Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri katolik. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri katolik. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

23 Jun 2015

SAGKI

SAGKI


SIDANG

AGUNG

GEREJA

KATOLIK

INDONESIA 

Kapan dan di mana SAGKI 2015 diadakan?
SAGKI 2015 diadakan tgl. 2-6 November di Via Renata, Cimacan − Bogor.

Siapa peserta SAGKI 2015?
Peserta SAGKI 2015 adalah:
a.    Para USkup dan Uskup Emeritus seluruh Indonesia
b.    Umat Katolik yang mewakili/menjadi utusan dari masing-masing Keuskupan di Indonesia
c.    Wakil KOPTARI dan UNIO, Kelompok Kategorial Keluarga Para Sekretaris Komisi, Lembaga,    Sekretariat dan Departemen KWI

Apa Tema SAGKI 2015?
Tema SAGKI 2015 ialah Keluarga Katolik: Sukacita Injil Panggilan dan Perutusan Keluarga dalam Gereja dan Masyarakat Indonesia yang Majemuk.

Apa kekhasan SAGKI 2015 yang membedakannya  dengan SAGKI sebelumnya?  

o    SAGKI ke IV tahun 2015 ini merupakan kesinambungan dari SAGKI 2000, 2005, dan 2010. SAGKI 2000 diarahkan pada perwujudan serta pemberdayaan Komunitas Basis menuju Indonesia baru. Sedangkan SAGKI 2005 mengajak Gereja Indonesia untuk bangkit dan bergerak mengupayakan keadaban publik bangsa; dan SAGKI 2010 menegaskan kembali panggilan perutusan Gereja, dengan tema: Ia Datang Supaya Semua Memperoleh Hidup dalam Kelimpahan (bdk. Yoh 10:10).

o    SAGKI 2015 merupakan tahun rahmat bagi Keluarga, karena secara khusus Para Bapa Uskup memberikan perhatian kepada panggilan dan perutusan keluarga sebagai Gereja kecil yang diutus. Hal ini seiring dengan perhatian Paus dan Gereja Universal yang mengajak semua umat untuk merefleksikan kehidupan keluarga melalui Sinode luar biasa tahun 2014 yang bertema: Tantangan-Tantangan Pastoral Keluarga dalam Konteks Evangelisasi dan Sinode biasa tahun 2015 yang mengambil tema: Panggilan dan Perutusan Keluarga dalam Gereja dan Masyarakat Dewasa Ini. Kekhasan dari SAGKI 2015 adalah merenungkan sejauh mana sukacita Injil itu dialami oleh keluarga dan bagaimana perjuangan keluarga dalam mewujudkan sukacita Injil.

Apa yang menjadi fokus perhatian SAGKI 2015 dalam pelaksanaan tugas perutusan Gereja Indonesia?

Berkaitan dengan tugas perutusan Gereja Indonesia, fokus perhatian SAGKI 2015 adalah keluarga Katolik mengalami sukacita Injil dengan semakin menghayati jati diri, spiritualitas, panggilan dan perutusannya dalam Gereja dan masyarakat dan memancarkan Sukacita Injil dalam kehidupan sehari-hari.

Apa tujuan SAGKI 2015?

Tujuan SAGKI 2015 adalah
a.    Keluarga Katolik semakin menghayati jati diri, identitas, spiritualitas, panggilan, dan perutusannya di dalam Gereja dan di tengah masyarakat
b.    Keluarga Katolik semakin menyadari tantangan-tantangan konkret yang dialami dan dihadapi keluarga dewasa ini
c.    Keluarga Katolik semakin misioner di tengah masyarakat

Suasana apa yang diharapkan tercipta dalam SAGKI 2015?

Suasana yang diharapkan tercipta dalam SAGKI 2015 ialah suasana sukacita dan persaudaraan dalam menegaskan bersama jalan baru bagi panggilan dan perutusan keluarga melalui refleksi bersama, diskusi, gerak bersama yang akan diambil.

Kegiatan SAGKI 2015 meliputi apa saja?

Kegiatan SAGKI 2015 meliputi ibadat, sharing tentang sukacita Injil yang dihayati oleh keluarga-keluarga Katolik, perjuangan keluarga dalam mewujudkan sukacita Injil, refleksi teologis dan launching film 7 Sakramen yang diproduksi KWI. Keempat kegiatan ini berkaitan satu sama lain dan dalam pelaksanaan hariannya disesuaikan dengan sub tema tertentu.

Metode apa yang dipergunakan SAGKI 2015?

Metode yang dipergunakan adalah metode sharing, diskusi dan penegasan sebagai buah dari refleksi bersama.

Mengapa SAGKI 2015 menggunakan metode sharing, diskusi, dan penegasan?

SAGKI 2015 menggunakan metode sharing, diskusi, dan penegasan karena:
a.    Tujuan dari SAGKI adalah saat di mana gereja mendengarkan
b.   Terjadinya gerak bersama setelah mendengarkan apa yang dialami, didiskusikan dan penegasan bersama

Bagaimana gambaran pertemuan SAGKI 2015?

Pertemuan SAGKI 2015 sebagai berikut:
Tanggal        :  2   November
Materi          :  Ekaristi Pembuka dan Acara Pembuka

Tanggal        :  3   November
Materi          :  Keluarga bersukacita: buah-buah penghayatan Panggilan dan Perutusannya (dimensi spiritual, relasional    
                             dan sosial)

Tanggal        :  4   November
Materi          :   Keluarga Katolik memperjuangkan sukacita Injil : Tantangan-tantangan Keluarga Dewasa ini

Tanggal       :   5 November
Materi         :  Gerak Bersama : Membangun Wajah “Ecclesia Domestica di Indonesia” – Sukacita Injil        

Tanggal       : 6 November
Materi         : Rumusan Akhir dan Misa Penutupan





Logo SAGKI 2015 merupakan visualisasai semangat dasar SAGKI 2015, yakni Keluarga Katolik: Sukacita Injil. Sukacita Injil dalam keluarga dialami ketika mereka memandang dan menjumpai Kristus (bdk. EG 1) yang menjadi Jalan, Kebenaran dan Hidup dan visualisasi itu diwujudkan dalam gambar Salib yang dipandang bapak,iIbu dan ketiga anak mereka.
Pengalaman sukacita itu dialami ketika keluarga-keluarga mendasarkan nilai kehidupan mereka pada Injil sebagaimana dinampakkan dalam gambar buku. Ketika keluarga berpijak pada Injil dan menghidupi nilai-nilai perkawinan sebagaimana yang diwahyukan Allah dalam Injil, sukacita itu dialami. Ekspresi sukacita itu tampak dalam sikap anggota keluarga yang semuanya berdiri (setengah melompat) dalam kebersamaan dan kasih.
Dalam logo, persatuan bapak dan ibu (warna orange dan merah marun) membentuk simbol hati yang berarti bahwa kesatuan keluarga didasarkan atas kasih. Dengan warna dasar putih menunjukkan kesucian, warna merah marun seperti gambar hati menunjukkan kasih dan warna orange menggambarkan terang atau cahaya yang berarti: keluarga yang dibentuk berdasarkan kasih membawa terang dan kesucian bagi keluarga lain.
Tulisan SAGKI 2015 dengan tema Keluarga Katolik: Sukacita Injil, adalah fokus atau tema yang diharapkan menjadi semangat bagi keluarga-keluarga agar selalu mengalami dan menampakkan sukacita Injil itu secara tegas. Warna merah marun, orange, silver, dan putih, biru, juga menunjukkan kemajemukan dan ke-Indonesiaan yang menjadi konteks SAGKI ke IV tahun  2015 ini.



DOA PERSIAPAN MENYAMBUT
SIDANG AGUNG GEREJA KATOLIK INDONESIA
TAHUN 2015

Allah dan Bapa kami,
Engkau telah mengutus
Yesus Putera-Mu terkasih
untuk mewartakan Sukacita Injil kepada kami
dan mengangkat kami menjadi anak-anak-Mu
serta menyatukan kami
dalam satu Keluarga Illahi-Mu.

Putera-Mu hadir di tengah Keluarga Nazareth
untuk menguduskan keluarga manusiawi itu.
Ia tinggal di dalam keluarga itu
untuk mengajarkan kasih,
mendengarkan kehendak Illahi-Mu,
mengajarkan sikap saling hormat menghormati
dan bekerjasama,
serta menyalakan lilin pengharapan
dalam kegelapan dunia ini.
Ia menetapkan keluarga kami
menjadi Gereja rumah tangga,
dan menjadi Injil yang hidup bagi dunia
dalam semangat cinta dan sukacita.

Curahkanlah Roh Kudus-Mu
untuk membimbing SAGKI 2015 ini,
agar melalui Sidang Agung ini,
mampu mendorong keluarga-keluarga Katolik
semakin menghayati panggilan
dan perutusan
dalam hidup perkawinan
yang telah mereka ikrarkan
dan semakin mengalami
keindahan hidup berkeluarga itu.
Ajarilah kami bersikap bijak
dalam menghadapi
setiap tantangan dan situasi zaman ini.
Buatlah kami semakin mampu
menjadi saksi hidup Injil-Mu
dan tempat pengungsian
bagi mereka yang membutuhkan.
Biarlah keluarga kami
semakin memancarkan sukacita Injil
bagi keluarga dan masyarakat.
Demi Kristus Tuhan dan Pengantara kami.
Amin.

