Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

1 Nov 2015

PROFIL KONGREGASI SFIC


KONGREGASI SFIC


MOTTO : DEMI CINTA ALLAH


VISI : 
Keutuhan semua mahkluk ciptaan dalam keadilan, cinta kasih dan damai
MISI :
Keutuhan semua mahkluk ciptaan dalam keadilan, cinta kasih dan damai. Menemukan jalan untuk meringankan penderitaan yang ditanggng oleh orang-orang disekitarnya (konstitusi SFIC Dasar Spiritual Bab I baris 4-6) dengan menyembuhkan yang terluka, menyatukan yang remuk, dan memanggil kembali yang tersesat (konstitusi SFIC)

Pada awal kedatangannya, para suster menempati rumah sederhana milik guru agama Chang A Kang. "Bagaikan kandang Betlehem, meskipun mengalami akibat kemiskinan, kami tetap hidup bergembira..."kata Muder Emerentiana menggambarkan pondok mereka saat itu...
Pendiri Kongregasi :

1.Bernardian Van Hoof
2.Teresia Van Miert (Ibu Pendiri)
3.Fransiska De Rooy
Kapitel Provinsi Indonesia
Dewan Pimpinan Sekarang


Penerimaan Jubah
APA ARTI SFIC? Tarekat kami terdaftar di Roma dengan nama: SFIC (Sororum Franciscalium ab Immaculata Conceptione a Beata Matre Dei). Yang dalam bahasa Indonesia berarti : Suster Fransiskus dari Perkandungan Tak Bernoda Bunda Suci Allah. Kongregasi SFIC berdiri di Veghel Belanda tanggal 24 Juni 1944. Ibu pendiri SFIC adalah Ibu Teresia Van Miert. Kini SFIC hadir di Eropa (Belanda), Afrika dan Asia.


SEKILAS TENTANG SFIC MASA LALU DAN SEKARANG

Kongregasi SFIC pertama kali berkarya di Indonesia pada tahun 1906 tepatnya di Singkawang Kalimantan Barat. Pada masa itu Kongregasi SFIC dikenal dengan sebutan SPM(Suster Pengabdi Sesama Manusia ) kini nama tersebut menjadi nama Yayasan pendidkan yaitu Yayasan Pengabdi untuk Sesama Manusia. Karya awal SFIC yaitu bidang kesehatan, pendidikan, Pastoral dan sosial. Untuk pertama kali berkarya di singkawang, suster-suster (SFIC) menempati rumah seorang umat/guru agama di singkawang dengan atap daun seadaanya, asal ada tempat untuk berteduh. Dapat dibayangakan para misionaris saat itu datang dengan jubah yang panjang dari Negeri Belanda yang dingin kini tinggal di daerah tropis yang panas. Dari hidup berkecukupan di negeri asal tetapi kini harus hidup serba kekurangan di tanah misi singkawang. Suatu pengorbanan yang harum mengawi bagi Yesus yang mereka abdi dengan seluruh jiwa raga. Tampak jelas salib yang mereka pikul demi Kerajaan Allah.  Perhatian sederhana mereka lakukan dengan pendidikan kaum perempuan, memelihara anak-anak yang telah dibuang oleh orang tuanya, merawat orang sakit terutama orang sakit kusta. Seorang suster bernama Sr. Cajetana setiap hari pulang dan pergi ke tempat tinggal orang kusta untuk merawat mereka yang terbuang dari keluarga dan masyarakat. Perawatan yang sederhana dengan obat seadanya dan tanpa peralatan medis yang canggih. Mereka yang dirawat itu berada di hutan jauh dari penduduk Singkawang. Tempat perawatan orang Kusta tersebut kini menjelma menjadi rumah sakit Kusta Alverno. Cinta akan Yesus mengobarkan semangatnya untuk mencintai kaum lemah dan tersingkir.

