Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri nama katolik. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri nama katolik. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan

30 Nov 2016

Tambahkanlah Iman Kami

Tambahkanlah Iman Kami


Cuaca sore nan panas memaksa saya untuk segera keluar dari “sarang” dan pandangan mata saya tertuju pada  pohon rindang nan hijau di halaman gereja. Ke tempat itulah akhirnya saya berlabuh untuk duduk dan melepaskan diri dari rasa panas. Sambil menikmati semilirnya angin, saya biarkan pikiran saya ngelantur kemana dia mau.  Tiba-tiba saja tanpa saya sadari di samping saya sudah berdiri tiga gadis cilik masih lengkap dengan seragam sekolah dasarnya. Secara serentak mereka mengulurkan tangan mau menyalami saya.  Dua gadis itu saya kenali wajahnya, meski tidak tahu siapa nama mereka. Sedangkan yang satunya sangat asing untuk mata saya. Mungkin baru kali ini saya bertemu dengannya.

“Kalian dari mana?” tanya saya kepada mereka begitu mereka selesai menyalami tangan saya.

“Kami dari gua Maria,” jawab seorang yang saya kenali wajahya.

“Pastor, boleh nanya gak?” tanyanya lagi.

“Oh boleh-boleh. Sini mau tanya apa?” jawab saya sambil menawarkan mereka duduk.

“Ini temanku, agamanya Budha. Dia minta kami antarkan untuk sembahyang bersama di Gua Maria.  Boleh kan ya, Pastor?” tersirat rasa takut di balik pertanyaannya.

“Oh gak papa. Berdoa itu kan baik. Jadi gak masalah. Boleh.  Tapi ngomong-omong, gimana kalian berdoanya?” tanya saya dipenuhi rasa penasaran.

“Tadi, aku ambil kertas, Pastor. Lalu aku tulis doa Salam Maria dan kami baca bersama-sama,”  jawab anak yang lain penuh percaya diri.

Sambil tersenyum saya menganggukkan kepala tanda setuju. Anak yang sungguh pintar dan kreatif. 

Betapa bahagia orangtua yang mempunyai anak-anak seperti mereka. Kata saya dalam hati.

“Satu lagi, Pastor mau tanya ya. Emang kalian berdoa apa kepada Tuhan lewat Bunda Maria?”

Kali ini gadis cilik yang asing bagiku, mulai angkat bicara. 

“Kami berdoa untuk adikku yang lagi sakit kanker. Sekarang dia lagi opname di Rumah Sakit Serukam,” jawabnya terbata-bata. 

Mendengar kata kanker spontan saya terkejut. Saya lihat anak itu pun segera menundukkan kepala seolah mau menyembunyikan wajahnya. Dia tidak mau memperlihatkan kesedihannya di hadapan saya.  Tetapi saya bisa melihat butiran bening tiba-tiba menetes dari matanya. Secara refleks saya pegang pundaknya. Sebisa mungkin memberikan penghiburan kepadanya.

“Boleh pastor juga berdoa untuk adikmu?” tanya saya mencoba memecah keheningan.

Setelah mengusap air matanya, anak itu menatap saya dan menganggukkan kepala. Tetapi segera dia menundukkan kepalanya lagi. Tak kuasa dia membendung air matanya.

“Boleh pastor juga tahu siapa nama adikmu? Biar nanti pastor bisa sebutkan namanya dalam doa,” tanya saya sekali lagi setengah berbisik ke telinganya.

“Namanya Leo, Pastor”, kata teman yang duduk di sampingnya. Sepertinya dia pun memahami kesedihan temannya.

“Baik. Pastor berjanji akan selalu mendoakan Leo. Semoga Tuhan memberkati Leo ya. Kita berdoa bersama demi kesembuhan Leo.”

Tiba-tiba hati saya pun ikut hanyut dalam suasana haru dan sedih. Kerongkongan saya serasa tersumbat. Mata saya pun mulai mengembang dan terasa hangat. Tetapi dengan sekuat tenaga saya mencoba menahan jangan sampai air mata saya menetes keluar. Saya tidak ingin menambah kesedihan gadis cilik yang duduk di samping saya.

“Pastor kami pulang sekarang ya!” kata anak yang dari tadi hanya lebih banyak diam. Mendengar ajakan pulang, tiga anak itu serentak berdiri. Kembali lagi mereka mengulurkan tangan kepada saya.

“Baik. Hati-hati di jalan ya. Dan jangan lupa. Kita semua berdoa untuk Leo,” jawab saya sambil menerima uluran tangan mereka.

Bertiga mereka mohon pamit dan mulai meninggalkan saya yang hanya berdiri mematung. Nampak suatu pemandangan yang sangat indah dan mengaharukan.  Dua anak mencoba memapah kakak Leo dan mereka berjalan sambil berangkulan. Kebersamaan tiga bocah cilik ini mau memberikan pesan bahwa kesedihan dan penderitaan mau mereka tanggung bersama.

Meski hanya sekejap, tetapi peristiwa sore itu meninggalkan banyak pesan kepada saya. Pertama, seorang yang beragama Budha mempunyai iman penyerahan yang luar biasa. Entah apa latar belakangnya dia berdoa lewat Bunda Maria, tetapi saya merenungkannya sebagai satu bentuk penyerahan diri kepada Tuhan lewat Bunda-Nya. Di tengah kesedihannya, dia lari kepada Tuhan melalui Bunda Maria. Iman yang sedemikian ini belum tentu saya miliki meskipun saya seorang Katolik yang mempunyai devosi kepada Bunda Maria. Saya harus belajar banyak dari bocah cilik yang punya keyakinan lain dengan saya.

Kedua, ketiga bocah cilik itu memiliki kepedulian yang sangat istimewa terhadap Leo yang sedang mengalami sakit kanker. Kepedulian mereka sungguh menohok hati saya karena sebagai gadis-gadis cilik mereka tidak memiliki apa-apa. Di tengah keterbatasan mereka mempunyai hati untuk orang lain yang sedang menderita. Suatu persembahan nan indah bisa mereka berikan kepada Leo, yakni doa bersama.

Ketiga, ketiganya memiliki rasa kebersamaan. Mereka membongkar sekat-sekat perbedaan di antara mereka. Perbedaan agama tidak mereka persoalkan. Justru mereka bisa bersatu dan berdoa bersama. Benar apa yang sering dikatakan bahwa kebersamaan itu sangat indah. Kali ini justru kebersamaan itu diperlihatkan oleh ketiga gadis cilik.

Setelah mereka hilang dari pandangan saya, saya pun kembali masuk ke “sarang” saya. Terimakasih adik-adik atas iman kalian dan kebersamaan kalian yang sangat indah. Dalam hati saya pun memanjatkan doa yang pernah disampaikan oleh para murid Yesus ”Tuhan tambahkanlah iman kami.” (Stephanus).

16 Sep 2016

Kerudung Mantilla: Satu Dari Sejuta Tradisi Iman Katolik

Kerudung Mantilla: Satu Dari Sejuta Tradisi Iman Katolik


Kerudung adalah   kain yang berfungsi untuk menutupi kepala seorang perempuan. Pada gambar di atas, ada banyak kerudung yang dipakai oleh para wanita dengan tujuan dan maksud  yang mulia. Mantilla adalah kerudung yang dipakai oleh Wanita Katolik setiap akan menghadiri Adorasi maupun Misa Kudus. Pemakaian Mantilla pernah diwajibkan pada praKonsili Vatikan II kemudian direvisi dan diganti menjadi anjuran sehingga tidak ada salahnya jika ada umat yang memakainya di gereja saat misa atau pun melayani di altar. Dasar Kitab Suci mengenai penggunaan kerudung dalam liturgi terdapat dalam 1 Korintus 11:2-16 dimana dikatakan “Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat… Pertimbangkanlah sendiri: patutkah seorang perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung?” Walaupun dalam suratnya tersebut, St Paulus  ingin menegur jemaat di Korintus tapi tidak ada salahnya bukan jika tradisi ini dibangkitkan kembali.

