Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri iman katolik. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri iman katolik. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

13 Sep 2016

Peresmian dan Pemberkatan `Santo Mikael` Pangmilang



Peresmian dan Pemberkatan `Santo Mikael` Pangmilang


Di ambang sore 18 Juni 2016, nun pada kilometer 12 kecamatan Singkawang Selatan dihelat gawe besar peresmian sekaligus pemberkatan Gereja Katolik Santo Mikael Pangmilang. Di tengah guyuran hujan yang tanpa ampun mendera sebagian besar wilayah Kota Singkawang ternyata tak menyurutkan iring-iringan kendaraan walikota, Drs. Awang Ishak, M.Si yang didaulat meresmikan gereja yang pengerjaannya memakan waktu menahun ini. Kala rombongan walikota hadir, Bapa Uskup Keuskupan Agung Pontianak, Mgr. Agustinus Agus yang telah tiba terlebih dahulu dengan sigap menyambut kehadiran orang nomor satu di kota Singkawang tersebut.

Berjarak beberapa meter dari gereja, rombongan walikota bersama uskup diarak dengan tarian penyambutan yang menampilkan kebolehan dan aksi bujang dan dara-dara Dayak dalam gemulai gerakannya. 

Prosesi awal walikota yang didampingi uskup didapuk menebas bambu penanda gereja yang dikunjungi oleh walikota terbuka bagi umat Katolik pada umumnya maupun warga yang berkepentingan. Tak berhenti sampai di situ, walikota dalam sambutannya juga menggarisbawahi mengenai dana bantuan sosial yang akan dialirkan kembali guna menyempurnakan Gereja Pangmilang. Sontak hal tersebut mendapat tepukan meriah dari hadirin. Usai menyampaikan sambutannya walikota yang masih didampingi Bapa Uskup Agustinus Agus meresmikan Gereja Santo Mikael. Peresmian ini ditandai dengan dibukanya tirai yang menutup nama gereja sekaligus penandatanganan prasasti. 

Usai peresmian yang dilakukan oleh pemerintah kota, prosesi selanjutnya diambil alih oleh Bapa Uskup. Pemberkatan gereja dimulai dengan pembukaan pintu gereja oleh tokoh setempat lantas seluruh bagian gereja didupai dan direciki air suci oleh Bapa Uskup. 

Ditemui di tempat yang sama, Angguang, S.H., selaku ketua panitia pembangunan Gereja Santo Mikael Pangmilang mengungkapkan harapan atas dibangunnya Gereja Santo Mikael ini, “Semoga dengan dibangunnya gereja ini umat Katolik di Pangmilang dapat lebih mudah dalam beribadah sekaligus lebih bersemangat dalam membangun iman Katolik. Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya juga kami haturkan kepada pemerintah kota Singkawang  dalam hal ini Bapak Walikota yang berkenan hadir meresmikan dan juga memberikan bantuan yang selama ini sudah kami terima dan kami manfaatan secara bertanggung jawab dalam pembangunan gereja ini, juga Bapa Uskup Keuskupan Agung Pontianak yang sudah menyiapkan waktu khusus untuk memberkati. Di samping itu terima kasih juga untuk seluruh umat dan donatur yang telah membantu secara moril maupun materil,” pungkasnya mengakhiri wawancara singkat. (7539)                

2 Jun 2015

NATAL PENUH WARNA BERSAMA USKUP DAN WALIKOTA

NATAL PENUH WARNA BERSAMA 
USKUP DAN WALIKOTA


            Suasana semarak dan hangat pagi itu benar-benar dirasakan warga paroki Singkawang, khususnya  di Gereja Santo Fransiskus Assisi. Wajar kiranya ketika Sang gembala umat yang baru diangkat sebagai Uskup Keuskupan Agung Pontianak, Monsignor Agustinus Agus, berkenan memimpin misa perayaan natal di gereja yang beralamat di Jalan Diponegoro tersebut.  Sedari pagi warga telah menunjukkan antusiasnya. Hal ini tampak ketika lautan umat seperti tak terbendung memenuhi seluruh bangku baik yang tersedia di dalam gereja maupun bangku-bangku tambahan di luar gereja yang disiapkan oleh panitia. Dalam misa perdananya di Paroki Singkawang sebagai uskup, Monsignor Agus mengetengahkan homili bertema “Membina iman dalam keluarga.” Secara gamblang, beliau menggarisbawahi peran penting keluarga dalam tumbuh kembang iman Katolik yang akan berdampak bagi gereja. Di samping itu, Monsignor Agus juga mengingatkan kepada warga gereja agar tidak alergi terhadap pemerintah. Hal tersebut kiranya menjadi salah satu tolok kemajemukan umat Kristiani dalam bermasyarakat.
                Pada kesempatan yang sama, berselang beberapa saat setelah misa perdana sang uskup baru digelar, walikota Singkawang, Drs. H. Awang Ishak, M.Si  berkenan hadir memenuhi undangan gereja Katolik yang menggelar open house di lingkungan gereja. Dalam sambutannya yang disampaikan di mimbar , Awang Ishak mengucapkan selamat Natal dan tahun baru bagi seluruh warga Katolik di kota Singkawang. Beliau juga membahas beberapa hal yang esensial di antaranya perdamaian di tengah perbedaan keyakinan yang tidak perlu dijadikan  jurang pemisah karena kita semua berasal dari nenek moyang yang sama, Adam dan Hawa. Masih dalam sambutannya, beliau juga mengetengahkan tentang pembangunan infrastruktur kota Singkawang yang dapat dinikmati oleh seluruh warga kota Singkawang tanpa terkecuali. (Hes)            

27 Okt 2015

SEPTEMBER CERIA, ‘KELUARGA MELAYANI SETURUT SABDA’

SEPTEMBER CERIA, ‘KELUARGA MELAYANI SETURUT SABDA’

September Ceria. Sengaja mengutip salah satu judul lagu yang sempat populer di era 80-an, di bulan September ini Gereja Katolik se-Indonesia ternyata benar-benar dihampiri  keceriaan yang bersumber dari perayaan Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) 2015. 

Mengangkat tema Keluarga Melayani Seturut Sabda, yang masih merupakan kelanjutan tema BKSN 2014, Keluarga Beribadah dalam Sabda, umat Katolik diajak untuk lebih akrab dengan Kitab Suci melalui berbagai perlombaan yang dirancang  dan digelar oleh panitia dalam kesempatan yang akhirnya digagas sebagai kegiatan tahunan. 

Di Paroki Singkawang sendiri  kegiatan BKSN 2015 resmi dibuka oleh Pastor Stephanus Gathot, OFMCap selaku pastor paroki.  Pada Minggu (6/9/2015) di misa ke dua, pastor yang saat itu menggenakan jubah hijau didampingi oleh putra putri altar dan enam orang dewasa yang masing-masing menggenakan pakaian adat mewakili suku Jawa, Tionghoa, Manggarai, Dayak, dan Batak serta membawa Kitab Suci melakukan perarakan dari halaman gereja menuju altar. Di kesempatan yang sama, Suster Monika dari Kongregasi SFIC telah lebih dulu berada di mimbar untuk membacakan sejarah dan tujuan digelarnya BKSN. Setibanya di depan altar, satu persatu orang dewasa yang mewakili berbagai suku di Indonesia ini membacakan kutipan Injil Yohanes dengan bahasa daerah masing-masing. Bukan tanpa maksud kutipan Injil Yohanes dibacakan dengan menggunakan bahasa daerah masing-masing, melalui cara yang terkesan unik ini, pastor menegaskan bahwa KItab Suci merupakan kitab paling populer karena diterjemahkan dalam berbagai bahasa, namun pada kenyataannya Kitab Suci yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa guna memudahkan pemahaman pembacanya seringkali hanya dijadikan sebagai pajangan, padahal sedianya ayat-ayat dalam Kitab Suci merupakan pedoman penuntun hidup dalam iman. 

Dalam homilinya, pastor menggaribawahi alasan dipilihnya tema yang masih mengetengahkan keluarga sebagai objek utamanya. Berangkat dari keprihatinan Sri Paus terhadap iman umat Gereja Katolik, maka tak dapat dimungkiri keluarga adalah lahan paling penting untuk ‘digarap’. Melalui pendekatan terhadap keluarga yang merupakan ‘gereja mini’, maka diharapkan mampu menghadirkan Allah dalam keluarga hingga militansi iman anak-anak dapat lebih dikokohkan. Di samping itu dua poin penting  lain yang juga menjadi sorotan dalam homili pastor berwajah teduh ini adalah ajakan untuk lebih  peka terhadap ‘suara Allah’ yang dapat ditemukan dalam Kitab Suci, juga himbauan mengenai wujud pelayanan yang tak hanya sekadar berhenti pada ucapan namun lebih pada tindakan nyata dalam melayani sesama. 