Kini SFIC semakin berkembang, satu persatu suster misionaris pulang ke negeri belanda karena SFIC sudah dianggap mampu meneruskan karya dan pelayanan yang telah mereka rintis. Para suster SFIC terus bekerja di rumah sakit St. Vicentius Singkawang, Rumah Sakit Kusta Alverno dan Persekolahan. Mereka memilih berkarya dalam kesederhanaan yang mengharapkan bahwa Tuhan mengerti apa yang telah mereka lakukan walaupun kadang mendapat tantangan berat. Persembahan terindah hanya diberikan kepada Tuhan. Dalam kesunyian dan ketekunan mereka terus bekerja dengan tangan mereka sendiri, karya boleh hebat namun semua itu tanpa arti apabila tidak disertai dengan kurban yang mewangi bagi Allah. “Teguhkanlah ya Tuhan apa yang telah Kau mulai dalam diri kami” demikian doa ibu pendiri Teresia Van Miert yang selalu diingat para suster dalam perjalanan panggilan. Semoga Tuhan meneguhkan dengan Cinta-Nya yang tanpa batas.

“Tuaian memang banyak tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk menuai itu” (Luk:2).

Bagi Para Pemudi yang berminat bergabung bersama  SFICdapat menghubungi:
Provinsialat SFIC Sr. Yuvina, SFIC
Jl. Tamar no 8 Hp: 082156001020
Telp. 0561-766247
Pontianak
Email:sficindonesia@gmail.com

Pengirim : Sr. Yuvina, SFIC






DOA PENDOSA

DOA PENDOSA

Google Images.Jpg

Kristus,
aku gagal bicara pada rembulan,
aku keburu retak
hanya sedikit kata yang berhasil kutebak
aku hanya ingin meminjam waktu pada-Mu,
dan jika Kau tau, itu sangat penting buatku.

Kristus,
aku kembali pada zaman-Mu,
zaman Farisi milik-Mu
aku cuma mau ngadu, aku diadili oleh sesamaku
aku dibilang orang paling bajingan!

Kristus,
masa’ ada yang bilang aku pembangkang,
ada juga yang juluki aku manusia jalang
ada yang katakan aku tak setia teman
sebagian lagi terpengaruh karena hasutan.

Kristus,
kalau Kau buka kantor pengacara,
jatahku 1, jangan sampai lupa
bilang pada mereka, mereka juga pendosa!


2006
Coffeeholic7539

BAPA KAMI

BAPA KAMI 


Karya Pena : YOVITA SAPTARIANI
Google Images.Jpg

                       
Bapa kami yang ada di surga
Di saat hukum cinta kasih membendung dunia
Engkau memanggil kami sebagai anak-anakmu
Engkau titipkan pesan-pesan putih
Dimuliakanlah nama-Mu
Nama yang mengatasi langit dan bumi
Nama yang menjamin penebusan
Nama yang mengalahkan maut
Menuntun kami melintasi kehidupan

Datanglah kerajaan-Mu
Merajalah di pikiran...hati...karya-karya kami
Supaya kami dapat menjadi persembahan yang hidup
Layakkan kami di perjamuan suci-Mu

Jadilah kehendak-Mu
Sabda kepastian yang melingkari semesta
Tuntunlah kesadaran kami memahami kehendak ajaib-Mu
Maha misteri

Di atas bumi seperti di dalam surga
Cahaya memupuskan gelap
Pelita menuntun malam
Terang damai bersinar suka cita

Berilah kami rezeki pada hari ini
Ajarilah kami bersyukur dengan rasa hormat mendalam
Terhadap setiap rahmat yang telah kami terima
Jauhkan kami dari ketamakan
Buatlah kami perduli dengan sesama

Karena segala-galanya ada di dalam Engkau
Engkau memenuhi segala-galanya
Engkau telah mentransformasikan diri
Menjadi santapan rohani

Dan ampunilah kesalahan kami
Dengan api sucimu kami bakar kegelapan kami
Di mana roh-Mu yang kudus menjadi terang mata hati
Janganlah Engkau memperhitungkan kesalahan-kesalahan kami
Tapi kenanglah Dia yang telah Engkau utus
Untuk menancapkan pengampunan di jantung bumi
Cinta-Mu leburkan dosa-dosa kami
Seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami
Ikhlaskan diri
Membuka hati kasih menjadikan maaf mengalir deras
Jadikan kami menjadi manifestasi cinta
Dan janganlah masukkan kami ke dalam percobaan
Batu sandungan menjadi batu penjuru
Tersusun indah menopang telapak kaki
Menapak ringan tanpa paksaan
Karena keikhlasan segala-galanya berjalan tanpa beban