Yesus, Maria, dan Yosef,
doakanlah kami!



30 Nov 2016

Retret Guru dan Karyawan Yayasan Pengabdi untuk Sesama Manusia “Yesus Sang Guru Sejati”

Retret Guru dan Karyawan Yayasan Pengabdi untuk Sesama Manusia

“Yesus Sang Guru Sejati”

Yayasan Pengabdi untuk Sesama Manusia (YPSM) kembali mengadakan retret seluruh guru dan karyawan YPSM yang berlangsung pada tanggal 8-10 September 2016 di Pusat Damai Wisma Tabor Bodok Kabupaten Sanggau. Kegiatan tersebut dihadiri oleh 207 peserta dan didampingi 14 Suster SFIC yang berkarya di bidang pendidikan. Peserta merupakan gabungan guru, karyawan dan staf 11 unit sekolah naungan YPSM yang ada di Pontianak, Singkawang, Darit dan Pahuman. Wilayah Singkawang sendiri meliputi TK/PG Epiphania, SD Suster, SMP Pengabdi, dan SMA St. Ignasius. Peserta begitu antusias mengikuti kegiatan yang bertemakan “Berbudaya: Berani Memperbaharui Diri dalam Iman, Harapan dan Kasih” tersebut. 

Misa Pembukaan dipimpin oleh Pastor Vincensius Darmin Mbula, OFM yang juga sebagai pemateri utama kegiatan. Beliau mengajak semua guru yang hadir untuk meneladani Tuhan Yesus Kristus sebagai Sang Guru Sejati dalam tugasnya mencerdaskan dan mendidik anak bangsa yang telah dipercayakan. Suster Kepala YPSM, Sr Susana, SFIC dalam sambutannya mengatakan bahwa Ia sangat mengapresiasi kehadiran para peserta. Selain itu, Ia juga berpesan dan mengajak  semua guru yang turut mengabdikan diri bersama YPSM untuk terus meningkatkan kualitas diri dalam menciptakan generasi yang berkarakter. 

"Saudara-saudari sebangsa dan setanah air yang terdidik dan terkasih, saya sangat mengapresiasi kehadiran bapak/ibu dalam kegiatan kita ini di Wisma Tabor walaupun harus menempuh perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan," ujarnya. Beliau juga sempat menyinggung peristiwa dalam Kitab Suci mengenai perjalanan murid-murid Yesus ke Bukit Tabor. “Kehadiran bapak/ibu mengingatkan kita akan peristiwa murid-murid Tuhan Yesus yang datang dari berbagai tempat berbondong-bondong mengikuti Tuhan Yesus Kristus ke Bukit Tabor. Kami berharap dalam kegitan ini membuahkan hal-hal baik yang dapat kita bawa dan terapkan ketika kembali ke tempat masing-masing,” katanya.

Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari itu berjalan dengan lancar. Materi-materi yang pada umumnya menyinggung perihal dunia pendidikan Katolik disampaikan oleh Romo Darmin Mbula, OFM. Beliau adalah  Ketua Majelis Pendidikan Katolik Indonesia dan juga dosen di beberapa perguruan tinggi. Melalui pengalaman dan pergulatannya di dunia pendidikan, Ia tampak begitu menguasai materi yang disampaikan. Beliau mengemasnya dengan sangat apik apalagi diselingi dengan beberapa simulasi permainan sehingga peserta tak merasa jenuh.



Salah satu materi yang disampaikan yakni mengenai “Shalom”, yaitu suatu salam yang berarti damai. Merefleksikan apakah guru-guru yang mengabdi bersama YPSM sudah sepenuhnya bekerja dengan hati yang damai. Damai yang diwujudkan dalam semangat yang diperbaharui serta berbudaya kasih persaudaraan. Romo Darmin Mbula, OFM., menyampaikan bahwa pada hakikatnya pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia agar berbuat kebaikan dan gerakan literasi dalam pendidikan merupakan suatu gerakan yang membawa seseorang berbudi pekerti. Ia menerangkan bahwa pendidikan Katolik mengacu pada budaya-budaya Katolik itu sendiri.
 
Budaya Katolik yang dimaksud di antaranya adalah bukan hasil tapi cara hidup, cara hidup yang bukan berupa dokumen atau buku teks tetapi mengajarkan pengalaman hidup/cara hidup. Cara hidup menurutnya tidak dapat dibeli, cara hidup berakar dari pribadi Tuhan Yesus yang ditulis dalam Injil. Hal utama pertama menjadi cara hidup adalah iman, pelayanan, keberanian, keadilan, harapan, kasih dan rekonsiliasi/ shalom (damai), dan komunitas/ persaudaraan.

Iman dalam pendidikan Katolik menjadi hal yang utama. Iman bagi sekolah Katolik ialah mencari kebenaran. Ia menuturkan setiap guru seyogyanya mengajarkan kebenaran dan pelayanan. Pelayanan yang pertama dalam pendidikan Katolik yaitu berkomitmen dan tidak bersungut-bersungut dengan memeperhatikan kompetensi dan ketrlibatan/ tindakan (action) seperti komitmen  dalam pribadi Yesus Kristus sendiri.

Di akhir kegiatan seluruh peserta retret YPSM ditugaskan untuk menyusun komitmen yang nantinya dibawa dan diterapkan di unit kerja (sekolah) masing-masing. Adapun komitmen-komitmen kelompok kerja dibuat ialah berdasarkan tradisi sekolah Katolik yang meliputi budaya Injil, budaya tumbuh bersama, budaya teamwork, budaya kinerja dan budaya profesionalisme. Di sesi terakhir ini juga Kepala YPSM Sr. Susana SFIC berpesan kepada seluruh guru agar menjadikan kelas sebagai ruang pengampunan dan ruang suka cita bagi peserta didik. Kegiatan ditutup dengan Misa penutup, makan siang bersama dan sayonara, lalu seluruh peserta meninggalkan lokasi kegiatan. 

(Oleh: Yudistira, S.Pd. salah satu guru yang mengabdi bersama YPSM)

26 Okt 2015

MELAYANI DEMI KEMULIAAN NAMANYA

MELAYANI DEMI KEMULIAAN NAMANYA


Singkawang, Kamis, 24 September 2015 pukul 10.00 Wib, bertempat di Aula Paroki Singkawang  para undangan baik dari awam maupun religius berkumpul untuk memilih ketua Dewan Pastoral Paroki (DPP) St. Fransiskus Assisi Singkawang, Keuskupan Agung Pontianak periode 2015-2018.

Peserta yang hadir terdiri dari seluruh tokoh umat Katolik Singkawang, baik pengurus DPP lama, perwakilan stasi, wilayah, lingkungan, kring, organisasi maupun utusan dan beberapa lembaga religius yang berkarya di Paroki Singkawang. Acara ini dipandu langsung oleh  Bapak Ignas Nandang, S.Kep, Ners sebagai Master of  Ceremonial (MC) dengan ramah dan humanis.

Sebelum masuk pada termin pemilihan ketua DPP baru, MC mengajak peserta yang hadir bersama-sama memohon bimbingan Roh Kudus agar yang terpilih sungguh mau melayani umat di paroki sekaligus sebagai sayap kiri pastor paroki. Doa pembukaan  dipimpin langsung oleh Br.Flavianus, MTB, kemudian diteruskan dengan pembacaan laporan pertanggungjawaban ketua DPP periode 2012-2015.

Bapak Ambrosius Kingking, SH  menyampaikan secara terbuka kegiatan-kegiatan dan program yang telah dilakukan para pengurus  DPP lama selama satu periode baik yang terprogram, terencana dengan baik dan berjalan lancar. Setelah itu lagi-lagi MC memberi kesempatan kepada narasidang untuk memberi tanggapan atas laporan tersebut. Bapak Y. Kaswin selaku seksi pastoral keluarga memberi masukan agar sekiranya dari seksi pastoral keluarga dideskripsikan secara detail yang selama ini sudah dijalankannya dengan penuh tanggungjawab di lingkungan atau wilayah kota Singkawang dan sekitarnya.

Selain itu muncul ide baru dari Bapak Drs. Titus Pramana, M.Pd agar pada kepengurusan periode berikutnya ada seksi khusus pemerhati sekolah Katolik yang ada di Paroki Singkawang. Menurut ketua koordinator pengawas Dinas Pendidikan  Kota Singkawang yang sekaligus  dipercaya oleh pemerintah sebagai tim akreditasi sekolah-sekolah yang ada di Kalbar baik tingkat kota maupun kabupaten ini, bahwa wacana untuk pemerhati dalam bidang pendidikan, paroki mempunyai hak dan kewajiban untuk membantu mutu sekolah yang ada sebagai mana telah diatur dalam kitab hukum kanonik Gereja Katolik. 

