Gereja Katolik St. Fransiskus Assisi Singkawang
Jl. P. Diponegoro No. 1 Singkawang
31 Mei 2017
SEJARAH BULAN MEI DAN OKTOBER SEBAGAI BULAN MARIA
2 Nov 2017
MENDOAKAN JIWA ORANG-ORANG YANG SUDAH MENINGGAL
MENDOAKAN JIWA ORANG-ORANG YANG SUDAH MENINGGAL
Sumber:ericopieter.blogspot.co.id |
1 Des 2016
Hitam Putih di Balik Kerudung Misa
Hitam Putih di Balik Kerudung Misa
Sudah sejak tanggal 10 Juli 2016, Putri Altar Paroki Singkawang mengenakan mantilla setiap kali melayani di altar dan dalam perayaan liturgi lainnya demi menyadarkan umat betapa kudusnya misa yang kita rayakan. Ada berbagai banyak kalangan yang sangat mendukung ini karena ada alasan historis, teologis dan psikologis dalam penggunaan mantilla. Namun, tak sedikit yang menentang dan mempertanyakan devosi tradisional ini. Kami merasa bahwa, mereka yang menentang ini bukan bermaksud untuk berniat jahat, melainkan karena minimnya katekese (pengajaran) mengenai devosi yang satu ini. Kali ini kami akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang pernah diajukan kepada kami supaya tidak ada hitam-putih dibalik mantilla serta memberi pertanggungjawaban atas pengharapan yang ada pada kami (bdk 1 Petrus 3:15)
1. Siapa yang memberi izin kepada kalian untuk menggunakan mantilla?
Kami meminta izin ‘langsung’ kepada Mgr. Agustinus Agus setelah pulang dari tugas pelayanan altar dari upacara pemberkatan gedung Gereja St. Mikhael yang baru di Pangmilang pada hari Sabtu, 18 Juni 2016. Beliau sangat mengharapkan dengan adanya mantilla, umat Paroki Singkawang bisa semakin khusyuk, menghormati dan menghargai misa, serta lebih militan (setia) kepada Yesus dan Gereja-Nya yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik.
2. Apa dasar kalian untuk membangkitkan mantilla?
Mantilla adalah tradisi tua gereja kita. Dasar kami untuk membangkitkan mantilla adalah dari 1 Korintus 11:1-16 di mana St. Paulus meminta perempuan untuk berkerudung saat menghadap Tuhan. Jika kita lebih meneliti dari setiap ayat pada perikop tersebut, St. Paulus mengatakan bahwa rambut panjang yang diberikan kepada perempuan itu untuk menjadi penudung bagi dirinya. Namun jika demikian, mengapa St. Paulus meminta perempuan untuk berkerudung padahal ia mengatakan bahwa rambut diberikan oleh Tuhan sebagai penudung? Alasannya sama dengan alasan mengapa pasangan menikah menggunakan cincin kawin, padahal Sakramen Perkawinan sah-sah saja tanpa cincin. Ini karena manusia membutuhkan tanda kelihatan dari realita yang tidak kelihatan. Manusia adalah makhluk jasmaniah yang sangat merespon terhadap simbol-simbol yang terlihat. Menggunakan mantilla saat misa, menunjukan bahwa Allah sungguh hadir dalam Misa Kudus, di mana surga turun ke bumi demi menghormati Tuhan dalam rupa roti dan anggur. Inilah tanda bahwa kerudung mantilla menunjukan kenyataan dari realita yang tidak kelihatan. Selain itu juga berdasarkan Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1262 “…akan tetapi, wanita harus menudungi kepalanya dan harus berbusana santun, terutama ketika mereka mendekati Altar Tuhan.” Putri Altar mempunyai tugas yang sama dengan Putra Altar. Karena itu ketika Putri Altar mendekati apalagi melayani di Altar, mereka senantiasa menudungi diri dengan mantilla, walaupun hal tersebut bukanlah lagi suatu kewajiban setelah berlakunya KHK 1983.
