Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri katolik indonesia. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri katolik indonesia. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

16 Mar 2016

Merayakan Kerukunan dalam Perbedaan

Merayakan Kerukunan dalam Perbedaan

 

Sabtu, 2 Januari 2016. Masih diliputi suasana kebahagiaan Natal dan semangat menyambut tahun baru, Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi ikut serta ambil bagian dalam kegiatan jalan santai yang diadakan oleh Kantor Kementrian Agama dalam rangka merayakan kerukunan umat beragama di Kota Singkawang.   

Memulai start pukul 07.30 WIB dari Kantor Agama di Jalan Alianyang, dengan rute melewati berbagai tempat ibadah di Kota Singkawang yang jaraknya cukup berdekatan satu sama lain dan berakhir di Kantor Agama kembali, sungguh menciptakan atmosfer kebersamaan yang hangat dan akrab. Hal ini tampak dari ekspresi seluruh peserta yang secara spontan langsung membaur dengan umat beragama lain dalam obrolan akrab penuh tawa dan canda.



Kegiatan yang melibatkan masyarakat dari enam agama dan berbagai lapisan usia ini pertama kali diadakan di kota Singkawang. Masyarakat Kota Singkawang kiranya boleh berbangga karena kota dengan julukan Bumi Betuah Gayung Bersambut  ini beberapa waktu yang lalu dinobatkan oleh lembaga riset Setara Institute sebagai penyabet peringkat ketiga kota dengan tingkat toleransi tertinggi di Indonesia setelah Pematang Siantar dan Salatiga. 


Di kesempatan yang sama, Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Singkawang, Drs. H. Jawani Usman mengungkap bahwa jalan santai yang diadakan semata untuk merayakan kerukunan umat beragama di Kota Singkawang. “Kita patut bersyukur kepada  Tuhan. Kegiatan ini dihadiri umat Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik, Konghucu. Dari semua lapisan, baik muda-mudi maupun warga yang hadir berkisar 1500 orang. Dari Kementrian Agama juga menyediakan doorprise sebanyak 167 hadiah. Untuk ke depannya kegiatan ini diharapkan berlanjut dan akan kita tingkatkan lagi dengan melibatkan seluruh stakeholder yang ada di masyarakat. Di kesempatan ini kami juga ingin berterima kasih kepada Kapolres dan Kasatlantas Kota Singkawang yang telah mengamankan dan membantu lancarnya acara ini. Cuaca hari ini juga baik dan cerah, ini juga berkat doa seluruh umat beragama di Kota Singkawang yang tentunya berharap acara pagi ini berlangsung lancar,” pungkasnya. (Hes)

18 Feb 2020

Fransiskus Assisi Gelar Pesta Syukur Episkopat Uskup Agung Keuskupan Agung Pontianak


PESTA SYUKUR 20 TAHUN EPISKOPAT MGR AGUSTINUS AGUS 

SINGKAWANG – "Instaurare Omnia in Christo," itulah moto yang digunakan Mgr Agus saat ditahbiskan menjadi Uskup Sintang 20 Tahun yang lalu yang berarti membangun kembali semua di dalam Kristus. Hal ini disampaikannya saat pesta syukur 20 tahun tahbisan episkopat yang digelar di Paroki St Fransiskus Assisi Singkawang pada Sabtu sore, 15 Februari 2020.
Acara ini dibuka dengan tarian bertajuk Pasti ke Singkawang yang disajikan dengan begitu apik oleh OMK St Fransiskus Assisi Singkawang.

Giat syukur ini dihadiri Drs. Libertus Merep, M.Si., staf ahli hukum, politik, dan pemerintahan, mewakili Walikota Singkawang yang berhalangan hadir saat itu. Di kesempatan itu tampak pula ketua DPRD Kabupaten Bengkayang, Fransiskus, M.Pd, anggota DPRD Provinsi Kalbar Bong Cin Nen, S.Pd., dan Drs. Ahyadi, M.Si., Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Kota Singkawang.

Acara yang digelar tepat pukul 16.00 WIB itu juga dihadiri oleh lebih kurang 300 tamu undangan dari berbagai wilayah antara lain Nyarumkop, Sambas, Bengkayang, Sekura, berbagai stasi, dan perwakilan 14 lingkungan di Paroki Singkawang. Tercatat sejak pukul 15.00 WIB, para tamu sudah begitu antusias memadati area pesta syukur dua dasawarsa Tahbisan Episkopat Uskup Agung yang bertempat di halaman Gereja St Fransiskus Assisi Singkawang. 



MISA SYUKUR 20 TAHUN TAHBISAN EPISKOPAT MGR AGUS

Pesta syukur yang digelar pada Sabtu, 15 Februari 2020 berlanjut pada misa kedua, Minggu, 16 Agustus 2020. Diawali perarakan dari halaman gereja oleh misdinar, para petugas misa, para pastor konselebran, dan uskup sendiri sanggup menyita seluruh pasang mata umat yang hadir untuk mengikuti Misa perayaan syukur dengan khusyuk. Bertindak sebagai selebran utama, uskup agung, didampingi oleh imam konselebran lain yakni Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFMCap., Pastor Yosua Boston Sitinjak, OFMCap., Pastor Felik, OFMCap., Pastor Cahyo Widyanto, OFM.Cap., Pastor William Chang, OFMCap., Pastor Sahut, Pr., Pastor Alexius Alex Mingkar, Pr., Dan juga Romo Jesuit, yakni Romo Thomas Salimun Sarjumunarsa, SJ. 


Dalam homilinya, putra kedua dari pasangan Markus Budjang dan Maria Djoi ini mengungkap berbagai tantangan yang dihadapinya saat menjadi imam maupun ketika ia telah menjabat sebagai uskup. "Banyak sekali tantangan dan rintangan, suka duka yang dihadapi saat menjadi uskup selama 20 tahun," ungkapnya. 


Tak putus ia berharap, saat bertugas dimana pun, pribadinya mampu menjadi pemersatu umat Katolik maupun menjadi sosok pembawa kesatuan antar umat beragama, karena baginya keberagaman dan toleransi adalah suatu nilai penting agar bisa tetap menjaga persatuan dan kesatuan di bumi Kalimantan ini.


Dalam senandika maupun homilinya juga, Mgr Agus sempat meluruskan berita yang terlanjut viral di media sosial akhir-akhir ini, bahwasanya Sri Paus akan mengunjungi Kalimantan Barat. Beliau menegaskan hal itu adalah suatu yang tidak mungkin terjadi disebabkan kunjungan Sri Paus di Indonesia begitu singkat, lebih kurang hanya 2 jam di ibukota dan 2 jam di Ambon. Setelah lawatan singkat itu paus akan segera meninggalkan Indonesia untuk jadwal kunjungan ke negara lain. 

Usai perayaan Misa, seluruh umat diundang untuk ikut serta dalam kegembiraan pesta syukur. Panitia bersama lingkungan telah menyediakan jamuan yang dapat dinikmati bersama. Semua bergabung dalam suka cita.


Akhirnya, selamat atas ulang tahun tahbisan episkopat ke-20, mari kita selalu mendoakan Bapa Uskup Mgr Agustinus Agus agar semakin diberkati dan dilimpahi rahmat kesehatan dan panjang usia agar dapat melayani umat se-antero Keuskupan Agung Pontianak. "Instaurare Omnia in Christo" (Cinda)



14 Sep 2016

Yang Muda yang Berkarya dalam Militansi Kehidupan Menggereja

Yang Muda yang Berkarya dalam Militansi Kehidupan Menggereja


Minggu, 24 Juli 2016. Berlatarhalaman Gereja St Fransiskus Assisi Singkawang, Komisi Kepemudaan panitia pra IYD (Indonesian Youth Day) Keuskupan Agung Pontianak yang dimotori oleh Kasianus Kurniawan melakukan perarakan replika Salib IYD 2016 yang lantas diserahkan kepada Ketua Dekenat Singkawang, Pastor Krispinus Endi, OFM. Cap., dan untuk selanjutnya diserahkan kepada Pastor Paroki Singkawang yang merupakan tempat peziarahan  pertama Salib IYD 2016. 

Penyerahan replika Salib IYD yang melibatkan seluruh OMK di stasi-stasi yang ada di wilayah Paroki Singkawang ini bukan tanpa maksud dan tujuan. Ditemui usai perayaan Ekaristi, pria yang akrab disapa Kas ini mengungkap, “Prosesi penyerahan salib dari Komisi Kepemudaan panitia pra IYD Keuskupan Agung Pontianak diantarkan dari komisi kepemudaan pra IYD pertama kali ke Paroki Singkawang. Salib sebagai tanda Kerahiiman Allah menjadi pemersatu dan terang bagi seluruh kegiatan OMK di seluruh paroki di Keuskupan Agung Pontianak. Agar seluruh teman-teman OMK mengalami merasakan sukacita kehadiran Allah di tengah-tengah mereka, tidak hanya OMK yang menjadi utusan paroki untuk ikut dalam even IYD, namun salib yang akan kita bawa dalam IYD yang akan digelar di Manado nanti bisa menjadi lambang pemersatu dan sukacita bagi seluruh OMK.”

