Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri umat katolik indonesia. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri umat katolik indonesia. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan

3 Sep 2018

SEMINAR KITAB SUCI OLEH DOKTOR PAULUS TONI DI FRANSISKUS ASSISI

SEMINAR KITAB SUCI OLEH DOKTOR PAULUS TONI DI FRANSISKUS ASSISI




Senin, 3 September 2018 pukul 18.00 WIB, bertempat di Gereja Katolik St Fransiskus Assisi Singkawang digelar seminar kitab suci. Kegiatan yang mendatangkan narasumber ahli kitab suci, Pastor Dr. Paulus Toni Tantiono, OFM.Cap ini digelar masih dalam rangkaian acara Bulan Kitab Suci Nasional 2018.

Seminar yang mendapuk doktor lulusan Universitas Gregoriana Roma ini digelar di dalam gereja dan mendapat perhatian cukup antusias dari umat Paroki Singkawang. Hal ini dibuktikan dengan terisinya bangku-bangku hingga sepertiga kapasitas tampung gereja yang berada di jalur utama Kota Singkawang.

Dalam seminarnya kali ini Pastor Toni menjabarkan dengan gamblang berbagai hal yang berkaitan dengan Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) 2018
yang merupakan kelanjutan dari rangkaian tema besar tentang Mewartakan Kabar Gembira. "Berbagai tema besar ini dimulai sejak tahun 2017, dengan tema: Mewartakan Kabar Gembira (MKG) dalam Arus Zaman Masa Kini, dilanjutkan tahun 2018 dengan tema: MKG dalam Kemajemukan, disambung tahun 2019 dengan tema MKG dalam Krisis Lingkungan Hidup dan ditutup tahun 2020 dengan MKG di tengah Krisis Iman dan Identitas Diri.

"Tema 'MKG dalam Kemajemukan' tahun ini mengangkat bagaimana tugas mewartakan Injil yang diberikan Yesus kepada para rasul ke seluruh dunia berhadapan dengan aneka kekayaan dan keunikan budaya non-Yahudi. Karena itu sejak dari awal para rasul harus aktif ke luar dari daerah Israel/Palestina sambil mencari metode-metode baru berhadapan dengan situasi tempat dan budaya-religiositas baru di tempat-tempat baru. Rasul Paulus bersama para rasul gereja perdana berjuang membumikan dan mengejawantahkan nilai dan pesan Injil Yesus secara konkret dan bermakna di bawah bimbingan Roh Kudus," paparnya.

Di samping itu, gembala yang juga bagian dari persaudaraan dina Kapusin ini juga menitikberatkan seminarnya pada poin-poin tugas mewartakan Kabar Gembira gereja Katolik dewasa ini di Indonesia yang menggarisbawahi empat tema/situasi yg dapat dibahas, yaitu; 1) Dialog dengan Kaum Miskin 2) Dialog dengan Budaya 3) Dialog dengan Agama lain 4) Dialog dengan Gereja-gereja Protestan. Keempat tema ini dibahas satu persatu dalam tiap minggu selama empat minggu pertemuan, dengan contoh perikop Kitab Sucinya masing-masing.

Di akhir seminar, beliau memberikan simpulan bawasanya gereja Katolik Indonesia mempunyai kesempatan sekaligus tugas mewartakan Kabar Gembira dalam aneka kemajemukan, ber-Bhinneka Tunggal Ika. Ada banyak peluang, sekaligus tantangan bagaimana menyapa masyarakat Indonesia yang sangat pluralistis (majemuk) dengan agama, budaya, adat-kebiasaan masing-masing. Diperlukan usaha keras untuk ke luar dari dinding gereja dan keberanian untuk menyapa dan berkontak dengan semua orang yang memerlukan sapaan Kabar Gembira. Selain itu, kerendahan hati dan kreativitas yang tinggi juga diperlukan supaya pesan Injil dapat masuk dan diterima orang-orang dalam budayanya masing-masing," ungkapnya.

Masih di kesempatan yang sama dan tidak kalah menarik, beliau juga menekankan bahwasanya gereja Katolik Indonesia sudah ditebus oleh Yesus Kristus 2000 tahun yang lalu dan sekarang meneruskan karya penyelamatan, dan penebusan tersebut kepada semua orang yang dijumpai. Tugas yang tidak mudah, namun indah dan luhur sesuai dengan amanat agung Tuhan Yesus di bawah bimbingan Roh Kudus dalam perlindungan dari Allah Bapa. (Nat)



KEMERIAHAN PAROKI SINGKAWANG MENYAMBUT BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2018

KEMERIAHAN PAROKI SINGKAWANG MENYAMBUT BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2018




Ada yang berbeda dari Misa Ekaristi kedua pada Minggu, 2 September 2018. Misa kali ini yang mendaulat Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFM.Cap sebagai selebran utama merupakan misa pembukaan Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) 2018. Perbedaan yang begitu menarik perhatian adalah ketika para petugas misa menggunakan baju adat dari berbagai daerah di Indonesia. 

Tercatat 6 orang mengenakan baju adat masing-masing daerah antara lain dari suku Batak, Dayak Kanayatn, Flores, Manado, Jawa, dan Dayak Kapuas Hulu, maju ke mimbar membacakan kutipan Injil yang berbunyi, "Pergilah beritakanlah Injil kepada segala makhluk," dengan bahasa daerahnya masing-masing. Di samping itu petugas misa lainnya yaitu lektor, petugas pengantar persembahan, petugas kolektan dari Kring St Paulus, paduan suara dari Kring Sta Elisabet, penari dan pemain musik dari anak-anak asrama juga tak kalah semarak mewarnai gereja St Fransiskus Assisi Singkawang dengan mengenakan baju daerah pada saat bertugas dalam misa. Hal ini tak lepas dari tema BKSN 2018 yang digagas oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) yaitu "Mewartakan Kabar Gembira dalam Kemajemukan". 

Selain merupakan misa pembukaan BKSN 2018, pada misa yang berdurasi lebih kurang 1,5 jam ini juga dilakukan pelantikan terhadap pengurus Badan Pelayanan Pemakaman Katolik Singkawang (BPPKS) masa bakti 2017-2022. Di sela pelantikan, Pastor Paroki yang juga merupakan ketua BPPKS menyematkan harapan terhadap kinerja para anggota yang diharapkan mampu memberikan pelayanan jauh lebih baik bagi umat. 

Tak sampai di situ, pada pukul 14.00 Gereja Katolik Paroki Singkawang juga menggelar pawai pembukaan Bulan Kitab Suci Nasional 2018.  Pawai dalam rangka pembukaan BKSN ini sudah 2 tahun berturut-turut digelar, dan pada tahun 2018 ini diikuti lebih banyak peserta. Tercatat sebanyak 2047 peserta pawai dari berbagai kalangan baik dari biarawan biarawati berbagai ordo, persekolahan, stasi, kring, kelompok doa, perkumpulan aktivis gereja, maupun instansi turut memeriahkan pawai pembukaan BKSN 2018. 

Pawai yang dilepas oleh pastor paroki ini memulai start dari halaman persekolahan SDS Suster ini menempuh rute yang cukup panjang, mengelilingi Kota Singkawang yang akhirnya finish di halaman gereja. Tidak hanya sekadar pawai saja, namun tahun ini panitia penyelenggara BKSN 2018 juga menyiapkan berbagai bingkisan hadiah bagi peserta pawai dengan penampilan terbaik. (Nat) 













17 Agu 2018

100% KATOLIK 100% INDONESIA ALA GEREJA ST FRANSISKUS ASSISI DI 73 TAHUN HUT RI

100% KATOLIK 100% INDONESIA ALA GEREJA ST FRANSISKUS ASSISI DI 73 TAHUN HUT RI




Suasana hening dan khidmat terasa jelas di halaman Gereja Katolik St Fransiskus Assisi Singkawang pada rambang petang 17 Agustus 2018. Pukul 17.10 WIB, gereja yang berada di jalur protokol Singkawang ini menggelar upacara penurunan bendera dan dilanjutkan misa syukur atas 73 tahun kemerdekaan RI.

Bertindak selaku inspektur upacara adalah pastor paroki, Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFM.Cap, sedangkan komandan upacara adalah Serma Matius dari RINDAM XII/TPR. Untuk personil TNI sendiri diturunkan 8 orang dari RINDAM dan 2 orang dari KODIM 1202 Singkawang. Sementara petugas penurun bendera, paduan suara serta petugas liturgi lain dipercayakan pada Sekolah Menengah Atas St Ignatius Singkawang.

Usai upacara penurunan bendera digelar, prosesi berikutnya dilanjutkan dengan misa syukur. Bertindak sebagai selebran utama adalah Pastor Gathot dan konselebran, Pastor Fidelis, OFM.Cap. Dalam misa yang berdurasi 1,5 jam ini tak putus lagu pujian maupun lagu wajib nasional dikumandangkan. Pada homili singkatnya, Pastor Gathot menitikberatkan tema HUT RI ke-73 dengan menyampaikan kepada umat, "Kerja KitaAdalah Prestasi Bangsa" dan tidak lupa mengajak umat untuk selalu mensyukuri berkat merdeka yang telah diperjuangkan dan diraih oleh para pejuang serta tak putus mengisinya dengan karya yang mampu mengangkat harkat derajat bangsa. 

Bahwasanya bukan hal baru gereja Katolik Paroki Singkawang menggelar misa perayaan syukur Hari Kemerdekaan RI, namun penambahan upacara penurunan bendera kiranya baru dilaksanakan dua tahun terakhir. "Besar harapan gereja dengan penambahan upacara penurunan bendera  umat akan meresapi semangat nasionalis dan patriotisme dalam kehidupan imannya, 100% Katolik, 100% Indonesia!" ungkap pastor paroki ketika ditemui usai memimpin misa.

Tidak berhenti sampai di situ, usai misa syukur digelar, umat yang hadir juga diajak untuk menikmati hidangan ala kadarnya yang telah dipersiapkan oleh pihak gereja. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk rasa syukur gereja dalam rupa berkat yang bisa dinikmati oleh seluruh umat di hari merdeka. (Hes)



Terkirim dari tablet Samsung.