3.Nah, kalau bukan kewajiban kenapa harus memakainya?
Iman Katolik memiliki aturan-aturan dasar dan dogma-dogma fundamental yang wajib diimani oleh siapapun yang merasa diri sebagai Katolik. Namun, ada lebih banyak lagi hal-hal yang tidak diwajibkan namun sangat baik untuk dilaksanakan. Misalnya berpuasa satu jam saja sebelum menerima Komuni Kudus atau melakukan puasa dan pantang di luar masa prapaskah. Semenjak diberlakukannya KHK 1983, mantilla berada di nasib yang sama seperti kedua contoh diatas. Memang bukan kewajiban, namun bukan berarti dikesampingkan begitu saja. Lantas, apa yang menjadi dasar pemakaian mantilla? Kasih yang dalam kepada Yesus! Kasih yang sejati tidak akan melakukan hal yang minimal, melainkan ia akan melakukannya lebih dan lebih lagi. Bermantilla di hadapan Sakramen Mahakudus adalah salah satu cara untuk mencintai Kristus dengan cara “ekstra”, melampaui batas-batas minimal yang ditetapkan gereja.
4.Ngapain bermantilla? Lagian Tuhan memandang hati dan saya sudah mencintai-Nya dengan hati saya!
Argumen “Yang penting Allah melihat hati (bdk 1 Samuel 16:7)” selalu terngiang-ngiang saat membahas ungkapan-ungkapan iman yang bersifat jasmaniah. Mempelajari iman Katolik? Ah iman tak perlu diperdebatkan yang penting hatinya. Berusaha menjalankan liturgi dengan benar? Ah Tuhan melihat hati, buat apa berliturgi tapi hatinya jahat. Bermantilla? Ndak usah aneh-anehlah! Macam orang Islam! Yang penting Tuhan melihat hati. Kita harus berhati-hati dalam mengutip atau menggunakan ayat-ayat suci sebagai pembenaran atas kemalasan pribadi atau ketidaksukaan dengan praktik ini. Saat akan mengutip, perhatikan juga ayat selanjutnya. Seloroh yang “penting hatinya” seolah mengatakan kalau jiwa dan tubuh manusia tidak berjalan berbarengan. ‘yang penting hati’ ini bisa jadi betul, asalkan hati tersebut sudah dimurnikan oleh Sakramen Ekaristi, Sakramen Tobat dan hidup kudus.
5. Putri Altar kita mengenakan semacam ‘hijab’! Apakah mantilla hanya dipakai oleh anak PPA yang putri?
Ini adalah keberatan yang mereduksi tradisi berkerudung sebagai kebiasaan Islami saja, tanpa berpikir bahwa berkerudung dalam ibadah merupakan praktik yang umum dilakukan oleh komunitas-komunitas Yahudi, Kristen Ortodoks, Hindu dan lain-lain. Sebagai devosi Ekaristis, wanita Katolik hanya mengenakannya di hadapan Sakramen Mahakudus, entah itu saat Misa, adorasi, pengakuan dosa, dan lain-lain. Selain itu, sangat jelas kalau bentuk mantilla sangat berbeda dengan hijab Muslim. Mantilla tidak hanya dipakai oleh Putri Altar, namun dapat digunakan oleh semua wanita Katolik tanpa terkecuali. Putri Altar mengenakan mantilla ingin menegaskan bahwa misa yang kita rayakan itu kudus adanya. Oleh sebab itu, sebagai umat beriman, hendaknya menaruh hormat yang besar kepada Yesus yang hadir dalam perayaan Ekaristi sehingga Misa tidak menjadi suatu ajang pertemuan sosial dengan kenalan kita.
