Gereja Katolik St. Fransiskus Assisi Singkawang
Jl. P. Diponegoro No. 1 Singkawang
15 Apr 2017
JADWAL PEKAN SUCI DAN HARI RAYA PASKAH 2017 DI PAROKI SINGKAWANG
1. Minggu Palma
a. Sabtu, 8 April 2017. Pukul: 18.00 WIB. Imam: Pastor Gathot, OFMCap (Bahasa Mandarin)
b. Minggu, 9 April 2017. Pukul: 06.00 WIB. Imam: Pastor Agus, OFMCap
c. Minggu, 9 April 2017. Pukul: 08.00 WIB. Imam: Pastor Agus, OFMCap
2. Kamis Putih
- Kamis, 13 April 2017. Pukul: 19.00 WIB. Imam: Pastor Yeri, OFMCap
3. Jum`at Agung
a. Jalan salib: jum`at, 14 April 2017. Pukul 07.00 WIB
b. Ibadah Jum`at Agung: jum`at, 14 April 2017. Pukul 15.00 WIB. Imam: Pastor Agus, OFMCap
4. Malam Paskah
a. Sabtu, 15 April 2017. Pukul: 18.00 WIB. Imam: Pastor Gathot, OFMCap (Bahasa Mandarin)
b. Sabtu, 15 April 2017. Pukul: 20.00 WIB. Imam: Pastor Gathot, OFMCap
5. Hari Raya Paskah
a. Minggu, 16 April 2017. Pukul 06.00 WIB. Imam: Pastor Gathot, OFMCap
b. Minggu, 16 April 2017. Pukul 08.00 WIB. Imam: Pastor Gathot, OFMCap
6. Paskah ke 2
- Senin, 17 April 2017. Pukul 08.00 WIB. Imam: Pastor Pasifikus, OFMCap
1 Apr 2017
LOMBA MENULIS SURAT UNTUK SAHABAT
Sabtu, April 01, 2017
No comments
Buat yg punya anak usia remaja sampai dewasa muda blm menikah (OMK)
*ROAD TO*
*ASIAN YOUTH DAY*
Buat Orang Muda Katolik OMK Indonesia dimanapun berada ..ikuti :
*LOMBA MENULIS SURAT UNTUK SAHABAT*
Tema : Multikultur Indonesia - Max. 1000 kata
Email ke :
suratuntuksahabatku@gmail.com
Atau melalui Pos ke :
Komisi Kepemudaan (KOMKEP) KWI
Gedung KWI
Jl. Cikini 2 No. 10
Jakarta Pusat
Keterangan Pos / Subject Email : Surat Untuk Sahabat
Dapatkan Hadiah Jutaan Rupiah & Merchandise
Terimakasih
Naskah diterima paling lambat 22 Mei 2017 cap pos
Pengumuman pemenang 5 Juni 2017
6 Mar 2017
Profil Pastor Jeneripitus, OFMCap.
Jeneripitus, OFMCap.
Motto tahbisan : ”Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.” (Ayub 42:2).
Biodata
Nama: Jeneripitus
Tempat dan tanggal lahir: Daok, 7 Agustus 1985
SDN 2 Milas, tamat 1998
SMP Negeri 1 Parindu, tamat 2001
SMKN 1 Sanggau, tamat 2004
Topang tahun 2006/2007
Postulan tahun 2007/2008
Novisiat Poteng 2008/2009
STFT Pematangsiantar 2009-2013
TOP di Paroki Pahauman 2013-2014
STT Pastor Bonus Pontianak 2014-2016
Riwayat Panggilan
Sejak muda belia, di masa awal remaja, suara panggilan Tuhan saya rasakan mulai kuat menggema di jiwa. Jubah putih bersih membuat hati selalu ingin tahu tentang mereka secara lebih. Tak hanya sampai di situ, kenangan masa kecil tentang ‘Plater’ (sebutan orang-rang di kampung untuk frater) sungguh menawan ingatan saya. Ingatan seorang remaja yang begitu terpesona pada penampilan calon gembala, jubah coklat bertali ikat putih melilit, bersimpul tiga di pinggang. Kala itu usai sembahyang digelar, sosok berjubah coklat yang datang dengan sikap tenang yang sungguh memikat memperkenalkan diri sebagai Kapusin. Betapa jubah coklat nan sederhana itu mampu mencuri perhatian dan membuat penasaran, belum lagi disertai keterangan bahwa kesederhanaan yang diterapkan adalah sebuah ajaran dari sosok yang menjadi suri teladan. Santo Fransiskus Assisi, kesederhanaan namun sarat akan keteladanan dalam kehidupan sungguh mampu membuat saya kukuh bertahan menanggapi panggilan sebagai imam.
