Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri hidup katolik. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri hidup katolik. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan

9 Okt 2017

13 Kutipan Santo-Santo Tentang Kekuatan Doa Rosario

13 Kutipan Santo-Santo Tentang Kekuatan Doa Rosario


Kutipan Santo-Santo Tentang Rosario Ini Mengungkapkan Kekuatan Supernatural Rosario, Sebagai orang Katolik, mungkin kita menganggap remeh mengenai doa rosario.

Namun, kita perlu belajar dari para santo santa yang mengalami bahwa doa rosario membuat mereka lebih dekat dengan Allah sehinggah tercermin dalam hidup harian mereka. Berikut ini, kutipan-kutipan mereka yang mengungkapkan kekuatan doa yang sederhana itu.

1)"Berikanlah kepadaku sebuah sekutu tentara yang mendoakan rosario, dan Aku akan menaklukkan dunia."-Paus Bl. Pius IX

2) "Rosario adalah "senjata" masa kini."-Santo Padre Pio

3) "Rosario kudus adalah sebuah senjata yang paling ampuh. Gunakanlah itu dengan penuh keyakinan dan kamu akan terkagum-kagum atas hasilnya."-Santa Josemaria Escriva

4) "Doa rosario adalah doa yang paling indah dan yang paling kaya akan rahmat dari semua doa; Doa yang paling tepat menyentuh Hati Bunda Allah...dan jika dikau menghendaki kedamaian menyelimuti rumahmu, doakanlah rosario keluarga."-Paus Santo Pius X

5) "Rosario adalah senjata yang peling ampuh melawan kuasa iblis dan menjaga dirimu dari kuasa dosa...Jika Engkau menghendaki kedamaian di hatimu, di rumahmu, di negaramu, berkumpullah setiap malam untuk berdoa rosario."-Paus Santo Pius X

6)"Betapa indahnya sebuah keluarga mendoakan rosario setiap malam!"-Paus Santo Paulus II

7) "Rosario adalah sebuah harta karun yang paling berharga diinspirasikan oleh Allah."-Santo Louis De Monfort

8) "Pergilah ke Bunda Maria. Cintailah dia! Tak henti-hentinya berdoa rosario. Katakanlah dengan bijak. Katakanlah sebisa mungkin! Jadilah itu sebagai jiwa dari doa. Janganlah pernah lelah akan berdoa, karena hal itu paling penting. Doa mengguncangkan Hati Allah, itu berisikan rahmat-rahmat yang diperlukan!"-Santo Padre Pio

9) "Metode terbesar dari doa adalah berdoa rosario."-Santo Fransiskus de Sales

10)"Rosario adalah cambuk yang membuat setan menderita."-Paus Adrian VII

11) "Jika ada sejuta keluarga yang beroa rosario setiap hari, seluruh dunia akan selamat."-Paus Santo Pius X

12) "Doa rosario merupakan bentuk doa yang luar biasa dan sarana yang paling efektif untuk mencapai hidup kekal. Itu adalah tebusan untuk perbuatan jahat kita, akar dari segala berkat. Tidak ada cara lain yang terbaik untuk berdoa."-Paus Leo XIII

13) "Rosario adalah suatu sekolah untuk belajar kesempurnaan Kristiani."-Paus Santo Yohanes XXIII

Semoga kutipan-kutipan tersebut berguna dalam peziaraan iman kita sebagai umat Katolik terutama selama bulan suci rosario Oktober ini. Salam dan doa.

Sumber:churchpop.com

3 Okt 2017

KATAKESE BULAN OKTOBER: BULAN ROSARIO

KATAKESE BULAN OKTOBER: BULAN ROSARIO


"Berdoalah Rosario setiap hari... Berdoa, berdoalah sesering mungkin dan persembahkanlah silih bagi para pendosa... Akulah Ratu Rosario... Pada akhirnya Hatiku yang Tak Bernoda akan menang."
-Pesan Bunda Maria dalam penampakan kepada anak-anak di Fatima-

“Sebagai doa damai, rosario selalu dan akan selalu menjadi doa keluarga dan doa untuk keluarga. Ada saatnya dulu, bahwa doa ini menjadi doa kesayangan keluarga, dan doa ini yang membawa setiap anggota keluarga menjadi dekat satu sama lain…. Kita perlu kembali kepada kebiasaan doa keluarga bersama berdoa untuk keluarga-keluarga…. Keluarga yang berdoa bersama, akan tetap tinggal bersama. … Para anggota keluarga, dengan mengarahkan pandangan pada Yesus juga akan mempu memandang satu sama lain dengan mata kasih, siap untuk berbagi, untuk saling mendukung, saling mengampuni dan melihat perjanjian kasih mereka diperbaharui oleh Roh Allah sendiri.” (Rosarium Virginis Mariae, 41, Paus Yohanes Paulus II)

BAGIAN VIII: KESAYANGAN DALAM HIDUPKU

BAB 35: ROSARIO

"Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia."(Luk 1:48)

Setiap kali kita berdoa rosario, kita sesungguhnya menggenapi nubuat Bunda Maria tersebut sekurang-kurangnya lima puluh kali. Kita menyebut Santa Perawan Maria "berbahagia," dengan menggunakan kata-kata yang tercatat di dalam Kitab Suci yang mendapatkan ilham ilahi. Kita menyapa Bunda Maria dengan salam malaikat Gabriel, "Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu." (Luk 1:28). Kita memaklumkan karunia-karunia istimewanya dengan menggunakan kata-kata Elizabeth, saudaranya, "Terpujilah engkau di antara wanita, dan terpujilah buah tubuhmu!" (Luk 1:42). Saat kita mendaraskan kata-kata tersebut sangat menyenangkan, karena kata-kata itu kaya akan makna, dan diperkaya oleh cakrawala biblis yang merupakan fokus permenungan kita.

Rosario adalah cara doa meditatif yang sudah teruji oleh zaman. Selama berabad-abad para Paus menganjurkannya, dan para Kudus mendoakannya setiap hari. Doa rosario dicintai oleh para pekerja, anak-anak, dan oleh orang-orang yang sibuk dengan pekerjaannya, dan orang-orang yang genius dalam ilmu pengetahuan. Rosario adalah doa kesayangan ahli biologi termasyur Louis Pasteur.

Dengan berdoa rosario, kita mengulangi sejumlah doa sambil merenungkan peristiwa-peristiwa (misteri-misteri) tertentu dalam kehidupan Yesus dan Maria, dan kita menghitung pengulangan doa kita dengan menggunakan biji-biji yang dirangkai dalam kelompok-kelompok yang masing-masing berjumlah sepuluh biji. Tetapi sama seperti banyak devosi yang lain, rosario adalah suatu bentuk devosi yang memungkinkan adanya variasi. Rosario "Tujuh Kedukaan" misalnya memiliki tujuh kelompok biji-bijian yang masing-masing terdiri atas tujuh biji. Sejumlah orang mengakhiri doa rosario dengan suatu nyanyian bertemakan Maria; sementara orang yang lain mengakhiri rosario dengan mendaraskan Litani Santa Perawan Maria, dan sejumlah orang lain mengakhiri dengan serangkaian doa bagi Bapa Suci. Sejumlah orang bahkan mendaraskan semua devosi Maria. Ada juga variasi etnik terkait doa rosario. Misalnya orang-orang Jerman yang saleh memiliki kebiasaan menyisipkan misteri tertentu dalam setiap doa Salam Maria. Misalnya, saat merenungkan "Maria menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel," mereka berdoa, "terpujilah buah tubuhmu, Yesus...Sabda yang menjelma menjadi manusia." Saat merenungkan "Yesus wafat di salib" mereka biasa berdoa, "terpujilah buah tubuhmu, Yesus....yang mati demi dosa-dosa kita."

Secara resmi, Gereja Katolik mengakui dua puluh peristiwa-peristiwa yang sesuai untuk direnungkan dalam doa rosario. Hendaklah kita mencari dan menemukan semua peristiwa-peristiwa itu dalam Kitab Suci supaya dapat merenungkan dengan lebih banyak manfaat :

Peristiwa Gembira

Maria menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel (Luk 1:26-38) Maria mengunjungi Elisabet, saudarinya (Luk 1:39-45) Yesus dilahirkan di Bethlehem (Luk 2:1-7) Yesus dipersembahkan dalam Bait Allah (Luk 2:22-40) Yesus diketemukan dalam Bait Allah (Luk 2:41-52)

Peristiwa Terang

Yesus dibaptis di Sungai Yordan (Mat 3: 13-17) Yesus menyatakan diri-Nya dalam pesta perkawinan di Kana (Yoh 2:1-12)Yesus memberitakan Kerajaan Allah dan menyerukan pertobatan (Mat 3:2, 4:17-23, Mrk 1:15)Yesus menampakkan kemuliaan-Nya (Mat 17:1-9) Yesus menetapkan ekaristi (Mrk 14:22-23, Luk 22:19-29)

Peristiwa Sedih

Yesus berdoa kepada Bapa-Nya di surga dalam sakratul maut (Luk 22:39-46)Yesus didera (Yoh 19:1) Yesus dimahkotai duri (Yoh 19:2-3) Yesus memanggul salib-Nya ke gunung Kalvari (Luk 23:26-32) Yesus wafat di salib (Luk 23:44-49)

Peristiwa Mulia

Yesus bangkit dari antara orang mati (Luk 24:1-12) Yesus naik ke surga (Luk 24:50-53) Roh Kudus turun atas Para Rasul (Kis 2:1-13) Maria diangkat ke surga (1Kor 15:23; DS 3903) Maria dimahkotai di surga (Why 12:1; DS 3913-3917)

Paus Yohanes Paulus II menganjurkan agar setiap rangkaian peristiwa didaraskan pada hari-hari tertentu dalam tiap pekannya: Peristiwa-persitiwa Gembira: Pada hari Senin dan Sabtu; pada masa Adven dan Natal. Peristiwa-peristiwa Sedih: Pada hari Selasa dan Jumat; pada masa Puasa. Persitiwa-peristiwa Mulia: Pada hari Rabu, Sabtu dan Minggu; pada masa Paskah. Peristiwa-peristiwa Terang: Pada hari Kamis.

Ada juga serangkaian peristiwa yang direnungkan secara tidak resmi yang merupakan hasil dari permenungan berkala tentang kesalehan biblis dan Marianis. Selama bertahun-tahun saya (Scott Hahn, author buku ini-red) telah menyaksikan banyak contoh misalnya: peristiwa Ekaristi, peristiwa penyembuhan dan peristiwa Gereja. Tidak pernah saya menemukan peristiwa yang tidak saya sukai meskipun untuk doa pribadi, saya cenderung menggunakan dua puluh peristiwa-peristiwa dasariah biblis.

