Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

3 Mar 2017

Pembuatan Kolam Ikan Wujud Pemberdayaan Umat Stasi Aris ( Bagian-1 )

Pembuatan Kolam Ikan Wujud Pemberdayaan Umat Stasi Aris( Bagian-1 )


Ada banyak cara untuk berdayakan umat, khususnya di Stasi Gereja St. Yosep - Aris, Paroki Singkawang yang telah membentuk kelompok kerja budidaya kolam ikan dengan tujuan pemberdayaan umat agar umat dapat tumbuh dan berkembang baik dari segi kreativitas dan finansial untuk memenuhi dan menambah pemasukan serta dengan memperjuangkan kesejahteraan bersama. Pada Minggu, 16 Oktober 2016 pengurus umat dan umat mengadakan pertemuan dan membentuk kelompok budidaya kolam ikan, di mana pelaksanaan pertemuan ini setelah umat merayakan Ibadat Hari Minggu bersama di gereja. Pertemuan menghasilkan kesepakatan dan untuk sementara terbentuklah satu kelompok budidaya kolam ikan yang diketuai oleh bapak Antonius Ajun dengan anggota dua belas orang.

Lahan yang sudah dipersiapkan untuk kolam ikan dikerjakan bersama oleh kelompok dan akan dipelihara ikan nila dan ikan mas. Dengan penuh semangat dan keceriaan kelompok melapangi lahan, menggali tanah dengan cangkul dan alat seadanya, mengangkat dan membuang tunggul-tunggul kayu dan lumpur, membuat saluran air masuk dan air keluar serta membarau kolam dengan batang-batang kayu agar tebing-tebing kolam tidak longsor. Cukup sederhana namun tidak menyurutkan semangat kerja tim yang berkubang dengan lumpur.

Upaya ini disambut baik dan didukung oleh Pastor Paroki untuk memberdayakan umat karena pada umumnya umat di Stasi Aris memiliki semangat kerja dan semangat untuk mengembangkan potensi diri. Dengan adanya pemberdayaan budidaya kolam ikan ini nantinya diharapkan bisa memberi kontribusi dalam peningkatan pendapatan umat, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan usaha, serta dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan rumah tangga.

Pemberdayaan ini akan berhasil apabila kelompok yang sudah terbentuk menyadari perlunya proses baik dari segi waktu, usaha, kesabaran, dan daya juang. Semoga saudara-saudari kita yang lain termotivasi dan ikut terlibat langsung untuk tugas ini. Masih ada cara lain asalkan ada kemauan dan pemberian diri yang tulus dalam bekerja. 
Semangat! (Anton Martono)  

Menguji Kelestarian Panggilan dan Kesetiaan Pilihan dalam Pengalaman Hidup

Menguji Kelestarian Panggilan dan Kesetiaan Pilihan dalam Pengalaman Hidup


 “Bukan semudah membalikkan telapak tangan untuk setia pada satu pilihan, pilihan yang berlaku seumur hidup, sepenuh usia, sepanjang hayat. Sama seperti orang awam, kaum rohaniawan juga mengalami hal serupa. Jika jejak langkah awam dihadapkan pada jibaku persoalan hidup yang seolah tidak pernah surut, pun demikian halnya dengan mereka yang hidup di balik tembok biara. Masing-masing dengan perannya, masing-masing dengan tantangan hidupnya, masing-masing dengan persoalan yang membelit kesehariannya.” 

Mendung masih bergelayut enggan pupus meski langit sesiang tadi sempat memuntahkan hujan seperti tembikar sarat akan air yang pecah di udara manakala saya memacu kendaraan ke arah jantung kota. Hari itu hari Sabtu, dan saat itu tujuan saya satu, segera berada di sebuah biara yang bersebelahan dengan gereja, Biara Providentia. Kamis sebelumnya saya membuat janji dengan salah satu penghuninya. Melalui piranti komunikasi temu janji disambut suara ringan nan gembira yang siap menyambut kehadiran saya untuk melakukan wawancara. Suara yang terdengar semanis paras pemiliknya adalah suara Suster M. Laetitia, OSCCap. Maka Sabtu, kira-kira dua jam menjelang senja, rinai gerimis mengantarkan langkah saya menjumpainya. 