Adapun Salib IYD 20016  dibawa ke Paroki Singkawang merupakan replika. Aslinya tetap berada di Keuskupan Agung Pontianak. Salib ini dirancang oleh tim IYD 2016 dari Komisi Kepemudaan Kesuskupan Agung Pontianak. Setelah melewati berbagai diskusi maka dirancang sekaligus dipilihlah berbagai bahan dasar pembuatannya. Bahan-bahan yang dipilih untuk membuat Salib IYD 2016 ini kiranya mengusung segala kearifan lokal. Dari bahannya saja menunjukkan bahwa pemilihan dan penetapannya berdasar kekayaan alam yang mudah dijumpai pada ranah lokal. Salib IYD ini berbahan dasar rangka rotan. Filosofi begitu kental dan sarat makna menjadikan rotan dipilih sebagai rangkanya. Rotan sendiri merupakan tanaman yang tumbuh hampir di seluruh dan begitu mudah dijumpai di seluruh pelosok Kalimantan Barat. Rotan tumbuh menjalar panjang mengikuti tinggi dan lebat pepohonan tempatnya bernaung, bisa mencapai puluhan meter panjangnya. Rotan sangat lentur, sederhana, kuat, dan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Demikian hal yang sama diharapkan berlaku pula pada OMK agar dapat menjadi ‘rotan’ di dalam sisi kehidupannya; menjadi pribadi yang memiliki kelenturan/fleksibilitas dalam sikap dan perilaku, sederhana; memiliki tekad dan kemauan yang kuat dalam segala tindakan, pemersatu, sehingga sungguh-sungguh siap mewartakan sukacita Injil dan membawa manfaat bagi masyarakat di lingkungannya.

Bahan berikutnya adalah kulit kayu/kapuak. Kapuak merupakan kulit tanaman kayu tertentu yang sudah diolah sedemikian rupa sehingga dapat dimanfaatkan bagi keperluan hidup manusia, dan hingga saat ini masih bisa didapatkan di beberapa tempat, khususnya Kalimantan Barat maupun Kalimantan pada umumnya. Untuk siap digunakan kulit kayu mengalami proses yang ‘berat’ sampai menjadi kapuak, dan banyak digunakan untuk pengikat maupun berbagai keperluan hidup lainnya serta sekalipun dengan tampilan sederhana kapuak dapat diolah menjadi kostum/pakaian adat yang unik, alami, dan memiliki nilai ekonomis. OMK-pun setelah mengalami proses yang ‘berat’ dalam berbagai sisi kehidupannya diharapkan mampu menjadi pribadi yang tangguh, ulet dalam mewartakan Injil serta bermanfaat bagi kehidupan masyarakat di lingkungannya. Bahan dasar lain yang juga digunakan adalah korpus dan pengikat dari kawat berunsur logam. Dalam hal ini bahan dasar logam merupakan elemen yang berasal dan ditemukan dari perut bumi dan mengalami proses pemurnian, baik itu proses sederhana maupun berulang. Setelah mengalami bentuknya yang baru, logam dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan dan manfaat yang beragam. Dalam Salib IYD juga terdapat simbol lingkaran dengan tiga duri di setiap sudutnya. Lingkaran sendiri merupakan sebuah bentuk yang tidak terputus, satu kesatuan, berkesan dinamis, dan siklus yang berulang. Lingkaran ‘berduri’ dan berwarna merah dan putih, melengkapi Salib yang merupakan wujud Kerahiman Ilahi, Allah Tritunggal Maha Kudus sendiri; merupakan kesatuan langkah hidup dan perjuangan OMK mewujudnyatakan iman Katoliknya di tengah keberagaman hidup berbangsa dan bernegara, serta sebagai bangsa Indonesia, dan dalam bimbingan Roh Allah sendiri menajdi100% Katolik, 100% Indonesia. 

Demikian kisah perjalanan Salib IYD 2016 yang menyambangi Paroki Singkawang sekaligus pemaknaan yang mendalam, melebihi sekadar tampilan fisik dan diharapkan mampu mewakili mengobarkan semangat kehidupan menggereja dan militansi iman kaum muda. (7539)
 

19 Sep 2018

PELANTIKAN PENGURUS RANTING WKRI PAROKI ST FRANSISKUS ASSISI

PELANTIKAN PENGURUS RANTING WKRI PAROKI ST FRANSISKUS ASSISI


Minggu, 16 September 2018. Usai menyampaikan homili, Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFM.Cap selaku pastor paroki didaulat melantik para pengurus ranting Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) yang berada di lingkup Paroki Singkawang.

Terdapat tujuh ranting WKRI yang dilantik pada kesempatan itu. Ketujuh ranting tersebut meliputi Ranting St Thomas, Ranting Klement, Ranting St Fransiskus Assisi, Ranting St Paulus Sijangkung, Ranting Pangmilang, dan Ranting St Petrus Roban. Pada kesempatan itu prosesi dibuka dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, disusul dengan pembacaan Surat Keputusan (SK) Pengangkatan, pelantikan, pengucapan ikrar pengurus yang dipimpin oleh Ketua Cabang WKRI Paroki Singkawang yakni Ibu Helaria Helena, A.Ma., penandatanganan berita acara oleh pastor paroki, ketua cabang WKRI, ketua dan wakil ketua ranting, dan ditutup dengan pemberkatan oleh pastor paroki.

Usai acara pelantikan digelar, rangkaian acara dilanjutkan dengan ramah tamah yang dilakukan di Gedung Dewan Pastoral Paroki. Hadir pula ketua WKRI area Singkawang, Bengkayang, Sambas yakni Ibu Dahlia yang didapuk menyampaikan sosialisasi pembekalan berorganisasi. (Nath)

















3 Sep 2015

INDAHNYA BERBAGI KEBAIKAN

INDAHNYA BERBAGI KEBAIKAN





Singkawang, 16 agustus 2015. Dalam rangka menyambut Hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-70, OMK Santo Fransiskus Asisi Singkawang bekerja sama dengan WK (Wanita Katolik) yang dibantu anggota PMI mengadakan Galang donor darah. Selain bertujuan untuk memperingati HUT Repoblik Indonesia yang ke-70 kegiatan ini juga merupakan wujud kepedulian OMK akan pentingnya berbagi dalam kebaikan. Dengan diselengarakannya kegiatan semacam ini merupakan bentuk kepedulian umat, dalam hal berbagi untuk meringankan beban orang lain karena dengan setetes darah yang disumbangkan adalah bentuk ambil bagian dalam karya penyelamatan Allah bagi saudara kita yang membutuhkan bantuan darah, seperti Yesus meneteskan darah di kayu salib untuk menyelamatkan kita umat manusia.  

Di edisi ini OMK mengangkat tema SETETES DARAHMU MENYELAMATKAN NYAWAKU. Kegiatan ini disambut baik serta mendapat respon positif oleh umat Khatolik. Hal ini dapat dilihat dari semangat dan antusiasme umat untuk mendonorkan darahnya usai perayaan misa ke-2 minggu lalu. Serentak usai perayan misa umat berbondong-bondong menuju posko donor darah, yang bertempat di Gedung Paroki Gereja Santo Fransiskus Assisi Singkawang. 

Canda dan kegembiraan tidak terlewatkan mewarnai kegiatan aksi donor darah kali ini, yang dapat dilihat dari ekspresi gembira yang terpancar melalui mimik wajah pendonor karna niat baik ini memang keluar dari dalam hati mereka masing-masing untuk menyumbangkan darah mereka secara suka rela. Keseruan lainnya juga dapat dilihat dari ramainya antrian pendaftar hingga antrian cek kesehatan yang merupakan sebagai persyaratan sebelum mendonorkan darah. Dengan melakukan pemeriksaan tensi sebelum donor, kita bisa mengetahui kondisi kesehatan sehingga kita bisa menjaga kesehatan secara lebih baik. Adapun manfaat dari donor darah itu sendiri ialah selain menjaga kesehatan jantung, dapat juga untuk meningkatkan produksi sel darah merah dan dapat menurunkan berat tubuh serta mendapatkan kesehatan pisikologi. 

Kegiatan ini merupakan wujud keiklasan dan kepedulian umat untuk saling membantu satu sama lain. Ini merupakan kali kedua OMK Santo Fransiskus Assisi mengadakan kegiatan galang donor darah, namun tidak kalah seru dengan pelaksanaan yang pertama karna dapat dibuktikan dari semangat dan antusiasme umat untuk mendonorkan darahnya. Berikut persyaratan agar seorang dapat mendonorkan darahnya: usia dari 17 sampai 60 tahun, berat badan minimal 45 kilogram, temperatur tubuh 36,6-37,5 derajat Celsius, tekanan darah sistole berkisar 70-100 mm Hg, Hb minimal 12,5 gram, tidak sedang hamil, menyusui, haid, mengidap penyakit hepatitis B&C, HIV AIDS, Sifilis, jumlah penyumbangan darah sekurang-kurangnya 3 bulan kemudian setelah donor. 

