Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

29 Feb 2016

SEJARAH PAROKI SINGKAWANG



SEJARAH PAROKI SINGKAWANG



SITUASI UMUM SINGKAWANG


Singkawang adalah sebuah kota yang terletak di Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Kota ini dikelilingi oleh pegunungan, yaitu gunung Pasi, gunung Poteng dan Sakok. Singkawang adalah sebuah nama yang berasal dari bahasa Cina Hakka atau Khek, San kew jong yang berarti sebuah di antara pegunungan dan kuala/muara dari beberapa sungai di tepi laut.
Sebagai sebuah Paroki, Paroki Singkawang dapat dikatakan terdiri atas dua bagian. Bagian pertama adalah bagian yang masuk dalam wilayah Pemkot Singkawang, kecuali wilayah Kecamatan Singkawang Timur yang merupakan bagian dari wilayah Paroki Nyarumkop. Jadi Bagian kedua ialah bagian yang masuk dalam wilayah Kabupaten Bengkayang, yang meliputi seluruh wilayah Kecamatan Capkala dan Sungai Raya.
Di sebelah utara Paroki Singkawang berbatasan dengan Paroki Pemangkat, di sebelah timur dengan Paroki Nyarumkop, dan di sebelah selatan dengan “Stasi” Mempawah, yang merupakan bagian dari Paroki Sungai Pinyuh.
Letak kota Singkawang di persimpangan jalan raya dari Pontianak (145 km) ke Sambas (75 km) dan jalan raya ke Bengkayang (70 km) dan daerah pedalaman menyebabkan bahwa kota ini dari zaman dulu menjadi pusat perdagangan.
Keadaan jalan dan hubungan lalu lintas baik sekali dan lancar kecuali jalan ke beberapa kampung yang terpencil di pedalaman. Penduduknya terdiri multietnis. Ada tiga etnis besar yang berada di wilayah ini, yaitu: Tionghoa, Dayak dan Melayu. Yang lainnya adalah Jawa, Madura, Batak, dll.
Selain pusat pemerintahan, kota Singkawang juga merupakan pusat perdagangan seluruh Kabupaten. Di luar kota bagian utara dan selatan Kecamatan Sungai Raya terutama di kampung-kampung Melayu terdapat banyak nelayan. Di sebelah timur dan selatan kota Singkawang di kampung-kampung orang Dayak terdapat areal-areal pertanian: persawahan dan perkebunan. Orang Tionghoa terkonsentrasi di pusat kota dengan pekerjaan bisnis dan perdagangan, meski tidak sedikit juga mereka yang bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan.

SEJARAH SINGKAT PAROKI SINGKAWANG

 