Kedatangan saya disambut senyumnya yang jernih seperti yang biasa tergambar pada jiwa yang menyerahkan sepenuhnya kesulitan dunia pada penciptanya dan selalu bersyukur pada setiap keriaan sekecil apapun bentuknya. Jabat erat saya dapat disertai kecup dan pelukan hangat. Kami berhadap-hadapan pada sebuah ruangan berukuran 3 x 4, dihalangi meja lengkap dengan minuman dan kudapan. Sepanjang wawancara senyum dalam binar mata ramah bersahaja membingkai di wajahnya. Ia begitu antusias ketika saya mulai menyoal ketertarikannya menanggapi panggilan hidup membiara. Segalanya berawal dari dalam keluarga. Tepat kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Putri kedelapan dari dua belas bersaudara pasangan bapak Paulus Hendrikus Pawe dan ibu Katarina Irmina Meo ini memang berlatar ayah dan ibu yang merupakan mantan calon biarawan dan biarawati. Keinginan kedua orang tuanya di masa muda untuk menapaki hidup membiara terkendala karena jauh sebelum keduanya bersua, ternyata pihak keluarga telah seiya sekata menjodohkan keduanya hingga mereka menyatu dalam biduk rumah tangga. Namun bagai gayung bersambut oleh buah hati mereka, Laetitia muda menjadi penawar dahaga cita-cita yang tertunda. 

Laetitia tumbuh di lingkungan Katolik yang taat. Berlatar kedua orang tua yang paham benar tentang agama, segala ritual pujian bagi yang maha juga rapalan untaian doa merupakan menu wajib dilakukan dalam keluarga dan bukan hal yang sama sekali baru baginya hingga tak lagi mengejutkan ketika ia mulai menapaki kehidupan membiara. Rumah masa kecilnya pun menjadi saksi bisu perjalanan kegembalaan biarawati dan biarawan maupun para frater, calon balatentara Tuhan yang menggelar kegiatan pelayanan keagamaan. Tidak berhenti sampai di situ, keterbiasaan menyaksikan pemandangan yang berkait erat dengan pelayanan, ketika kecil, ia bersama teman acapkali bermain peran menjadi kaum rohaniawan, membagi hosti yang adalah roti dalam sebuah permainan perayaan Ekaristi.   