Kegiatan semacam ini merupakan agenda tahunan sejak tahun lalu, yang digelar di gedung paroki Santo Fransiskus Assisi Singkawang. Harapan ke depan agar kegiatan ini dapat berjalan maju serta bekerjasama dengan dukungan dari umat yang mau berbagi dalam hal kebaikan. Ujar salah satu panitia pelaksana ketika kami temui di tempat. (Adrian)

6 Jan 2019

PELANTIKAN PENGURUS WKRI RANTING SANTA ELISABETH DAN SANTO LEO AGUNG SINGKAWANG

Singkawang, Minggu 6 Januari 2019.
Telah dilaksanalan pelantikan pengurus WKRI ranting St Elisabeth dan St Leo Agung. Pelantikan yang dilaksanakan di sela misa ke dua di Gereja St Fransiskus Assisi ini diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Usai lagu kebangsaan berkumandang prosesi pelantikan dilakukan dengan pembacaan SK pengangkatan, dilanjutkan dengan pembacaan ikrar yang dipandu oleh Ketua WKRI Paroki Singkawang, Ibu Helaria Helena, A.Ma. Setelah ikrar diicapkan, acara dilanjutkan dengan penandatanganan SK dan  pemberkatan yang dilakukan oleh Pastor Paroki Singkawang, Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFM.Cap. Sebagai penutup dinyanyikan Mars Wanita Katolik Republik Indonesia. (Hes)

25 Okt 2015

AGAMA PEMBAWA KEDAMAIAN DAN KECERDASAN BUKAN TEROR

AGAMA PEMBAWA KEDAMAIAN DAN KECERDASAN BUKAN TEROR


Singkawang, 21 September 2015 bertempat di Hotel Dangau Singkawang,  tepatnya pukul 08.00-17.00 Wib, sejumlah  215 tokoh lintas agama dan etnis  mengikuti dialog  tokoh agama  dan pendidikan dengan tema Agama Pembawa Kedamaian dan Kecerdasan Bukan Teror. Peserta yang hadir berasal dari beberapa kabupaten di wilayah utara Kalimantan Barat, yakni Mempawah, Sambas,  Bengkayang dan Kota Singkawang.

Koordinator kegiatan dialog lintas agama, Pendeta Daniel Alpius menyatakan bahwa tujuan kegiatan dialog ini sebagai upaya dari masing-masing tokoh agama yang ada di wilayah utara Kalbar agar bersama-sama menciptakan situasi kondusif dari ancaman luar yang bisa memecahkan persaudaraan di antara kita. Salah satunya adalah ideologi yang bisa merusak tatanan batin terdalam umat manusia, yaitu iman yang bisa menghancurkan orang lain dan diri sendiri. 

Selama sehari pemaparan materi dari berbagai narasumber sangat membantu peserta untuk bisa membuka diri dalam berdialog dengan penuh persaudaraan. Adapun tokoh-tokoh yang menjadi pemateri adalah  Drs. M.H. Herwan Chairil  sebagai keynote speaker dengan judul Kebijakan  dan Strategi Pemerintah dalam Penanggulangan Terorisme. Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ini membeberkan kepada peserta tentang kejadian-kejadian yang sudah terjadi di Indonesia, antaranya bom Bali, Poso dan Hotel JW Marriot Jakarta. Brigadir Jendral yang lama bertugas di Sintang ini menghimbau kepada peserta bahwa sekembali dari workshop ini kita dapat menjadi agen perubahan untuk umat dan peserta didik kita supaya ‘otak’ mereka tidak dicuci oleh orang-orang yang menghancurkan sendi-sendi persaudaraan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. “Bila ada pendatang yang dirasa curiga bisa saja dilaporkan ke Pak RT atau Polisi,” tegas orang nomor satu di BNPT ini dengan mantap.



Selain itu peserta dialog diajak oleh Dr.Ir Kristianus, M.Si agar kita bersama berupaya mencegah paham radikalisme dengan Kearifan Lokal. Menurut dosen Sosiologi UNTAN ini bahwa kita coba menarik diri untuk bisa menggunakan dan mengakrabkan diri dengan istilah Imagine Communities, yaitu dialog kita didasarkan pada perspektif instrumentalisme dan kolonialisme internal dan tidak menggunakan perspektif standar seperti primodialisme, etno-simbolis dan konstruksi sosial. Mendukung pernyataan tersebut dalam layar LCD narasumber menampilkan secara detail peta Kalimantan Barat. Kristianus lagi-lagi mengajak untuk meninjau  soal pemetaan kawasan perbatasan Kalbar-Serawak. Dikatakannya bahwa kita secara bersama-sama dari setiap agama yang hadir untuk perlu memahami rencana  perkebunan sawit di perbatasan sebagai sebuah rencana masa depan atau penghancuran kearifan lokal  Kalimantan secara sismatis, karena ini sangat rawan memunculkan konflik sosial baik secara horizontal maupun vertikal. Di sinilah kita sama-sama menjaga bumi pertiwi dari kekuasaan dan penjajahan pengusaha yang haus akan kekayaan alam di Kalbar.

Pada segmen tanya jawab hampir dari setiap tokoh agama puas dengan dialog tersebut. “Melalui dialog ini bukan hanya pembahasan mengenai persoalan pemahaman sejarah agama masimg-masing  supaya diterima oleh orang lain saja namun bagaimana kita saling menghargai  dan menghormati keyakinan satu sama lain  sehingga menjadi kekayaan bagi kita semua sebagai anak-anak bangsa yang yang hidup dalam bingkai pluralisme dan multikuturalisme”, demikian ungkapan dari salah satu tokoh utusan dari agama Katolik yang tidak mau disebut namanya. Hal ini didukung juga pernyataan dari bebebapa tokoh muslim bahwa pandangan teroris selama ini jangan dikaitkan dengan agama sebab itu merupakan ranah privasi seseorang untuk melakukan apa saja yang ada di dalam otaknya. Semua agama mengajarkan kedamaian dan kebaikan. Tidak ada agama yang mengajar saling membenci hingga menghilangkan harkat martabat sebagai manusia. Komentar salah satu tokoh  muslim yang cukup humanis dalam penyampaian pernyataan saat itu. 

Untuk menyimpulkan dialog ini disuguhkan teaterikal singkat dari budayawan Pontianak dengan judul Kita Berbeda Agama Tetapi Tetap Bersaudara. Akhirnya semoga melalui dialog ini, apapun agama kita,  supaya agama tidak hanya menjadi sejarah dan pengetahuan yang ditampilkan dalam realita kehidupan , namun bagaimana agama itu diwujudnyatakan untuk bisa hidup berdampingan satu sama lain. Yang terpenting bukan dialog teologis semata, tetapi dialog karya dan kehidupan untuk sama-sama membangun Kalbar menjadi maju dan sejahtera. Akhirnya kita bersaudara musafir menuju tanah terjanji yakni surgawi yang sama-sama kita gambarkan sebagai tujuan akhir dari hidup  kita di muka bumi ini. (Bruf)

7 Jul 2015

OSCCap Of Historis

OSCCap Of Historis


Para Rubiah Klaris-Kapusines Ordo Santae Clarae Cappuccinarum sering disebut Ordo Santa Klara Kapusines (OSCCap) merupakan  Ordo yang didirikan oleh Santa Klara yang berpusat di Kota Assisi. Di tanah Borneo mereka tinggal di Jl. Diponegoro  Singkawang, Sarikan Toho dan Bajabang Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Wejangan Santa Klara  sangat mengguggah hati para pengikutnya: “Saudariku…, Berlarilah dengan gesit dan… kaki-kaki tidak terantuk menuju Dia”, merupakan obor penyuluh Ilahi bagi anggotanya untuk berjuang merebut mahkota kesucian Ilahi dalam istana keheningan dan kebeningan jiwa bersama-Nya setiap saat.

Jika ditanya untuk apa mereka jauh-jauh dari Belanda menebar Inijil di tanah Borneo? Pastinya mereka bukan untuk menjadi kaya bukan untuk menjadi terkenal melainkan untuk mempersembahkan hidup sebagai pujian dan doa bagi gereja dan seluruh dunia. Seluruh hidup mereka setiap hari bersama Tuhan dengan doa, ibadat harian, devosi, meditasi, kontemplasi ekaristi serta kegiatan rohani lainnya yang sangat membantu umat Allah yang sedang berziarah di muka bumi ini. Jadi mereka berdoa bukan hanya untuk dirinya tetapi juga bagi seluruh umat Allah di dunia. Dan untuk membiaya hidupnya merupakan hasil dari karya tangannya sendiri.