13 Mar 2018

50 TAHUN BERKARYA, MENJADI LEBIH INDONESIA DARI YANG ASLI INDONESIA

50 TAHUN BERKARYA, MENJADI LEBIH INDONESIA DARI YANG ASLI INDONESIA

“Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” 

(Pramoedya Ananta Toer)

Kutipan tulisan Pramoedya Ananta Toer, sang sastrawan garda depan Indonesia itu ada benarnya. Dengan ‘senjata’ tinta dan pena, maka sebuah nama mungkin saja akan kekal sepanjang masa. Dikenang karena sumbangsih berupa tulisan bagi dunia pengetahuan, pendidikan maupun kebudayaan yang tentu akan berguna baik di masa sekarang maupun  masa depan. Ini pula yang tengah ditapaki oleh salah satu gembala kita. Meski karya-karyanya ia hasilkan tanpa tendensi apa-apa, namun publik boleh percaya bahwa apa yang dikerjakannya bukanlah suatu yang sia-sia dan besar pengaruhnya pada dunia pengetahuan, sejarah juga budaya.          

Sosoknya seperti orang Eropa pada umumnya. Tinggi besar, berkulit putih, bermata biru. Yang menjadikannya istimewa adalah kala ia bertutur menggunakan bahasa Indonesia yang begitu lancar, namun aksen Eropa tetap tak lekang dari lidahnya meski telah setengah abad bermukim di Indonesia.
C.M.W. Melis, lebih dikenal sebagai Pastor Yeremias, OFMCap atau dalam keseharian kebanyakan orang menyapanya dengan panggilan Pastor Yeri. Sosoknya baru benar-benar saya perhatikan pada 31 Desember 2014 lalu. Usai memimpin misa di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Singkawang, ia segera melepas jubah kuning yang saat itu dikenakannya lantas bergegas menuju deretan kursi belakang. Ia duduk tepat di hadapan saya yang kala itu ditugaskan meliput perayaan natal di lapas. Dengan tenang ia mulai menyulut rokok dan perlahan menghisapnya. Berada dekat perokok bukanlah hal asing bagi saya, hanya saja ketika memandang beliau yang tengah masyuk dengan batangan rokoknya, ada yang sukses menarik perhatian, khusus bagian kuku dan ujung jari Pastor Yeri tampak kecoklatan akibat dilekati nikotin pada rokok yang begitu setia menemani hari-harinya. Kala itu saya tersenyum kecil dan hanya sebagai pengamat pasif sosok pria 77 tahun itu. 


Kesan kedua yang benar-benar lekat dalam ingatan saya tentang Pastor Yeri selain kuku dan jarinya yang menjadi coklat karena nikotin  adalah saat saya meliput perayaan Naik Dango yang digelar pada bulan Mei lalu. Di tengah hiruk pikuk yang hadir, dari jarak belasan meter, saya yang saat itu tengah membidikkan lensa kamera ke arahnya sempat dibuat tertegun kala beliau ‘menyapa’ dengan anggukan kepala. Kesan ketiga dan yang paling menyentak kesadaran saya sebagai orang asli Indonesia adalah kala beliau menitipkan sebuah catatan kecil kepada pastor paroki berkait ketidaktepatan diksi yang saya gunakan saat menulis berita tentang beliau. Jujur, perasaan yang terlintas dalam benak saya saat itu adalah rasa sedikit jengkel, namun manakala saya telaah kembali, kritikan beliau memang ada benarnya. Bahkan, saya yang dilahirkan, dibesarkan dan berdarah asli Indonesia saja tidak memiliki pemahaman sebaik beliau dalam berbahasa. Sejak saat itu paradigma saya tentang beliau semakin mengerucut, beliau merupakan sosok yang sangat teliti. 

Beberapa bulan berselang, pada saat rapat redaksi digelar, saya yang memang selalu ditugaskan menulis pada Rubrik Sosok merasa ada yang sedikit menggusarkan pikiran. Bagaimana tidak, sosok biarawan yang dipilih untuk dikupas profilnya kali ini adalah Pastor Yeri. Sosok teliti yang juga harus saya hadapi dengan sedikit hati-hati. Saya tidak ingin melakukan kesalahan serupa untuk kedua kali berkait diksi. Dibantu temu janji oleh pastor paroki, akhirnya saya dipertemukan dengan pria yang mengaku tidak menyukai pesta namun diketahui menaruh perhatian begitu  besar terhadap lingkungan dan alam. 

Lagi-lagi ada yang menarik kala itu, beliau mengatakan hanya menyediakan waktu 10 menit untuk wawancara dan di tangannya telah tergenggam buku-buku yang ditulis maupun karya yang dialihbahasakannya. Kesimpulan yang saya tangkap, beliau hanya mau diwawancara berkaitan dengan buku-buku karyanya. Benar saja, belum sempat saya menjabat tangan, beliau telah lebih dulu membuka obrolan dengan panjang lebar menjabarkan dua buah buku tebal  berjudul Borneo Bagian Barat Geografis, Statistis, Historis 1854 dan Borneo Bagian Barat Geografis, Statistis, Historis 1856  tulisan Profesor Pieter Johannes Veth yang telah dialihbahasakannya dan diterbitkan pada April 2012. Khusus dua buku dengan judul yang telah disebutkan di atas dikerjakan dalam waktu yang terbilang cukup lama, kira-kira sepuluh tahun. Hal ini disebabkan pada saat beliau menggarapnya,  di masa yang sama beliau menjabat sebagai pastor paroki. Ia sendiri memulai terjun ke dunia kepenulisan sejak 1979, dalam buku Doa dan Berkat Sepanjang Tahun, yang pada 2004 saja telah menjejaki cetakan ke tujuh. Antusiasnya kentara kala  saya mengungkapkan ketertarikan pada salah satu buku yang diterbitkan bertepatan dengan 50 tahun ia berkarya di Indonesia, Sejarah Kongsi Lan-Fong Mandor yang telah saya baca tuntas sebelum proses wawancara dilakukan. 

Rupanya ada kisah yang cukup menggelikan di balik penerbitan buku-buku beliau yang diluncurkan bertepatan dengan tahun emas dalam berkarya di Indonesia. “Dulu satu tahun yang lalu, mereka bicara mau merayakan 50 tahun saya di Indonesia, saya bilang oke kalau segala buku beres, semua ikut menolong, kira-kira 15 orang. Kalau tidak minimum lima, kalau tidak, tidak jadi,” tegasnya. Berbekal kalimat sakti yang separuh berisi ‘ancaman’ ini maka panitia perayaan 50 tahun Pastor Yeri berkarya di Indonesia dituntut bekerja ekstra keras. Namun, di sela-sela penjabaran mengenai buku-buku yang diterbitkan bertepatan dengan perayaan setengah abad beliau berkarya di Indonesia, terdengar nada sedikit kurang puas  mengenai ketidaktepatan penerbit dalam mencetak yang jika dirunut dapat berakibat fatal. “Ada yang tidak beres, berubah waktu mereka cetak cepat-cepat, Lanskap Pinoh, tidak ditulis tahun berapa, orang pikir dibuat tahun ini. Di sini juga tidak disebut sumber, di sini juga kata pengantar dari saya, saya buat sebagai keterangan, tapi ditulis J.P.J. Barth. Ini juga ada, J.T. Willer juga, tidak disebut tahun, Eks Residen Pontianak,  dari ITLV dari situ diterbitkan. Kata pengantar, ditulis oleh J.T. Willer. Di sini ada lagi, catatan dari penerjemah, ditulis penerjemah J.T. Willer. Di buku Kongsi Monterado, ini juga tidak ada tahun, dan nama orang itu hilang. Gambar satu orang penting dari Monterado, ini terbit dari 1893, Liu Chang Po kapten Monterado dari abad ke 18. Harus ada nama itu juga di situ. Dunselman (buku dengan judul Adat dan Bahasa Dayak Kendayan Kalimantan Barat) di sini juga tidak ada tahun dan nama di sini, saya tulis mereka hilangkan. Ini Pastor Dunselman karena itu saya masukkan (sambil menunjuk salah satu biarawan yang terdapat di cover buku), dan foto ini juga sebenarnya menarik karena ini Seminaris Pontianak, sebelum zaman Jepang. Salah satu dari ini, Oevaang Oeray. Dia termasuk salah satu dari ini, saya pikir ini, tapi saya tidak tahu. (sambil spekulasi menunjuk salah satu dari orang-orang yang terdapat dalam foto di cover buku. Belakangan setelah saya coba telusuri fakta melalui internet, memang sosok yang ditunjuk oleh beliau adalah Oevaang Oeray). Nama selain Pastor Dunselman saya tidak tulis tapi justru ini, karena ini buku ditulis Pastor Dunselman. Dalam buku sama sekali tidak ada keterangan tentang foto. Tapi kalau di sini, ada nama, orang tahu itu penulis bukunya,” ujarnya.

Meski telah menghasilkan beberapa buku yang ditulis sendiri maupun alihbahasa, beliau masih selalu berproses dalam menghasilkan karya. Terdapat sekitar 7 buku yang sedang dalam proses penerbitan, belum lagi sebuah buku yang memang sedang dalam proses pengerjaan, buku berjudul Borneo Almanak. “Buku ini berisi kutipan dan foto-foto dengan  format 360 halaman. 76 halaman dengan foto saja, 629 foto. Borneo Almanak adalah buku tahunan dari Kapusin Belanda untuk mencari dana dan juga memperkenalkan daerah misi baik Borneo maupun Sumatera. Buku ini berisi cerita umum, lelucon dan apapun tapi juga banyak berisi informasi, surat yang pastor-pastor kirim, renungan, tapi juga banyak yang  mereka alami, dan berisi satu sejarah gereja, permulaan yang cukup menarik,” paparnya. 

