Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

19 Mar 2016

PELANGI NATAL DI STASI-STASI

PELANGI NATAL DI STASI-STASI


Google Images.Jpg

“Misa Natal di stasi tadi pagi sangat meriah. Hampir semua umat yang hadir di kapel ikut bernyanyi. Meskipun lagunya salah, tapi gak papa karena umat terlibat aktif dalam perayaan Misa”. Begitulah kesan seorang teman pastor di meja makan menanggapi perayaan natal di salah satu stasi. Sambil menganggukkan kepala, saya mengamin-i apa yang dikatakan pastor tersebut. Kesan yang kurang lebih sama juga saya alami dan juga dialami oleh teman-teman yang melayani perayaan natal di stasi-stasi. Intinya perayaan Natal tahun 2015 ini sangat meriah dan berwarna-warni. 

Dari Pohon Natal Daur Ulang sampai pada Pesta Rakyat

Pernak-pernik Natal tahun 2015 ini sungguh menghiasi pesta Natal di beberapa stasi di wilayah Paroki Singkawang. Berbagai kreasi unik dan menarik memberikan warna tersendiri dalam memeriahkan pesta kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Harus diakui dibandingkan tahun lalu, perayaan Natal tahun ini lebih berwarna-warni.

Sekedar menyebut Stasi Medang misalnya. Mereka menampilkan kreasinya yang unik dengan membuat Pohon Natal berbahan dasar daur ulang. Seolah mau mengampanyekan pesan go green, mereka memanfaatkan bekas gelas dari minuman air mineral. “Kami telah mengumpulkan gelas-gelas ini sejak tahun lalu”, ungkap penggagasnya dengan bangga. Ratusan gelas plastik yang hampir tak ada nilainya itu disulap sedemikian rupa dan dijelmakan dalam sebuah pohon natal yang menjulang tinggi hampir 4 meter. Pohon natal yang berbahan murah itu dipajang di halaman kapel Stasi Medang lengkap dengan lampu kelap-kelipnya. Di malam hari cahaya lampu yang memancar dari pohon natal itu membuat suasana terasa syahdu. Siapa sangka pohon natal itu berasal dari bahan daur ulang gelas plastik.

Lain Stasi Medang lain lagi Stasi Sarangan. Masih soal pohon Natal yang tidak kalah menariknya. Para OMK yang didaulat menjadi panitia Natal memanfaatkan daun pohon resam (dalam bahasa daerah mereka menyebutnya sebagai daun taboyo) untuk membuat pohon natal. Dalam keseharian daun resam ini hampir tidak pernah diketahui apa kegunaannya. Namun di tangan orang muda yang kreatif, daun resam ini ditata sedemikian rupa hingga menyerupai pohon natal dan dihias dengan lampu natal. Pohon natal kreasi OMK Sarangan tak kalah indahnya dengan pohon natal yang dijual di toko-toko. Bahannya sangat murah. Tetapi tetap meriah.

Selain pohon natal, tak kalah serunya adalah pesta rakyat yang digelar selesai misa Natal. Rupanya acara ini sudah mentradisi dan harus dirayakan untuk beberapa stasi. “Rasanya belum merayakan Natal kalau tidak ada pesta rakyat”. Begitu komentar seorang umat. Pesta rakyat yang dimaksud adalah berbagai jenis lomba, mirip seperti pada perayaan 17 Agustus. Stasi Setanduk menjadi salah satu stasi yang selalu rutin mengadakan perlombaan ini untuk kaum ibu, bapak, orang muda dan anak-anak. Lama sebelum Natal telah dibentuk panitia untuk menganimasi kegiatan ini. Dengan dana apa adanya, hasil pengumpulan dari umat, pesta rakyat pun digelar seusai Misa Natal. Teras gereja disulap menjadi panggung utama dan dari sanalah pesta rakyat dimulai dengan menampilkan pertunjukan dari anak-anak. Selesai panggung hiburan, pesta rakyat pun dimulai. Umat yang hadir tumpah ruah di halaman gereja mengikuti perlombaan yang digelar. 

Umat Stasi Parit Baru merayakan pesta Natal dengan cara mereka sendiri. Mereka lebih memberi perhatian pada Anak-Anak Sekolah Minggu. Begitu misa Natal selesai dirayakan, panitia langsung mengubah bagian depan altar sebagai tempat pertunjukan. Ada tarian, ada nyanyian dan juga fashion show. Semua mata acara diisi oleh anak-anak yang benar-benar menikmati pesta natal. Ibarat peragawati yang berjalan di atas catwalk, begitulah anak-anak berlenggak-lenggok, memamerkan gerak dan busana yang dipakainya.

Lomba Paduan Suara Lagu Natal

Ide untuk merayakan natal bersama dengan umat stasi-stasi dicetuskan pada pesta natal tahun 2014 yang lalu. Adalah panitia Natal Paroki yang mengemas acara supaya ada suasana kekeluargaan di antara umat di kota dan stasi. Maka mulai digagas perlombaan koor sebagai sarananya. Karena jumlah stasi cukup banyak dan terpencar-pencar, maka diadakan dua kali perlombaan koor untuk stasi yang ada di wilayah Kotamadya Singkawang dan stasi yang ada di wilayah Kabupaten Bengkayang.