Pada Segmen selanjutnya MC mengundang semua peserta untuk memilih ketua DPP periode 2015-2018. Tidak memakan waktu lama, maka muncul nama yang tak asing lagi yaitu Ambrosius Kingking, SH yang kembali dipercaya untuk memimpin dan melayani umat untuk periode 2015-1018. Semua umat yang hadir memberi aplaus dan apresiasi atas kesanggupannya  sebagai dukungan dan penyemangat bagi Ambrosius dalam mengembangkan tugas yang dipercayakan kepadanya. “Pastor dan bapak ibu yang terkasih, sebenarnya saya belum siap melaksanakan tugas yang mulia ini, namun karena ini adalah pelayan di gereja saya bersedia untuk menerima tugas mulia ini tanpa paksaan tetapi tulus dan Iklas,” mengawali  sambutan dari ketua DPP periode 2015-2018 yang juga merupakan Lurah Sagatani ini semakin menguatkan Pastor Gathot dalam sambutan terhadap ketua DPP terpilih. “Saudara/i terkasih, sejarah Gereja Katolik membuktikan bahwa sejak Konsili Vatikan ke-2, Pintu Gereja semakin terbuka untuk menghirup udara segar, di mana peran awam sangat kuat dalam membantu dan melayani untuk keberlangsungan Gereja Katolik hingga kokoh dan kuat kepemimpinannya sampai saat ini,” ungkap penyuka sinema Humaniora ini. Lanjutnya bahwa gereja yang terkesan dengan model ‘piramid’ dirombak total menjadi gereja berbentuk ‘comunio’, di mana kita semua bersatu untuk mewartakan visi dan misi kerajaan Allah di muka bumi ini tanpa disekat oleh gelar atau jabatan semuanya saling melayani.” Tepukan tangan meriah dari semua yang hadir menutup rangkaian dalam sambutan imam yang penuh pesona ini dengan mantap.

Sebelum mengakhiri kegiatan ini ketua DPP terpilih memilih pengurus inti dan seksi-seksi untuk membantu dalam kegiatan kegiatan berikutya. Selain itu untuk memperlancar kinerja pengurus inti maka lahirlah seksi-seksi berikut ini, yaitu sejumlah 9 seksi dan 1 seksi masih dalam wacana. Adapun bidang-bidang tersebut adalah liturgi, pewartaan, pembinaan iman anak, hubungan antar agama dan kepercayaan, pastoral keluarga, sosial paroki/pengembangan sosial ekonomi (PSE), humas, kepemudaan, inventaris/asset  gereja dan satu dalam tahap penjajakan yaitu: komisi pemerhati mutu sekolah Katolik yang ada di Paroki Singkawang. Selain itu tidak luput juga perwakilan organisasi dan dari lembaga religius yaitu Pemuda Katolik (OMK), Wanita Katolik RI, ISKA, PDKK, Legio Maria, PPKS  dan dari religius regular dan sekular yakni Kongregasi Suster SFIC, MTB dan OFS.

Semoga yang terpilih dapat melaksanakan job description tugasnya sehingga semuanya berjalan dalam visi misi yang sama yaitu melayani umat demi kemuliaan nama-Nya di muka bumi dan di surga. (Bruf)


5 Mar 2020

API PENYUCIAN; TAK TERBANTAHKAN, ACAPKALI TERABAIKAN

*Pendahuluan*

Ketika saya merenung, memikirkan tentang apa yang akan saya tulis, seketika terlintas dalam benak saya tentang sesuatu yang rasanya masih asing dan mengawang bagi pembaca. Memang sepintas dengar perihal yang akan saya bahas kali ini terkesan horor dan meremangkan rambut di tengkuk bagi awam. Namun, besar harapan saya, semoga usai membaca artikel yang saya tulis ini, kesan berbeda akan timbul dan mengubah paradigma pembaca. Pada kesempatan ini saya akan membahas tentang "Api Penyucian dalam Ajaran Gereja Katolik" 

*Tinjauan dari Etimologi Kata* 

Penyucian, bukan pencucian! Kata pertama berasal dari kata dasar suci yang mendapat awalan pe-N dan akhiran –an serta mengalami proses peluluhan kata, dan satu lagi berasal dari kata dasar cuci yang mendapat awalan pe-N dan akhiran –an. Namun dalam hal ini yang digunakan adalah kata penyucian. Meskipun mungkin dari khalayak ramai pada awalnya menyangka istilah api pencucian adalah yang benar dengan asumsi jiwa yang dalam proses perjalanan menuju keabadian harus melewati proses pencucian hingga membuahkan suatu hasil yaitu jiwa yang bersih ternyata yang benar adalah api penyucian. Esensi suci lebih tinggi dari sekadar cuci. Esensi suci adalah (1) bersih dalam arti keagamaan seperti tidak kena najis, (2) bebas dari dosa; bebas dari cela; bebas dari noda; maksum (3) keramat (4) murni (tentang hati, batin), sementara cuci sendiri memiliki arti proses membersihkan sesuatu dengan air dan sebagainya. (*sumber KBBI daring)
Sementara terjawab tentang istilah yang benar dan yang keliru selama ini. Yang benar adalah api penyucian, dan yang keliru adalah api pencucian. Sesudah membaca penjelasan di atas, semoga tidak ada lagi kekeliruan dalam penyebutannya. 

*Istilah Purgatorium*

Purgatorium atau istilah lain dalam Bahasa Indonesia yang sering kita sebut sebagai api penyucian (sekali lagi, bukan api pencucian) adalah suatu kajian pembahasan yang termasuk dalam pembahasan bidang teologi dalam ajaran Gereja Katolik.

Penggunaan kata "Purgatorium" mulai tersohor antara tahun 1160–1180 dan sempat menimbulkan pemikiran bahwa purgatorium adalah suatu tempat.
Saat kita membahas tentang Api Penyucian, kita harus mengerti terlebih dahulu konsep ketika manusia itu meninggal, setelah meninggal manusia akan dihadapkan akan tiga pilihan utama yakni, 1. masuk dalam kebahagiaan lewat api penyucian, 2. orang yang langsung masuk surga, 3. mengutuki diri sendiri untuk selama-lamanya.

*Pengertian Api Penyucian*

Neraka dalam konsep ajaran Agama Yunani dijelaskan sebagai Gehenna (api yang tidak terpadamkan), sedangkan purgatorium atau purgare berasal dari Bahasa Latin yang artinya menyucikan, (to purge).

Sebuah talk-show dari saluran EWTN di Filipina, pernah mengetengahkan sebuah topik mengenai api penyucian yang dibawakan oleh Mother Angelica. Ketika sedang membawakan acaranya, Mother Angelica menerima pertanyaan dari orang yang tidak percaya akan adanya api penyucian, karena kata itu tidak disebutkan dalam Alkitab.

Dengan senyuman dan kata-katanya yang khas Mother Angelica menjawab, bahwa memang kata "api penyucian" tidak secara eksplisit tercantum di dalam Alkitab, seperti juga kata 'trinitas', atau 'inkarnasi'. Namun kita percaya maksud dari kata-kata tersebut. Yang terpenting itu ajarannya, bukan istilahnya. "Meskipun kamu tidak percaya, itu tidak berarti api penyucian itu tidak ada," ujar Mother Angelica.

Berdasarkan konsep ajaran Gereja Katolik dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1030-1032 menyebutkan bahwa :
1. api penyucian adalah suatu Kondisi yang dialami oleh orang-orang yang meninggal dalam keadaan rahmat dan persahabatan dengan Tuhan, namun belum suci sepenuhnya, sehingga memerlukan proses pemurnian selanjutnya setelah kematian;
2. pemurnian di dalam api penyucian adalah sangat berlainan dengan siksa neraka;
3. kita dapat membantu jiwa-jiwa yang ada di api penyucian dengan doa-doa kita, terutama dengan mempersembahkan ujub Misa Kudus bagi mereka.

Allah menginginkan kita agar kita menjadi kudus dan sempurna (Mat 5:48). Maka, jika kita belum sepenuhnya kudus, pada saat kita meninggal, kita masih harus disucikan terlebih dahulu di api penyucian, sebelum dapat bersatu dengan Tuhan di surga.

*Sejarah Purgatorium*

Menurut History of Christian Doctrines, Paus Gregory Agung adalah orang yang menetapkan ajaran api penyucian sebagai kepercayaan yang wajib dipercayai. Sementara Gereja Katolik meresmikan ajaran api penyucian ini pada beberapa konsili yang diadakan oleh Gereja Katolik. Antara lain: Konsili Lyons II (1274), Konsili Florence (1439), Konsili Trent (1547).

*Poin Penting dalam Memahami Api Penyucian*

Ada tiga poin penting tentang api penyucian yang bisa atau dapat kita pahami, antara lain: 1. hanya orang yang belum sempurna dalam rahmat yang dapat masuk ke dalam api penyucian, 2. api penyucian ada untuk memurnikan dan memperbaiki, 3. api penyucian itu hanyalah sementara.

Bicara soal api penyucian, pasti ada yang berpikir dan bertanya bolehkah kita berkomunikasi dengan jiwa-jiwa yang ada di api penyucian?