Singkawang pada awalnya adalah stasi pertama di Kalimantan bagian Indonesia. Sekarang merupakan sebuah paroki yang cukup besar di wilayah Keuskupan Agung Pontianak. Sejarah bermulanya gereja (misi) di Kalimantan dimulai dari Singkawang.
Pada mulanya Singkawang merupakan daerah turne pastor dari Jakarta. Menurut catatan paroki, tahun 1873 sudah ada umat yang dipermandikan oleh Pastor J. de Vries, SJ. Stasi ini didirikan tahun 1885, dengan Pater Staal SJ. sebagai pastor Paroki pertama. Sesudah Pater de Vries, SJ dan Pater Staal, SJ. di tarik ke Jawa, misi di Kalimantan tanpa pastor ini berlangsung dari tahun 1897 sampai tahun 1905.
Sejak masa itu pimpinan misi Yesuit berusaha mencari ordo lain yang bersedia untuk mengurus misi di Kalimantan. Pada tanggal 11 Februari 1905 Kongregasi Penyebaran Iman di Roma mendirikan Prefektur Apostolik Kalimantan yang meliputi seluruh pulau Kalimantan yang dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan pusatnya Singkawang.
Prefektur baru itu dipercayakan kepada Ordo Kapusin. Kemudian Pimpinan Ordo menugaskan kepada Kapusin-Kapusin Negeri Belanda untuk mengurus misi itu.
Pada tanggal 10 April Pater Pacifikus Bos diangkat sebagai Prefek Apostolik. Pada tanggal 30 November 1905 Pater Prefek Pacifickus bersama tiga pastor dan dua bruder menjejakkan kakinya pertama kali di Singkawang, di mana mereka menemukan sebuah gedung gereja kecil dan sebuah rumah pastor yang sederhana. Mereka belum mengerti apa-apa mengenai bahasa dan kebiasaan setempat.
Mereka disambut hangat oleh umat yang terdiri dari orang-orang Tionghoa perantau (kurang lebih 150 orang Katolik). Seorang katekis, pemimpin umat, bertindak sebagai juru bahasa. Pada akhir tahun 1906 tenaga mereka ditambah dengan empat orang pastor, dua orang bruder dan lima orang suster Fransiskanes dari Konggregasi Veghel.
Suster-suster itu mulai mengasuh anak-anak yatim-piatu, mengobati orang sakit, dan mengunjungi tempat pengasingan bagi penderita penyakit kusta, yang terletak di luar kota Singkawang.
Awal 1907 dua orang pastor ditugaskan untuk membuka stasi di Kalimantan Timur. Dan sejak Oktober 1907 seorang pastor menetap di Pemangkat; ia mendirikan Gereja dan sekolah di tengah-tengah orang Daya di Pelanjau, yang tahun 1916 dipindahkan ke Nyarumkop.
Pada permulaan tahun 1909 stasi Pontianak di buka. Bersamaan dengan itu Pater Prefek memindahkan pusat kegiatan misi dari Singkawang ke Pontianak.
Metode yang dipakai oleh para misionaris baru ini tidak lain dari pada yang di pakai di daerah-daerah misi pada umumnya pada masa itu. Mereka berusaha untuk membangun sekolah-sekolah sebanyak mungkin dengan harapan agar anak-anak itu kemudian dipermandikan. Para Pastor, Bruder dan Suster sendiri mengajar di sekolah karena guru-guru belum ada pada waktu itu.
Anak-anak sekolah sedapat mungkin diasramakan, dan di luar jam sekolah dapat dididik secara Katolik. Kebun-kebun karet dan kelapa di sekitar Singkawang dibelikan, ini sebagai sumber materiil untuk misi. Pada tahun 1918 rumah sakit didirikan berkat bantuan subsidi pemerintah; begitu juga dengan rumah sakit kusta (1925).
Bagi sekolah-sekolah besar di kota misi mendapat tenaga baru dari Bruder-bruder MTB (Maria Tak Bernoda) dari Konggregasi Huijbergen yang sejak tahun 1921 memimpin Hollands Chinese School (HCS) di Singkawang, lalu menyusul di Pontianak 1924.
Pada tahun 1913 yang lalu Bruder Wenceslaus telah mulai mendidik beberapa orang untuk menjadi pembantunya dalam pembangunan (Pertukangan), tahun 1928 sekolah pertukangan di Pontianak didirikan.
Tahun 1937 para suster Klaris Kapusines mulai hidup dengan komtemplatif di bumi Kalimantan dalam sebuah biara yang didirikan di samping gedung gereja di paroki Singkawang. Mereka pada mulanya tidak menerima tugas dari luar tembok biara. Hidupnya dengan doa siang dan malam untuk mohon berkat dan rahmat Tuhan atas Umat Kalimantan.
Sampai disini kita melihat karya misi Katolik di Singkawang meliputi: Gereja, sekolah, asrama dan rumah sakit. Para Pastor sering masuk ke kampung-kampung sekitar yang merupakan bagian wilayah Paroki Singkwang. Sampai sekarang metode kerja itu masih berlaku. Hanya di pihak lain keterlibatan awam makin menonjol. Melalui Dewan Paroki dan pembentukan Kring-kring umat awam semakin banyak melibatkan diri dalam kegiatan Paroki. Stasi-stasi luar kota semakin sering dikunjungi oleh para pastor, yang dibantu oleh guru agama dan petugas pastoral awam lainnya. 

Sumber: www.parokisingkawang.blogspot.co.id

15 Jan 2016

SI KAKTUS YANG KESEPIAN



SI KAKTUS YANG KESEPIAN


Matahari menatap padang gurun tiada berkedip. Sinarnya yang putih menyilaukan mata, seakan ingin melumat ciptaan Tuhan yang ada dalam jangkauan tatapannya. 

Akar-akar tanaman mulai lapuk karena tidak berhasil mencari sari makanan, batang-batang kehilangan rantingnya, daun daun menjadi kering berjatuhan. 