Semoga dengan digelarnya BKSN 2015 menjadi salah satu titik tolak tumbuhnya benih-benih iman yang meski awalnya hanya sebesar biji sesawi namun sanggup menghasilkan buah melimpah bagi kerajaan surgawi. (Hes)      


   

26 Nov 2016

Semangat OMK Keuskupan Agung Pontianak dalam INDONESIAN YOUTH DAY II MANADO 2016: Indonesian Youth Day 2016....Go IYD..Go IYD..Go IYD..

Semangat OMK Keuskupan Agung Pontianak
dalam INDONESIAN YOUTH DAY II MANADO 2016:   
Indonesian Youth Day 2016....Go IYD..Go IYD..Go IYD..

IYD atau Indonesian Youth Day adalah Hari Orang Muda Se-Indonesia yang merupakan perjumpaan OMK Se-Indonesia. Acara ini digagas oleh Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia dan disetujui oleh para Uskup. IYD pertama kali diselenggarakan pada tahun 2012 di Sanggau. Melihat semangat dari kaum muda pada IYD yang pertama, maka disepakati bersama untuk melaksanakan kegiatan akbar ini setiap lima tahun sekali. Kegiatan Indonesian Youth Day II pun disepakati untuk dilaksanakan di Keuskupan Manado pada tahun 2016 dengan tema “Orang Muda Katolik: Sukacita Injil di Tengah Masyarakat Indonesia yang Majemuk”. 

Tahun ini Keuskupan Agung Pontianak mengutus 76 orang peserta dari berbagai paroki yang berada dalam lingkup Keuskupan Agung Pontianak. Sebelum berangkat ke Manado sebagian besar peserta mengikuti PRA IYD I di Wisma Immacullata pada 22 - 24 Juli 2016 dan PRA IYD II di Rumah Retret Tirta Ria pada 28-29 September 2016. Kedua kegiatan tersebut dilaksanakan di Pontianak dengan maksud menyatukan dan mengakrabkan seluruh peserta dalam memahami tema serta maksud dan tujuan diselenggarakannya IYD II  tersebut.

Tanggal 30 September 2016 seluruh peserta IYD Keuskupan Agung Pontianak berangkat dalam 2 kelompok terbang menuju Manado dari Bandara Internasional Supadio.  Kloter kedua tiba di Bandara Sam Ratulangi Manado tepatnya pukul 20:00 WITA, para peserta IYD KAP disambut dengan musik kolintang dan bersama kloter pertama yang sudah tiba lebih dahulu kami langsung dibawa Panitia lokal menuju Paroki Maria Ratu Damai, Uluindano, Tomohon sebagai tempat Live In peserta IYD KAP. Selama dalam perjalanan menuju Tomohon, kami merasakan sejuknya udara malam dan memperoleh banyak informasi tentang semua tempat yang dilalui. Akhirnya, peserta IYD KAP tiba di depan Gedung Kristianitas, di sana sudah ada begitu banyak umat paroki Maria Ratu Damai yang menunggu kedatangan peserta IYD KAP. Selanjutnya, kami disambut dengan Tari Kabasaran; tari penyambutan tamu khas Minahasa, yang membawa kami masuk gedung pertemuan paroki tersebut. Sambil bergerak masuk setiap peserta IYD KAP mendapatkan setangkai bunga segar dari umat paroki untuk merepresentasikan kota Tomohon sebagai kota bunga. Setelah itu acara dilanjutkan perkenalan dan makan malam bersama kemudian acara ramah tamah di mana kami dipertemukan dengan keluarga angkat yang dibagi panitia secara acak. Keseluruhan pelaksanaan IYD II di Keuskupan Manado berlangsung selama 6 hari. Dimulai dari hari Sabtu tanggal 1 Oktober 2016 sampai Kamis 6 Oktober 2016.

Peserta IYD KAP menghabiskan tiga hari pertama bersama keluarga angkat dan mengikuti berbagai macam kegiatan sehari-hari mereka. Banyak sekali kegiatan menyenangkan yang diikuti. Ada yang membantu orang tua angkatnya berjualan ikan, sayur, bertani, buka bengkel hingga menjadi tukang bangunan. Semua itu dilakukan dengan maksud agar para peserta mendapatkan pengalaman iman melalui interaksi lansung dengan keluarga angkat maupun masyarakat setempat dalam suasana persaudaraan penuh keakraban. Selain itu ada banyak sekali kegiatan rohani yang diikuti seperti bible sharing, misa dan doa rosario. Pada hari keempat peserta IYD KAP dan 0MK paroki Maria Ratu Damai Tomohon saling bertukar menu makanan. Dalam acara ini suasana kekeluargaan sungguh terasa erat sekali.

Setelah selesai bertukar makanan dan santap bersama, kami berangkat menuju garis start Defile IYD 2016 di Stadion Koni di Kota Manado. Defile atau pawai tersebut diikuti oleh seluruh kontingen IYD 2016 dari 37 keuskupan seluruh Indonesia ditambah dari keuskupan Kinabalu, Sabah, Malaysia. Defile dimulai pada pukul 15:00 WITA dan berakhir pada pukul 17:30 WITA di Stadion Klabat. Acara kemudian dilanjutkan dengan misa konselebrasi pembukaan IYD II Manado 2016 pada pukul 18:00 WITA, dipimpin oleh Uskup Manado, Yang Mulia Mgr.Yosef Suwatan, MSC bersama uskup lainnya, termasuk Uskup Agung Pontianak, Yang Mulia Mgr.Agustinus Agus. Selesai misa acara dilanjutkan dengan makan malam dan penampilan pentas seni oleh tuan rumah. Selesai acara di stadion Klabat ini, seluruh peserta diarahkan untuk menuju tempat puncak acara di Amphitheater Emmanuel Youth Center, di  Lotta, Pineleng. Peserta IYD Keuskupan Agung Pontianak mendapatkan tempat tinggal pada keluarga-keluarga di sekitar area komplek Amphitheater ini. 

Hari kelima tepatnya hari Rabu tanggal 5 Oktober 2016 dimulainya kegiatan inti dari seluruh rangkaian IYD II Manado 2016 yang dihadiri seluruh peserta. Kegiatan diawali dengan misa pagi dan dilanjutkan dengan NGOPI atau Ngobrol Pintar. NGOPI merupakan kegiatan sharing yang berisikan diskusi kelompok dan pembahasan materi yang dirancang menjadi 15 kelas terpisah dengan tema yang berbeda-beda dari berbagai narasumber : uskup, pejabat katolik, tokoh politik / masyarakat, maupun figur-figur orang muda katolik dalam bidang masing-masing. Beberapa tema yang menarik adalah: “OMK Mewartakan Evangeli Gaudeum (Sukacita Injil)”, “Aku Bangga Menjadi Katolik”, “OMK Berdialog Agama atau Kepercayaan Lain”, “OMK dan Budaya dalam Era Globalisasi atau MEA”, dan OMK Mendengar Panggilan Hidup Selibat atau Berkeluarga.” Tema-tema tersebut merupakan hal-hal yang harus dihadapi para Orang Muda Katolik dalam kehidupannya sehari-hari. Setelah mengikuti kegiatan sharing tersebut, diharapkan para peserta dapat membagi ilmu dan materi yang  didapatkannya kepada sesama. Setelah itu acara dilanjutkan dengan kegiatan jalan salib, makan malam, doa taize, pengakuan dosa dan berdialog dengan sosok orang tua.

Hari kamis tanggal 6 Oktober 2016 diawali dengan materi yang dibawakan antara lain oleh public figure seperti Daniel Mananta dan Wregas Bhanuteja. Setelah itu acara dilanjutkan dengan makan siang, menjelang misa penutup panitia IYD II Manado menghadirkan MENPORA Bp. Imam Nahrawi. Beliau memberikan motivasi dan semangat bagi Orang Muda Katolik agar semakin berkembang dan menjaga kesatuan NKRI dalam keberagaman. Setelah itu acara dilanjutkan dengan misa konselebrasi penutupan IYD II Manado 2016 dipimpin oleh Ketua Komisi Kepemudaan KWI, Mgr. Pius Riana Prapdi. Setelah misa berakhir acara diteruskan dengan makan malam bersama dan penampilan pentas seni dari setiap regio keuskupan. Peserta dari KAP menampilkan sendratari tentang kehidupan orang muda katolik dengan judul “Tanah Borneo”. Setelah semua rangkaian acara berakhir IYD II Manado 2016 resmi ditutup oleh Uskup Manado Mgr. Josef Swatan, MSC.