6. Gereja selalu memperbaharui diri. Mantilla itu tradisi kuno!
Dari sudut pandang fashion, mantilla tidak cocok dipadukan dengan baju yang terlalu santai, terlalu ramai, terbuka, atau terlalu ketat. Maka coba luangkan waktu untuk memikirkan pakaian apa yang pantas untuk menghadiri misa kudus. Kalau bisa, kenakan rok yang santun dan tidak ketat dengan panjang di bawah lutut. Memang memilih pakaian untuk misa sudah seharusnya sedikit merepotkan. Jika kita sendiri sering ribet dengan pakaian untuk pesta buatan manusia, mengapa kita sendiri tidak mau repot untuk menghadiri pesta perkawinan kita sendiri dengan Kristus?
8. Bukankah tradisi berkerudung hanya dipakai di Misa Latin saja?
Betul, kebiasaan berkerudung merupakan warisan dari Misa Latin Tradisional/Traditional Latin Mass (TLM), yang kini banyak dikenal sebagai Misa Forma Ekstraordinaria. Namun Yesus yang kita sembah, baik dalam TLM maupun Misa Novus Ordo (tata cara misa yang sekarang) adalah Yesus yang sama dan seharusnya kita mengenakannya dalam bentuk misa apapun, tidak terbatas dalam TLM
9.Apabila kebiasaan berkerudung, terutama dalam lingkup peribadatan, sudah lama menjadi tradisi Katolik, apalagi didukung oleh landasan bibliah (1 Korintus 11:1-16) dan tulisan para Bapa Gereja, bahkan pernah disuratkan secara eksplisit dalam KHK 1262, mengapa Hukum Kanonik yang baru (KHK 1983) tidak lagi mencantumkannya? Bukankah Gereja Katolik menghormati tradisi para rasul? Bukankah hal tersebut seolah-olah terputusnya sebuah warisan tradisi yang sudah berjalan hampir 2000 tahun, nyaris setua usia gereja itu sendiri? Adakah kaitannya dengan menurunnya rasa hormat kepada Ekaristi?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sungguh tidak mudah dijawab. Banyak yang mengaitkannya dengan fenomena revolusi seksual yang terjadi tahun 1960-1970an di belahan bumi barat di mana lahirnya ideologi feminisme radikal, serta normalisasi kontrasepsi, aborsi dan seks bebas. Ada juga yang mengkaitkan dengan “hanya” pergeseran budaya akibat moderenisasi di segala bidang, terutama dalam hal keagamaan.
Sampai sekarang, pertanyaan-pertanyaan tersebut masih menjadi bahan permenungan bagi kita. Jika kita sudah mengerti bahwa Allah sendiri yang mengkehendaki wanita untuk berkerudung (bdk 1 Korintus 11:2-16) mengapa kita yang sudah mengetahuinya tidak mau melakukan kehendak Allah? Mantilla adalah sarana devosi pribadi bukan sebuah aksesoris yang menunjukan rasa rendah hati dan kesederhanaan di hadapan Tuhan. Namun hanya mengenakan mantilla saja tanpa dibarengi kedisiplinan rohani lainnya, maka mantilla tersebut tidak ada artinya lagi.