Sebelum menjalani hidup di biara, Suster Laetitia yang dulunya bernama Yosefina Basildis ini sempat menjalani pendidikan sebagai perawat kesehatan di sebuah SPK nun di gugusan Flobamora (Flores, Sumba, Timor, dan Alor). Seolah tumbuh menjadi mawar gurun yang mekar, kala itu tidak sedikit pemuda yang hatinya sanggup dibuatnya tergetar. Bukan hanya satu atau dua pemuda belaka, namun lebih dari hitungan jumlah jari pada kedua telapak tangan telah tercatat mencoba merebut hatinya dengan segala cara. Dari cara yang halus hingga yang ketus, dari yang terselubung hingga yang nyata-nyata mengajak pemuda lain tarung. Dengan rendah hati, ia menanggapi segalanya dengan tetap merangkul semua menjadi sanak saudara untuk tetap saling menjaga dalam doa. Baginya segala cinta dari lawan jenis yang silih berganti menghampiri tak ayal merupakan perpanjangan tangan Tuhan untuk menyentuh dan menyadarkannya bahwa tiada kasih yang lebih besar dari kasih Juru Selamatnya. “Semua hadir untuk menguji kelestarian panggilan dan kesetiaan pilihan dalam pengalaman hidup, kalau tidak ada tantangan, kita tidak bisa tahu bahwa panggilan ini benar-benar berharga. Panggilanku ini adalah pilihanku dan inilah yang dikehendaki Tuhan,” begitu ia berujar. Mungkin benar, untuk mengetahui kadar ketebalan iman seseorang, terkadang memang diperlukan ujian. Iseng saya bertanya untuk sekadar mengetahui siapa saja yang hadir  menawarkan hati pada suster yang sangat senang bersahabat ini, namun begitu rapat ia merahasiakan semua nama yang masih mencoba mendekatinya meski ia telah hidup dalam lingkup biara. Pernah pada suatu masa, sehari menjelang kaul kekalnya, ia menghadapi godaan yang sungguh luar biasa. Kala itu ada suara lain yang didengarnya yang sempat menggetarkan hatinya. Suara dari seseorang yang hampir saja membuatnya urung mengucap kaul kekal dan berpikir ulang untuk meneruskan panggilan. Ya, suara seorang dari antara kaum adam yang selama ia berada dalam masa pendidikan selalu memberikan perhatian. Pergulatan sungguh menjadi awan hitam yang meliputi batinnya, namun dalam seluruh kekuatan ia menyerahkan sepenuhnya ke tangan Bapa dalam doa. Lelah berdoa ia jatuh tertidur hingga akhirnya pada saat terbangun hal pertama yang dilihatnya adalah salib Kristus. Serta merta dipeluknya tanda penyelamat hidupnya. Seketika hilang rasa ragu, dengan mantap ia menjawab panggilan itu.

Rasanya sungguh padan jika kutipan catatan seorang maestro kesusastraan Indonesia disematkan pada suster yang hobi bernyanyi dan menari ini; “Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya.”* Suster yang pada 31 Maret 2017 mendatang genap berusia 55 tahun ini sungguh lembut namun tegas, begitu halus tetapi kukuh. Pribadinya ibarat menolak tangan berayun kaki, memeluk tubuh mengajar diri. Sungguh, ia disiplin dan hanya sedikit berkompromi untuk hal-hal yang bersifat duniawi. Hedonisme ia tinggalkan, bersetia ia pada panggilan. Hal ini ditunjukkan ketika dengan segala kesempatan untuk berada di tengah-tengah keramaian, hati kecilnya tetap rindu untuk pulang. Biaralah rumahnya, sebagai suster pendoalah panggilan kemanusiaannya. 

Masih berkisar pada pengalaman panggilan yang dialaminya, suster yang ketika belia menjadi primadona remaja ini mengalami suatu kejadian tak terlupakan. Manakala bersama teman-teman seusianya berolah raga, matanya tiba-tiba terpaku pada sosok biarawati yang meski berada di tengah keriuhan tetap setia merapal doa dengan rosario dalam genggamannya. Saat itu tanpa banyak bicara, Laetitia berlari menjauh dari perkumpulan. Masuk kamar ia kembali merenungkan niatnya menanggapi panggilan. Dengan pemandangan sesederhana itu, Tuhan kembali hadir menyentuh inti kalbu. 

Suatu ketika dalam masa pencarian ordo yang benar-benar dirasa pas di hati, ia menemukan jawaban secara tak sengaja. Melalui majalah Hidup yang saat itu memuat profil dan foto Bapa Uskup Mgr Hieronimus Bumbun bersama dua orang suster OSCCap, Laetitia membulatkan tekadnya. Korespondensi dilakukan, harap-harap cemas ia menanti balasan. Tak berapa lama berselang, bagai tak bertepuk sebelah tangan, jawaban memuaskan ia dapatkan. Bapa Uskup menyambut baik keinginannya bahkan menunjukkan cara untuk memuluskan niat sucinya. Suatu kebetulan yang menyenangkan berselang beberapa waktu kemudian dalam urusan pekerjaan  Bapa Uskup mengunjungi provinsi tempat ia berdomisili. Dibantu oleh Bapa Uskup, Laetitia akhirnya sampai ke Biara Providentia yang sangat didambanya. Kesan pertama melihat bangunan biara, ia langsung merasa bahwa inilah tujuan hidupnya, inilah ‘rumah’ baginya.