Profil Pastor Yosua Boston Sitinjak, OFMCap.
Yosua Boston Sitinjak, OFMCap.
Motto
“Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu”
(1 Petr: 5:7)
Biodata
Nama lahir : Boston Sitinjak
Nama Biara : Yosua Boston Sitinjak, OFMCap.
Tempat/tgl lahir : Pematang Kerasaan/16 Januari 1986
Putra : Pertama dari lima bersaudara
Nama Ayah : Pendi Sitinjak
Nama Ibu : Martauli br. Gultom
Paroki Asal : Kristus Raja - Perdagangan Keuskupan Agung Medan
Kaul Perdana : Pontianak, 1 Agustus 2009
Kaul Kekal : Novisiat Padre Pio - Gunung Poteng, 30 Juli 2015
Tahbisan Diakon : Paroki Salib Suci Ngabang, 27 Agustus 2016
Riwayat Pendididikan
1991 - 1997 : SDN 901631 - Pematang Kerasaaan (Sumut)
1997 - 2000 : SLTP Katolik Abdi Sejati - Perdagangan
2000 - 2003 : SMK Katolik Abdi Sejati - Kerasaan I
2004 - 2007 : KJJ STP IPI Malang
2007 -2008 : Postulat St. Leopold Mandic - Bunut, Sanggau Kapuas
2008 - 2009 : Novisiat St. Padre Pio Gunung Poteng - Singkawang
2009 - 2013 : Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) St Yohanes - Pematang Siantar
2013 - 2014 : Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki St. Perawan Maria Tak Bernoda - Pusat Damai
2014 - 2016 : Sekolah Tinggi Teologi Pastor Bonus - Pontianak
2016 - 2017 : Diakonat di Paroki St. Parawan Maria Diangkat ke Surga Balai Sebut
Riwayat Panggilan
Nun di timur kota Singkawang, awal saya jatuh hati pada kehidupan gembala gerejawi. Pada sebuah rumah Novisiat yang mengenalkan arti sahabat, pada sebuah biara yang mengajarkan makna kehidupan bersaudara dalam hidup bersama. Kembali kekuatan tentang panggilan saya temukan ketika berhadapan dengan para suster (OSCCap) yang selalu menguatkan manakala saya ragu menanggapi panggilan.
Tak berhenti sampai di situ, langkah menuju kehidupan imamat pun terganjal restu. Kedua orang tua tercinta tak serta merta memberikan izinnya mengingat dalam adat Batak Toba, saya adalah putra pertama yang diharapkan meneruskan nama marga dalam keluarga.
Empat tahun menjalani pendidikan tanpa restu di tangan, di tahun kelima masa pendidikan segala kesungguhan akhirnya menuai buah kemenangan. Tekad kuat mengalahkan segala yang menghambat, restu orang tua lantas saya dapat. Satu pesan dari kedua orang tua yang berisi harapan juga restu, “Jangan buat kami malu.”
Setelah hampir sedasawarsa, melalui doa teladan Santo Fransiskus Assisi, Bunda Maria, dukungan orang tua, segenap keluarga, dan para Saudara Kapusin, kini saya melangkah pasti menuju kehidupan imamat gerejawi.
Profil Pastor Aloysius Anong, OFMCap.
Aloysius Anong, OFMCap.