Walau tanaman telah menjerit, mengaduh minta pertolongan namun kehidupan tetap saja membisu. Tantangan alam yang sedemikian besar membuat tetumbuhan di padang gurun tersebut tidak mampu untuk tetap bertahan.

Suasana padang gurun terasa lebih gersang saat si Kaktus berdiri termangu sepanjang hari. Batangnya mulai berkeriput tidak kuasa menanggung beban angannya yang melayang menembus batu-batu cadas. Awan yang tengah berbaris berjalan santai menikmati petualangannya, sekonyong-konyong ia mempercepat langkahnya setelah tanpa sengaja melihat sebatang kaktus di bawahnya sedang berdiam diri.

Memang…., tidak semua penderitaan akan membuat ciptaan lain mau bersimpati. Terlebih lagi penampilan Kaktus yang semakin kusut setelah angin kencang menghamburkan debu menerpa wajahnya.

Untunglah, Si Embun tidak ikut-ikutan mengeluh terhadap situasi padang gurun yang gersang tersebut. Bahkan si Embun dengan setia menjalankan tugasnya menyapa di setiap pagi dengan kesegarannya, termasuk tugasnya memberi kesejukan kepada si Kaktus, melindungi dan menyegarkan kesendiriannya. 

Tetapi angan si Katus yang senantiasa bergolak, membuat dia terus berdiam diri terhadap sapaan si Embun yang senantiasa ingin mendekatinya. 
Sampai pada suatu hari :

“Sobat, mengapa kau biarkan murung hidupmu, hingga ujung batangmu kini layu, berkeriput seperti ini?” tanya si Embun.

“Aku merasa hidup harianku tidak berguna lagi.” Sahut si Kaktus. Lihatlah, tidak ada tanaman lain yang mau menemani aku hidup di sini. Tak seekor burungpun yang mau menengokku. Aku merasa hidup sendiri. Alangkah indahnya kalau aku hidup di sebuah sungai yang mengalir deras airnya, ditumbuhi berbagai tanaman dan bunga-bungaan penuh dengan sahabat-sahabat yang bisa aku ajak bicara, berbagi pengalaman dalam perjalanan hidup ini. Sehingga aku tidak kesepiaan lagi,” si Kaktus mencurahkan isi hatinya kepada si Embun.

“Berhentilah berangan-angan, Sobat, sebab anganmulah yang justru membuat hidupmu sepi,” jawab si Embun.

“Bagaimana mungkin aku melepaskan anganku, kalau hanya itulah  yang menjadi obat hidupku,” sahutnya.

“Sobat, anganmu justru menjadi penyakit dalam hidupmu sendiri, karena hidup ini bukan hanya sebuah angan-angan tetapi kenyataan. Coba bayangkan kalau engkau hidup di sekitar sungai, maka kau akan segera dijemput ajal. Bukankah akarmu akan mudah busuk, karena banyak kandungan air yang sebenarnya tidak terlalu engkau butuhkan yang terpaksa harus engkau serap? Disamping itu, berteman dengan beraneka tanaman dan bunga-bunga seperti yang engkau harapkan juga tidak akan membantu hidupmu, kalau semuanya hanya engkau lakukan untuk menghilangkan kesepianmu,” ujar Embun. 

Sesungguhnya berteman dengan cara yang sedemikian tidak akan membantu mengisi kekosongan hati yang mengalami kesepian. Bahkan aneka hiburan juga tidak akan banyak membantu, selama hidup masih terlepas dari sebuah kenyataan. 

Sobat, untuk itu kembalilah ke dalam hidupmu sendiri terlebih dahulu. Jangan biarkan anganmu menguasai hidupmu, supaya engkau cepat sadar akan realita yang harus kau hadapi. Apabila kau berusaha untuk selalu sadar akan realita yang ada dalam hidupmu, maka hidup akan menjadi sebuah kerinduan yang tidak akan menghadirkan banyak tuntutan yang menjerat.

Singkawang, Awal Desember 2015


Image by Google



WE LIVE, WE LEARN, AND WE UPGRADE (DAPATKAH AKU TAHU KEHENDAK TUHAN DALAM HIDUP KU?)

WE LIVE, WE LEARN, AND WE UPGRADE
 (DAPATKAH AKU TAHU KEHENDAK TUHAN DALAM HIDUP KU?)