Sejak awal hidup di biara, ia bersama teman-temannya saling menguatkan dalam doa. Rasa rindu pada orang tua serta sanak keluarga merupakan hal jamak dan tak terhindarkan. Laetitia sempat rapuh ketika di awal masa panggilan ia seolah sengaja diputus kontak oleh kedua orang tua. Seluruh surat yang dikirimnya ke kampung halaman tak jua kunjung ada balasan. Sedih dan merasa dikucilkan, rindu namun semacam terbuang. Ia tak mengetahui alasan di balik sikap kedua orang tua yang tidak pernah membalas surat-suratnya. Sedih tak tertahan, letih hati menahan rindu tidak berkesudahan, ia merasa sendirian, hanya Surat Rasul Paulus kepada umat yang termuat dalam Kitab Suci selalu menjadi hiburan. Pada suatu kesempatan ia menghadap Bapa Uskup Hieronimus Bumbun, mengadukan ihwal yang mengganggu batinnya. Jawaban tak terduga melipurkan laranya. Bapa Uskup menguatkannya hanya dengan kata-kata, “Buat apa bersedih, saya dan yang lain yang hidup dalam panggilan juga sendirian. Tidak sedang bersama orang tua, kita semua sama.” Dengan jawaban sederhana itu Laetitia merasakan kekuatan dan bahwa ia memang tidak sendirian. Hingga tiba pada suatu masa, ia diberi keleluasaan untuk kembali mengunjungi orang tua di kampung halamannya. Saat itu baru ia dapatkan jawaban atas segala yang menjadikannya ragu. Kedua orang tuanya tak ingin masa pendidikannya terusik rindu yang pada akhirnya akan mengganggu.  

Semua yang hidup akan tetap menemukan gairahnya jika ia masih meniupkan asa dalam cita-cita, dalam sebuah keinginan, dan dalam selaksa harapan. Pun demikian halnya dengan Laetitia. Hal yang belum terpenuhi dan menjadi sebuah harapan sepanjang pembaktian hidupnya dalam membiara dituturkannya, “Saya hanya merindukan menjadi seorang pendoa yang sungguh-sungguh menjadi penyalur rahmat bagi banyak orang, bisa menjadi seorang pribadi yang sungguh berguna bagi diri, keluarga, gereja dan dunia. Dan jika saya meninggal saya ingin menjadi kudus, tapi itu rasanya masih jauh dari bisa menjadi kudus,’ ungkapnya yang disusul sipu malu dalam senyumnya yang bersahaja.

4 Oktober 2016, tercatat tepat 25 tahun ia berkarya. Berbagai cobaan dan rintangan silih berganti menghampiri, namun tangan Tuhan kiranya terus bekerja, menjaga ia setia pada panggilan imannya. Selamat berkarya, Suster. Tetaplah menjadi pendoa kami semua. (Hes) 

NB: (*) kutipan tulisan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru: Rumah Kaca.   
Biodata Singkat

