Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

30 Nov 2016

Menepi, Mengawal Para Hati Pragembala Gerejawi

Menepi, Mengawal Para Hati Pragembala Gerejawi

 “kau akan berhasil dalam setiap pelajaran, dan kau harus percaya akan berhasil, dan berhasillah kau; anggap semua pelajaran mudah, dan semua akan jadi mudah; jangan takut pada pelajaran apapun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan semua.” ― Bumi Manusia: Pramoedya Ananta Toer.


Kutipan tulisan Pramoedya Ananta Toer di atas pantas dilekatkan pada pribadi yang kali ini profilnya dikupas dalam Rubrik Sosok. Pribadi yang mau dan tidak takut belajar hal-hal baru, malah memiliki kecenderungan merasa tertantang manakala dihadapkan pada berbagai hal baru yang bisa dikata di luar ranah minatnya.  

Gabriel Marcel, OFM. Cap., atau lebih akrab disapa Pastor Gebi. Saya mendengar namanya sudah hampir setahun yang lalu dalam perbincangan dengan seorang sahabat yang memang dekat dengan kehidupan biara di Novisiat Kapusin St Padre Pio, Poteng. Persis beberapa hari setelah beliau menggantikan Magister Novisiat Kapusin Poteng sebelumnya yang dijabat oleh Pastor Cahyo, OFM. Cap. Kala mendengar namanya untuk pertama kali, seketika muncul keinginan suatu waktu akan menjumpai beliau di tengah area ‘pertapaannya’, nun di kaki gunung yang menjadi salah satu ikon kota Singkawang.

Selasa, 25 Oktober pukul 14.47 Wib. Saya memacu kendaraan ke arah timur kota Amoy. Kala itu cuaca cerah membantu perjalanan saya dengan ingatan yang setengah meraba-raba menuju novisiat yang berdiri sejak 2001. Maklumlah, ini baru kali kedua bagi saya yang cukup pelupa kala mengunjungi  Padre Pio sejak pertama kalinya. Digital di pergelangan kiri  menunjukkan angka 15.17 Wib kala saya memarkir kuda besi yang saya tunggangi dan dengan segera ritual penyambutan sederhana terdengar dari gonggongan makhluk-makhluk menggemaskan lengkap dengan kibasan ekornya. Seekor di antaranya memberanikan diri mendekati dan mengendus kaki saya. Manakala saya gendong si kecil yang menggemaskan itu, seorang calon biarawan muda keluar dari kapel menjumpai saya dan mengatakan, “Sebentar ya, Kak, kami belum selesai ibadah,” segera saya menjawab dengan senyum dan anggukan.

Kira-kira berselang belasan menit kemudian, suara ramai saya dapati dari arah kapel. Ibadah telah usai. Hampir saja bubar rombongan biarawan dan calon biarawan itu jika tidak setengah saya paksa untuk berpose bersama lengkap dengan jubah coklat khas para saudara Kapusin. Kala itu saya sempat sedikit dikerjai oleh objek yang sebenarnya saya sasar untuk diwawancara. Saya diarahkan ke Pastor Felix yang diperkenalkannya sebagai Pastor Gebi. Saya sempat mengalami kebingungan karena memang belum mengenal sosok yang akan saya wawancara. Tak tega melihat kebingungan saya berlarut, akhirnya sembari menderaikan tawa ia mengaku, bahwa ia-lah pastor yang akan saya wawancarai. Ya, kesan pertama terhadap beliau ternyata beliau sosok yang menyenangkan, iseng, dan cukup jenaka. 

Usai mengabadikan gambar mereka, kami berjalan menuju ruang makan di sebelah dapur. Saya digiring untuk merasakan atmosfer layaknya di rumah sendiri. Tenang dan nyaman. Duduk berhadap-hadapan di antara susunan dua meja cukup besar untuk sebuah perjamuan dengan sepuluh kursi kayu berpolitur, saya memulai wawancara ringan dengannya yang saat itu masih masyuk mengaduk kopi. 

Tidak sulit beradaptasi dengan Saudara Kapusin yang terlahir sebagai anak ketiga dari pasangan almarhum Bapak Ignatius Naong dan almarhumah Ibu Yulia Simoh. Pribadinya cukup terbuka, pilihan kata yang dikenakan saat berkomunikasi menandakan tingkat intelektualitasnya di atas rata-rata. Satu hal yang juga berkesan dari sosok biarawan berkacamata ini adalah sikapnya yang dinamis. Hal ini terekam jelas dalam ingatan saya ketika dengan tatapan mata yang tegas dan nada bicara yang antusias ia menyoal kukuhnya keinginan menjadi penerima Sakramen Imamat meski sang ayah yang kini telah berpulang ke hadirat Bapa awalnya sempat tak merestui niatnya. Kala itu, ayah yang merupakan pengawas sekolah dan pemilik usaha sampingan di bidang perdagangan menginginkan sosok Gebi remaja untuk meneruskan usahanya. Namun kiranya sedari belia, panggilan untuk menjadi laskar Tuhan lebih dahulu terdengar dan terlanjur memenuhi relung hatinya terdalam. Pada suatu masa, di mana Gebi remaja mengikuti sebuah retret rohani yang di dalamnya terdapat sesi pengenalan dan arah diri. Ia melukiskan keinginan dan cita-cita dalam sebuah gambaran diri tentang sosok orang desa yang berguna bagi sesama. Bagai searah bertukar jalan, sang pembimbing lantas menerjemahkan cita-citanya sebagai suatu keinginan menjadi seorang biarawan.
Sejak saat itu, semakin jelas arah dan tujuan Gebi dalam melangkah mewujudkan angan. Restu ibu menjadi penguat paling jitu saat langkahnya terganjal ragu. Ya, sosok almarhumah ibunya lebih moderat kala memerdekakan pilihan cita-cita sang buah cinta.