Tetapi bebaskan kami dari yang jahat
Engkau singkirkan selubung penghalang sinar
Engkau buka tirai fajar
Engkau menghardik badai
Badaipun taat
Menjinak manja di bawah kaki-Mu
Karena Engkaulah yang empunya kerajaan kuasa
Kemuliaan sampai selama-lamanya
Amin

29 Okt 2015

DI BALIK PENAMPILAN LUSUHNYA

DI BALIK PENAMPILAN LUSUHNYA


Penampilannya lusuh. Jaket usang melekat pada tubuhnya.Pa yung di tangan kanan dan tangan kirinya menenteng ember alumunium. Rambut dibiarkan acak-acakan, tanpa disisir. Jelas sekali bahwa dia tidak pernah berdandan seperti perempuan pada umumnya. Bahkan mungkin juga dia jarang mandi. Dari guratan di wajahnya bisa ditebak kalau usianya sudah di atas 50 tahunan. Namun tidak kelihatan  adanya  rasa lelah pada raut wajahnya. Terbukti hampir setiap saat dia selalu tersenyum. Kadang dia juga bisa tertawa lepas, tanpa rasa malu sedikitpun memamerkan giginya yang tinggal satu atau dua saja. Dari penampilan lahiriah jelas tidak ada daya tarik sedikitpun. Sepintas tidak ada yang istimewa padanya. Begitulah kesan pertama saya berjumpa dengan dia.

“Slamat pagi, Bang! Puji Tuhan! Amin! Alleluya!” Kata-kata itu selalu meluncur dari mulutnya. Dialah seorang ibu yang sering mendatangi saya di kamar kerja. Tanpa basa-basi, ibu itu langsung masuk begitu saja dan duduk di hadapan saya. Tanggapan saya pun sekedarnya saja. Seperti biasa tanpa mempedulikan kehadirannya saya tetap saja melanjutkan apa yang sedang saya kerjakan, seolah ibu itu tidak ada. Saya juga merasa tidak perlu mengenalnya lebih jauh tentang siapa dia. Macam-macam pertanyaan ditujukan kepada saya dan saya pun menjawab sekenanya saja. Di penghujung perjumpaan itu dia meminta sedekah. Dua atau tiga lembar uang seribuan saya berikan kepadanya. Mata Ibu itu langsung berbinar senang. Tanpa melepaskan pandangannya kepada saya dia mengucapkan terima kasih sambil berkata sekali lagi kepada saya. “Puji Tuhan, Bang! Amin! Alleluya!”

Ritus itulah yang selalu saya alami ketika menerima “tamu istimewa” yang satu ini. Tetapi daripada merepotkan diri sendiri, akhirnya saya pun selalu membiarkan dia masuk ke kamar kerja saya, bertanya macam-macam dan akhirnya meminta sedekah. Setelah sebentar ‘diganggu’ oleh kehadirannya, saya pun memberikan sedekah sekedarnya dengan harapan supaya dia pun segera pergi dan saya bisa menyelesaikan pekerjaan saya.

Sekali waktu ibu itu membuat saya kesal.  Ketika itu saya sedang meninggalkan kamar saya tanpa mengunci pintu lebih dahulu. Ketika kembali ke  kamar, saya melihat ibu itu sudah duduk di kursi yang biasa dia duduki. Spontan saya terkejut dan berbagai pikiran buruk  langsung menghinggapi  pikiran saya. Sebaliknya tanpa ada rasa salah sedikitpun dia  tetap saja mengucapkan ‘salam khas’nya kepada saya. “Selamat pagi, Bang! Puji Tuhan! Amin! Alleluya!”. Toleransi saya kali itu sangat rendah dan saya minta supaya dia segera meninggalkan ruangan saya dengan satu pesan, “Ibu kali ini tidak sopan. Masuk ke kamar saya begitu saja. Maka saya tidak akan memberikan apapun”.  Meski agak terkejut mendengar nada suara saya yang semakin meninggi, tetapi dia tetap minta dikasihani. Saya tak mengacuhkan permintaannya dan tidak memberikan apapun kepadanya. Ini sebagai pendidikan sopan-santun baginya, pikir saya. Dia pun segera bangkit berdiri sambil menyampaikan salam khasnya untuk saya. “Puji Tuhan, Bang! Amin! Alleluya!”