Kita sedikit membidik sang pendiri ordo, dan pastinya akan terpesona dengan bidata profilnya. Klara itulah namanya. Seorang gadis cantik, putri bangsawan Favarone di Offreducio yang hidup sejak (1193-1253). Ia menyebut dirinya: ‘Tanaman kecil St. Fransiskus, si Miskin dari Assisi.’ Ia mengikuti Jejak Yesus Kristus yang miskin dan tersalib. Miskin seperti Kristus itulah cita-cita yang dihayati oleh Klara dalam keheningan dan doa di Biara San Damiano Kota  Assisi.

Lalu jika ditanya apa hubungannya dengan Kapusin? Dalam perjalanan selanjutnya, tiga abad kemudian seorang janda kaya dari Napoli yang bernama Maria Lurentia Longo memperbaharui kembali cita-cita Klara dalam semangat pembaharuan para Kapusin. Maka kelompoknya disebut Kapusines. Saat ini mereka taat dibawah pimpinan Provinsial  Pastor Kapusin Keuskupan Pontianak khususnya yang berkarya di Kalimantan Barat. 

Kapan mereka masuk ke Singkawang? Lima abad kemudian, tepatnya tanggal 22 Oktober 1937, sembilan suster muda yang penuh semangat datang dari Belanda untuk meneruskan cita-cita Klara di tanah Borneo atau sekarang dikenal sebagai Kalimantan. Kini sudah lebih dari 70 tahun, cita-cita Santa Klara telah diikuti oleh gadis-gadis yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Lalu apa yang khas dalam cara hidup mereka? Jawabannya adalah:  “Keheningan dan ketersembunyian dijunjung tinggi. Sarana ampuh untuk mencapai persatuan dengan Tuhan dalam doa”. Mereka menghayati dan melakukan cara, hidup seperti  Bunda Maria, Hidup Yesus cermin menjadi cerminan cara hidupnya, Merayakan Ekaristi dan menyambut Tuhan dalam hati. Selain itu ‘berdoa’ yaitu: dalam semangat doa dan kasih Tuhan Yesus Kristus,  bekerja dalam kesetiakawanan dengan yang miskin dan menderita. Semuanya mereka persembahkan kepada Tuhan. Dan akhirnya menghayati dan mewujudnyatakan ‘Persaudaraan yang riang’ dalam hidup bersama tiap hari. Mungkin kamu seorang pemudi satu-satunya mengetuk hati dan  ingin bergabung dengan mereka? Datanglah, mereka sudah menunggu kalian tapi jangan lupa persyaratannya:

·    Beragama Katolik sekurang-kurangnya tiga tahun telah dibaptis)
·    Sehat jasmani dan rohani
·    Pendidikan sekurang-kurangnya SMP
·    Umur minimal 21 tahun
·    Motivasi jelas
·    Persetujuan orang tua
·    Keterangan dari Pastor Paroki

Biara mereka  satu atap dengan Gereja Paroki St. Fransiskus Assisi Singkawang. Sebagai simbol dan tanda nyata, dari kesatuan  yang tak dapat dipisahkan dengan Bunda Gereja yang kudus. Di dalam rumah ini para suster Klaris Kapusines, mempersembahkan hidupnya untuk menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan. Dari rumah/biara inilah mereka menggemakan kidung pujian, doa dan jeritan hati banyak orang yang sedang berjuang di dunia ini, karena mereka adalah suara, suara seluruh gereja dan umat manusia.

Bila ingin  bergabung, memohon doa dan ingin menjadi suster Klaris, datanglah ke rumah mereka dengan alamat: BIARA PROVINDENTIA Jl. Diponegoro No.1, Singkawang 79123 Kalimantan Barat Tel.0562-632753
E-mail: providential@telkom.net <mailto:providential@telkom.net>. (bruf)

30 Nov 2016

Menepi, Mengawal Para Hati Pragembala Gerejawi

Menepi, Mengawal Para Hati Pragembala Gerejawi

 “kau akan berhasil dalam setiap pelajaran, dan kau harus percaya akan berhasil, dan berhasillah kau; anggap semua pelajaran mudah, dan semua akan jadi mudah; jangan takut pada pelajaran apapun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan semua.” ― Bumi Manusia: Pramoedya Ananta Toer.


Kutipan tulisan Pramoedya Ananta Toer di atas pantas dilekatkan pada pribadi yang kali ini profilnya dikupas dalam Rubrik Sosok. Pribadi yang mau dan tidak takut belajar hal-hal baru, malah memiliki kecenderungan merasa tertantang manakala dihadapkan pada berbagai hal baru yang bisa dikata di luar ranah minatnya.  

Gabriel Marcel, OFM. Cap., atau lebih akrab disapa Pastor Gebi. Saya mendengar namanya sudah hampir setahun yang lalu dalam perbincangan dengan seorang sahabat yang memang dekat dengan kehidupan biara di Novisiat Kapusin St Padre Pio, Poteng. Persis beberapa hari setelah beliau menggantikan Magister Novisiat Kapusin Poteng sebelumnya yang dijabat oleh Pastor Cahyo, OFM. Cap. Kala mendengar namanya untuk pertama kali, seketika muncul keinginan suatu waktu akan menjumpai beliau di tengah area ‘pertapaannya’, nun di kaki gunung yang menjadi salah satu ikon kota Singkawang.

Selasa, 25 Oktober pukul 14.47 Wib. Saya memacu kendaraan ke arah timur kota Amoy. Kala itu cuaca cerah membantu perjalanan saya dengan ingatan yang setengah meraba-raba menuju novisiat yang berdiri sejak 2001. Maklumlah, ini baru kali kedua bagi saya yang cukup pelupa kala mengunjungi  Padre Pio sejak pertama kalinya. Digital di pergelangan kiri  menunjukkan angka 15.17 Wib kala saya memarkir kuda besi yang saya tunggangi dan dengan segera ritual penyambutan sederhana terdengar dari gonggongan makhluk-makhluk menggemaskan lengkap dengan kibasan ekornya. Seekor di antaranya memberanikan diri mendekati dan mengendus kaki saya. Manakala saya gendong si kecil yang menggemaskan itu, seorang calon biarawan muda keluar dari kapel menjumpai saya dan mengatakan, “Sebentar ya, Kak, kami belum selesai ibadah,” segera saya menjawab dengan senyum dan anggukan.

Kira-kira berselang belasan menit kemudian, suara ramai saya dapati dari arah kapel. Ibadah telah usai. Hampir saja bubar rombongan biarawan dan calon biarawan itu jika tidak setengah saya paksa untuk berpose bersama lengkap dengan jubah coklat khas para saudara Kapusin. Kala itu saya sempat sedikit dikerjai oleh objek yang sebenarnya saya sasar untuk diwawancara. Saya diarahkan ke Pastor Felix yang diperkenalkannya sebagai Pastor Gebi. Saya sempat mengalami kebingungan karena memang belum mengenal sosok yang akan saya wawancara. Tak tega melihat kebingungan saya berlarut, akhirnya sembari menderaikan tawa ia mengaku, bahwa ia-lah pastor yang akan saya wawancarai. Ya, kesan pertama terhadap beliau ternyata beliau sosok yang menyenangkan, iseng, dan cukup jenaka. 

Usai mengabadikan gambar mereka, kami berjalan menuju ruang makan di sebelah dapur. Saya digiring untuk merasakan atmosfer layaknya di rumah sendiri. Tenang dan nyaman. Duduk berhadap-hadapan di antara susunan dua meja cukup besar untuk sebuah perjamuan dengan sepuluh kursi kayu berpolitur, saya memulai wawancara ringan dengannya yang saat itu masih masyuk mengaduk kopi. 

Tidak sulit beradaptasi dengan Saudara Kapusin yang terlahir sebagai anak ketiga dari pasangan almarhum Bapak Ignatius Naong dan almarhumah Ibu Yulia Simoh. Pribadinya cukup terbuka, pilihan kata yang dikenakan saat berkomunikasi menandakan tingkat intelektualitasnya di atas rata-rata. Satu hal yang juga berkesan dari sosok biarawan berkacamata ini adalah sikapnya yang dinamis. Hal ini terekam jelas dalam ingatan saya ketika dengan tatapan mata yang tegas dan nada bicara yang antusias ia menyoal kukuhnya keinginan menjadi penerima Sakramen Imamat meski sang ayah yang kini telah berpulang ke hadirat Bapa awalnya sempat tak merestui niatnya. Kala itu, ayah yang merupakan pengawas sekolah dan pemilik usaha sampingan di bidang perdagangan menginginkan sosok Gebi remaja untuk meneruskan usahanya. Namun kiranya sedari belia, panggilan untuk menjadi laskar Tuhan lebih dahulu terdengar dan terlanjur memenuhi relung hatinya terdalam. Pada suatu masa, di mana Gebi remaja mengikuti sebuah retret rohani yang di dalamnya terdapat sesi pengenalan dan arah diri. Ia melukiskan keinginan dan cita-cita dalam sebuah gambaran diri tentang sosok orang desa yang berguna bagi sesama. Bagai searah bertukar jalan, sang pembimbing lantas menerjemahkan cita-citanya sebagai suatu keinginan menjadi seorang biarawan.
Sejak saat itu, semakin jelas arah dan tujuan Gebi dalam melangkah mewujudkan angan. Restu ibu menjadi penguat paling jitu saat langkahnya terganjal ragu. Ya, sosok almarhumah ibunya lebih moderat kala memerdekakan pilihan cita-cita sang buah cinta.