Kala menyoal suka-duka menanggapi panggilan awal sebagai imamat, saya sempat menangkap perubahan spontan di wajahnya. Sudut matanya memincing, pandangannya mengembara ke luar ruang bersekat pintu besi tempat kami berbicara. Ia seolah berupaya menggapai sesuatu dari masa lalu. Ia mengungkap dalam masa pendidikan sebagai imam, satu-satunya hal yang dirasa berat adalah ketika harus meninggalkan keluarga. Pada saat itu ketika masih frater, ayahanda berpulang ke rumah Bapa sementara ibu hanya tinggal dengan adik yang belum beranjak dewasa. Sebagai anak lelaki dalam keluarga keadaan itu memanggil nuraninya untuk pulang, bertanggung jawab atas kehidupan ibu dan adik yang sangat dicintainya. Namun karena niat menjadi imam merupakan kebulatan tekad, jalan yang disediakan Tuhan selalu lebih indah dibanding segala kesulitan yang dianggap manusia sebagai belukar penuh duri penghalang.    

Terhitung sejak 25 November 2015, hampir setahun menjadi formator di Novisiat Padre Pio, penyuka berbagai bacaan ini mengungkap tak menemukan hambatan berarti kala meneruskan tugas magister novisiat sebelumnya. Kehadirannya untuk meneruskan karya pendahulunya adalah sebuah tugas yang diterima di tengah masa pendidikan di Roma. Pendidikan yang sedianya ditempuh selama tiga tahun secara otomatis berhenti sejenak karena ia harus lebih mengutamakan panggilan kegembalaan yang kini dipercayakan di pundaknya. Di sela kilas balik masa pendidikan di Roma, ia sempat menuturkan bahwa ketika menuntut ilmu di negeri Menara Pisa satu-satunya kendala yang cukup menyita adalah bahasa. Hanya dalam kurun waktu tiga bulan ia dituntut untuk mampu beradaptasi dalam hal komunikasi. Tentu bukan perkara ringan dan menyenangkan, namun berkat kegigihan kendala tersebut mampu ia taklukkan.  

Kepulangannya ke Indonesia praktis memutus interaksi intens dengan orang dari berbagai negara maupun semarak kehidupan civitas akademika yang sebelumnya mewarnai hari-harinya. Tak tanggung-tanggung, penempatan tugas kegembalaan mengutusnya menepi, mengawal para hati pragembala gerejawi. Letak rumah novisiat di pinggir kota, di kaki gunung menggugah keingintahuan saya tentang bagaimana ia harus beradaptasi dari dunia yang awalnya gempita lantas jalin-menjalin rasa dengan heningnya suasana biara. “Kesepian adalah bagian dari hidup yang tidak bisa dihindari namun bisa kita kelola. Saya bukan orang yang anti sosial, tapi jika dihadapkan pada situasi sepi saya mampu mengatasinya,” ujar pria yang awalnya bercita-cita menjadi tentara ini.

Dalam tugas sebagai formator  para novis Kapusin hampir setahun belakangan, pastor yang terlahir di bumi Semayang pada 28 Mei 1979 silam ini banyak menjumpai hal yang mampu semakin menghidupkan jiwanya. Di lingkup Padre Pio di bawah asuhannya pola belajar tak hanya berjalan searah namun lebih pada interaksi baik oleh sang magister kepada novis maupun sebaliknya. “Jika dipersenkan kira-kira 95 persen bahagianya. Dapat berinteraksi dengan orang muda, mereka selalu hidup semangatnya. Saya banyak belajar dari mereka. Mereka punya banyak kemampuan yang tidak saya punya. Berbagai bakat dan intelektualitas mereka sudah baik, jika dibentuk lagi akan jauh lebih baik. Mereka bisa jauh lebih hebat. Sebaliknya kita pun bisa berbagi ilmu yang kita tahu,” paparnya. 

Bicara mengenai perannya sebagai formator, ada kiat khusus kala ia menghadapi para novis di bawah asuhannya. Penekananan kebersamaan sakit sama mengaduh, luka sama mengeluh, seiya sekata dalam rupa-rupa suasana suka maupun duka terasa begitu kental di Novisiat Padre Pio ini. “Menganggap diri sebagai saudara, tempat berbagi dan belajar bersama,” Mereka (para novis) pun sudah tahu tujuan utama mereka ada di tempat ini,” jelasnya. Ia juga tak sungkan untuk selalu melibatkan rekan-rekan sesama Saudara Kapusin sebagai tempat beradu tanya berkeluh rasa ketika harus dihadapkan pada kondisi sulit yang kadang menghampiri. “Belajar selalu belajar, mau belajar. Di mana kita tidak tahu, kita bertanya. Di mana kita tidak mampu, katakan tidak mampu. Segala sesuatu belajar. Setiap Saudara Kapusin adalah formator bagi yang lain,” ungkapnya. 

Setengah merendah ia berujar bahwa tugasnya saat menghadapi para calon gembala adalah hal yang tak lebih berat karena sebagian novis, para calon biarawan ini sudah melewati masa seminari, tahun orientasi panggilan, atau postulat. “Jadi saya tinggal menerima dari proses sebelumnya. Tugas saya cukup ringan menghadapi mereka yang sudah terarah. Hanya kadang terasa sedikit berat pada tanggung jawab moral mengingat mereka akan menjadi penerus. Di situ terkadang saya merasa tidak layak sebagai formator. Tapi pembentuk utama adalah yang di atas. Mereka datang kita hanya mengingatkan. Setiap orang unik. Biar orang berkembang dengan keunikannya,” imbuhnya. Kesungguhannya menjalankan tugas yang diletakkan di pundaknya semakin dikuatkan manakala ia berujar, “Jika kita sudah ditempatkan di suatu tempat buatlah segala sesuatu dengan sepenuh kemampuan kita, mengabdikan diri secara total. Kita tidak tahu ke depan, hanya tahu hari ini. Yang bisa dikerjakan hari ini kerjakanlah, esok kita tidak tahu.”  