Saya sempat mencecar beliau dengan pertanyaan mengenai alasan yang menggugah beliau untuk menerjemahkan buku-buku yang berkaitan dengan sejarah lokal Kalimantan. Jawaban cukup logis sekaligus mencengangkan  saya terima, “Orang hampir tidak tahu sejarah diri sendiri dan banyak catatan yang sekarang dibuat tidak benar, yang salah, atau semua sesuai dengan kepentingan sendiri terkadang dibuat menjadi sejarah. Setelah itu saya pikir ada satu-satunya kemungkinan karena sumber bahasa Indonesia tidak ada, pemeriksa juga hampir tidak ada, yang ada hanya dari Sumatera, Jawa, dan Bali, tidak ada kemungkinan lain lagi, buku semacam ini, orang Indonesia walaupun pandai bahasa Belanda cukup baik hampir tidak bisa menerjemahkan, karena bahasa sudah kuno, bahasa Belanda. Juga banyak bahasa Perancis dipakai, bahasa Jerman. Mengartikan itu harus ada orang yang ada sedikit feeling untuk menerjemahkan, lain kemungkinan untuk menerjemahkan tidak ada,” ujarnya.        

Pastor yang setelah purnakarya tak berniat kembali ke Belanda ini ‘terasa lebih Indonesia’ dibandingkan orang yang asli Indonesia, tak berlebihan dikatakan demikian karena berdasarkan fakta yang ditelusuri di lapangan, terdapat beberapa artikel yang menyebutkan bahwa pastor yang resmi menjadi WNI pada 1981 ini pernah membebaskan seorang warga terkait sengketa tanah yang akan dijadikan perkebunan. Kalimat pujian saja rasanya tak cukup untuk mengapresiasi tindakan beliau. Bahkan orang asli Indonesia sendiri kadang tidak peduli dengan kondisi lingkungan alamnya. Kembali jawaban merendah, menyuruk bumi namun bernada jenaka saya dapatkan,  “Tapi waktu itu saya tidak sendiri, Sering pastor harus menjadi bendera, harus muncul karena saya dengan sengaja pakai jubah putih, supaya orang nampak, supaya orang yang lebih hebat itu takut. Ini  taktik juga. Waktu dulu kerusuhan saya juga ambil lebih 300 anak asrama Nyarumkop, pindahkan ke Menjalin, sewa 10 bus dengan berapa truk, di tengah-tengah perang saya juga pakai jubah putih segala aparat tidak banyak omong,” paparnya dengan nada bersungguh-sungguh yang malah memancing gelak tawa saya. 

Hal lain yang juga menjadi fokus perhatian dalam hidup beliau adalah mengenai pelestarian alam. Dengan wajah serius beliau memaparkan, “Tanah Kalimantan sebenarnya tidak cocok untuk kelapa sawit,  hanya dengan tambah banyak pupuk. Tidak bisa disamakan dengan tanah di Sumatera. Di sini kalau satu kali ditanam sudah, habis. Lain di Sumatera, bisa berganti-ganti, di sini tidak. Lihat asap, lihat air.  Lihat segala-galanya mengalami kemunduran. Apa yang dicintai manusia nanti juga akan hilang.  Saya benar-benar meragukan nanti kalau khusus berhubungan dengan orang Dayak bahwa sepuluh, dua puluh tahun masih ada orang Dayak atau tidak. Memang manusia tetap akan ada, tapi suku bukan sebagai suku lagi, segala dasar akan hilang, artinya mereka nanti akan menjadi terpinggirkan oleh segala perubahan, pulau hancur. Lihat asap. Harus baca doa kami bagi orang yang ‘membangun’ Kalimantan,” ungkapnya. (Bahwasanya doa para ‘pembangun’ Kalimantan 2015 ditulisnya sebagai sarkasme yang dibacakan saat beliau memimpin perayaan Ekaristi  pada 27 September 2015 di Gereja St. Fransiskus Assisi. Di bagian akhir artikel ini dilampirkan ‘doa’ tersebut.) 

Kiranya selain pembahasan mengenai buku, obrolan tentang lingkungan dan alam mangkus menjadi senjata saya mengulur waktu untuk menggali lebih banyak hal yang berkaitan dengan pandangan anak kedua dari lima bersaudara kelahiran Belanda, yang ia sendiri tidak tahu tanggal lahirnya namun hanya mengingat hari Minggu, pukul 2 siang, pada suatu April di 1938 itu. Bukan rahasia jika kebanyakan sosok Eropa dikenal mencintai Indonesia karena tertarik pada budaya maupun kultur, namun baginya, tak ada hal lain yang mendasar yang membuatnya bertahan berkarya selama setengah abad  di Indonesia selain karena alasan  mencintai manusia. “Kebudayaan sesuatu ungkapan, dari siapa orang itu dan bagaimana mereka hidup, bisa disuka, bisa dilihat, tapi bukan itu alasan saya di sini. Alasan manusia, dan alam yang dirusak,” tegasnya. 

Sedikit mengalami kesukaran kala saya berusaha menggali lebih lanjut mengenai kehidupan pribadinya. Saat itu saya pertanyakan alasannya memilih menjadi biarawan, hanya jawaban ringkas yang saya dapatkan, “Kalau saya lahir sekarang mungkin tidak menjadi pastor. Ini jalan Tuhan. Saya juga tidak tahu.” Kejahilan saya kambuh manakala mendengar jawaban beliau. Iseng saya tawarkan beberapa profesi, artis, dosen, atau penulis buku, spontan beliau menjawab dengan nada khasnya bicara yang serius tetapi malah mengundang derai tawa, “Artis pasti tidak, saya tidak bisa menyanyi, tidak pandai bersandiwara. Saya belum pernah mengajar, saya belum pernah beri retret. Saya juga tidak pandai omong setengah jam, satu jam, hanya menjadi omong kosong. Seperti berapa kali di gereja khotbah setengah jam atau lebih sebenarnya berapa kali saya mau lari tapi saya pikir banyak orang lihat, benar itu kalau orang tidak lihat, saya pasti lari. Kalau khotbah begitu lama  dan sama sekali tidak ada aturan apapun, omong mengenai apa, setengah hati pun tidak bisa ditangkap, lihat umat di gereja dalam ekspresi mengantuk. Hampir tidak ada yang mendengar, apa gunanya saya pikir itu. Untung saya pikir orang Katolik itu baik rupanya, coba tahan mendengar itu ya,” candanya.

Pada akhirnya 52 menit total waktu obrolan dari yang awalnya hanya bersedia 10 menit saja untuk melayani wawancara. Begitu banyak hal didapat untuk mengenal pribadinya secara lebih dekat. Pribadi yang humoris, cermat, hangat dan begitu bersahabat. Profisiat, Pastor. Semoga selalu sehat dan penuh berkat dalam berkarya dan melayani umat. (Hes)  

Bibliografi:
  •  Doa dan Berkat Sepanjang Tahun (tahun terbit; 1979), hingga kini masih dicetak dapat diperoleh di Emaus.    Batakki (Berita Antar Kampung Kita)  (tahun terbit; 1997)
  • Borneo Bagian Barat Geografis, Statistis, Historis 1854, penulis P.J. Veth, dialihbahasakan P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; April 2012), diterbitkan oleh Institut Dayakologi
  • Borneo Bagian Barat Geografis, Statistis, Historis 1856, penulis P.J. Veth, dialihbahasakan P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; April 2012), diterbitkan oleh Institut Dayakologi
  • Sejarah dan Geografi Daerah Sungai Kapuas Kalimantan Barat,  penulis J.J.K. Enthoven, 1905, judul asli Bijdragen Tot De Geographie van Borneo’s Wester-Afdeeeling, dialibahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; 2013), diterbitkan oleh Institut Dayakologi
  • Sejarah Sanggau “Het Rijk Sanggau” (tahun terbit; 2014) terjemahan diambil dari buku Indische Taal; Land; en Volkenkunde, terbitan Bativaansch Genootschapp van Kunsten en Wetenschappen tahun 1884, penulis H.P.A. Bakker, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, diterbitkan kembali oleh Pemerintah Kabupaten Sanggau, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sanggau.
  • Adat dan Bahasa Dayak Kendayan Kalimantan Barat, penulis P. Donatus Dunselman, OFMCap, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; September 2015), diterbitkan oleh Pohon Cahaya, dapat diperoleh di Pastoran Singkawang.
  • Kongsi-kongsi Monterado Sumbangan kepada sejarah dan pengetahuan dari perkumpulan-perkumpulan orang Cina di Pantai Barat Borneo, penulis S.H. Schaank, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; September 2015), diterbitkan oleh Pohon Cahaya, dapat diperoleh di Pastoran Singkawang.
  • Kronik Mampawah (dan Pontianak), penulis J.T. Willer, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; September 2015), diterbitkan oleh Pohon Cahaya, dapat diperoleh di Pastoran Singkawang.
  • Lanskap-lanskap di Pinoh-Hulu (Bagian Barat Borneo), penulis J.P.J. Barth, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; September 2015), diterbitkan oleh  Pohon Cahaya, dapat diperoleh di Pastoran Singkawang.
  • Sejarah Kongsi Lan-Fong Mandor, penulis Dr. JJ.M. De Groot dan J.W. Young, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; September 2015), diterbitkan oleh Pohon Cahaya, dapat diperoleh di Pastoran Singkawang.  

DOA PARA ‘PEMBANGUN’ KALIMANTAN 2015

Karya Pena : Pastor Yeremias, OFMCap

Bapa kamu, UANG, yang ada di bumi
dimuliakanlah namamu, perkuatkanlah kerajaanmu

Engkaulah, Uang, mengatur raja-raja, pemerintah-pemerintah,
mereka yang harus ambil keputusan.

Tutup mata dan hati mereka terhadap penderitaan rakyat
dan penghancuran lingkungan hidup.

Berilah bahwa kami tidak ditindak
kalau kami membersihkan lapangan yang kami butuhkan
dengan membakar saja,
walaupun itu mengakibatkan banyak asap
yang merugikan banyak orang,
baik fisik, ekonomis dan mental.

Semoga di bawah bimbinganmu perkebunan sawit dan
pertambangan bertambah banyak.

Berilah kami, dibantu oleh pemberianmu sendiri,
banyak orang yang mudah dibutakan
agar mereka tidak melihat masa depannya sendiri
dan dari anak-cucunya.

Berilah kami banyak orang yang mau kerja dengan gaji rendah
tanpa mengomel.

Aturlah bahwa mereka semua kehilangan tanahnya
dan berhutang kepada kami
agar mereka selama-lamanya terikat.