Kala menyoal suka-duka menanggapi panggilan awal sebagai imamat, saya sempat menangkap perubahan spontan di wajahnya. Sudut matanya memincing, pandangannya mengembara ke luar ruang bersekat pintu besi tempat kami berbicara. Ia seolah berupaya menggapai sesuatu dari masa lalu. Ia mengungkap dalam masa pendidikan sebagai imam, satu-satunya hal yang dirasa berat adalah ketika harus meninggalkan keluarga. Pada saat itu ketika masih frater, ayahanda berpulang ke rumah Bapa sementara ibu hanya tinggal dengan adik yang belum beranjak dewasa. Sebagai anak lelaki dalam keluarga keadaan itu memanggil nuraninya untuk pulang, bertanggung jawab atas kehidupan ibu dan adik yang sangat dicintainya. Namun karena niat menjadi imam merupakan kebulatan tekad, jalan yang disediakan Tuhan selalu lebih indah dibanding segala kesulitan yang dianggap manusia sebagai belukar penuh duri penghalang.    

Terhitung sejak 25 November 2015, hampir setahun menjadi formator di Novisiat Padre Pio, penyuka berbagai bacaan ini mengungkap tak menemukan hambatan berarti kala meneruskan tugas magister novisiat sebelumnya. Kehadirannya untuk meneruskan karya pendahulunya adalah sebuah tugas yang diterima di tengah masa pendidikan di Roma. Pendidikan yang sedianya ditempuh selama tiga tahun secara otomatis berhenti sejenak karena ia harus lebih mengutamakan panggilan kegembalaan yang kini dipercayakan di pundaknya. Di sela kilas balik masa pendidikan di Roma, ia sempat menuturkan bahwa ketika menuntut ilmu di negeri Menara Pisa satu-satunya kendala yang cukup menyita adalah bahasa. Hanya dalam kurun waktu tiga bulan ia dituntut untuk mampu beradaptasi dalam hal komunikasi. Tentu bukan perkara ringan dan menyenangkan, namun berkat kegigihan kendala tersebut mampu ia taklukkan.  

Kepulangannya ke Indonesia praktis memutus interaksi intens dengan orang dari berbagai negara maupun semarak kehidupan civitas akademika yang sebelumnya mewarnai hari-harinya. Tak tanggung-tanggung, penempatan tugas kegembalaan mengutusnya menepi, mengawal para hati pragembala gerejawi. Letak rumah novisiat di pinggir kota, di kaki gunung menggugah keingintahuan saya tentang bagaimana ia harus beradaptasi dari dunia yang awalnya gempita lantas jalin-menjalin rasa dengan heningnya suasana biara. “Kesepian adalah bagian dari hidup yang tidak bisa dihindari namun bisa kita kelola. Saya bukan orang yang anti sosial, tapi jika dihadapkan pada situasi sepi saya mampu mengatasinya,” ujar pria yang awalnya bercita-cita menjadi tentara ini.

Dalam tugas sebagai formator  para novis Kapusin hampir setahun belakangan, pastor yang terlahir di bumi Semayang pada 28 Mei 1979 silam ini banyak menjumpai hal yang mampu semakin menghidupkan jiwanya. Di lingkup Padre Pio di bawah asuhannya pola belajar tak hanya berjalan searah namun lebih pada interaksi baik oleh sang magister kepada novis maupun sebaliknya. “Jika dipersenkan kira-kira 95 persen bahagianya. Dapat berinteraksi dengan orang muda, mereka selalu hidup semangatnya. Saya banyak belajar dari mereka. Mereka punya banyak kemampuan yang tidak saya punya. Berbagai bakat dan intelektualitas mereka sudah baik, jika dibentuk lagi akan jauh lebih baik. Mereka bisa jauh lebih hebat. Sebaliknya kita pun bisa berbagi ilmu yang kita tahu,” paparnya. 

Bicara mengenai perannya sebagai formator, ada kiat khusus kala ia menghadapi para novis di bawah asuhannya. Penekananan kebersamaan sakit sama mengaduh, luka sama mengeluh, seiya sekata dalam rupa-rupa suasana suka maupun duka terasa begitu kental di Novisiat Padre Pio ini. “Menganggap diri sebagai saudara, tempat berbagi dan belajar bersama,” Mereka (para novis) pun sudah tahu tujuan utama mereka ada di tempat ini,” jelasnya. Ia juga tak sungkan untuk selalu melibatkan rekan-rekan sesama Saudara Kapusin sebagai tempat beradu tanya berkeluh rasa ketika harus dihadapkan pada kondisi sulit yang kadang menghampiri. “Belajar selalu belajar, mau belajar. Di mana kita tidak tahu, kita bertanya. Di mana kita tidak mampu, katakan tidak mampu. Segala sesuatu belajar. Setiap Saudara Kapusin adalah formator bagi yang lain,” ungkapnya. 

Setengah merendah ia berujar bahwa tugasnya saat menghadapi para calon gembala adalah hal yang tak lebih berat karena sebagian novis, para calon biarawan ini sudah melewati masa seminari, tahun orientasi panggilan, atau postulat. “Jadi saya tinggal menerima dari proses sebelumnya. Tugas saya cukup ringan menghadapi mereka yang sudah terarah. Hanya kadang terasa sedikit berat pada tanggung jawab moral mengingat mereka akan menjadi penerus. Di situ terkadang saya merasa tidak layak sebagai formator. Tapi pembentuk utama adalah yang di atas. Mereka datang kita hanya mengingatkan. Setiap orang unik. Biar orang berkembang dengan keunikannya,” imbuhnya. Kesungguhannya menjalankan tugas yang diletakkan di pundaknya semakin dikuatkan manakala ia berujar, “Jika kita sudah ditempatkan di suatu tempat buatlah segala sesuatu dengan sepenuh kemampuan kita, mengabdikan diri secara total. Kita tidak tahu ke depan, hanya tahu hari ini. Yang bisa dikerjakan hari ini kerjakanlah, esok kita tidak tahu.”  

Melirik sisi lain dari pria pehobi olahraga sepakbola ini, ternyata ia menaruh minat yang begitu besar pada literasi dan dunia jurnalistik. Ketertarikan terhadap literasi dan jurnalistik sempat memacu produktivitasnya. Di tempat bertugas sebelumnya ia mengasuh dan membidani lahirnya buletin pewartaan. Namun saat langkah kaki mengharuskannya menggurat karya di tempat berbeda, buletin yang digagasnya lekang tanpa ada yang meneruskan. Sungguh suatu keadaan yang sangat disayangkan. 

Sampai pada menit ke-32 wawancara kala saya mencecar mengenai keinginannya yang selama ini belum tercapai, dan dengan nada bicara khas ia menyatakan impian untuk melanjutkan pendidikan yang sempat tertunda saat harus kembali ke Indonesia. Uniknya selain ingin melanjutkan pendidikan sebagai formator, ia juga menyatakan ketertarikan untuk mendalami filsafat atau ilmu kajian budaya. Namun dengan cepat diimbuhnya dengan pernyataan yang sangat bijak, “Tapi segala sesuatu sekarang bisa dikatakan bukan lagi kehendak pribadi, dalam artian kehendak diri yang dimodifikasi menjadi kehendak ordo. Meskipun menurut teori Abraham Maslow (psikolog asal Amerika.red) kebahagiaan itu hadir ketika bisa mengaktualisasi diri, tapi semua kembali pada kebutuhan ordo,” ungkapnya. 

Disoal mengenai sosok yang menginspirasi jejak langkah imamatnya, dengan sigap ia menuturkan pendiri ordo adalah sosok yang memberikan pengaruh begitu kuat, sementara guru utama dan guru spiritual baginya tidak lain adalah Yesus. Pribadi yang Illahi namun sangat manusiawi. Ia lantas menjabarkan lebih lanjut, “Yesus mau seperti kita. Berinteraksi dengan sesama. Yesus bukan Tuhan yang di awang-awang, Ia Tuhan yang ada bersama kita, kita tidak dibiarkan berjalan sendiri, hal itu yang menjadi teladan, membuat semakin teguh dalam iman. Hal itu sangat memengaruhi untuk dapat menerima dan menjalankan tugas-tugas. Sabdanya menguatkan. Ini sejalan dengan moto saat saya ditahbiskan, saya mengutip Injil Yohanes 6: 68, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal.” 