Hari Jumat tanggal 7 Oktober 2016 pagi kami dijemput oleh teman-teman OMK Paroki Maria Ratu Damai Tomohon dan rombongan untuk mengikuti city tour di sekitar kota Tomohon. Kami berjalan-jalan ke bukit doa, seminari, Danau Linau dan kembali ke rumah orang tua angkat masing-masing untuk persiapan menuju tempat acara perpisahan bersama umat Paroki Tomohon sekaligus menghadiri ulang tahun Pastor Paroki Maria Ratu Damai. Pada saat acara OMK Paroki Maria Ratu damai dan umat menampilkan berbagai macam penampilan dan dilanjutkan dengan pemberian souvenir kepada orang tua angkat masing-masing peserta IYD KAP. Sovenir-sovenir tersebut sebelumnya memang sudah dipersiapkan terlebih dahulu sebelum keberangkatan. Acara dilanjutkan dengan malam keakraban hingga pukul 02:00 WITA.


Akhirnya, Sabtu 8 Oktober 2016 dini hari kami melakukan persiapan menuju bandara untuk pulang. Pesawat kami berangkat pukul 06:15 pagi dan siang harinya kami tiba dengan selamat di Pontianak. Senang sekali bisa menghadiri IYD II di Manado karena kami bisa menyaksikan dan merasakan keramahtamahan umat di sana. Kami juga bisa merasakan bagaimana menyatu dalam kehidupan dengan budaya yang berbeda. Tema IYD II “OMK: Sukacita Injil di Tengah Masyarakat Indonesia yang Majemuk” pun sangat terasa sekali. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan juga sangat membantu kami dalam memaknai kehidupan sehari-hari agar menjadi lebih baik lagi di masa depan. Semoga dengan semangat IYD, Orang Muda Katolik bisa menghayati iman mereka di tengah masyarakat yang majemuk dengan mewartakan sukacita Injil. Go IYD! Go IYD! Go IYD!! Salam Sukacita Injil. (OMK-KAP)


13 Sep 2016

SYD, Kobarkan Semangat Kaum Muda dalam Militansi Hidup Menggereja

SYD, Kobarkan Semangat Kaum Muda dalam Militansi  Hidup Menggereja

 


Singkawang Youth Day atau yang disingkat SYD sukses digelar pada 24 hingga 26 Juni 2016 lalu. Kegiatan yang merupakan wadah berkumpulnya Orang Muda Katolik se-Paroki Singkawang  dan diisi dengan berbagai hal positif tersebut bertempat di persekolahan Katolik SMP St Tarsisius Singkawang. Pemusatan digelarnya segala aktivitas dengan lokasi SMP St Tarsisius bukan tanpa sebab. Setidaknya dua hal menjadi alasan dipilihnya sekolah yang berlokasi di Jalan Gunung Bawang Pasiran, Singkawang Barat itu didapuk sebagai tempat digelarnya sebagian besar kegiatan SYD. Alasan pertama karena SMP St Tarsisius merupakan persekolahan yang dikelola oleh Pastoran Paroki Singkawang, dan alasan kedua karena letaknya yang strategis didukung lingkungan asri dan nyaman hingga memungkinkan segala aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan SYD dapat digelar.

Segala rangkaian kegiatan yang dimotori oleh OMK Paroki Singkawang dan mendaulat  Sdr Gabriel Fileas, S.Ip sebagai ketua panitia penyelenggara ini terbilang sukses. Pasalnya jika dirunut dari segala persiapan yang dilakukan panitia penyelenggara dituntut berjibaku dengan waktu untuk menghimpun dana yang bersifat swadaya. Segala upaya dikerahkan dari mulai menggelar bazar, mengamen di berbagai kesempatan, hingga sebagian kecil diperoleh dari hasil kolekte umat sebagai alternatif terakhir yang ditempuh panitia. Tak tanggung-tanggung puluhan juta rupiah diggelontorkan demi menyukseskan SYD 2016.

Selama tiga hari sebanyak 199 peserta yang berasal dari berbagai stasi di Paroki Singkawang tampak antusias mengikuti seluruh kegiatan yang telah disusun sedemikian rupa oleh panitia. Tak hanya dijejali teori-teori tentang keimanan, para peserta juga secara tak langsung dibimbing psikisnya, dikobarkan semangatnya untuk menjadi militan terhadap kehidupan gereja dan  diajak turut serta dalam giat aktif, berbaur, berkreasi, dan berkompetisi memunculkan dan mengasah segala kompetensi diri.

Begitu banyak komentar positif yang terujar dari para peserta SYD 2016. Sebagian besar dari mereka merasa beruntung dapat menjadi bagian dari giat yang digagas dalam lingkup Gereja Katolik. Di sisi lain terdapat pula komentar bernada asa dari perwakilan OMK Paroki Pemangkat yang berharap penuh agar ikut dilibatkan dalam rangkaian kegiatan SYD, tak sekadar sebagai undangan dalam pembukaan yang kala itu diawali dengan misa. Felix Lawira perwakilan OMK Paroki Pemangkat menuturkan, “Kami sangat tertarik dengan digelarnya SYD, sayangnya hanya melibatkan OMK dari stasi yang ada di Singkawang. Semoga ke depannya jika diadakan acara serupa bisa mengundang OMK dari paroki lain, contohnya dari Paroki Pemangkat.”

Sedianya SYD 2016 akan dibuka oleh Gubernur Kalimantan Barat dan Walikota Singkawang, namun karena satu dan lain hal urung dilakukan. Sebagai gantinya dari pihak gubernur mengutus Alexander  Wakum, S.E., yang menjabat sebagai  Kasubag  Agama Kristen dan Katolik Kalimantan Barat dan walikota Singkawang diwakili oleh Kepala Dinas Badan Kesatuan bangsa dan Politik, Drs. Ahyadi, M.M. 

Ditemui  langsung usai membuka SYD, Alexander Wakum, S.E mengungkapkan bahwa kegiatan SYD merupakan momentum yang sangat baik untuk Gereja Katolik mengajarkan kepada muda-mudi Katolik agar mereka bisa hidup berlandaskan iman yang Kristus ajarkan, mereka bisa hidup jujur, berbaur, tidak menganggap diri eksklusif, dapat pula menjadi wadah yang membuat mereka melakukan hal-hal positif agar mereka bisa terhidar dari bahaya narkotika, seks bebas dan hal-hal tidak memuliakan Tuhan.

Besar harapan kegiatan serupa dapat kembali diselenggarakan dengan skala yang lebih besar dan kegiatan yang lebih beragam. (7539) 


16 Sep 2016

Kaum Berkerudung di Sekitar Altar Tuhan

Kaum Berkerudung di Sekitar Altar Tuhan

“Mari ber-mantilla bagi Tuhan!” Begitulah seruan kami anak-anak Misdinar St. Tarsisius Paroki Singkwang demi mengajak Anda terutama para wanita Katolik untuk berpakaian sopan dan sederhana serta memakai atau membangkitkan kembali ‘tradisi tua’ dalam Gereja Katolik ini. Usaha sosialisasi ini kami awali dengan menghadap Bapa Uskup untuk mendapatkan izin, lalu dilanjutkan dengan membuat foto dan video project yang kami unggah ke laman Instagram kami @ppasttarsisiusskw dan laman youtube kami, Misdinar St. Tarsisius Singkawang. Tentu ini mendapat respon yang menyenangkan, baik dari umat Paroki Singkawang maupun umat dari berbagai pulau seberang. Sering sekali kami melihat baik wanita maupun pria Katolik ketika menghadiri misa menggunakan pakaian yang tidak pantas. Hal ini sangat perlu untuk diperhatikan karena secara khusus apa yang kita kenakan ketika menghadap Allah, tidak lagi memberikan kesan bahwa Allah hadir di tengah-tengah kita. Namun, ada juga umat yang pergi misa walaupun memakai pakaian yang pantas, tetapi hati dan pikirannya melayang jauh dari misa kudus. Misa akhirnya tampak tidak lagi berbeda seperti acara-acara sosial lainnya. Akibatnya, perayaan Ekaristi menjadi kehilangan maknanya sebagai misteri yang kudus dan agung.