Meskipun kini praktik berkerudung dalam misa bukan lagi kewajiban secara kanonik, namun mengingat sejarah ajaran dan penggunaannya yang begitu panjang serta bukan tanpa alasan, maka praktik ini sangatlah baik untuk dihidupkan kembali sebagai devosi pribadi seperti halnya Saudara Seiman kita di Korea Selatan dan Negara Eropa lainnya yang mempertahankan tradisi ini. Mari mengungkapkan iman kita dengan bermantilla dan cintailah tradisi! (PPA St. Tarsisius Paroki Singkawang)
13 Sep 2016
SYD, Kobarkan Semangat Kaum Muda dalam Militansi Hidup Menggereja
SYD, Kobarkan Semangat Kaum Muda dalam Militansi Hidup Menggereja
Singkawang Youth Day atau yang disingkat SYD sukses digelar pada 24 hingga 26 Juni 2016 lalu. Kegiatan yang merupakan wadah berkumpulnya Orang Muda Katolik se-Paroki Singkawang dan diisi dengan berbagai hal positif tersebut bertempat di persekolahan Katolik SMP St Tarsisius Singkawang. Pemusatan digelarnya segala aktivitas dengan lokasi SMP St Tarsisius bukan tanpa sebab. Setidaknya dua hal menjadi alasan dipilihnya sekolah yang berlokasi di Jalan Gunung Bawang Pasiran, Singkawang Barat itu didapuk sebagai tempat digelarnya sebagian besar kegiatan SYD. Alasan pertama karena SMP St Tarsisius merupakan persekolahan yang dikelola oleh Pastoran Paroki Singkawang, dan alasan kedua karena letaknya yang strategis didukung lingkungan asri dan nyaman hingga memungkinkan segala aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan SYD dapat digelar.
Segala rangkaian kegiatan yang dimotori oleh OMK Paroki Singkawang dan mendaulat Sdr Gabriel Fileas, S.Ip sebagai ketua panitia penyelenggara ini terbilang sukses. Pasalnya jika dirunut dari segala persiapan yang dilakukan panitia penyelenggara dituntut berjibaku dengan waktu untuk menghimpun dana yang bersifat swadaya. Segala upaya dikerahkan dari mulai menggelar bazar, mengamen di berbagai kesempatan, hingga sebagian kecil diperoleh dari hasil kolekte umat sebagai alternatif terakhir yang ditempuh panitia. Tak tanggung-tanggung puluhan juta rupiah diggelontorkan demi menyukseskan SYD 2016.
Selama tiga hari sebanyak 199 peserta yang berasal dari berbagai stasi di Paroki Singkawang tampak antusias mengikuti seluruh kegiatan yang telah disusun sedemikian rupa oleh panitia. Tak hanya dijejali teori-teori tentang keimanan, para peserta juga secara tak langsung dibimbing psikisnya, dikobarkan semangatnya untuk menjadi militan terhadap kehidupan gereja dan diajak turut serta dalam giat aktif, berbaur, berkreasi, dan berkompetisi memunculkan dan mengasah segala kompetensi diri.
Begitu banyak komentar positif yang terujar dari para peserta SYD 2016. Sebagian besar dari mereka merasa beruntung dapat menjadi bagian dari giat yang digagas dalam lingkup Gereja Katolik. Di sisi lain terdapat pula komentar bernada asa dari perwakilan OMK Paroki Pemangkat yang berharap penuh agar ikut dilibatkan dalam rangkaian kegiatan SYD, tak sekadar sebagai undangan dalam pembukaan yang kala itu diawali dengan misa. Felix Lawira perwakilan OMK Paroki Pemangkat menuturkan, “Kami sangat tertarik dengan digelarnya SYD, sayangnya hanya melibatkan OMK dari stasi yang ada di Singkawang. Semoga ke depannya jika diadakan acara serupa bisa mengundang OMK dari paroki lain, contohnya dari Paroki Pemangkat.”
Sedianya SYD 2016 akan dibuka oleh Gubernur Kalimantan Barat dan Walikota Singkawang, namun karena satu dan lain hal urung dilakukan. Sebagai gantinya dari pihak gubernur mengutus Alexander Wakum, S.E., yang menjabat sebagai Kasubag Agama Kristen dan Katolik Kalimantan Barat dan walikota Singkawang diwakili oleh Kepala Dinas Badan Kesatuan bangsa dan Politik, Drs. Ahyadi, M.M.
Ditemui langsung usai membuka SYD, Alexander Wakum, S.E mengungkapkan bahwa kegiatan SYD merupakan momentum yang sangat baik untuk Gereja Katolik mengajarkan kepada muda-mudi Katolik agar mereka bisa hidup berlandaskan iman yang Kristus ajarkan, mereka bisa hidup jujur, berbaur, tidak menganggap diri eksklusif, dapat pula menjadi wadah yang membuat mereka melakukan hal-hal positif agar mereka bisa terhidar dari bahaya narkotika, seks bebas dan hal-hal tidak memuliakan Tuhan.