Image by Google

Seseorang mungkin pernah merasa bahwa tanggung jawab dunia itu ada di pundaknya. Merasa bahwa ada beban yang menekan bahunya dengan sangat kuat hingga menghimpit paru-parunya. Dan akhirnya, orang itu jadi susah bernapas. Bagi yang memiliki riwayat penyakit jantung mungkin harus berhati-hati.

Lamanunanku terantuk pada hal itu ketika aku duduk terpaku bak orang yang putus cinta di halaman gereja “Damai Bagimu”. Angin sepoi yang membelai wajahku mampu mengajakku masuk jauh lebih dalam menggali memori beberapa waktu ke belakang. Meskipun tidak ada lagi kabut asap yang menghalangi pandangan, namun sepertinya banyak sekali asap yang masih berputar-putar di dalam kepala ini, waktu itu. 

Aku teringat seseorang yang memiliki romantisme dengan masalah. Seperti masalah itu adalah bulan madu baginya. Atau seseorang yang merasa banyak hal yang harus dikerjakannya sehingga cara hidupnya harus berjalan monoton. Tidak pandai cara menikmati kesenangan selain tumpukan tugas dan misi pribadi yang harus diselesaikan. Aku harap ia masih ingat cara untuk tersenyum. 

Ya, tersenyum saat gembira itu biasa tapi tersenyum saat ujian menyapa itu luar biasa. Tidak semua orang bisa melakukannya. Kalau kata Aristoteles, dibutuhkan kecerdasan secara emosional untuk dapat melakukannya. Sebagai manusia yang penuh dengan berjuta kelemahan, kita tidak bisa menafikan hal itu. Terkadang masalah pribadi datang bertubi-tubi, belum lagi pekerjaan yang membuat jengkel, tumpukan pekerjaan rumah yang tiada habisnya, serta semua hal yang sangat mempengaruhi kredibilitas serta image kita di mata orang lain. Percayalah, hidup ini tak sekejam sinetron Indonesia tapi juga tak seindah drama Korea.

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, aku akan memberi kelegaan kepadamu (Mat 11:28). Terkadang kita lupa dengan itu. Seperti bahwa dalam hidup ini kita menanggung masalah kita sendiri. Tidak jarang masalah itu memengaruhi cara bergaul kita dengan orang lain dan cara kita berserah pada Tuhan. Dengan masalahnya menganggap kalau mereka adalah prioritas. Ada keangkuhan pribadi ingin terlihat lebih besar daripada yang lain dengan masalah itu.

Ini bukan ajang pengadilan sebagai bentuk pembenaran atau menghakimi. Hanya menilik sedikit ke dalam kalbu ini. Untuk beberapa kasus, kita mungkin bisa bergembira dengan dengan siapa saja namun kita tidak bahagia. Semua pasti setuju jika dikatakan uang tidak bisa memberikan kebahagiaan. Tapi bagaimana dengan uang dalam jumlah besar dan masuk rekening secara rutin?
Marilah kepada-Ku, itu artinya sebuah undangan. Tuhan menawarkan bahu-Nya untuk kita bersandar. Dia sendiri yang mewarkan, lalu kenapa kita menolak? Undangan untuk meletakkan beban kita, tidak menanggungnya sendiri dan berserah pada-Nya. Lalu bagaimana cara kita menerima undangan itu?

Milikilah keintiman dengan Tuhan. Memberikan waktu teduh untuk kita berbicara dengan-Nya. Ketuk rumah Tuhan dan katakan kita merasa lelah dan ingin istirahat sejenak. Kita datang dengan hati yang benar-benar mau berubah, rindu akan Dia dan hadirat-Nya. Bagian kita hanya melakukan apa yang bisa kita lakukan dengan usaha terbaik kita dan biarkan sisanya menjadi pekerjaan Tuhan. Percayakan pada Tuhan hal-hal yang tidak bisa kita kerjakan atau kendalikan.

Memuji Tuhan dengan segenap hati. Puji Dia dengan segenap hati bukan hanya di mulut saja. Apa yang kita rasakan sampaikan kepada-Nya. Karena nyanyian itu adalah doa hadirat Tuhan yang dituangkan dalam lantunan lirik dan not balok.

Baca firman-Nya. Carilah firman itu, renungkan, hafalkan dan klain janji -Nya. Ia sendiri telah memikul dosaku dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya aku, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya aku telah sembuh (1 Petrus 2:24). Percaya akan firman-Nya sebab Dia tidak akan pernah meninggalkan kita.