Ketika saya menulis artikel ini, saya mencari dan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari berbagai macam sumber dan jawabannya adalah jika kata komunikasi di sini diartikan sebagai komunikasi dua arah, maka jawaban singkatnya tidak boleh. Lantas apa yang boleh? Yang diperbolehkan dan diajarkan oleh Gereja Katolik adalah agar kita mendoakan jiwa-jiwa di api penyucian, dengan mengambil dasar utamanya (2 Makabe 12:38-45) dan ajaran tradisi suci. Sedangkan hal memohon  dukungan Doa Syafaat dari jiwa-jiwa di api penyucian, tidak diajarkan secara definitif oleh magisterium. Sehingga karena tidak/belum ditentukan, maka sebagai umat beriman, kita dapat memegang pendapat berdasarkan kesaksian Pribadi beberapa orang kudus, dan atas dasar "Common Sense".

*Mengapa Kita Harus Berdoa Bagi Jiwa-jiwa di Api Penyucian?*

Ketika kita dihadapkan dalam sebuah pertanyaan yang mungkin orang lain akan tanyakan kepada kita, kenapa Gereja Katolik mendoakan jiwa orang yang sudah meninggal?

Jawabannya sederhana, karena ketika kita berdoa bagi mereka yang telah meninggal dunia bukan saja untuk hal yang bermanfaat, tetapi juga amat penting. Hal ini diajarkan dan perlu diingat bahwa Gereja Katolik terdiri dari tiga bagian yang tak terpisahkan, antara lain :
1. Gereja Pejuang (yaitu kita yang masih hidup di dunia ini)
2. Gereja Menderita (jiwa-jiwa yang berada di api penyucian)
3. Gereja Jaya (para malaikat, martir, santo/santa serta para kudus yang di surga)
Ketiga gereja tersebut saling berpengaruh dan berkait satu sama lain membentuk tubuh mistik Kristus dalam menpertahankan pondasi gereja.

*Lantas, Bagaimana Kita Menolong Jiwa-jiwa Menderita di Api Penyucian?*

1. Misa Kudus
2. Doa Rosario bagi keselamatan jiwa-jiwa di api penyucian: "Rosario Arwah"
3. Devosi Kerahiman Ilahi : Koronka
4. Perbuatan Baik, tindakan amal kasih, kurban dan silih. (Setiap kali melakukannya, ingatlah untuk mengatakan dalam hati, "Yesus, ini demi jiwa-jiwa di Api Penyucian"
5. Ibadat/Renungan Sengsara Yesus (Jalan Salib)
6. Indulgensi bagi jiwa-jiwa di purgatorium.

*Penutup*

Saudara-saudari terkasih, mengenai apa yang akan terjadi pada manusia setelah kematian dan seperti apa wujud alam setelah kematian itu sebenarnya? Hampir semua tradisi agama dalam kehidupan mengangkat pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tetapi satu hal yang pasti bahwa mereka percaya adanya kehidupan atau alam yang lain setelah kematian, seperti contoh tradisi dalam Agama Mesir, Agama Hindu, Agama Buddha, Agama Zoroaster, dan Agama tradisional Yunani.

Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip perkataan dari Keith Ward, filsuf, teolog, dan Pastor gereja Anglikan, "Iman Kristiani pertama-tama bukan tentang hidup setelah mati, melainkan tentang hidup dalam relasi yang penuh cinta dan penuh kesadaran dengan Allah sekarang ini. Hal ini menguatkan dan menjelaskan kepada kita bahwa api penyucian adalah sebuah harapan, harapan bagi orang-orang yang sudah meninggal dalam keadaan rahmat tetapi masih perlu disucikan karena konsep surga adalah 100% kudus!"

Oleh karena itu mari, selagi kita masih hidup di dunia ini kita perbanyak amal dan berdoa agar kita bisa diberikan rahmat dan anugerah serta pengampunan atas dosa yang telah kita perbuat sehingga kita bisa masuk kepada kerajaan-Nya di surga. Lain dari itu kiranya kita tidak abai dan selalu meluangkan waktu mendoakan jiwa-jiwa yang masih berada dalam api penyucian agar jiwa-jiwa itu dapat segera bergabung dalam Gereja Jaya bersama para kudus di surga.

Sumber :
1. Katolisitas.org
2. Riwayat Api Penyucian dalam Kitab Suci dan Tradisi oleh Albertus Purnomo, OFM
3. Katolikmedia

(Ditulis kembali oleh Cinda Leo Morgan)

16 Sep 2016

Kaum Berkerudung di Sekitar Altar Tuhan

Kaum Berkerudung di Sekitar Altar Tuhan

“Mari ber-mantilla bagi Tuhan!” Begitulah seruan kami anak-anak Misdinar St. Tarsisius Paroki Singkwang demi mengajak Anda terutama para wanita Katolik untuk berpakaian sopan dan sederhana serta memakai atau membangkitkan kembali ‘tradisi tua’ dalam Gereja Katolik ini. Usaha sosialisasi ini kami awali dengan menghadap Bapa Uskup untuk mendapatkan izin, lalu dilanjutkan dengan membuat foto dan video project yang kami unggah ke laman Instagram kami @ppasttarsisiusskw dan laman youtube kami, Misdinar St. Tarsisius Singkawang. Tentu ini mendapat respon yang menyenangkan, baik dari umat Paroki Singkawang maupun umat dari berbagai pulau seberang. Sering sekali kami melihat baik wanita maupun pria Katolik ketika menghadiri misa menggunakan pakaian yang tidak pantas. Hal ini sangat perlu untuk diperhatikan karena secara khusus apa yang kita kenakan ketika menghadap Allah, tidak lagi memberikan kesan bahwa Allah hadir di tengah-tengah kita. Namun, ada juga umat yang pergi misa walaupun memakai pakaian yang pantas, tetapi hati dan pikirannya melayang jauh dari misa kudus. Misa akhirnya tampak tidak lagi berbeda seperti acara-acara sosial lainnya. Akibatnya, perayaan Ekaristi menjadi kehilangan maknanya sebagai misteri yang kudus dan agung.

Mungkin kebanyakan orang tidak mengetahui apa itu mantilla atau mungkin ada tanggapan dari orang “Ngapain sih ikut-ikutan agama sebelah pakai kerudung segala?” Ups, jangan berpikiran sempit! Mantilla adalah kerudung atau tudung kepala yang dipakai oleh wanita Katolik saat akan menghadiri perayaan Ekaristi kudus yang terbuat dari bahan brokat yang ringan. Tradisi ini sudah cukup lama ada dalam gereja kita dan mempunyai julukan “Kerudung mempelai Kristus” dimana kita memakainya hanya saat Misa. Jadi, kerudung tidak hanya milik saudara-saudara kita umat Muslim, tetapi di dalam gereja kita cukup mengenal dekat dengan tudung kepala yang satu ini. Kerudung Misa merupakan salah satu bahkan mungkin satu-satunya devosi yang sangat spesifik untuk perempuan. Berkerudung Misa adalah sebuah kehormatan bagi para perempuan dan ini memampukan mereka untuk  memuliakan Allah dengan seluruh keperempuanan mereka serta dengan cara-cara yang khas dan feminin. Kerudung Misa adalah tradisi tua, tradisi kuno yang indah, dan ia menunjukkan nilai dan pentingnya wanita. Itu bukan alat untuk merendahkan wanita atau mengecilkan mereka; itu adalah sebuah kehormatan.

Pemakaian mantilla sendiri pernah diwajibkan oleh Gereja Katolik dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK tahun 1262).Namun setelah direvisi dalam Konsili Vatikan ke II, mantilla pun akhirnya tidak diwajibkan pemakaiannya namun tidak melarang bagi umat yang hendak memakainya (dianjurkan). Sehingga masih ada umat di beberapa belahan dunia  yang masih memegang dan mempertahankan tradisi ini. Kerudung Misa adalah alat devosi pribadi yang dapat membantu kita lebih dekat dengan Yesus dan sebagai tanda ketaatan dan tanda memuliakan TUHAN.Wanita yang memakai kerudung Misa, mengingatkan kita semua bahwa Ekaristi bukanlah pertemuan sosial biasa, bukan acara untuk ramah tamah terhadap sesama kenalan kita. Mantilla tidak hanya dipakai oleh Putri Altar saat bertugas, tetapi juga bisa dipakai oleh wanita Katolik lainnya.
 
Penggunaan mantilla terus berkembang seiring masuknya perayaan Misa Formaekstraordinaria (Misa Latin) di tanah air. Dalam misa tersebut, para wanita diharuskan memakai mantilla, sedangkan dalam misa yang sering kita rayakan ini, tidak ada kewajiban penggunaannya namun sangat dianjurkan bagi kaum hawa. Karena tradisi ini dipandang sangat baik dan tidak bertentangan dengan nilai iman sejati, maka tradisi ini pun mulai dibangkitkan kembali kepada umat Katolik di Indonesia. Namun Yesus adalah Yesus yang sama, maka mantilla bisa dipakai dalam misa apapun, tidak terbatas dalam misa latin saja melainkan bisa juga di dalam misa biasa yang sering kita rayakan di gereja. Wanita yang menudungi kepalanya, secara simbolis menyampaikan pesan berharga kepada para lelaki: ‘tubuhku adalah bait Allah yang kudus, karenanya perlakukanlah tubuhku dengan rasa hormat yang besar. Tubuh dan kecantikanku bukanlah objek yang bertujuan memuaskan hasrat yang tidak teratur yang ada pada dirimu. Aku adalah citra Allah, oleh karena itu hormatilah dan hargailah aku.’ Kerudung Misa mengingatkan pria akan perannya sebagai penjaga kesucian, seperti St Yosef yang selalu melindungi dan menjaga Bunda kita, Perawan Maria. Dengan demikian, Allah dapat kita muliakan dengan cara menghormati dan melindungi keindahan dan keagungan martabat wanita. 