Di luar dugaan tanggapan umat stasi sangat antusias. Tahun ini menjadi gelaran kedua dengan berbagai penyempurnaan. Meskipun belum semua stasi bisa berperan serta, tetapi tetap ada wakil dari stasi yang hadir sebagai umat dan ikut memeriahkan. “Tahun depan kami pasti ikut sebagai peserta lomba koor. Mohon kepada panitia di paroki supaya mempersiapkan jauh-jauh hari supaya kami bisa mempersiapkan diri,” harap salah seorang umat stasi yang belum bisa ikut lomba.

Kehadiran peserta koor dengan seragam batik menambah semaraknya suasana natal di dua stasi sebagai tempat pangkalan; stasi Roban untuk wilayah stasi Kotamadya Singkawang dan Stasi Capkala untuk wilayah stasi Kabupaten Bengkayang. Suasana kekeluargaan sungguh terasa manakala umat yang hadir betul-betul menyatu. Tidak ada sekat antara satu dengan yang lainnya. Paduan suara rupanya menjadi alat pemersatu di antara umat stasi.

Pelangi di langit nampak indah karena berwarna-warni. Begitu juga pesta Natal 2015 di Stasi-Stasi terasa indah dan semarak karena diisi dengan berbagai acara yang unik dan menarik. Perayaan itu terasa makin indah karena dijiwai oleh kesederhanaan. Tak ada kesan pesta pora di dalamnya. Bukankah Tuhan Yesus juga lahir dalam kesederhanaan? Tetap indah, walaupun tidak mewah. (Gathot)

Ia di Antara Biola, Kamera dan Komuni untuk Lansia

Ia di Antara Biola, Kamera dan Komuni untuk Lansia


“Tahun-tahun yang memutih di kepala menandai tinggi batang usia kiranya bukan penghalang baginya yang sering terlihat masyuk dengan kamera. Di umur rambang senja, ia bahkan menjadi daya tarik tersendiri mengingat sosok lain yang seusia umumnya tak lagi menggubris perkembangan teknologi yang setia bergulir di dunia.”



Pastor Marius, OFMCap, gembala yang selalu tampil formal, berkemeja lengan panjang, dimasukkan rapi, bersemat salib kecil di kerah kiri, dan selalu beralas kaki hitam ini bukan sosok asing di lingkungan Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi. Putra kelima dari pasangan bapak Mateus Chen dan ibu Yohana Lay ini begitu tak terganggu manakala ratusan pasang mata memandang aksinya kala mengabadikan berbagai peristiwa yang berlangsung di gereja maupun hal lain yang sanggup menarik perhatiannya. Meskipun bersifat pribadi, betapa aktivitasnya sangat membantu gereja dalam mengabadikan setiap rangka masa. Entah telah menghabiskan berapa giga bahkan tera kapasitas hardisk guna membingkai laman waktu dalam gambar bergerak maupun slide-slide bisu. Tak berhenti sampai di situ, suaranya terdengar begitu ringan menandakan sama sekali tiada berkeberatan ketika hasil bidikan kameranya diunduh orang guna memenuhi berbagai kepentingan. 

Terlahir dengan nama Chen, semenjak kecil ia telah begitu terpesona pada kehidupan membiara. Chen kecil yang menunjukkan ketertarikannya pada kaum berjubah menggiring langkah remajanya menekuni panggilan iman hingga ke Holand. Pada 1947, dua tahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, ia telah melanglang buana ke negeri Belanda. Zaman dulu menempuh pendidikan menjadi imam kesempatannya tidak seluas sekarang. Ia harus berjibaku dengan teologi dan filsafat ilmu hingga ditahbiskan sebagai imam di negeri kembang tulip itu pada 1961. 

Empat belas tahun di benua Eropa, begitu banyak hal dipelajarinya. Selain kian mematangkan pendidikannya menjadi gembala, ia mulai akrab dengan biola. Secara otodidak ia mempelajari cara memainkan alat musik yang tak sekadar menggesek dawai belaka, namun juga mengandalkan kehalusan jiwa untuk mampu sampai ke hati penikmatnya. Kepiawaiannya mengalunkan nada melalui biola bak gayung bersambut manakala ia kembali ke negeri asalnya. Sempat menggembala umat selama setahun di Nyarumkop pada 1962 sebelum akhirnya di tahun  1963 ia kembali berkarya di Katedral, di jantung Khatulistiwa. 

Pada tarikh 1963−1997 penempatan tugas pastoral membuatnya mengabdikan diri di Gembala Baik. Di sinilah ia berkolaborasi dengan ketua Yayasan Persekolahan Gembala Baik yang sepaham dengannya mengenai pembelajaran ekstra bagi siswa. Ia seiya sekata dengan Bapak Yan Fredrik yang menggagas mengenai pembelajaran biola untuk menghaluskan jiwa para peserta didiknya. Dengan telaten dan sabar, ia menularkan kebisaannya memainkan biola pada siswa-siswinya. “Pak Yan mewariskan satu hal tidak diduga, ia mengajar musik terutama biola kepada murid karena ia mau muda-mudi kita tetap peka terhadap sesuatu yang indah. Contohnya jika ada berita orang yang mengalami musibah di sekitar kita dan kita melihatnya sebagai sesuatu yang biasa, hal ini terjadi karena tidak ada kepekaan terhadap yang indah. Mulanya saya tidak mengerti, tetapi akhirnya saya memahami dan sesuatu yang paling indah adalah yang dilakukan oleh Yesus di kayu salib, wafat bagi orang lain. Hal ini dapat terjadi karena jiwa yang peka. Karena sesuatu yang indah dapat memengaruhi kepekaan sikap jiwa. Sehingga dia merasa indah juga bisa menolong orang, malahan bila perlu berkorban untuk orang lain. Saya ambil warisan itu. Saya melanjutkan itu. Biarlah kelihatan atau tidak, berhasil atau tidak, tapi pasti tidak rugi jikalau dari anak-anak itu masih dapat kesempatan untuk mematangkan rasa mereka terhadap keindahan. Karena otomatis akan mempengaruhi mereka punya jiwa,” urainya. Hingga usianya hampir menginjak 87 tahun, ia tetap setia melatih bermain biola. Dan satu hal yang sungguh luar biasa, ia melatih tanpa memungut sepeserpun biaya dari para didikannya. “Saya melanjutkan semua itu bukan sebagai hobi saja, tapi dengan harapan dasar supaya muda mudi kita menyebarkan keindahan yang mereka rasa, yang secara otomatis meningkatkan sikap jiwanya.” 