Rosario bekerja pada tahap insani sebab doa ini melibatkan seluruh pribadi kita. Rosario melibatkan kata-kata dan pendengaran kita. Rosario menyibukkan pikiran dan merangsang emosi kita. Rosario memberikan pekerjaan kepada ujung jari-jari kita, suatu bagian tubuh kita yang memiliki indera perasa yang sangat peka. Apabila kita mendoakan rosario di depan patung kudus, kita juga memperkuat doa kita dengan indera badani, penglihatan. Inilah cara Tuhan Yesus meneguhkan iman para murid-Nya, "Lihatlah tanganKu dan kakiKu: Aku sendirilah ini; rabalah Aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada padaKu." (Luk 24:39) Tidak cukup bagi kita untuk hanya mendengarkan Dia, juga tidak cukup hanya membaca Sabda-Nya. Kita ingin Dia memenuhi seluruh indera kita dalam doa rosario.

Dan Tuhan melaksanakan dan memenuhi hal tersebut. Terima kasih atas cinta ibunda-Nya. Dalam Kitab Suci, Maria adalah pertama-tama merupakan murid Kristus. Ketika orang-orang bukan Yahudi (Tiga Raja dari Timur) datang dari jauh untuk mencari Yesus yang baru lahir, mereka menemukan, "Seorang bayi bersama Maria, ibu-Nya." (Mat 2:11). Ketika melihat orang lain mengalami kekurangan, Maria memohon kepada Yesus untuk mereka yang kekurangan (Yoh 2:3). Ketika Yesus wafat di salib dan ditinggalkan oleh sahabat-sahabat-Nya, Maria tetap setia menemani Yesus; dan Yesus mempercayakan dan memberikan Maria kepada " murid yang dikasihi-Nya" (yaitu anda dan saya), dengan berkata, "Lihatlah ibumu." (Yoh 19:27). Demikianlah Bunda Maria membantu kita dengan menjadi pengantara yang unik yang dapat ia lakukan. Bunda Maria menolong kita sebagai Ibu Yesus, demikian yang disampaikan oleh seorang saksi mata yang menyaksikan seluruh hidup Yesus. Tetapi Maria juga memberikan pertolongan sebagai Ibu kita, ibu yang diberikan oleh Yesus kepada kita, ibu yang selalu mengasihi kita dengan kasih yang hanya diberikan oleh seorang ibu.

Bersama Bunda Maria, dalam doa rosario kita menyaksikan bersama peristiwa-peristiwa keselamatan kita sebagaimana dinyatakan oleh peristiwa-persitiwa tersebut. Kita membenamkan diri dalam doa rosario dalam suatu pengalaman multiinderawi. Apakah orang akan menjadi jenuh apabila berdoa rosario dan harus berusaha keras untuk menguasai berbagai bagian doa rosario sekaligus: mengucapkan doa, mendasarkan biji rosario, dan merenungkan peristiwa-peristiwa Injl dengan sangat khidmat yang merupakan peristiwa historis yang nyata?

Tidak! Rosario akan bekerja paling baik justru kalau kita berhenti bekerja, kalau kita berhenti memikirkan banyak tugas dan merebahkan diri kita ke dalam pangkuan Bunda Maria, ibu kita seperti yang dilakukan oleh anak-anak ketika mereka bersama-sama dengan ibunya. Cara yang terbaik untuk menjadi santai saat mendaraskan rosario ialah justru dengan mendoakan rosario itu sendiri. Beberapa tahun sebelum terpilih menjadi Paus Benediktus XVI, Kardinal Joseph Ratzinger berkata kepada orang yang mewawancarainya, "pengulangan adalah cara untuk menghanyutkan diri ke dalam irama ketenangan. Yang paling penting bukanlah memusatkan perhatian secara sadar pada makna masing-masing kata, melainkan membiarkan diri hanyut dalam ketenangan pengulangan dan irama yang teratur. Semakin kita mampu berbuat demikian akan semakin baik, sebab teks doa tersebut tidak akan kehilangan maknanya. Rosario membangkitkan gambaran-gambaran dan penglihatan-penglihatan yang agung dan terutama menampilkan figur Bunda Maria dan kemudian lewat Maria menampilkan figur Yesus di hadapan mataku dan jiwaku."

Tidak ada doa yang sia-sia sehubungan dengan pengulangan seperti itu. Berdoa rosario ini sungguh menyenangkan Tuhan yang berkata kepada murid-muridNya, " Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan." (Mat 6:7). Sebaliknya orang-orang Kristiani tidak akan pernah lelah mengulangi doa-doa yang terangkai dalam rosario, yang kalimat di dalamnya merupakan kalimat penggenapan nubuat Bunda Maria.

Tempat yang paling baik untuk berdoa rosario adalah keluarga. Saat Pastor Patrick Peyton berkata, "Keluarga yang berdoa bersama akan tetap bersatu." Sesungguhnya ia sedang berbicara tentang doa rosario. Paus Yohanes Paulus II adalah orang yang tidak kenal lelah menganjurkan doa rosario dalam keluarga. Ia bahkan memberikan gelar "Ratu Keluarga" kepada Santa Perawan Maria, gelar yang ia tambahkan pada akhir Litani Santa Perawan Maria. Semua prakarsa itu tentunya menyenangkan hati Ratu kita. Sesudah Bunda Teresa dari Kalkuta mengalami penglihatan yang mengerikan tentang Kalvari, ia mendengarkan Bunda Maria meneguhkan dia, "Jangan takut. Ajarlah mereka untuk berdoa rosario, rosario keluarga, dan semuanya akan baik."

Memang, rosario keluarga adalah suatu rahmat yang teruji oleh jaman. Tetapi pengalaman rosario adalah suatu hal yang sangat pribadi. Kemampuan umat untuk berdoa tertentu sangat berbeda, sebagaimana kita saling berbeda dalam hal-hal lain. Hal ini berlaku juga untuk para Paus. Paus Yohanes Paulus II dikenal sebagai Paus yang mendaraskan doa rosario setiap hari. Paus Benediktus XVI mengakui bahwa kadang-kadang intensitas renungan atau meditasi selama tiga puluh Salam Maria sangat melelahkan, dan ia harus menghentikan devosi ini.

Tetapi setiap orang akan bisa mengalami doa rosario dengan kondisi seperti itu. Sejumlah dari kita memiliki waktu yang sungguh-sungguh cukup untuk tetap memusatkan perhatian bahkan dengan semua indera kita.

Tetapi kiranya merupakan dosa kesombongan jika meninggalkan doa yang sedemikian sederhana ini karena alasan kita tidak mendoakannya dengan baik. Ketika anak-anak saya masih sangat kecil, mereka sering menghadiahkan kepada saya suatu karya seni yang sesungguhnya tidak lebih daripada coretan-coretan seperti cakar ayam. Tetapi bagi saya, semua itu adalah "karya unggul", dan lebih dari itu: semua itu adalah sakramen kasih. Hidup saya kiranya akan menjadi miskin kalau semua anak saya meninggalkan kebiasaan memberikan hadiah tersebut. Karena pada usia 4 tahun, mereka tidak mampu melukiskan Monalisa.

Bagi Allah dan bagi Santa Perawan Maria, semua usaha kita untuk berdoa sangatlah berharga. Jika kita bertekun dalam doa rosario, kita menjadi "seperti anak-anak kecil" (Mat 18:3), anak-anak Bunda Maria dan juga anak-anak Bapa kita di surga.

Paus Yohanes XXIII, seorang putera Maria yang mirip anak kecil, memberikan nasihat yang baik bagi mereka yang frustasi karena hilangnya konsentrasi mereka saat berdoa dan mendaraskan rosario. Orang seperti itu menyerah, dengan alasan bahwa mereka lebih baik tidak berdoa rosario daripada berdoa dengan tidak baik. Paus Yohanes XXIII menasihati mereka dengan berkata bahwa, "tidak ada rosario yang buruk selain rosario yang tidak didoakan."

"Per Mariam ad Jesum"

Sumber: Scott Hahn: Signs of Life: 40 Kebiasaan Katolik dan Akar Biblisnya, Penerbit Percetakan Dioma, Malang.

Santa Perawan Maria, Ratu Rosario.
Doakanlah kami anak-anakmu.
Amin.

11 Jun 2017

HARI RAYA TRI TUNGGAL MAHA KUDUS

HARI RAYA TRI TUNGGAL MAHA KUDUS


Dalam rangka Hari Raya Tritunggal Mahakudus, dan mengingat banyak Romo yang homilinya tentang Tritunggal kadang membuat umat kurang paham, berikut tentang penjelasan Trinitas:
KATEKISMUS BALTIMORE (Katekismus resmi GK-Amerika dari 1885-1960)
PELAJARAN KETIGA: MENGENAI KEESAAN DAN ALLAH TRITUNGGAL


P. Apakah hanya ada satu Allah?
J. Ya, hanya ada satu Allah.


P. Mengapa hanya ada satu Allah?
J. Hanya ada satu Allah, sebab Allah, sebagai yang sempurna dan tak terbatas, tak ada yang menyamaiNya.


P. Ada berapa pribadi dalam diri Allah?
J. Dalam Allah terdapat tiga Pribadi Ilahi, sangat berbeda dan setara dalam segala hal, Bapa, Putra dan Roh Kudus.