Lalu apa itu letih lesu dan berbeban berat? Itu adalah keadaan tanpa semangat, tidak ada pengharapan, khawatiran. Sebuah keadaan yang dapat membuat kita menjadi tokoh antagonis. Kita letih lesu oleh persoalah hidup dan beban dosa kita.

Ya, pada akhirnya aku menulis bukan untuk membuktikan siapa aku. Menunjukkan setinggi apa ilmu yang aku miliki, seluas apa kebijaksaan ku atau sebesar apa pengakuan yang ku harapkan. Aku ingin menunjukkan betapa kurangnya diri ini dengan lamunan yang sedikit mengupas  kulit pembungkus kerapuhan yang ditutupi. Terkadang tidak ada salahnya kita menyempatkan diri untuk berbicara dengan diri sendiri. Mengukur bagaimana kita mengukir jalan untuk bisa digunakan oleh orang lain, memperbaiki setiap langkah yang mungkin memengaruhi jalan orang lain, menjadi jembatan bagi jalan yang lebih baik dan mengorbankan beberapa bagian dalam diri kita meski yang didapat tidak lebih besar dari pengorbanan. 

Sebab kehidupan tidak diukur dari goresan tinta yang telah dibubuhkan pada kertas. Tapi pada aksi yang memberikan makna bagi orang lain. Hidup tidak diukur dari banyaknya udara yang kita hirup, tapi dari momen-momen yang membuat kita sulit bernapas. Beban salib dalam hidup akan selalu ada karena itu adalah ujian bagi setiap yang hidup untuk semakin dekat dengan-Nya. Tidak ada salahnya meletakkan beban itu sejenak dan melegakan diri. You live, you learn and you upgrade!

Tuhan……
Jika aku terlalu kecil untuk melihat kebesaran kasih-Mu
Berikan aku kesempatan untuk menapaki puncak Kalvari-Mu
Demi melihat keagungan karunia-Mu

(Sabar Panggabean)








SETAHUN BERSAMA, LIKES SEBAGAI MEDIA DAN JURNAL PEMULA

SETAHUN BERSAMA, LIKES SEBAGAI MEDIA DAN JURNAL PEMULA




“………………………………..
Pena dan penyair keduanya mati, berpalingan.”

(Chairil Anwar dalam Nocturno (fragment))


Desember 2014 Edisi Perdana, Awal Tahap Belajar Bersama

Penggalan puisi di atas jika ditinjau dari kacamata sastra menunjukkan adanya keterkaitan besar pada kedua objeknya, pena dan penyair. Sekadar meminjam istilah saja, ketika hal serupa dihubungkan dengan penulis dan media. Seseorang belum dianggap penulis jika tulisannya belum dibaca orang lain. Persoalan tulisan yang dihasilkan berbobot atau tidak, maka kembali pada kemampuan penulisnya sendiri dalam mengemas pemikiran atau hal yang diberitakan dan merangkainya dengan estetika bahasa menjadi satu kesatuan yang layak baca. Hal serupa berlaku pula pada media yang memuat karya penulis. Suatu media akan diperhitungkan jika mampu memberikan kontribusi yang dibutuhkan guna memuaskan dahaga informasi pembacanya. Masih ada kaitan dengan penulis dan karyanya, media dan isinya, pada Desember 2014 lalu, menjadi satu langkah nyata dari sekelompok orang yang disatukan dalam ide pengejawantahan media informasi seputar paroki. Hanya dalam hitungan pekan, bermodal tekad dan kemauan, edisi perdana LIKES diluncurkan. Kala itu awak redaksi digawangi sebelas sukarelawan. Masing-masing dipercaya untuk menangani bidangnya. LIKES sendiri bagi redaksi tak lain sebagai wadah belajar dan media penyalur hobi menulis. Perkara edisi perdana muncul pada Desember 2014, LIKES lebih menekankan pada berbagai kegiatan gereja di masa Natal. 