Jangan membawa kami kepada pertobatan,
tetapi tolonglah agar pemimpin-pemimpin agama-agama,
dan tokoh-tokoh masyarakat tetap bersedia,
memberkati atau mendukung usaha-usaha kami,
sesudah terima sumbangan secukupnya
untuk tujuan yang baik atau koceknya sendiri.

Karena hanya Engkaulah Uang yang penting
dan pantas dicari dan dipuji untuk selama-lamanya.

Amin.




3 Mar 2017

Menguji Kelestarian Panggilan dan Kesetiaan Pilihan dalam Pengalaman Hidup

Menguji Kelestarian Panggilan dan Kesetiaan Pilihan dalam Pengalaman Hidup


 “Bukan semudah membalikkan telapak tangan untuk setia pada satu pilihan, pilihan yang berlaku seumur hidup, sepenuh usia, sepanjang hayat. Sama seperti orang awam, kaum rohaniawan juga mengalami hal serupa. Jika jejak langkah awam dihadapkan pada jibaku persoalan hidup yang seolah tidak pernah surut, pun demikian halnya dengan mereka yang hidup di balik tembok biara. Masing-masing dengan perannya, masing-masing dengan tantangan hidupnya, masing-masing dengan persoalan yang membelit kesehariannya.” 

Mendung masih bergelayut enggan pupus meski langit sesiang tadi sempat memuntahkan hujan seperti tembikar sarat akan air yang pecah di udara manakala saya memacu kendaraan ke arah jantung kota. Hari itu hari Sabtu, dan saat itu tujuan saya satu, segera berada di sebuah biara yang bersebelahan dengan gereja, Biara Providentia. Kamis sebelumnya saya membuat janji dengan salah satu penghuninya. Melalui piranti komunikasi temu janji disambut suara ringan nan gembira yang siap menyambut kehadiran saya untuk melakukan wawancara. Suara yang terdengar semanis paras pemiliknya adalah suara Suster M. Laetitia, OSCCap. Maka Sabtu, kira-kira dua jam menjelang senja, rinai gerimis mengantarkan langkah saya menjumpainya. 

Kedatangan saya disambut senyumnya yang jernih seperti yang biasa tergambar pada jiwa yang menyerahkan sepenuhnya kesulitan dunia pada penciptanya dan selalu bersyukur pada setiap keriaan sekecil apapun bentuknya. Jabat erat saya dapat disertai kecup dan pelukan hangat. Kami berhadap-hadapan pada sebuah ruangan berukuran 3 x 4, dihalangi meja lengkap dengan minuman dan kudapan. Sepanjang wawancara senyum dalam binar mata ramah bersahaja membingkai di wajahnya. Ia begitu antusias ketika saya mulai menyoal ketertarikannya menanggapi panggilan hidup membiara. Segalanya berawal dari dalam keluarga. Tepat kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Putri kedelapan dari dua belas bersaudara pasangan bapak Paulus Hendrikus Pawe dan ibu Katarina Irmina Meo ini memang berlatar ayah dan ibu yang merupakan mantan calon biarawan dan biarawati. Keinginan kedua orang tuanya di masa muda untuk menapaki hidup membiara terkendala karena jauh sebelum keduanya bersua, ternyata pihak keluarga telah seiya sekata menjodohkan keduanya hingga mereka menyatu dalam biduk rumah tangga. Namun bagai gayung bersambut oleh buah hati mereka, Laetitia muda menjadi penawar dahaga cita-cita yang tertunda. 

Laetitia tumbuh di lingkungan Katolik yang taat. Berlatar kedua orang tua yang paham benar tentang agama, segala ritual pujian bagi yang maha juga rapalan untaian doa merupakan menu wajib dilakukan dalam keluarga dan bukan hal yang sama sekali baru baginya hingga tak lagi mengejutkan ketika ia mulai menapaki kehidupan membiara. Rumah masa kecilnya pun menjadi saksi bisu perjalanan kegembalaan biarawati dan biarawan maupun para frater, calon balatentara Tuhan yang menggelar kegiatan pelayanan keagamaan. Tidak berhenti sampai di situ, keterbiasaan menyaksikan pemandangan yang berkait erat dengan pelayanan, ketika kecil, ia bersama teman acapkali bermain peran menjadi kaum rohaniawan, membagi hosti yang adalah roti dalam sebuah permainan perayaan Ekaristi.   

Sebelum menjalani hidup di biara, Suster Laetitia yang dulunya bernama Yosefina Basildis ini sempat menjalani pendidikan sebagai perawat kesehatan di sebuah SPK nun di gugusan Flobamora (Flores, Sumba, Timor, dan Alor). Seolah tumbuh menjadi mawar gurun yang mekar, kala itu tidak sedikit pemuda yang hatinya sanggup dibuatnya tergetar. Bukan hanya satu atau dua pemuda belaka, namun lebih dari hitungan jumlah jari pada kedua telapak tangan telah tercatat mencoba merebut hatinya dengan segala cara. Dari cara yang halus hingga yang ketus, dari yang terselubung hingga yang nyata-nyata mengajak pemuda lain tarung. Dengan rendah hati, ia menanggapi segalanya dengan tetap merangkul semua menjadi sanak saudara untuk tetap saling menjaga dalam doa. Baginya segala cinta dari lawan jenis yang silih berganti menghampiri tak ayal merupakan perpanjangan tangan Tuhan untuk menyentuh dan menyadarkannya bahwa tiada kasih yang lebih besar dari kasih Juru Selamatnya. “Semua hadir untuk menguji kelestarian panggilan dan kesetiaan pilihan dalam pengalaman hidup, kalau tidak ada tantangan, kita tidak bisa tahu bahwa panggilan ini benar-benar berharga. Panggilanku ini adalah pilihanku dan inilah yang dikehendaki Tuhan,” begitu ia berujar. Mungkin benar, untuk mengetahui kadar ketebalan iman seseorang, terkadang memang diperlukan ujian. Iseng saya bertanya untuk sekadar mengetahui siapa saja yang hadir  menawarkan hati pada suster yang sangat senang bersahabat ini, namun begitu rapat ia merahasiakan semua nama yang masih mencoba mendekatinya meski ia telah hidup dalam lingkup biara. Pernah pada suatu masa, sehari menjelang kaul kekalnya, ia menghadapi godaan yang sungguh luar biasa. Kala itu ada suara lain yang didengarnya yang sempat menggetarkan hatinya. Suara dari seseorang yang hampir saja membuatnya urung mengucap kaul kekal dan berpikir ulang untuk meneruskan panggilan. Ya, suara seorang dari antara kaum adam yang selama ia berada dalam masa pendidikan selalu memberikan perhatian. Pergulatan sungguh menjadi awan hitam yang meliputi batinnya, namun dalam seluruh kekuatan ia menyerahkan sepenuhnya ke tangan Bapa dalam doa. Lelah berdoa ia jatuh tertidur hingga akhirnya pada saat terbangun hal pertama yang dilihatnya adalah salib Kristus. Serta merta dipeluknya tanda penyelamat hidupnya. Seketika hilang rasa ragu, dengan mantap ia menjawab panggilan itu.

Rasanya sungguh padan jika kutipan catatan seorang maestro kesusastraan Indonesia disematkan pada suster yang hobi bernyanyi dan menari ini; “Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya.”* Suster yang pada 31 Maret 2017 mendatang genap berusia 55 tahun ini sungguh lembut namun tegas, begitu halus tetapi kukuh. Pribadinya ibarat menolak tangan berayun kaki, memeluk tubuh mengajar diri. Sungguh, ia disiplin dan hanya sedikit berkompromi untuk hal-hal yang bersifat duniawi. Hedonisme ia tinggalkan, bersetia ia pada panggilan. Hal ini ditunjukkan ketika dengan segala kesempatan untuk berada di tengah-tengah keramaian, hati kecilnya tetap rindu untuk pulang. Biaralah rumahnya, sebagai suster pendoalah panggilan kemanusiaannya. 

Masih berkisar pada pengalaman panggilan yang dialaminya, suster yang ketika belia menjadi primadona remaja ini mengalami suatu kejadian tak terlupakan. Manakala bersama teman-teman seusianya berolah raga, matanya tiba-tiba terpaku pada sosok biarawati yang meski berada di tengah keriuhan tetap setia merapal doa dengan rosario dalam genggamannya. Saat itu tanpa banyak bicara, Laetitia berlari menjauh dari perkumpulan. Masuk kamar ia kembali merenungkan niatnya menanggapi panggilan. Dengan pemandangan sesederhana itu, Tuhan kembali hadir menyentuh inti kalbu. 

Suatu ketika dalam masa pencarian ordo yang benar-benar dirasa pas di hati, ia menemukan jawaban secara tak sengaja. Melalui majalah Hidup yang saat itu memuat profil dan foto Bapa Uskup Mgr Hieronimus Bumbun bersama dua orang suster OSCCap, Laetitia membulatkan tekadnya. Korespondensi dilakukan, harap-harap cemas ia menanti balasan. Tak berapa lama berselang, bagai tak bertepuk sebelah tangan, jawaban memuaskan ia dapatkan. Bapa Uskup menyambut baik keinginannya bahkan menunjukkan cara untuk memuluskan niat sucinya. Suatu kebetulan yang menyenangkan berselang beberapa waktu kemudian dalam urusan pekerjaan  Bapa Uskup mengunjungi provinsi tempat ia berdomisili. Dibantu oleh Bapa Uskup, Laetitia akhirnya sampai ke Biara Providentia yang sangat didambanya. Kesan pertama melihat bangunan biara, ia langsung merasa bahwa inilah tujuan hidupnya, inilah ‘rumah’ baginya.