Menggunakan kerudung juga merupakan suatu cara untuk meneladani Maria, dialah yang menjadi role model (panutan) bagi seluruh wanita. Bunda Maria, Sang Bejana Kehidupan, yang menyetujui untuk membawa kehidupan Kristus ke dunia, selalu digambarkan dengan sebuah kerudung di kepalanya. Seperti Bunda Maria, wanita telah diberikan keistimewaan yang kudus dengan menjadi bejana kehidupan bagi kehidupan-kehidupan baru di dunia. Oleh karena itu, wanita mengerudungi dirinya sendiri dalam Misa, sebagai cara untuk menunjukkan kehormatan mereka karena keistimewaan mereka yang kudus dan unik tersebut.

Pemakaian mantilla memiliki dasar bibliah yaitu terdapat di dalam 1 Korintus 11:3-16;“Pertimbangkanlah sendiri: patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung?” “Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya” “Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat.”Ayat inilah yang menjadi salah satu dasar sosialisasi penggunaan kembali mantilla juga alasan dari umat yang mempertahankan tradisi ini. Paulus dalam suratnya tersebut sebenarnya ingin menegur cara berpakaian Jemaat di Korintus mengenai pakaian saat di gereja dan budaya yang sedang berkembang di sana pada saat itu, dimana wanita yang tidak menudungi kepalanya akan dicap sebagai ‘wanita nakal’ dan ‘orang-orang yang tidak ber-Tuhan.’ Namun, tidak ada salahnya bukan jika tradisi kuno yang indah ini kita gunakan kembali dalam Perayaan Ekaristi?

Seorang wanita yang berkerudung Misa pada dasarnya sedang menunjukan eksistensi Allah. Sebuah tanda kerendahan hati seorang wanita, yang ingin menudungi mahkotanya (rambut) di hadapan Allah. Karena ia tidak berkerudung di tempat lain, ia hanya berkerudung di hadirat Sakramen Maha Kudus. Seperti halnya Tabernakel (Kemah Roti/lemari yang berisi Hosti Kudus) yang menjadi pusat di dalam gereja kita. Jika di dalam Tabernakel tersebut berisi Hosti yang sudah dikonsekrasi, tentu akan diselubungi dengan kain. Selain itu, jika Sibori yang di dalamnya terdapat hosti kudus, akan selalu diselubungi dengan kain yang menandakan bahwa ada Tubuh Tuhan di dalamnya. Piala yang berisi Darah Kristus, akan ditudungi dengan kain. Meja Altar ditutupi kain (kecuali saat perayaan Jumat Agung, dimana Hosti Kudus tidak ditempatkan dalam Tabernakel di gereja). Begitu juga bagi perempuan yang menudungi dirinya dengan tudung kepala saat Misa. Ia menunjukan hadirat Tuhan yang Maha Kuasa, yang hadir dalam Perayaan Ekaristi. Jadi kerudung Misa adalah tanda yang paling jelas bahwa ada sesuatu yang spesial, indah, dan kudus yang sedang terjadi di tempat itu, yaitu tanda bahwa Allah sungguh-sungguh hadir!



Sebenarnya, menudungi hati dan kepala dengan mantilla tidaklah menyembunyikan kecantikan seorang perempuan, melainkan memancarkannya dengan cara yang istimewa dan penuh kerendahan hati, seperti halnya dengan para ciptaan kudus lainnya dari Allah yang menudungi kepala mereka (St Perawan Maria, St Bernadete, St Theresia dari Lisieux, Bunda Theresa, biarawati yang menjadi Santa, dll). Tetapi, bermantilla merupakan ekspresi iman bukan sekedar fashion kekinian.

Banyak wanita yang benar-benar telah menudungi hati, pikiran dan kepala mereka saat misa, merasakan damai, beban duniawi terasa pergi menjauh, ketenangan dan cinta yang lebih besar dan lebih mendalam kepada Tuhan. Mereka merasakan suatu kebebasan dimana mereka bisa menghayati dan lebih fokus pada Perayaan Ekaristi. Memang terkadang pikiran kita saat misa suka melenceng kemana-mana: apakah saya harus pergi ke supermarket, jemuran sudah kering atau belum, menu apa yang ingin saya masak saat makan siang? Tetapi, ketika Anda masuk ke gereja dengan berkerudung, itu bagaikan suatu petunjuk untuk berhenti. Semua pikiran itu harus disingkirkan dan Anda harus memberikan seluruh perhatian Anda kepada Tuhan. Ada sebuah keheningan dalam jiwa saat kita mengenakan kerudung Misa. Kerudung itu menarik kita kepada Yesus. Kerudung menarik kita ke dalam suasana doa. Ia membuat kita ingin menjadi kudus. Ia menarik kita kepada apa yang berada jauh di dalam diri kita, sebuah inti feminim yang dimiliki oleh para wanita.

Jika seandainya Anda adalah seorang wanita yang memakai mantillamu saat misa, dan Anda menjadi takut dan malu karena dilihat, dicibir bahkan ditegur oleh orang banyak di dalam gereja karena dianggap ikut-ikutan agama lain, INGATLAH! Bahwa apa yang mereka katakan bukanlah tujuanmu sama sekali. Kamu harus tahu, siapa yang ingin kamu lihat di gereja. Kamu datang bukan untuk melihat orang-orang itu. Tetapi kamu datang untuk melihat Tuhan! Anda tidak perlu peduli dengan apa yang orang pikirkan, tetapi Anda harus peduli pada apa yang Tuhan pikirkan tentang dirimu. Tetaplah fokus pada cinta dan keimananmu kepada Tuhan. Ini bukan tentang, “Hei, lihat saya! Saya lebih suci daripada kamu!” Tidak!. Ini adalah tentang saya menunjukkan penghormatan, ketundukan, dan cinta kepada Yesus. Itulah tujuannya!

Memang benar, memakai mantilla saat Misa memerlukan pertimbangan dan  kesiapan batin yang begitu mendalam. Tetapi, hal itu merupakan langkah awal yang bagus dengan memaknai maksud dan arti dari mantilla itu sendiri. Kami Misdinar St Tarsisius mendoakan Anda semua semoga suatu saat dapat menemukan keberanian untuk memakainya dan menikmati kasih Tuhan lebih mendalam lagi. Dan terus ikuti perkembangan sosialisasi ini dengan mem-follow laman instagram kami di @ppasttarsisiusskw. Ayo bermantilla bagi Tuhan! (Nicolas Gratia Gagasi)
 

30 Jul 2017

Kobarkan Semangat AYD di Kota Singkawang


Gawe akbar kembali digelar Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi Singkawang. Giat yang digadang akan diselenggarakan dari tanggal 30 Juli hingga 1 Agustus 2017 dan berskala internasional ini membidik kaum muda Katolik sebagai sasarannya. Sebanyak 30 orang tamu dari India, Myanmar dan juga dari region lokal Kalimantan; Ketapang, Sintang, dan Sanggau akan menyambangi kota amoy, tinggal bersama orang tua angkat, dan terlibat dalam berbagai acara yang telah disusun oleh panitia. 


Kedatangan 30 tamu ke kota seribu kelenteng ini dalam rangka Asian Youth Day (AYD). AYD merupakan suatu wadah bekumpulnya Orang Muda Katolik (OMK ) sebenua Asia dan digelar setiap tiga tahun sekali. Sebanyak 3000-an OMK dari 22 negara di Asia akan berkumpul dan mengikuti rangkaian acara yang akan diselenggarakan. AYD bercikal dari ide pembina OMK se-Asia dan disetujui oleh Federasi Konferensi Uskup-uskup se-Asia. AYD sendiri bertujuan untuk menumbuhkan semangat pewartaan kasih di kalangan muda Katolik. Dalam penyelenggaraannya, AYD terdiri dari 3 acara besar yakni Days in the Diocese, Days in AYD' Venue, dan Asian Youth Ministers' Meeting. Days  in the Dioceses diadakan 3-4 hari dimana peserta AYD tinggal (live in) di keuskupan-keuskupan negara tuan rumah, baru setelah itu para peserta live in akan diberangkatkan ke pusat berlangsungnya Days in AYD' Venue. AYD tercatat sudah enam kali digelar di berbagai negara, antara lain Thailand, Tiongkok, India, Hongkong, Filipina, dan Korea. Tahun ini Indonesia didaulat menjadi tuan rumah penyelenggara AYD, dan Keuskupan Agung Semarang yang berpusat di Kota Jogjakarta dipercaya sebagai penyelenggara utamanya. 