Motto Tahbisan Imam:
“Siapakah Aku ini Tuhan sehingga Engkau memilihku” bdk. (Luk. 1:43)
Biodata
Nama : Aloysius Anong
Tempat/tanggal Lahir : Jernang, 7 November 1982
Ayah : Naning
Ibu : Eva
Bersaudara : Anak pertama dari tiga orang bersaudara
Paroki Asal : St. Yoseph Samalantan, Keuskupan Agung Pontianak
Masuk Postulat : Leopold Mandic, Juli 2007
Masuk Biara/Novisiat : Gunung Poteng, 16 Juli 2008
Kaul Perdana : Paroki St. Agustinus Sei. Raya, 1 Agustus 2009
Kaul Kekal : Novisiat Gunung Poteng, 30 Juli 2015
Tahbisan Diakon : Paroki Salib Suci Ngabang, 27 Agustus 2016
Riwayat Pendidikan
1. SD : SDN 22 Jernang, Desa Godang Damar, (1989-1996)
2. SLTP : SLTPN 1 Samalantan, (1996- 1999)
3. SMU : SMUN 1 Singkawang, (1999- 2002)
4. Data Computer Informatika-Pontianak, (2002-2003)
5. TOPANG (Tahun Orientasi Panggilan) Nyarumkop, (2006-2007)
6. Postulat Kapusin St. Leopold, Bunut Sanggau Kapuas (2007-2008)
7. Novisiat Kapusin Gn. Poteng, Pajintan (2008-2009)
8. Seminari Tinggi (S1) Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Pematangsiantar-Sumatera Utara, (2009-2013)
9. Tahun Orientasi Pastoral (TOP) Komunitas Provinsialat Kapusin dan Rumah Retret St Fransiskus Assisi Tirta Ria Pontianak (2013-2014)
10. Teologi (Post S1) Sekolah Tinggi Teologi Pastor Bonus, Siantan-Pontianak (2014-2016)
11. Masa Diakonat Komunitas Provinsialat Kapusin dan Rumah Retret St. Fransiskus Assisi Tirta Ria Pontianak (2016-2017).
Riwayat Panggilan
Sungguh, tidak ada hal fantastik dan dramatis yang melatari alasan saya menjadi bagian dari calon gembala. Kehidupan masa remaja saya seperti remaja lain pada umumnya. Namun harus saya akui, suara Tuhan adalah denyar paling halus namun berulang yang tidak dapat saya sangkal. Panggilan yang berawal dari kesan mendalam pada slide-slide bisu seabad karya misi Kapusin di Borneo, ditambah secarik kertas berisi tawaran bergabung dengan ordo berciri jubah coklat dengan cingulum putih melingkar di pinggang ini tak serta-merta menemukan kekuatannya. Hingga pada suatu masa, berawal dari celetukan bernada canda untuk menjadi gembala ditanggapi serius oleh pastor paroki di wilayah saya, sejak itu pula permenungan tentang ke mana arah iman lantas menggiring niat serius mengagapi seruan kehidupan menjadi imam. Kala itu ragu masih menjalari setiap sudut kalbu, namun dengan tekad kuat, saya lantas menjawab panggilan imamat. Jalan terjal dan beragam pergulatan harus saya tempuh untuk menjadi ‘kuntum coklat muda’ yang siap mekar, merasul di tengah rimba raya kehidupan. Panggilan itu tumbuh perlahan namun pasti setelah berbagai proses menempanya. Bukan tanpa tantangan meninggalkan hedonisme kehidupan yang kerap berbenturan dengan rasa bosan. Namun dengan berbekal suara hati, pengalaman rohani, studi, juga penguatan dari rekan-rekan biarawan dan biarawati, hari ini saya dapat berdiri di sini untuk menjawab panggilan suci.
3 Mar 2017
AIR YANG SETIA DENGAN WADAHNYA
AIR YANG SETIA DENGAN WADAHNYA
Pada liburan yang lalu, saya bersama siswa kelas XII MIA 1 mengisinya dengan berwisata ke sebuah pegunungan, di sana terbentang pemandangan yang indah, telaga warna. Di daerah yang berhawa dingin tersebut banyak budidaya tanaman sayur mayur khas wilayah daerah pegunungan seperti kubis, wortel, tomat maupun jenis sayuran yang lain tumbuh subur,dan kami kami membuat perkemahan di dekat telaga tersebut.
Perkemahan berlangsung akrab dan sangat menyenangkan.
Para siswa banyak belajar tentang kehidupan masyarakat petani sayur mayur di sana, kegotong-royongan, toleransi maupun cara budidaya sayur mayur maupun tata airnya.
Setelah acara perkemahan selesai para siswa bersepakat pergi ke sungai bersama-sama untuk mencuci tenda di sungai yang mengalir tidak jauh dari wilayah telaga. Mereka sangat senang melihat kebersihan dan kejernihan air yang mengalir di sungai tersebut yang berasal dari telaga itu.
Si Wawan salah seorang siswa, kelihatan merenung dan memperhatikan aliran air sungai tersebut. Dia berpikir dan heran melihat sifat air.