Sejak awal hidup di biara, ia bersama teman-temannya saling menguatkan dalam doa. Rasa rindu pada orang tua serta sanak keluarga merupakan hal jamak dan tak terhindarkan. Laetitia sempat rapuh ketika di awal masa panggilan ia seolah sengaja diputus kontak oleh kedua orang tua. Seluruh surat yang dikirimnya ke kampung halaman tak jua kunjung ada balasan. Sedih dan merasa dikucilkan, rindu namun semacam terbuang. Ia tak mengetahui alasan di balik sikap kedua orang tua yang tidak pernah membalas surat-suratnya. Sedih tak tertahan, letih hati menahan rindu tidak berkesudahan, ia merasa sendirian, hanya Surat Rasul Paulus kepada umat yang termuat dalam Kitab Suci selalu menjadi hiburan. Pada suatu kesempatan ia menghadap Bapa Uskup Hieronimus Bumbun, mengadukan ihwal yang mengganggu batinnya. Jawaban tak terduga melipurkan laranya. Bapa Uskup menguatkannya hanya dengan kata-kata, “Buat apa bersedih, saya dan yang lain yang hidup dalam panggilan juga sendirian. Tidak sedang bersama orang tua, kita semua sama.” Dengan jawaban sederhana itu Laetitia merasakan kekuatan dan bahwa ia memang tidak sendirian. Hingga tiba pada suatu masa, ia diberi keleluasaan untuk kembali mengunjungi orang tua di kampung halamannya. Saat itu baru ia dapatkan jawaban atas segala yang menjadikannya ragu. Kedua orang tuanya tak ingin masa pendidikannya terusik rindu yang pada akhirnya akan mengganggu.  

Semua yang hidup akan tetap menemukan gairahnya jika ia masih meniupkan asa dalam cita-cita, dalam sebuah keinginan, dan dalam selaksa harapan. Pun demikian halnya dengan Laetitia. Hal yang belum terpenuhi dan menjadi sebuah harapan sepanjang pembaktian hidupnya dalam membiara dituturkannya, “Saya hanya merindukan menjadi seorang pendoa yang sungguh-sungguh menjadi penyalur rahmat bagi banyak orang, bisa menjadi seorang pribadi yang sungguh berguna bagi diri, keluarga, gereja dan dunia. Dan jika saya meninggal saya ingin menjadi kudus, tapi itu rasanya masih jauh dari bisa menjadi kudus,’ ungkapnya yang disusul sipu malu dalam senyumnya yang bersahaja.

4 Oktober 2016, tercatat tepat 25 tahun ia berkarya. Berbagai cobaan dan rintangan silih berganti menghampiri, namun tangan Tuhan kiranya terus bekerja, menjaga ia setia pada panggilan imannya. Selamat berkarya, Suster. Tetaplah menjadi pendoa kami semua. (Hes) 

NB: (*) kutipan tulisan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru: Rumah Kaca.   
Biodata Singkat

Nama: Yosefina Basildis Anu Pawe.
Tempat tanggal lahir: Flores, Bajawa Mataloko, 31 Maret 1962 
Tahun 1977 tamat SD Katolik Toda Belu II.
Tahun 1981 Masuk SMP Kartini Mataloko.
Tahun 1982 pindah ke SMP Immaculata Ruteng Manggarai.
Tahun 1983 masuk ke SPK (Sekolah Pendidikan Kesehatan) di Lela Maumere.
Setelah tamat, bekerja di Rumah Sakit St. Gabriel Kewapante Maumere, sebagai pembantu bidan bersama Sr. Solmaris, S.Sps selama 2 tahun.
Pada tahun 1987 berkenalan dengan biara Providentia melalui majalah Hidup. 
Tanggal 6 Agustus 1988 berangkat ke Singkawang bersama Sr. Emiliana SFIC dan diantar ke biara Providentia oleh Sr. Paulin SFIC.
Tanggal 6 Agustus 1988: masuk sebagai calon (aspiran)
Tanggal 29 September 1988: Masuk Postulan
Tanggal 4 Oktober 1989: Masuk Novis
Tanggal 4 Oktober 1991: mengikrarkan Kaul sementara.
Tahun 1991-1992 tinggal di Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 1993 kembali ke Biara Providentia Singkawang.
Tanggal 4 Oktober 1994: Mengikrarkan kaul kekal meriah.
Tahun 1996 di tugaskan kembali ke Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 1997 kembali ke Singkawang.
Tahun 2003 ditugaskan kembali ke Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 2005 kembali ke Biara Providentia Singkawang sampai saat ini.
Tanggal 4 Oktober 2016, genap 25 tahun hidup kaul membiara.


      


2 Mar 2017

Menghargai Perbedaan di Tengah Karut Marut Kehidupan

Menghargai Perbedaan di Tengah Karut Marut Kehidupan



Sejak beberapa tahun silam melalui lembaga riset Setara Institute, Kota Singkawang  tercatat sebagai kota paling toleran di posisi ketiga di seluruh Indonesia setelah Pematang Siantar dan Salatiga. Hal ini menunjukkan tingginya kesadaran warga Singkawang terhadap perbedaan yang memang menjadi corak dasar kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Menyikapi perbedaan yang tak terhindarkan ini berbagai cara ditempuh oleh pemerintah maupun lembaga yang terdapat di dalamnya untuk memupuk kebersamaan meskipun berlatar perbedaan antarumat beragama.  Salah satunya seperti yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Sabtu, 14 Januari 2017 merupakan hari yang dipilih oleh Departemen Agama Kota Singkawang untuk melaksanakan kegiatan jalan santai bersama yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat dari enam agama yang diakui oleh pemerintah. Kegiatan jalan santai ini diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Kerukunan Nasional dan Hari Amal Bakti ke 71 Kantor Kementrian Agama Kota Singkawang. Kegiatan yang dimulai sejak pukul 07.00 Wib ini memusatkan kantor Departemen Agama  yang beralamat di Jalan Alianyang sebagai tempat  start maupun finish kegiatan jalan santai. Rute yang dipilih dalam kegiatan ini adalah melewati berbagai tempat ibadah yang ada di kota Singkawang yang jaraknya berdekatan satu sama lain. 

Respon masyarakat sangat baik. Hal ini terbukti dari jumlah peserta yang ikut andil di dalamnya  lebih dari 1500 peserta. Seluruh pegawai dan karyawan Depag terlibat dalam gawe yang setiap tahun digelar ini. Perwakilan berbagai  sekolah dengan latar belakang negeri maupun swasta dilibatkan guna memeriahkan acara yang digelar tahunan ini. Ditemui terpisah, Baharuddin selaku Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Singkawang menjabarkan kegiatan ini merupakan salah satu ajang hiburan masyarakat dan sebagai upaya membangun  semangat kekeluargaan akibat dari reformasi politik Indonesia yang berdampak timbulnya kegalauan sebagian rakyat yang berakibat dari dampak berita di media sosial yang bersifat hoax, terkadang provokatif serta adanya pemimpin di segala tingkatan yang sulit diteladani. Hal senada juga diungkap ketua panitia, Drs. Marhola yang menggarisbawahi digelarnya acara ini demi mempererat dan merekatkan hubungan harmonisasi dalam toleransi umat beragama di Kota Singkawang. Masih dalam wacana yang sama Robertus selaku penyuluh Katolik mengungkap tujuan diselenggarakannya giat ini adalah agar rasa persaudaraan dan kerukunan antarumat beragama dalam membangun kebersamaan dan kebhinekaan agar kota Singkawang semakin dewasa, semakin berkualitas, dan harmonis hingga tak berlebihan rasanya sebuah harapan untuk Kota Singkawang meraih predikat sebagai kota paling toleran nomor satu di Indonesia dapat diwujudkan.  

Melalui giat yang sukses digelar dengan tertib dan lancar semakin mengukuhkan bahwa Kota Singkawang  sama sekali tidak terpengaruh kondisi karut marut yang belakangan melanda berbagai kota lain di Indonesia. (Hes)

28 Nov 2016

Perayaan Bulan Kitab Suci Tahun 2016 di SMP Bruder Singkawang

Perayaan Bulan Kitab Suci Tahun 2016 di SMP Bruder Singkawang


Sudah sejak lama gereja menyadari perlunya umat beriman untuk semakin mencintai dan menghidupi Kitab Suci sehingga mereka pantas untuk bersaksi dan mewartakan-Nya baik secara pribadi maupun keluarga. Dalam ajaran Konsili Vatikan II diungkapkan keinginan agar jalan menuju Kitab Suci dibuka lebar-lebar bagi kaum beriman (Dei Verbum 22). Pembukaan jalan menuju Kitab Suci ini dilakukan dengan menerjemahkan Kitab Suci ke dalam banyak bahasa lokal. 

Ktab suci telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, namun umat Katolik Indonesia belum mengenal dan memahaminya, dan belum mulai membacanya. Mengingat hal itu, Lembaga Biblika Indonesia (LBI), yang merupakan Lembaga dari KWI untuk kerasulan Kitab Suci, mengadakan sejumlah usaha untuk memperkenalkan Kitab Suci kepada umat dan sekaligus mengajak umat untuk mulai membaca Kitab Suci. Hal ini dilakukan antara lain dengan mengemukakan gagasan sekaligus mengambil prakarsa untuk mengadakan Hari Minggu Kitab Suci secara Nasional. LBI mengusulkan dan mendorong agar Keuskupan-Keuskupan dan Paroki-Paroki seluruh Indonesia mengadakan ibadat khusus dan kegiatan-kegiatan sekitar Kitab Suci pada Hari Minggu tertentu.

Dalam sidang MAWI 1977 para uskup menetapkan agar satu Hari Minggu tertentu dalam tahun gerejani ditetapkan sebagai Hari Minggu Kitab Suci Nasional. Hari Minggu yang dimaksudkan adalah  Hari Minggu Pertama bulan September. Dalam perkembangan selanjutnya keinginan umat untuk membaca dan mendalami Kitab Suci semakin berkembang. Satu minggu dirasa tidak cukup lagi untuk mengadakan kegiatan-kegiatan seputar Kitab Suci. Maka, kegiatan-kegiatan ini berlangsung sepanjang Bulan September dan bulan ke-9 ini sampai sekarang menjadi Bulan Kitab Suci Nasional.

Pada bulan September, Gereja Katolik Indonesia memasuki bulan Kitab Suci Nasional.  Pimpinan Gereja menganjurkan umat Katolik menjadi lebih akrab dengan Kitab Suci dengan berbagai cara, sehingga dengan demikian umat semakin mendalami imannya dalam menghadapi kerumitan dan kesulitan hidupnya.

Tema Bulan Kitab Suci Nasional tahun 2016 adalah Keluarga Bersaksi dan Mewartakan Sabda Allah “Hendaknya Terangmu Bercahaya” (Matius 5:16). Tema ini mengajak semua orang beriman untuk menjadi pewarta Sabda Tuhan dan memberikan kesaksian itu dalam kehidupan kita. Satu di antaranya adalah melalui tindakan cinta kasih kepada keluarga, sesama dan gereja agar mampu memahami ajaran Gereja katolik.