Mungkin kebanyakan orang tidak mengetahui apa itu mantilla atau mungkin ada tanggapan dari orang “Ngapain sih ikut-ikutan agama sebelah pakai kerudung segala?” Ups, jangan berpikiran sempit! Mantilla adalah kerudung atau tudung kepala yang dipakai oleh wanita Katolik saat akan menghadiri perayaan Ekaristi kudus yang terbuat dari bahan brokat yang ringan. Tradisi ini sudah cukup lama ada dalam gereja kita dan mempunyai julukan “Kerudung mempelai Kristus” dimana kita memakainya hanya saat Misa. Jadi, kerudung tidak hanya milik saudara-saudara kita umat Muslim, tetapi di dalam gereja kita cukup mengenal dekat dengan tudung kepala yang satu ini. Kerudung Misa merupakan salah satu bahkan mungkin satu-satunya devosi yang sangat spesifik untuk perempuan. Berkerudung Misa adalah sebuah kehormatan bagi para perempuan dan ini memampukan mereka untuk  memuliakan Allah dengan seluruh keperempuanan mereka serta dengan cara-cara yang khas dan feminin. Kerudung Misa adalah tradisi tua, tradisi kuno yang indah, dan ia menunjukkan nilai dan pentingnya wanita. Itu bukan alat untuk merendahkan wanita atau mengecilkan mereka; itu adalah sebuah kehormatan.

Pemakaian mantilla sendiri pernah diwajibkan oleh Gereja Katolik dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK tahun 1262).Namun setelah direvisi dalam Konsili Vatikan ke II, mantilla pun akhirnya tidak diwajibkan pemakaiannya namun tidak melarang bagi umat yang hendak memakainya (dianjurkan). Sehingga masih ada umat di beberapa belahan dunia  yang masih memegang dan mempertahankan tradisi ini. Kerudung Misa adalah alat devosi pribadi yang dapat membantu kita lebih dekat dengan Yesus dan sebagai tanda ketaatan dan tanda memuliakan TUHAN.Wanita yang memakai kerudung Misa, mengingatkan kita semua bahwa Ekaristi bukanlah pertemuan sosial biasa, bukan acara untuk ramah tamah terhadap sesama kenalan kita. Mantilla tidak hanya dipakai oleh Putri Altar saat bertugas, tetapi juga bisa dipakai oleh wanita Katolik lainnya.
 
Penggunaan mantilla terus berkembang seiring masuknya perayaan Misa Formaekstraordinaria (Misa Latin) di tanah air. Dalam misa tersebut, para wanita diharuskan memakai mantilla, sedangkan dalam misa yang sering kita rayakan ini, tidak ada kewajiban penggunaannya namun sangat dianjurkan bagi kaum hawa. Karena tradisi ini dipandang sangat baik dan tidak bertentangan dengan nilai iman sejati, maka tradisi ini pun mulai dibangkitkan kembali kepada umat Katolik di Indonesia. Namun Yesus adalah Yesus yang sama, maka mantilla bisa dipakai dalam misa apapun, tidak terbatas dalam misa latin saja melainkan bisa juga di dalam misa biasa yang sering kita rayakan di gereja. Wanita yang menudungi kepalanya, secara simbolis menyampaikan pesan berharga kepada para lelaki: ‘tubuhku adalah bait Allah yang kudus, karenanya perlakukanlah tubuhku dengan rasa hormat yang besar. Tubuh dan kecantikanku bukanlah objek yang bertujuan memuaskan hasrat yang tidak teratur yang ada pada dirimu. Aku adalah citra Allah, oleh karena itu hormatilah dan hargailah aku.’ Kerudung Misa mengingatkan pria akan perannya sebagai penjaga kesucian, seperti St Yosef yang selalu melindungi dan menjaga Bunda kita, Perawan Maria. Dengan demikian, Allah dapat kita muliakan dengan cara menghormati dan melindungi keindahan dan keagungan martabat wanita. 

Menggunakan kerudung juga merupakan suatu cara untuk meneladani Maria, dialah yang menjadi role model (panutan) bagi seluruh wanita. Bunda Maria, Sang Bejana Kehidupan, yang menyetujui untuk membawa kehidupan Kristus ke dunia, selalu digambarkan dengan sebuah kerudung di kepalanya. Seperti Bunda Maria, wanita telah diberikan keistimewaan yang kudus dengan menjadi bejana kehidupan bagi kehidupan-kehidupan baru di dunia. Oleh karena itu, wanita mengerudungi dirinya sendiri dalam Misa, sebagai cara untuk menunjukkan kehormatan mereka karena keistimewaan mereka yang kudus dan unik tersebut.

Pemakaian mantilla memiliki dasar bibliah yaitu terdapat di dalam 1 Korintus 11:3-16;“Pertimbangkanlah sendiri: patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung?” “Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya” “Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat.”Ayat inilah yang menjadi salah satu dasar sosialisasi penggunaan kembali mantilla juga alasan dari umat yang mempertahankan tradisi ini. Paulus dalam suratnya tersebut sebenarnya ingin menegur cara berpakaian Jemaat di Korintus mengenai pakaian saat di gereja dan budaya yang sedang berkembang di sana pada saat itu, dimana wanita yang tidak menudungi kepalanya akan dicap sebagai ‘wanita nakal’ dan ‘orang-orang yang tidak ber-Tuhan.’ Namun, tidak ada salahnya bukan jika tradisi kuno yang indah ini kita gunakan kembali dalam Perayaan Ekaristi?

Seorang wanita yang berkerudung Misa pada dasarnya sedang menunjukan eksistensi Allah. Sebuah tanda kerendahan hati seorang wanita, yang ingin menudungi mahkotanya (rambut) di hadapan Allah. Karena ia tidak berkerudung di tempat lain, ia hanya berkerudung di hadirat Sakramen Maha Kudus. Seperti halnya Tabernakel (Kemah Roti/lemari yang berisi Hosti Kudus) yang menjadi pusat di dalam gereja kita. Jika di dalam Tabernakel tersebut berisi Hosti yang sudah dikonsekrasi, tentu akan diselubungi dengan kain. Selain itu, jika Sibori yang di dalamnya terdapat hosti kudus, akan selalu diselubungi dengan kain yang menandakan bahwa ada Tubuh Tuhan di dalamnya. Piala yang berisi Darah Kristus, akan ditudungi dengan kain. Meja Altar ditutupi kain (kecuali saat perayaan Jumat Agung, dimana Hosti Kudus tidak ditempatkan dalam Tabernakel di gereja). Begitu juga bagi perempuan yang menudungi dirinya dengan tudung kepala saat Misa. Ia menunjukan hadirat Tuhan yang Maha Kuasa, yang hadir dalam Perayaan Ekaristi. Jadi kerudung Misa adalah tanda yang paling jelas bahwa ada sesuatu yang spesial, indah, dan kudus yang sedang terjadi di tempat itu, yaitu tanda bahwa Allah sungguh-sungguh hadir!



Sebenarnya, menudungi hati dan kepala dengan mantilla tidaklah menyembunyikan kecantikan seorang perempuan, melainkan memancarkannya dengan cara yang istimewa dan penuh kerendahan hati, seperti halnya dengan para ciptaan kudus lainnya dari Allah yang menudungi kepala mereka (St Perawan Maria, St Bernadete, St Theresia dari Lisieux, Bunda Theresa, biarawati yang menjadi Santa, dll). Tetapi, bermantilla merupakan ekspresi iman bukan sekedar fashion kekinian.

Banyak wanita yang benar-benar telah menudungi hati, pikiran dan kepala mereka saat misa, merasakan damai, beban duniawi terasa pergi menjauh, ketenangan dan cinta yang lebih besar dan lebih mendalam kepada Tuhan. Mereka merasakan suatu kebebasan dimana mereka bisa menghayati dan lebih fokus pada Perayaan Ekaristi. Memang terkadang pikiran kita saat misa suka melenceng kemana-mana: apakah saya harus pergi ke supermarket, jemuran sudah kering atau belum, menu apa yang ingin saya masak saat makan siang? Tetapi, ketika Anda masuk ke gereja dengan berkerudung, itu bagaikan suatu petunjuk untuk berhenti. Semua pikiran itu harus disingkirkan dan Anda harus memberikan seluruh perhatian Anda kepada Tuhan. Ada sebuah keheningan dalam jiwa saat kita mengenakan kerudung Misa. Kerudung itu menarik kita kepada Yesus. Kerudung menarik kita ke dalam suasana doa. Ia membuat kita ingin menjadi kudus. Ia menarik kita kepada apa yang berada jauh di dalam diri kita, sebuah inti feminim yang dimiliki oleh para wanita.