Melirik sisi lain dari pria pehobi olahraga sepakbola ini, ternyata ia menaruh minat yang begitu besar pada literasi dan dunia jurnalistik. Ketertarikan terhadap literasi dan jurnalistik sempat memacu produktivitasnya. Di tempat bertugas sebelumnya ia mengasuh dan membidani lahirnya buletin pewartaan. Namun saat langkah kaki mengharuskannya menggurat karya di tempat berbeda, buletin yang digagasnya lekang tanpa ada yang meneruskan. Sungguh suatu keadaan yang sangat disayangkan. 

Sampai pada menit ke-32 wawancara kala saya mencecar mengenai keinginannya yang selama ini belum tercapai, dan dengan nada bicara khas ia menyatakan impian untuk melanjutkan pendidikan yang sempat tertunda saat harus kembali ke Indonesia. Uniknya selain ingin melanjutkan pendidikan sebagai formator, ia juga menyatakan ketertarikan untuk mendalami filsafat atau ilmu kajian budaya. Namun dengan cepat diimbuhnya dengan pernyataan yang sangat bijak, “Tapi segala sesuatu sekarang bisa dikatakan bukan lagi kehendak pribadi, dalam artian kehendak diri yang dimodifikasi menjadi kehendak ordo. Meskipun menurut teori Abraham Maslow (psikolog asal Amerika.red) kebahagiaan itu hadir ketika bisa mengaktualisasi diri, tapi semua kembali pada kebutuhan ordo,” ungkapnya. 

Disoal mengenai sosok yang menginspirasi jejak langkah imamatnya, dengan sigap ia menuturkan pendiri ordo adalah sosok yang memberikan pengaruh begitu kuat, sementara guru utama dan guru spiritual baginya tidak lain adalah Yesus. Pribadi yang Illahi namun sangat manusiawi. Ia lantas menjabarkan lebih lanjut, “Yesus mau seperti kita. Berinteraksi dengan sesama. Yesus bukan Tuhan yang di awang-awang, Ia Tuhan yang ada bersama kita, kita tidak dibiarkan berjalan sendiri, hal itu yang menjadi teladan, membuat semakin teguh dalam iman. Hal itu sangat memengaruhi untuk dapat menerima dan menjalankan tugas-tugas. Sabdanya menguatkan. Ini sejalan dengan moto saat saya ditahbiskan, saya mengutip Injil Yohanes 6: 68, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal.” 

Akhirnya, selamat bertugas, Pastor. Selamat berjuang menjadi bala tentara Bapa yang siap mengawal para hati pragembala gerejawi. (Hes)  

Pendidikan dan Kegembalaan
SDN 1 Semayang (1986 - 1992)
SMPN 1 Kembayan (1992 - 1995)
SMU Katolik Yohanes don Bosco Sanggau Kapuas (1995 - 1998)
Tahun Orientasi Panggilan/Topang, Nyarumkop (1998 - 1999)
Postulat Santo Leopold,  Bunut  Sanggau (1999 - 2000)
Novisiat St Fidelis Parapat, Sumatera Utara (2000 - 2001)
STFT St Yohanes, Pematang Siantar (2001 - 2005)
Tahun Orientasi Pastoral/TOP, Paroki St Maria, Jangkang, Sanggau (2006 - 2007)
STT Pastor Bonus (2007 - 2009)    
Kaul Kekal (2009)
Masa diakonat (2009 - 2010)
Tahbisan Imam (11 Februari 2010)
Pastor rekan di Paroki Sambas (2010 - 2011)
Kalimantan Tengah (2011 - 2012)
Melanjutkan studi di Roma (2013 - 2015)
Novisiat Poteng (25 November 2015 - sekarang)  


Tambahkanlah Iman Kami

Tambahkanlah Iman Kami


Cuaca sore nan panas memaksa saya untuk segera keluar dari “sarang” dan pandangan mata saya tertuju pada  pohon rindang nan hijau di halaman gereja. Ke tempat itulah akhirnya saya berlabuh untuk duduk dan melepaskan diri dari rasa panas. Sambil menikmati semilirnya angin, saya biarkan pikiran saya ngelantur kemana dia mau.  Tiba-tiba saja tanpa saya sadari di samping saya sudah berdiri tiga gadis cilik masih lengkap dengan seragam sekolah dasarnya. Secara serentak mereka mengulurkan tangan mau menyalami saya.  Dua gadis itu saya kenali wajahnya, meski tidak tahu siapa nama mereka. Sedangkan yang satunya sangat asing untuk mata saya. Mungkin baru kali ini saya bertemu dengannya.

“Kalian dari mana?” tanya saya kepada mereka begitu mereka selesai menyalami tangan saya.

“Kami dari gua Maria,” jawab seorang yang saya kenali wajahya.

“Pastor, boleh nanya gak?” tanyanya lagi.

“Oh boleh-boleh. Sini mau tanya apa?” jawab saya sambil menawarkan mereka duduk.

“Ini temanku, agamanya Budha. Dia minta kami antarkan untuk sembahyang bersama di Gua Maria.  Boleh kan ya, Pastor?” tersirat rasa takut di balik pertanyaannya.

“Oh gak papa. Berdoa itu kan baik. Jadi gak masalah. Boleh.  Tapi ngomong-omong, gimana kalian berdoanya?” tanya saya dipenuhi rasa penasaran.

