotoran hewan. Namun itulah yang terjadi. Dari jagung hingga sayur, dari ayam sampai marmut tak lepas dari sentuhan tangan dinginnya. Baginya, menghayati bekerja adalah sebagai bagian dari hidup. “Homo laboran, salah satu identitas manusia. Jika manusia malas dia bukan manusia. Malas yang betul-betul malas, ya. Bagi saya segala pekerjaan adalah relatif. 

Dasarnya saya tidak memilih kerja. Dari memungut sampah, bersih-bersih lingkungan, berkebun, bakar sampah dan itu biasa saya lakukan, hampir setiap hari. Nanti sore penampilan saya akan lain. Saya bekerja memakai kaos, sepatu boot untuk berkebun, akan lain dengan yang sekarang,” paparnya. Saya berdecak. Sungguh, rasanya masih sulit membayangkan ia yang demikian rapi tiba-tiba harus bergelut dengan sampah atau mencangkul tanah.


Ketika iseng saya bertanya di mana tempat bertugas paling istimewa, maka dengan gamblang ia menuturkan bahwa semua tempat tugas baginya masing-masing memiliki keistimewaannya. “Jakarta tidak bisa disamakan dengan Pontianak, apalagi Nyarumkop. Untuk kenyamanan yang terpenting kita cepat merasa at home sehingga kita tidak lagi memikirkan yang sudah lewat. Ada kenyamanan dan sebagainya, itu kan ekstra, yang sudah lewat ya sudah di awang-awang, tempat tugas terbaru kita dan di mana kita berada saat ini adalah yang  real. Memang tidak selalu gampang ketika pindah, tapi ini perutusan dari kongergasi utk melayani. Karena itu saya selalu bersyukur diminta untuk bertugas sana-sini, membuat pengalaman kita lebih beragam. Setiap pengalaman relatif namun dasar pelayanan adalah prinsip ketaatan untuk gereja,” imbuhnya.
 
Meski ia berdarah asli tanah Borneo, namun putera dari almarhum Bapak Alfonsus Agen dan almarhumah Ibu Bernadeta Deta ini sama sekali tak keberatan dipanggil dengan sebutan Romo, sebutan bagi umumnya gembala di tanah Jawa. Hal ini berkait erat dengan pengalamannya menggembala umat di ibu kota. Tercatat dua kali ia ditempatkan di pulau Jawa dan dalam kurun waktu itu juga ia merasakan berkat yang sungguh pekat dalam kehidupan imamat. Setidaknya dataran Eropa baik timur maupun barat telah dijelajahinya, beberapa negara di Asia telah disambanginya, dan berbagai pengalaman tak biasa telah  dirasakannya, termasuk pengalaman berakting dalam sinema elektronika mini bertajuk rohani. Ya, semua hal itu sangat disyukurinya sebagai buah dari kehidupan menggembala.

Ditanya soal perspektif memandang dunia pendidikan yang kini dibawahinya dan relevansi dengan kondisi saat ini, dengan lugas ia bertutur, “Pendidikan sangat penting karena pendidikan membuka wawasan pikiran. Sesuai dengan moto pendidikan di sini, Non schole sed vitae discimus, kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup. Dengan sekolah orang membuka pikiran, dan tentu dengan pikiran yang terbuka kesuksesan dalam hidup dapat diraih. Untuk suasana real di lapangan sendiri zaman dulu jauh berbeda dengan sekarang. Sekarang terasa semangat studi sangat lemah padahal sekarang kompetitifnya lebih susah. Setiap hari ada kasus. Ada sifat melawan dari anak, cuek, menyukai hal-hal praktis. Memang tidak semua siswa bersikap seperti itu, tapi yang sedikit itu bisa memengaruhi yang lain karna itu masalah ketika hidup dalam lingkungan sosial. Tapi itulah tantangan. Tapi bisa kita lihat hasilnya, tamatan dari Nyarumkop akan lain karena mereka tinggal di asrama” ujarnya mantab.

Disoal mengenai harapan ke depan tentang dunia yang kini dalam asuhannya, ia menyatakan sangat memendam asa bahwa Persekolahan Katolik Nyarumkop dapat lebih eksis dan mampu bersaing dengan sekolah lain. Selain itu pendidikan tidak berjalan sepihak dalam artian antara pendidik, yang dididik, dan pihak keluarga dapat kooperatif dalam membentuk manusia berkarakter mulia. 

Kini ia berada nun di timur Kota Amoy, bertenang diri dan mengabdi sebagai pemimpin umum Persekolahan Katolik Nyarumkop. Menjamin keberlangsungan segala hal yang berkait dengan pendidikan di persekolahan yang berdiri lebih dari seabad yang lalu tetap berjalan dengan baik dari jenjang Taman Kanak hingga Topang. Selamat bertugas, Romo. Semoga selalu sehat dan bersemangat dalam panggilan imamat dan dalam tugas-tugas berat. (Hes)

Riwayat Pendidikan 

SDN Ketori (1973 - 1979)
SMP Gunung Bengkawan (1979 - 1981)
SMA Seminari Santo Paulus Nyarumkop (1981 - 1984)
Tahun Persiapan/Retorika, Pematang Siantar (1984 - 1985)
Novisiat Parapat (1985 - 1986)
STFT St Yohanes (1987 - 1991)
Tahun Orientasi Panggilan, Menjalin (1991 - 1992)
STFT St Yohanes (1992 - 1994)

Kegembalaan

Tahbisan Imam 20 Oktober1994 di Laverna, Sanggau.
Ngabang (1994)
Nyarumkop (1995 - 1997)
Paroki Tebet, Jakarta (1997 - 1999)
Postulat Sanggau (1999 - 2003)
Pos Novisiat Singkawang (2003 - 2004)
Tirta Ria, Pontianak (2004)
Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (2004 - 2007)
Paroki Tebet, Jakarta (2007 - 2012)
Biara San Lorenzo, Pontianak (2012 - 2016)
Pimpinan Umum Persekolahan Katolik Nyarumkop (2016 - sekarang)