Tak bisa dimungkiri bahwa tradisi pemakaian Mantilla pernah hidup dalam Gereja Katolik dan pernah menjadi kewajiban. Namun seiring perkembangan zaman, tradisi ini mulai terlupakan. Akhirnya kebanyakan mindset atau pola pikir seseorang beranggapan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan kerudung, pasti berkaitan dengan Wanita Muslim. Bahkan ada celotehan yang mengatakan Mantilla itu Jilbab dan mirip nenek-nenek. Padahal wanita-wanita Yahudi, wanita Katolik di Korea Selatan dan Amerika Latin, para biarawati, wanita Hindu-India dan dari banyak Negara juga memakai penudung kepala sehingga tidak ada istilah “ikut-ikutan” di antara semuanya ini. Bahkan, Bunda Maria sering digambarkan dengan memakai kerudung dan jika kita memperhatikan pada lukisan Dewi Kwan Im dalam agama Buddha Ia pun digambarkan mengenakan kerudung. Maka, sesungguhnya kerudung adalah hal yang lumrah yang sudah begitu lama dikenal di peradaban manusia.

Berdasarkan kegunaannya antara Mantilla dan  Jilbab memang sangat berbeda. Secara umum, jilbab dipakai dengan menutupi kepala, leher sampai dada dan penggunaannya untuk setiap hari. Sedangkan mantilla hanya dipakai untuk menutupi kepala seorang perempuan Katolik saat di hadapan Sakramen Maha kudus dimana ia (yang memakai Mantilla) menekankan feminimitas dan keindahan dirinya, namun ia secara bersamaan juga menunjukan dengan cara yang sedemikian rupa sehingga membangkitkan kesadaran bahwa Allah yang ada di atas Altar jauh lebih indah dari pada dirinya. Suatu sikap kerendahan hati yang ingin memperlihatkan Allah. Kerudung Misa menjadi sebuah tanda bagi orang lain, karena kerudung itu menyatakan bahwa ada sesuatu yang berbeda yaitu: bahwa Allah sungguh hadir di tengah kita. Dan apapun yang dapat kita lakukan untuk membantu memusatkan perhatian kepada-Nya, untuk menunjukkan bahwa Misa itu spesial, bahwa Misa itu khidmat, bahwa Misa itu sesuatu yang harus kita perlakukan dengan serius, dan bahwa kita perlu mempersiapkan seluruh diri kita untuk Misa Kudus. Kemudian  memakai kerudung misa dapat mengajak umat lainnya untuk berpakaian yang pantas saat akan pergi ke gereja. Selain itu, kerudung misa dapat membuat Anda untuk lebih focus dalam Perayaan Ekaristi dan membantu Anda untuk melepas sejenak beban duniawi untuk menikmati kasihTuhan dalam perayaan Ekaristi.

Mantilla menyerupai kerudung pengantin, karena yang memakainya adalah para mempelai Kristus yang sungguh merasakan kehadiran-Nya yang penuh mesra; dimana Ia menyerahkan Tubuh dan Darah-Nya bagi dunia. Ah, betapa beruntungnya para biarawati yang seumur hidup menggunakan gaun dan kerudung pengantin mereka.
 
Di paroki kita, selain Putri Altar pertama yang memakai Mantilla di Kalimantan, ternyata Tuhan juga telah mengetuk hati seorang wanita yang baru setahun menjadi Katolik; dimana Tuhan memanggilnya untuk lebih dekat, lebih mendalami kasihNya dan lebih militant dalam gereja-Nya. Dia akrab disapa dengan nama Maria Venny. Ia merasa terpanggil untuk memakai Mantilla setelah ia melihat postingan foto dimana dua orang idolanya memakai Mantilla untuk lebih menghormati Tuhan saat Misa dan panggilan tersebut semakin kuat saat ia melihat Putri Altar memakainya saat bertugas. Saat memakai Mantilla untuk pertama kalinya di MisaPertama, ia tidak merasa malu, karena ia sudah siap di dalam hatinya dan terbukti baginya bahwa Mantilla membantunya untuk lebih focus saat misa. Dan ini sudah menjadi minggu ke-lima ia bermantilla bagi Tuhan. Ia tidak peduli dengan keadaan orang sekitarnya, dimana mungkin banyak yang melihat atau mungkin mencibirnya karena memakai semacam ‘jilbab’ di kepalanya karena tujuan awalnya untuk datang ke gereja yaitu hanya untuk bertemu dan mendengarkan Tuhan; bukan untuk mendengarkan apa kata orang, sehingga dia enjoy saat memakainya.
 
Mantilla adalah simbol ketaatan, kemurnian dan kesederhanaan. Hal tersebut itu harus dimengerti dan dihayati, tidak sekadar dipakai. Selain itu juga harus tercermin dalam ucapan dan tindakan dalam membangun persaudaraan sejati dan perdamaian dengan sesama. Ketika simbol hanya menjadi simbol dan tidak berbicara dalam hidup, maka ia menjadi simbol yang mati. Bagi Anda yang sudah siap bermantilla, Anda bias mendapatkannya di Instagram @twideemantilla atau kunjungi website  twideemantilla.blogspot.co.id. Semoga dengan hadirnya kembali mantilla dalam p perayaan Ekaristi di paroki kita, makna Misa sebagai misteri yang kudus tetap terjaga. Tuhan menunggu mempelai-Nya dalam Misa Kudus. Ayo bermantilla bagi Tuhan!
(Putri Altar St Tarsisius Paroki Singkawang)

13 Sep 2016

Peresmian dan Pemberkatan `Santo Mikael` Pangmilang



Peresmian dan Pemberkatan `Santo Mikael` Pangmilang


Di ambang sore 18 Juni 2016, nun pada kilometer 12 kecamatan Singkawang Selatan dihelat gawe besar peresmian sekaligus pemberkatan Gereja Katolik Santo Mikael Pangmilang. Di tengah guyuran hujan yang tanpa ampun mendera sebagian besar wilayah Kota Singkawang ternyata tak menyurutkan iring-iringan kendaraan walikota, Drs. Awang Ishak, M.Si yang didaulat meresmikan gereja yang pengerjaannya memakan waktu menahun ini. Kala rombongan walikota hadir, Bapa Uskup Keuskupan Agung Pontianak, Mgr. Agustinus Agus yang telah tiba terlebih dahulu dengan sigap menyambut kehadiran orang nomor satu di kota Singkawang tersebut.

Berjarak beberapa meter dari gereja, rombongan walikota bersama uskup diarak dengan tarian penyambutan yang menampilkan kebolehan dan aksi bujang dan dara-dara Dayak dalam gemulai gerakannya. 

Prosesi awal walikota yang didampingi uskup didapuk menebas bambu penanda gereja yang dikunjungi oleh walikota terbuka bagi umat Katolik pada umumnya maupun warga yang berkepentingan. Tak berhenti sampai di situ, walikota dalam sambutannya juga menggarisbawahi mengenai dana bantuan sosial yang akan dialirkan kembali guna menyempurnakan Gereja Pangmilang. Sontak hal tersebut mendapat tepukan meriah dari hadirin. Usai menyampaikan sambutannya walikota yang masih didampingi Bapa Uskup Agustinus Agus meresmikan Gereja Santo Mikael. Peresmian ini ditandai dengan dibukanya tirai yang menutup nama gereja sekaligus penandatanganan prasasti. 

Usai peresmian yang dilakukan oleh pemerintah kota, prosesi selanjutnya diambil alih oleh Bapa Uskup. Pemberkatan gereja dimulai dengan pembukaan pintu gereja oleh tokoh setempat lantas seluruh bagian gereja didupai dan direciki air suci oleh Bapa Uskup. 