Di sungai, air mengalir mengikuti bentuk lekukan sungai, lalu di telaga tadi air juga juga berbentuk mengikuti bentuk telaga. Kemudian dia mengambil botol minumannya yang telah kosong dan mengisinya dengan air dari sungai tersebut dan ternyata air pun berubah bentuknya mengikuti bentuk botol.
“Oh air, aku betul-betul sangat mengagumi keberadaanmu, segala makhluk mengakui akan perananmu dalam menopang kehidupan makhluk hidup di dunia ini. Namun di lain pihak, aku sangat kecewa denganmu karena kau tidak memiliki jati diri yang teguh,” kata Wawan. Rupanya air di sungai tersebut mendengar ucapan Wawan. Lalu dia bertanya.
“Lalu di mana kelemahanku itu, wahai manusia. Oh ya, namamu siapa? Kita belum berkenalan,” air dalam sungai tersebut bertanya.
Lalu Wawan menjawab, “Namaku Wawan, seorang murid SMA di kota ini. Jadi begini, di tempurung, bentukmu menyerupai tempurung. Di botol, bentukmu seperti botol lalu di telaga di atas sana bentukmu pun menyerupai telaga dan di sini, di sungai ini engkau mengalir seperti kelokan sungai. Apa ini bukan bukti yang nyata bahwa engkau plin-plan, tidak teguh dengan pendirian.
“Karena aku sering berubah bentuk dengan tempatku itu yang kau anggap aku lemah dan tidak mempunyai jati diri, maksudmu?” air bertanya minta penjelasan.
“Benar, itulah buktinya kamu lemah dan tidak mempunyai pendirian,” jawab Wawan.
“Wan, justru di situlah kelebihanku dibandingkan dengan kehidupanmu. Coba bayangkan, bagaimana jadinya kalau aku tetap ngotot bersiteguh dengan salah satu bentuk, sungai ini misalnya, maka kamu dan manusia akan kesulitan membawaku.
Aku berubah bentuk sesuai dengan wadahku bukan berarti aku tidak punya pendirian, tidak punya jati diri, tetapi sebaliknya, karena dengan bersifat seperti ini, aku mudah menyesuaikan diri dengan lingkunganku dan itulah kehebatanku.
Aku tidak pernah menuntut suatu di luar wadahku,” air melanjutkan bicaranya.
“Sebab aku tahu mana hakku. Di antara kalian, seringkali timbul pertengkaran karena kalian sering menuntut hak yang bukan haknya. Bahkan kalian sering menuntut orang lain untuk bisa berubah sesuai dengan kemauanmu, sesuai dengan kehendakmu.”
“Jadi menurutmu, manusia itu akan bahagia kalau tidak merubah lingkungannya?” tanya Wawan.
“Tidak juga, sebab kalian itu makhluk yang selalu berkembang, sehingga tidak mungkin tidak berubah bentuknya, baik secara fisik maupun rohaninya. Kebijaksanaan manusia itu sesungguhnya terletak pada kepandaiannya dalam melihat sesuatu yaitu mana yang dapat diubah dan mana yang dapat berubah. Sebab dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering berdiam diri tatkala ia dituntut untu membawa perubahan yang lebih baik bagi lingkungannya.
Bahkan manusia sering kecewa karena ingin selalu mengubah hal-hal yang tak mungkin diubah. Coba camkan itu,” air mengakhiri pelajarannya.
Wawan sangat memahami dan merasa puas dengan penjelasan air dan dia segera menyusul teman-teman yang lain untuk berkemas dan kembali ke kotanya dengan membawa sebuah tekad dan penyegaran yang menyenangkan untuk membuat lingkungannya menjadi lebih baik. Ada yang bisa diubah dan ada yang tidak perlu diubah.
Singkawang, awal Februari 2017.
Pengalaman Natalku di Stasi Aris
Pengalaman Natalku di Stasi Aris
Hujan lebat yang mengguyur tepat di hari natal membuat nyaliku menjadi ciut. Spontan pikiranku segera melayang ke peristiwa dua bulan sebelumnya. Waktu itu turne-ku ke Stasi Aris terpaksa harus dibatalkan gara-gara hujan yang juga sangat lebat. Aris adalah nama stasi yang paling jauh dari pusat Paroki Singkawang. Selain jauh stasi ini juga mempunyai “nilai plus” karena medan jalannya yang sangat menantang. Penimbunan jalan ke Aris dengan tanah kuning belum rampung dikerjakan. Bisa dibayangkan usai diguyur hujan, medan jalan akan berubah bak arena balapan sepeda motor: penuh lumpur, licin, dan pasti tidak bisa dilalui oleh sepeda motor biasa. Itulah yang membuatku merasa gundah.