“Tadi, aku ambil kertas, Pastor. Lalu aku tulis doa Salam Maria dan kami baca bersama-sama,”  jawab anak yang lain penuh percaya diri.

Sambil tersenyum saya menganggukkan kepala tanda setuju. Anak yang sungguh pintar dan kreatif. 

Betapa bahagia orangtua yang mempunyai anak-anak seperti mereka. Kata saya dalam hati.

“Satu lagi, Pastor mau tanya ya. Emang kalian berdoa apa kepada Tuhan lewat Bunda Maria?”

Kali ini gadis cilik yang asing bagiku, mulai angkat bicara. 

“Kami berdoa untuk adikku yang lagi sakit kanker. Sekarang dia lagi opname di Rumah Sakit Serukam,” jawabnya terbata-bata. 

Mendengar kata kanker spontan saya terkejut. Saya lihat anak itu pun segera menundukkan kepala seolah mau menyembunyikan wajahnya. Dia tidak mau memperlihatkan kesedihannya di hadapan saya.  Tetapi saya bisa melihat butiran bening tiba-tiba menetes dari matanya. Secara refleks saya pegang pundaknya. Sebisa mungkin memberikan penghiburan kepadanya.

“Boleh pastor juga berdoa untuk adikmu?” tanya saya mencoba memecah keheningan.

Setelah mengusap air matanya, anak itu menatap saya dan menganggukkan kepala. Tetapi segera dia menundukkan kepalanya lagi. Tak kuasa dia membendung air matanya.

“Boleh pastor juga tahu siapa nama adikmu? Biar nanti pastor bisa sebutkan namanya dalam doa,” tanya saya sekali lagi setengah berbisik ke telinganya.

“Namanya Leo, Pastor”, kata teman yang duduk di sampingnya. Sepertinya dia pun memahami kesedihan temannya.

“Baik. Pastor berjanji akan selalu mendoakan Leo. Semoga Tuhan memberkati Leo ya. Kita berdoa bersama demi kesembuhan Leo.”

Tiba-tiba hati saya pun ikut hanyut dalam suasana haru dan sedih. Kerongkongan saya serasa tersumbat. Mata saya pun mulai mengembang dan terasa hangat. Tetapi dengan sekuat tenaga saya mencoba menahan jangan sampai air mata saya menetes keluar. Saya tidak ingin menambah kesedihan gadis cilik yang duduk di samping saya.

“Pastor kami pulang sekarang ya!” kata anak yang dari tadi hanya lebih banyak diam. Mendengar ajakan pulang, tiga anak itu serentak berdiri. Kembali lagi mereka mengulurkan tangan kepada saya.

“Baik. Hati-hati di jalan ya. Dan jangan lupa. Kita semua berdoa untuk Leo,” jawab saya sambil menerima uluran tangan mereka.

Bertiga mereka mohon pamit dan mulai meninggalkan saya yang hanya berdiri mematung. Nampak suatu pemandangan yang sangat indah dan mengaharukan.  Dua anak mencoba memapah kakak Leo dan mereka berjalan sambil berangkulan. Kebersamaan tiga bocah cilik ini mau memberikan pesan bahwa kesedihan dan penderitaan mau mereka tanggung bersama.

Meski hanya sekejap, tetapi peristiwa sore itu meninggalkan banyak pesan kepada saya. Pertama, seorang yang beragama Budha mempunyai iman penyerahan yang luar biasa. Entah apa latar belakangnya dia berdoa lewat Bunda Maria, tetapi saya merenungkannya sebagai satu bentuk penyerahan diri kepada Tuhan lewat Bunda-Nya. Di tengah kesedihannya, dia lari kepada Tuhan melalui Bunda Maria. Iman yang sedemikian ini belum tentu saya miliki meskipun saya seorang Katolik yang mempunyai devosi kepada Bunda Maria. Saya harus belajar banyak dari bocah cilik yang punya keyakinan lain dengan saya.

Kedua, ketiga bocah cilik itu memiliki kepedulian yang sangat istimewa terhadap Leo yang sedang mengalami sakit kanker. Kepedulian mereka sungguh menohok hati saya karena sebagai gadis-gadis cilik mereka tidak memiliki apa-apa. Di tengah keterbatasan mereka mempunyai hati untuk orang lain yang sedang menderita. Suatu persembahan nan indah bisa mereka berikan kepada Leo, yakni doa bersama.

Ketiga, ketiganya memiliki rasa kebersamaan. Mereka membongkar sekat-sekat perbedaan di antara mereka. Perbedaan agama tidak mereka persoalkan. Justru mereka bisa bersatu dan berdoa bersama. Benar apa yang sering dikatakan bahwa kebersamaan itu sangat indah. Kali ini justru kebersamaan itu diperlihatkan oleh ketiga gadis cilik.

Setelah mereka hilang dari pandangan saya, saya pun kembali masuk ke “sarang” saya. Terimakasih adik-adik atas iman kalian dan kebersamaan kalian yang sangat indah. Dalam hati saya pun memanjatkan doa yang pernah disampaikan oleh para murid Yesus ”Tuhan tambahkanlah iman kami.” (Stephanus).