Nama: Yosefina Basildis Anu Pawe.
Tempat tanggal lahir: Flores, Bajawa Mataloko, 31 Maret 1962 
Tahun 1977 tamat SD Katolik Toda Belu II.
Tahun 1981 Masuk SMP Kartini Mataloko.
Tahun 1982 pindah ke SMP Immaculata Ruteng Manggarai.
Tahun 1983 masuk ke SPK (Sekolah Pendidikan Kesehatan) di Lela Maumere.
Setelah tamat, bekerja di Rumah Sakit St. Gabriel Kewapante Maumere, sebagai pembantu bidan bersama Sr. Solmaris, S.Sps selama 2 tahun.
Pada tahun 1987 berkenalan dengan biara Providentia melalui majalah Hidup. 
Tanggal 6 Agustus 1988 berangkat ke Singkawang bersama Sr. Emiliana SFIC dan diantar ke biara Providentia oleh Sr. Paulin SFIC.
Tanggal 6 Agustus 1988: masuk sebagai calon (aspiran)
Tanggal 29 September 1988: Masuk Postulan
Tanggal 4 Oktober 1989: Masuk Novis
Tanggal 4 Oktober 1991: mengikrarkan Kaul sementara.
Tahun 1991-1992 tinggal di Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 1993 kembali ke Biara Providentia Singkawang.
Tanggal 4 Oktober 1994: Mengikrarkan kaul kekal meriah.
Tahun 1996 di tugaskan kembali ke Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 1997 kembali ke Singkawang.
Tahun 2003 ditugaskan kembali ke Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 2005 kembali ke Biara Providentia Singkawang sampai saat ini.
Tanggal 4 Oktober 2016, genap 25 tahun hidup kaul membiara.


      


2 Mar 2017

Ekaristi Rabu Abu di Fransiskus Assisi

Ekaristi Rabu Abu di Fransiskus Assisi


Rabu, 1 Maret 2017. Memasuki masa puasa, seperti halnya gereja Katolik lainnya, Gereja St Fransiskus  Assisi Singkawang juga dipadati umat yang hendak mengikuti perayaan Ekaristi Rabu Abu. Misa Rabu Abu di gereja yang beralamat di Jalan P. Diponegoro No 1 tersebut digelar dua kali pada pukul 06.00 Wib dan pukul 18.00 Wib. Misa pagi hari dipersembahkan oleh Romo Gathot, OFMCap, sedangkan pada petangnya dipimpin oleh Pastor Yeri, OFMCap.

Pada misa yang digelar petang hari kurang lebih seribu umat memadati gereja. Dalam homilinya, pastor asal Belanda ini mengajak umat yang hadir untuk memaknai puasa dan pantang sebagai semangat untuk peduli, berbagi, juga lebih kritis terhadap segala hal yang berkait erat dengan keberlangsungan hidup sesama maupun terhadap lingkungan alam sekitar. Saat misa baik pagi maupun petang selain diguratkan oleh pastor yang memimpin misa, penerimaan abu juga dibantu oleh biarawan dan biarawati dari MTB, SFIC, dan OSCCap.

Selamat memasuki masa pantang dan puasa, semoga selama 40 hari ke depan jiwa kita kembali bersih dan layak di hadirat-Nya untuk menyongsong Paskah. (Hes)

Saint Tarsi Festival 2017

Saint Tarsi Festival 2017

“Tarsisius hebat....”
Ungkapan ini sebagai bentuk syukur atas keberhasilan SMP Santo Tarsisius dalam menyelenggarakan event “Saint Tarsi Festival 2017“ dari tanggal 18 - 21 Januari 2017 lalu, yang sebelumnya event ini dikenal dengan nama “Sosial Day“. Dipelopori oleh Br.Valensius Ngardi, S.Pd, MTB event ini adalah event tahunan SMP Santo Tarsisius dan menjadi event terbesar sekolah karena melibatkan peserta dari semua Sekolah Dasar baik negeri maupun swasta se-kota Singkawang.

Melalui kegiatan ini, SMP Santo Tarsisius menjadi wadah dan ajang kreativitas siswa yang pada dasarnya diarahkan untuk menumbuhkan kepekaan rasa estetik dan artistik sehingga terbentuk sikap kritis, apresiatif dan kreatif pada diri siswa secara menyeluruh. Sikap ini hanya akan tumbuh jika dilakukan serangkaian proses kegiatan dalam “Saint Tarsi Festival 2017” kepada siswa yang meliputi pengamatan, penilaian serta penumbuhan rasa memiliki keterlibatan siswa dalam segala aktivitas seni dan pengetahuan di luar sekolah, khususnya bagi siswa Sekolah Dasar yang memiliki bakat dan kreativitas.