Hal unik lain dari sosoknya, di tahun 1947 dimana bangsa ini baru mengecap haru biru hawa kemerdekaan bahkan mungkin saja masih latah terhadap perputaran zaman, ia telah selangkah lebih maju. Ia akrab dan paham dengan peralatan media rekam. Sungguh berada di luar duga bahwa ia memang mesra dengan kamera semenjak dulu kala. Di samping itu, ia juga memanfaatkan media sosial untuk berbagi banyak hal yang direkamnya. Bukan tanpa maksud, namun  aktivitas tersebut berkiblat pada manfaat berbagi dan menarik esensi dari berbagai hal baik yang sanggup menginspirasi. “Ya memang hobi, dengan arti, itu adalah media yang bisa menyampaikan sesuatu. Hasil rekamnan saya banyak simpan di Facebook dan Youtube. Dari yang dibagikan di Facebook dapat dibaca juga notes berisi keterangan di bawahnya. Di situ saya banyak menulis hasil-hasil pembicaraan, menjawab pertanyaan orang tentang berbagai hal, tentang perkawinan, tentang hidup, tentang kematian.” Ia tak gagap teknologi, bahkan sukses memanfaatkannya menjadi media untuk menggembala umatnya. 

Usianya memang tak lagi muda, namun ia tampak tak pernah menyerah begitu saja pada deret angka penanda masa hidup manusia. Ia masih selalu bersemangat melakukan berbagai aktivitasnya sendiri. Menyetir, bersepeda, berjalan kemana pun tugas gembala mengharuskan langkahnya berada, semua dijalaninya dengan suatu kesadaran bahwa kemandirian berdampak penuh terhadap kondisi kesehatan. Hingga kini, ia masih melayani, mengantar sendiri komuni suci bagi para lansia, baik di dalam maupun di luar kota. Jumlahnya pun tidak sedikit, terdapat dua putaran dalam hantaran yang totalnya berada di kisaran angka enampuluhan.
  
Meski menyadari sepenuhnya terhadap berbagai hal yang berpengaruh besar pada kesehatan, Pastor Marius bukan insan yang menyangkal kematian. Pernah dalam satu kurun waktu ia bolak-balik melewati jalan yang sama menuju kompleks pekuburan. Aktivitasnya itu disadari oleh seorang umat yang serta merta menanyakan alasannya. Dengan nada berkelakar ia mengungkap alasannya menjalani aktivitas yang tergolong tidak biasa itu dengan harapan ketika kematian menjemput, jiwanya bisa mandiri, berjalan sendiri karena sudah hafal jalan dari pastoran menuju kompleks pekuburan.

Pria yang terlahir pada 1 Agustus 1929 ini pernah mengalami mujizat dalam hidupnya. Dikisahkannya pada wawancara dengan tatapan bersungguh-sungguh pada tahun 2002 ia berada dalam perjalanan dari Pontianak menuju Singkawang. Kala itu di daerah Sungai Limau nasib tak mujur menghampirinya, ia terlibat dalam kecelakaan di jalan raya. Namun suatu hal yang benar-benar dirasanya adalah terdapat tangan seseorang yang memegangnya, menahannya agar tak terlalu kuat menghantam setir maupun dashboard mobil yang dikemudikannya. Saat kecelakaan terjadi ia bersama dengan dua orang lain yang duduk jauh di belakang setir yang dikendalikannya. Suatu kondisi dimana dua orang di belakangnya tidak mungkin melakukan hal yang dirasakannya sebagai ‘pegangan tangan seseorang’. Saat dievakuasi, tim medis yang menanganinya merasa tipis harapan nyawanya dapat diselamatkan mengingat kondisinya yang sangat memprihatinkan. Di luar dugaan, ketika Pastor Marius siuman dan satu hal yang langsung ia ingat saat itu ia harus memimpin misa berbahasa Tionghoa. Dengan kondisi luka dalam yang jika orang awam hanya bisa bertahan selama tiga jam, Pastor Marius merasa menerima sentuhan kekuatan hingga ia dapat bertahan selama delapan jam sebelum akhirnya mendapat perawatan lanjutan. Dalam kondisi itu ia menguatkan diri untuk pulang ke Singkawang. Tim medis di Singkawang hanya menggeleng-geleng takjub menyaksikan betapa mujizat Tuhan bekerja atas diri pastor ini. Usai merasakan kuasa keajaiban pada tahun 2002, Pastor Marius semakin meyakini segala keselamatan yang dialaminya tak lain karena campur tangan Bunda Maria. 