Lama tidak ada berita. Tamu istimewa saya pun tidak pernah lagi singgah ke kamar saya. Boleh jadi dia takut bertemu dengan saya. Atau mungkin ada rasa bersalah dalam dirinya. Saya pun tidak mau ambil peduli. Sampai suatu saat seorang sahabat mengajak saya untuk berbagi kasih dengan membagi-bagikan sembako. Tawaran itu saya tanggapi dengan senang hati. Setelah mengantar paket sembako kepada beberapa orang yang tidak mampu, akhirnya kami tiba di suatu rumah yang sempat menyita perhatian saya. Di emperan  rumah terlihat seorang bapak sedang  berbaring, tanpa baju dan hanya beralaskan bantal di kepalanya. Dia sama sekali tak mempedulikan kedatangan kami. Asyik dengan dirinya. Sementara itu seorang gadis yang sedang menggendong anak kecil segera memanggil-manggil nama seseorang. Tiba-tiba keluarlah seorang nenek dengan tertatih-tatih dari kamarnya. Dia berusaha untuk menemui kami. Tangannya meraba-raba dinding dan berusaha menggapai apa saja yang ada di depannya agar tidak terjatuh. Sahabat saya yang sudah dikenalnya segera memapahnya dan memberikan kursi. Akhirnya mereka pun terlibat dalam pembicaraan yang begitu hangat. Sementara saya hanya duduk terpekur sambil bermenung. Ada rasa miris dalam hati melihat keadaan yang tersaji di hadapan mata saya. Sebuah keluarga yang benar-benar miskin. Ada seorang nenek yang menderita tuna netra, seorang bapak yang juga sedang  sakit, seorang gadis dengan anak kecil. Semuanya tidak berdaya. Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab  dan memberi penghidupan untuk mereka? Pertanyaan itulah yang mengganggu pikiran saya.

Dalam perjalanan pulang ke rumah pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiran saya akhirnya menemukan jawabannya.

“Pater, kenal dengan seorang ibu yang biasa pakai jaket, bawa payung dan ember alumunium?” Tanya sahabat saya tiba-tiba memecah kesunyian. Pertanyaan itu spontan mengingatkan saya akan tamu istimewa yang sudah lama tidak mampir ke kamar saya.

“Oh iya, iya saya kenal. Dulu biasa mampir ke kamar saya. Tetapi  belakangan ini tidak lagi. Ada apa dengan dia?” Tanya saya kepadanya.

“Dialah yang menghidupi keluarga yang baru saja kita kunjungi. Dia tidak di rumah karena sedang mencari makan.” Kata teman saya seolah ingin memberikan jawaban kepada saya.

Serasa hampir copot jantung saya mendengar jawabannya. Rasa sesak langsung menyergap dada saya begitu mengetahui bahwa ternyata tamu yang menghilang selama ini menjadi orang yang sangat berarti untuk keluarga miskin tadi. Belakangan saya baru tahu Ibu itu bernama Jong Siau Yan. Bapak yang berbaring di halaman itu adalah ayah kandungnya yang memang sakit, sedangkan ibu yang tuna netra adalah ibunya, gadis yang menggendong anak kecil itu adalah anak dan cucunya sendiri. Jong Siau Yan yang sudah diceraikan oleh suaminya harus berkeliling menjual nasi ketan untuk bisa menghidupi seluruh anggota keluarganya. Dia harus bertarung dengan kerasnya hidup. Dia rela tidak berdandan, rela tidak punya apa-apa dan setiap hari harus berjalan keliling menjajakan nasi ketannya demi menyambung nyawa ayah, ibu, anak dan cucunya. Dalam hati saya terlontar rasa sesal. Tuhan ampuni saya atas sikap saya yang kurang pantas kepadanya. Siau Yan maafkan saya yang selama ini tidak ambil peduli dengan Ibu. Tenyata di balik penampilan lusuhmu, Ibu mempunyai hati yang sngat mulia. (Gathot)