Dan hasilnya..., “sangat luar biasa”... di luar dugaan, antusiasme dan proaktif dari para peserta Saint Tarsi Festival 2017 mengejutkan pihak panitia. Hal ini dibuktikan dengan hasil perlombaan dan jumlah peserta yang mencapai target sesuai dengan yang diharapkan. Kemampuan, bakat dan kreativitas peserta lomba juga membuat kagum dewan juri pada saat perlombaan, mengingat peserta event ini adalah siswa/i Sekolah Dasar se-kota Singkawang. Keberanian untuk tampil di depan tanpa rasa gugup sedikitpun yang membuat penonton bergemuruh memberikan sorak sorainya. Bagi mereka peserta lomba, menang atau kalah dalam sebuah perlombaan adalah hal biasa, yang terpenting mereka bisa menampilkan yang terbaik dari bakat dan kreativitas yang dimilikinya, begitu ungkap salah satu peserta.

Menurut Bapak Agus, salah satu dari guru pendamping SDN 24 Singkawang Barat sekaligus pelatih untuk lomba modern dan musikalisai puisi, beliau mengapresiasi SMP Santo Tarsisius yang berani mengadakan gebrakan baru melalui event “Saint Tarsi Festival 2017” sebagai wadah bagi siswa Sekolah Dasar dalam berapresiasi dalam bidang seni dan olah raga. Lanjutnya lagi SMP Santo Tarsisius merupakan SMP Swasta berlatarkan sekolah Katolik yang mengadakan kegiatan event seperti ini sehingga beliau berpesan untuk tetap eksis dan menginovasi ide-ide kreatif bagi SMP Santo Tarsisius dalam event berikutnya di tahun mendatang.

Beberapa kegiatan dan perlombaan dalam event “Saint Tarsi Festival 2017“ kami sajikan melalui foto-foto berikut ini :


Menghargai Perbedaan di Tengah Karut Marut Kehidupan

Menghargai Perbedaan di Tengah Karut Marut Kehidupan



Sejak beberapa tahun silam melalui lembaga riset Setara Institute, Kota Singkawang  tercatat sebagai kota paling toleran di posisi ketiga di seluruh Indonesia setelah Pematang Siantar dan Salatiga. Hal ini menunjukkan tingginya kesadaran warga Singkawang terhadap perbedaan yang memang menjadi corak dasar kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Menyikapi perbedaan yang tak terhindarkan ini berbagai cara ditempuh oleh pemerintah maupun lembaga yang terdapat di dalamnya untuk memupuk kebersamaan meskipun berlatar perbedaan antarumat beragama.  Salah satunya seperti yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Sabtu, 14 Januari 2017 merupakan hari yang dipilih oleh Departemen Agama Kota Singkawang untuk melaksanakan kegiatan jalan santai bersama yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat dari enam agama yang diakui oleh pemerintah. Kegiatan jalan santai ini diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Kerukunan Nasional dan Hari Amal Bakti ke 71 Kantor Kementrian Agama Kota Singkawang. Kegiatan yang dimulai sejak pukul 07.00 Wib ini memusatkan kantor Departemen Agama  yang beralamat di Jalan Alianyang sebagai tempat  start maupun finish kegiatan jalan santai. Rute yang dipilih dalam kegiatan ini adalah melewati berbagai tempat ibadah yang ada di kota Singkawang yang jaraknya berdekatan satu sama lain. 