Besar harapan kegiatan serupa dapat kembali diselenggarakan dengan skala yang lebih besar dan kegiatan yang lebih beragam. (7539)
6 Jun 2015
Pembangunan Kapel Lapas Singkawang
Warga binaan lapas (lembaga permasyarakatan ) kelas II B Singkawang kini boleh berbesar hati; terutama bagi mereka yang beragama Katolik/ Kristen karena di dalam Lapas tersebut telah berdiri sebuah kapel yg cukup representatif berukuran 7 x 13 meter di samping kelenteng dan surau yang sudah ada terlebih dahulu.
Berdirinya kapel ini berkat inisiasi Bapak Pedro Halim, S.T., sebagai pengurus Gereja Bethel Indonesia (GBI) bersama persekutuan gereja yang memberikan pelayanan di lapas tersebut, termasuk Gereja Katolik Singkawang serta pihak lapas kelas II B Singkawang dalam hal ini bapak Asep Sutandar, Amd. IP, S. Sos, . M. Si selaku kalapas kelas II B Singkawang yang telah berkenan menyediakan sebidang tanah tempat kapel tersebut didirikan.
Peletakan batu pertama dilakukan pada tanggal 27 September 2014 oleh Kalapas Kelas II B Singkawang, disaksikan oleh Pdt. Palmanto dari GKPKB (Gereja Kristen Protestan Kalimantan Barat), Pedro Halim,ST, pegawai lapas serta warga binaan yg beragama Katolik/ Kristen. Kini kapel di Lapas kelas II B Singkawang telah rampung dan telah diresmikan pada Sabtu, 13 Desember 2014.
Untuk membantu merealisasikan berdirinya kapel lapas ini, seksi sosial DPP (Dewan Pastoral Paroki) berinisiatif menggalang dana dari warga paroki Singkawang dan donatur lainnya dengan cara door to door serta melalui kotak derma di gereja. Puji Tuhan dari tanggal 18 Oktober 2014 hingga 29 November 2014, telah terkumpul dana sebesar Rp24.085.000,00
Dalam periode berjalan, diperoleh informasi dari Pastor Paroki bahwa terdapat kerusakan pada kapel di daerah Trans SP2 dan yang perlu rehabilitasi serta Gereja di Medang yang memerlukan pengecatan ulang. berdasarkan rapat seksi sosial DPP dengan pastor paroki pada tanggal 4 November 2014, diputuskan bahwa sebagian kecil uang sumbangan akan dialokasikan untuk merehabilitasi kapel di Trans SP2 & SP3 serta pengecatan gereja di Medang. Serah terima sumbangan telah dilakukan pada tanggal 1 Desember 2014 antara pastor paroki dengan bapak Pedro Halim, S.T., disaksikan oleh bapak Frumensius dan Hermanto Halim, S.E., selaku koordinator seksi sosial DPP. (HH)
16 Mar 2016
Merayakan Kerukunan dalam Perbedaan
Merayakan Kerukunan dalam Perbedaan
Memulai start pukul 07.30 WIB dari Kantor Agama di Jalan Alianyang, dengan rute melewati berbagai tempat ibadah di Kota Singkawang yang jaraknya cukup berdekatan satu sama lain dan berakhir di Kantor Agama kembali, sungguh menciptakan atmosfer kebersamaan yang hangat dan akrab. Hal ini tampak dari ekspresi seluruh peserta yang secara spontan langsung membaur dengan umat beragama lain dalam obrolan akrab penuh tawa dan canda.