Jika seandainya Anda adalah seorang wanita yang memakai mantillamu saat misa, dan Anda menjadi takut dan malu karena dilihat, dicibir bahkan ditegur oleh orang banyak di dalam gereja karena dianggap ikut-ikutan agama lain, INGATLAH! Bahwa apa yang mereka katakan bukanlah tujuanmu sama sekali. Kamu harus tahu, siapa yang ingin kamu lihat di gereja. Kamu datang bukan untuk melihat orang-orang itu. Tetapi kamu datang untuk melihat Tuhan! Anda tidak perlu peduli dengan apa yang orang pikirkan, tetapi Anda harus peduli pada apa yang Tuhan pikirkan tentang dirimu. Tetaplah fokus pada cinta dan keimananmu kepada Tuhan. Ini bukan tentang, “Hei, lihat saya! Saya lebih suci daripada kamu!” Tidak!. Ini adalah tentang saya menunjukkan penghormatan, ketundukan, dan cinta kepada Yesus. Itulah tujuannya!

Memang benar, memakai mantilla saat Misa memerlukan pertimbangan dan  kesiapan batin yang begitu mendalam. Tetapi, hal itu merupakan langkah awal yang bagus dengan memaknai maksud dan arti dari mantilla itu sendiri. Kami Misdinar St Tarsisius mendoakan Anda semua semoga suatu saat dapat menemukan keberanian untuk memakainya dan menikmati kasih Tuhan lebih mendalam lagi. Dan terus ikuti perkembangan sosialisasi ini dengan mem-follow laman instagram kami di @ppasttarsisiusskw. Ayo bermantilla bagi Tuhan! (Nicolas Gratia Gagasi)
 

30 Nov 2016

Tambahkanlah Iman Kami

Tambahkanlah Iman Kami


Cuaca sore nan panas memaksa saya untuk segera keluar dari “sarang” dan pandangan mata saya tertuju pada  pohon rindang nan hijau di halaman gereja. Ke tempat itulah akhirnya saya berlabuh untuk duduk dan melepaskan diri dari rasa panas. Sambil menikmati semilirnya angin, saya biarkan pikiran saya ngelantur kemana dia mau.  Tiba-tiba saja tanpa saya sadari di samping saya sudah berdiri tiga gadis cilik masih lengkap dengan seragam sekolah dasarnya. Secara serentak mereka mengulurkan tangan mau menyalami saya.  Dua gadis itu saya kenali wajahnya, meski tidak tahu siapa nama mereka. Sedangkan yang satunya sangat asing untuk mata saya. Mungkin baru kali ini saya bertemu dengannya.

“Kalian dari mana?” tanya saya kepada mereka begitu mereka selesai menyalami tangan saya.

“Kami dari gua Maria,” jawab seorang yang saya kenali wajahya.

“Pastor, boleh nanya gak?” tanyanya lagi.

“Oh boleh-boleh. Sini mau tanya apa?” jawab saya sambil menawarkan mereka duduk.

“Ini temanku, agamanya Budha. Dia minta kami antarkan untuk sembahyang bersama di Gua Maria.  Boleh kan ya, Pastor?” tersirat rasa takut di balik pertanyaannya.

“Oh gak papa. Berdoa itu kan baik. Jadi gak masalah. Boleh.  Tapi ngomong-omong, gimana kalian berdoanya?” tanya saya dipenuhi rasa penasaran.

“Tadi, aku ambil kertas, Pastor. Lalu aku tulis doa Salam Maria dan kami baca bersama-sama,”  jawab anak yang lain penuh percaya diri.

Sambil tersenyum saya menganggukkan kepala tanda setuju. Anak yang sungguh pintar dan kreatif. 

Betapa bahagia orangtua yang mempunyai anak-anak seperti mereka. Kata saya dalam hati.

“Satu lagi, Pastor mau tanya ya. Emang kalian berdoa apa kepada Tuhan lewat Bunda Maria?”

Kali ini gadis cilik yang asing bagiku, mulai angkat bicara. 

“Kami berdoa untuk adikku yang lagi sakit kanker. Sekarang dia lagi opname di Rumah Sakit Serukam,” jawabnya terbata-bata. 

Mendengar kata kanker spontan saya terkejut. Saya lihat anak itu pun segera menundukkan kepala seolah mau menyembunyikan wajahnya. Dia tidak mau memperlihatkan kesedihannya di hadapan saya.  Tetapi saya bisa melihat butiran bening tiba-tiba menetes dari matanya. Secara refleks saya pegang pundaknya. Sebisa mungkin memberikan penghiburan kepadanya.

“Boleh pastor juga berdoa untuk adikmu?” tanya saya mencoba memecah keheningan.

Setelah mengusap air matanya, anak itu menatap saya dan menganggukkan kepala. Tetapi segera dia menundukkan kepalanya lagi. Tak kuasa dia membendung air matanya.

“Boleh pastor juga tahu siapa nama adikmu? Biar nanti pastor bisa sebutkan namanya dalam doa,” tanya saya sekali lagi setengah berbisik ke telinganya.

“Namanya Leo, Pastor”, kata teman yang duduk di sampingnya. Sepertinya dia pun memahami kesedihan temannya.

“Baik. Pastor berjanji akan selalu mendoakan Leo. Semoga Tuhan memberkati Leo ya. Kita berdoa bersama demi kesembuhan Leo.”

Tiba-tiba hati saya pun ikut hanyut dalam suasana haru dan sedih. Kerongkongan saya serasa tersumbat. Mata saya pun mulai mengembang dan terasa hangat. Tetapi dengan sekuat tenaga saya mencoba menahan jangan sampai air mata saya menetes keluar. Saya tidak ingin menambah kesedihan gadis cilik yang duduk di samping saya.

“Pastor kami pulang sekarang ya!” kata anak yang dari tadi hanya lebih banyak diam. Mendengar ajakan pulang, tiga anak itu serentak berdiri. Kembali lagi mereka mengulurkan tangan kepada saya.

“Baik. Hati-hati di jalan ya. Dan jangan lupa. Kita semua berdoa untuk Leo,” jawab saya sambil menerima uluran tangan mereka.

Bertiga mereka mohon pamit dan mulai meninggalkan saya yang hanya berdiri mematung. Nampak suatu pemandangan yang sangat indah dan mengaharukan.  Dua anak mencoba memapah kakak Leo dan mereka berjalan sambil berangkulan. Kebersamaan tiga bocah cilik ini mau memberikan pesan bahwa kesedihan dan penderitaan mau mereka tanggung bersama.

Meski hanya sekejap, tetapi peristiwa sore itu meninggalkan banyak pesan kepada saya. Pertama, seorang yang beragama Budha mempunyai iman penyerahan yang luar biasa. Entah apa latar belakangnya dia berdoa lewat Bunda Maria, tetapi saya merenungkannya sebagai satu bentuk penyerahan diri kepada Tuhan lewat Bunda-Nya. Di tengah kesedihannya, dia lari kepada Tuhan melalui Bunda Maria. Iman yang sedemikian ini belum tentu saya miliki meskipun saya seorang Katolik yang mempunyai devosi kepada Bunda Maria. Saya harus belajar banyak dari bocah cilik yang punya keyakinan lain dengan saya.

Kedua, ketiga bocah cilik itu memiliki kepedulian yang sangat istimewa terhadap Leo yang sedang mengalami sakit kanker. Kepedulian mereka sungguh menohok hati saya karena sebagai gadis-gadis cilik mereka tidak memiliki apa-apa. Di tengah keterbatasan mereka mempunyai hati untuk orang lain yang sedang menderita. Suatu persembahan nan indah bisa mereka berikan kepada Leo, yakni doa bersama.

Ketiga, ketiganya memiliki rasa kebersamaan. Mereka membongkar sekat-sekat perbedaan di antara mereka. Perbedaan agama tidak mereka persoalkan. Justru mereka bisa bersatu dan berdoa bersama. Benar apa yang sering dikatakan bahwa kebersamaan itu sangat indah. Kali ini justru kebersamaan itu diperlihatkan oleh ketiga gadis cilik.

Setelah mereka hilang dari pandangan saya, saya pun kembali masuk ke “sarang” saya. Terimakasih adik-adik atas iman kalian dan kebersamaan kalian yang sangat indah. Dalam hati saya pun memanjatkan doa yang pernah disampaikan oleh para murid Yesus ”Tuhan tambahkanlah iman kami.” (Stephanus).