Keberadaan Bulan Kitab Suci ini mempunyai makna yang penting sebagai upaya untuk menyadarkan umat akan pentingnya mencintai Kitab Suci. Untuk mengisi  Bulan Kitab Suci Nasional di setiap keuskupan dilakukan berbagai kegiatan mulai dari lingkungan, wilayah, paroki, maupun di sekolah- sekolah.  Di SMP Bruder Singkawang khususnya dalam merayakan bulan Kitab Suci diawali dengan perarakan  khusus Kitab Suci dan mendengarkan bacaan Kitab Suci,  serta renungan singkat setiap pagi  sebelum pembelajaran selama bulan September. Selain itu, SMP Bruder Singkawang  juga mengadakan berbagai lomba. Adapun yang dilombakan adalah : Lektor, Mazmur,  Pantomin  Kitab Suci, LCT, Kriya, dan Vokal Grup. Kegiatan lomba diadakan 2 hari di minggu ketiga bulan September. 

Dalam berbagai lomba peserta didik dapat berbaur dengan teman-teman tanpa membedakan agama. Mereka begitu kompak dan saling bekerjasama untuk memenangkan lomba. Masing-masing kelas mempersiapkan diri untuk menampilkan yang terbaik. Kegembiraan terpancar di wajah mereka, meskipun tidak begitu meriah tetapi menimbulkan kesan yang sangat mendalam bagi peserta didik. 

Tujuan diadakannya kegiatan tersebut adalah untuk mengenal menumbuhkan cinta terhadap Kitab Suci serta sebagai wahana  bersaksi dan mewartakan Sabda Allah di tengah keluarga, masyarakat dan gereja. Dengan demikian, melalui Bulan Kitab Suci peserta didik menjadi semakin rajin membaca dan merenungkan Sabda Allah, peserta didik semakin dapat menghayati dan mengamalkan Sabda Allah dalam kehidupan sehari-hari, serta selalu didasarkan pada Sabda Allah dan senantiasa selaras dengan kehendak Allah.

Semoga usaha sekolah dan peserta didik seluruhnya diberkati Tuhan dan iman peserta didik semakin dewasa dengan sering membaca kitab Suci.(Dian Lestari, S.Pd)


26 Nov 2016

Semangat OMK Keuskupan Agung Pontianak dalam INDONESIAN YOUTH DAY II MANADO 2016: Indonesian Youth Day 2016....Go IYD..Go IYD..Go IYD..

Semangat OMK Keuskupan Agung Pontianak
dalam INDONESIAN YOUTH DAY II MANADO 2016:   
Indonesian Youth Day 2016....Go IYD..Go IYD..Go IYD..

IYD atau Indonesian Youth Day adalah Hari Orang Muda Se-Indonesia yang merupakan perjumpaan OMK Se-Indonesia. Acara ini digagas oleh Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia dan disetujui oleh para Uskup. IYD pertama kali diselenggarakan pada tahun 2012 di Sanggau. Melihat semangat dari kaum muda pada IYD yang pertama, maka disepakati bersama untuk melaksanakan kegiatan akbar ini setiap lima tahun sekali. Kegiatan Indonesian Youth Day II pun disepakati untuk dilaksanakan di Keuskupan Manado pada tahun 2016 dengan tema “Orang Muda Katolik: Sukacita Injil di Tengah Masyarakat Indonesia yang Majemuk”. 

Tahun ini Keuskupan Agung Pontianak mengutus 76 orang peserta dari berbagai paroki yang berada dalam lingkup Keuskupan Agung Pontianak. Sebelum berangkat ke Manado sebagian besar peserta mengikuti PRA IYD I di Wisma Immacullata pada 22 - 24 Juli 2016 dan PRA IYD II di Rumah Retret Tirta Ria pada 28-29 September 2016. Kedua kegiatan tersebut dilaksanakan di Pontianak dengan maksud menyatukan dan mengakrabkan seluruh peserta dalam memahami tema serta maksud dan tujuan diselenggarakannya IYD II  tersebut.

Tanggal 30 September 2016 seluruh peserta IYD Keuskupan Agung Pontianak berangkat dalam 2 kelompok terbang menuju Manado dari Bandara Internasional Supadio.  Kloter kedua tiba di Bandara Sam Ratulangi Manado tepatnya pukul 20:00 WITA, para peserta IYD KAP disambut dengan musik kolintang dan bersama kloter pertama yang sudah tiba lebih dahulu kami langsung dibawa Panitia lokal menuju Paroki Maria Ratu Damai, Uluindano, Tomohon sebagai tempat Live In peserta IYD KAP. Selama dalam perjalanan menuju Tomohon, kami merasakan sejuknya udara malam dan memperoleh banyak informasi tentang semua tempat yang dilalui. Akhirnya, peserta IYD KAP tiba di depan Gedung Kristianitas, di sana sudah ada begitu banyak umat paroki Maria Ratu Damai yang menunggu kedatangan peserta IYD KAP. Selanjutnya, kami disambut dengan Tari Kabasaran; tari penyambutan tamu khas Minahasa, yang membawa kami masuk gedung pertemuan paroki tersebut. Sambil bergerak masuk setiap peserta IYD KAP mendapatkan setangkai bunga segar dari umat paroki untuk merepresentasikan kota Tomohon sebagai kota bunga. Setelah itu acara dilanjutkan perkenalan dan makan malam bersama kemudian acara ramah tamah di mana kami dipertemukan dengan keluarga angkat yang dibagi panitia secara acak. Keseluruhan pelaksanaan IYD II di Keuskupan Manado berlangsung selama 6 hari. Dimulai dari hari Sabtu tanggal 1 Oktober 2016 sampai Kamis 6 Oktober 2016.

Peserta IYD KAP menghabiskan tiga hari pertama bersama keluarga angkat dan mengikuti berbagai macam kegiatan sehari-hari mereka. Banyak sekali kegiatan menyenangkan yang diikuti. Ada yang membantu orang tua angkatnya berjualan ikan, sayur, bertani, buka bengkel hingga menjadi tukang bangunan. Semua itu dilakukan dengan maksud agar para peserta mendapatkan pengalaman iman melalui interaksi lansung dengan keluarga angkat maupun masyarakat setempat dalam suasana persaudaraan penuh keakraban. Selain itu ada banyak sekali kegiatan rohani yang diikuti seperti bible sharing, misa dan doa rosario. Pada hari keempat peserta IYD KAP dan 0MK paroki Maria Ratu Damai Tomohon saling bertukar menu makanan. Dalam acara ini suasana kekeluargaan sungguh terasa erat sekali.

Setelah selesai bertukar makanan dan santap bersama, kami berangkat menuju garis start Defile IYD 2016 di Stadion Koni di Kota Manado. Defile atau pawai tersebut diikuti oleh seluruh kontingen IYD 2016 dari 37 keuskupan seluruh Indonesia ditambah dari keuskupan Kinabalu, Sabah, Malaysia. Defile dimulai pada pukul 15:00 WITA dan berakhir pada pukul 17:30 WITA di Stadion Klabat. Acara kemudian dilanjutkan dengan misa konselebrasi pembukaan IYD II Manado 2016 pada pukul 18:00 WITA, dipimpin oleh Uskup Manado, Yang Mulia Mgr.Yosef Suwatan, MSC bersama uskup lainnya, termasuk Uskup Agung Pontianak, Yang Mulia Mgr.Agustinus Agus. Selesai misa acara dilanjutkan dengan makan malam dan penampilan pentas seni oleh tuan rumah. Selesai acara di stadion Klabat ini, seluruh peserta diarahkan untuk menuju tempat puncak acara di Amphitheater Emmanuel Youth Center, di  Lotta, Pineleng. Peserta IYD Keuskupan Agung Pontianak mendapatkan tempat tinggal pada keluarga-keluarga di sekitar area komplek Amphitheater ini. 

Hari kelima tepatnya hari Rabu tanggal 5 Oktober 2016 dimulainya kegiatan inti dari seluruh rangkaian IYD II Manado 2016 yang dihadiri seluruh peserta. Kegiatan diawali dengan misa pagi dan dilanjutkan dengan NGOPI atau Ngobrol Pintar. NGOPI merupakan kegiatan sharing yang berisikan diskusi kelompok dan pembahasan materi yang dirancang menjadi 15 kelas terpisah dengan tema yang berbeda-beda dari berbagai narasumber : uskup, pejabat katolik, tokoh politik / masyarakat, maupun figur-figur orang muda katolik dalam bidang masing-masing. Beberapa tema yang menarik adalah: “OMK Mewartakan Evangeli Gaudeum (Sukacita Injil)”, “Aku Bangga Menjadi Katolik”, “OMK Berdialog Agama atau Kepercayaan Lain”, “OMK dan Budaya dalam Era Globalisasi atau MEA”, dan OMK Mendengar Panggilan Hidup Selibat atau Berkeluarga.” Tema-tema tersebut merupakan hal-hal yang harus dihadapi para Orang Muda Katolik dalam kehidupannya sehari-hari. Setelah mengikuti kegiatan sharing tersebut, diharapkan para peserta dapat membagi ilmu dan materi yang  didapatkannya kepada sesama. Setelah itu acara dilanjutkan dengan kegiatan jalan salib, makan malam, doa taize, pengakuan dosa dan berdialog dengan sosok orang tua.

Hari kamis tanggal 6 Oktober 2016 diawali dengan materi yang dibawakan antara lain oleh public figure seperti Daniel Mananta dan Wregas Bhanuteja. Setelah itu acara dilanjutkan dengan makan siang, menjelang misa penutup panitia IYD II Manado menghadirkan MENPORA Bp. Imam Nahrawi. Beliau memberikan motivasi dan semangat bagi Orang Muda Katolik agar semakin berkembang dan menjaga kesatuan NKRI dalam keberagaman. Setelah itu acara dilanjutkan dengan misa konselebrasi penutupan IYD II Manado 2016 dipimpin oleh Ketua Komisi Kepemudaan KWI, Mgr. Pius Riana Prapdi. Setelah misa berakhir acara diteruskan dengan makan malam bersama dan penampilan pentas seni dari setiap regio keuskupan. Peserta dari KAP menampilkan sendratari tentang kehidupan orang muda katolik dengan judul “Tanah Borneo”. Setelah semua rangkaian acara berakhir IYD II Manado 2016 resmi ditutup oleh Uskup Manado Mgr. Josef Swatan, MSC.

