Tambahkanlah Iman Kami
Cuaca sore nan panas memaksa saya untuk segera keluar dari “sarang” dan pandangan mata saya tertuju pada pohon rindang nan hijau di halaman gereja. Ke tempat itulah akhirnya saya berlabuh untuk duduk dan melepaskan diri dari rasa panas. Sambil menikmati semilirnya angin, saya biarkan pikiran saya ngelantur kemana dia mau. Tiba-tiba saja tanpa saya sadari di samping saya sudah berdiri tiga gadis cilik masih lengkap dengan seragam sekolah dasarnya. Secara serentak mereka mengulurkan tangan mau menyalami saya. Dua gadis itu saya kenali wajahnya, meski tidak tahu siapa nama mereka. Sedangkan yang satunya sangat asing untuk mata saya. Mungkin baru kali ini saya bertemu dengannya.
“Kalian dari mana?” tanya saya kepada mereka begitu mereka selesai menyalami tangan saya.
“Kami dari gua Maria,” jawab seorang yang saya kenali wajahya.
“Pastor, boleh nanya gak?” tanyanya lagi.
“Oh boleh-boleh. Sini mau tanya apa?” jawab saya sambil menawarkan mereka duduk.
“Ini temanku, agamanya Budha. Dia minta kami antarkan untuk sembahyang bersama di Gua Maria. Boleh kan ya, Pastor?” tersirat rasa takut di balik pertanyaannya.
“Oh gak papa. Berdoa itu kan baik. Jadi gak masalah. Boleh. Tapi ngomong-omong, gimana kalian berdoanya?” tanya saya dipenuhi rasa penasaran.
“Tadi, aku ambil kertas, Pastor. Lalu aku tulis doa Salam Maria dan kami baca bersama-sama,” jawab anak yang lain penuh percaya diri.
Sambil tersenyum saya menganggukkan kepala tanda setuju. Anak yang sungguh pintar dan kreatif.
Betapa bahagia orangtua yang mempunyai anak-anak seperti mereka. Kata saya dalam hati.
“Satu lagi, Pastor mau tanya ya. Emang kalian berdoa apa kepada Tuhan lewat Bunda Maria?”
Kali ini gadis cilik yang asing bagiku, mulai angkat bicara.
“Kami berdoa untuk adikku yang lagi sakit kanker. Sekarang dia lagi opname di Rumah Sakit Serukam,” jawabnya terbata-bata.
Mendengar kata kanker spontan saya terkejut. Saya lihat anak itu pun segera menundukkan kepala seolah mau menyembunyikan wajahnya. Dia tidak mau memperlihatkan kesedihannya di hadapan saya. Tetapi saya bisa melihat butiran bening tiba-tiba menetes dari matanya. Secara refleks saya pegang pundaknya. Sebisa mungkin memberikan penghiburan kepadanya.
“Boleh pastor juga berdoa untuk adikmu?” tanya saya mencoba memecah keheningan.
Setelah mengusap air matanya, anak itu menatap saya dan menganggukkan kepala. Tetapi segera dia menundukkan kepalanya lagi. Tak kuasa dia membendung air matanya.
“Boleh pastor juga tahu siapa nama adikmu? Biar nanti pastor bisa sebutkan namanya dalam doa,” tanya saya sekali lagi setengah berbisik ke telinganya.
“Namanya Leo, Pastor”, kata teman yang duduk di sampingnya. Sepertinya dia pun memahami kesedihan temannya.
“Baik. Pastor berjanji akan selalu mendoakan Leo. Semoga Tuhan memberkati Leo ya. Kita berdoa bersama demi kesembuhan Leo.”
Tiba-tiba hati saya pun ikut hanyut dalam suasana haru dan sedih. Kerongkongan saya serasa tersumbat. Mata saya pun mulai mengembang dan terasa hangat. Tetapi dengan sekuat tenaga saya mencoba menahan jangan sampai air mata saya menetes keluar. Saya tidak ingin menambah kesedihan gadis cilik yang duduk di samping saya.
“Pastor kami pulang sekarang ya!” kata anak yang dari tadi hanya lebih banyak diam. Mendengar ajakan pulang, tiga anak itu serentak berdiri. Kembali lagi mereka mengulurkan tangan kepada saya.
“Baik. Hati-hati di jalan ya. Dan jangan lupa. Kita semua berdoa untuk Leo,” jawab saya sambil menerima uluran tangan mereka.
Bertiga mereka mohon pamit dan mulai meninggalkan saya yang hanya berdiri mematung. Nampak suatu pemandangan yang sangat indah dan mengaharukan. Dua anak mencoba memapah kakak Leo dan mereka berjalan sambil berangkulan. Kebersamaan tiga bocah cilik ini mau memberikan pesan bahwa kesedihan dan penderitaan mau mereka tanggung bersama.
Meski hanya sekejap, tetapi peristiwa sore itu meninggalkan banyak pesan kepada saya. Pertama, seorang yang beragama Budha mempunyai iman penyerahan yang luar biasa. Entah apa latar belakangnya dia berdoa lewat Bunda Maria, tetapi saya merenungkannya sebagai satu bentuk penyerahan diri kepada Tuhan lewat Bunda-Nya. Di tengah kesedihannya, dia lari kepada Tuhan melalui Bunda Maria. Iman yang sedemikian ini belum tentu saya miliki meskipun saya seorang Katolik yang mempunyai devosi kepada Bunda Maria. Saya harus belajar banyak dari bocah cilik yang punya keyakinan lain dengan saya.
Kedua, ketiga bocah cilik itu memiliki kepedulian yang sangat istimewa terhadap Leo yang sedang mengalami sakit kanker. Kepedulian mereka sungguh menohok hati saya karena sebagai gadis-gadis cilik mereka tidak memiliki apa-apa. Di tengah keterbatasan mereka mempunyai hati untuk orang lain yang sedang menderita. Suatu persembahan nan indah bisa mereka berikan kepada Leo, yakni doa bersama.
Ketiga, ketiganya memiliki rasa kebersamaan. Mereka membongkar sekat-sekat perbedaan di antara mereka. Perbedaan agama tidak mereka persoalkan. Justru mereka bisa bersatu dan berdoa bersama. Benar apa yang sering dikatakan bahwa kebersamaan itu sangat indah. Kali ini justru kebersamaan itu diperlihatkan oleh ketiga gadis cilik.
Setelah mereka hilang dari pandangan saya, saya pun kembali masuk ke “sarang” saya. Terimakasih adik-adik atas iman kalian dan kebersamaan kalian yang sangat indah. Dalam hati saya pun memanjatkan doa yang pernah disampaikan oleh para murid Yesus ”Tuhan tambahkanlah iman kami.” (Stephanus).