Hal lain yang juga menjadi kisah tersendiri dari diri pastor yang satu ini adalah dalam kurun masa tertentu, beliau pernah menggunakan peti mati sebagai fasilitas tidurnya. Tentunya hal ini menjadi kondisi tak biasa bagi orang kebanyakan yang secara general memandang segala hal yang berkaitan dengan kematian adalah sesuatu yang masih begitu menakutkan. Ya, pastor Marius memang sudah memesan sebuah peti kepada sahabatnya yang berprofesi sebagai pembuat peti demi kepentingannya sendiri di kemudian hari. Serta merta peti pesanannya dititipkan kepada si pembuat karena untuk membawa peti jenazah ke pastoran bukan hal yang mudah. Selain akan memakan banyak tempat, adalah tak lazim meletakkan peti dalam ruangan yang sebenarnya bukan tempatnya. Suatu waktu ketika sang sahabat pembuat peti berpulang ke penciptanya, peti jenazah pesanannya harus dibawanya ke kediamannya, ke pastoran. Ia lantas meletakkan peti pesanannya di dalam kamarnya dan menjadikannya sebagai tempat beristirahat. Ia tidur di dalam peti jenazah. Cukup lama keadaan itu dijalaninya hingga suatu ketika ia tak dapat bertahan lagi karena hawa panas yang menyelimuti ketika ia tidur di dalam peti. Suatu pengalaman jenaka yang tidak disangka terjadi atas dirinya. Meski kini peti itu tetap berada di kamarnya, kondisinya saat ini kokoh berdiri dan telah beralih fungsi menjadi almari. 

Pada akhirnya sekelumit kisah hidup yang terajut menjadi sisi lain bagi kita memandang sang gembala. Selamat berkarya, Pastor. Semoga selalu sehat dan dilindungi dalam setiap langkah. (Hes)      
NB: Bagi umat yang ingin berinteraksi dengan beliau dapat mengunjungi laman
Facebook: Mar Chen (Marius) dan Youtube: mari2chen.                    


16 Mar 2016

Kunjungan Muhibah Saudara Seiman dari Sabah

Kunjungan Muhibah Saudara Seiman dari Sabah


Menyandang predikat sebagai salah satu gereja yang didaulat menjadi tempat pemerolehan rahmat indulgensi oleh Bapa Uskup Agung Pontianak membuat Gereja Santo Fransiskus Assisi Singkawang sebagai rujukan destinasi bagi para peziarah iman. Seperti halnya pada Senin, 14 Maret 2016, gereja mendapat kunjungan dari rombongan Paroki Santo Yohanes Senjontoran, Sabah. Rombongan yang diketuai oleh Justin Stephen ini terdiri dari 30 orang dan tiba di Singkawang pukul 15.30 Wib.

Serta merta misa digelar dan dipimpin oleh Pastor Gathot Sri Purtomo, OFMCap. Umat yang hadir terlihat khusyuk mendengarkan homili dari pastor. Meski terdapat sedikit perbedaan dalam hal bahasa namun hal tersebut tak menjadi penghalang bagi kelompok wisatawan rohani untuk memahami dan menghayati khotbah singkat pastor paroki.

Usai mengikuti misa rombongan didapuk untuk mengabadikan momen ziarah di depan Gerbang Kerahiman Illahi Gereja Santo Fransiskus Assisi Singkawang. (Hes)

 

SAAT SUARA DARI TIMUR MENYAPA KOTA AMOI

SAAT SUARA DARI TIMUR MENYAPA KOTA AMOI

 


Suatu kegembiraan bagi Kota Singkawang dan khususnya warga paroki St Fransiskus Assisi (PSFA) atas kedatangan para imam dari berbagai keuskupan di Indonesia serta dua uskup dalam perayaaan Ekaristi Minggu, 21 Februari 2016. Bertepatan dengan penutupan perayaan Imlek, rangkaian acara diawali pawai lampion dan puncaknya adalah digelarnya festival Cap Go Meh.  Kaum berjubah yang hadir tak menyiakan kesempatan untuk turut menyaksikan rangkaian aktrasi perayaan Imlek 2016 di Kota Singkawang yang merupakan ritual memikat bagi para wisatawan baik dari lokal maupun mancanegara.

Aset Wisata
 
Misa pada Minggu itu dipimpin oleh dua uskup yaitu Mrg. Agustinus Agus, Pr dari Keuskupan Agung Pontianak dan Mgr. Dominikus Saku, Pr dari Keuskupan Atambua NTT sebagai selebran utama serta didampingi 14 imam sebagai konselebran, memberi warna tersendiri  di dalam gereja saat itu. Perayaan masa Prapaskah  kedua ini, semakin semarak oleh paduan suara dari koor St. Elisabet dengan dominasi lagu berbahasa latin.

Dalam pengantar kotbah yang disampaikan Oleh Mgr. Dominikus, bahwa Kota Singkawang merupakan aset wisata yang sudah dikenal di dunia internasional dalam perayaan Imlek. “Saya sangat senang karena boleh melihat langsung Kota Singkawang dan bisa ikut pawai  lampion bersama warga, berkat Mgr. Agus yang dengan segala kebaikannya memberi waktu saya untuk bertamu di tanah Borneo tercinta ini.” Tepukan tangan meriah dari umat semakin menggema saat itu ketika uskup memberi contoh bagaimana upaya umat Katolik dalam menghayati wajah Allah Yang Maha Rahim dalam segala dinamika hidup di PSFA tercinta ini. 