Maju Bersama dalam Dinamika

Bukan perkara mudah menyatukan pemikiran dari beberapa kepala, bukan hal gampang mencocokkan waktu bertemu dengan beberapa individu, bukan masalah ringan membagi jadwal liputan dan kapling tulisan mengingat masing-masing personil memiliki beragam kesibukan. Mendewasa dalam dinamika, menyeimbang dalam sikap saling pengertian, menjadi eksis dalam kesadaran tentang konsistensi kebersamaan, hal tersebut menjadi landasan kuat untuk selalu mewujudkan setiap edisi buletin paroki. Berbagai  rintangan kecil menjadi aral penerbitan LIKES. Gejolak paling menjadi riak dalam proses penerbitan LIKES timbul manakala bongkar pasang personil yang menangani  pe-layout-an harus dilakukan. Dalam kurun waktu satu tahun, pada tujuh edisi yang telah diterbitkan, tercatat sudah empat layouters menanganinya. Hal tersulit dihadapi kala harus kehilangan selama-lamanya personil  layouters  untuk edisi kedua yang  berasal dari kalangan profesional. Kekalutan sempat benar-benar  melanda segenap awak redaksi LIKES, namun berkat Tuhan kiranya selalu melingkupi niat baik yang lantas dijawab-Nya dengan hadirnya layouters yang baru.           

Berat Sama Dipikul, Ringan Berdampak ‘Ampul’

LIKES, media sederhana wadah belajar bagi para penulis pemula, kini di usianya yang baru satu tahun  digawangi oleh 12 orang awaknya. Ada banyak keterbatasan yang dimiliki sebelas orang pencetus awalnya hingga dengan berbagai pertimbangan, redaksi mengajak rekan-rekan lain yang memiliki hobi dan potensi serupa penunjang kokohnya sebuah media untuk bergabung di dalamnya. Bongkar pasang personil menjadi hal tak asing bagi media yang tak dimungkiri masih penuh kekurangan di sana-sini.  Dengan digarap 12 orang kru, rasanya pekerjaan redaksi dalam mewujudkan eksistensi  informasi paroki semakin teratasi. Ya, beban berat yang sama dipikul tentunya akan berdampak ‘ampul’ (kecil dan ringan).     

Menyuguhkan Berita, Membaca  Pembaca

Selama setahun, berbagai hal berkaitan aktivitas lingkup Paroki Singkawang diberitakan. Tercatat enam edisi sebelum edisi terakhir yang kini berada di tangan pembaca ini diluncurkan. Dalam dinamikanya, sekali dalam sebulan awak redaksi dikumpulkan guna membahas isi buletin ke depan. Berbagai informasi yang diperoleh dari pastor paroki menjadi modal dasar lingkup pemberitaan kami. Tidak hanya itu, informasi kegiatan dari pembaca di seputar paroki pun menjadi ‘undangan’ khusus bagi  kru redaksi untuk mewujudkan suatu informasi.   

Tak Ada Gading yang Tak Retak, Tak Ada Donatur LIKES Tak Naik Cetak

Sebagai media berumur batita (bawah tiga tahun), LIKES tidak pernah lepas dari kekeliruan maupun kesalahan. Salah cetak, luput dari proses pengeditan, kekinian berita yang kadang  dipertanyakan,  hingga konsistensi waktu penerbitan sebuah media yang sifatnya berkala. Meski tercatat pernah satu kali mengalami keterlambatan penerbitan namun dengan segenap hati, tenaga dan pikiran, redaksi selalu berusaha menjumpai pembaca setia tepat pada waktunya. Tak dapat dimungkiri pada edisi perdana LIKES, kekurangan masih terserak di sana-sini, baik dari segi isi maupun tampilan, melalui tahapan mendengarkan masukan, saran dan kritikan dibarengi perbaikan, maka perubahan perlahan-lahan lantas dilakukan. Edisi perdana juga terbit berkat kegigihan dari seksi usaha dana yang harus ‘bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Mencari pemasang iklan dahulu, barulah terbit kemudian.’ Dalam setahun perjalanan, lagi-lagi seksi usaha danalah yang menggeliat dalam sepak terjang. Ranum dan manis hasil yang didapatkan. Hingga tujuh edisi berjalan segala yang berkaitan dengan pendanaan disokong sepenuh-penuhnya oleh para donatur yang berperan. Di usianya yang pertama LIKES telah mengukuhkan diri sebagai salah satu bagian dari paroki.       