Kegiatan yang melibatkan masyarakat dari enam agama dan berbagai lapisan usia ini pertama kali diadakan di kota Singkawang. Masyarakat Kota Singkawang kiranya boleh berbangga karena kota dengan julukan Bumi Betuah Gayung Bersambut ini beberapa waktu yang lalu dinobatkan oleh lembaga riset Setara Institute sebagai penyabet peringkat ketiga kota dengan tingkat toleransi tertinggi di Indonesia setelah Pematang Siantar dan Salatiga.
Di kesempatan yang sama, Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Singkawang, Drs. H. Jawani Usman mengungkap bahwa jalan santai yang diadakan semata untuk merayakan kerukunan umat beragama di Kota Singkawang. “Kita patut bersyukur kepada Tuhan. Kegiatan ini dihadiri umat Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik, Konghucu. Dari semua lapisan, baik muda-mudi maupun warga yang hadir berkisar 1500 orang. Dari Kementrian Agama juga menyediakan doorprise sebanyak 167 hadiah. Untuk ke depannya kegiatan ini diharapkan berlanjut dan akan kita tingkatkan lagi dengan melibatkan seluruh stakeholder yang ada di masyarakat. Di kesempatan ini kami juga ingin berterima kasih kepada Kapolres dan Kasatlantas Kota Singkawang yang telah mengamankan dan membantu lancarnya acara ini. Cuaca hari ini juga baik dan cerah, ini juga berkat doa seluruh umat beragama di Kota Singkawang yang tentunya berharap acara pagi ini berlangsung lancar,” pungkasnya. (Hes)
4 Jun 2015
NATAL : SAAT UNTUK BERBAGI
Natal: Saat untuk Berbagi
Google Images.Jpg |
Aloysius hanyalah seorang pengusaha warung sederhana di kampungnya. Selain berjualan bahan kebutuhan sehari-hari, ia juga membeli karet dari warga di sekitar rumahnya. Menjelang hari raya Natal, Idul Fitri dan Imlek, Aloysius menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk membeli bahan mentah pembuatan roti seperti mentega, terigu, susu kental manis, gula pasir, telur. Semuaya dikemas dalam paket-paket dan dibagikan kepada pelanggannya yang tidak mampu sesuai dengan keperluan mereka yang merayakan keyakinan agamanya. Kalau dihitung dengan rupiah nilainya tentu tidak seberapa. Tetapi ada makna di dalamnya, seperti pernah diucapkannya, “Untuk orang kampung yang tidak mampu merayakan Natal, Idul Fitri dan Imlek mempunyai arti tersendiri dengan membuat kue”. Begitu juga menjelang natal tahun 2014 ini Aloysius tidak lupa melakukan rutinitasnya; berbelanja bahan mentah pembuatan roti untuk pelanggannya yang beragama Kristen dan Katolik. Bagi Aloysius yang beragama Katolik, Natal bukan hanya sekedar perayaan ritual yang selesai di gereja saja, tetapi dia memaknainya lewat aksi nyata mau berbagi dengan saudara-saudarinya yang kurang mampu.
Bila ditengok peristiwa aslinya, makna Natal sejatinya adalah pemberian diri Allah. Dia yang maha segala-galanya rela memberikan diri-Nya dan menjelma menjadi manusia dalam diri Kanak-Kanak Yesus. Dialah Sang Imanuel: Allah beserta kita (Mat 1:23). Itulah yang terjadi pada natal pertama di Betlehem yang jauh dari hingar bingar pesta dan kemewahan. Dengan menjadi manusia Allah melakukan aksi nyata; setiakawan dengan manusia. Bahkan Dia hadir dalam sosok bayi yang papa-miskin.