P. Apakah Bapa adalah Allah?
J. Bapa adalah Allah dan Pribadi pertama dari Trinitas yang Terberkati.


P. Apakah Putra adalah Allah?
J. Putra adalah Allah, dan Pribadi kedua dari Trinitas yang Terberkati.


P. Apakah Roh Kudus adalah Allah?
J. Roh Kudus adalah Allah dan Pribadi ketiga dari Trinitas yang Terberkati.


P. Apakah Tritnitas yang Terberkarti itu?
J. Trinitas yang Terberkati adalah Allah yang satu dalam tiga Pribadi Ilahi.


P. Apakah ketiga Pribadi Ilahi setara dalam segala hal?
J. Ketiga Pribadi Ilahi tersebut adalah setara dalam segala hal.


P. Apakah tiga Pribadi Ilahi adalah satu dan Allah yang sama?
J. Tiga Pribadi Ilahi adalah satu dan Allah yang sama, memiliki kodrat Ilahi yang satu dan sama
*
Renungan:
Susah untuk menjelaskan Trinitas karena di alam raya ini tidak ada yang bisa dijadikan analogi yang pas atas trinitas. Dulu banyak penjelasan Romo dan buku-buku yang saya baca tapi juga kurang memuaskan.
Namun saya akhirnya mendapat penjelasan yang mencerahkan mengenai trinitas. Ini yang coba saya share (bagikan) kepada Anda.
Kristen termasuk agama monoteis (mono = satu; teis = Allah). Jadi sama dengan Islam yang mengakui ke-esa-an Allah. Allah yang satu dan esa itu mempunyai tiga pribadi. Yang satu itu adalah “substansi” alias "kodrat" Allah, sementara yang tiga itu adalah “pribadi” Allah.
Ketika kita menunjuk sesuatu dan bertanya “apakah itu?” kita bertanya mengenai “substansi” dari hal tersebut. Jadi misalnya kita menunjuk si Manis yang sedang menjilati tubuhnya dan bertanya “apakah itu?” maka jawabannya adalah “kucing”. Jadi substansi:kodrat si manis adalah kucing. Begitu pula kalau kita menunjuk ke pucuk tugu Monas dan bertanya “apakah itu?” maka jawabannya adalah “emas” karena emas itulah substansi berwarna kuning yang nempel di Monas (kita UMPAMAKAN SAJA emas diatas Monas itu seluruhnya terdiri dari emas, padahal kenyataannya yang emas cuma lapisannya).
Lalu, kalau kita menunjuk seseorang dan bertanya “apakah itu?” maka jawabannya adalah “manusia”. Nah, untuk manusia kita bisa bertanya juga “siapakah itu?” maka jawabannya bisa “Bagus, Slamet, Budi, Anita, Rini dan lain-lain”. ITULAH YANG DISEBUT “PRIBADI”!
Jadi “pribadi” adalah “SIAPA”, bukannya “APA” (yang “apa” adalah substansi/kodrat).
Sekarang, KATAKANLAH anak saya yang lugu menunjukkan jari kepada sang ALLAH (kita umpamakan bahwa Allah itu bisa ditunjuk) dan bertanya kepada saya “Pak, itu APA?” Maka saya akan menjawab “itu Allah, nak”. Kalau anak saya bertanya “Pak, itu SIAPA?” maka saya akan menjawab “itu, Bapa, Putra dan Roh Kudus, nak.”
Inilah yang dimaksud bahwa Allah itu satu (substansi) dan Dia adalah Tiga (Pribadi).
Seperti yang saya katakan sebelumnya, di alam raya ini tidak ada yang seperti Allah (maksudnya terdiri dari SATU substansi dan TIGA pribadi). Kita-kita ini manusia hanya terdiri dari SATU substansi dan SATU pribadi. Tidak ada manusia yang punya lebih dari satu pribadi (“pribadi” disini berbeda dengan “personalitas”. ini mengingat ada penyakit jiwa dimana seorang manusia mempunyai lebih dari satu “personalitas”. Meskipun begitu orang ini pribadinya tetap satu).
PS:
Substansi dan kodrat adalah sama. Cuma istilah itu dipergunakan berbeda. Kalau berkenaan dengan makhluk hidup, substansi si makhluk hidup disebut "kodrat."
Sumber: FB Katolik Imanku


5 Jun 2017

23 Tahun Imamat; 10 Tempat Menggembala Umat

23 Tahun Imamat; 10 Tempat Menggembala Umat


Jika tak mengenal pribadinya, jika sekilas saja awam memandangnya, maka kesan pertama yang akan muncul darinya adalah sosok seorang pengusaha. Dengan kulit yang putih bersih dan tampilan demikian rapi rasanya tak berlebihan andaikata banyak yang terkecoh. 

Pribadinya dinamis, antusias, dan sangat cermat memperhatikan lawan bicara. Setidaknya itulah kesan yang saya tangkap manakala berhadapan dengan pria yang sudah menghayati kehidupan imamatnya selama 23 tahun. Siang itu di tengah riuhnya derai tawa dan canda para biarawan region Singkawang dan sekitarnya berkumpul di pastoran Singkawang, ia adalah salah seorang di antaranya. Saat itu saya sengaja singgah ke pastoran guna mengembalikan diska lepas pada pastor paroki yang beberapa hari sebelumnya diserahkan kepada saya guna menyetorkan artikel yang akan dimuat di buletin. Pada kesempatan itu juga saya sempat menanyakan pada pastor paroki siapa kiranya sosok yang akan dikupas profilnya pada buletin edisi yang akan datang. Entah mengapa, saya dan pastor paroki semacam tak sengaja bersepakat mengarahkan pandangan pada sosoknya. Ia yang siang itu mengenakan kemeja merah memang tampak mencolok di antara pastor-pastor lainnya. Serta merta pada kesempatan itu juga saya ‘melamar’ kesediaannya untuk menjadi sosok yang akan diangkat dalam Rubrik Sosok Likes edisi 13. Bukan tanpa alasan saya menyematkan kesan dinamis, antusias, dan cermat padanya, karena di siang itu juga ‘lamaran’ saya diterima dengan sangat terbuka, nada suara ringan, dan tak bertele-tele.

Temu janji dilakukan. Di tengah kesibukannya memimpin persekolahan ia tetap memberikan saya ruang dan kesempatan. Ketukan pada pintu saya daratkan. Tak lama, pintu dibukakan langsung oleh sosok yang saya tuju. Dengan ramah saya disilakan menuju ruang makan yang cukup teduh dan luas. Diiringi tembang-tembang rohani yang mengalun lembut, saya memulai pembicaraan.

Jujur ketika menghadapi beliau hampir semua daftar pertanyaan yang sudah saya susun sebelumnya menjadi berantakan. Pertanyaan-pertanyaan saya yang sungguh awam terhadap posisi beliau membuat wawancara sedikit mengalami kekacauan. Sepertinya beliau menangkap kebingungan saya, namun dengan kebijakan dan keramahtamahan beliau, obrolan tetap mengalir ringan.   

Terlahir di Ketori, 53 tahun silam tepatnya 20 April 1964, ia sulung dari tujuh bersaudara. Dengan penuh semangat dan bangga ia menuturkan bahwa ayahnya adalah seorang katekis yang banyak meng-Katolikkan orang dan seringkali memimpin ibadat pernikahan. Melalui jalan katekis itu juga yang membuatnya berdiri begitu rapat dan erat dengan panggilan imamat. Heri kecil tak dapat menyangkal keterpesonaannya terhadap jubah para imam yang ketika turne seringkali menginap di rumah orang tuanya. Baginya jubah yang dikenakan oleh para imam sangat sakral. Sungguh berbeda dan istimewa, tak semua awam bisa mengenakannya. Ada penggalan kenangan jenaka dituturkannya berkenaan dengan denyar panggilan imamat yang sejak usia dini sudah didengarnya, “Sejak kecil saya sudah sering bermain misa-misaan. Umatnya adik saya, pastornya saya. Lalu saya memakai pakaian ibu yang diandaikan sebagai jubah, dan irisan pisang sebagai hostinya,” ujarnya dengan sudut mata menyipit menandakan ada suatu dimensi waktu di masa lalu yang menyambangi ingatan dan perasaannya sekaligus menimbulkan efek bahagia ketika dikenang. 

Masih berkait dengan panggilannya sebagai imam, ia juga sempat menuturkan bahwasanya semasa masih berusia remaja nanggung ia berkuat hendak menempuh kehidupan sebagai gembala karena dalam angannya seorang imam tak perlu menempuh pendidikan yang melibatkan ilmu yang beragam, matematika dan lain sebagainya. Pendek kata ia berpikir bahwa untuk ditahbiskan menjadi pastor ilmu yang dikuasai hanya ilmu pastor. Tergelak saya mendengar kisah yang disampaikannya dan membuat saya berujar, “Padahal untuk menjadi pastor jauh lebih berat ya, minimal harus bergelut dengan filsafat yang begitu berat, dan teologi yang juga tidak bisa serta merta langsung dipahami.” 

Kisah lain yang tak kalah mewarnai keragu-raguannya dalam memulai langkah pastoral adalah pengalaman yang sempat menciutkan hatinya berkenaan dengan tarik suara. Terdengar agak ajaib memang jika Heri kecil sempat berpikir untuk mengurungkan niatnya menjadi imam karena ia merasa tak pandai menyanyi. Pengalaman ketika kecil memiliki dan berhadapan dengan pastor asal Swiss yang jago bernyanyi membuatnya berpikir untuk menjadi seorang pastor haruslah sosok yang pandai bernyanyi. Akhirnya semakin bertambah usia, pengetahuannya semakin terang benderang, bahwasanya pandai menyanyi bukanlah salah satu tuntutan untuk menjadi pastor.
 
Bicara soal penempatan tugasnya sebagai imam, pria berkacamata silinder ini bercerita banyak dan sangat runtut. Ia masih kuat mengingat berbagai kejadian monumental yang akhirnya membentuk jejak-jejak tak terlupakan dalam kenangan. Sekelumit kisah yang sebenarnya membekas bahkan mengundang traumatik ia tuturkan. Ibarat kata, lukanya memang sudah sembuh, namun bekasnya masih terasa bila diraba. Ya, beliau sempat beberapa waktu merasakan enggan ketika hendak dikirim pulang ke tempat awal menggembala usai ia ditahbiskan. Seperti yang disampaikannya ketika awal kehidupan menggembala ia ditempatkan di persekolahan Nyarumkop dan bertugas sebagai salah satu pengajar. Dalam kurun waktu singkat berbagai kejadian silih berganti menempa kematangan emosionalnya. Hal terberat yang menggusarkan mata batinnya adalah ketika sudah dengan sepenuh jiwa ia mengusahakan untuk berkarya, namun ada saja pihak yang tak membaca perjuangannya sebagai sesuatu daya yang bertujuan membentuk karakter anak menjadi lebih mulia. “Kita sudah memberikan waktu siang malam tetapi itu yang kira terima, umpatan, makian. Tapi saya menyadari bahwa itu semua adalah bagian dari pelayanan,” tegasnya. Ya, ia yang kini duduk di hadapan saya telah berhasil melewati masa-masa pendewasaan itu. Sesuai dengan kutipan Pram, “Bila akar dan batang sudah cukup kuat dan dewasa, dia akan dikuatkan oleh taufan dan badai.” (Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah)
 
Tercatat sepanjang karir kegembalaan, ia telah berpindah ke berbagai tempat pelayanan sebanyak sepuluh kali. Menyikapi hal itu pemilik nama lengkap Heribertus Samuel, OFMCap., ini selalu memegang prinsip di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. “Suasana tempat tugas di mana-mana pasti berbeda. Pertama dan menjadi kunci utama kita harus merasa at home. Harus cepat beradaptasi dengan pekerjaan dan lingkungan, dengan demikian kita dapat bekerja dengan baik. Sepuluh kali pindah saya tidak merasa terikat dengan satu tempat. Pindah ya pindah. Contoh ketika propinsial menelepon memindahkan saya. Tidak harus bertemu langsung tapi by phone, oh bisa  pindah ke mana saja ok.” Baginya hal yang bisa dipermudah tidak perlu dipersulit. “Pimpinan tentunya  sudah menimbang dan mendiskusikan kemanapun saya ditempatkan,” lanjutnya. Dalam batin saya menggumam, betapa patuh dan taatnya ia pada panggilan pelayanannya. Tak berhenti sampai di situ kekaguman saya menyeruak terhadap sosoknya karena di sela-sela obrolan kami, ia sempat menceritakan kesukaannya bercocok tanam dan memelihara hewan ternak. Rasanya tak terbayang jika sosok rapi dan bersih yang sedang duduk di hadapan saya bersedia membersihkan kandang dan berbagai jenis kotoran hewan. Namun itulah yang terjadi. Dari jagung hingga sayur, dari ayam sampai marmut tak lepas dari sentuhan tangan dinginnya. Baginya, menghayati bekerja adalah sebagai bagian dari hidup. “Homo laboran, salah satu identitas manusia. Jika manusia malas dia bukan manusia. Malas yang betul-betul malas, ya. Bagi saya segala pekerjaan adalah relatif. 

Dasarnya saya tidak memilih kerja. Dari memungut sampah, bersih-bersih lingkungan, berkebun, bakar sampah dan itu biasa saya lakukan, hampir setiap hari. Nanti sore penampilan saya akan lain. Saya bekerja memakai kaos, sepatu boot untuk berkebun, akan lain dengan yang sekarang,” paparnya. Saya berdecak. Sungguh, rasanya masih sulit membayangkan ia yang demikian rapi tiba-tiba harus bergelut dengan sampah atau mencangkul tanah.