Paroki Singkawang merupakan salah satu paroki yang ditunjuk menjadi tempat Days in the Diocese telah mempersiapkan diri jauh-jauh hari untuk menyambut para tamu AYD. Serangkaian acara telah dipersiapkan oleh panitia dari Paroki Singkawang, antara lain city tour dan malam pentas hiburan. Beberapa tempat yang akan disambangi ketika city tour digelar antara lain Rumah Melayu, Masjid Raya, Kelenteng Tri Dharma Bumi Raya, Rumah Marga Tjhia, Vihara Dewi Kwan Im Kiung, GKKB, Tugu Naga, Rumah Radakng, Pantai Tanjung Bajau, dan Rumah Sakit Kusta Alverno. Bukan tanpa maksud tempat-tempat itu dipilih sebagai tujuan city tour. Panitia menilai tempat-tempat tersebut sangat mewakili kebhinekaan dan keindahan Kota Singkawang yang selama ini dikenal sangat toleran  bahkan berhasil menyabet peringkat ketiga kota paling toleran se-Indonesia. Di samping itu terdapat pula sebuah rumah sakit yang juga akan disambangi yaitu Rumah Sakit Kusta Alverno. Rumah sakit yang pada tahun ini genap berusia seabad itu menjadi destinasi juga bukan tanpa sebab, hal ini mengingat bahwa di regional Kalimantan, Alverno merupakan satu-satunya rumah sakit yang khusus menangani pasien kusta.


Ditemui di sela-sela aktivitasnya Pastor Paroki Singkawang, Stephanus Gathot Purtomo, OFM.Cap., menyampaikan kegembiraannya. Dengan sumringah beliau menyatakan bahwa Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi Singkawang dengan penuh suka cita menyambut kehadiran para peserta AYD. "Kehadiran Anda sungguh merupakan rahmat dari Tuhan bagi kami. Selamat datang dan selamat menikmati live in di paroki kami, Singkawang kota seribu kelenteng," ujarnya.
Drs. Titus Pramana, M.Pd., selaku koordinator seksi acara juga menyatakan hal serupa. Beliau berharap banyak hal positif dapat dipetik dari kegiatan yang sedianya akan berlangsung selama tiga hari ke depan, "Saya berharap seluruh kegiatan yang dikemas dapat berjalan lancar dan menjadi suatu kenangan tidak terlupakan tentang Kota Singkawang yang indah dan toleran bagi tamu lokal maupun mancanegara yang akan hadir. Di samping itu saya juga mengundang orang muda Katolik untuk hadir dan menyaksikan pagelaran pentas seni pada malam tanggal 31 Juli 2017 di halaman Gereja Katolik Santo Fransiskus Asissi Singkawang," pungkasnya. (Hes)





29 Mei 2016

EKM Capkala Bertabur Pesona Imam Baru Kapusin

EKM Capkala Bertabur Pesona Imam Baru Kapusin

Sore itu pelataran Gereja Santo Gregorius Agung Capkala dipenuhi oleh orang muda Katolik. Mereka datang dari berbagai macam stasi baik yang dekat maupun jauh untuk mengikuti Ekaristi Kaum Muda yang dirayakan setiap dua tahun sekali. Antusias orang muda Katolik untuk mengkuti acara ini sangat besar mengingat EKM kali ini sedikit berbeda dengan yang pernah diadakan sebelumnya. EKM yang dilaksanakan pada tanggal 23 April 2016 tersebut dihadiri dan dipimpin oleh empat imam muda yang baru saja ditahbiskan bersamaan dengan Pastor Paroki Singkawang. Ini merupakan EKM pertama yang dihadiri dan dipimpin oleh lima imam.

Acara pun di mulai pada pukul 18:30 dengan perarakan para imam yang diiringi oleh tarian Dayak. Pada pembukaan perayaan Ekaristi, Pastor Kristian Mariadi, OFMCap mengatakan bahwa orang muda Katolik harus menjadi insan yang bergembira dan penuh sukacita serta mau menghayati imannya. Tema EKM kali ini adalah “Aku datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.” Lima imam tersebut mencerminkan murid Yesus yang dipanggil untuk melayani. Orang muda Katolik pun diharapkan agar mau menjawab panggilannya masing-masing dan menghayatinya dengan cara yang berbeda-beda demi kemuliaan Tuhan. Perayaan ekaristi pun berjalan dengan hikmat dan diakhiri dengan sebuah lagu ciptaan keempat imam Kapusin yang baru ditahbiskan. Lagu tersebut berisikan moto-moto yang menjadi pegangan hidup serta tiang besi yang memperkuat panggilan mereka untuk menjadi imam.

Acara kemudian dilanjutkan dengan sambutan Pastor Paroki Singkawang, Gathot OFMCap. Di dalam sambutannya, Pastor Gatot mempromosikan sebuah acara besar untuk orang muda Katolik yaitu Singkawang Youth Day 2016. Acara yang akan diadakan pada tanggal 24 s/d 26 Juni 2016 tersebut merupakan puncak dari seluruh rangkaian EKM dan puncak kegiatan orang muda Katolik Singkawang. Setelah itu kegiatan dilanjutkan dengan acara berupa bincang-bincang bersama keempat imam muda Kapusin.

Di dalam bincang-bincang tersebut, para imam muda Kapusin menceritakan tentang pengalaman, pandangan hidup dan perjuangan mereka di dalam menempuh proses studi untuk menjadi pastor. Dimulai dari Pastor Lorenzo Helli, OFMCap yang mengatakan bahwa proses untuk menjadi seorang imam tidak dapat ditempuh dalam waktu yang singkat. Paling cepat membutuhkan waktu 10 tahun. Oleh karena itu, untuk menjadi imam diperlukan tekad yang kuat untuk benar-benar menghayati panggilan.

Bincang-bincang kemudian dilanjutkan oleh Pastor Alfonsus Hengky Musa, OFMCap yang menyanyikan sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Once yang berjudul “Aku Cinta Kau Apa Adanya.” Lagu tersebut diiringi oleh petikan gitar Pastor Dominikus Dedy Sabemayono, OFMCap dan dinyanyikan bersama seluruh peserta EKM. Setelah bernyanyi, Pastor Alfon mengatakan bahwa ia sangat menyukai lagu tersebut. “Aku mencintaimu bukan karena kamu orang kaya dan malaupun kamu menyakiti aku. Aku ingin mendampingimu dan mencintaimu tanpa syarat.” Begitulah pesan yang disampaikan oleh Pastor Alfon terkait dengan lagu yang baru saja dinyanyikannya. “Lagu tersebut benar-benar menggambarkan Yesus yang mau mencintai tanpa syarat,” tegasnya.

Tak hanya Pastor Alfon yang unjuk kemampuan bernyanyi, Pastor Dedi pun menyanyikan sebuah lagu yang berjudul Bunga di Tepi Jalan. Lagu tersebut dinyanyikannya karena menggambarkan sebuah pengalaman yang menguatkan tekadnya untuk menjadi seorang imam kapusin. Kejadian tersebut bermula ketika ia sedang dalam perjalanan pulang dari Aris. Kala itu jalan yang ditempuh Pastor Dedi sangat licin dan berlumpur karena hujan yang cukup deras. Karena kehilangan keseimbangan, ia pun jatuh dari motor yang ditumpanginya. Saat itu ia melihat setangkai bunga di tepi jalan yang berbentuk hati yang memiliki corak seperti salib tao di tengahnya. “Seketika itu juga saya langsung jatuh hati dengan bunga tersebut. Di dalam bunga itu juga terdapat garis-garis yang menggambarkan perjalanan hidup saya dan semuanya ada di dalam bentuk hati,” ujar Pastor Dedi ketika menceritakan pengalamannya tersebut.

Bincang-bincang pun dilanjutkan dengan sebuah pantun dari Pastor Kris. “Paling enak rebung muda. Lebih enak telor asin. Kutantang kau kaum muda! Untuk jadi pastor Kapusin!" Beliau mengatakan bahwa dalam perjuangan menjadi pastor, kadang ada jatuh dan kadang ada semangatnya. Di dalam perjalanannya menjadi pastor, Pastor Kris mengakui bahwa panggilannya dikuatkan oleh doa dan sharing dengan saudara/i yang ditemuinya. Ia pun memohon doa kepada peserta EKM agar ia dan imam lainnya tetap setia menjadi imam kapusin sampai di peti mati. Rangkaian kegiatan EKM Capkala diakhiri dengan renungan yang diiringi alunan musik sape’ dan biola. Renungan tersebut berjalan dengan tenang dan hikmat. Tak sedikit orang muda Katolik yang meneteskan air mata ketika renungan yang disampaikan menyinggung tentang masalah dan kekecewaan manusia yang mau ditanggung oleh Yesus. (Gebot)


15 Jul 2015

LAPORAN KEUANGAN BPPKS ST. FRANSISKUS ASISI DARI TANGGAL 19 JUNI 2014 S/D 22 JUNI 2015

PEMASUKAN DAN PENGELUARAN KEUANGAN BPPKS 

   DARI TANGGAL 19 JUNI 2014 S/D 22 JUNI 2015 ( 1 TAHUN 3 HARI)    


                                   
                                           