Retret Guru dan Karyawan Yayasan Pengabdi untuk Sesama Manusia “Yesus Sang Guru Sejati”

Retret Guru dan Karyawan Yayasan Pengabdi untuk Sesama Manusia

“Yesus Sang Guru Sejati”

Yayasan Pengabdi untuk Sesama Manusia (YPSM) kembali mengadakan retret seluruh guru dan karyawan YPSM yang berlangsung pada tanggal 8-10 September 2016 di Pusat Damai Wisma Tabor Bodok Kabupaten Sanggau. Kegiatan tersebut dihadiri oleh 207 peserta dan didampingi 14 Suster SFIC yang berkarya di bidang pendidikan. Peserta merupakan gabungan guru, karyawan dan staf 11 unit sekolah naungan YPSM yang ada di Pontianak, Singkawang, Darit dan Pahuman. Wilayah Singkawang sendiri meliputi TK/PG Epiphania, SD Suster, SMP Pengabdi, dan SMA St. Ignasius. Peserta begitu antusias mengikuti kegiatan yang bertemakan “Berbudaya: Berani Memperbaharui Diri dalam Iman, Harapan dan Kasih” tersebut. 

Misa Pembukaan dipimpin oleh Pastor Vincensius Darmin Mbula, OFM yang juga sebagai pemateri utama kegiatan. Beliau mengajak semua guru yang hadir untuk meneladani Tuhan Yesus Kristus sebagai Sang Guru Sejati dalam tugasnya mencerdaskan dan mendidik anak bangsa yang telah dipercayakan. Suster Kepala YPSM, Sr Susana, SFIC dalam sambutannya mengatakan bahwa Ia sangat mengapresiasi kehadiran para peserta. Selain itu, Ia juga berpesan dan mengajak  semua guru yang turut mengabdikan diri bersama YPSM untuk terus meningkatkan kualitas diri dalam menciptakan generasi yang berkarakter. 

"Saudara-saudari sebangsa dan setanah air yang terdidik dan terkasih, saya sangat mengapresiasi kehadiran bapak/ibu dalam kegiatan kita ini di Wisma Tabor walaupun harus menempuh perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan," ujarnya. Beliau juga sempat menyinggung peristiwa dalam Kitab Suci mengenai perjalanan murid-murid Yesus ke Bukit Tabor. “Kehadiran bapak/ibu mengingatkan kita akan peristiwa murid-murid Tuhan Yesus yang datang dari berbagai tempat berbondong-bondong mengikuti Tuhan Yesus Kristus ke Bukit Tabor. Kami berharap dalam kegitan ini membuahkan hal-hal baik yang dapat kita bawa dan terapkan ketika kembali ke tempat masing-masing,” katanya.

Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari itu berjalan dengan lancar. Materi-materi yang pada umumnya menyinggung perihal dunia pendidikan Katolik disampaikan oleh Romo Darmin Mbula, OFM. Beliau adalah  Ketua Majelis Pendidikan Katolik Indonesia dan juga dosen di beberapa perguruan tinggi. Melalui pengalaman dan pergulatannya di dunia pendidikan, Ia tampak begitu menguasai materi yang disampaikan. Beliau mengemasnya dengan sangat apik apalagi diselingi dengan beberapa simulasi permainan sehingga peserta tak merasa jenuh.



Salah satu materi yang disampaikan yakni mengenai “Shalom”, yaitu suatu salam yang berarti damai. Merefleksikan apakah guru-guru yang mengabdi bersama YPSM sudah sepenuhnya bekerja dengan hati yang damai. Damai yang diwujudkan dalam semangat yang diperbaharui serta berbudaya kasih persaudaraan. Romo Darmin Mbula, OFM., menyampaikan bahwa pada hakikatnya pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia agar berbuat kebaikan dan gerakan literasi dalam pendidikan merupakan suatu gerakan yang membawa seseorang berbudi pekerti. Ia menerangkan bahwa pendidikan Katolik mengacu pada budaya-budaya Katolik itu sendiri.
 
Budaya Katolik yang dimaksud di antaranya adalah bukan hasil tapi cara hidup, cara hidup yang bukan berupa dokumen atau buku teks tetapi mengajarkan pengalaman hidup/cara hidup. Cara hidup menurutnya tidak dapat dibeli, cara hidup berakar dari pribadi Tuhan Yesus yang ditulis dalam Injil. Hal utama pertama menjadi cara hidup adalah iman, pelayanan, keberanian, keadilan, harapan, kasih dan rekonsiliasi/ shalom (damai), dan komunitas/ persaudaraan.

Iman dalam pendidikan Katolik menjadi hal yang utama. Iman bagi sekolah Katolik ialah mencari kebenaran. Ia menuturkan setiap guru seyogyanya mengajarkan kebenaran dan pelayanan. Pelayanan yang pertama dalam pendidikan Katolik yaitu berkomitmen dan tidak bersungut-bersungut dengan memeperhatikan kompetensi dan ketrlibatan/ tindakan (action) seperti komitmen  dalam pribadi Yesus Kristus sendiri.

Di akhir kegiatan seluruh peserta retret YPSM ditugaskan untuk menyusun komitmen yang nantinya dibawa dan diterapkan di unit kerja (sekolah) masing-masing. Adapun komitmen-komitmen kelompok kerja dibuat ialah berdasarkan tradisi sekolah Katolik yang meliputi budaya Injil, budaya tumbuh bersama, budaya teamwork, budaya kinerja dan budaya profesionalisme. Di sesi terakhir ini juga Kepala YPSM Sr. Susana SFIC berpesan kepada seluruh guru agar menjadikan kelas sebagai ruang pengampunan dan ruang suka cita bagi peserta didik. Kegiatan ditutup dengan Misa penutup, makan siang bersama dan sayonara, lalu seluruh peserta meninggalkan lokasi kegiatan. 