Ketika iseng saya bertanya di mana tempat bertugas paling istimewa, maka dengan gamblang ia menuturkan bahwa semua tempat tugas baginya masing-masing memiliki keistimewaannya. “Jakarta tidak bisa disamakan dengan Pontianak, apalagi Nyarumkop. Untuk kenyamanan yang terpenting kita cepat merasa at home sehingga kita tidak lagi memikirkan yang sudah lewat. Ada kenyamanan dan sebagainya, itu kan ekstra, yang sudah lewat ya sudah di awang-awang, tempat tugas terbaru kita dan di mana kita berada saat ini adalah yang  real. Memang tidak selalu gampang ketika pindah, tapi ini perutusan dari kongergasi utk melayani. Karena itu saya selalu bersyukur diminta untuk bertugas sana-sini, membuat pengalaman kita lebih beragam. Setiap pengalaman relatif namun dasar pelayanan adalah prinsip ketaatan untuk gereja,” imbuhnya.
 
Meski ia berdarah asli tanah Borneo, namun putera dari almarhum Bapak Alfonsus Agen dan almarhumah Ibu Bernadeta Deta ini sama sekali tak keberatan dipanggil dengan sebutan Romo, sebutan bagi umumnya gembala di tanah Jawa. Hal ini berkait erat dengan pengalamannya menggembala umat di ibu kota. Tercatat dua kali ia ditempatkan di pulau Jawa dan dalam kurun waktu itu juga ia merasakan berkat yang sungguh pekat dalam kehidupan imamat. Setidaknya dataran Eropa baik timur maupun barat telah dijelajahinya, beberapa negara di Asia telah disambanginya, dan berbagai pengalaman tak biasa telah  dirasakannya, termasuk pengalaman berakting dalam sinema elektronika mini bertajuk rohani. Ya, semua hal itu sangat disyukurinya sebagai buah dari kehidupan menggembala.

Ditanya soal perspektif memandang dunia pendidikan yang kini dibawahinya dan relevansi dengan kondisi saat ini, dengan lugas ia bertutur, “Pendidikan sangat penting karena pendidikan membuka wawasan pikiran. Sesuai dengan moto pendidikan di sini, Non schole sed vitae discimus, kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup. Dengan sekolah orang membuka pikiran, dan tentu dengan pikiran yang terbuka kesuksesan dalam hidup dapat diraih. Untuk suasana real di lapangan sendiri zaman dulu jauh berbeda dengan sekarang. Sekarang terasa semangat studi sangat lemah padahal sekarang kompetitifnya lebih susah. Setiap hari ada kasus. Ada sifat melawan dari anak, cuek, menyukai hal-hal praktis. Memang tidak semua siswa bersikap seperti itu, tapi yang sedikit itu bisa memengaruhi yang lain karna itu masalah ketika hidup dalam lingkungan sosial. Tapi itulah tantangan. Tapi bisa kita lihat hasilnya, tamatan dari Nyarumkop akan lain karena mereka tinggal di asrama” ujarnya mantab.

Disoal mengenai harapan ke depan tentang dunia yang kini dalam asuhannya, ia menyatakan sangat memendam asa bahwa Persekolahan Katolik Nyarumkop dapat lebih eksis dan mampu bersaing dengan sekolah lain. Selain itu pendidikan tidak berjalan sepihak dalam artian antara pendidik, yang dididik, dan pihak keluarga dapat kooperatif dalam membentuk manusia berkarakter mulia. 

Kini ia berada nun di timur Kota Amoy, bertenang diri dan mengabdi sebagai pemimpin umum Persekolahan Katolik Nyarumkop. Menjamin keberlangsungan segala hal yang berkait dengan pendidikan di persekolahan yang berdiri lebih dari seabad yang lalu tetap berjalan dengan baik dari jenjang Taman Kanak hingga Topang. Selamat bertugas, Romo. Semoga selalu sehat dan bersemangat dalam panggilan imamat dan dalam tugas-tugas berat. (Hes)

Riwayat Pendidikan 

SDN Ketori (1973 - 1979)
SMP Gunung Bengkawan (1979 - 1981)
SMA Seminari Santo Paulus Nyarumkop (1981 - 1984)
Tahun Persiapan/Retorika, Pematang Siantar (1984 - 1985)
Novisiat Parapat (1985 - 1986)
STFT St Yohanes (1987 - 1991)
Tahun Orientasi Panggilan, Menjalin (1991 - 1992)
STFT St Yohanes (1992 - 1994)

Kegembalaan

Tahbisan Imam 20 Oktober1994 di Laverna, Sanggau.
Ngabang (1994)
Nyarumkop (1995 - 1997)
Paroki Tebet, Jakarta (1997 - 1999)
Postulat Sanggau (1999 - 2003)
Pos Novisiat Singkawang (2003 - 2004)
Tirta Ria, Pontianak (2004)
Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (2004 - 2007)
Paroki Tebet, Jakarta (2007 - 2012)
Biara San Lorenzo, Pontianak (2012 - 2016)
Pimpinan Umum Persekolahan Katolik Nyarumkop (2016 - sekarang)          

Allah Peduli!

Allah Peduli!

“Allah mengerti, Allah peduli, segala persoalan yang kita hadapi. Tak akan pernah dibiarkannya, kubergumul sendiri, sebab Allah peduli”

Penggalan syair dari lagu Allah peduli itu, sudah ratusan kali terngiang di telingaku. Selama itu  pula penggalan syair yang sudah sangat akrab denganku itu berlalu begitu saja. Bahkan aku sudah seringkali menyanyikannya. Tetapi kali ini syair lagu itu terasa lain. Seolah-olah ia mau menyampaikan sesuatu kepadaku. Sejenak aku dibawanya untuk berdiam diri, bermenung sebentar dan mengamini apa yang dikatakannya: bahwa Dia benar-benar hadir dan peduli kepada semua manusia, termasuk juga diriku.

Sangat mungkin nada lagu itu terasa berbeda dan sangat berbicara kepadaku karena dinyanyikan oleh warga binaan Lapas Singkawang. Padahal suara mereka tidaklah istimewa. Kalau boleh disebut malah jauh dari merdu. Apalagi hanya diiringi oleh petikan gitar yang kadang terasa sumbang. Tetapi boleh jadi karena warga binaan menyanyikannya dengan sangat ekspresif, mereka seperti menjiwai dan larut dengan isi dari lagu itu. Perasaan mereka terwakili oleh syair lagu Allah Peduli. Tanpa harus mereka katakan aku bisa membaca perasaan mereka bahwa dalam keterbatasan hidup di dunia lapas mereka sungguh mengalami kepeduliaan Allah. Di tengah keterpurukan hidup mereka tetap melihat adanya secercah harapan bahwa Allah tidak meninggalkan mereka.  Sesekali kulirik dari meja altar terlihat beberapa warga binaan justru membawakan lagu itu dengan memejamkan mata, sambil menengadahkan tangan ke atas, seperti mau menggapai sesuatu nun jauh di sana.

Lagu Allah Peduli dibawakan saat jeda komuni, ketika umat yang hadir di kapel  lapas sedang bersujud syukur atas kehadiran-Nya dalam rupa sakramen Ekaristi.  Syair lagu itu menambah khusyuknya suasana doa.  Sambil mendengarkan lagu itu, aku pun duduk diam dan bermenung. Dalam diamku aku mencoba berwawanhati dengan Tuhan. “Ah Tuhan, betapa sering aku melupakan diri-Mu. Aku tidak sadar bahwa Engkau sebenarnya peduli denganku. Sejatinya aku malu dengan mereka ini. Bagaimana mereka yang pergerakannya serba terbatas, hidup terkurung di balik jeruji besi, toh masih bisa merasakan dan mengalami kepedulian-Mu. Sementara aku yang hidup dengan bebas kadang malah tidak sadar bahwa Engkau sangat memperhatikan diriku. Ajari aku Tuhan, untuk sedikit mensyukuri kepedulian-Mu kepadaku”.

Lama aku berdiam diri, sampai aku tersadar bahwa lagu komuni itu telah usai. Dengan tenang aku pun melanjutkan tugasku mengakhiri misa Paskah bersama warga binaan. Aku yakin warga binaan yang beragama Katolik hari itu mengalami anugerah istimewa karena dalam masa Paskah ini mereka boleh menyambut tubuh Kristus sebagai Sang Pembebas yang sejati. Itulah kepedulian Allah yang sangat nyata mereka rasakan. Di sisi lain aku sendiri pun menimba pelajaran hidup yang sangat berharga. Lewat warga binaan aku diundang untuk selalu menyadari bahwa Allah sungguh peduli akan kehidupanku. Terimakasih Tuhan atas rahmat Paskah yang sangat istimewa ini. (Gathot)


4 Jun 2017

“Ceng Beng” di Pemakaman Katolik Singkawang

“Ceng Beng” di Pemakaman Katolik Singkawang

 

 

Setelah memarkir sepeda motor atau mobilnya, satu per satu umat Katolik berjalan menuju patung dan salib yang menjadi sentral pemakaman Katolik Singkawang. Tangan mereka dipenuhi dengan aneka barang bawaan; rangkaian bunga segar atau bunga tabur, air mineral dalam kemasan, dan lilin. Barang bawaan itu dimaksudkan sebagai sarana untuk merayakan ibadat arwah di makam. Sebelum dibawa ke makam barang bawaan tersebut mereka letakkan di bawah kaki salib untuk diberkati. Sementara itu tiga gawang tenda hijau sudah terpasang mengelilingi salib sebagai tempat bagi umat untuk berhimpun. Maklum cuaca kota Singkawang sedang tidak bersahabat. Panasnya kadang sangat menyengat, atau tiba-tiba bisa saja hujan mengguyur dengan hebat.

Sore itu, Selasa 4 April 2017 memang terlihat adanya pemandangan berbeda di pemakaman Katolik Singkawang. Umat Katolik dari berbagai penjuru, bahkan beberapa ada yang berasal dari ibukota Jakarta, menyempatkan diri untuk hadir di pemakaman dengan satu tujuan yang sama; mendoakan arwah sanak keluarga yang sudah meninggal dan dimakamkan di pemakaman Katolik Singkawang. Menurut informasi yang sempat digali cikal bakal peringatan arwah ini ditemukan dalam tradisi orang Tionghoa yang merayakan sembahyang kubur atau yang biasa dikenal dengan istilah Ceng Beng. Pada perayaan tersebut banyak orang Tionghoa dari berbagai tempat pulang kembali ke Singkawang untuk berziarah ke pemakaman yang tersebar di kota Singkawang. Gereja Katolik Singkawang secara khusus memandang baik bahwa pada saat yang sama juga dirayakan ibadat arwah di pemakaman katolik Singkawang supaya para arwah yang disemayamkan di pemakaman Katolik juga didoakan. Perayaan ini memang tidak ditemukan dalam penanggalan liturgi Gereja Katolik sehingga bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk kearifan lokal Paroki Singkawang. 