Ditemui di tempat yang sama, Angguang, S.H., selaku ketua panitia pembangunan Gereja Santo Mikael Pangmilang mengungkapkan harapan atas dibangunnya Gereja Santo Mikael ini, “Semoga dengan dibangunnya gereja ini umat Katolik di Pangmilang dapat lebih mudah dalam beribadah sekaligus lebih bersemangat dalam membangun iman Katolik. Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya juga kami haturkan kepada pemerintah kota Singkawang  dalam hal ini Bapak Walikota yang berkenan hadir meresmikan dan juga memberikan bantuan yang selama ini sudah kami terima dan kami manfaatan secara bertanggung jawab dalam pembangunan gereja ini, juga Bapa Uskup Keuskupan Agung Pontianak yang sudah menyiapkan waktu khusus untuk memberkati. Di samping itu terima kasih juga untuk seluruh umat dan donatur yang telah membantu secara moril maupun materil,” pungkasnya mengakhiri wawancara singkat. (7539)                

23 Mar 2016

JALAN SALIB PERHENTIAN 1-14

Memasuki masa Prapaska tiada salahnya kita hening dalam permenungan yang menjadikan kita setapak tak berjarak dengan-Nya dan Sang Putera yang atas darah-Nya janji keselamatan sungguh tidak terbantahkan.    

JALAN SALIB PERHENTIAN 1-14

Perhentian pertama: Yesus Dihukum Mati.



Maka berteriaklah mereka, “Enyahkan Dia! Enyahkan Dia! Salibkan Dia! 

Dia tidak melawan dengan kata maupun perbuatan atas segala sesah, maki dan fitnah, yang bagai berkekuatan ribuan godam dihantamkan pada dahi-Nya, pada wajah-Nya, pada tubuh-Nya. Dia diputus mati oleh pengadilan manusia-manusia pendosa,  Dia memilih bungkam untuk semua hal yang tak dilakukan namun ditimpakan atas raga-Nya yang berwujud manusia.  Ribuan bilur luka yang sengaja ditorehkan manusia pendosa pada tubuh-Nya, diterima-Nya dengan mata memincing menahan perih tanpa sedikitpun mengaduh walau dalam lirih. Air mata-Nya tak lagi bening, sudah berupa darah dan nanah mengalir menjadi anak-anak sungai keselamatan abadi  bagi umat yang dimaterai-Nya. 

Seringkali dalam hidup kita tak pernah bisa terima ketika mendapat sedikit saja perlakuan yang dirasa tidak adil bagi diri kita, keluarga kita atau sanak saudara kita. Kita lantas tak memilih bungkam atas perlakuan tak adil itu, kita berpikir, memutar otak bagaimana cara termangkus membalas perlakuan tak adil tersebut, minimal memprotes keras, tanpa berusaha introspeksi diri mengapa sampai kita menerima perlakuan tak adil. Ketika terjerembab dalam situasi itu, ingatlah bahwa dua ribu tahun yang lalu, Yesus telah mengajarkan kita untuk berusaha diam, menahan diri, dan melihat lebih jauh maksud dari penyelenggaraan Bapa. Dia yang kita sebut Anak Allah rela membiarkan tubuh-Nya tergantung di kayu Salib demi apa yang tak pernah diperbuat-Nya, layakkah kita yang hanya disesah sedikit saja permasalahan dari dunia manusia yang fana selalu mencari pembenaran diri?

Perhentian kedua: Yesus Memanggul Salib.


Sambil memikul salib-Nya Ia pergi keluar ke tempat yang bernama tempat Tengkorak, dalam bahasa Ibrani: Golgota.

Disesah, diludahi, dipukul, dihina untuk sesuatu yang sama sekali tak diperbuat-Nya. Dia diam, Dia tetap berjalan memanggul ratusan kilo kayu yang nanti menjadi singgasana terakhir-Nya dalam dunia fana, singgasana yang sebelum pengkultusan-Nya adalah simbol bagi yang paling hina, yang paling jahat, yang paling biadab. Dalam diam, tak hanya tubuh-Nya yang rusak oleh pembantaian, ada yang  lebih menyiksa dari itu, batin-Nya remuk redam. Umat yang dicintai-Nya, umat yang kepada mereka seringkali diberkahi-Nya dengan mujizat, umat yang seminggu sebelumnya mengelu-elukan nama-Nya dengan daun palma kini berbalik menghujat-Nya. Penderitaan macam apa yang lebih menyakitkan selain dikhianati? Selain tidak diakui, selain ditolak? Dia mengalami itu semua, Dia mengalaminya dalam satu kurun masa, namun Dia tetap membungkam mulut-Nya meneruskan perjalanan dengan beban salib pada pundak-Nya. 

Seringkali dalam kehidupan kita mengalami serupa yang dialami-Nya, merasa memanggul salib dalam kehidupan kita.  Salib yang membebani pundak kita tak dapat kita bandingkan dengan salib yang berada di pundak-Nya. Salib di pundak-Nya adalah salib dosa miliaran umat manusia, lebih berat, lebih kasar, lebih menyiksa. Salib yang kita panggul adalah salib pribadi kita sendiri. Namun meski ringan seringkali kita mengeluh, merasa menjadi manusia paling menderita di dunia, merasa paling mengalami nasib sial padahal jika sedikit saja kita mau membuka mata kita, kita akan melihat di sekitar kita ada salib lebih berat yang dipanggul sesama kita. Masih layakkah kita mengeluh?

Perhentian ketiga: Yesus Jatuh Pertama Kali




Begitu berat beban salib kasar yang dipanggul-Nya, dalam langkah tertatih, Ia terjerembab pertama kalinya.

Perlahan namun pasti Dia melangkah pada tanah kerontang, darah dari luka-Nya tak kunjung berhenti menetes. Ia dipukul, dicambuk, dipaksa kuat menanggung beban salib begitu berat. Sampai pada suatu tempat, langkah-Nya terhenti, kaki-Nya tak kuat menyangga tubuh perih penuh luka cambuk dari para algojo belum lagi sang beban yang semakin menapak seolah semakin berat. Saat itu, dalam kekuatan-Nya yang hanya berwujud manusia biasa, Ia roboh mencium tanah Bapa-Nya. 

Pertama dari ketiga kali, Ia yang saat itu hanya berkekuatan dan berwujud manusia biasa jatuh dalam perjalanan-Nya menuju bukit Golgota. Ia terjerembab di tanah kerontang, tanah para pendosa. Kejatuhan-Nya pertama kali seperti halnya ketika kita melalui fase dalam hidup. Ketika masih berwujud kanak-kanak, sering dalam perjalanan menuju kedewasaan kita mengalami kejatuhan. Saat itu segala asa seolah bertaruh dalam jiwa kanak-kanak kita. Ketika jatuh pertama kali dalam perjalanan menuju Golgota, tanpa berselang lama, Yesus kembali berdiri, Dia mengumpulkan segala kekuatan-Nya untuk meneruskan perjalanan-Nya, Dia kembali menapaki jalan luka-Nya. Dia memberikan suri teladan bagi kita, yang ketika kanak-kanak mungkin pernah mengalami keterpurukan, trauma dan kesakitan dalam khas dunia kanak-kanak.  Dia bangkit berdiri, lantas, apa alasan kita untuk tak mengikut  jejak-Nya? 

Perhentian keempat: Yesus Berjumpa dengan Ibu-Nya.



Tiada lagi semarak pada wajah-Nya, ketampanan-Nya sirna oleh darah yang mengucur dari dahi-Nya yang bermahkota semak duri tajam. Ia berhenti dalam perjalanan-Nya, dijumpai-Nya bunda-Nya dalam perjalanan luka-Nya.

Dalam perjalanan luka-Nya, tertegun ia menatap wajah ibu-Nya. Ibu yang mengandung-Nya dalam rahim yang suci, ibu yang mengusap peluh-Nya saat nyali-Nya tak sengaja runtuh, ibu yang selalu membasuh hati-Nya dengan pandangan penuh cinta. Mereka beradu pandang, namun keduanya diam, sama menangis, sama menyelami luka, sama menyelami derita. Dalam bungkam, dalam diam, jiwa-Nya saling berselam, batin-Nya saling mengobati. Tanpa harus diucapkan, ibu paling memahami arti air mata-Nya, ibu paling tersiksa melihat bilur-bilur luka sang belahan jiwa.  