Usai perayaan ekaristi, uskup agung Pontianak memberi kesempatan kepada para pastor untuk memperkenalkan diri kepada umat sekaligus tujuan kedatangan tamu agung ini ke Kota Seribu Kelenteng. Delegatus imam dari aneka keuskupan ini ternyata ketua-ketua Komisi  Keadilan dan Perdamaian Pastoral Buruh Migran Perantau (KKPPBMP) di Gereja Katolik Indonesia. Merekalah sebagai tempat pelindung bagi keadilan kaum buruh, TKI, TKW hingga mereka yang di hukum mati di penjara pun kaum egaliter putih ini ikut berjuang bertapa mahal harga nyawa seseorang di hadapan sesama di muka bumi ini.

Aneka Kuliner Orisinil
 
Situasi keakraban para tamu berjubah semakin asyik karena mereka berkesempatan menikmati kuliner dari aneka bina ciptaan masakan  kue/kudapan  hasil karya orisinil umat  pelbagai lingkungan yang ada di PSFA Singkawang. 

Uskup dan kaum berjubah (rohaniwan, biarawan dan biarawati) menikmati berbagai sajian makanan dan minuman yang lezat dan bergizi ditambah suguhan hiburan  lagu-lagu rohani dari panitia yang sangat fantatis di siang itu semakin menyemarakkan suasana di depan halaman gereja. Rintik hujan pun seakan lenyap seketika karena suasana istimewa di bulan Februari 2016 ini.

Bapak Leonardus, Ketua Kring St Maria Singkawang, mengungkapkan kegembiraanya karena  keterlibatan umat dalam hidup menggereja sangat nyata bukan hanya seputar kegiatan rohani tetapi juga kegiatan mengadakan stand kuliner dari berbagai lingkungan yang ada. “Saya merasa juga bahwa hari ini umat sungguh menyatu dan bersatu untuk melihat karya nyata Allah dalam melayani dan menjamu tamu kehormatan dan umat yang hadir saat ini mau menikmati sajian kami dengan penuh gembira,” Komentar ketua panitia Open House sekaligus seksi penyambutan tamu agung ini dengan nada syukur.

Apa kata Mereka
 
Romo Koko, Pr  tidak dapat membendung kegembiraanya mengungkapkan, “Sangat senang dengan situasi gereja yang hidup. Umat  di sini sangat aktif dan terlibat penuh bukan hanya di seputar altar tetapi juga di dalam karya yang nyata. Tidak mudah mengajak umat di lingkungan kota  ini lho, untuk mau partisipatif tetapi di sini enak banget rasanya dech,” papar sekretaris eksekutif KKPPBMP yang berdomisili di Kota Jakarta ini  dengan logat Jakarta sembari dibarengi senyum merekah.

Selain itu Romo Pascal, Pr yang berkarya di Paroki Batam Keuskupan Pangkal Pinang inginnya satu bulan di Kota Singkawang. “Heemm, mimpiku terjawab dan rasanya enggan untuk meninggal kota yang eksotis ini.” Ketika disentil apa pendapatnya tentang suasana di gereja  PSFA hari ini, sembari tetap tersenyum beliau berujar,  “Wahh….pokoknya asyik dech, saya baru menemukan ketulusan umat dalam melayani gembalanya dengan heroik dan tulus. Selain itu  saya sendiri  sungguh-sunggu menemukan dan merasakan persaudaraan umat dengan kaum berjubah dan saya pikir ini pengaruh kedekatan Pastor Paroki dengan umat dengan modal humanis tinggi dan melayani dengan murah hati dan senyum yang tulus,” puji putra keturunan Flores yang suka  makanan bubur babi ini dengan mantap. Masih dengan nada bersemangat pastor penyuka penyuka badminton ini menuturkan, “Saya akan men-sharing-kan kepada umat saya di Batam sebagai oleh-oleh indah untuk saya dalam menggembala domba dari berbagai karakter yang saya temukan,” cetus si suara emas sambil menikmati kue di tangannya dengan antusias.

Uskup Dominikus tidak henti-hentinya memuji keramahtamahan umat di Singkawang dan sangat menikmati sajian di berbagi stand yang tersedia. Menurut Ketua KKPPBMP ini bahwa hidup menggereja di Singkawang sudah jauh berubah dari gaya  gereja piramidal menjadi gereja komunio. “Prinsip belarasa tahun kerahiman  Allah sepertinya diawali dari kebersamaan umat untuk bersama mengarungi langkah bersama Allah menuju tahta Allah di surga,” imbuh uskup yang penuh senyum ini sembari berbagi rasa pengalaman hidupnya dengan para pengungsi di perbatasan Timor Leste yang sampai saat ini masih menangani dengan ikhlas umat kegembalaanya di Atambua, NTT.

Bagaimana tanggapan Uskup Agung Pontianak? 
 
Beliau sengat senang sekali karena sudah sekian  kali mengunjungi PSFA selalu menemukan suasana gembira. Ia berharap, “Semoga PSFA sebagai barometer bagi paroki lain di Keuskupan Agung Pontianak dalam menyambut Tahun Kerahiman,” ungkap Bapa Uskup Agung ini penuh ramah.
Pastor Paroki juga tidak ketinggalan untuk mengungkapkan rasa kegembiraanya. Gathot yang  tidak pernah berhenti berkreasi dalam menggembalakan umatnya dengan spontan menyatakan bahwa, “Seturut  wejangan Paus Fransiskus sebagai gembala harus dekat dengan dombanya,” ujar pastor yang seringkali ber-stand up comedy dalam homili guna melayani kebutuhan siraman rohani umat ini. 