Tepat pukul tiga sore ibadat arwah dimulai. Perayaan kali ini dipimpin oleh Pastor Stephanus Gathot. Dalam kotbahnya yang mengacu pada kisah kebangkitan Lazarus, Pastor Paroki Singkawang ini menunjukkan adanya harapan akan kebangkitan orang mati. Bahwa hidup manusia tidak hanya berakhir di dunia ini. Bagi orang beriman ada kelanjutan hidup ‘di seberang sana’, dan itulah hidup yang sebenarnya. Keyakinan iman ini didasarkan pada sabda Tuhan sendiri yang menunjuk diri-Nya sebagai kebangkitan dan kehidupan. Barangsiapa percaya kepada-Nya akan memiliki hidup abadi.

“Untuk itulah kita datang dan berziarah ke makam ini. Kita mau mengungkapkan iman akan kebangkitan dan kehidupan bagi saudara-saudari kita yang telah berpulang. Kita mengetuk pintu belas kasih-Nya supaya mengikutsertakan mereka dalam keabadian. Apa yang kita bawa sebenarnya merupakan simbol akan penghayatan iman tersebut. Bunga menjadi simbol akan keharuman amal saudara-saudari kita. Lilin-lilin yang nanti akan kita nyalakan merupakan harapan kita akan kehidupan kekal yang senantiasa bernyala. Dan air yang diberkati melambangkan sakramen permandian yang telah diterima oleh saudara-saudari kita,” kata Pastor Gathot mengakhiri kotbahnya.
Ibadat dilanjutkan dengan pemberkatan bunga, lilin dan air mineral. Lagu penutup menjadi tanda pungkasan ibadat.  Umat pun segera mengambil barang bawaannya yang telah diberkati. Dengan tertib mereka segera menuju ke makam saudara-saudarinya. Di hadapan nisan saudara-saudarinya mereka menghaturkan doa; memohon belas kasih Allah bagi saudara-saudari yang telah berpulang. 

“Ceng beng” di pemakaman Katolik Singkawang menjadi ritual tahunan yang senantiasa dirayakan. Harapan yang selalu dilambungkan adalah semoga arwah saudari-saudari menikmati kehidupan kekal. (Sgp)




31 Mei 2017

SEJARAH BULAN MEI DAN OKTOBER SEBAGAI BULAN MARIA

SEJARAH BULAN MEI DAN OKTOBER SEBAGAI BULAN MARIA

Bulan Mei

Secara tradisi, Gereja Katolik mendedikasikan bulan- bulan tertentu untuk devosi tertentu. Bulan Mei yang sering dikaitkan dengan permulaan kehidupan, karena pada bulan Mei di negara- negara empat musim mengalami musim semi atau musim kembang. Maka bulan ini dihubungkan dengan Bunda Maria, yang menjadi Hawa yang Baru. Hawa sendiri artinya adalah ibu dari semua yang hidup, “mother of all the living” (Kej 3:20). Devosi mengkhususkan bulan Mei sebagai bulan Maria diperkenalkan sejak akhir abad ke 13. Namun praktek ini baru menjadi populer di kalangan para Jesuit di Roma pada sekitar tahun 1700-an, dan baru kemudian menyebar ke seluruh Gereja.
Pada tahun 1809, Paus Pius VII ditangkap oleh para serdadu Napoleon, dan dipenjara. Di dalam penjara, Paus memohon dukungan doa Bunda Maria, agar ia dapat dibebaskan dari penjara. Paus berjanji bahwa jika ia dibebaskan, maka ia akan mendedikasikan perayaan untuk menghormati Bunda Maria. Lima tahun kemudian, pada tanggal 24 Mei, Bapa Paus dibebaskan, dan ia dapat kembali ke Roma. Tahun berikutnya ia mengumumkan hari perayaan Bunda Maria, Penolong umat Kristen. Demikianlah devosi kepada Bunda Maria semakin dikenal, dan ketika Paus Pius IX mengumumkan dogma “Immaculate Conception/ Bunda Maria yang dikandung tidak bernoda” pada tahun 1854, devosi bulan Mei sebagai bulan Maria telah dikenal oleh Gereja universal.
Paus Paulus VI dalam surat ensikliknya, the Month of Mary mengatakan, “Bulan Mei adalah bulan di mana devosi umat beriman didedikasikan kepada Bunda Maria yang terberkati,” dan bulan Mei adalah kesempatan untuk “penghormatan iman dan kasih yang diberikan oleh umat Katolik di setiap bagian dunia kepada Sang Ratu Surga. Sepanjang bulan ini, umat Kristen, baik di gereja maupun secara pribadi di rumah, mempersembahkan penghormatan dan doa dengan penuh kasih kepada Maria dari hati mereka. Pada bulan ini, rahmat Tuhan turun atas kita … dalam kelimpahan.” (Paus Paulus VI, the Month of May, 1)

Bulan Oktober

Sedangkan penentuan bulan Oktober sebagai bulan Rosario, berkaitan dengan peristiwa yang terjadi 3 abad sebelumnya, yaitu ketika terjadi pertempuran di Lepanto pada tahun 1571, di mana negara- negara Eropa diserang oleh kerajaan Ottoman yang menyerang agama Kristen. Terdapat ancaman genting saat itu, bahwa agama Kristen akan terancam punah di Eropa. Jumlah pasukan Turki telah melampaui pasukan Kristen di Spanyol, Genoa dan Venesia. Menghadapi ancaman ini, Don Juan (John) dari Austria, komandan armada Katolik, berdoa rosario memohon pertolongan Bunda Maria. Demikian juga, umat Katolik di seluruh Eropa berdoa rosario untuk memohon bantuan Bunda Maria di dalam keadaan yang mendesak ini. Pada tanggal 7 Oktober 1571, Paus Pius V bersama- sama dengan banyak umat beriman berdoa rosario di basilika Santa Maria Maggiore. Sejak subuh sampai petang, doa rosario tidak berhenti didaraskan di Roma untuk mendoakan pertempuran di Lepanto (teluk Korintus). Dalam pertempuran ini pada awalnya tentara Kristen sempat kalah. Tetapi kemudian mereka berhasil membalikkan keadaan hingga akhirnya berhasil‎ menang.. Walaupun nampaknya mustahil, namun pada akhirnya pasukan Katolik menang pada tanggal 7 Oktober. Kemenangan ini memiliki arti penting karena sejak kekalahan Turki di Lepanto, pasukan Turki tidak melanjutkan usaha menguasai Eropa. Kemudian, Paus Pius V menetapkan peringatan Rosario dalam Misa di Vatikan setiap tanggal 7 Oktober. Kemudian penerusnya, Paus Gregorius XIII, menetapkan tanggal 7 Oktober itu sebagai Hari Raya Rosario Suci.
Demikianlah sekilas mengenai mengapa bulan Mei dan Oktober dikhususkan sebagai bulan Maria. Bunda Maria memang terbukti telah menyertai Gereja dan mendoakan kita semua, para murid Kristus, yang telah diberikan oleh Tuhan Yesus menjadi anak- anaknya (lih. Yoh 19:26-27). Bunda Maria turut mengambil bagian dalam karya keselamatan Kristus Putera-Nya, dan bekerjasama dengan-Nya untuk melindungi Gereja-Nya sampai akhir jaman.
Amanat dari Peristiwa Lepanto Battle
Bunda Maria, "terbukti" telah menyertai Gereja dan umat beriman melalui doa Sang Bunda kepada Tuhan Yesus untuk menyertai kita yang berziarah di dunia ini. Tuhan Yesus Kristus telah menyerahkan Bunda Maria, ibuNya yang amat terberkati kepada Santo Yohanes, dan Santo Yohanes menjadi "anak" Sang Bunda (Yoh 19 : 26 - 27 , Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: "Ibu, inilah, anakmu !" Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: "Inilah ibumu!" Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya.). Tentu pesan Tuhan Yesus ini, yang memberikan ibuNya kepada Santo Yohanes, tidak terbatas kepada Santo Yohanes, tentu juga Tuhan Yesus menyerahkan ibuNya bagi kita semua, untuk mendampingi, menyertai, dan mendoakan kita. Bunda Maria memainkan peranan penting sebagai "agen" karya keselamatan Yesus Kristus.
Sumber: www.katolisitas.org




6 Mar 2017

Profil Pastor Yosua Boston Sitinjak, OFMCap.

Yosua Boston Sitinjak, OFMCap.


Motto
“Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” 
(1 Petr: 5:7)

Biodata

Nama lahir : Boston Sitinjak
Nama Biara : Yosua Boston Sitinjak, OFMCap.
Tempat/tgl lahir : Pematang Kerasaan/16 Januari 1986
Putra : Pertama dari lima bersaudara
Nama Ayah : Pendi Sitinjak
Nama Ibu : Martauli br. Gultom
Paroki  Asal : Kristus Raja - Perdagangan Keuskupan Agung Medan
Kaul Perdana : Pontianak, 1 Agustus 2009
Kaul Kekal : Novisiat Padre Pio - Gunung Poteng, 30 Juli 2015
Tahbisan Diakon : Paroki Salib Suci Ngabang, 27 Agustus 2016
Riwayat Pendididikan
1991 - 1997 : SDN 901631 - Pematang Kerasaaan (Sumut)
1997 - 2000 : SLTP Katolik Abdi Sejati - Perdagangan
2000 - 2003 : SMK Katolik Abdi Sejati - Kerasaan I
2004 - 2007 : KJJ STP IPI Malang
2007 -2008 : Postulat St. Leopold Mandic - Bunut, Sanggau Kapuas
2008 - 2009 : Novisiat St. Padre Pio Gunung Poteng - Singkawang
2009 - 2013 : Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) St Yohanes - Pematang Siantar
2013 - 2014 : Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki St. Perawan Maria Tak Bernoda - Pusat Damai
2014 - 2016 : Sekolah Tinggi Teologi Pastor Bonus - Pontianak
2016 - 2017 : Diakonat di Paroki St. Parawan Maria Diangkat ke Surga Balai Sebut

Riwayat Panggilan

Nun di timur kota Singkawang, awal saya jatuh hati pada kehidupan gembala gerejawi. Pada sebuah rumah Novisiat yang mengenalkan arti sahabat, pada sebuah biara yang mengajarkan makna kehidupan bersaudara dalam hidup bersama. Kembali kekuatan tentang panggilan saya temukan ketika berhadapan dengan para suster (OSCCap) yang selalu menguatkan manakala saya ragu menanggapi panggilan.  

Tak berhenti sampai di situ, langkah menuju kehidupan imamat pun terganjal restu. Kedua orang tua tercinta tak serta merta memberikan izinnya mengingat dalam adat Batak Toba, saya adalah putra pertama yang diharapkan meneruskan nama marga dalam keluarga. 

Empat tahun menjalani pendidikan tanpa restu di tangan, di tahun kelima masa pendidikan segala kesungguhan akhirnya menuai buah kemenangan. Tekad kuat mengalahkan segala yang menghambat, restu orang tua lantas saya dapat. Satu pesan dari kedua orang tua yang berisi harapan juga restu, “Jangan buat kami malu.”