Ibu, sosok wanita terhebat dalam setiap hidup manusia. Ibu yang lemah lembut, sabar sekaligus tegar menghadapi segala permasalahan dalam kerasnya percaturan hidup. Namun seringkali ketangguhan dan kasih sayang ibu tergeser ketika kita mulai mengenal lawan jenis yang mampu menggetarkan hati kita, menjadi pasangan kita. Ketika mengalami kesenangan, yang sering kali kita cari adalah pasangan,  ketika  mengalami kesedihan, kepada ibu kita selalu berkeluh kesah menceritakan , saat sukses kita ceritakan pada pasangan,  saat gagal, kita hanya bercerita pada ibu sebagai sandaran. Saat bahagia kita memeluk erat pasangan, saat sedih kita peluk erat ibu, kita selalu total saat mengingat pasangan, sementara, selalu hanya ibu yang mengingat semua hal tentang kita. Ibu selalu memberikan sepenuh hidupnya untuk anak-anaknya, namun berapa banyak yang sanggup mengelap muntahan ibunya? Berapa banyak yang sanggup mengganti lampin ibunya ketika ibu menjadi tua? Berapa banyak yang sanggup membersihkan kotoran ibunya? Berapa banyak yang  sanggup membuang ulat dan membersihkan luka kudis ibunya? Berapa banyak yang sanggup berhenti bekerja untuk  menjaga ibunya? Dan akhir sekali: Berapa banyak yang memanggul jenazah ibunya? Kalau ibu sudah tiada, kita hanya sanggup berkata “Ibu, aku rindu, aku sangat rindu, aku ingin berada dalam peluk hangatmu!”

Tak perlu kita menggeliat, berjalan jauh mencari, memburu  cinta sejati, karena cinta sejati itu ada di dekatmu, cinta sejati itu, ibu!

Perhentian kelima: Yesus Ditolong Simon dari Kirene



Dalam perjalanan luka-Nya, Ia terhuyung memikul beban salib pada pundak-Nya. Hati-Nya cemas tak sanggup tuntas berjalan menuju bukit tengkorak. Dalam kecemasan-Nya, Bapa menggerakkan hati seorang dari antara manusia-manusia pendosa untuk membantu memanggul salib-Nya ke Golgota. 

Adalah Simon yang berasal dari Kirene mengikuti perjalanan Anak Manusia memanggul salib menuju Golgota. Perjalanan yang mungkin jika ditempuh dalam kondisi tubuh normal tak akan seberat ketika dijalani oleh tubuh dengan luka meluruh, dengan darah yang mengucur basah, dengan perih yang teramat pedih. Yesus yang sekujur tubuh-Nya telah dipenuhi luka sesah para algojo hampir roboh ketika itu. Bapa lantas menggerakkan hati  seorang dari antara mereka, nama Simon dari Kirene yang dipilih-Nya menjadi salah satu yang memenuhi kitab dalam kisah perjalanan sengsara.

Dalam hidup seringkali kita berkeluh kesah “Ya Tuhan, mengapa harus aku yang menjalani kisah ini, nasib ini, derita ini. Mengapa bukan orang lain saja yang Kaupilih untuk Kau coba?!” mungkin saja Simon dari Kirene yang juga adalah manusia biasa saat itu memiliki pemikiran serupa dengan kita saat dipilih Tuhan dalam menjalani pencobaan kehidupan, namun, yang terjadi ribuan tahun kemudian, nama Simon dari Kirene memenuhi kitab dalam perjanjian. Kita manusia biasa, hidup kita hanya mengenal untung dan malang, suka dan duka. Kita sering alpa pada maksud di balik segala apa yang mejadi penyelenggaraan-Nya. Dia memilih sekaligus memberikan masing-masing kisah dalam setiap hidup manusia bukan tanpa tujuan, pun dengan segala bumbu dan rahasia hidup yang jika saja kita menyadarinya akan berubah menjadi  jalan menuju bahagia.  Masih layakkah kita bertanya, Tuhan, mengapa harus aku yang menjadi pilihan-Mu?

Perhentian keenam: Wajah Yesus Diusap oleh Veronika



Mahkota duri yang dikenakan pada kepala-Nya membuat  wajah-Nya  bersimbah darah. Ia tak lagi tampan, semarak-Nya pun hilang. 

Dalam langkah gontai-Nya memanggul salib agung, di hadapan-Nya lantas bersujud seorang perempuan lembut penuh kasih, Veronika. Awalnya Veronika berniat memberikan air pelepas dahaga bagi Putra Bapa, namun para algojo menepis cawan yang digenggam Veronika, tinggallah kain berada di tangannya, dengan segala cinta dan sisa keberanian yang ada, Veronika mengusap wajah Yesus yang telah dipenuhi peluh  dan darah. Sebagai balasannya, Yesus meninggalkan lukisan wajah-Nya di kain yang dibawa oleh Veronika.

Pernahkah dalam hidup di zaman yang serba tega ini kita memiliki sejumput keberanian untuk membantu sesama seperti Veronika? Jika pun ada, pernahkah kita berpikir bahwa yang kita lakukan itu tanpa tendensi apa-apa? Kebanyakan dari kita memilih bersikap acuh terhadap apa yang dialami sesama, atau minimal memiliki tendensi pada setiap apa yang kita perbuat untuk sesama. Mungkin demi dikenal, mungkin demi mendapat balasan, mungkin kita berharap satu ketika kita pun akan diperlakukan serupa seperti orang yang telah menerima bantuan dari kita. Lupakah kita pada hukum cinta kasih yang diajarkan Bapa melalui Dia yang adalah jalan kebenaran dan hidup.  Ingatlah bahwa Dia pernah berpesan, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang hina ini, kamu telah melakukannya untuk-Ku.”  Maka dari itu perbuatlah segala kebaikan karna kau melihat rupa Allah dalam diri sesamamu.  

Perhentian ketujuh:  Yesus Jatuh Kedua Kali


Perjalanan semakin menapak, tubuhnya semakin layu. Dalam batas kekuatan-Nya sebagai manusia,Ia hampir tak berdaya.

Betapa berat salib kasar dan besar yang masih setia menjadi beban pundak-Nya. Tubuh-Nya semakin layu, ia dihinggapi keletihan dan kesakitan yang amat sangat. Ia kehilangan satu per satu suara-suara penyemangat. Ia sampai pada batas kekuatan-Nya, tubuh-Nya yang dipenuhi luka roboh untuk kedua kalinya. Ketika jatuh pun salib itu setia menindih-Nya. Tiada ada lagi manusia membantu mengangkat kayu salib agung dari atas tubuh-Nya. Disertai bakti-Nya pada Bapa, ia bangkit meneruskan perjalanan  sengsara-Nya.

Dalam metamorfosa hidup, fase kedua manusia setelah kanak-kanak adalah menjadi dewasa. Segala problematika hidup manusia seolah berkumpul padu pada masa itu. Banyak manusia gagal menjadi dewasa dalam hidupnya. Mengalami kajatuhan, keterpurukan, kekacauan, kehancuran. Betapa dalam kisah sengsara-Nya, Yesus yang telah remuk redam disesah luka menganga dan darah yang mengalir begitu rupa  masih berusaha bangkit untuk meneruskan perjalan-Nya memenuhi janji pada Bapa. Haruskah kita yang hanya manusia biasa dangan beban hidup yang juga tergolong biasa lantas menyerah begitu saja pada cobaan yang menghampiri kita? Dalam iman Katolik, kita pun ditempa dalam perjalanan sengsara dalam memenuhi janji kodrat kehidupan  kita pada Bapa.


Perhentian kedelapan: Yesus Menghibur Wanita-wanita yang Menangis



Ia berhenti di hadapan wanita-wanita yang meratapi kisah sengsara-Nya.

Ujung perjalanan belum tampak di hadapan. Ia masih setia memanggul salib kasar dan besar itu di pundak-Nya. Di tengah gontai langkah-Nya, ia menemukan sekumpulan wanita yang menangis meratapi perjalanan sengsara-Nya. Ia lantas berhenti  dan menatap wanita-wanita itu. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada pada tubuh-Nya, ia berupaya menenangkan wanita-wanita itu. Betapa agung jiwa-Nya. Di tengah penderitaan yang ditimpakan pada-Nya,  mental-Nya tak roboh total. 