Mengakhiri open house yang meriah Bapa Uskup bersama kaum berjubah dan umat sama-sama menari kondan sebagai bentuk kebersamaan dari khas sang gembala dalam menikmati suasana gereja yang selalu gembira. Semoga momen ini menjadi kenangan manis dalam peziarahan hidup di muka bumi ini. *(Bruf)

 

Gempita Perayaan Imlek 2567

Gempita Perayaan Imlek 2567

Senin 8 Februari 2016, Gereja Santo Fransiskus Assisi merayakan Tahun Baru Tionghoa (China) atau Imlek 2567 dengan mengadakan Misa Ekaristi. Dekorasi telah terpasang sedemikian rupa menambah semarak suasana di halaman maupun di dalam Gereja hingga tampak menjadi lebih indah dan syahdu. Dengan tulisan-tulisan ucapan selamat bernuansa merah dengan huruf bewarna emas yang menandakan doa dan harapan, rangkaian kreasi hiasan pohon maehwa berwarna merah jambu, lampion merah yang memiliki simbol penerangan hidup dan kerlap-kerlip lampu yang menawan menciptakan kesyahduan hati bagi umat yang memandang.

Misa Perayaan Imlek 2567 ini dipimpin oleh Pastor William Chang, OFM. Cap didampingi oleh Pastor Yeremias, OFM.Cap, Pastor Gathot, OFM.Cap, Pastor Desi, OFM. Cap, dan Pastor Oky, OFM. Gereja dibanjiri umat yang ingin merayakan misa Imlek dengan memakai baju dan asesoris serba merah. Dalam tradisi Tionghoa warna merah merupakan lambang kemakmuran, konon warna merah ini juga dapat membantu mengusir roh-roh jahat yang datang mengganggu.

Homili terdengar begitu bermakna diselingi gelak tawa spontan umat tatkala Pastor Wiliam Chang membeberkan bahwa kita dapat belajar dari shio yang menjadi simbol Imlek 2567 yaitu “monyet api”. Menilik karakter monyet yang memiliki kecerdasan, lincah, mudah menyesuaikan diri  dalam pergaulan.  Umat diharapkan dapat meniru prilaku monyet yang baik sebagai guru kehidupan. Pastor Wiliam Chang juga mengingatkan agar dalam memasuki tahun yang baru, kita harus memiliki iman kepada Tuhan Pencipta Langit dan Bumi. Tidak terlalu percaya dengan ramalan zodiak ataupun shio yang kurang baik. Kita diajak agar selalu berusaha dan bekerjasama bersama Tuhan. Memiliki keberanian dalam berbuat baik, menghilangkan kecemasan, selalu waspada dan bijaksana dalam  setiap langkah hidup kita. 



Pesan  singkat dari beliau yang sangat mengema adalah “Tuhan selalu memperhatikan manusia seperti bola mata-Nya, melihat pertumbuhan kita setiap waktu”. Maka dari itu, kita dapat belajar tenang bersama Tuhan dalam melewati sepanjang tahun 2567 ini.  Setiap waktu, hari, bulan dan tahun adalah milik Tuhan. Tuhan yang menuntun dan menurunkan berkatnya pada kita. Sudah sepantasnya kita selalu menyerahkan diri dalam perlindungan-Nya.

Seperti tahun sebelumnya, Gereja Santo Fransiskus Asisi memberikan berkatnya dengan membagi-bagikan buah jeruk yang merupakan simbol keberuntungan. Ada kemeriahan yang menambah suasana menjadi gempita bagi anak-anak dan kaum muda karena di tahun ini Gereja juga membagikan angpau. Angpau adalah bingkisan yang berisi sejumlah uang sebagai hadiah menyambut tahun Imlek 2567. Gereja turut bersukacita dan berpengharapan agar tahun yang baru dapat membawa kemajuan dan kesuksesan dalam kehidupan. Selamat Tahun Baru Imlek 2567 “Gong Xi Fa Cai”. Tuhan Yesus Memberkati. (SHe) 
 






OMK: Sumber Daya Manusia yang Perlu Dibimbing dan Dikembangkan Melalui Kegiatan yang Menarik dan Bermanfaat

OMK: Sumber Daya Manusia yang Perlu Dibimbing dan Dikembangkan Melalui Kegiatan yang Menarik dan Bermanfaat

Oleh: Gabriel Fileas, S.IP

OMK atau Orang Muda Katolik merupakan sebuah komunitas yang menjadi wadah bagi kaum muda Katolik agar dapat mengembangkan diri mereka melalui pengaderan, pelatihan, kompetisi dan pelayanan. Komunitas ini memiliki peran yang sangat vital karena kaum muda Katolik merupakan calon penerus gereja. Mereka juga memiliki tenaga yang prima dan tingkat kreativitas yang tinggi. Oleh karena itu, kaum muda Katolik merupakan sumber daya manusia yang sangat penting untuk dikembangkan demi masa depan gereja.