Hari Jumat tanggal 7 Oktober 2016 pagi kami dijemput oleh teman-teman OMK Paroki Maria Ratu Damai Tomohon dan rombongan untuk mengikuti city tour di sekitar kota Tomohon. Kami berjalan-jalan ke bukit doa, seminari, Danau Linau dan kembali ke rumah orang tua angkat masing-masing untuk persiapan menuju tempat acara perpisahan bersama umat Paroki Tomohon sekaligus menghadiri ulang tahun Pastor Paroki Maria Ratu Damai. Pada saat acara OMK Paroki Maria Ratu damai dan umat menampilkan berbagai macam penampilan dan dilanjutkan dengan pemberian souvenir kepada orang tua angkat masing-masing peserta IYD KAP. Sovenir-sovenir tersebut sebelumnya memang sudah dipersiapkan terlebih dahulu sebelum keberangkatan. Acara dilanjutkan dengan malam keakraban hingga pukul 02:00 WITA.


Akhirnya, Sabtu 8 Oktober 2016 dini hari kami melakukan persiapan menuju bandara untuk pulang. Pesawat kami berangkat pukul 06:15 pagi dan siang harinya kami tiba dengan selamat di Pontianak. Senang sekali bisa menghadiri IYD II di Manado karena kami bisa menyaksikan dan merasakan keramahtamahan umat di sana. Kami juga bisa merasakan bagaimana menyatu dalam kehidupan dengan budaya yang berbeda. Tema IYD II “OMK: Sukacita Injil di Tengah Masyarakat Indonesia yang Majemuk” pun sangat terasa sekali. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan juga sangat membantu kami dalam memaknai kehidupan sehari-hari agar menjadi lebih baik lagi di masa depan. Semoga dengan semangat IYD, Orang Muda Katolik bisa menghayati iman mereka di tengah masyarakat yang majemuk dengan mewartakan sukacita Injil. Go IYD! Go IYD! Go IYD!! Salam Sukacita Injil. (OMK-KAP)


16 Sep 2016

Kaum Berkerudung di Sekitar Altar Tuhan

Kaum Berkerudung di Sekitar Altar Tuhan

“Mari ber-mantilla bagi Tuhan!” Begitulah seruan kami anak-anak Misdinar St. Tarsisius Paroki Singkwang demi mengajak Anda terutama para wanita Katolik untuk berpakaian sopan dan sederhana serta memakai atau membangkitkan kembali ‘tradisi tua’ dalam Gereja Katolik ini. Usaha sosialisasi ini kami awali dengan menghadap Bapa Uskup untuk mendapatkan izin, lalu dilanjutkan dengan membuat foto dan video project yang kami unggah ke laman Instagram kami @ppasttarsisiusskw dan laman youtube kami, Misdinar St. Tarsisius Singkawang. Tentu ini mendapat respon yang menyenangkan, baik dari umat Paroki Singkawang maupun umat dari berbagai pulau seberang. Sering sekali kami melihat baik wanita maupun pria Katolik ketika menghadiri misa menggunakan pakaian yang tidak pantas. Hal ini sangat perlu untuk diperhatikan karena secara khusus apa yang kita kenakan ketika menghadap Allah, tidak lagi memberikan kesan bahwa Allah hadir di tengah-tengah kita. Namun, ada juga umat yang pergi misa walaupun memakai pakaian yang pantas, tetapi hati dan pikirannya melayang jauh dari misa kudus. Misa akhirnya tampak tidak lagi berbeda seperti acara-acara sosial lainnya. Akibatnya, perayaan Ekaristi menjadi kehilangan maknanya sebagai misteri yang kudus dan agung.

Mungkin kebanyakan orang tidak mengetahui apa itu mantilla atau mungkin ada tanggapan dari orang “Ngapain sih ikut-ikutan agama sebelah pakai kerudung segala?” Ups, jangan berpikiran sempit! Mantilla adalah kerudung atau tudung kepala yang dipakai oleh wanita Katolik saat akan menghadiri perayaan Ekaristi kudus yang terbuat dari bahan brokat yang ringan. Tradisi ini sudah cukup lama ada dalam gereja kita dan mempunyai julukan “Kerudung mempelai Kristus” dimana kita memakainya hanya saat Misa. Jadi, kerudung tidak hanya milik saudara-saudara kita umat Muslim, tetapi di dalam gereja kita cukup mengenal dekat dengan tudung kepala yang satu ini. Kerudung Misa merupakan salah satu bahkan mungkin satu-satunya devosi yang sangat spesifik untuk perempuan. Berkerudung Misa adalah sebuah kehormatan bagi para perempuan dan ini memampukan mereka untuk  memuliakan Allah dengan seluruh keperempuanan mereka serta dengan cara-cara yang khas dan feminin. Kerudung Misa adalah tradisi tua, tradisi kuno yang indah, dan ia menunjukkan nilai dan pentingnya wanita. Itu bukan alat untuk merendahkan wanita atau mengecilkan mereka; itu adalah sebuah kehormatan.

Pemakaian mantilla sendiri pernah diwajibkan oleh Gereja Katolik dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK tahun 1262).Namun setelah direvisi dalam Konsili Vatikan ke II, mantilla pun akhirnya tidak diwajibkan pemakaiannya namun tidak melarang bagi umat yang hendak memakainya (dianjurkan). Sehingga masih ada umat di beberapa belahan dunia  yang masih memegang dan mempertahankan tradisi ini. Kerudung Misa adalah alat devosi pribadi yang dapat membantu kita lebih dekat dengan Yesus dan sebagai tanda ketaatan dan tanda memuliakan TUHAN.Wanita yang memakai kerudung Misa, mengingatkan kita semua bahwa Ekaristi bukanlah pertemuan sosial biasa, bukan acara untuk ramah tamah terhadap sesama kenalan kita. Mantilla tidak hanya dipakai oleh Putri Altar saat bertugas, tetapi juga bisa dipakai oleh wanita Katolik lainnya.
 
Penggunaan mantilla terus berkembang seiring masuknya perayaan Misa Formaekstraordinaria (Misa Latin) di tanah air. Dalam misa tersebut, para wanita diharuskan memakai mantilla, sedangkan dalam misa yang sering kita rayakan ini, tidak ada kewajiban penggunaannya namun sangat dianjurkan bagi kaum hawa. Karena tradisi ini dipandang sangat baik dan tidak bertentangan dengan nilai iman sejati, maka tradisi ini pun mulai dibangkitkan kembali kepada umat Katolik di Indonesia. Namun Yesus adalah Yesus yang sama, maka mantilla bisa dipakai dalam misa apapun, tidak terbatas dalam misa latin saja melainkan bisa juga di dalam misa biasa yang sering kita rayakan di gereja. Wanita yang menudungi kepalanya, secara simbolis menyampaikan pesan berharga kepada para lelaki: ‘tubuhku adalah bait Allah yang kudus, karenanya perlakukanlah tubuhku dengan rasa hormat yang besar. Tubuh dan kecantikanku bukanlah objek yang bertujuan memuaskan hasrat yang tidak teratur yang ada pada dirimu. Aku adalah citra Allah, oleh karena itu hormatilah dan hargailah aku.’ Kerudung Misa mengingatkan pria akan perannya sebagai penjaga kesucian, seperti St Yosef yang selalu melindungi dan menjaga Bunda kita, Perawan Maria. Dengan demikian, Allah dapat kita muliakan dengan cara menghormati dan melindungi keindahan dan keagungan martabat wanita. 

Menggunakan kerudung juga merupakan suatu cara untuk meneladani Maria, dialah yang menjadi role model (panutan) bagi seluruh wanita. Bunda Maria, Sang Bejana Kehidupan, yang menyetujui untuk membawa kehidupan Kristus ke dunia, selalu digambarkan dengan sebuah kerudung di kepalanya. Seperti Bunda Maria, wanita telah diberikan keistimewaan yang kudus dengan menjadi bejana kehidupan bagi kehidupan-kehidupan baru di dunia. Oleh karena itu, wanita mengerudungi dirinya sendiri dalam Misa, sebagai cara untuk menunjukkan kehormatan mereka karena keistimewaan mereka yang kudus dan unik tersebut.

Pemakaian mantilla memiliki dasar bibliah yaitu terdapat di dalam 1 Korintus 11:3-16;“Pertimbangkanlah sendiri: patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung?” “Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya” “Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat.”Ayat inilah yang menjadi salah satu dasar sosialisasi penggunaan kembali mantilla juga alasan dari umat yang mempertahankan tradisi ini. Paulus dalam suratnya tersebut sebenarnya ingin menegur cara berpakaian Jemaat di Korintus mengenai pakaian saat di gereja dan budaya yang sedang berkembang di sana pada saat itu, dimana wanita yang tidak menudungi kepalanya akan dicap sebagai ‘wanita nakal’ dan ‘orang-orang yang tidak ber-Tuhan.’ Namun, tidak ada salahnya bukan jika tradisi kuno yang indah ini kita gunakan kembali dalam Perayaan Ekaristi?

Seorang wanita yang berkerudung Misa pada dasarnya sedang menunjukan eksistensi Allah. Sebuah tanda kerendahan hati seorang wanita, yang ingin menudungi mahkotanya (rambut) di hadapan Allah. Karena ia tidak berkerudung di tempat lain, ia hanya berkerudung di hadirat Sakramen Maha Kudus. Seperti halnya Tabernakel (Kemah Roti/lemari yang berisi Hosti Kudus) yang menjadi pusat di dalam gereja kita. Jika di dalam Tabernakel tersebut berisi Hosti yang sudah dikonsekrasi, tentu akan diselubungi dengan kain. Selain itu, jika Sibori yang di dalamnya terdapat hosti kudus, akan selalu diselubungi dengan kain yang menandakan bahwa ada Tubuh Tuhan di dalamnya. Piala yang berisi Darah Kristus, akan ditudungi dengan kain. Meja Altar ditutupi kain (kecuali saat perayaan Jumat Agung, dimana Hosti Kudus tidak ditempatkan dalam Tabernakel di gereja). Begitu juga bagi perempuan yang menudungi dirinya dengan tudung kepala saat Misa. Ia menunjukan hadirat Tuhan yang Maha Kuasa, yang hadir dalam Perayaan Ekaristi. Jadi kerudung Misa adalah tanda yang paling jelas bahwa ada sesuatu yang spesial, indah, dan kudus yang sedang terjadi di tempat itu, yaitu tanda bahwa Allah sungguh-sungguh hadir!