Betapa Tuhan memberikan teladan bagi kita. Dalam segala derita yang dirasakan-Nya, Dia tak lantas egois, Dia tak lantas terpuruk, Dia malah menjadi sumber penghiburan bagi hati-hati yang tengah dilanda kerawanan. Ya Tuhan, betapa dalam kehidupan kami sehari-hari kami lebih sering menganggap bahwa dengan kondisi yang kesulitan kami hadapi, kami tak memiliki kesempatan dan kekuatan untuk menguatkan orang lain. Betapa egoisnya kami sebagai manusia-manusia pendosa. 
Permampukan kami, Tuhan untuk menjadi garam dan terang dunia, seturut teladan Tuhan kami Yesus Kristus.

Perhentian kesembilan: Yesus Jatuh Ketiga Kali




Golgota di depan mata, kekuatan hampir habis, kesanggupan berjalan semakin menipis. Anak Domba Allah, jatuh untuk ketiga kalinya.

Matahari semakin tinggi, sinarnya menyengat terik membakar peluh dari semangat yang semakin runtuh. Janji-Nya pada Bapa tak hendak dikhianati-Nya. Dengan tenaga yang tersisa, diseret-Nya langkah kaki-Nya. Namun beban terlampau berat, tubuh-Nya pun tak lagi sanggup menahan sakit dan penat. Ia roboh untuk ketiga kalinya.  

Fase hidup yang ketiga, menjadi tua dengan tubuh yang semakin renta. Ketika Yesus dalam perjalanan sengsara mengalami jatuh kali ke tiga, betapa dalam hal ini Bapa mengingatkan kita dalam tujuan hidup kita ke arah kekal, seringkali kita pun mengalami jatuh di masa tua. Bukanlah kegagalan di masa muda penyebabnya, namun sikap hidup kita yang acapkali merasa sudah renta, tak lagi berguna bagi sesama dan gereja, padahal  justru ketika usia kita semakin menapaki senja, kita semakin berpeluang besar berbuat banyak hal bagi sesama. Tubuh renta bukan alasan, usia senja tak menjadi sekat dalam pengasingan diri menebar kasih pada sesama.

    
Perhentian kesepuluh: Pakaian Yesus Ditanggalkan




Maka genaplah yang tertulis dalam kitab suci setelah pakaian-Nya ditanggalkan, “Mereka membagi-bagi pakaianKu di antara mereka dan mereka membuang undi atas jubah-Ku.”

Tiada lagi yang bersisa dari Anak Domba Allah, kekuatannya habis, kehormatan-Nya di hadapan manusia-manusia pendosa habis-habisan dikikis. Bahkan untuk pakaian penutup tubuh-Nya pun telah mereka rampas. “Mereka mengambil  pakaian-Nya lalu membaginya menjadi empat bagian untuk tiap-tiap prajurit satu bagian - dan jubah-Nya juga mereka ambil. Jubah itu tidak berjahit, dari atas ke bawah hanya satu tenunan saja. Karena itu mereka berkata seorang kepada yang lain: “Janganlah kita membaginya menjadi beberapa potong, tetapi baiklah kita membuang undi untuk menentukan siapa yang mendapatkannya.”

Sekali lagi Allah Bapa menegur kita melalui perantara putera-Nya dalam rentetan kejadian di kisah sengsara. Anak Domba bungkam meski pakaian-Nya ditanggalkan, pakaian penutup tubuh yang menjadi dasar kehormatan seorang manusia. Ia dihinakan di hadapan manusia-manusia pendosa meski Ia tiada bercacat, cela dan dosa. Seringkali dalam kehidupan kita pun mengalami hal serupa, ketika kita merasa kehormatan kita sebagai manusia diinjak-injak, kita dengan sekuat tenaga melawan, mencari keadilan atau  lebih dari itu, ketika kita berperan ibarat serdadu yang menanggalkan pakaian serta kehormatan sesama kita. Kita seringkali berlaku culas dan gembira atas kehinaan sesama kita. Di manakah hati nurani berada? Masih pantaskah kita bergembira di atas kehinaan sesama kita?  


Perhentian kesebelas: Yesus Disalibkan


Ia menuntaskan perjalanan-Nya memanggul salib menuju  Golgota. Salib kasar tanda dosa besar, Ia dibaringkan di situ, kemudian paku besar  ditumbukkan dengan martil tanpa ampun menembus telapak tangan dan kaki-Nya, darah mengucur deras, mengalir pada salib. Ia disalibkan di antara orang berdosa, dan pada salib-Nya tertulis: “ Yesus Orang Nazaret, Raja Orang Yahudi.”

Dalam diri-Nya yang berwujud  manusia biasa, penderitaan yang ditimpakan pada-Nya melebihi ambang batas kekuatan normal manusia. Ia diperlakukan dan dihukum seperti seorang penjahat tak terampuni namun segalanya tetap Ia jalani. Tubuh-Nya dipaksa mangangkat salib yang akhirnya digunakan untuk merenggut nyawa-Nya sendiri. Dalam kepasrahan yang luar biasa Dia memenuhi janji pada Bapa-Nya, Dia mengorbankan tubuh dan darah-Nya untuk menjadi  materai keselamatan umat manusia yang mengimani-Nya. 

Ia hidup sebagai manusia biasa, namun bedanya Ia tidak berdosa, tidak bercacat cela. Ia menerima perlakuan tak adil dari manusia-manusia pendosa, namun Ia bungkam. Ia membiarkan cawan yang diberikan Bapa, tak berlalu dari hadapan-Nya. Yesus memberikan teladan bagi kita untuk menuntaskan segala apa yang telah dipercayakan kepada kita untuk kita selesaikan.  Mengerjakan dan memberikan segenap cinta dan penuh kasih pada apa yang menjadi tanggung jawab pribadi kita. Iman Katolik mengajarkan ketaatan pada tanggung jawab yang penuh cinta kasih. 


Perhentian kedua belas: Yesus Wafat di Kayu Salib




Ketika itu hari sudah kira-kira jam dua belas, lalu kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga, sebab matahari tidak bersinar. Gempa bumi terjadi di mana-mana, dan tabir bait suci terbelah dua.  

“Sesudah itu, Yesus tahu, bahwa segala sesuatu telah selesai, berkatalah Ia - supaya genaplah yang tertulis dalam Kitab Suci - ; “Aku haus!” Di situ ada suatu bekas penuh anggur asam. Maka mereka mencucukkan bunga karang, yang telah dicelupkan dalam anggur asam, pada sebatang hisop lalu mengunjukkannya ke mulut Yesus. Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu , Kuserahkan nyawa-Ku” Lalu ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya.”

Ia anak Allah, Ia manusia tanpa dosa, Ia memegang teguh janji-Nya pada Bapa meski  sebagai manusia Ia sempat merasakan kegentaran saat mengetahui isi cawan yang dihadirkan Bapa di hadapan-Nya. Ia taat sampai wafat, bahkan wafat disalib. Sekali lagi, dalam wujud manusia, putera Bapa mengajarkan pada kita tentang ketaatan dan penerimaan demi kemuliaan hidup yang kekal.  


Perhentian ketiga belas: Yesus Diturunkan dari Salib



“Ia telah mati, mereka tidak mematahkan kaki-Nya, tetapi seorang dari antara prajurit itu menikam lambung-Nya dengan tombak, dan  segera mengalir keluar darah dan air. Sesudah itu Yusuf dari Arimatea - ia murid Yesus, tetapi sembunyi-sembunyi karena takut kepada orang-orang Yahudi  - meminta kepada Pilatus, supaya ia diperbolehkan menurunkan mayat Yesus.”

Malam menjelang, Maria bersama beberapa wanita dan murid kesayangan Yesus dibantu oleh Yusuf dari Arimatea menurunkan tubuh Yesus yang tak lagi bernyawa. Maria berada di bawah kayu salib, menyambut jenazah sang putera. Betapa hancur dan remuk redam hatinya. Putera kesayangan, yang dikandungnya, yang dibesarkannya, yang dikasihinya dengan segenap kekuatan yang dimilikinya diperlakukan tak adil, dihukum mati dan disalibkan. 