Setelah hampir sedasawarsa, melalui doa teladan Santo Fransiskus Assisi, Bunda Maria, dukungan orang tua, segenap keluarga, dan para Saudara Kapusin, kini saya melangkah pasti menuju kehidupan imamat gerejawi. 
  

3 Mar 2017

Menguji Kelestarian Panggilan dan Kesetiaan Pilihan dalam Pengalaman Hidup

Menguji Kelestarian Panggilan dan Kesetiaan Pilihan dalam Pengalaman Hidup


 “Bukan semudah membalikkan telapak tangan untuk setia pada satu pilihan, pilihan yang berlaku seumur hidup, sepenuh usia, sepanjang hayat. Sama seperti orang awam, kaum rohaniawan juga mengalami hal serupa. Jika jejak langkah awam dihadapkan pada jibaku persoalan hidup yang seolah tidak pernah surut, pun demikian halnya dengan mereka yang hidup di balik tembok biara. Masing-masing dengan perannya, masing-masing dengan tantangan hidupnya, masing-masing dengan persoalan yang membelit kesehariannya.” 

Mendung masih bergelayut enggan pupus meski langit sesiang tadi sempat memuntahkan hujan seperti tembikar sarat akan air yang pecah di udara manakala saya memacu kendaraan ke arah jantung kota. Hari itu hari Sabtu, dan saat itu tujuan saya satu, segera berada di sebuah biara yang bersebelahan dengan gereja, Biara Providentia. Kamis sebelumnya saya membuat janji dengan salah satu penghuninya. Melalui piranti komunikasi temu janji disambut suara ringan nan gembira yang siap menyambut kehadiran saya untuk melakukan wawancara. Suara yang terdengar semanis paras pemiliknya adalah suara Suster M. Laetitia, OSCCap. Maka Sabtu, kira-kira dua jam menjelang senja, rinai gerimis mengantarkan langkah saya menjumpainya. 

Kedatangan saya disambut senyumnya yang jernih seperti yang biasa tergambar pada jiwa yang menyerahkan sepenuhnya kesulitan dunia pada penciptanya dan selalu bersyukur pada setiap keriaan sekecil apapun bentuknya. Jabat erat saya dapat disertai kecup dan pelukan hangat. Kami berhadap-hadapan pada sebuah ruangan berukuran 3 x 4, dihalangi meja lengkap dengan minuman dan kudapan. Sepanjang wawancara senyum dalam binar mata ramah bersahaja membingkai di wajahnya. Ia begitu antusias ketika saya mulai menyoal ketertarikannya menanggapi panggilan hidup membiara. Segalanya berawal dari dalam keluarga. Tepat kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Putri kedelapan dari dua belas bersaudara pasangan bapak Paulus Hendrikus Pawe dan ibu Katarina Irmina Meo ini memang berlatar ayah dan ibu yang merupakan mantan calon biarawan dan biarawati. Keinginan kedua orang tuanya di masa muda untuk menapaki hidup membiara terkendala karena jauh sebelum keduanya bersua, ternyata pihak keluarga telah seiya sekata menjodohkan keduanya hingga mereka menyatu dalam biduk rumah tangga. Namun bagai gayung bersambut oleh buah hati mereka, Laetitia muda menjadi penawar dahaga cita-cita yang tertunda. 

Laetitia tumbuh di lingkungan Katolik yang taat. Berlatar kedua orang tua yang paham benar tentang agama, segala ritual pujian bagi yang maha juga rapalan untaian doa merupakan menu wajib dilakukan dalam keluarga dan bukan hal yang sama sekali baru baginya hingga tak lagi mengejutkan ketika ia mulai menapaki kehidupan membiara. Rumah masa kecilnya pun menjadi saksi bisu perjalanan kegembalaan biarawati dan biarawan maupun para frater, calon balatentara Tuhan yang menggelar kegiatan pelayanan keagamaan. Tidak berhenti sampai di situ, keterbiasaan menyaksikan pemandangan yang berkait erat dengan pelayanan, ketika kecil, ia bersama teman acapkali bermain peran menjadi kaum rohaniawan, membagi hosti yang adalah roti dalam sebuah permainan perayaan Ekaristi.   

Sebelum menjalani hidup di biara, Suster Laetitia yang dulunya bernama Yosefina Basildis ini sempat menjalani pendidikan sebagai perawat kesehatan di sebuah SPK nun di gugusan Flobamora (Flores, Sumba, Timor, dan Alor). Seolah tumbuh menjadi mawar gurun yang mekar, kala itu tidak sedikit pemuda yang hatinya sanggup dibuatnya tergetar. Bukan hanya satu atau dua pemuda belaka, namun lebih dari hitungan jumlah jari pada kedua telapak tangan telah tercatat mencoba merebut hatinya dengan segala cara. Dari cara yang halus hingga yang ketus, dari yang terselubung hingga yang nyata-nyata mengajak pemuda lain tarung. Dengan rendah hati, ia menanggapi segalanya dengan tetap merangkul semua menjadi sanak saudara untuk tetap saling menjaga dalam doa. Baginya segala cinta dari lawan jenis yang silih berganti menghampiri tak ayal merupakan perpanjangan tangan Tuhan untuk menyentuh dan menyadarkannya bahwa tiada kasih yang lebih besar dari kasih Juru Selamatnya. “Semua hadir untuk menguji kelestarian panggilan dan kesetiaan pilihan dalam pengalaman hidup, kalau tidak ada tantangan, kita tidak bisa tahu bahwa panggilan ini benar-benar berharga. Panggilanku ini adalah pilihanku dan inilah yang dikehendaki Tuhan,” begitu ia berujar. Mungkin benar, untuk mengetahui kadar ketebalan iman seseorang, terkadang memang diperlukan ujian. Iseng saya bertanya untuk sekadar mengetahui siapa saja yang hadir  menawarkan hati pada suster yang sangat senang bersahabat ini, namun begitu rapat ia merahasiakan semua nama yang masih mencoba mendekatinya meski ia telah hidup dalam lingkup biara. Pernah pada suatu masa, sehari menjelang kaul kekalnya, ia menghadapi godaan yang sungguh luar biasa. Kala itu ada suara lain yang didengarnya yang sempat menggetarkan hatinya. Suara dari seseorang yang hampir saja membuatnya urung mengucap kaul kekal dan berpikir ulang untuk meneruskan panggilan. Ya, suara seorang dari antara kaum adam yang selama ia berada dalam masa pendidikan selalu memberikan perhatian. Pergulatan sungguh menjadi awan hitam yang meliputi batinnya, namun dalam seluruh kekuatan ia menyerahkan sepenuhnya ke tangan Bapa dalam doa. Lelah berdoa ia jatuh tertidur hingga akhirnya pada saat terbangun hal pertama yang dilihatnya adalah salib Kristus. Serta merta dipeluknya tanda penyelamat hidupnya. Seketika hilang rasa ragu, dengan mantap ia menjawab panggilan itu.

Rasanya sungguh padan jika kutipan catatan seorang maestro kesusastraan Indonesia disematkan pada suster yang hobi bernyanyi dan menari ini; “Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya.”* Suster yang pada 31 Maret 2017 mendatang genap berusia 55 tahun ini sungguh lembut namun tegas, begitu halus tetapi kukuh. Pribadinya ibarat menolak tangan berayun kaki, memeluk tubuh mengajar diri. Sungguh, ia disiplin dan hanya sedikit berkompromi untuk hal-hal yang bersifat duniawi. Hedonisme ia tinggalkan, bersetia ia pada panggilan. Hal ini ditunjukkan ketika dengan segala kesempatan untuk berada di tengah-tengah keramaian, hati kecilnya tetap rindu untuk pulang. Biaralah rumahnya, sebagai suster pendoalah panggilan kemanusiaannya. 

Masih berkisar pada pengalaman panggilan yang dialaminya, suster yang ketika belia menjadi primadona remaja ini mengalami suatu kejadian tak terlupakan. Manakala bersama teman-teman seusianya berolah raga, matanya tiba-tiba terpaku pada sosok biarawati yang meski berada di tengah keriuhan tetap setia merapal doa dengan rosario dalam genggamannya. Saat itu tanpa banyak bicara, Laetitia berlari menjauh dari perkumpulan. Masuk kamar ia kembali merenungkan niatnya menanggapi panggilan. Dengan pemandangan sesederhana itu, Tuhan kembali hadir menyentuh inti kalbu. 

Suatu ketika dalam masa pencarian ordo yang benar-benar dirasa pas di hati, ia menemukan jawaban secara tak sengaja. Melalui majalah Hidup yang saat itu memuat profil dan foto Bapa Uskup Mgr Hieronimus Bumbun bersama dua orang suster OSCCap, Laetitia membulatkan tekadnya. Korespondensi dilakukan, harap-harap cemas ia menanti balasan. Tak berapa lama berselang, bagai tak bertepuk sebelah tangan, jawaban memuaskan ia dapatkan. Bapa Uskup menyambut baik keinginannya bahkan menunjukkan cara untuk memuluskan niat sucinya. Suatu kebetulan yang menyenangkan berselang beberapa waktu kemudian dalam urusan pekerjaan  Bapa Uskup mengunjungi provinsi tempat ia berdomisili. Dibantu oleh Bapa Uskup, Laetitia akhirnya sampai ke Biara Providentia yang sangat didambanya. Kesan pertama melihat bangunan biara, ia langsung merasa bahwa inilah tujuan hidupnya, inilah ‘rumah’ baginya.

Sejak awal hidup di biara, ia bersama teman-temannya saling menguatkan dalam doa. Rasa rindu pada orang tua serta sanak keluarga merupakan hal jamak dan tak terhindarkan. Laetitia sempat rapuh ketika di awal masa panggilan ia seolah sengaja diputus kontak oleh kedua orang tua. Seluruh surat yang dikirimnya ke kampung halaman tak jua kunjung ada balasan. Sedih dan merasa dikucilkan, rindu namun semacam terbuang. Ia tak mengetahui alasan di balik sikap kedua orang tua yang tidak pernah membalas surat-suratnya. Sedih tak tertahan, letih hati menahan rindu tidak berkesudahan, ia merasa sendirian, hanya Surat Rasul Paulus kepada umat yang termuat dalam Kitab Suci selalu menjadi hiburan. Pada suatu kesempatan ia menghadap Bapa Uskup Hieronimus Bumbun, mengadukan ihwal yang mengganggu batinnya. Jawaban tak terduga melipurkan laranya. Bapa Uskup menguatkannya hanya dengan kata-kata, “Buat apa bersedih, saya dan yang lain yang hidup dalam panggilan juga sendirian. Tidak sedang bersama orang tua, kita semua sama.” Dengan jawaban sederhana itu Laetitia merasakan kekuatan dan bahwa ia memang tidak sendirian. Hingga tiba pada suatu masa, ia diberi keleluasaan untuk kembali mengunjungi orang tua di kampung halamannya. Saat itu baru ia dapatkan jawaban atas segala yang menjadikannya ragu. Kedua orang tuanya tak ingin masa pendidikannya terusik rindu yang pada akhirnya akan mengganggu.  