Pagi itu, di hari natal kedua kegundahanku makin menjadi-jadi. Sang matahari yang kuharapkan bersinar cerah ternyata malah malu-malu menampakkan dirinya. Dia justru bersembunyi di balik peraduannya. Sebaliknya mendung hitam menggelanyut di langit. Aku sudah siap dengan ransel turne-ku yang selama ini selalu setia menemaniku. Namun ada rasa enggan untuk segera beranjak. Tidak seperti biasanya, kali ini terselip rasa cemas. Doa dengan nada kecewa kusampaikan kepada-Nya, “Tuhan, cobalah tadi malam tidak hujan. Kan hari ini aku harus ke Aris. Bisa-bisa aku batal lagi merayakan hari kelahiran-Mu”. Sepenggal doa itulah yang kupanjatkan sebelum akhirnya kupacu juga sepeda motorku menuju Aris.
Apa yang kubayangkan sebelumnya kini hampir menjadi kenyataan. Di hadapanku terbentang begitu panjang hamparan lumpur tanah kuning. Di beberapa tempat malah tanah itu masih dibiarkan teronggok dan belum diratakan sehingga menghalangi jalan. Aku pun langsung lemas. Di hampir semua ruas jalan kulihat kubangan-kubangan air yang berwarna coklat. Kuperhatikan baik-baik siapa tahu ada bekas ban sepeda motor. Tetapi tak kutemukan. Berarti tidak ada sepeda motor yang melintas di jalan itu. Nyaliku semakin ciut. Kupaksakan melintasi genangan pertama. Astaga, rupanya kedalaman mencapai 20 centimeter. Kedua ban sepeda motorku terbenam dan tidak bergerak sama sekali. Terpaksa aku turun untuk mengangkat sepeda motorku keluar dari lumpur. Kucari jalan alternatif yang lain. Tetapi nasibnya tak lebih baik. Sepeda motorku pun kembali amblas. Kali ini malah lebih dalam lagi. Akhirnya aku menyerah. Muncul keraguan dalam hatiku: apakah mau lanjut atau putar haluan, alias pulang. Kalau lanjut aku harus berjalan kaki. Perlu waktu lumayan lama. Belum lagi sepeda motor harus kutinggalkan di tengah jalan yang masih agak hutan. Bukan tidak mungkin, nanti bisa hilang. Tetapi kalau aku pulang, umat di Aris pasti kecewa karena mereka sudah menunggu kedatanganku. Apalagi sempat kujanjikan untuk menerimakan sakramen permandian di hari natal kedua. Perang batin yang cukup menyita perhatianku sampai akhirnya kuputuskan untuk tetap lanjut ke Aris.
Di sepanjang jalan aku harus melompat ke sana kemari untuk menghindari beberapa genangan air. Tak seorang manusia pun kujumpai pada turne-ku kali ini. Mungkin mereka sedang merayakan natal. Atau barangkali memang tahu bahwa jalan ini tak bisa dilalui. Peluh yang meleleh di wajahku tak kuhiraukan lagi. Tujuanku cuma satu: segera sampai ke Aris untuk merayakan natal bersama umat. Setelah itu segera pulang dan menemukan sepeda motorku masih dalam keadaan utuh. Maklumlah sepeda motor itu milik keuskupan yang boleh aku pakai.
Setelah 30 menit berjalan melintasi area berlumpur, akhirnya aku tiba di jalan yang sudah selesai dikerjakan. Perjalanan terasa lebih nyaman karena tidak perlu menghindari lumpur. Entah darimana asalnya, tiba-tiba saja kudengar bunyi sepeda motor dari arah belakangku. Aku segera menepi dan memberi jalan kepadanya. Tetapi sepeda motor itu malah berhenti tepat di sampingku.
“Ayo, Pastor, biar aku antar saja”, kata sang pengendara sepeda motor kepadaku.
“Wah terima kasih banyak,” jawabku. Tanpa menunggu tawaran dua kali, aku pun segera naik di belakangnya.