Hingga jenazah diturunkan dan kembali ke dalam pelukan ibu-Nya banyak hal menjadi teladan bagi kita. Kepasrahan dan ketaatan yang terkadang rasa sakitnya melebihi kekuatan yang kita punya sebagai manusia. Namun tetaplah berpegang pada janji Tuhan, janji akan keselamatan dan kehidupan kekal, janji yang tak akan pernah Ia ingkari. 

Perhentian keempat belas: Yesus Dimakamkan



Mereka mengambil mayat Yesus, mengafaninya dengan kain lenan dan membubuhinya dengan rempah-rempah menurut adat orang Yahudi bila menguburkan mayat. Di tempat di mana Yesus disalibkan ada suatu taman dan dalam taman itu ada suatu kubur baru yang di dalamnya belum pernah dimakamkan seseorang. 

Genaplah yang tertulis dalam kitab suci, makam-Nya berada di tengah -tengah makam orang berdosa. Tubuh-Nya yang rusak karna disesah para serdadu dan algojo telah dibersihkan dan diurapi rempah-rempah sesuai adat Yahudi. 

Penderitaan-Nya di dunia telah usai, Ia kembali pada Bapa-Nya, Ia kembali pada pemilik-Nya. Namun tetap dengan satu janji keselamatandan kehidupan kekal bagi umat yang mengimani-Nya. Dialah jalan kebenaran dan hidup, Dialah garam dan terang dunia, tiada yang sampai kepada Bapa tanpa melalui Dia. Dialah awal dan akhir, Alpa dan Omega. Masihkah kita mengingkari-Nya? (Hes) 




19 Mar 2016

Ia di Antara Biola, Kamera dan Komuni untuk Lansia

Ia di Antara Biola, Kamera dan Komuni untuk Lansia


“Tahun-tahun yang memutih di kepala menandai tinggi batang usia kiranya bukan penghalang baginya yang sering terlihat masyuk dengan kamera. Di umur rambang senja, ia bahkan menjadi daya tarik tersendiri mengingat sosok lain yang seusia umumnya tak lagi menggubris perkembangan teknologi yang setia bergulir di dunia.”



Pastor Marius, OFMCap, gembala yang selalu tampil formal, berkemeja lengan panjang, dimasukkan rapi, bersemat salib kecil di kerah kiri, dan selalu beralas kaki hitam ini bukan sosok asing di lingkungan Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi. Putra kelima dari pasangan bapak Mateus Chen dan ibu Yohana Lay ini begitu tak terganggu manakala ratusan pasang mata memandang aksinya kala mengabadikan berbagai peristiwa yang berlangsung di gereja maupun hal lain yang sanggup menarik perhatiannya. Meskipun bersifat pribadi, betapa aktivitasnya sangat membantu gereja dalam mengabadikan setiap rangka masa. Entah telah menghabiskan berapa giga bahkan tera kapasitas hardisk guna membingkai laman waktu dalam gambar bergerak maupun slide-slide bisu. Tak berhenti sampai di situ, suaranya terdengar begitu ringan menandakan sama sekali tiada berkeberatan ketika hasil bidikan kameranya diunduh orang guna memenuhi berbagai kepentingan. 

Terlahir dengan nama Chen, semenjak kecil ia telah begitu terpesona pada kehidupan membiara. Chen kecil yang menunjukkan ketertarikannya pada kaum berjubah menggiring langkah remajanya menekuni panggilan iman hingga ke Holand. Pada 1947, dua tahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, ia telah melanglang buana ke negeri Belanda. Zaman dulu menempuh pendidikan menjadi imam kesempatannya tidak seluas sekarang. Ia harus berjibaku dengan teologi dan filsafat ilmu hingga ditahbiskan sebagai imam di negeri kembang tulip itu pada 1961. 

Empat belas tahun di benua Eropa, begitu banyak hal dipelajarinya. Selain kian mematangkan pendidikannya menjadi gembala, ia mulai akrab dengan biola. Secara otodidak ia mempelajari cara memainkan alat musik yang tak sekadar menggesek dawai belaka, namun juga mengandalkan kehalusan jiwa untuk mampu sampai ke hati penikmatnya. Kepiawaiannya mengalunkan nada melalui biola bak gayung bersambut manakala ia kembali ke negeri asalnya. Sempat menggembala umat selama setahun di Nyarumkop pada 1962 sebelum akhirnya di tahun  1963 ia kembali berkarya di Katedral, di jantung Khatulistiwa. 

Pada tarikh 1963−1997 penempatan tugas pastoral membuatnya mengabdikan diri di Gembala Baik. Di sinilah ia berkolaborasi dengan ketua Yayasan Persekolahan Gembala Baik yang sepaham dengannya mengenai pembelajaran ekstra bagi siswa. Ia seiya sekata dengan Bapak Yan Fredrik yang menggagas mengenai pembelajaran biola untuk menghaluskan jiwa para peserta didiknya. Dengan telaten dan sabar, ia menularkan kebisaannya memainkan biola pada siswa-siswinya. “Pak Yan mewariskan satu hal tidak diduga, ia mengajar musik terutama biola kepada murid karena ia mau muda-mudi kita tetap peka terhadap sesuatu yang indah. Contohnya jika ada berita orang yang mengalami musibah di sekitar kita dan kita melihatnya sebagai sesuatu yang biasa, hal ini terjadi karena tidak ada kepekaan terhadap yang indah. Mulanya saya tidak mengerti, tetapi akhirnya saya memahami dan sesuatu yang paling indah adalah yang dilakukan oleh Yesus di kayu salib, wafat bagi orang lain. Hal ini dapat terjadi karena jiwa yang peka. Karena sesuatu yang indah dapat memengaruhi kepekaan sikap jiwa. Sehingga dia merasa indah juga bisa menolong orang, malahan bila perlu berkorban untuk orang lain. Saya ambil warisan itu. Saya melanjutkan itu. Biarlah kelihatan atau tidak, berhasil atau tidak, tapi pasti tidak rugi jikalau dari anak-anak itu masih dapat kesempatan untuk mematangkan rasa mereka terhadap keindahan. Karena otomatis akan mempengaruhi mereka punya jiwa,” urainya. Hingga usianya hampir menginjak 87 tahun, ia tetap setia melatih bermain biola. Dan satu hal yang sungguh luar biasa, ia melatih tanpa memungut sepeserpun biaya dari para didikannya. “Saya melanjutkan semua itu bukan sebagai hobi saja, tapi dengan harapan dasar supaya muda mudi kita menyebarkan keindahan yang mereka rasa, yang secara otomatis meningkatkan sikap jiwanya.” 

Hal unik lain dari sosoknya, di tahun 1947 dimana bangsa ini baru mengecap haru biru hawa kemerdekaan bahkan mungkin saja masih latah terhadap perputaran zaman, ia telah selangkah lebih maju. Ia akrab dan paham dengan peralatan media rekam. Sungguh berada di luar duga bahwa ia memang mesra dengan kamera semenjak dulu kala. Di samping itu, ia juga memanfaatkan media sosial untuk berbagi banyak hal yang direkamnya. Bukan tanpa maksud, namun  aktivitas tersebut berkiblat pada manfaat berbagi dan menarik esensi dari berbagai hal baik yang sanggup menginspirasi. “Ya memang hobi, dengan arti, itu adalah media yang bisa menyampaikan sesuatu. Hasil rekamnan saya banyak simpan di Facebook dan Youtube. Dari yang dibagikan di Facebook dapat dibaca juga notes berisi keterangan di bawahnya. Di situ saya banyak menulis hasil-hasil pembicaraan, menjawab pertanyaan orang tentang berbagai hal, tentang perkawinan, tentang hidup, tentang kematian.” Ia tak gagap teknologi, bahkan sukses memanfaatkannya menjadi media untuk menggembala umatnya. 