Di Kemudian Hari Ada Regenerasi

Menuntaskan dahaga informasi pembaca yang tak kenal batas ruang dan waktu sungguh menjadi kenikmatan tersendiri bagi redaksi. Terdapat kepuasan mana kala LIKES ditunggu dan dipertanyakan tentang waktu penerbitan oleh pelanggan, itu artinya kehadiran kami sungguh dinantikan. Namun tetap ada yang mengganjal mengingat keberlangsungan media yang terbit dua bulanan ini digawangi oleh generasi yang secara usia dapat dikatakan matang. Memang usia tidak bisa menjadi alasan untuk produktivitas seseorang, namun sungguh, mimpi kami dari pihak redaksi di kemudian hari  ada regenerasi, agar media informasi paroki berbanderol LIKES ini tetap kokoh berdiri. 

Pembaca Tak Hanya Membaca  

LIKES adalah media dan jurnal pemula. Sejak awal berdiri, redaksi tak putus-putus mengundang pembaca untuk ikut berkarya di dalamnya. LIKES bukan hanya milik redaksi. Seluruh pembaca memiliki hak berkarya di dalamnya. LIKES merupakan wadah penampung kreativitas, tempat belajar, dan media penyampai informasi. Didasari tujuan awal terbentuknya, maka redaksi mengajak pembaca untuk tidak hanya membaca, namun terlibat secara aktif dalam mewujudkan eksistensi media informasi tercinta kita ini. (Hes)   



MALAIKAT TANPA SAYAP ITU BERNAMA PINGKAN

MALAIKAT TANPA SAYAP ITU BERNAMA PINGKAN 




“Namun tak kaulihat… terkadang malaikat, tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan...”

Kiranya kutipan lagu berjudul Malaikat Juga Tahu yang dinyanyikan oleh Dewi Lestari begitu sesuai untuk menggambarkan sosoknya yang mungil namun sangat cekatan kala bersama ibu dan saudara perempuannya mengemasi tumpukan Madah Bhakti yang berhamburan usai dipergunakan pada saat misa. Skolastika Pingkan, atau Pingkan, begitu ia biasa disapa, ia adalah putri dari Ibu Armey Pande dan Bapak Yohanes Rusyanto. Pelajar kelas VII SMP Bruder ini cukup menyita perhatian. Jika anak seusianya pada umumnya segera beranjak pulang seusai menghadiri perayaan Ekaristi, atau memilih tinggal di gereja untuk sekedar ber-selfie, maka gadis yang mulai menginjak masa remaja ini meluangkan waktu yang ia miliki untuk mengemaskan tumpukan Madah Bhakti yang lebih sering dikembalikan sekenanya atau ditinggalkan begitu saja oleh pemakainya di bangku-bangku gereja. Belum lagi sampah bungkus permen atau makanan, hingga tissue yang tak luput terserak ditinggal para konsumennya,  pun demikian pada wadah kolekte yang kadang tergeletak begitu saja dibiarkan usai digunakan. 

Setiap Minggu usai misa ke dua, cermatilah orang-orang yang berada di gereja, maka indra penglihatan kita akan segera mendapati sosok gadis mungil ini ditemani ibu dan kakak perempuannya (Fransiska Aneke) tengah sibuk berbenah tumpukan Madah Bhakti. Kegiatan yang rutin dilakukannya ini kira-kira sudah berjalan dua tahun. Selama sekitar setengah jam setiap hari Minggu usai misa ke dua, Pingkan meluangkan waktunya untuk ‘melayani’ gereja. Ketika ditanya apa yang melatari tindakannya, dengan polos ia berujar, “Karena melayani Tuhan bisa dari tindakan kecil seperti ini.” Ya, tindakan kecil namun nyata, begitu berharga dan  dampaknya bisa dirasakan langsung oleh sesama. 

Pernahkah kita membayangkan betapa repotnya koster jika masih harus disibukkan dengan rutinitas tambahan mengemasi Madah Bhakti usai digunakan, memunguti sampah yang sengaja ditinggalkan di rumah Tuhan, hingga membereskan berbagai peralatan sederhana pendukung aktivitas gereja. Pernahkah kita membayangkan bagaimana keadaan gereja jika ketakpedulian kita atas berbagai ketidakberesan masih terus menerus kita lakukan jika tidak ada sosok ‘malaikat tanpa sayap’ seperti Pingkan? 