31 Mei 2017

SEJARAH BULAN MEI DAN OKTOBER SEBAGAI BULAN MARIA

SEJARAH BULAN MEI DAN OKTOBER SEBAGAI BULAN MARIA

Bulan Mei

Secara tradisi, Gereja Katolik mendedikasikan bulan- bulan tertentu untuk devosi tertentu. Bulan Mei yang sering dikaitkan dengan permulaan kehidupan, karena pada bulan Mei di negara- negara empat musim mengalami musim semi atau musim kembang. Maka bulan ini dihubungkan dengan Bunda Maria, yang menjadi Hawa yang Baru. Hawa sendiri artinya adalah ibu dari semua yang hidup, “mother of all the living” (Kej 3:20). Devosi mengkhususkan bulan Mei sebagai bulan Maria diperkenalkan sejak akhir abad ke 13. Namun praktek ini baru menjadi populer di kalangan para Jesuit di Roma pada sekitar tahun 1700-an, dan baru kemudian menyebar ke seluruh Gereja.
Pada tahun 1809, Paus Pius VII ditangkap oleh para serdadu Napoleon, dan dipenjara. Di dalam penjara, Paus memohon dukungan doa Bunda Maria, agar ia dapat dibebaskan dari penjara. Paus berjanji bahwa jika ia dibebaskan, maka ia akan mendedikasikan perayaan untuk menghormati Bunda Maria. Lima tahun kemudian, pada tanggal 24 Mei, Bapa Paus dibebaskan, dan ia dapat kembali ke Roma. Tahun berikutnya ia mengumumkan hari perayaan Bunda Maria, Penolong umat Kristen. Demikianlah devosi kepada Bunda Maria semakin dikenal, dan ketika Paus Pius IX mengumumkan dogma “Immaculate Conception/ Bunda Maria yang dikandung tidak bernoda” pada tahun 1854, devosi bulan Mei sebagai bulan Maria telah dikenal oleh Gereja universal.
Paus Paulus VI dalam surat ensikliknya, the Month of Mary mengatakan, “Bulan Mei adalah bulan di mana devosi umat beriman didedikasikan kepada Bunda Maria yang terberkati,” dan bulan Mei adalah kesempatan untuk “penghormatan iman dan kasih yang diberikan oleh umat Katolik di setiap bagian dunia kepada Sang Ratu Surga. Sepanjang bulan ini, umat Kristen, baik di gereja maupun secara pribadi di rumah, mempersembahkan penghormatan dan doa dengan penuh kasih kepada Maria dari hati mereka. Pada bulan ini, rahmat Tuhan turun atas kita … dalam kelimpahan.” (Paus Paulus VI, the Month of May, 1)

Bulan Oktober

Sedangkan penentuan bulan Oktober sebagai bulan Rosario, berkaitan dengan peristiwa yang terjadi 3 abad sebelumnya, yaitu ketika terjadi pertempuran di Lepanto pada tahun 1571, di mana negara- negara Eropa diserang oleh kerajaan Ottoman yang menyerang agama Kristen. Terdapat ancaman genting saat itu, bahwa agama Kristen akan terancam punah di Eropa. Jumlah pasukan Turki telah melampaui pasukan Kristen di Spanyol, Genoa dan Venesia. Menghadapi ancaman ini, Don Juan (John) dari Austria, komandan armada Katolik, berdoa rosario memohon pertolongan Bunda Maria. Demikian juga, umat Katolik di seluruh Eropa berdoa rosario untuk memohon bantuan Bunda Maria di dalam keadaan yang mendesak ini. Pada tanggal 7 Oktober 1571, Paus Pius V bersama- sama dengan banyak umat beriman berdoa rosario di basilika Santa Maria Maggiore. Sejak subuh sampai petang, doa rosario tidak berhenti didaraskan di Roma untuk mendoakan pertempuran di Lepanto (teluk Korintus). Dalam pertempuran ini pada awalnya tentara Kristen sempat kalah. Tetapi kemudian mereka berhasil membalikkan keadaan hingga akhirnya berhasil‎ menang.. Walaupun nampaknya mustahil, namun pada akhirnya pasukan Katolik menang pada tanggal 7 Oktober. Kemenangan ini memiliki arti penting karena sejak kekalahan Turki di Lepanto, pasukan Turki tidak melanjutkan usaha menguasai Eropa. Kemudian, Paus Pius V menetapkan peringatan Rosario dalam Misa di Vatikan setiap tanggal 7 Oktober. Kemudian penerusnya, Paus Gregorius XIII, menetapkan tanggal 7 Oktober itu sebagai Hari Raya Rosario Suci.
Demikianlah sekilas mengenai mengapa bulan Mei dan Oktober dikhususkan sebagai bulan Maria. Bunda Maria memang terbukti telah menyertai Gereja dan mendoakan kita semua, para murid Kristus, yang telah diberikan oleh Tuhan Yesus menjadi anak- anaknya (lih. Yoh 19:26-27). Bunda Maria turut mengambil bagian dalam karya keselamatan Kristus Putera-Nya, dan bekerjasama dengan-Nya untuk melindungi Gereja-Nya sampai akhir jaman.
Amanat dari Peristiwa Lepanto Battle
Bunda Maria, "terbukti" telah menyertai Gereja dan umat beriman melalui doa Sang Bunda kepada Tuhan Yesus untuk menyertai kita yang berziarah di dunia ini. Tuhan Yesus Kristus telah menyerahkan Bunda Maria, ibuNya yang amat terberkati kepada Santo Yohanes, dan Santo Yohanes menjadi "anak" Sang Bunda (Yoh 19 : 26 - 27 , Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: "Ibu, inilah, anakmu !" Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: "Inilah ibumu!" Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya.). Tentu pesan Tuhan Yesus ini, yang memberikan ibuNya kepada Santo Yohanes, tidak terbatas kepada Santo Yohanes, tentu juga Tuhan Yesus menyerahkan ibuNya bagi kita semua, untuk mendampingi, menyertai, dan mendoakan kita. Bunda Maria memainkan peranan penting sebagai "agen" karya keselamatan Yesus Kristus.
Sumber: www.katolisitas.org




23 Agu 2015

MERIAHNYA EKM DI SAGATANI

MERIAHNYA EKM DI SAGATANI   

 
Senja itu Sabtu, 22 Agustus 2015, pukul 17.00, rombongan Orang Muda Katolik (OMK) dari berbagai stasi di Paroki St. Fransiskus Assisi Singkawang, dengan penuh suka cita mengantre panjang mengisi buku tamu yang telah disediakan oleh panita OMK St. Kristoforus Sagatani. Perhelatan digelar mirip pesta pernikahan, dua orang muda berdiri di pintu masuk gereja dengan ramah mempersilakan rekan-rekannya untuk masuk ke Gereja Stasi Santo Kristoforus Sagatani. “Mari teman-teman silakan masuk dan jangan lupa mengisi buku tamunya ya!,” pinta salah satu pemudi yang senyumnya mengundang orang untuk tidak segan berjabatan tangan dengannya. Potret situasi sebelum EKM ini dimulai penerimaan tamu, seolah-olah mengajak kita masuk ke rumah Tuhan dan benar-benar disapa dengan senyum tulus, ikhlas sejati. Belum lagi musik bernuansa khas Dayak mengalun di senja itu, semakin menambah semarak suasana hati segenap umat yang hadir untuk bisa menangkap apa itu EKM bagi umat Katolik Sagatani.

Tibalah saatnya para penari berbaris bersama rombongan Imam di depan Gereja. MC mulai menyapa selamat datang kepada OMK dan sambutan musik Dayak dengan kelompok penari mulai masuk ke gereja mengundang umat untuk menyapa mari bergandeng bersama kami OMK yang sama-sama bergembira untuk memuji dan memuliakan Tuhan dengan cara dan gaya kami orang muda saat ini. Berbagai  piranti komunikasi dalam genggaman tangan pun tak ketinggalan sigap mengabadikan momen EKM perdana di gereja tersebut.

Budaya Pro-Life
 
Pastor Gathot dalam  homilinya menyapa orang muda sesuai tema Nasional dalam HUT kemerdekaan  ke 70  RI  “Ayo kerja” mengajak OMK untuk saatnya kita berjuang dan bekerja tiada henti-hentinya menuju generasi yang sehat baik jasmani maupun rohani dengan revolusi mental secara akariah. “Teman-teman, kita tahu bahwa tantangan yang dahsyat saat ini adalah bagaimana kita bisa bertahan hidup di masa muda ini, dengan tidak terjerumus dalam narkoba,” ujar Pastor Gathot dengan nada lantang.  “Kami para gembala bersama uskup Se-Indonesia, sama-sama berjuang agar kita tetap setia pada ajaran Yesus untuk mempertahankan pro-life/membela kehidupan dan bersama memberantas/menjaga diri dari narkoba dalam hidup kita. Kita sangat berharap melalui EKM ini kita sama-sama merefleksi bahwa teman-teman yang sudah terjerumus di dalam pengaruh narkotika, sebaiknya kita merangkul mereka dan mendekatinya dengan penuh kasih,” tegas Pastor Gathot yang terkenal ramah kepada siapa saja yang berjumpa dengannya.