Respon masyarakat sangat baik. Hal ini terbukti dari jumlah peserta yang ikut andil di dalamnya  lebih dari 1500 peserta. Seluruh pegawai dan karyawan Depag terlibat dalam gawe yang setiap tahun digelar ini. Perwakilan berbagai  sekolah dengan latar belakang negeri maupun swasta dilibatkan guna memeriahkan acara yang digelar tahunan ini. Ditemui terpisah, Baharuddin selaku Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Singkawang menjabarkan kegiatan ini merupakan salah satu ajang hiburan masyarakat dan sebagai upaya membangun  semangat kekeluargaan akibat dari reformasi politik Indonesia yang berdampak timbulnya kegalauan sebagian rakyat yang berakibat dari dampak berita di media sosial yang bersifat hoax, terkadang provokatif serta adanya pemimpin di segala tingkatan yang sulit diteladani. Hal senada juga diungkap ketua panitia, Drs. Marhola yang menggarisbawahi digelarnya acara ini demi mempererat dan merekatkan hubungan harmonisasi dalam toleransi umat beragama di Kota Singkawang. Masih dalam wacana yang sama Robertus selaku penyuluh Katolik mengungkap tujuan diselenggarakannya giat ini adalah agar rasa persaudaraan dan kerukunan antarumat beragama dalam membangun kebersamaan dan kebhinekaan agar kota Singkawang semakin dewasa, semakin berkualitas, dan harmonis hingga tak berlebihan rasanya sebuah harapan untuk Kota Singkawang meraih predikat sebagai kota paling toleran nomor satu di Indonesia dapat diwujudkan.  

Melalui giat yang sukses digelar dengan tertib dan lancar semakin mengukuhkan bahwa Kota Singkawang  sama sekali tidak terpengaruh kondisi karut marut yang belakangan melanda berbagai kota lain di Indonesia. (Hes)

Aksi Natal Sekadar Ritual?

Aksi Natal Sekadar Ritual?



Natal telah usai dan segala aktivitas pun sukses digelar. Tidak hanya berkisar pada baju baru, makanan enak, dan segala benda milik pribadi yang bernilai tinggi, namun di sisi lain spirit natal terejawantah dalam berbagai kegiatan yang masuk dalam rangkaian acara menyambut kelahiran Sang Juru Selamat. Segala giat yang digagas oleh gereja Katolik menuai sukses, keriaan sekaligus kenangan di benak masing-masing orang yang terlibat di dalamnya. Dimulai dari kegiatan mengumpulkan bantuan berupa pakaian pantas pakai, penyaluran bingkisan sembako ke stasi-stasi, donor darah dan cek kesehatan, kunjungan ke panti asuhan dan rumah sakit khusus penyandang kusta, perayaan natal anak-anak, perayaan natal lansia, hingga perayaan natal di lembaga pemasyarakatan selain menuai bahagia tak ayal memupuk harapan. 

Secara sadar, warga Paroki Singkawang yang dikoordinator oleh tiap seksi yang tergabung dalam panitia perayaan natal 2016 menyukseskan rangkaian acara yang telah disebutkan di atas. Bahu-membahu segala rencana dieksekusi hingga tuntas. Ada kesan kegiatan  sosial natal ini hanya sekadar ritual, sebuah aksi yang hanya berulang dari tahun ke tahun tanpa perubahan yang signifikan, maju atau mundur, seolah stagnan, bisa ditebak, dan mudah terdeteksi. Namun jika dilihat dari esensi segala hal yang berulang dari tahun ke tahun dan selalu menyasar hal yang sama pula tentunya hal ini tidak sekadar sebuah ritual yang lantas kehilangan jiwanya.  

Si pemberi, sang penerima, maupun sebagai penyalur, masing-masing berperan dalam satu lingkaran mata rantai kehidupan. Siklus berulang namun tetap menimbulkan harapan, kebahagiaan, sekaligus menerbitkan kerinduan. Harapan di natal tahun mendatang tetap diberi kesempatan berbagi, kebahagiaan menerima segala uluran bantuan, kerinduan tentang janji kehidupan dan keselamatan yang diperoleh dengan mengulurkan tangan pada kemanusiaan. Donor darah sebagai penyambung kehidupan, penyaluran pakaian pantas pakai pelindung tubuh sesama yang membutuhkan, pembagian sembako pemenuhan kebutuhan pangan, kunjungan ke panti  asuhan dan rumah sakit penyandang kusta sebagai bukti kepedulian, natal anak dan lansia sebagai pemantik  kebahagiaan, kunjungan ke lembaga pemasyarakatan sebagai wujud pemulihan harapan dan pertobatan. Betapa besar kebermaknaan aksi sosial yang menjadi ritual pada saat natal.  Semangat peduli dan berbagi selalu menjadi nafas utama dalam setiap kegiatan umat Katolik dalam kehidupan menggereja. 