Akhirnya, selamat bertugas, Pastor. Selamat berjuang menjadi bala tentara Bapa yang siap mengawal para hati pragembala gerejawi. (Hes)  

Pendidikan dan Kegembalaan
SDN 1 Semayang (1986 - 1992)
SMPN 1 Kembayan (1992 - 1995)
SMU Katolik Yohanes don Bosco Sanggau Kapuas (1995 - 1998)
Tahun Orientasi Panggilan/Topang, Nyarumkop (1998 - 1999)
Postulat Santo Leopold,  Bunut  Sanggau (1999 - 2000)
Novisiat St Fidelis Parapat, Sumatera Utara (2000 - 2001)
STFT St Yohanes, Pematang Siantar (2001 - 2005)
Tahun Orientasi Pastoral/TOP, Paroki St Maria, Jangkang, Sanggau (2006 - 2007)
STT Pastor Bonus (2007 - 2009)    
Kaul Kekal (2009)
Masa diakonat (2009 - 2010)
Tahbisan Imam (11 Februari 2010)
Pastor rekan di Paroki Sambas (2010 - 2011)
Kalimantan Tengah (2011 - 2012)
Melanjutkan studi di Roma (2013 - 2015)
Novisiat Poteng (25 November 2015 - sekarang)  


3 Mar 2017

Menguji Kelestarian Panggilan dan Kesetiaan Pilihan dalam Pengalaman Hidup

Menguji Kelestarian Panggilan dan Kesetiaan Pilihan dalam Pengalaman Hidup


 “Bukan semudah membalikkan telapak tangan untuk setia pada satu pilihan, pilihan yang berlaku seumur hidup, sepenuh usia, sepanjang hayat. Sama seperti orang awam, kaum rohaniawan juga mengalami hal serupa. Jika jejak langkah awam dihadapkan pada jibaku persoalan hidup yang seolah tidak pernah surut, pun demikian halnya dengan mereka yang hidup di balik tembok biara. Masing-masing dengan perannya, masing-masing dengan tantangan hidupnya, masing-masing dengan persoalan yang membelit kesehariannya.” 

Mendung masih bergelayut enggan pupus meski langit sesiang tadi sempat memuntahkan hujan seperti tembikar sarat akan air yang pecah di udara manakala saya memacu kendaraan ke arah jantung kota. Hari itu hari Sabtu, dan saat itu tujuan saya satu, segera berada di sebuah biara yang bersebelahan dengan gereja, Biara Providentia. Kamis sebelumnya saya membuat janji dengan salah satu penghuninya. Melalui piranti komunikasi temu janji disambut suara ringan nan gembira yang siap menyambut kehadiran saya untuk melakukan wawancara. Suara yang terdengar semanis paras pemiliknya adalah suara Suster M. Laetitia, OSCCap. Maka Sabtu, kira-kira dua jam menjelang senja, rinai gerimis mengantarkan langkah saya menjumpainya. 

Kedatangan saya disambut senyumnya yang jernih seperti yang biasa tergambar pada jiwa yang menyerahkan sepenuhnya kesulitan dunia pada penciptanya dan selalu bersyukur pada setiap keriaan sekecil apapun bentuknya. Jabat erat saya dapat disertai kecup dan pelukan hangat. Kami berhadap-hadapan pada sebuah ruangan berukuran 3 x 4, dihalangi meja lengkap dengan minuman dan kudapan. Sepanjang wawancara senyum dalam binar mata ramah bersahaja membingkai di wajahnya. Ia begitu antusias ketika saya mulai menyoal ketertarikannya menanggapi panggilan hidup membiara. Segalanya berawal dari dalam keluarga. Tepat kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Putri kedelapan dari dua belas bersaudara pasangan bapak Paulus Hendrikus Pawe dan ibu Katarina Irmina Meo ini memang berlatar ayah dan ibu yang merupakan mantan calon biarawan dan biarawati. Keinginan kedua orang tuanya di masa muda untuk menapaki hidup membiara terkendala karena jauh sebelum keduanya bersua, ternyata pihak keluarga telah seiya sekata menjodohkan keduanya hingga mereka menyatu dalam biduk rumah tangga. Namun bagai gayung bersambut oleh buah hati mereka, Laetitia muda menjadi penawar dahaga cita-cita yang tertunda. 

Laetitia tumbuh di lingkungan Katolik yang taat. Berlatar kedua orang tua yang paham benar tentang agama, segala ritual pujian bagi yang maha juga rapalan untaian doa merupakan menu wajib dilakukan dalam keluarga dan bukan hal yang sama sekali baru baginya hingga tak lagi mengejutkan ketika ia mulai menapaki kehidupan membiara. Rumah masa kecilnya pun menjadi saksi bisu perjalanan kegembalaan biarawati dan biarawan maupun para frater, calon balatentara Tuhan yang menggelar kegiatan pelayanan keagamaan. Tidak berhenti sampai di situ, keterbiasaan menyaksikan pemandangan yang berkait erat dengan pelayanan, ketika kecil, ia bersama teman acapkali bermain peran menjadi kaum rohaniawan, membagi hosti yang adalah roti dalam sebuah permainan perayaan Ekaristi.   

Sebelum menjalani hidup di biara, Suster Laetitia yang dulunya bernama Yosefina Basildis ini sempat menjalani pendidikan sebagai perawat kesehatan di sebuah SPK nun di gugusan Flobamora (Flores, Sumba, Timor, dan Alor). Seolah tumbuh menjadi mawar gurun yang mekar, kala itu tidak sedikit pemuda yang hatinya sanggup dibuatnya tergetar. Bukan hanya satu atau dua pemuda belaka, namun lebih dari hitungan jumlah jari pada kedua telapak tangan telah tercatat mencoba merebut hatinya dengan segala cara. Dari cara yang halus hingga yang ketus, dari yang terselubung hingga yang nyata-nyata mengajak pemuda lain tarung. Dengan rendah hati, ia menanggapi segalanya dengan tetap merangkul semua menjadi sanak saudara untuk tetap saling menjaga dalam doa. Baginya segala cinta dari lawan jenis yang silih berganti menghampiri tak ayal merupakan perpanjangan tangan Tuhan untuk menyentuh dan menyadarkannya bahwa tiada kasih yang lebih besar dari kasih Juru Selamatnya. “Semua hadir untuk menguji kelestarian panggilan dan kesetiaan pilihan dalam pengalaman hidup, kalau tidak ada tantangan, kita tidak bisa tahu bahwa panggilan ini benar-benar berharga. Panggilanku ini adalah pilihanku dan inilah yang dikehendaki Tuhan,” begitu ia berujar. Mungkin benar, untuk mengetahui kadar ketebalan iman seseorang, terkadang memang diperlukan ujian. Iseng saya bertanya untuk sekadar mengetahui siapa saja yang hadir  menawarkan hati pada suster yang sangat senang bersahabat ini, namun begitu rapat ia merahasiakan semua nama yang masih mencoba mendekatinya meski ia telah hidup dalam lingkup biara. Pernah pada suatu masa, sehari menjelang kaul kekalnya, ia menghadapi godaan yang sungguh luar biasa. Kala itu ada suara lain yang didengarnya yang sempat menggetarkan hatinya. Suara dari seseorang yang hampir saja membuatnya urung mengucap kaul kekal dan berpikir ulang untuk meneruskan panggilan. Ya, suara seorang dari antara kaum adam yang selama ia berada dalam masa pendidikan selalu memberikan perhatian. Pergulatan sungguh menjadi awan hitam yang meliputi batinnya, namun dalam seluruh kekuatan ia menyerahkan sepenuhnya ke tangan Bapa dalam doa. Lelah berdoa ia jatuh tertidur hingga akhirnya pada saat terbangun hal pertama yang dilihatnya adalah salib Kristus. Serta merta dipeluknya tanda penyelamat hidupnya. Seketika hilang rasa ragu, dengan mantap ia menjawab panggilan itu.

Rasanya sungguh padan jika kutipan catatan seorang maestro kesusastraan Indonesia disematkan pada suster yang hobi bernyanyi dan menari ini; “Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya.”* Suster yang pada 31 Maret 2017 mendatang genap berusia 55 tahun ini sungguh lembut namun tegas, begitu halus tetapi kukuh. Pribadinya ibarat menolak tangan berayun kaki, memeluk tubuh mengajar diri. Sungguh, ia disiplin dan hanya sedikit berkompromi untuk hal-hal yang bersifat duniawi. Hedonisme ia tinggalkan, bersetia ia pada panggilan. Hal ini ditunjukkan ketika dengan segala kesempatan untuk berada di tengah-tengah keramaian, hati kecilnya tetap rindu untuk pulang. Biaralah rumahnya, sebagai suster pendoalah panggilan kemanusiaannya. 