    A.     PEMASUKAN                                   
        1.    Sumbangan Perorangan / Badan / Organisasi                               
            1.1    H. Andri Alim Lingga                                    Rp           5.000.000                        
            1.2    Dr. Theresia, SPA                                           Rp           5.000.000                        
            1.3    Ny. Victoria ( Bu Viki)                                   Rp           9.500.000                        
            1.4    Dr. Trifina, S.POG                                          Rp           7.000.000                        
            1.5    Dr. Veridiana, S.POG                                      Rp           7.000.000                        
            1.6    Paulus Karno / Jie Lie Ngo                             Rp           1.000.000                        
            1.7    Marselinus                                                       Rp              500.000                        
            1.8    Pak Tedy (Jakarta)                                           Rp         10.000.000                        
            1.9    Ho Nyan Sen                                                   Rp                85.000                        
            1.10  Y. Kaswin                                                        Rp              850.000                        
            1.11  Y. F. Sujianto                                                   Rp         13.000.000                        
            1.12  Lewat Rekening P. Gathot                              Rp           6.500.000                        
            1.13  NN                                                                  Rp           1.000.000                        
            1.14  Melysa                                                            Rp           1.000.000                        
            1.15  Keluarga Denny Gregorius                             Rp           1.000.000                        
            1.16  Keluarga Tricia Yulia                                      Rp              500.000                        
            1.17  Suriyanti dan Viven                                        Rp              300.000                        
            1.18  Yohanes Aphin                                               Rp           5.000.000                        
            1.19  Suseno Purwo                                                 Rp              360.000                        
            1.20  NN Lewat P. Ghatot                                        Rp           1.000.000                        
            1.21  CU Bonaventura Singkawang                        Rp           5.000.000                        
            1.22  Keluarga Yomandi Loka lewar Sun Cen        Rp           6.000.000                        
            1.23  Pastor Kepala Paroki (P. Gathot)                    Rp         63.400.000                        
            1.24  NN lewat Pak Sujianto                                   Rp              600.000                        
        2    Terima uang liang lahat                                         Rp         16.300.000                        
        3    Terima sewa tenda dan kursi                                 Rp         18.938.500                        
        4    Untung penjualan Lilin 2 November 2014           Rp           2.032.000                        
        5    Iuran umat Katolik Paroki Singkawang                Rp         53.690.000                        
    JUMLAH PEMASUKAN                                              Rp       241.555.500                        
                                           
    B.    PENGELUARAN                                   
        1    Biaya pembuatan tenda (4 buah)                          Rp         14.350.000                        
        2    Pembelian Kursi (200 kursi)                                Rp         14.000.000                        
        3    Pembuatan Peti Mati                                            Rp           4.500.000                        
        4    Penimbunan tanah, potong kayu,

              dan bersihkan sampah                                          Rp         63.400.000                        
        5    Perlengkapan Kantor                                            Rp           2.389.000                        
        6    Perlengkapan Liturgi                                            Rp           2.197.000                        
        7    Perlengkapan ibadat dirumah duka                      Rp           2.950.000                        
        8    Biaya pasang bongkar tenda, 

              pengangkutan kursi                                              Rp         19.645.000                        
        9    Pembelian ATK dan Foto Copy                           Rp           2.484.200                        
        10    Pembelian Komputer, Laptop, Internet              Rp         13.269.500                        
        11    Konsumsi (Makan, Minum, Kue)                      Rp           2.184.000                        
        12    Upah kerja tebas halaman, cat kursi, 
                pembersihan gudang/garasi,                        
                semprot kuburan dengan Herbisida                   Rp           2.398.000                        
        13    Biaya ekspedisi (ongkos kirim baju kaos)         Rp              470.000                        
        14    Menyumbang umat Sanggau Ledo                    Rp              200.000                        
        15    Gaji Karyawan (Feri + Febriana / Juni 2015)    Rp         14.750.000                        
        16    Pembangunan 30 liang lahat                              Rp         40.290.000                        
        17    Bayar uang muka beli Mobil Y. Aphin              Rp         35.000.000                        
            (Mitsubishi PS 100, engkel Pick Up warna kuning)                               
    JUMLAH PENGELUARAN                                         Rp       234.476.700                        
                                           
    JUMLAH PEMASUKAN                                             Rp.      241.555.500
    JUMLAH PENGELUARAN                                         Rp      234.476.700                        
    SALDO                                                                          Rp.         7.078.800
                     

Apa yang sudah terlaksana oleh Badan Pelayanan Pemakaman Katolik Singkawang (BPPKS) St. Fransiskus Assisi selama kurun waktu 1 tahun dari tanggal 19 Juni 2015 sampai 22 Juni 2015?

Melihat dan membaca dari laporan keuangan yang dikelola BPPKS St. Fransiskus Assisi Singkawang tercermin dari pemasukan sebesar Rp.241.555.500,00 dan pengeluaran sebesar Rp.234.476.700,00 dan saldo Rp.7.078.800,00 telah menunjukkan kejelasan bahwa tidak sedikit kebutuhan pelayanan pemakaman selama satu tahun. Menginjak tahun kedua BPPKS St. Fransiskus Assisi Singkawang, sangat diharapkan partisipasi yang aktif dari seluruh umat Katolik Paroki St. Fransiskus Assisi Singkawang untuk membayar iuran tahunan yang sudah ditetapkan, rasanya masih belum memadai, apalagi masih diperlukan dana yang tak sedikit untuk membayar mobil dan membangun tembok pagar yang roboh sepanjang 40m dan untuk membersihkan rumput atau tumbuhan lain yang mulai menghutan.

Untuk memenuhi kebutuhan pelayanan pemakaman, BPPKS St. Fransiskus Assisi telah mengedarkan proposal yang dilaksanakan oleh seksi dana lewat 14 Kring dan 1 Stasi serta para donatur umat Katolik di Paroki Singkawang.Semoga demi tercapainya program pelayanan pemakaman Katolik Paroki St. Fransiskus Assisi Singkawang mendapat tanggapan yang baik dan positif dari seluruh umat Katolik Paroki Singkawang maupun dari umat Katolik Singkawang yang berada di tempat lain, seperti di Jakarta dan di manapun mereka tinggal.

KETUA BPPKS :    Y.F. SUDJIANTO 
WAKIL KETUA:    LIBERTUS AHIE,SH








                        

1 Des 2016

Hitam Putih di Balik Kerudung Misa

Hitam Putih di Balik Kerudung Misa


Sudah sejak tanggal 10 Juli 2016, Putri Altar Paroki Singkawang mengenakan mantilla setiap kali melayani di altar dan dalam perayaan liturgi lainnya demi menyadarkan umat betapa kudusnya misa yang kita rayakan. Ada berbagai banyak kalangan yang sangat mendukung ini karena ada alasan historis, teologis dan psikologis dalam penggunaan mantilla. Namun, tak sedikit yang menentang dan mempertanyakan devosi tradisional ini. Kami merasa bahwa, mereka yang menentang ini bukan bermaksud untuk berniat jahat, melainkan karena minimnya katekese (pengajaran) mengenai devosi yang satu ini. Kali ini kami akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang pernah diajukan kepada kami supaya tidak ada hitam-putih dibalik mantilla serta memberi pertanggungjawaban atas pengharapan yang ada pada kami (bdk 1 Petrus 3:15) 

1. Siapa yang memberi izin kepada kalian untuk menggunakan mantilla?

Kami meminta izin ‘langsung’ kepada Mgr. Agustinus Agus setelah pulang dari tugas pelayanan altar dari upacara pemberkatan gedung Gereja St. Mikhael yang baru di Pangmilang pada hari Sabtu, 18 Juni 2016. Beliau sangat mengharapkan dengan adanya mantilla, umat Paroki Singkawang bisa semakin khusyuk, menghormati dan menghargai misa, serta lebih militan (setia) kepada Yesus dan Gereja-Nya yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik.

2. Apa dasar kalian untuk membangkitkan mantilla?


Mantilla adalah tradisi tua gereja kita. Dasar kami untuk membangkitkan mantilla adalah dari 1 Korintus 11:1-16 di mana St. Paulus meminta perempuan untuk berkerudung saat menghadap Tuhan. Jika kita lebih meneliti dari setiap ayat pada perikop tersebut, St. Paulus mengatakan bahwa rambut panjang yang diberikan kepada perempuan itu untuk menjadi penudung bagi dirinya. Namun jika demikian, mengapa St. Paulus meminta perempuan untuk berkerudung padahal ia mengatakan bahwa rambut diberikan oleh Tuhan sebagai penudung? Alasannya sama dengan alasan mengapa pasangan menikah menggunakan cincin kawin, padahal Sakramen Perkawinan sah-sah saja tanpa cincin. Ini karena manusia membutuhkan tanda kelihatan dari realita yang tidak kelihatan. Manusia adalah makhluk jasmaniah yang sangat merespon terhadap simbol-simbol yang terlihat. Menggunakan mantilla saat misa, menunjukan bahwa Allah sungguh hadir dalam Misa Kudus, di mana surga turun ke bumi demi menghormati Tuhan dalam rupa roti dan anggur. Inilah tanda bahwa kerudung mantilla menunjukan kenyataan dari realita yang tidak kelihatan. Selain itu juga berdasarkan Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1262 “…akan tetapi, wanita harus menudungi kepalanya dan harus berbusana santun, terutama ketika mereka mendekati Altar Tuhan.” Putri Altar mempunyai tugas yang sama dengan Putra Altar. Karena itu ketika Putri Altar mendekati apalagi melayani di Altar, mereka senantiasa menudungi diri dengan mantilla, walaupun hal tersebut bukanlah lagi suatu kewajiban setelah berlakunya KHK 1983. 

3.Nah, kalau bukan kewajiban kenapa harus memakainya?
 