Kalau mau, sebenarnya Allah bisa saja menyapa manusia dari surga. Maksudnya Dia tetap tinggal di surga sana, sedangkan manusia di dunia ini. Ibaratnya ketika mau menghubungi manusia Allah cukup menekan alat semacam remote control saja. Allah tidak perlu “repot-repot” turun ke dunia. Apalagi menjadi manusia segala. Tetapi “jalan aman” itu tidak dipilih oleh Allah. Justru Dia menggunakan jalan dengan “merepotkan diri-Nya” dan menjadi manusia. Mengapa Allah rela berbuat semua itu? Jawaban satu-satunya adalah karena Dia sangat mencintai kita. Di mata Allah kita semua sungguh berharga. Dia tidak rela kita menjadi binasa. Maka Dia datang dan hadir di tengah-tengah kita agar kita memperoleh hidup, bahkan hidup dalam segala yang kelimpahan (Yoh 10:10).
Lalu bagaimana kita bisa memaknai natal? Penting artinya kita kembali kepada semangat natal pertama. Ketika melihat kandang atau gua natal pandangan kita harus bisa menembus dan merenungkan apa yang sebenarnya terjadi di sana. Kita tidak boleh larut dengan perayaan natal yang diwarnai oleh gemerlapnya pesta dan hingar bingar kemewahan. Kita juga tidak boleh tinggal dalam keagungan peribadatan di dalam Gereja. Memang peristiwa natal sering membuat kita hanyut dalam suasana romantis. Tetapi itu bukanlah makna natal yang sebenarnya. Makna natal harus bersambung dalam hidup sehari-hari. Natal harus menyapa umat manusia karena sejatinya natal tidak sama dengan pesta pora. Natal juga bukan sekedar perayaan liturgis semata. Natal adalah “sapaan” Allah kepada kita. Dia memberikan diri-Nya secara nyata kepada kita.
Seperti Allah yang beraksi nyata kepada kita, begitu pula kita diundang untuk mengadakan aksi yang sama kepada sesama. Natal baru mendapatkan artinya yang penuh kalau kita mau berbagi dengan sesama, terutama mereka yang serba berkekurangan. Apa yang harus kita bagikan? Bukan terutama berbagi barang atau harta kekayaan. Tetapi kita diajak untuk berbagi perhatian dan cinta. Tuhan telah memberikan kepada kita masing-masing hati untuk mencintai dan tangan untuk melayani. Dengan itulah kita mewujudkan aksi pemberian diri lewat tindakan mencintai dan melayani. Natal menjadi saat yang indah untuk berbagi. Selamat Natal 2014 dan Tahun Baru 2015. Mari kita saling berbagi cinta dan pelayanan! (Gathot)
11 Jun 2017
HARI RAYA TRI TUNGGAL MAHA KUDUS
HARI RAYA TRI TUNGGAL MAHA KUDUS
Dalam rangka Hari Raya Tritunggal Mahakudus, dan mengingat banyak Romo yang homilinya tentang Tritunggal kadang membuat umat kurang paham, berikut tentang penjelasan Trinitas:
KATEKISMUS BALTIMORE (Katekismus resmi GK-Amerika dari 1885-1960)