Masih berkisar pada pengalaman panggilan yang dialaminya, suster yang ketika belia menjadi primadona remaja ini mengalami suatu kejadian tak terlupakan. Manakala bersama teman-teman seusianya berolah raga, matanya tiba-tiba terpaku pada sosok biarawati yang meski berada di tengah keriuhan tetap setia merapal doa dengan rosario dalam genggamannya. Saat itu tanpa banyak bicara, Laetitia berlari menjauh dari perkumpulan. Masuk kamar ia kembali merenungkan niatnya menanggapi panggilan. Dengan pemandangan sesederhana itu, Tuhan kembali hadir menyentuh inti kalbu. 

Suatu ketika dalam masa pencarian ordo yang benar-benar dirasa pas di hati, ia menemukan jawaban secara tak sengaja. Melalui majalah Hidup yang saat itu memuat profil dan foto Bapa Uskup Mgr Hieronimus Bumbun bersama dua orang suster OSCCap, Laetitia membulatkan tekadnya. Korespondensi dilakukan, harap-harap cemas ia menanti balasan. Tak berapa lama berselang, bagai tak bertepuk sebelah tangan, jawaban memuaskan ia dapatkan. Bapa Uskup menyambut baik keinginannya bahkan menunjukkan cara untuk memuluskan niat sucinya. Suatu kebetulan yang menyenangkan berselang beberapa waktu kemudian dalam urusan pekerjaan  Bapa Uskup mengunjungi provinsi tempat ia berdomisili. Dibantu oleh Bapa Uskup, Laetitia akhirnya sampai ke Biara Providentia yang sangat didambanya. Kesan pertama melihat bangunan biara, ia langsung merasa bahwa inilah tujuan hidupnya, inilah ‘rumah’ baginya.

Sejak awal hidup di biara, ia bersama teman-temannya saling menguatkan dalam doa. Rasa rindu pada orang tua serta sanak keluarga merupakan hal jamak dan tak terhindarkan. Laetitia sempat rapuh ketika di awal masa panggilan ia seolah sengaja diputus kontak oleh kedua orang tua. Seluruh surat yang dikirimnya ke kampung halaman tak jua kunjung ada balasan. Sedih dan merasa dikucilkan, rindu namun semacam terbuang. Ia tak mengetahui alasan di balik sikap kedua orang tua yang tidak pernah membalas surat-suratnya. Sedih tak tertahan, letih hati menahan rindu tidak berkesudahan, ia merasa sendirian, hanya Surat Rasul Paulus kepada umat yang termuat dalam Kitab Suci selalu menjadi hiburan. Pada suatu kesempatan ia menghadap Bapa Uskup Hieronimus Bumbun, mengadukan ihwal yang mengganggu batinnya. Jawaban tak terduga melipurkan laranya. Bapa Uskup menguatkannya hanya dengan kata-kata, “Buat apa bersedih, saya dan yang lain yang hidup dalam panggilan juga sendirian. Tidak sedang bersama orang tua, kita semua sama.” Dengan jawaban sederhana itu Laetitia merasakan kekuatan dan bahwa ia memang tidak sendirian. Hingga tiba pada suatu masa, ia diberi keleluasaan untuk kembali mengunjungi orang tua di kampung halamannya. Saat itu baru ia dapatkan jawaban atas segala yang menjadikannya ragu. Kedua orang tuanya tak ingin masa pendidikannya terusik rindu yang pada akhirnya akan mengganggu.  

Semua yang hidup akan tetap menemukan gairahnya jika ia masih meniupkan asa dalam cita-cita, dalam sebuah keinginan, dan dalam selaksa harapan. Pun demikian halnya dengan Laetitia. Hal yang belum terpenuhi dan menjadi sebuah harapan sepanjang pembaktian hidupnya dalam membiara dituturkannya, “Saya hanya merindukan menjadi seorang pendoa yang sungguh-sungguh menjadi penyalur rahmat bagi banyak orang, bisa menjadi seorang pribadi yang sungguh berguna bagi diri, keluarga, gereja dan dunia. Dan jika saya meninggal saya ingin menjadi kudus, tapi itu rasanya masih jauh dari bisa menjadi kudus,’ ungkapnya yang disusul sipu malu dalam senyumnya yang bersahaja.

4 Oktober 2016, tercatat tepat 25 tahun ia berkarya. Berbagai cobaan dan rintangan silih berganti menghampiri, namun tangan Tuhan kiranya terus bekerja, menjaga ia setia pada panggilan imannya. Selamat berkarya, Suster. Tetaplah menjadi pendoa kami semua. (Hes) 

NB: (*) kutipan tulisan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru: Rumah Kaca.   
Biodata Singkat

Nama: Yosefina Basildis Anu Pawe.
Tempat tanggal lahir: Flores, Bajawa Mataloko, 31 Maret 1962 
Tahun 1977 tamat SD Katolik Toda Belu II.
Tahun 1981 Masuk SMP Kartini Mataloko.
Tahun 1982 pindah ke SMP Immaculata Ruteng Manggarai.
Tahun 1983 masuk ke SPK (Sekolah Pendidikan Kesehatan) di Lela Maumere.
Setelah tamat, bekerja di Rumah Sakit St. Gabriel Kewapante Maumere, sebagai pembantu bidan bersama Sr. Solmaris, S.Sps selama 2 tahun.
Pada tahun 1987 berkenalan dengan biara Providentia melalui majalah Hidup. 
Tanggal 6 Agustus 1988 berangkat ke Singkawang bersama Sr. Emiliana SFIC dan diantar ke biara Providentia oleh Sr. Paulin SFIC.
Tanggal 6 Agustus 1988: masuk sebagai calon (aspiran)
Tanggal 29 September 1988: Masuk Postulan
Tanggal 4 Oktober 1989: Masuk Novis
Tanggal 4 Oktober 1991: mengikrarkan Kaul sementara.
Tahun 1991-1992 tinggal di Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 1993 kembali ke Biara Providentia Singkawang.
Tanggal 4 Oktober 1994: Mengikrarkan kaul kekal meriah.
Tahun 1996 di tugaskan kembali ke Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 1997 kembali ke Singkawang.
Tahun 2003 ditugaskan kembali ke Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 2005 kembali ke Biara Providentia Singkawang sampai saat ini.
Tanggal 4 Oktober 2016, genap 25 tahun hidup kaul membiara.


      


19 Mar 2016

Ia di Antara Biola, Kamera dan Komuni untuk Lansia

Ia di Antara Biola, Kamera dan Komuni untuk Lansia


“Tahun-tahun yang memutih di kepala menandai tinggi batang usia kiranya bukan penghalang baginya yang sering terlihat masyuk dengan kamera. Di umur rambang senja, ia bahkan menjadi daya tarik tersendiri mengingat sosok lain yang seusia umumnya tak lagi menggubris perkembangan teknologi yang setia bergulir di dunia.”



Pastor Marius, OFMCap, gembala yang selalu tampil formal, berkemeja lengan panjang, dimasukkan rapi, bersemat salib kecil di kerah kiri, dan selalu beralas kaki hitam ini bukan sosok asing di lingkungan Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi. Putra kelima dari pasangan bapak Mateus Chen dan ibu Yohana Lay ini begitu tak terganggu manakala ratusan pasang mata memandang aksinya kala mengabadikan berbagai peristiwa yang berlangsung di gereja maupun hal lain yang sanggup menarik perhatiannya. Meskipun bersifat pribadi, betapa aktivitasnya sangat membantu gereja dalam mengabadikan setiap rangka masa. Entah telah menghabiskan berapa giga bahkan tera kapasitas hardisk guna membingkai laman waktu dalam gambar bergerak maupun slide-slide bisu. Tak berhenti sampai di situ, suaranya terdengar begitu ringan menandakan sama sekali tiada berkeberatan ketika hasil bidikan kameranya diunduh orang guna memenuhi berbagai kepentingan. 

Terlahir dengan nama Chen, semenjak kecil ia telah begitu terpesona pada kehidupan membiara. Chen kecil yang menunjukkan ketertarikannya pada kaum berjubah menggiring langkah remajanya menekuni panggilan iman hingga ke Holand. Pada 1947, dua tahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, ia telah melanglang buana ke negeri Belanda. Zaman dulu menempuh pendidikan menjadi imam kesempatannya tidak seluas sekarang. Ia harus berjibaku dengan teologi dan filsafat ilmu hingga ditahbiskan sebagai imam di negeri kembang tulip itu pada 1961. 

Empat belas tahun di benua Eropa, begitu banyak hal dipelajarinya. Selain kian mematangkan pendidikannya menjadi gembala, ia mulai akrab dengan biola. Secara otodidak ia mempelajari cara memainkan alat musik yang tak sekadar menggesek dawai belaka, namun juga mengandalkan kehalusan jiwa untuk mampu sampai ke hati penikmatnya. Kepiawaiannya mengalunkan nada melalui biola bak gayung bersambut manakala ia kembali ke negeri asalnya. Sempat menggembala umat selama setahun di Nyarumkop pada 1962 sebelum akhirnya di tahun  1963 ia kembali berkarya di Katedral, di jantung Khatulistiwa. 