    Iman Katolik memiliki aturan-aturan dasar dan dogma-dogma fundamental yang wajib diimani oleh siapapun yang merasa diri sebagai Katolik. Namun, ada lebih banyak lagi hal-hal yang tidak diwajibkan namun sangat baik untuk dilaksanakan. Misalnya berpuasa satu jam saja sebelum menerima Komuni Kudus atau melakukan puasa dan pantang di luar masa prapaskah. Semenjak diberlakukannya KHK 1983, mantilla berada di nasib yang sama seperti kedua contoh diatas. Memang bukan kewajiban, namun bukan berarti dikesampingkan begitu saja. Lantas, apa yang menjadi dasar pemakaian mantilla? Kasih yang dalam kepada Yesus! Kasih yang sejati tidak akan melakukan hal yang minimal, melainkan ia akan melakukannya lebih dan lebih lagi. Bermantilla di hadapan Sakramen Mahakudus adalah salah satu cara untuk mencintai Kristus dengan cara “ekstra”, melampaui batas-batas minimal yang ditetapkan gereja.

4.Ngapain bermantilla? Lagian Tuhan memandang hati dan saya sudah mencintai-Nya dengan hati saya!


Argumen “Yang penting Allah melihat hati (bdk 1 Samuel 16:7)” selalu terngiang-ngiang saat membahas ungkapan-ungkapan iman yang bersifat jasmaniah. Mempelajari iman Katolik? Ah iman tak perlu diperdebatkan yang penting hatinya. Berusaha menjalankan liturgi dengan benar? Ah Tuhan melihat hati, buat apa berliturgi tapi hatinya jahat. Bermantilla? Ndak usah aneh-anehlah! Macam orang Islam! Yang penting Tuhan melihat hati. Kita harus berhati-hati dalam mengutip atau menggunakan ayat-ayat suci sebagai pembenaran atas kemalasan pribadi atau ketidaksukaan dengan praktik ini. Saat akan mengutip, perhatikan juga ayat selanjutnya. Seloroh yang “penting hatinya” seolah mengatakan kalau jiwa dan tubuh manusia tidak berjalan berbarengan. ‘yang penting hati’ ini bisa jadi betul, asalkan hati tersebut sudah dimurnikan oleh Sakramen Ekaristi, Sakramen Tobat dan hidup kudus.
 
Tuhan telah bersabda “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesama mu manusia seperti dirimu sendiri” (bdk Mat 22:37). Ia menuntut kita untuk mengasihi-Nya dengan segenap hati, jiwa, kekuatan dan akal budi. Gelora kasih yang sungguh sejati dan bukan gombal tentu akan mendorong tubuh untuk melakukan segala sesuatu demi yang terkasih. Mengenakan Mantilla hanyalah salah satu usaha kecil dan sederhana untuk memenuhi tuntutan kasih yang tinggi itu.

5. Putri Altar kita mengenakan semacam ‘hijab’! Apakah mantilla hanya dipakai oleh anak PPA yang putri?

Ini adalah keberatan yang mereduksi tradisi berkerudung sebagai kebiasaan Islami saja, tanpa berpikir bahwa berkerudung dalam ibadah merupakan praktik yang umum dilakukan oleh komunitas-komunitas Yahudi, Kristen Ortodoks, Hindu dan lain-lain. Sebagai devosi Ekaristis, wanita Katolik hanya mengenakannya di hadapan Sakramen Mahakudus, entah itu saat Misa, adorasi, pengakuan dosa, dan lain-lain. Selain itu, sangat jelas kalau bentuk mantilla sangat berbeda dengan hijab Muslim. Mantilla tidak hanya dipakai oleh Putri Altar, namun dapat digunakan oleh semua wanita Katolik tanpa terkecuali. Putri Altar mengenakan mantilla ingin menegaskan bahwa misa yang kita rayakan itu kudus adanya. Oleh sebab itu, sebagai umat beriman, hendaknya menaruh hormat yang besar kepada Yesus yang hadir dalam perayaan Ekaristi sehingga Misa tidak menjadi suatu ajang pertemuan sosial dengan kenalan kita.

6. Gereja selalu memperbaharui diri. Mantilla itu tradisi kuno!
   
Memang benar zaman telah berubah dan terus berkembang. Bahkan dalam kehidupan realitas di negara kita, banyak orang tetap mempertahankan kebudayaan mereka tanpa mesti hanyut dalam perkembangan zaman. Begitu juga dengan mantilla. Mantilla mempunyai nilai-nilai  Katolik yang mencangkup penghormatan yang pantas kepada Allah, kemurnian, perjuangan menuju kekudusan, kerendahan hati dan martabat perempuan. Apabila itu semua terdengar asing, kuno dan radikal dan mantilla dianggap melawan arus modern, itu bukan karena nilai-nilainya yang salah melainkan karena budaya zaman ini yang banyak menyeleweng.
 
7.Busana apa yang cocok saat dipadukan dengan Mantilla? Apakah kerudung misa harus mantilla? Apakah Mantillanya harus diberkati terlebih dahulu?

Dari sudut pandang fashion, mantilla tidak cocok dipadukan dengan baju yang terlalu santai, terlalu ramai, terbuka, atau terlalu ketat. Maka coba luangkan waktu untuk memikirkan pakaian apa yang pantas untuk menghadiri misa kudus. Kalau bisa, kenakan rok yang santun dan tidak ketat dengan panjang di bawah lutut. Memang memilih pakaian untuk misa sudah seharusnya sedikit merepotkan. Jika kita sendiri sering ribet dengan pakaian untuk pesta buatan manusia, mengapa kita sendiri tidak mau repot untuk menghadiri pesta perkawinan kita sendiri dengan Kristus?
 
Bagi Anda yang sudah tergerak untuk memuliakan Kristus secara khusus dengan bermantilla namun tidak bisa beli secara online maupun tidak sempat membuat sendiri, kerudungnya tidak harus mantilla. Anda dapat menggunakan kain-kain lainnya seperti syal, pashmina, atau bandana besar. Tidak ada keharusan untuk meminta berkat imam atas mantilla yang akan dikenakan, tetapi tentu hal tersebut sangat baik. Perlu diingat bahwa mantilla yang sudah diberkati tentu harus diperlakukan dengan hati-hati.

8. Bukankah tradisi berkerudung hanya dipakai di Misa Latin saja?
 
Betul, kebiasaan berkerudung merupakan warisan dari Misa Latin Tradisional/Traditional Latin Mass (TLM), yang kini banyak dikenal sebagai Misa Forma Ekstraordinaria. Namun Yesus yang kita sembah, baik dalam TLM maupun Misa Novus Ordo (tata cara misa yang sekarang) adalah Yesus yang sama dan seharusnya kita mengenakannya dalam bentuk misa apapun, tidak terbatas dalam TLM 

9.Apabila kebiasaan berkerudung, terutama dalam lingkup peribadatan, sudah lama menjadi tradisi Katolik, apalagi didukung oleh landasan bibliah (1 Korintus 11:1-16) dan tulisan  para Bapa Gereja, bahkan pernah disuratkan secara eksplisit dalam KHK 1262, mengapa Hukum Kanonik yang baru (KHK 1983) tidak lagi mencantumkannya? Bukankah Gereja Katolik menghormati tradisi para rasul? Bukankah hal tersebut seolah-olah terputusnya sebuah warisan tradisi yang sudah berjalan hampir 2000 tahun, nyaris setua usia gereja itu sendiri? Adakah kaitannya dengan menurunnya rasa hormat kepada Ekaristi?
 
Pertanyaan-pertanyaan di atas sungguh tidak mudah dijawab. Banyak yang mengaitkannya dengan fenomena revolusi seksual yang terjadi tahun 1960-1970an di belahan bumi barat di mana lahirnya ideologi feminisme radikal, serta normalisasi kontrasepsi, aborsi dan seks bebas. Ada juga yang mengkaitkan dengan “hanya” pergeseran budaya akibat moderenisasi di segala bidang, terutama dalam hal keagamaan. 

Sampai sekarang, pertanyaan-pertanyaan tersebut masih menjadi bahan permenungan bagi kita. Jika kita sudah mengerti bahwa Allah sendiri yang mengkehendaki wanita untuk berkerudung (bdk 1 Korintus 11:2-16) mengapa kita yang sudah mengetahuinya tidak mau melakukan kehendak Allah? Mantilla adalah sarana devosi pribadi bukan sebuah aksesoris yang menunjukan rasa rendah hati dan kesederhanaan di hadapan Tuhan. Namun hanya mengenakan mantilla saja tanpa dibarengi kedisiplinan rohani lainnya, maka mantilla tersebut tidak ada artinya lagi.

Meskipun kini praktik berkerudung dalam misa bukan lagi kewajiban secara kanonik, namun mengingat sejarah ajaran dan penggunaannya yang begitu panjang serta bukan tanpa alasan, maka praktik ini sangatlah baik untuk dihidupkan kembali sebagai devosi pribadi seperti halnya Saudara Seiman kita di Korea Selatan dan Negara Eropa lainnya yang mempertahankan tradisi ini. Mari mengungkapkan iman kita dengan bermantilla dan cintailah tradisi! (PPA St. Tarsisius Paroki Singkawang)