PELAJARAN KETIGA: MENGENAI KEESAAN DAN ALLAH TRITUNGGAL
P. Apakah hanya ada satu Allah?
J. Ya, hanya ada satu Allah.
P. Mengapa hanya ada satu Allah?
J. Hanya ada satu Allah, sebab Allah, sebagai yang sempurna dan tak terbatas, tak ada yang menyamaiNya.
P. Ada berapa pribadi dalam diri Allah?
J. Dalam Allah terdapat tiga Pribadi Ilahi, sangat berbeda dan setara dalam segala hal, Bapa, Putra dan Roh Kudus.
P. Apakah Bapa adalah Allah?
J. Bapa adalah Allah dan Pribadi pertama dari Trinitas yang Terberkati.
P. Apakah Putra adalah Allah?
J. Putra adalah Allah, dan Pribadi kedua dari Trinitas yang Terberkati.
P. Apakah Roh Kudus adalah Allah?
J. Roh Kudus adalah Allah dan Pribadi ketiga dari Trinitas yang Terberkati.
P. Apakah Tritnitas yang Terberkarti itu?
J. Trinitas yang Terberkati adalah Allah yang satu dalam tiga Pribadi Ilahi.
P. Apakah ketiga Pribadi Ilahi setara dalam segala hal?
J. Ketiga Pribadi Ilahi tersebut adalah setara dalam segala hal.
P. Apakah tiga Pribadi Ilahi adalah satu dan Allah yang sama?
J. Tiga Pribadi Ilahi adalah satu dan Allah yang sama, memiliki kodrat Ilahi yang satu dan sama
*
Renungan:
Susah untuk menjelaskan Trinitas karena di alam raya ini tidak ada yang bisa dijadikan analogi yang pas atas trinitas. Dulu banyak penjelasan Romo dan buku-buku yang saya baca tapi juga kurang memuaskan.
Namun saya akhirnya mendapat penjelasan yang mencerahkan mengenai trinitas. Ini yang coba saya share (bagikan) kepada Anda.
Kristen termasuk agama monoteis (mono = satu; teis = Allah). Jadi sama dengan Islam yang mengakui ke-esa-an Allah. Allah yang satu dan esa itu mempunyai tiga pribadi. Yang satu itu adalah “substansi” alias "kodrat" Allah, sementara yang tiga itu adalah “pribadi” Allah.
Ketika kita menunjuk sesuatu dan bertanya “apakah itu?” kita bertanya mengenai “substansi” dari hal tersebut. Jadi misalnya kita menunjuk si Manis yang sedang menjilati tubuhnya dan bertanya “apakah itu?” maka jawabannya adalah “kucing”. Jadi substansi:kodrat si manis adalah kucing. Begitu pula kalau kita menunjuk ke pucuk tugu Monas dan bertanya “apakah itu?” maka jawabannya adalah “emas” karena emas itulah substansi berwarna kuning yang nempel di Monas (kita UMPAMAKAN SAJA emas diatas Monas itu seluruhnya terdiri dari emas, padahal kenyataannya yang emas cuma lapisannya).
Lalu, kalau kita menunjuk seseorang dan bertanya “apakah itu?” maka jawabannya adalah “manusia”. Nah, untuk manusia kita bisa bertanya juga “siapakah itu?” maka jawabannya bisa “Bagus, Slamet, Budi, Anita, Rini dan lain-lain”. ITULAH YANG DISEBUT “PRIBADI”!
Jadi “pribadi” adalah “SIAPA”, bukannya “APA” (yang “apa” adalah substansi/kodrat).
Sekarang, KATAKANLAH anak saya yang lugu menunjukkan jari kepada sang ALLAH (kita umpamakan bahwa Allah itu bisa ditunjuk) dan bertanya kepada saya “Pak, itu APA?” Maka saya akan menjawab “itu Allah, nak”. Kalau anak saya bertanya “Pak, itu SIAPA?” maka saya akan menjawab “itu, Bapa, Putra dan Roh Kudus, nak.”
Inilah yang dimaksud bahwa Allah itu satu (substansi) dan Dia adalah Tiga (Pribadi).
Seperti yang saya katakan sebelumnya, di alam raya ini tidak ada yang seperti Allah (maksudnya terdiri dari SATU substansi dan TIGA pribadi). Kita-kita ini manusia hanya terdiri dari SATU substansi dan SATU pribadi. Tidak ada manusia yang punya lebih dari satu pribadi (“pribadi” disini berbeda dengan “personalitas”. ini mengingat ada penyakit jiwa dimana seorang manusia mempunyai lebih dari satu “personalitas”. Meskipun begitu orang ini pribadinya tetap satu).
PS:
Substansi dan kodrat adalah sama. Cuma istilah itu dipergunakan berbeda. Kalau berkenaan dengan makhluk hidup, substansi si makhluk hidup disebut "kodrat."
Sumber: FB Katolik Imanku