“Inilah, Pastor, kondisi jalan di daerah kami. Katanya sudah merdeka sekian puluh tahun, tetapi jalan masih rusak. Parahnya lagi istrik pun belum masuk ke kampung kami. Pokoknya susahlah hidup di daerah seperti ini, Pastor”. Begitulah “tukang ojekku” menumpahkan keluh kesahnya. Aku sendiri hanya mengamininya sambil menata nafasku yang terengah-engah. Maklumlah aku sudah jarang lagi berjalan kaki sejauh itu.
“Pak, aku turun di sini saja ya. Aris kan gak jauh lagi,” kataku kepadanya begitu kami tiba di sebuah tanjakan yang cukup tinggi.
“Jangan Pastor. Saya bisa antar sampai ke Aris bah”, katanya sambil membujukku.
“Gak usah, Pak. Terimakasih banyak. Sampai di sini saja,” jawabku sambil turun dari sepeda motornya. Dengan agak berat hati bapak itu pun akhrinya membolehkan aku turun dan melanjutkan perjalananku ke Aris. Sejatinya bukan karena sudah dekat, tetapi karena tanjakan itu menyisakan pengalaman traumatis buatku. Sudah 3 kali aku terjungkal dari sepeda motor gara-gara tanjakan ini. Padahal ada pepatah, keledai saja tidak mungkin jatuh dalam lobang yang sama. Makanya aku tidak mau mengulangi pengalaman “pahit” itu untuk keempat kalinya.
Setelah beberapa menit menempuh perjalanan akhirnya menara kapel Aris pun mulai kelihatan. Ada pemandangan yang agak berbeda dari turne-turne-ku sebelumnya. Aku lihat beberapa anak berdiri terpaku di halaman gereja. Sepertinya mereka sedang menantikan kedatanganku. Begitu melihatku, ada yang langsung berteriak, “Pastor udah atangk!” Mendengar teriakan itu tak ayal lagi anak-anak yang ada di dalam kapel pun segera menghambur keluar. Tergambar sukacita pada wajah-wajah mereka.
“Untunglah Pastor bisa datang. Kami sudah cemas menunggu dari tadi. Takut pastor gak datang lagi bah,” kata pengurus umat Stasi Aris sambil mempersilakan aku singgah dulu ke rumahnya. Mendengar itu aku hanya bisa tersenyum malu.
Perayaan ekaristi di Aris ditunda beberapa menit karena keterlambatanku. Tetapi umat bisa memahaminya. Perayaan Ekaristi kali ini terasa sangat istimewa. Umat merancangnya habis-habisan. Karena memakai tari-tarian yang harus diiringi dengan musik, mereka berusaha menyambung listrik kepada umat yang memiliki genset. Anak-anak yang didapuk untuk menari sudah berhias sejak pagi hari. Belum lagi dengan calon baptisan baru. Mereka sudah siap menyambut anugerah yang sangat istimewa: Sakramen Baptis dan Tubuh Kristus yang untuk pertama kalinya akan mereka sambut. Kesiapan mereka paling tidak terlihat dari pakaian putih yang dikenakannya. Pengurus Stasi Aris sendiri pun sudah merancang pesta nasi bungkus sebagai kelanjutan dari pesta natal. Sengaja mereka menunggu jadwal perayaan ekaristi di stasi demi terselenggaranya makan bersama seluruh umat bersama sang gembalanya. Begitulah mereka mencoba memaknai pesta natal dengan berbagi nasi bungkus. Menunya sangat sederhana, tetapi tersimpan makna istimewa di dalamnya. Ada rasa haru menyelinap di hatiku. Bersyukur aku bisa tiba di Aris untuk merayakan ekaristi bersama mereka. Andaikata aku egois, hanya mementingkan diri sendiri dan memutar haluan untuk pulang ke rumah hanya karena jalan becek dan berlumpur, ceritanya pasti lain. Betapa kecewanya umat di Stasi Aris karena para penari tidak bisa mempersembahkan tarian mereka untuk kanak-kanak Yesus, para baptisan baru terpaksa belum bisa menerima karunia baptisan dan Tubuh Kristus. Belum lagi pesta nasi bungkus akan terasa hambar karena tidak didahului oleh ekaristi yang merupakan pesta sesungguhnya. Terimakasih Tuhan, atas peristiwa yang terjadi di hari kelahiran-Mu. Medan yang cukup sulit untuk dijangkau, telah menghadirkan pesan natal yang sungguh bermakna untukku. (Gathot)
Langganan:
Postingan (Atom)