Situasi EKM di malam Minggu itu, semakin semarak dengan adanya tarian persembahan serta lagu-lagu gaya anak muda yang menyelimuti atmosfer ruang ekspresi iman mereka dalam corak dan gaya EKM dari OMK Santo Kristoforus Sagatani. Tepuk tangan yang meriah dari OMK yang hadir saat itu memberi pujian yang memang pantas ditujukan bagi panitia, baik dari segi persiapan tempat, model liturgi, serta gaya dalam mengemas acara. 

Spiritualitas EKM
 
EKM sampai saat ini masih belum menjadi tempat yang istimewa bagi umat dewasa oleh karena pemahaman EKM masih seputar gaya anak muda. Padahal dalam liturgi EKM tidak pernah berubah sesuai dengan susunan resmi perayaan Ekaristi Gereja Katolik. Perbedaanya hanya terletak pada lagu bertematis dan disesuaikan dengan gaya anak muda, dan peserta yang hadir sebagai umat adalah  orang muda sendiri serta orang tua yang berjiwa dan semangat muda. EKM sebenarnya pintu dan jendela angin segar bagi ruang ekspresi iman orang muda sekaligus salah satu cara menemukan karakter iman sejati orang muda dalam mengikuti Yesus yang bahagia dan enjoy baginya. Maka roh/spiritual EKM adalah enjoy dan happy bersama Yesus dalam hidup orang muda setiap hari.

Yudhistira, pendamping OMK Sagatani dalam ruang terpisah mengungkapkan kepuasannya dalam EKM perdana tersebut. “Kami tidak menyangka semuanya  ini bisa berjalan dengan lancar dan OMK hadir begitu banyak malam ini. Waktu persiapan pun begitu singkat namun kami tetap yakin bahwa apa  yang  kami rancang bersama, Tuhan ikut terlibat di dalamnya dan kami enjoy banget,” ujar guru SMP Pengabdi ini dengan penuh semangat. Ungkapan dari pedamping OMK ini pun mendukung kesan dari ketua OMK sendiri. “Kami sangat bersyukur bahwa EKM perdana ini sebagai pengalaman pertama bagi kami panitia, sekaligus pemula dalam pelaksanaan EKM. Momen ini tidak bakal kami lupakan seumur hidup,” papar Aneng Supriady dengan bangga. “Semoga ke depannya, kami dapat lebih baik lagi dan mantap,” tegas Aneng dengan wajah gembira.

Pendamping OMK Angkat Bicara
 
Setelah EKM selesai para pendamping dari OMK Singkawang, Sijangkung, Pangmilang, Capkala, Sagatani, Sungai Duri dan juga dari Stasi yang jauh, berkumpul untuk membicarakan rencana pertemuan Bulan Kitab Suci di Sanggau Ledo di bulan September 2015, Temu Raya OMK Keuskupan Agung Pontianak di Nyarumkop di bulan November 2015 dan pertemuan akbar OMK Paroki Santo Fransiskus Assisi di bulan Juli 2016 bertempat di Kompleks SMP Santo Tarsisius Singkawang. 

Sementara itu di luar gereja semua yang hadir menikmati santapan malam bersama, sambil diringi musik dari OMK Santo Kristoforus Sagatani. Tampak hadir pula anak-anak Sekolah Minggu ikut meramaikan suasana dengan menyumbang tarian di atas pentas. Suguhan acara malam itu pun semakin memanjakan semua pasang mata yang hadir. Unjuk kebolehan dari berbagai OMK Stasi  di antaranya  vokal grup, pop singer, musik tradisonal maupun tarian-tarian berhasil memukau hati orang muda. Semua yang hadir malam itu seolah merasakan berat beranjak dari tempat duduk karena terhipnoptis oleh kepiawaian OMK dalam membawa acara yang super smart dan keren. 

Bravo OMK Sagatani yang menjadi pioner dan piloting untuk wilayah Singkawang Selatan. “Ciaoo dalam Yesus, Bro.  Next time kita jumpa dalam EKM di stasi berikutnya ya!,” tutup MC dalam perhelatan malam Minggu gembira bersama OMK Sagatani saat itu. Betul-betul fantatis, Man! (Bruf)


16 Sep 2016

Berkenalan Lebih Dekat dengan PWK Santa Monika Paroki Santo Fransiskus Assisi Singkawang

Berkenalan Lebih Dekat dengan PWK Santa Monika

 Paroki Santo Fransiskus Assisi Singkawang


Perkumpulan Warakawauri Katolik (PWK) Santa Monika Singkawang adalah wadah organisasi bagi ibu-ibu janda katolik (single parent) yang bernaung di bawah Dewan Paroki St Fransiskus Assisi Singkawang.

Wadah yang resmi berdiri pada tanggal 11 Agustus 2013 diresmikan oleh pastor paroki yang pada saat itu dijabat oleh Pastor Amandus Ambot OFM.Cap, dalam perayaan ekaristi bersama umat di gereja Santo Fransiskus Assisi Singkawang. Susunan Pengurus untuk periode pertama Tahun 2013-2016 adalah sbb :
 
    Pelindung - Pastor Paroki St Fransiskus Assisi Singkawang
    Penasehat - Ibu RR.T. Sutarti Istiarti
    Pembina - Br. Gregorius Boedi, MTB.
    Ketua - Ibu Emmiliana Karsiyah
    Sekretaris - Ibu Brigida Yusri Ida
    Bendahara - Ibu Yuliana
    Seksi Liturgi - Ibu Suryati
    Seksi Usaha Dana - Ibu Elisabeth
    Seksi Sosial - Ibu Katno

Jumlah yang terdaftar kurang lebih 30 orang. PWK Santa Monika mempunyai Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) sebagai arah dasar dan tujuan. Program kerja PWK Santa Monika antara lain meliputi bidang rohani, sosial kemasyarakatan, sosial ekonomi, pendidikan dalam keluarga. Dalam kurun waktu 3 tahun, PWK santa Monika Singkawang sudah mengadakan beberapa kegiatan, antara lain bakti sosial donor darah, lomba mewarnai gambar untuk tingkat TK dan SD, basar, rekoleksi, seminar keluarga dan ziarah.

Dengan semangat kekeluargaan dan iman Katolik, PWK Santa Monika Singkawang berusaha turut berperan aktif dalam kehidupan menggereja. Semangat tersebut tidak lepas dari spiritualitas Santa Monika yang menjadi pelindungnya. Semoga di usia yang masih relatif muda PWK Santa Monika Singkawang tetap konsern dan semangat dalam pelayanan di gereja dan tetap memelihara kebersamaan di antara anggotanya. (Greg Boedi  Sapto)


16 Mei 2016

Ziarah Iman Bersama Acies Legio Maria

Ziarah Iman

Bersama Acies Legio Maria

 


Singkawang, 6 Maret 2016 epatnya pukul 10.00 Wib, sejumlah  100 peziarah utusan dari komisium ‘Acies Legio Maria’ di Keuskupan Agung Pontianak (KAP), bersama-sama berziarah di Gereja St Fransiskus Assisi Singkawang. Pasukan devosional yang berasal dari pelbagai usia ini penuh khidmat dan hening saat perarakan patung Bunda Maria dari Gua Maria menuju Altar sembari memegang bulir-bulir rosario yang indah dan menawan di jemari mereka.

Deny (39) dengan penuh semangat men-sharing-kan pengalaman imannya tentang sepak terjang dalam mengikuti kelompok doanya di Paroki St. Hieronimus Tanjung Hulu, Pontianak. Menurut wiraswasta muda ini kegiatan doa Legio Maria, menjadi salah satu style pribadi dalam menumbuhkan semangat hidup kerohaniannya. “Keunikan doa  ini tidak terlalu menonjol dalam publik gereja, karena kekhasannya terletak pada kegiatan devosional pada Bunda Maria dan diwujudnyatakan dalam kegiatan kerasulan atau pastoral awam yang praktis di Lingkungan Gereja,” papar Deny dengan nada  gembira.

Kelompok Legio Maria adalah kelompok kategorial yang di dalamnya umat Allah yang mau memperhatikan secara khusus berdevosi pada Bunda Maria. Legio Maria ini juga mempunyai kekhasan  yaitu perkumpulan orang Katolik yang dengan restu Gereja dan di bawah pimpinan kuat Bunda Maria yang dikandung tanpa noda dan pengantara segala rahmat, berkembang dengan pesat dari dari Gereja Katolik Roma sampai ke ujung dunia. 