27 Okt 2015

“TRANSITUS” SANTO FRANSISKUS ASSISI KEMATIAN DALAM DAMAI MENUJU KEHIDUPAN KEKAL

 “TRANSITUS” SANTO FRANSISKUS ASSISI

KEMATIAN DALAM DAMAI MENUJU KEHIDUPAN KEKAL 

Santo Fransiskus dari Assisi merupakan pendiri Ordo Fransiskan dan sekaligus Santo Pelindung Gereja Katolik Paroki Singkawang. Ia lahir di Assisi, Italia pada tanggal 5 Juli 1182 dan meninggal pada tanggal 3 Oktober 1226. Fransiskus muda yang lahir dari kalangan bangsawan, dalam hidup kesehariannya bergelimang kemewahan dimanjakan oleh pesta-pora. Pada akhirnya jiwanya runtuh oleh cinta kasih melalui sapaan Tuhan. Dalam perjumpaannya dengan pengemis dan para penderita kusta, mengubahkan hidupnya menjadi seorang mempelai Allah dengan semangat kemiskinan. Menurut sejarah, Ia dikenal pula sebagai santo pelindung binatang dan lingkungan hidup serta pedagang. Santo Fransiskus Assisi telah mendirikan Ordo Fransiskan atau Ordo Friar Minor (Ordo Saudara-saudara Dina). Ordo tersebut meneladani hidup dari Santo Fransiskus Asisi yakni menjalankan injil, setia kepada Gereja Katolik Roma, dan melaksanakan cinta kasih persaudaraan universal.

Pada tanggal 24 September 2015, umat Katolik Paroki Singkawang mengikuti misa Novena Santo Fransiskus Assisi selama 9 hari berturut-turut. Novena ini dipersiapkan untuk merayakan “Transitus” (tanggal 3 Oktober 2015). Transitus merupakan peringatan akan perjalanan iman dari Santo Fransiskus Assisi, peralihan kehidupan dunia lewat kematian menuju kehidupan yang kekal.  Semasa hidup merasul, ia mengalami banyak ujian sebagai konsekuensi dari pilihan atas hidupnya. Mengalami siksaan fisik dan batin serta penolakan dari keluarga sendiri maupun dari orang-orang yang seiman bahkan secara hirarki menempa jiwa dan raganya. Ini bukan tanpa tujuan, kenyataannya ia menjadi sosok yang penuh  cinta kasih, memberikan hidupnya pada kemiskinan dan penderitaan sesamanya. Mengambil penderitaan orang lain secara total meleburkan diri pada kasih tanpa keluhan. Santo Fransiskus Assisi  sangat khusyuk mencintai Allah dengan segenap hati dan jiwa raga hingga akhir hayatnya. 

Transitus dihadiri oleh saudara-saudari dari Komunitas OFS, MTB, OFM.Cap, SFIC, OSCCap,  dan umat ikut pula mengenang wafatnya Sang Pembawa Damai. ‘Transitus’ dikemas layaknya ibadat perenungan. Kisah perenungan hidup Santo Fransiskus dibacakan oleh Bruder Flavianus MTB, Suster Benedikta SFIC, dan Suster Lidwina, OSCCap sambil diiringi alunan merdu paduan suara KEFAS (Keluarga Besar Fransiskan-Fransiskanes Singkawang).

Perenungan yang sangat mendalam di saat Santo Fransiskus mengalami masa sekarat. Ia mendapatkan anugerah yang teristimewa sebagai upah dari jiwa militannya. Ia mengalami 5 luka suci Yesus (Stigmata).  Ini adalah penderitaan suci yang hanya dianugerahkan pada orang pilihan atau manusia unggul dari Allah. Di ambang saudara maut badani datang menjemput, Ia melepaskan jubah miliknya dan menggantinya dengan milik saudaranya seordo. Ia tak ingin memiliki apapun dan tak terikat oleh kemelekatan apapun di dunia, hanya merasakan cinta Allah yang Maha Besar kepada dirinya. Pada detik-detik terakhir nafas yang tersisa, ia melakukan perjamuan malam terakhir dengan saudara-saudaranya membagi-bagikan roti, memberkati semua saudaranya. Lalu, sambil mendaraskan mazmur, Ia menyerahkan nyawanya kepada Allah. 