Usianya memang tak lagi muda, namun ia tampak tak pernah menyerah begitu saja pada deret angka penanda masa hidup manusia. Ia masih selalu bersemangat melakukan berbagai aktivitasnya sendiri. Menyetir, bersepeda, berjalan kemana pun tugas gembala mengharuskan langkahnya berada, semua dijalaninya dengan suatu kesadaran bahwa kemandirian berdampak penuh terhadap kondisi kesehatan. Hingga kini, ia masih melayani, mengantar sendiri komuni suci bagi para lansia, baik di dalam maupun di luar kota. Jumlahnya pun tidak sedikit, terdapat dua putaran dalam hantaran yang totalnya berada di kisaran angka enampuluhan.
  
Meski menyadari sepenuhnya terhadap berbagai hal yang berpengaruh besar pada kesehatan, Pastor Marius bukan insan yang menyangkal kematian. Pernah dalam satu kurun waktu ia bolak-balik melewati jalan yang sama menuju kompleks pekuburan. Aktivitasnya itu disadari oleh seorang umat yang serta merta menanyakan alasannya. Dengan nada berkelakar ia mengungkap alasannya menjalani aktivitas yang tergolong tidak biasa itu dengan harapan ketika kematian menjemput, jiwanya bisa mandiri, berjalan sendiri karena sudah hafal jalan dari pastoran menuju kompleks pekuburan.

Pria yang terlahir pada 1 Agustus 1929 ini pernah mengalami mujizat dalam hidupnya. Dikisahkannya pada wawancara dengan tatapan bersungguh-sungguh pada tahun 2002 ia berada dalam perjalanan dari Pontianak menuju Singkawang. Kala itu di daerah Sungai Limau nasib tak mujur menghampirinya, ia terlibat dalam kecelakaan di jalan raya. Namun suatu hal yang benar-benar dirasanya adalah terdapat tangan seseorang yang memegangnya, menahannya agar tak terlalu kuat menghantam setir maupun dashboard mobil yang dikemudikannya. Saat kecelakaan terjadi ia bersama dengan dua orang lain yang duduk jauh di belakang setir yang dikendalikannya. Suatu kondisi dimana dua orang di belakangnya tidak mungkin melakukan hal yang dirasakannya sebagai ‘pegangan tangan seseorang’. Saat dievakuasi, tim medis yang menanganinya merasa tipis harapan nyawanya dapat diselamatkan mengingat kondisinya yang sangat memprihatinkan. Di luar dugaan, ketika Pastor Marius siuman dan satu hal yang langsung ia ingat saat itu ia harus memimpin misa berbahasa Tionghoa. Dengan kondisi luka dalam yang jika orang awam hanya bisa bertahan selama tiga jam, Pastor Marius merasa menerima sentuhan kekuatan hingga ia dapat bertahan selama delapan jam sebelum akhirnya mendapat perawatan lanjutan. Dalam kondisi itu ia menguatkan diri untuk pulang ke Singkawang. Tim medis di Singkawang hanya menggeleng-geleng takjub menyaksikan betapa mujizat Tuhan bekerja atas diri pastor ini. Usai merasakan kuasa keajaiban pada tahun 2002, Pastor Marius semakin meyakini segala keselamatan yang dialaminya tak lain karena campur tangan Bunda Maria. 

Hal lain yang juga menjadi kisah tersendiri dari diri pastor yang satu ini adalah dalam kurun masa tertentu, beliau pernah menggunakan peti mati sebagai fasilitas tidurnya. Tentunya hal ini menjadi kondisi tak biasa bagi orang kebanyakan yang secara general memandang segala hal yang berkaitan dengan kematian adalah sesuatu yang masih begitu menakutkan. Ya, pastor Marius memang sudah memesan sebuah peti kepada sahabatnya yang berprofesi sebagai pembuat peti demi kepentingannya sendiri di kemudian hari. Serta merta peti pesanannya dititipkan kepada si pembuat karena untuk membawa peti jenazah ke pastoran bukan hal yang mudah. Selain akan memakan banyak tempat, adalah tak lazim meletakkan peti dalam ruangan yang sebenarnya bukan tempatnya. Suatu waktu ketika sang sahabat pembuat peti berpulang ke penciptanya, peti jenazah pesanannya harus dibawanya ke kediamannya, ke pastoran. Ia lantas meletakkan peti pesanannya di dalam kamarnya dan menjadikannya sebagai tempat beristirahat. Ia tidur di dalam peti jenazah. Cukup lama keadaan itu dijalaninya hingga suatu ketika ia tak dapat bertahan lagi karena hawa panas yang menyelimuti ketika ia tidur di dalam peti. Suatu pengalaman jenaka yang tidak disangka terjadi atas dirinya. Meski kini peti itu tetap berada di kamarnya, kondisinya saat ini kokoh berdiri dan telah beralih fungsi menjadi almari. 

Pada akhirnya sekelumit kisah hidup yang terajut menjadi sisi lain bagi kita memandang sang gembala. Selamat berkarya, Pastor. Semoga selalu sehat dan dilindungi dalam setiap langkah. (Hes)      
NB: Bagi umat yang ingin berinteraksi dengan beliau dapat mengunjungi laman
Facebook: Mar Chen (Marius) dan Youtube: mari2chen.                    


14 Mar 2016

Kasih Natal dalam Sembako untuk Alverno

Kasih Natal dalam Sembako untuk Alverno

 

 

Semangat berbagi rasanya tak pernah mati. Sikap toleransi dan peduli menjelma menjadi jati diri. Masih dalam rangka perayaan Natal 2015, seksi sosial Gereja katolik Santo Fransiskus Assisi kali ini menyambangi Rumah Sakit Kusta Alverno Singkawang. Kehadiran seksi sosial yang dimotori oleh Hermanto Halim, S.E., dan juga melibatkan beberapa anggota OMK (Orang Muda Katolik)  ini merupakan kali kedua setelah tahun lalu sukses menggelar acara serupa. Sambutan hangat datang dari suster pengurus dan penghuni kompleks Rumah Sakit Kusta yang juga tercatat sebagai satu-satunya Rumah Sakit bagi penyandang kusta di regional Kalimantan.   

Penyampaian bantuan dilaksanakan pada Minggu, 27 Desember 2015. Dalam sambutannya Hermanto menuturkan bahwa kegiatan bakti sosial ini merupakan wujud nyata Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi dalam cinta dan kepedulian terhadap sesama. Pria berkacamata ini juga menegaskan bahwa bantuan yang diberikan tanpa memandang  latar belakang si penerima , “Kegiatan baksos ini merupakan rangkaian kegiatan perayaan Natal 2015. Maksud dari kegiatan ini adalah kita dapat bersilaturahmi saling mengenal satu sama lain hingga diharapkan tumbuh kasih di antara sesama umat beragama juga demi mempererat jalinan kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat. Kami berharap semoga bantuan ini dapat berguna bagi saudara saudari terkasih di Alverno ini. Semoga semua dapat merasakan sukacita dan penuh berkah dalam semangat natal,” paparnya. 

Bantuan yang disampaikan oleh seksi sosial kepada suster pengurus Rumah Sakit Kusta Alverno kali ini berupa sembako. Dalam kesempatan yang sama Suster Cristine, SFIC menyampaikan terima kasihnya mewakili pihak Rumah Sakit Kusta Alverno. “Puji Tuhan kami haturkan ke hadirat Yang Maha Kuasa atas  kasih karunia yang boleh kami terima di sini bersama pasien-pasien rumah sakit kusta alverno ini saya dari pihak suster SFIC dalam hal ini mewakili Sr Anjelita sebagai perngurus dan pendamping  harian nyang sedang berhalangan karena kondisi kesehatan dan atas nama perawat-perawat di sini. Dengan kedatangan pihak gereja katolik santo fransiskus assisi singkwang Kami mengucapkan banyak terima kasih atas makanan dan sembako yag disampaikan. Kami tidak dapat membalasnya tapi kasih Tuhanlah yang bekerja di sini dan dengan aksi ini kiranya telah mewartakan karya agung tuhan kepada orang yang miskin dan lemah. Bukan hanya lemah secara fisik juga secara psikologis. Dengan kegiatan ini juga diharapkan dapat menghapus stigma yang berkembang di masyarakat mengenai penderita penyakit kusta ini, ” pungkas suster berwajah teduh ini.
(Hes)                    