Untung ada Pingkan, ya, untung ada Pingkan, namun bukan berarti kita bisa semakin tidak peduli ketika merasa ada sosok lain yang dengan ikhlas membereskan ketidakteraturan yang kita timbulkan. Ada benarnya apa yang dikatakan Pingkan dengan lebih menyadari bahwa tindakan kecil namun berarti melayani Tuhan, setidaknya dengan timbul kesadaran untuk merapikan ketidakberesan, kita bisa meringankan rutinitas Pingkan. (Hes)            



ISTIMEWANYA MENJADI ANAK PPA

ISTIMEWANYA MENJADI ANAK PPA



Suasana sore yang begitu bersahabat menyertai perjumpaan saya dengan salah satu anggota dari Putra-Putri Altar (PPA), atau yang sering disebut misdinar yang dalam istilah gerejaninya disebut Alkolit (latin). Nama PPA ini sudah tidak asing lagi di telinga Umat kristiani. 

PPA atau misdinar dikenal sebagai para remaja yang berjiwa sosial yang dapat dijumpai pada saat perayaan misa dengan pakaian yang khas  dan menjadi penuntun jalan bagi imam yang memimpin perayaan liturgi. Dengan semangat yang membara dalam perbincanganya ketua PPA Santo Fransiskus Assisi Singkawang, dengan pemilik akun BlackBerry Messanger (BBM) yang bernama Nikolas Gratia atau lebih akrab disapa Gagas, berbagi cerita selama menjadi Putra-Putri Altar. Menurut Gagas sendiri Putra-Putri Altar atau misdinar itu sudah menjadi bagian dalam dirinya karena sejak duduk di bangku kelas 4 SD. Ia sudah bergelut dengan misdinar karena menurut Gagas untuk menjadi anggota PPA itu merupakan panggilan dari Tuhan. Salain itu menjadi misdinar suatu kebangaan tersendiri dengan mengunakan baju warna-warni sesuai dengan fungsinya tidak semua anak dapat melayani Tuhan seperti yang dilakukan oleh PPA.

Selain membantu para Imam dalam melayani misa, anggota PPA yang notabene merupakan anak usia remaja SD dan SMP pada umumnya juga  mempunyai banyak potensi seperti di bidang tarik suara dan memainkan alat musik. Hal itulah yang menjadi salah satu nilai plus bagi anak-anak PPA karena selain melayani Tuhan mereka juga dapat mengembangkan bakat mereka. Dalam perbincangan, Gagas lebih menekankan untuk adik-adik PPA dapat menjaga sikap pada saat ibadat atau kebaktian liturgi khususnya perayaan ekaristi,  serta mewajibkan mereka tahu fungsi dan peran dalam bertugas dan memahami apostolik dari PPA itu sendiri.



Oleh sebab itu keinginan yang sangat besar untuk dapat menggerakkan pemuda,  remaja khususnya untuk melayani gereja dalam ibadat atau kegiatan liturgi karena gereja sangat membutuhkan generasi penerus remaja PPA yang sebentar lagi akan bermetamorfosis menjadi anak-anak dewasa agar gereja tidak menjadi kering. 

Adapun kegiatan rutin yang sering dilakukan anak PPA seperti rapat dan latihan setiap usai perayaan misa kedua dengan tujuan penentuan tugas pada perayaan liturgi yang akan datang contohnya untuk saat ini seperti latihan tablo untuk pemberkatan Gerbang Kerahiman Ilahi di depan pintu utama gereja. Harapan ke depannya PPA dapat berkembang dan lebih maju serta dapat dikenal lebih luas lagi dan tidak dipandang remeh meskipun kebanyakan angotanya anak-anak remaja. PPA Santo Fransiskus Asisi juga mempunyai akun instragram tersendiri yang dapat diakses di PPASTTARSISIUSSKW. (Adrian)





Penantian Embun Natal

Penantian Embun Natal

Image by google


Karya Pena : Santo Satriawan

Jauh...
Sendiri...
Hanya tangan dan mata
Saling berkontak fisik dan batin
Aku jauh dan sendiri
Ingin ku berjumpa dan bersua
Ayah.. Ibu..
Aku di hening detik penantian

Ingin segera ku hempaskan kaki dari pijakan saat ini
Namun anakmu sedang berjuang melawan dunia
Melawan kemiskinan dan kebodohan
Walau tangan tak bisa saling berjabat
Walau mata tak bisa saling menatap
Tapi aku yakin, kita satu di dalam doa yang sama
 Di dalam penantian embun Natal.