Akhir kisah Santo Fransiskus ini sangat memesona dan mengharukan. Ia telah menjadi teladan akan ‘kedamaian hati’ ketika menghadapi kematian, menyerahkan dan melepaskan penderitaan-penderitaannya kepada Allah hingga dapat menyatu dengan pribadi kudus-Nya. Salah seorang sahabat seordonya melihat jiwa Sang Santo menjadi sebuah bintang sebesar bulan, terbawa awan putih di langit yang luas. Pesan inilah yang disampaikkan kepada kita semua, bahwa kematian badani bukan akhir dari segalanya. Kematian itu membawa kita kepada janji akan kehidupan kekal bersama-Nya.

Pada penghujung perayaan ‘Transitus’, Ordo Fransiskan-Fransiskanes melakukan prosesi memegang lilin menyala. Memperbaharui kesetiaan pada wasiat Santo Fransiskus Assisi dan mengucapkan janji kaul-kaul mereka agar menjadi pembawa terang dan damai semasa penziarahan hidup di dunia ini. Dikumandangkan pula lagu “GITA SANG SURYA” dari paduan suara KEFAS mengiringi peletakan lilin penghormatan di Patung Santo Fransiskus Assisi.  Berkat bagi kita umat yang hadir adalah memeroleh roti Santo Fransiskus Assisi pada bagian tengah roti terlukisan tanda salib bewarna merah. Rangkaian perayaan Transitus ini kiranya menguatkan iman dan kepercayaan kita akan kehidupan yang kekal setelah kematian. Ikut serta mengambil bagian dalam pewartaan kasih Allah menurut teladan Sang Duta Damai Santo Fransiskus Assisi. (SHe)

 








SEPTEMBER CERIA, ‘KELUARGA MELAYANI SETURUT SABDA’

SEPTEMBER CERIA, ‘KELUARGA MELAYANI SETURUT SABDA’

September Ceria. Sengaja mengutip salah satu judul lagu yang sempat populer di era 80-an, di bulan September ini Gereja Katolik se-Indonesia ternyata benar-benar dihampiri  keceriaan yang bersumber dari perayaan Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) 2015. 

Mengangkat tema Keluarga Melayani Seturut Sabda, yang masih merupakan kelanjutan tema BKSN 2014, Keluarga Beribadah dalam Sabda, umat Katolik diajak untuk lebih akrab dengan Kitab Suci melalui berbagai perlombaan yang dirancang  dan digelar oleh panitia dalam kesempatan yang akhirnya digagas sebagai kegiatan tahunan. 

Di Paroki Singkawang sendiri  kegiatan BKSN 2015 resmi dibuka oleh Pastor Stephanus Gathot, OFMCap selaku pastor paroki.  Pada Minggu (6/9/2015) di misa ke dua, pastor yang saat itu menggenakan jubah hijau didampingi oleh putra putri altar dan enam orang dewasa yang masing-masing menggenakan pakaian adat mewakili suku Jawa, Tionghoa, Manggarai, Dayak, dan Batak serta membawa Kitab Suci melakukan perarakan dari halaman gereja menuju altar. Di kesempatan yang sama, Suster Monika dari Kongregasi SFIC telah lebih dulu berada di mimbar untuk membacakan sejarah dan tujuan digelarnya BKSN. Setibanya di depan altar, satu persatu orang dewasa yang mewakili berbagai suku di Indonesia ini membacakan kutipan Injil Yohanes dengan bahasa daerah masing-masing. Bukan tanpa maksud kutipan Injil Yohanes dibacakan dengan menggunakan bahasa daerah masing-masing, melalui cara yang terkesan unik ini, pastor menegaskan bahwa KItab Suci merupakan kitab paling populer karena diterjemahkan dalam berbagai bahasa, namun pada kenyataannya Kitab Suci yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa guna memudahkan pemahaman pembacanya seringkali hanya dijadikan sebagai pajangan, padahal sedianya ayat-ayat dalam Kitab Suci merupakan pedoman penuntun hidup dalam iman. 