Sebenarnya, menudungi hati dan kepala dengan mantilla tidaklah menyembunyikan kecantikan seorang perempuan, melainkan memancarkannya dengan cara yang istimewa dan penuh kerendahan hati, seperti halnya dengan para ciptaan kudus lainnya dari Allah yang menudungi kepala mereka (St Perawan Maria, St Bernadete, St Theresia dari Lisieux, Bunda Theresa, biarawati yang menjadi Santa, dll). Tetapi, bermantilla merupakan ekspresi iman bukan sekedar fashion kekinian.

Banyak wanita yang benar-benar telah menudungi hati, pikiran dan kepala mereka saat misa, merasakan damai, beban duniawi terasa pergi menjauh, ketenangan dan cinta yang lebih besar dan lebih mendalam kepada Tuhan. Mereka merasakan suatu kebebasan dimana mereka bisa menghayati dan lebih fokus pada Perayaan Ekaristi. Memang terkadang pikiran kita saat misa suka melenceng kemana-mana: apakah saya harus pergi ke supermarket, jemuran sudah kering atau belum, menu apa yang ingin saya masak saat makan siang? Tetapi, ketika Anda masuk ke gereja dengan berkerudung, itu bagaikan suatu petunjuk untuk berhenti. Semua pikiran itu harus disingkirkan dan Anda harus memberikan seluruh perhatian Anda kepada Tuhan. Ada sebuah keheningan dalam jiwa saat kita mengenakan kerudung Misa. Kerudung itu menarik kita kepada Yesus. Kerudung menarik kita ke dalam suasana doa. Ia membuat kita ingin menjadi kudus. Ia menarik kita kepada apa yang berada jauh di dalam diri kita, sebuah inti feminim yang dimiliki oleh para wanita.

Jika seandainya Anda adalah seorang wanita yang memakai mantillamu saat misa, dan Anda menjadi takut dan malu karena dilihat, dicibir bahkan ditegur oleh orang banyak di dalam gereja karena dianggap ikut-ikutan agama lain, INGATLAH! Bahwa apa yang mereka katakan bukanlah tujuanmu sama sekali. Kamu harus tahu, siapa yang ingin kamu lihat di gereja. Kamu datang bukan untuk melihat orang-orang itu. Tetapi kamu datang untuk melihat Tuhan! Anda tidak perlu peduli dengan apa yang orang pikirkan, tetapi Anda harus peduli pada apa yang Tuhan pikirkan tentang dirimu. Tetaplah fokus pada cinta dan keimananmu kepada Tuhan. Ini bukan tentang, “Hei, lihat saya! Saya lebih suci daripada kamu!” Tidak!. Ini adalah tentang saya menunjukkan penghormatan, ketundukan, dan cinta kepada Yesus. Itulah tujuannya!

Memang benar, memakai mantilla saat Misa memerlukan pertimbangan dan  kesiapan batin yang begitu mendalam. Tetapi, hal itu merupakan langkah awal yang bagus dengan memaknai maksud dan arti dari mantilla itu sendiri. Kami Misdinar St Tarsisius mendoakan Anda semua semoga suatu saat dapat menemukan keberanian untuk memakainya dan menikmati kasih Tuhan lebih mendalam lagi. Dan terus ikuti perkembangan sosialisasi ini dengan mem-follow laman instagram kami di @ppasttarsisiusskw. Ayo bermantilla bagi Tuhan! (Nicolas Gratia Gagasi)
 

16 Mei 2016

Ziarah Iman Bersama Acies Legio Maria

Ziarah Iman

Bersama Acies Legio Maria

 


Singkawang, 6 Maret 2016 epatnya pukul 10.00 Wib, sejumlah  100 peziarah utusan dari komisium ‘Acies Legio Maria’ di Keuskupan Agung Pontianak (KAP), bersama-sama berziarah di Gereja St Fransiskus Assisi Singkawang. Pasukan devosional yang berasal dari pelbagai usia ini penuh khidmat dan hening saat perarakan patung Bunda Maria dari Gua Maria menuju Altar sembari memegang bulir-bulir rosario yang indah dan menawan di jemari mereka.

Deny (39) dengan penuh semangat men-sharing-kan pengalaman imannya tentang sepak terjang dalam mengikuti kelompok doanya di Paroki St. Hieronimus Tanjung Hulu, Pontianak. Menurut wiraswasta muda ini kegiatan doa Legio Maria, menjadi salah satu style pribadi dalam menumbuhkan semangat hidup kerohaniannya. “Keunikan doa  ini tidak terlalu menonjol dalam publik gereja, karena kekhasannya terletak pada kegiatan devosional pada Bunda Maria dan diwujudnyatakan dalam kegiatan kerasulan atau pastoral awam yang praktis di Lingkungan Gereja,” papar Deny dengan nada  gembira.

Kelompok Legio Maria adalah kelompok kategorial yang di dalamnya umat Allah yang mau memperhatikan secara khusus berdevosi pada Bunda Maria. Legio Maria ini juga mempunyai kekhasan  yaitu perkumpulan orang Katolik yang dengan restu Gereja dan di bawah pimpinan kuat Bunda Maria yang dikandung tanpa noda dan pengantara segala rahmat, berkembang dengan pesat dari dari Gereja Katolik Roma sampai ke ujung dunia. 

Doa yang sudah hampir berusia satu abad lebih ini  mempunyai nilai-nilai yang pantas menjadi abdi Bunda Maria seperti sikap kesetiaan, pengorbanan, keberanian, pelayanan tulus, kerendahan hati dan ketabahan seperti yang dimiliki Bunda Maria yang sudah  menjadi ragi dan jiwa dalam diri pengikutnya. Perwujudannya melalui kunjungan kepada mereka yang sakit untuk didoakan baik yang terbaring di rumah sakit maupun di rumah pasien. Para Legioner (panggilan khusus bagi pribadi yang mengikuti Legio Maria)  ini sudah berkembang dan meluas maka para anggota yang aktif di dalamnya harus mengikuti peraturan dalam kegiatan doanya.

Robertus Setiapdry (16) yang juga merupakan ketua komisium Legioner dari Seminari Menengah St Paulus Nyarumkop, Kalbar, men-sharing-kan pengalaman doa dalam kelompoknya. “Kami setiap kamis malam  melakukan doa “Catena. Pada saat itu  kami bersama berbagi kisah pengalaman kerasulan yang nyata selama sepekan. Selain itu banyak hal yang saya timba dari doa ini selain menguatkan kami dalam mengikuti Yesus, yang menjadi fokus adalah bagaimana kami bersama Bunda Maria menyerahkan panggilan hidup kami agar terjawab apa yang menjadi cita-cita dan harapan kami sebagai inti sari dari perkumpulan doa ini,” papar seminaris  dari calon imam kongregasi Pasionis ini dengan mantap.

Dalam doa ini setiap anggota harus punya soul dan passion dalam dirinya. Spiritualitas hidupnya tercermin dalam doa-doanya. Jiwanya selalu terarah pada Yesus dengan meniru teladan Bunda Maria  menjadi persembahan hidup, yang kudus yang berkenan kepada Allah, dan tidak serupa dengan dunia ini (bdk. Rom 12:1-2),  sebagai salah satu  bagian cara menghayati dan menghidupi dalam kelompok doanya.

Pastor Aji dan Felix, OFMCap, turut hadir dalam kegiatan ini, sebagai imam yang mendampingi jiwa Legioner saat itu. Imam yang ramah ini memberi tanggapan yang positif dari semangat umat dalam menghayati hidup rohani secara khusus persembahan kepada Bunda Maria. “Setiap tahun Para Legioner Acies berkumpul dan kali ini kami memilih Gereja St Fransiskus Assisi karena tempat ini sebagai gereja kedua setelah Katedral untuk para Ziarah yang mencari ketenangan bathin di tahun  kerahiman ini,” ungkap mantan Magister Postulan ini yang sekaligus sebagai imam selebran utama Mmisa Kudus dalam kegiatan Acies Legio Maria saat itu.

Tampak juga saat itu kaum berjubah para Suster Slot, SFIC, Frater Henry dan Ferdi, OFMCap, ikut  berbaur dengan Komisium Legioner KAP sebagai bentuk dukungan dalam menguatkan ziarah batin bersama pasukan Maria ini agar tetap bertahan dan setia untuk selamanya di dalam kelompok doanya tiap hari. 

Ibu Bibiana, ketua kegiatan Acies Legio Maria Singkawang, mengungkapkan pengalamannya bahwa sangat senang dalam kegiatan Legio ini. “Saya sebagai ketua dengan gembira melayani kegiatan ini, karena ini juga perwujudan nyata dari nilai visi-misi para legioner. Selain itu gereja kita semakin banyak dikunjungi oleh para ziarah, itu tanda bahwa rahmat Tuhan tak pernah berhenti kepada kita untuk melayani mereka yang mau berkunjung ke gereja ini lebih-lebih para Legioner dari pelbagai komisium yang ada di Gereja Katolik Indonesia dan juga dari Sabah, Serawak,” ungkap ibu yang penuh senyum merekah ini ketika melayani tamu  di depan pintu gerbang gereja saat itu.

Selain misa kudus menjadi puncak dalam kegiatan Acies Legio Maria, acara yang tidak kalah penting adalah acara ramah tamah sebagai perwujudan nyata dalam bentuk persaudaraan Legio Maria dan juga kesempatan untuk sharing iman bersama. 

Semoga Legio Maria menjadi penyemangat bagi kelompok kategorial lain di Paroki St Fransiskus Asissi Singkawang. *** Bruf