Pada tarikh 1963−1997 penempatan tugas pastoral membuatnya mengabdikan diri di Gembala Baik. Di sinilah ia berkolaborasi dengan ketua Yayasan Persekolahan Gembala Baik yang sepaham dengannya mengenai pembelajaran ekstra bagi siswa. Ia seiya sekata dengan Bapak Yan Fredrik yang menggagas mengenai pembelajaran biola untuk menghaluskan jiwa para peserta didiknya. Dengan telaten dan sabar, ia menularkan kebisaannya memainkan biola pada siswa-siswinya. “Pak Yan mewariskan satu hal tidak diduga, ia mengajar musik terutama biola kepada murid karena ia mau muda-mudi kita tetap peka terhadap sesuatu yang indah. Contohnya jika ada berita orang yang mengalami musibah di sekitar kita dan kita melihatnya sebagai sesuatu yang biasa, hal ini terjadi karena tidak ada kepekaan terhadap yang indah. Mulanya saya tidak mengerti, tetapi akhirnya saya memahami dan sesuatu yang paling indah adalah yang dilakukan oleh Yesus di kayu salib, wafat bagi orang lain. Hal ini dapat terjadi karena jiwa yang peka. Karena sesuatu yang indah dapat memengaruhi kepekaan sikap jiwa. Sehingga dia merasa indah juga bisa menolong orang, malahan bila perlu berkorban untuk orang lain. Saya ambil warisan itu. Saya melanjutkan itu. Biarlah kelihatan atau tidak, berhasil atau tidak, tapi pasti tidak rugi jikalau dari anak-anak itu masih dapat kesempatan untuk mematangkan rasa mereka terhadap keindahan. Karena otomatis akan mempengaruhi mereka punya jiwa,” urainya. Hingga usianya hampir menginjak 87 tahun, ia tetap setia melatih bermain biola. Dan satu hal yang sungguh luar biasa, ia melatih tanpa memungut sepeserpun biaya dari para didikannya. “Saya melanjutkan semua itu bukan sebagai hobi saja, tapi dengan harapan dasar supaya muda mudi kita menyebarkan keindahan yang mereka rasa, yang secara otomatis meningkatkan sikap jiwanya.” 

Hal unik lain dari sosoknya, di tahun 1947 dimana bangsa ini baru mengecap haru biru hawa kemerdekaan bahkan mungkin saja masih latah terhadap perputaran zaman, ia telah selangkah lebih maju. Ia akrab dan paham dengan peralatan media rekam. Sungguh berada di luar duga bahwa ia memang mesra dengan kamera semenjak dulu kala. Di samping itu, ia juga memanfaatkan media sosial untuk berbagi banyak hal yang direkamnya. Bukan tanpa maksud, namun  aktivitas tersebut berkiblat pada manfaat berbagi dan menarik esensi dari berbagai hal baik yang sanggup menginspirasi. “Ya memang hobi, dengan arti, itu adalah media yang bisa menyampaikan sesuatu. Hasil rekamnan saya banyak simpan di Facebook dan Youtube. Dari yang dibagikan di Facebook dapat dibaca juga notes berisi keterangan di bawahnya. Di situ saya banyak menulis hasil-hasil pembicaraan, menjawab pertanyaan orang tentang berbagai hal, tentang perkawinan, tentang hidup, tentang kematian.” Ia tak gagap teknologi, bahkan sukses memanfaatkannya menjadi media untuk menggembala umatnya. 

Usianya memang tak lagi muda, namun ia tampak tak pernah menyerah begitu saja pada deret angka penanda masa hidup manusia. Ia masih selalu bersemangat melakukan berbagai aktivitasnya sendiri. Menyetir, bersepeda, berjalan kemana pun tugas gembala mengharuskan langkahnya berada, semua dijalaninya dengan suatu kesadaran bahwa kemandirian berdampak penuh terhadap kondisi kesehatan. Hingga kini, ia masih melayani, mengantar sendiri komuni suci bagi para lansia, baik di dalam maupun di luar kota. Jumlahnya pun tidak sedikit, terdapat dua putaran dalam hantaran yang totalnya berada di kisaran angka enampuluhan.
  
Meski menyadari sepenuhnya terhadap berbagai hal yang berpengaruh besar pada kesehatan, Pastor Marius bukan insan yang menyangkal kematian. Pernah dalam satu kurun waktu ia bolak-balik melewati jalan yang sama menuju kompleks pekuburan. Aktivitasnya itu disadari oleh seorang umat yang serta merta menanyakan alasannya. Dengan nada berkelakar ia mengungkap alasannya menjalani aktivitas yang tergolong tidak biasa itu dengan harapan ketika kematian menjemput, jiwanya bisa mandiri, berjalan sendiri karena sudah hafal jalan dari pastoran menuju kompleks pekuburan.

Pria yang terlahir pada 1 Agustus 1929 ini pernah mengalami mujizat dalam hidupnya. Dikisahkannya pada wawancara dengan tatapan bersungguh-sungguh pada tahun 2002 ia berada dalam perjalanan dari Pontianak menuju Singkawang. Kala itu di daerah Sungai Limau nasib tak mujur menghampirinya, ia terlibat dalam kecelakaan di jalan raya. Namun suatu hal yang benar-benar dirasanya adalah terdapat tangan seseorang yang memegangnya, menahannya agar tak terlalu kuat menghantam setir maupun dashboard mobil yang dikemudikannya. Saat kecelakaan terjadi ia bersama dengan dua orang lain yang duduk jauh di belakang setir yang dikendalikannya. Suatu kondisi dimana dua orang di belakangnya tidak mungkin melakukan hal yang dirasakannya sebagai ‘pegangan tangan seseorang’. Saat dievakuasi, tim medis yang menanganinya merasa tipis harapan nyawanya dapat diselamatkan mengingat kondisinya yang sangat memprihatinkan. Di luar dugaan, ketika Pastor Marius siuman dan satu hal yang langsung ia ingat saat itu ia harus memimpin misa berbahasa Tionghoa. Dengan kondisi luka dalam yang jika orang awam hanya bisa bertahan selama tiga jam, Pastor Marius merasa menerima sentuhan kekuatan hingga ia dapat bertahan selama delapan jam sebelum akhirnya mendapat perawatan lanjutan. Dalam kondisi itu ia menguatkan diri untuk pulang ke Singkawang. Tim medis di Singkawang hanya menggeleng-geleng takjub menyaksikan betapa mujizat Tuhan bekerja atas diri pastor ini. Usai merasakan kuasa keajaiban pada tahun 2002, Pastor Marius semakin meyakini segala keselamatan yang dialaminya tak lain karena campur tangan Bunda Maria. 

Hal lain yang juga menjadi kisah tersendiri dari diri pastor yang satu ini adalah dalam kurun masa tertentu, beliau pernah menggunakan peti mati sebagai fasilitas tidurnya. Tentunya hal ini menjadi kondisi tak biasa bagi orang kebanyakan yang secara general memandang segala hal yang berkaitan dengan kematian adalah sesuatu yang masih begitu menakutkan. Ya, pastor Marius memang sudah memesan sebuah peti kepada sahabatnya yang berprofesi sebagai pembuat peti demi kepentingannya sendiri di kemudian hari. Serta merta peti pesanannya dititipkan kepada si pembuat karena untuk membawa peti jenazah ke pastoran bukan hal yang mudah. Selain akan memakan banyak tempat, adalah tak lazim meletakkan peti dalam ruangan yang sebenarnya bukan tempatnya. Suatu waktu ketika sang sahabat pembuat peti berpulang ke penciptanya, peti jenazah pesanannya harus dibawanya ke kediamannya, ke pastoran. Ia lantas meletakkan peti pesanannya di dalam kamarnya dan menjadikannya sebagai tempat beristirahat. Ia tidur di dalam peti jenazah. Cukup lama keadaan itu dijalaninya hingga suatu ketika ia tak dapat bertahan lagi karena hawa panas yang menyelimuti ketika ia tidur di dalam peti. Suatu pengalaman jenaka yang tidak disangka terjadi atas dirinya. Meski kini peti itu tetap berada di kamarnya, kondisinya saat ini kokoh berdiri dan telah beralih fungsi menjadi almari. 

Pada akhirnya sekelumit kisah hidup yang terajut menjadi sisi lain bagi kita memandang sang gembala. Selamat berkarya, Pastor. Semoga selalu sehat dan dilindungi dalam setiap langkah. (Hes)      
NB: Bagi umat yang ingin berinteraksi dengan beliau dapat mengunjungi laman
Facebook: Mar Chen (Marius) dan Youtube: mari2chen.