29 Feb 2016

SEJARAH PAROKI SINGKAWANG



SEJARAH PAROKI SINGKAWANG



SITUASI UMUM SINGKAWANG


Singkawang adalah sebuah kota yang terletak di Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Kota ini dikelilingi oleh pegunungan, yaitu gunung Pasi, gunung Poteng dan Sakok. Singkawang adalah sebuah nama yang berasal dari bahasa Cina Hakka atau Khek, San kew jong yang berarti sebuah di antara pegunungan dan kuala/muara dari beberapa sungai di tepi laut.
Sebagai sebuah Paroki, Paroki Singkawang dapat dikatakan terdiri atas dua bagian. Bagian pertama adalah bagian yang masuk dalam wilayah Pemkot Singkawang, kecuali wilayah Kecamatan Singkawang Timur yang merupakan bagian dari wilayah Paroki Nyarumkop. Jadi Bagian kedua ialah bagian yang masuk dalam wilayah Kabupaten Bengkayang, yang meliputi seluruh wilayah Kecamatan Capkala dan Sungai Raya.
Di sebelah utara Paroki Singkawang berbatasan dengan Paroki Pemangkat, di sebelah timur dengan Paroki Nyarumkop, dan di sebelah selatan dengan “Stasi” Mempawah, yang merupakan bagian dari Paroki Sungai Pinyuh.
Letak kota Singkawang di persimpangan jalan raya dari Pontianak (145 km) ke Sambas (75 km) dan jalan raya ke Bengkayang (70 km) dan daerah pedalaman menyebabkan bahwa kota ini dari zaman dulu menjadi pusat perdagangan.
Keadaan jalan dan hubungan lalu lintas baik sekali dan lancar kecuali jalan ke beberapa kampung yang terpencil di pedalaman. Penduduknya terdiri multietnis. Ada tiga etnis besar yang berada di wilayah ini, yaitu: Tionghoa, Dayak dan Melayu. Yang lainnya adalah Jawa, Madura, Batak, dll.
Selain pusat pemerintahan, kota Singkawang juga merupakan pusat perdagangan seluruh Kabupaten. Di luar kota bagian utara dan selatan Kecamatan Sungai Raya terutama di kampung-kampung Melayu terdapat banyak nelayan. Di sebelah timur dan selatan kota Singkawang di kampung-kampung orang Dayak terdapat areal-areal pertanian: persawahan dan perkebunan. Orang Tionghoa terkonsentrasi di pusat kota dengan pekerjaan bisnis dan perdagangan, meski tidak sedikit juga mereka yang bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan.

SEJARAH SINGKAT PAROKI SINGKAWANG

 

Singkawang pada awalnya adalah stasi pertama di Kalimantan bagian Indonesia. Sekarang merupakan sebuah paroki yang cukup besar di wilayah Keuskupan Agung Pontianak. Sejarah bermulanya gereja (misi) di Kalimantan dimulai dari Singkawang.
Pada mulanya Singkawang merupakan daerah turne pastor dari Jakarta. Menurut catatan paroki, tahun 1873 sudah ada umat yang dipermandikan oleh Pastor J. de Vries, SJ. Stasi ini didirikan tahun 1885, dengan Pater Staal SJ. sebagai pastor Paroki pertama. Sesudah Pater de Vries, SJ dan Pater Staal, SJ. di tarik ke Jawa, misi di Kalimantan tanpa pastor ini berlangsung dari tahun 1897 sampai tahun 1905.
Sejak masa itu pimpinan misi Yesuit berusaha mencari ordo lain yang bersedia untuk mengurus misi di Kalimantan. Pada tanggal 11 Februari 1905 Kongregasi Penyebaran Iman di Roma mendirikan Prefektur Apostolik Kalimantan yang meliputi seluruh pulau Kalimantan yang dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan pusatnya Singkawang.
Prefektur baru itu dipercayakan kepada Ordo Kapusin. Kemudian Pimpinan Ordo menugaskan kepada Kapusin-Kapusin Negeri Belanda untuk mengurus misi itu.
Pada tanggal 10 April Pater Pacifikus Bos diangkat sebagai Prefek Apostolik. Pada tanggal 30 November 1905 Pater Prefek Pacifickus bersama tiga pastor dan dua bruder menjejakkan kakinya pertama kali di Singkawang, di mana mereka menemukan sebuah gedung gereja kecil dan sebuah rumah pastor yang sederhana. Mereka belum mengerti apa-apa mengenai bahasa dan kebiasaan setempat.
Mereka disambut hangat oleh umat yang terdiri dari orang-orang Tionghoa perantau (kurang lebih 150 orang Katolik). Seorang katekis, pemimpin umat, bertindak sebagai juru bahasa. Pada akhir tahun 1906 tenaga mereka ditambah dengan empat orang pastor, dua orang bruder dan lima orang suster Fransiskanes dari Konggregasi Veghel.
Suster-suster itu mulai mengasuh anak-anak yatim-piatu, mengobati orang sakit, dan mengunjungi tempat pengasingan bagi penderita penyakit kusta, yang terletak di luar kota Singkawang.
Awal 1907 dua orang pastor ditugaskan untuk membuka stasi di Kalimantan Timur. Dan sejak Oktober 1907 seorang pastor menetap di Pemangkat; ia mendirikan Gereja dan sekolah di tengah-tengah orang Daya di Pelanjau, yang tahun 1916 dipindahkan ke Nyarumkop.
Pada permulaan tahun 1909 stasi Pontianak di buka. Bersamaan dengan itu Pater Prefek memindahkan pusat kegiatan misi dari Singkawang ke Pontianak.
Metode yang dipakai oleh para misionaris baru ini tidak lain dari pada yang di pakai di daerah-daerah misi pada umumnya pada masa itu. Mereka berusaha untuk membangun sekolah-sekolah sebanyak mungkin dengan harapan agar anak-anak itu kemudian dipermandikan. Para Pastor, Bruder dan Suster sendiri mengajar di sekolah karena guru-guru belum ada pada waktu itu.
Anak-anak sekolah sedapat mungkin diasramakan, dan di luar jam sekolah dapat dididik secara Katolik. Kebun-kebun karet dan kelapa di sekitar Singkawang dibelikan, ini sebagai sumber materiil untuk misi. Pada tahun 1918 rumah sakit didirikan berkat bantuan subsidi pemerintah; begitu juga dengan rumah sakit kusta (1925).
Bagi sekolah-sekolah besar di kota misi mendapat tenaga baru dari Bruder-bruder MTB (Maria Tak Bernoda) dari Konggregasi Huijbergen yang sejak tahun 1921 memimpin Hollands Chinese School (HCS) di Singkawang, lalu menyusul di Pontianak 1924.
Pada tahun 1913 yang lalu Bruder Wenceslaus telah mulai mendidik beberapa orang untuk menjadi pembantunya dalam pembangunan (Pertukangan), tahun 1928 sekolah pertukangan di Pontianak didirikan.
Tahun 1937 para suster Klaris Kapusines mulai hidup dengan komtemplatif di bumi Kalimantan dalam sebuah biara yang didirikan di samping gedung gereja di paroki Singkawang. Mereka pada mulanya tidak menerima tugas dari luar tembok biara. Hidupnya dengan doa siang dan malam untuk mohon berkat dan rahmat Tuhan atas Umat Kalimantan.
Sampai disini kita melihat karya misi Katolik di Singkawang meliputi: Gereja, sekolah, asrama dan rumah sakit. Para Pastor sering masuk ke kampung-kampung sekitar yang merupakan bagian wilayah Paroki Singkwang. Sampai sekarang metode kerja itu masih berlaku. Hanya di pihak lain keterlibatan awam makin menonjol. Melalui Dewan Paroki dan pembentukan Kring-kring umat awam semakin banyak melibatkan diri dalam kegiatan Paroki. Stasi-stasi luar kota semakin sering dikunjungi oleh para pastor, yang dibantu oleh guru agama dan petugas pastoral awam lainnya. 

Sumber: www.parokisingkawang.blogspot.co.id