Pada akhirnya, hanya rasa rindu untuk terlibat dalam segala aktivitas ritual natal, baik sebagai pemberi, penerima, atau penyalurlah yang lantas menimbulkan harapan dapat diberi waktu dan kesempatan untuk kembali bertemu dengan natal yang akan datang. Sudahkah Anda terlibat dalam ritual natal? Atau natal Anda sekadar dirasakan dan hanya menjadi kebanggaan pribadi? Mari menyusun rencana untuk terlibat, mumpung masih diberi waktu dan kesempatan! (Hes)






Lomba Kor Natal Paroki Santo Fransiskus Asissi Singkawang

Lomba Kor Natal Paroki Santo Fransiskus Asissi Singkawang

 
Dalam rangka memeriahkan Natal 2016 Paroki Santo Fransiskus Assisi Singkawang kembali mengelar lomba paduan suara gereja. Kegiatan tersebut berlangsung pada hari Senin, 12/12/2016. Pagi itu hujan menguyur Kota seribu Kelenteng mengiringi umat Paroki Singkawang yang datang dari berbagai stasi. Tetesan hujan bagai peluh semangat mengucur hingga membasahi beberapa peserta lomba kor yang sudah siap beradu kebolehan dalam  membawakan senandung suka cita Natal.  Perlombaan tersebut diikuti oleh delapan kelompok paduan suara yang tergabung dalam kelompok kor stasi, kring, maupun sekolah di wilayah Paroki singkawang.

Kegiatan lomba kor diawali dengan doa bersama dilanjutkan dan kata sambutan oleh koordinator lomba, Ibu Halena Hadijah dan Ketua DPP Paroki Singkawang Ambrosius Kingking, S.H. yang mana keduanya menyampaikan bahwa lomba kor Natal digelar bukan sekadar untuk berkompetisi dan bersaing menjadi pemenang melainkan sebagai wujud kebersamaan umat dan bentuk suka cita dalam menyambut kelahiran Sang Juru Selamat. Pada kesempatan tersebut mereka juga menyampaikan bahwa siapapun yang menjadi pemenang lomba harus diterima dan disyukuri bersama.

Lomba berlangsung di dalam gereja, masing-masing kelompok kor secara bergiliran menuju ke depan altar sesuai nomor urut yang diperoleh kemudian menyanyikan lagu-lagu Natal yang telah ditentukan oleh panitia. Dewan juri terpukau dengan penampilan-penampilan peserta lomba yang membawakan lagu kor dengan sangat merdu terlebih disajikan dengan kostum peserta yang serasi serta aransemen masing-masing kelompok kor yang cukup bervariasi. Ketiga juri di antaranya Ibu Rika, Bapak Aben, dan Pak Venan yang akrab disapa Bang Venan. Ketiganya merupakan orang-orang yang sudah berpengalaman dalam urusan seni tarik suara dan musik. Sebagai informasi bahwa ketiganya juga menjadi juri dalam lomba yang sama di tingkat stasi. Dari hasil penilaian dan kesepakatan para juri memunculkan tiga pemenang di pengujung lomba.  Kelompok kor SMP Pengabdi Singkawang menempati juara pertama, juara kedua diperoleh Stasi Mandor dan juara ketiga diraih oleh Stasi Roban. Selamat untuk ketiga pemenang! (Yudistira, S.Pd.)