Doa yang sudah hampir berusia satu abad lebih ini  mempunyai nilai-nilai yang pantas menjadi abdi Bunda Maria seperti sikap kesetiaan, pengorbanan, keberanian, pelayanan tulus, kerendahan hati dan ketabahan seperti yang dimiliki Bunda Maria yang sudah  menjadi ragi dan jiwa dalam diri pengikutnya. Perwujudannya melalui kunjungan kepada mereka yang sakit untuk didoakan baik yang terbaring di rumah sakit maupun di rumah pasien. Para Legioner (panggilan khusus bagi pribadi yang mengikuti Legio Maria)  ini sudah berkembang dan meluas maka para anggota yang aktif di dalamnya harus mengikuti peraturan dalam kegiatan doanya.

Robertus Setiapdry (16) yang juga merupakan ketua komisium Legioner dari Seminari Menengah St Paulus Nyarumkop, Kalbar, men-sharing-kan pengalaman doa dalam kelompoknya. “Kami setiap kamis malam  melakukan doa “Catena. Pada saat itu  kami bersama berbagi kisah pengalaman kerasulan yang nyata selama sepekan. Selain itu banyak hal yang saya timba dari doa ini selain menguatkan kami dalam mengikuti Yesus, yang menjadi fokus adalah bagaimana kami bersama Bunda Maria menyerahkan panggilan hidup kami agar terjawab apa yang menjadi cita-cita dan harapan kami sebagai inti sari dari perkumpulan doa ini,” papar seminaris  dari calon imam kongregasi Pasionis ini dengan mantap.

Dalam doa ini setiap anggota harus punya soul dan passion dalam dirinya. Spiritualitas hidupnya tercermin dalam doa-doanya. Jiwanya selalu terarah pada Yesus dengan meniru teladan Bunda Maria  menjadi persembahan hidup, yang kudus yang berkenan kepada Allah, dan tidak serupa dengan dunia ini (bdk. Rom 12:1-2),  sebagai salah satu  bagian cara menghayati dan menghidupi dalam kelompok doanya.

Pastor Aji dan Felix, OFMCap, turut hadir dalam kegiatan ini, sebagai imam yang mendampingi jiwa Legioner saat itu. Imam yang ramah ini memberi tanggapan yang positif dari semangat umat dalam menghayati hidup rohani secara khusus persembahan kepada Bunda Maria. “Setiap tahun Para Legioner Acies berkumpul dan kali ini kami memilih Gereja St Fransiskus Assisi karena tempat ini sebagai gereja kedua setelah Katedral untuk para Ziarah yang mencari ketenangan bathin di tahun  kerahiman ini,” ungkap mantan Magister Postulan ini yang sekaligus sebagai imam selebran utama Mmisa Kudus dalam kegiatan Acies Legio Maria saat itu.

Tampak juga saat itu kaum berjubah para Suster Slot, SFIC, Frater Henry dan Ferdi, OFMCap, ikut  berbaur dengan Komisium Legioner KAP sebagai bentuk dukungan dalam menguatkan ziarah batin bersama pasukan Maria ini agar tetap bertahan dan setia untuk selamanya di dalam kelompok doanya tiap hari. 

Ibu Bibiana, ketua kegiatan Acies Legio Maria Singkawang, mengungkapkan pengalamannya bahwa sangat senang dalam kegiatan Legio ini. “Saya sebagai ketua dengan gembira melayani kegiatan ini, karena ini juga perwujudan nyata dari nilai visi-misi para legioner. Selain itu gereja kita semakin banyak dikunjungi oleh para ziarah, itu tanda bahwa rahmat Tuhan tak pernah berhenti kepada kita untuk melayani mereka yang mau berkunjung ke gereja ini lebih-lebih para Legioner dari pelbagai komisium yang ada di Gereja Katolik Indonesia dan juga dari Sabah, Serawak,” ungkap ibu yang penuh senyum merekah ini ketika melayani tamu  di depan pintu gerbang gereja saat itu.

Selain misa kudus menjadi puncak dalam kegiatan Acies Legio Maria, acara yang tidak kalah penting adalah acara ramah tamah sebagai perwujudan nyata dalam bentuk persaudaraan Legio Maria dan juga kesempatan untuk sharing iman bersama. 

Semoga Legio Maria menjadi penyemangat bagi kelompok kategorial lain di Paroki St Fransiskus Asissi Singkawang. *** Bruf

 





8 Jan 2017

BERKATI RUMAH KITA DENGAN KAPUR

BERKATI RUMAH KITA DENGAN KAPUR


Gereja Katolik sangat kaya dengan tradisi dan simbol iman, dan dengan setia terhadap tradisi, kita berupaya melestarikan iman Kristiani juga. Salah satunya yang masih populer di benua Amerika dan Eropa adalah tradisi "memberkati" rumah dengan kapur. Kok bisa? Simak ulasan berikut ini yuk!

Sudah menjadi tradisi di Hari Raya Penampakan Tuhan/Epifani (6 Januari atau bisa digeser ke hari Minggu terdekat), pastor paroki akan memberkati kapur, air suci, dan garam yang akan dibagikan kepada masing-masing keluarga. Nah setelah mendapatkan kapur, air suci, dan garam, para keluarga akan pulang ke rumah masing-masing dan memberkati rumah mereka dengan air suci dan garam, kemudian menuliskan "20+C+M+B+17" dengan kapur di palang pintu masuk. Biasanya yang memimpin upacara singkat ini adalah kepala keluarga.

APA MAKSUD HURUF DAN ANGKA TERSEBUT?

20 dan 17 adalah angka tahun saat ini, jadi kita tuliskan sesuai angka tahun saat ini. Jika kita tulis di tahun 2018, cukup kita ganti angka 17 dengan angka 18. C, M, B adalah singkatan dari ketiga nama Para Majus, yakni Caspar, Melchior, dan Balthasar. Namun di sisi lain huruf-huruf tersebut merupakan singkatan dari bahasa Latin "Christus Mansionem Benedicat", yang berarti "Semoga Kristus memberkati rumah ini". Lambang "+" sendiri merupakan lambang Salib.

BUAT APA ADA TRADISI INI?
Sederhana, yakni sebagai wujud penghayatan iman kita serta permohonan kita kepada Allah supaya melindungi rumah kita dari kekuatan si jahat. Selain itu menandai palang pintu dengan kapur yang telah diberkati menandai komitmen keluarga untuk selalu menyambut Kristus dalam seluruh kehidupan keluarga, baik dalam suka maupun duka sepanjang tahun.

RUMUSAN UPACARA
* Pemberkatan Kapur
I: Pertolongan kita dalam nama Tuhan
U: Yang menjadikan langit dan Bumi.
I: Tuhan sertamu.
U: Dan sertamu juga.

Marilah berdoa,
Ya Tuhan, berkatilah kapur tulis ini sehingga dapat dipergunakan sebagai sarana keselamatan bagi umat-Mu. Semoga melalui pertolongan Nama-Mu yang kudus, Kristus berkenan memberkati rumah umat-Mu yang dengan penuh iman menandai pintu rumahnya dengan menggunakan kapur ini. Kiranya melalui perantaraan orang kudus-Mu, Caspar, Melchior, dan Balthasar, umat-Mu memperoleh perlindungan, kesehatan, dan kesejahteraan baik jiwa maupun raganya. Dengan pengantaraan Kristus, Tuhan kami. Amin. (*kapur diperciki air suci)

* Ketika menuliskan "20+C+M+B+17", bacalah doa ini:
Tiga orang Majus, Caspar, Melchior, dan Balthasar mengikuti bintang menuju Anak Allah yang menjadi manusia 2017 tahun yang lalu. Semoga Kristus memberkati rumah kami dan senantiasa bersama kami sepanjang tahun ini. Amin.

* Kemudian bacalah doa ini:
Berkatilah ya Tuhan, rumah umat-Mu sehingga di dalamnya terdapat kesehatan, kemurnian, keteguhan, kerendahan hati, kebaikan dan keramahan, ketaatan dan ketakwaan kepada perintah-Mu, serta ucapan syukur senantiasa dilambungkan kepada-Mu Allah Tritunggal Mahakudus: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Semoga berkat-Mu senantiasa menaungi dan tetap tinggal di dalam rumah dan mereka yang akan menempatinya. Kiranya rumah dan keluarga umat-Mu Kau mampukan menjadi saluran berkat dan kasih-Mu kepada siapapun yang akan berkunjung serta sesama di sekitarnya. Dengan pengantaraan Kristus, Tuhan kami. Amin.

(Sumber rumusan doa dari rumusan doa pemberkatan kapur yang dibagikan di Kapel Kanisius Menteng)