(Oleh: Yudistira, S.Pd. salah satu guru yang mengabdi bersama YPSM)

28 Nov 2016

Penutupan Bulan Kitab Suci Nasional 2016

Penutupan Bulan Kitab Suci Nasional 2016

Minggu, 2 Oktober 2016 menjadi hari yang dinanti-nanti oleh seluruh peserta BKSN 2016. Pada hari itu, acara Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) resmi ditutup dengan pengumuman dan pembagian hadiah kepada para pemenang dari setiap bidang perlombaan yang diadakan. “Meskipun melelahkan, namun BKSN kali ini lebih ramai dan seru ketimbang tahun yang lalu, karena kali ini pesertanya tidak hanya dari utusan siswa sekolah atau dari organisasi rohani lainnya,  tapi ada juga dari guru-guru dan orang tua yang turut serta dalam perlombaan kali ini. Selain itu, perlombaannya lebih menantang dari tahun yang lalu,” ujar salah seorang peserta ketika ditemui usai acara penutupan BKSN 2016 di Gua Maria Paroki Singkawang.

Selain perlombaan LCT, Mazmur, Lektor, Outbond dan mewarnai, ada satu perlombaan yang kembali diadakan dalam BKSN 2016 di paroki kita kali ini; yaitu lomba Biblio Kitab Suci. Lomba Biblio Kitab Suci merupakan perlombaan yang tidak perlu mengucapkan dialog antar pemain, namun lebih menitikberatkan kepada ekspresi wajah, gerak-gerik tubuh dan tata panggung. Setiap kring, sekolah dan organisasi rohani lainnya pun tidak mau melewatkan perlombaan yang satu ini. Ada 7 kelompok peserta perwakilan dari masing-masing kring, sekolah dan organisasi rohani lainnya dan perlombaannya diadakan pada hari Sabtu, 24 September 2016.

Wajah bahagia dan sumeringah terpancar dari wajah-wajah para pemenang BKSN 2016 saat menerima piala dan hadiah. Namun, bukan hadiah yang menjadi tolak ukur dalam perlombaan ini melainkan menjadi warga gereja yang aktif dan antusias.  (Grace)
   
   

BKSN Paroki Singkawang: Outbond Ajang Olahraga, Rekreasi Rohani, dan Pendalaman Iman

BKSN Paroki Singkawang:

Outbond Ajang Olahraga, Rekreasi Rohani, dan Pendalaman Iman

 


Semangat umat Katolik mengucur di Gunung  Sari Singkawang,  Minggu 25/9/2016 dalam kegiatan outbond yang diselengarakan oleh Paroki Santo Fransiskus Assisi Singkawang sebagai salah satu rangkaian lomba Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) 2016. 

Semarak BKSN Paroki tahun ini sungguh menyita perhatian umat Paroki Singkawang dan tentunya mengalami peningkatan peminat yang begitu drastis dari tahun sebelumnya secara khusus pada lomba outbond Rohani. Luar biasa! Peserta Outbond kali ini diikuti oleh 35 tim yang berasal dari stasi, kring, OMK, Misdinar Paroki Singkawang, Biarawati, Asrama Katolik, dan dewan guru serta siswa/i  SMP hingga SMA Katolik yang berada di Kota Singkawang. 

Outbond sendiri merupakan salah satu agenda baru bagi Paroki Singkawang sebagai rangkaian acara BKSN. Banyak makna positif yang dapat diperoleh dalam kegiatan ini. Selain sebagai ajang olahraga juga sekaligus sebagai media rekreasi rohani  dan sarana pendalaman iman bagi umat Katolik khususnya di Paroki Singkawang.

Kegiatan lomba outbond diawali dengan Misa di Gereja Paroki Singkawang yang dipimpin oleh Romo Agus S. OFM.Cap. Dalam homilinya tak lupa beliau memberi semangat kepada para peserta lomba yang terlihat sumringah menyesaki setiap sudut gereja. Seusainya Misa seluruh peserta diarahkan menuju lokasi kegiatan yang berpusat di Persekolahan SMP St. Tarsisius Singkawang.


Selang setengah jam halaman SMP St Tarsisius langsung dipenuhi puluhan peserta. Peserta yang tergabung dalam tim terlihat tak sabar untuk  unjuk kebolehan dan kekompakkan mereka dalam menyelesaikan tiap tantanggan yang sudah menanti. Tentu saja panitia yang sejak pagi sudah stand by menyambut hangat kedatangan mereka. 

Tiap tim mengantri giliran berdasarkan nomor urutnya lalu mendapatkan pengarahan umum sebelum menuju pos-pos outbond agar nantinya setiap kelompok dapat melaksanakan kegiatan dengan aman dan lancar. Selain diberikan pengarahan tiap kelompok dibekali kudapan dan air mineral oleh panitia karena medan yang akan ditempuh cukup menantang. Tak kalah penting, tiap tim juga menerima tanggung jawab yang harus dijaga  dengan baik hingga berakhirnya kegiatan, yaitu berupa sebutir telur mentah yang diserahkan langsung oleh Suster Monika, SFIC.  

Satu per satu tiap tim bergerak menuju pos-pos yang disiapkan panitia. Adapun rute perjalanan dimulai dari persekolahan St Tarsisius, SMKN 1 (STM) kemudian menuju RS Alverno, Gunung Sari, RS Alverno, dan kembali lagi menuju Persekolahan St Tarsisius melalui jalur Gang Bambu yang berada tepat di sebelahnya.  Para peserta harus melewati berbagai tantangan seperti melewati jalan setapak, menyusuri hutan, mendaki gunung, berjalan di medan yang cukup curam, dan menembus pemukiman penduduk sekitaran Gunung Sari Singkawang. Tak hanya itu, setiap jalur yang dilewati dengan jarak bervariasi para peserta akan menyelesaikan tantanggan berupa kuis dan permainan di pos-pos outbond. 