Di sisi lain, kaum muda Katolik juga memberikan sebuah tantangan besar bagi gereja. Masa-masa pencarian jati diri dan perkembangan zaman yang sangat pesat menjadi ancaman yang tidak bisa dipandang remeh. Pengawasan dan bimbingan melalui kegiatan-kegiatan yang bermanfaat merupakan salah satu solusi jitu agar kaum muda Katolik tidak terjerumus ke dalam lubang kegelapan seperti narkoba, minuman keras, sex bebas, dan hal lainnya yang bertentangan dengan nilai-nilai gereja.

Kegiatan tersebut dapat berupa pelatihan, retret, kemah rohani, olah raga, dan berbagai macam kegiatan lain yang harus dikemas dengan menarik agar menarik minat kaum muda Katolik. Materi-materi yang membantu penelusuran minat dan bakat, pengetahuan tentang kitab suci, pendidikan tentang pentingnya hidup di dalam komunitas dan persaudaraan, serta pengenalan tentang keadaan lingkungan sekitar amat sangat diperlukan untuk mempersiapkan kaum muda Katolik agar dapat menjadi Laskar Kristus yang peka, proaktif dan berwawasan.


Dalam awal tahun 2016 ini sudah dua kali terlaksana kegiatan akbar yang melibatkan OMK. Kegiatan yang pertama adalah HOMKKAP (Hari Orang Muda Katolik Keuskupan Agung  Pontianak). Acara yang dilaksanakan di Nyarumkop pada 3−5 Januari 2016 tersebut mengusung ide tentang perlunya bimbingan dan pembinaan untuk kaum muda Katolik agar iman mereka tetap terpelihara dan berbuah. Ide tersebut kemudian diimplementasikan dengan mewujudkan iman Katolik melalui kehidupan sehari-hari, menjalin relasi dengan kaum muda Katolik dari daerah lain, dan perutusan kaum muda Katolik untuk mewartakan pengalaman dan pengetahuan yang didapat selama acara itu berlangsung.

Secara garis besar, kegiatan HOMKKAP 2016 lebih berfokus kepada peningkatan kapasistas kaum muda Katolik dalam hal pengetahuan. Acara yang diberikan lebih banyak berupa seminar dan workshop. Salah satu yang menarik adalah seminar tentang beriman secara radikal. Seminar yang dibawakan pada malam pertama tersebut menjelaskan bahwa kata radikal seringkali disalahartikan oleh masyarakat sebagai sesuatu yang keras, kasar dan destruktif. Radikal sendiri berbeda dengan fanatik. Beriman secara radikal berarti mau menghayati iman secara penuh dan total. Semakin radikal seseorang dengan imannya, maka ia akan semakin damai dan penuh kasih seturut ajaran Kristus. Sedangkan beriman secara fanatik memiliki arti yang berlawanan di mana seseorang yang hanya memiliki pengetahuan agama yang dangkal namun merasa paham akan segalanya dan menganggap kepercayaan orang lain sebagai sesuatu yang sesat. Melalui seminar tersebut kaum muda Katolik dipanggil untuk mau menghayati imannya secara radikal agar menjadi insan yang rela berkorban demi kemuliaan Tuhan dan penuh cinta kasih.

Pada hari berikutnya, seluruh kontingen peserta HOMKKAP 2016 dilebur dan dipecah menjadi tujuh kelompok. Setiap kelompok akan mengikuti satu dari tujuh workshop yang telah disediakan oleh panitia. Workshop-workshop tersebut antara lain tentang “Masa Depan Tanah Borneo Lingkungan Hidup dan Sosial”, “Tanggung Jawab OMK”, “Media Sosial dan Digipreneursip”, “Panggilan Hidup Berkeluarga”, “Ajaran Sosial Gereja”, “Radikalisme dalam Dunia Politik”, dan “Perdamaian dalam Multikultural”. Sistem ini sangat cerdas karena selain menambah pengetahuan dan wawasan, kaum muda Katolik juga dituntut untuk saling sharing kepada teman-teman kontingennya tentang materi yang didapatnya melalui workshop tersebut.

Kegiatan yang kedua adalah Capuchin’s Camp 2 yang diadakan di Pontianak pada 28-31 Januari 2016. Temu OMK yang dilaksanakan di Tirta Ria tersebut juga mengusung ide tentang perlunya bimbingan dan pendampingan untuk kaum muda Katolik. Melalui kegiatan tersebut, Ordo Kapusin Pontianak berusaha untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai spiritual kristiani kepada kaum muda Katolik secara komunal maupun personal. Ide tersebut berusaha dicapai melalui pembinaan iman, mental dan spiritual kaum muda, pembangunan kreativitas, penumbuhan kepekaan social dan semangat persaudaraan dengan semua ciptaan Tuhan.

Acara di dalam kegiatan Capuchin’s Camp 2 lebih banyak berfokus pada jalinan keakraban kaum muda Katolik dari berbagai daerah, peningkatan kreativitas dalam menciptakan lagu rohani, gerakan lagu rohani dan ice breaking yang dapat digunakan di dalam berbagai kegiatan OMK, serta peningkatan rasa cinta terhadap alam melalui outbound. Sejak hari pertama, peserta yang mengikuti Capuchin’s Camp tidak lagi berkumpul bersama teman-teman dari kontingen yang sama, melainkan dilebur ke dalam sebuah kelompok kecil yang disebut dengan komunitas. Semua kegiatan mulai dari makan, workshop, latihan, penampilan dan outbound dilakukan di dalam komunitas yang telah dibentuk. Metode ini terbilang sangat baik karena dapat meningkatkan tali persaudaraan antar kaum muda dari berbagai macam daerah.