Semua yang hidup akan tetap menemukan gairahnya jika ia masih meniupkan asa dalam cita-cita, dalam sebuah keinginan, dan dalam selaksa harapan. Pun demikian halnya dengan Laetitia. Hal yang belum terpenuhi dan menjadi sebuah harapan sepanjang pembaktian hidupnya dalam membiara dituturkannya, “Saya hanya merindukan menjadi seorang pendoa yang sungguh-sungguh menjadi penyalur rahmat bagi banyak orang, bisa menjadi seorang pribadi yang sungguh berguna bagi diri, keluarga, gereja dan dunia. Dan jika saya meninggal saya ingin menjadi kudus, tapi itu rasanya masih jauh dari bisa menjadi kudus,’ ungkapnya yang disusul sipu malu dalam senyumnya yang bersahaja.

4 Oktober 2016, tercatat tepat 25 tahun ia berkarya. Berbagai cobaan dan rintangan silih berganti menghampiri, namun tangan Tuhan kiranya terus bekerja, menjaga ia setia pada panggilan imannya. Selamat berkarya, Suster. Tetaplah menjadi pendoa kami semua. (Hes) 

NB: (*) kutipan tulisan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru: Rumah Kaca.   
Biodata Singkat

Nama: Yosefina Basildis Anu Pawe.
Tempat tanggal lahir: Flores, Bajawa Mataloko, 31 Maret 1962 
Tahun 1977 tamat SD Katolik Toda Belu II.
Tahun 1981 Masuk SMP Kartini Mataloko.
Tahun 1982 pindah ke SMP Immaculata Ruteng Manggarai.
Tahun 1983 masuk ke SPK (Sekolah Pendidikan Kesehatan) di Lela Maumere.
Setelah tamat, bekerja di Rumah Sakit St. Gabriel Kewapante Maumere, sebagai pembantu bidan bersama Sr. Solmaris, S.Sps selama 2 tahun.
Pada tahun 1987 berkenalan dengan biara Providentia melalui majalah Hidup. 
Tanggal 6 Agustus 1988 berangkat ke Singkawang bersama Sr. Emiliana SFIC dan diantar ke biara Providentia oleh Sr. Paulin SFIC.
Tanggal 6 Agustus 1988: masuk sebagai calon (aspiran)
Tanggal 29 September 1988: Masuk Postulan
Tanggal 4 Oktober 1989: Masuk Novis
Tanggal 4 Oktober 1991: mengikrarkan Kaul sementara.
Tahun 1991-1992 tinggal di Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 1993 kembali ke Biara Providentia Singkawang.
Tanggal 4 Oktober 1994: Mengikrarkan kaul kekal meriah.
Tahun 1996 di tugaskan kembali ke Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 1997 kembali ke Singkawang.
Tahun 2003 ditugaskan kembali ke Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 2005 kembali ke Biara Providentia Singkawang sampai saat ini.
Tanggal 4 Oktober 2016, genap 25 tahun hidup kaul membiara.


      


2 Mar 2017

Ekaristi Rabu Abu di Fransiskus Assisi

Ekaristi Rabu Abu di Fransiskus Assisi


Rabu, 1 Maret 2017. Memasuki masa puasa, seperti halnya gereja Katolik lainnya, Gereja St Fransiskus  Assisi Singkawang juga dipadati umat yang hendak mengikuti perayaan Ekaristi Rabu Abu. Misa Rabu Abu di gereja yang beralamat di Jalan P. Diponegoro No 1 tersebut digelar dua kali pada pukul 06.00 Wib dan pukul 18.00 Wib. Misa pagi hari dipersembahkan oleh Romo Gathot, OFMCap, sedangkan pada petangnya dipimpin oleh Pastor Yeri, OFMCap.

Pada misa yang digelar petang hari kurang lebih seribu umat memadati gereja. Dalam homilinya, pastor asal Belanda ini mengajak umat yang hadir untuk memaknai puasa dan pantang sebagai semangat untuk peduli, berbagi, juga lebih kritis terhadap segala hal yang berkait erat dengan keberlangsungan hidup sesama maupun terhadap lingkungan alam sekitar. Saat misa baik pagi maupun petang selain diguratkan oleh pastor yang memimpin misa, penerimaan abu juga dibantu oleh biarawan dan biarawati dari MTB, SFIC, dan OSCCap.

Selamat memasuki masa pantang dan puasa, semoga selama 40 hari ke depan jiwa kita kembali bersih dan layak di hadirat-Nya untuk menyongsong Paskah. (Hes)

26 Feb 2017

PERATURAN PANTANG DAN PUASA PRAPASKAH MENURUT GEREJA KATOLIK

PERATURAN PANTANG DAN PUASA PRAPASKAH MENURUT GEREJA KATOLIK




Semua orang beriman diajak untuk merefleksikan pengalaman hidup dan mengadakan pembaharuan untuk semakin setia sebagai murid Yesus.
Dalam rangka pertobatan dan pembaharuan hidup beriman, Gereja Katolik mengajak kita semua untuk mewujudkannya, terutama dalam masa prapaskah ini dengan memperhatikan beberapa ketentuan berikut ini.

Dalam Masa Prapaskah kita diwajibkan:

Berpantang dan berpuasa pada hari Rabu Abu dan Jum`at Agung. Pada hari Jumat lain-lainnya selama Masa Prapaskah hanya berpantang saja.
Yang diwajibkan berpuasa menurut Hukum Gereja yang baru adalah semua yang sudah dewasa sampai awal tahun ke enam puluh (KHK k. 1252). Yang disebut dewasa adalah orang yang genap berumur 18 tahun (KHK k. 97 § 1).
Puasa artinya: makan kenyang satu kali sehari.
Untuk yang biasa makan tiga kali sehari, dapat memilih
- Kenyang, tak kenyang, tak kenyang, atau
- Tak kenyang, kenyang, tak kenyang, atau
- Tak kenyang, tak kenyang, kenyang
Yang diwajibkan berpantang: semua yang sudah berumur 14 tahun ke atas (KHK k. 1252).
Pantang yang dimaksud di sini: tiap keluarga atau kelompok atau perorangan memilih dan menentukan sendiri, misalnya: pantang daging, pantang garam, pantang jajan, pantang rokok, gula dan semua manisan (permen, minuman manis), serta hiburan (bioskop, film)


Karena begitu ringannya, kewajiban berpuasa dan berpantang, sesuai dengan semangat tobat yang hendak dibangun, umat beriman, baik secara pribadi, keluarga, atau pun kelompok, dianjurkan untuk menetapkan cara berpuasa dan berpantang yang lebih berat. Penetapan yang dilakukan diluar kewajiban dari Gereja, tidak mengikat dengan sangsi dosa.

Ketentuan tobat dengan puasa dan pantang, menurut Kitab Hukum Gereja Katolik:

Kan. 1249 – Semua orang beriman kristiani wajib menurut cara masing-masing melakukan tobat demi hukum ilahi; tetapi agar mereka semua bersatu dalam suatu pelaksanaan tobat bersama, ditentukan hari-hari tobat, dimana umat beriman kristiani secara khusus meluangkan waktu untuk doa, menjalankan karya kesalehan dan amal-kasih, menyangkal diri sendiri dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara lebih setia dan terutama dengan berpuasa dan berpantang, menurut norma kanon-kanon berikut.

Kan. 1250 – Hari dan waktu tobat dalam seluruh Gereja ialah setiap hari Jumat sepanjang tahun, dan juga masa prapaskah.

Kan. 1251 – Pantang makan daging atau makanan lain menurut ketentuan Konferensi para Uskup hendaknya dilakukan setiap hari Jumat sepanjang tahun, kecuali hari Jumat itu kebetulan jatuh pada salah satu hari yang terhitung hari raya; sedangkan pantang dan puasa hendaknya dilakukan pada hari Rabu Abu dan pada hari Jumat Agung, memperingati Sengsara dan Wafat Tuhan Kita Yesus Kristus.

Kan. 1252 – Peraturan pantang mengikat mereka yang telah berumur genap empat belas tahun; sedangkan peraturan puasa mengikat semua yang berusia dewasa sampai awal tahun ke enampuluh; namun para gembala jiwa dan orangtua hendaknya berusaha agar juga mereka, yang karena usianya masih kurang tidak terikat wajib puasa dan pantang, dibina ke arah cita-rasa tobat yang sejati.

Kan. 1253 – Konferensi para Uskup dapat menentukan dengan lebih rinci pelaksanaan puasa dan pantang; dan juga dapat mengganti-kan seluruhnya atau sebagian wajib puasa dan pantang itu dengan bentuk-bentuk tobat lain, terutama dengan karya amal-kasih serta latihan-latihan rohani.

MAKNA PUASA DAN PANTANG

Secara kejiwaan, Berpuasa memurnikan hati orang dan mempermudah pemusatan perhatian pada saat meditasi dan doa.

Puasa juga dapat merupakan korban atau persembahan.

Puasa pantas disebut doa dengan tubuh karena dengan berpuasa orang menata hidup dan tingkah laku rohaninya.

Dengan berpuasa, orang mengungkapkan rasa lapar akan Tuhan dan kehendakNya. Ia mengorbankan kesenangan dan keuntungan sesaat, dengan penuh syukur atas kelimpahan karunia Tuhan. Demikian, orang mengurangi keserakahan dan mewujudkan penyesalan atas dosa-dosanya di masa lampau.

Dengan berpuasa, orang menemukan diri yang sebenarnya untuk membangun pribadi yang selaras. Puasa membebaskan diri dari ketergantungan jasmani dan ketidakseimbangan emosi. Puasa membantu orang untuk mengarahkan diri kepada sesama dan kepada Tuhan.Itulah sebabnya, puasa Katolik selalu terlaksana bersamaan dengan doa dan derma, yang terwujud dalam Aksi Puasa Pembangunan.Semangat yang sama berlaku pula untuk laku PANTANG.

Yang bukan semangat puasa dan pantang Katolik adalah:

Berpuasa dan berpantang sekedar untuk kesehatan: diet, mengurangi makan dan minum atau makanan dan minuman tertentu untuk mencegah atau mengatasi penyakit tertentu.

Berpuasa dan berpantang untuk memperoleh kesaktian baik itu tubuh maupun rohani.