Setidaknya  sembilan pos outbond yang harus dilalui para peserta. Pos pertama yaitu pos tebak gerak berdasarkan kalimat yang tertulis, pos kedua yakni pos merayap melewati rintangan, pos ketiga dengan permaian sambung menyambung menjangkau lilin, pos keempat meniup bola, pos kelima yang dinamai pos mengapai cita dengan mendaki medan berbukit. Kemudian, menuju pos keenam berupa permainan membidik sararan mengunakan ketepel, dilanjutkan pos ketujuh yang mana peserta ditantang untuk mengangkat sebuah bola plastik secara bersama menggunakan seutas tali, lalu pos kedelapan dengan tema “Air Sumber Kehidupan” sebuah permainan membawa segelas  air menggunakan selembar kain, dan pos  terakhir yaitu permainan tradisional pangkak gasing. Semua jenis permainan  tersebut tentunya memiliki makna tersendiri terutama untuk menguji kekompakan, kreativitas, pengorbanan, serta ketepatan tiap peserta dan menjadi dasar penilaian bagi panitia dalam menentukan pemenang lomba. Selain melakukan permaian, peserta juga diuji pengetahuan dan pemahamannya melalui soal-soal tes lisan terutama mengenai isi Kitab Suci, pengetahuan umum Gereja Katolik (Tata Perayaan Ekaristi), Sakramen maupun istilah-istilah dalam gereja yang menjadi intisari lomba outbond BKSN.

Pastor Paroki Singkawang Stefanus Gathot OMF.Cap. tampak hadir di antara para  peserta. Seolah tak mau kalah oleh anak-anak muda dan para umat, beliau begitu antusias mengikuti outbond BKSN. Sesekali terdengar keriuhan dan gelak tawa para peserta ketika tiba di pos permainan. Meski tampak ngos-ngosan para peserta tetap bersemangat apalagi saat mereka menyanyikan yel-yel andalan masing-masing sembari menari dan bertepuk  tangan.


Kegiatan outbond diakhiri dengan rekap nilai oleh panitia setelah seluruh peserta berhasil melewati tiap pos permaian. Hasil perhitungan memutuskan tiga pemenang di antaranya Kring Leo Agung sebagai juara I, tim Siswa SMP Pengabdi Singkawang menempati juara II, dan tim dari Kring Santa Maria sebagai juara ke-III. Selamat kepada para pemenag lomba maupun kepada peserta yang belum berhasil semoga semakin giat meneladani dan mewartakan sabda Tuhan lewat Kitab Suci. Salam jumpa di kegiatan outbond BKSN Paroki Singkawang tahun depan! Tuhan memberkati. 
(Yudistira, S.Pd.)

Perayaan Bulan Kitab Suci Tahun 2016 di SMP Bruder Singkawang

Perayaan Bulan Kitab Suci Tahun 2016 di SMP Bruder Singkawang


Sudah sejak lama gereja menyadari perlunya umat beriman untuk semakin mencintai dan menghidupi Kitab Suci sehingga mereka pantas untuk bersaksi dan mewartakan-Nya baik secara pribadi maupun keluarga. Dalam ajaran Konsili Vatikan II diungkapkan keinginan agar jalan menuju Kitab Suci dibuka lebar-lebar bagi kaum beriman (Dei Verbum 22). Pembukaan jalan menuju Kitab Suci ini dilakukan dengan menerjemahkan Kitab Suci ke dalam banyak bahasa lokal. 

Ktab suci telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, namun umat Katolik Indonesia belum mengenal dan memahaminya, dan belum mulai membacanya. Mengingat hal itu, Lembaga Biblika Indonesia (LBI), yang merupakan Lembaga dari KWI untuk kerasulan Kitab Suci, mengadakan sejumlah usaha untuk memperkenalkan Kitab Suci kepada umat dan sekaligus mengajak umat untuk mulai membaca Kitab Suci. Hal ini dilakukan antara lain dengan mengemukakan gagasan sekaligus mengambil prakarsa untuk mengadakan Hari Minggu Kitab Suci secara Nasional. LBI mengusulkan dan mendorong agar Keuskupan-Keuskupan dan Paroki-Paroki seluruh Indonesia mengadakan ibadat khusus dan kegiatan-kegiatan sekitar Kitab Suci pada Hari Minggu tertentu.

Dalam sidang MAWI 1977 para uskup menetapkan agar satu Hari Minggu tertentu dalam tahun gerejani ditetapkan sebagai Hari Minggu Kitab Suci Nasional. Hari Minggu yang dimaksudkan adalah  Hari Minggu Pertama bulan September. Dalam perkembangan selanjutnya keinginan umat untuk membaca dan mendalami Kitab Suci semakin berkembang. Satu minggu dirasa tidak cukup lagi untuk mengadakan kegiatan-kegiatan seputar Kitab Suci. Maka, kegiatan-kegiatan ini berlangsung sepanjang Bulan September dan bulan ke-9 ini sampai sekarang menjadi Bulan Kitab Suci Nasional.

Pada bulan September, Gereja Katolik Indonesia memasuki bulan Kitab Suci Nasional.  Pimpinan Gereja menganjurkan umat Katolik menjadi lebih akrab dengan Kitab Suci dengan berbagai cara, sehingga dengan demikian umat semakin mendalami imannya dalam menghadapi kerumitan dan kesulitan hidupnya.

Tema Bulan Kitab Suci Nasional tahun 2016 adalah Keluarga Bersaksi dan Mewartakan Sabda Allah “Hendaknya Terangmu Bercahaya” (Matius 5:16). Tema ini mengajak semua orang beriman untuk menjadi pewarta Sabda Tuhan dan memberikan kesaksian itu dalam kehidupan kita. Satu di antaranya adalah melalui tindakan cinta kasih kepada keluarga, sesama dan gereja agar mampu memahami ajaran Gereja katolik.