Peningkatan kreativitas kaum muda di Capuchin’s Camp juga terbilang baik. Sebelum ditugaskan untuk membuat lagu rohani, gerakan lagu rohani dan ice breaking, para peserta diberikan materi tentang cara membuatnya oleh orang-orang yang berpengalaman di bidang tersebut dengan cara yang menyenangkan. Untuk dapat menciptakan lagu rohani yang baik penciptanya harus menggunakan hati, perasaan dan kreativitas. Inspirasi untuk lagu tersebut dapat ditemukan lewat Kitab Suci, pengalaman pribadi dan orang lain, nada-nada iklan di tv dan masih banyak lagi. Menciptakan gerakan lagu dan ice breaking juga menuntut seseorang untuk menggunakan hati, perasaan dan kreativitasnya. Para peserta dapat membuat sesuatu yang baru atau melakukan inovasi melalui sebuah metode unik yaitu ATM atau kepanjangan dari amati, tiru dan modifikasi yang bertujuan untuk menjaga orisinalitas. Peningkatan kreativitas seperti ini merupakan langkah yang sangat penting di dalam pendampingan kaum muda agar tenaga, talenta, waktu, dan kreativitasnya dapat disalurkan ke arah yang positif.



Acara yang paling ditunggu-tunggu dari HOMKKAP dan Capuchin’s Camp adalah outbound. Mengapa tidak? Di dalam nyaterdapat permainan-permainan yang menyenangkan serta kompetisi antarkelompok yang memacu semangat muda para peserta. Tujuan dari outbound sendiri adalah untuk meningkatkan jiwa kepemimpinan, kerjasama dan sportifitas. Banyak hal yang bisa diambil dari kegiatan ini seperti rasa peka terhadap sesama di mana di dalam kelompok outbound terdiri dari berbagai macam orang dengan kemampuan dan keterbatasan yang berbeda-beda. Untuk dapat memenangkan permainan, peserta di dalam kelompok hendaknya mengerti satu sama lain agar dapat membagi tugas dan bekerjasama dengan baik. Hal-hal seperti ini sangat dibutuhkan di dalam masyarakat yang heterogen di mana terdapat berbagai macam orang dengan latar belakang yang berbeda-beda. Kaum muda Katolik hendaknya dapat menyesuaikan diri dengan baik di dalam masyarakat dengan mengerti dan peka akan orang-orang dan lingkungan di sekitarnya.

Dari kedua kegiatan di atas kita mengetahui bahwa, pengembangan OMK sebagai sumber daya manusia yang penting bagi gereja merupakan sebuah proses tanpa henti. Proses tersebut menuntut peran serta semua elemen gereja. Tentunya sangat diharapkan agar kegiatan-kegiatan tersebut terus berlangsung atau bahkan bertambah banyak agar dapat melahirkan kaum muda Katolik yang berwawasan, kreatif, peka dan mau melayani.

Merayakan Kerukunan dalam Perbedaan

Merayakan Kerukunan dalam Perbedaan

 

Sabtu, 2 Januari 2016. Masih diliputi suasana kebahagiaan Natal dan semangat menyambut tahun baru, Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi ikut serta ambil bagian dalam kegiatan jalan santai yang diadakan oleh Kantor Kementrian Agama dalam rangka merayakan kerukunan umat beragama di Kota Singkawang.   

Memulai start pukul 07.30 WIB dari Kantor Agama di Jalan Alianyang, dengan rute melewati berbagai tempat ibadah di Kota Singkawang yang jaraknya cukup berdekatan satu sama lain dan berakhir di Kantor Agama kembali, sungguh menciptakan atmosfer kebersamaan yang hangat dan akrab. Hal ini tampak dari ekspresi seluruh peserta yang secara spontan langsung membaur dengan umat beragama lain dalam obrolan akrab penuh tawa dan canda.



Kegiatan yang melibatkan masyarakat dari enam agama dan berbagai lapisan usia ini pertama kali diadakan di kota Singkawang. Masyarakat Kota Singkawang kiranya boleh berbangga karena kota dengan julukan Bumi Betuah Gayung Bersambut  ini beberapa waktu yang lalu dinobatkan oleh lembaga riset Setara Institute sebagai penyabet peringkat ketiga kota dengan tingkat toleransi tertinggi di Indonesia setelah Pematang Siantar dan Salatiga. 


Di kesempatan yang sama, Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Singkawang, Drs. H. Jawani Usman mengungkap bahwa jalan santai yang diadakan semata untuk merayakan kerukunan umat beragama di Kota Singkawang. “Kita patut bersyukur kepada  Tuhan. Kegiatan ini dihadiri umat Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik, Konghucu. Dari semua lapisan, baik muda-mudi maupun warga yang hadir berkisar 1500 orang. Dari Kementrian Agama juga menyediakan doorprise sebanyak 167 hadiah. Untuk ke depannya kegiatan ini diharapkan berlanjut dan akan kita tingkatkan lagi dengan melibatkan seluruh stakeholder yang ada di masyarakat. Di kesempatan ini kami juga ingin berterima kasih kepada Kapolres dan Kasatlantas Kota Singkawang yang telah mengamankan dan membantu lancarnya acara ini. Cuaca hari ini juga baik dan cerah, ini juga berkat doa seluruh umat beragama di Kota Singkawang yang tentunya berharap acara pagi ini berlangsung lancar,” pungkasnya. (Hes)