Dalam homilinya, pastor menggaribawahi alasan dipilihnya tema yang masih mengetengahkan keluarga sebagai objek utamanya. Berangkat dari keprihatinan Sri Paus terhadap iman umat Gereja Katolik, maka tak dapat dimungkiri keluarga adalah lahan paling penting untuk ‘digarap’. Melalui pendekatan terhadap keluarga yang merupakan ‘gereja mini’, maka diharapkan mampu menghadirkan Allah dalam keluarga hingga militansi iman anak-anak dapat lebih dikokohkan. Di samping itu dua poin penting  lain yang juga menjadi sorotan dalam homili pastor berwajah teduh ini adalah ajakan untuk lebih  peka terhadap ‘suara Allah’ yang dapat ditemukan dalam Kitab Suci, juga himbauan mengenai wujud pelayanan yang tak hanya sekadar berhenti pada ucapan namun lebih pada tindakan nyata dalam melayani sesama. 

Semoga dengan digelarnya BKSN 2015 menjadi salah satu titik tolak tumbuhnya benih-benih iman yang meski awalnya hanya sebesar biji sesawi namun sanggup menghasilkan buah melimpah bagi kerajaan surgawi. (Hes)      


   

SATU MALAM BERSAMA OMK

SATU MALAM BERSAMA OMK


Sabtu, 19 September 2015 pukul 19.00 WIB, 50 Orang Muda Katolik (OMK) berkumpul di depan Gereja St. Fransiskus Assisi Singkawang dalam  suasana gembira khas orang muda. Malam Minggu bagi kebanyakan orang muda adalah malam spesial untuknya, mereka biasa menghabiskan waktunya untuk nongkrong bersama teman-temannya di kafetaria, warung kopi, mall, berpacaran dan  mungkin ke bioskop serta tempat-tempat lain yang dipercaya menjadi barometer eksistensi kaula muda, namun sekelompok anak muda ini memilih kegiatan yg unik dan elegan. Malam itu OMK Paroki St. Fransiskus Assisi Singkawang menggelar gladi rohani persiapan BKSN 2015.

Canda ria terdengar begitu dominan saat mereka menjalani sesi ice breaking. Momen ini sangat penting untuk menciptakan semangat egaliter di antara mereka melalui permainan atau games yang ternyata sangat berkenan di hati orang muda. Dalam waktu singkat mereka terlihat kompak dan bisa bergurau satu sama lain oleh karena keterikatan batin rohani mereka yaitu satu visi dan misi mengembangkan pewartaan Yesus Kristus.

Malam itu mereka dipersiapkan secara mental, pengetahuan, spiritual dalam rangka mengikuti kegiatan Bulan Kitab Suci Nasional  (BKSN) yang akan diselenggarakan di Paroki Sanggau Ledo  dari tanggal 23 sampai 27 September 2015. Maka sebelum mereka tampil  diawali temu akrab dengan materi  motivasi dalam berorganisasi, menciptakan kekompakan dalam satu team work, tujuanya adalah agar pada saat mengikuti kegiatan di Sanggau Ledo, mereka memiliki kesadaran bahwa mereka bukan lagi membawa nama diri, stasi atau lingkungan namun OMK Paroki. Inilah alasan mendasar dari makrab OMK saat itu.

Malam minggu yang sarat dengan berbagai games  dan motivasi  dalam berorganisasi dipandu langsung  oleh  para pendamping OMK di antaranya Br. Greg, MTB, Om Willy dan Frater Hendri, OFMCap. Materi yang mereka siapkan dalam kegiatan BKSN 2015 meliputi lomba lektor, mazmur dan outbond juga seminar yang telah dipersiapkan untuk digelar oleh panitia Paroki Sanggau Ledo.

Semoga OMK St. Fransisikus Assisi Singkawang tetap semangat dalam melaksanakan kegiatan tersebut, sebab mereka adalah delegatus dari lintas stasi yang ada di wilayah Paroki Singkawang. Mereka terpilih karena ada kemauan dan tekad serta kemampuan untuk belajar saling melayani tulus dalam kegiatan OMK. Bravo OMK St. Fransiskus Assisi.  Kini  saatnya pintu gereja ada di pundakmu. Kamulah garam dan terang dunia.  Kamu menginjili orang muda lain yang belum bergabung bersama Yesus melalui kegiatan OMK. Tak heran jika kata-kata ‘Wow’ yang muncul pada saat makrab OMK St. Fransiskus  Assisi Singkawang itu berlangsung, sangat elegan dan menjadi sensasi tersendiri di bulan September 2015. (Bruf)