Keberadaan Bulan Kitab Suci ini mempunyai makna yang penting sebagai upaya untuk menyadarkan umat akan pentingnya mencintai Kitab Suci. Untuk mengisi  Bulan Kitab Suci Nasional di setiap keuskupan dilakukan berbagai kegiatan mulai dari lingkungan, wilayah, paroki, maupun di sekolah- sekolah.  Di SMP Bruder Singkawang khususnya dalam merayakan bulan Kitab Suci diawali dengan perarakan  khusus Kitab Suci dan mendengarkan bacaan Kitab Suci,  serta renungan singkat setiap pagi  sebelum pembelajaran selama bulan September. Selain itu, SMP Bruder Singkawang  juga mengadakan berbagai lomba. Adapun yang dilombakan adalah : Lektor, Mazmur,  Pantomin  Kitab Suci, LCT, Kriya, dan Vokal Grup. Kegiatan lomba diadakan 2 hari di minggu ketiga bulan September. 

Dalam berbagai lomba peserta didik dapat berbaur dengan teman-teman tanpa membedakan agama. Mereka begitu kompak dan saling bekerjasama untuk memenangkan lomba. Masing-masing kelas mempersiapkan diri untuk menampilkan yang terbaik. Kegembiraan terpancar di wajah mereka, meskipun tidak begitu meriah tetapi menimbulkan kesan yang sangat mendalam bagi peserta didik. 

Tujuan diadakannya kegiatan tersebut adalah untuk mengenal menumbuhkan cinta terhadap Kitab Suci serta sebagai wahana  bersaksi dan mewartakan Sabda Allah di tengah keluarga, masyarakat dan gereja. Dengan demikian, melalui Bulan Kitab Suci peserta didik menjadi semakin rajin membaca dan merenungkan Sabda Allah, peserta didik semakin dapat menghayati dan mengamalkan Sabda Allah dalam kehidupan sehari-hari, serta selalu didasarkan pada Sabda Allah dan senantiasa selaras dengan kehendak Allah.

Semoga usaha sekolah dan peserta didik seluruhnya diberkati Tuhan dan iman peserta didik semakin dewasa dengan sering membaca kitab Suci.(Dian Lestari, S.Pd)


26 Nov 2016

111 Tahun Kapusin, Totalitas Menggembala Oleh Mereka yang Berkaul Miskin

111 Tahun Kapusin, Totalitas Menggembala Oleh Mereka yang Berkaul Miskin


Tahun 2016 merupakan tahun istimewa bagi Ordo Kapusin Propinsi Pontianak. Ordo yang resmi berdiri 3 Juli 1528 ini, pada 2016 memasuki 111 tahun bermisi di Kalimantan Barat. 30 November 1905 silam, misi yang dirintis empat orang Kapusin asal Belanda ini menjadikan Kalimantan Barat, tepatnya Singkawang sebagai lahan garapan menabur benih ajaran Tuhan. Kala itu Singkawang otomatis menjadi stasi pertama dengan jumlah umat berkisar 300 dan didominasi oleh masyarakat Tionghoa. 

Seabad lebih berselang, pada 20 November 2016, berpusat di Paroki Santo Fransiskus Assisi Singkawang tempat pertama kali Kapusin bermisi, digelar perayaan syukur 111 tahun karya misi Kapusin di Kalimantan Barat. Perayaan syukur digelar selama tiga hari berturut-turut dan melibatkan seluruh lapisan umat Katolik di Singkawang. Umat bahu membahu berupaya menyukseskan perayaan syukur para gembala yang selama ini telah dengan setia melayani mereka. 

Perayaan yang dimulai sejak Jumat malam, 18 November 2016 ini mengusung pentas hiburan rakyat sebagai magnet utamanya. Berbagai atraksi menarik yang berasal dari berbagai kring, persekolahan Katolik, Rumah Sakit St Vincentius, OMK, maupun sumbangsih dari lintas agama yang dimeriahkan dengan tarian rancak semarak oleh Yayasan Budha Maitreya sukses membesut perhatian tak hanya umat Katolik yang hadir saja. Hal ini tampak saat kegiatan dilangsungkan tidak sedikit warga yang kebetulan melintasi jalur utama kota menyempatkan diri menghentikan kendaraan guna menikmati hiburan yang memang digelar  tepat di halaman gereja. 

Tidak berhenti sampai di situ, pada Sabtu, 19 November 2016, tepat pukul 14.00 Wib, gereja bersama berbagai elemennya menggelar pawai napak tilas misi Kapusin. Beberapa jalur utama dalam kota yang dimulai dari SD Suster (Jalan P. Diponegoro), Jalan Niaga, Jalan Budi Utomo, Jalan Saman Diman, Jalan Setia Budi, Jalan Niaga, Jalan Sejahtera, dan berakhir di halaman Gereja St Fransiskus Assisi merupakan rute yang dipilih oleh panitia untuk melakukan kilas balik peringatan  111 tahun kaum berjubah coklat ini berkarya di Singkawang. Masih di hari yang sama, pada malam harinya kembali digelar pentas hiburan lanjutan.



20 November 2016, perayaan Ekaristi yang pada hari Minggu biasa dilangsungkan dua kali, khusus di tanggal ini hanya digelar satu kali. Ekaristi dipimpin langsung oleh Uskup Agung Pontianak sebagai selebran utama didampingi beberapa pastor Kapusin. Usai Misa Agung digelar dilanjutkan dengan perayaan sukacita. Umat tampak saling menyokong satu sama lain sekaligus merupakan bukti kecintaan yang luar biasa kepada para gembalanya. Seluruh umat terlibat aktif dalam menyukseskan gawe akbar perayaan syukur 111 tahun misi Kapusin, Sang Gembala yang berkaul miskin. (Hes)