Penerapan puasa dan pantang adalah:
1. Kita berpantang setiap hari Jumat sepanjang tahun (contoh: pantang daging, pantang rokok dll) kecuali jika hari Jumat itu jatuh pada hari raya, seperti dalam oktaf masa Natal dan oktaf masa Paskah. Penetapan pantang setiap Jumat ini adalah karena Gereja menentukan hari Jumat sepanjang tahun (kecuali yang jatuh di hari raya) adalah hari tobat. Namun, jika kita mau melakukan yang lebih, silakan berpantang setiap hari selama Masa Prapaska.
2. Jika kita berpantang, pilihlah makanan/ minuman yang paling kita sukai. Pantang daging adalah contohnya, atau yang lebih sukar mungkin pantang garam. Tapi ini bisa juga berarti pantang minum kopi bagi orang yang suka sekali kopi, dan pantang sambal bagi mereka yang sangat suka sambal, pantang rokok bagi mereka yang merokok, pantang jajan bagi mereka yang suka jajan. Jadi jika kita pada dasarnya tidak suka jajan, jangan memilih pantang jajan, sebab itu tidak ada artinya.
3. Pantang tidak terbatas hanya makanan, namun pantang makanan dapat dianggap sebagai hal yang paling mendasar dan dapat dilakukan oleh semua orang. Namun jika satu dan lain hal tidak dapat dilakukan, terdapat pilihan lain, seperti pantang kebiasaan yang paling mengikat, seperti pantang nonton TV, pantang ’shopping’, pantang ke bioskop, pantang ‘gossip’, pantang main ‘game’ dll. Jika memungkinkan tentu kita dapat melakukan gabungan antara pantang makanan/ minuman dan pantang kebiasaan ini.
4. Puasa minimal dalam setahun adalah Hari Rabu Abu dan Jumat Agung, namun bagi yang dapat melakukan lebih, silakan juga berpuasa dalam ketujuh hari Jumat dalam masa Prapaska (atau bahkan setiap hari dalam masa Prapaska).
5. Waktu berpuasa, kita makan kenyang satu kali, dapat dipilih sendiri pagi, siang atau malam. Harap dibedakan makan kenyang dengan makan sekenyang-kenyangnya. Karena maksud berpantang juga adalah untuk melatih pengendalian diri, maka jika kita berbuka puasa/ pada saat makan kenyang, kita juga tetap makan seperti biasa, tidak berlebihan. Juga makan kenyang satu kali sehari bukan berarti kita boleh makan snack/ cemilan berkali-kali sehari. Ingatlah tolok ukurnya adalah pengendalian diri dan keinginan untuk turut merasakan sedikit penderitaan Yesus, dan mempersatukan pengorbanan kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib demi keselamatan dunia.
6. Maka pada saat kita berpuasa, kita dapat mendoakan untuk pertobatan seseorang, atau mohon pengampunan atas dosa kita. Doa-doa seperti inilah yang sebaiknya mendahului puasa, kita ucapkan di tengah-tengah kita berpuasa, terutama saat kita merasa haus/ lapar, dan doa ini pula yang menutup puasa kita/ sesaat sebelum kita makan. Di sela-sela kesibukan sehari-hari kita dapat mengucapkan doa sederhana, “Ampunilah aku, ya Tuhan. Aku mengasihi-Mu, Tuhan Yesus. Mohon selamatkanlah …..” (sebutkan nama orang yang kita kasihi)
7. Karena yang ditetapkan di sini adalah syarat minimal, maka kita sendiri boleh menambahkannya sesuai dengan kekuatan kita. Jadi boleh saja kita berpuasa dari pagi sampai siang, atau sampai sore, atau bagi yang memang dapat melakukannya, sampai satu hari penuh. Juga tidak menjadi masalah, puasa sama sekali tidak makan dan minum atau minum sedikit air. Diperlukan kebijaksanaan sendiri (prudence) untuk memutuskan hal ini, yaitu seberapa banyak kita mau menyatakan kasih kita kepada Yesus dengan berpuasa, dan seberapa jauh itu memungkinkan dengan kondisi tubuh kita. Walaupun tentu, jika kita terlalu banyak ‘excuse’ ya berarti kita perlu mempertanyakan kembali, sejauh mana kita mengasihi Yesus dan mau sedikit berkorban demi mendoakan keselamatan dunia.


Sumber: www.imankatolik.or.id dan www.katolisitas.org




8 Feb 2017

MISA 7 HARI BERPULANGNYA KAKEK PASTOR

MISA 7 HARI BERPULANGNYA KAKEK PASTOR


Selasa, 7 Februari 2017. Tepat pukul 18.00 Wib, gereja Katolik Fransiskus Assisi Singkawang menggelar Misa Ekaristi 7 hari berpulangnya Pastor Mattheus Sanding, OFMCap., atau yang kerap disapa kakek pastor. Ekaristi dimulai dengan pemutaran slide foto-foto kakek pastor sedari muda hingga menjelang tutup usia.

Salah satu alasan Gereja Santo Fransiskus Assisi Singkawang menggelar misa 7 hari berpulangnya mendiang adalah karena pria kelahiran Nyandang, 81 tahun silam ini pernah bertugas di Paroki Singkawang selama tiga tahun di awal kiprah kegembalaannya yakni sejak tahun 1966-1969. Ekaristi dipimpin oleh Romo Stephanus Gathot selaku selebran utama dan bertindak sebagai konselebran adalah lima pastor Kapusin lain yakni Pastor Yeri, Pastor Cahyo, Pastor Felix, Romo Agus, dan Pastor Herry. Sebagai pengganti homili, Pastor Yeri didapuk untuk mengisahkan perjalanan hidup dan pengalamannya selama 30 tahun menggembala umat bersama Pastor Mattheus Sanding. Selama 30 tahun kedua pastor ini berkarya di Menjalin sejak tahun 1979 hingga 2009. Selama misa berlangsung gereja yang beralamat di jalan P. Diponegoro tersebut dipadati umat yang tak hanya berasal dari wilayah Singkawang namun ada pula frater-frater dari Novisiat Padre Pio, Poteng dan umat dari Sambas.

Sejak slide berisi foto-foto diputar, dilanjutkan share pengalaman Pastor Yeri 30 tahun hidup bersama Pastor Sanding disampaikan, hingga pada akhir misa video semasa hidup kakek pastor ditayangkan, tak hanya haru yang menghampiri hati, namun umat juga banyak yang tak mampu menahan tawa menyaksikan dan mendengar polah almarhum yang memang berkarakter jenaka dan senang menghibur juga memberkati siapapun yang berada di dekatnya. Begitu cintanya umat pada sosok beliau, hingga setengah jam sesudah misa digelar dan dilanjutkan pemutaran video semasa hidupnya, umat masih betah bergeming di bangku-bangku gereja.

Selamat jalan, Kakek. Tenang beristirahat di rumah Bapa, tetaplah jenaka di surga. (Hes)


13 Jan 2017

BIARAWATI KATOLIK

BIARAWATI KATOLIK


Menjadi seorang Biarawati Katolik atau di Indonesia dikenal dengan sebutan SUSTER (Belanda: Zuster, saudara perempuan. Inggris: Sister, saudari) adalah sebuah panggilan ilahi. Tak seorangpun tahu secara pasti sejak awal bahwa ia benar-benar dipanggil Tuhan. Itu sebabnya proses persiapan dan pembinaan memakan waktu yang tidak singkat. Ada tahap-tahap pembinaan dan evaluasi berkelanjutan yang harus dilalui hingga secara definitif diakui sebagai seorang Biarawati Katolik atau Suster.
Sebelum membahas tahap-tahap menjadi seorang Biarawati Katolik, terlebih dahulu saya menjelaskan secara ringkas mengenai Biarawati Katolik.
Biarawati dalam agama Katolik adalah perempuan yang tergabung dalam suatu tarekat atau ordo religius dan yang mengucapkan Tiga Kaul (janji): Kemiskinan, kemurnian dan ketaatan. Setiap tarekat atau ordo memiliki konstitusi atau regula (semacam UUD). Segala sesuatu mengenai hidup sebagai Biarawati sudah diatur dalam konstitusi atau regula tersebut. Para suster biasanya berkarya di bidang pendidikan (formal dan nonformal), kesehatan, dan pelayanan sosial di lingkungan gereja atau masyarakat umum. Ada juga beberapa tarekat religius biarawati yang khusus berkarya dalam pelayanan religius melalui doa (dalam gereja Katolik dikenal dengan istilah suster kontemplatif).
Nah, untuk menjadi biarawati Katolik, ada beberapa tahap pembinaan (formation) yang harus dilalui. Mengenai lamanya tahap-tahap pembinaan biasanya sudah diatur dalam konstitusi atau regula masing-masing tarekat atau Ordo. Tetapi secara umum kurang lebih seperti berikut.

1. MASA ASPIRAN

Masa aspiran adalah tahap pertama. Seorang perempuan (sehat jasmani dan rohani) yang mau menjadi Biarawati biasanya sudah lulus SMA atau kuliah. Para calon yang masuk dalam tahap ini disebut ASPIRAN (Orang yang ingin). Para Aspiran belum terikat dengan tarekat atau ordo. Masa Aspiran merupakan masa dimana para aspiran masuk dalam tahap paling dini dan mulai diperkenalkan dengan kehidupan membiara; mengenai ritme dan acara harian dalam Hidup membiara, diajak untuk mengenal diri atau kepribadian, belajar doa Harian (Brevir), belajar “Kerja Tangan” dan keterampilan lain, juga menjadi kesempatan bagi para Pembina (formator) untuk melihat keseriusan para Aspiran. Masa ini berkisar satu sampai dua tahun (tergantung aturan atau regula tarekat atau ordo). Di beberapa tarekat, masa ini dikenal dengan istilah ‘Come and see’.

2. MASA POSTULAT

Masa postulat adalah tahap ke dua. Para calon dipanggil dengan sebutan POSTULAN (orang yang melamar, calon). Masa ini memakan waktu satu sampai dua tahun. Masa Postulat merupakan masa peralihan dan perkenalan bagi calon agar dapat berorientasi dan mengenal kehidupan membiara. Masa Postulat dimaksudkan agar calon semakin mengenal diri dan mengolah kepribadiannya, belajar Kitab Suci dasar dan pengetahuan agama Katolik, moral, etika dan teologi dasar sederhana serta mengikuti irama doa pribadi, doa bersama, sejarah Gereja, Lembaga Hidup Bakhti dan menghayati hidup sacramental Gereja.

3. MASA NOVISIAT

Masa novisiat adalah tahap ke tiga. Para calon dipanggil dengan sebutan NOVIS (orang baru). Masa ini ditandai dengan penerimaan jubah dan ‘krudung’ biara. Masa novisiat berlangsung kurang lebih dua tahun. Pada tahap ini, seorang Novis dibimbing untuk mengolah hidup rohani, memurnikan motivasi panggilan, mengenal secara mendalam tarekat atau ordo dan Konstitusinya, mengenal khasana iman Gereja, kaul-kaul Religius dan juga praktek-praktek terpuji sebagai seorang religius dalam Gereja.

4. MASA YUNIORAT

MASA YUNIORAT adalah tahap ke 4. Pada tahap ini, seorang yang telah melewati masa novisiat dipanggil dengan sebutan SUSTER. Masa Yuniorat ditandai dengan pengikraran “Kaul sementara”: Kemiskinan, Kemurnian dan Ketaatan. Masa Yuniorat berlangsung selama 6-9 tahun (tergantung aturan konstitusi atau regula). Biasanya para SUSTER mulai kuliah ilmu-ilmu khusus secara mendalam atau mengambil khursus atau mulai berkarya dan sudah menghidupi nilai-nilai dari Kaul-kaul yang sudah diucapkan secara public.

5. KAUL KEKAL

KAUL KEKAL adalah tahap ke lima dan ongoing formation. Pada tahap ini, seorang suster secara resmi menjadi anggota tarekat atau ordo, yaitu dengan mengucapkan KAUL KEKAL PUBLIK (Kemiskinan, kemurnian dan ketaatan) dan hidup secara utuh sebagai suster. Karya dan pelayanan senantiasa dilandasi oleh Kaul Kekal yang sudah diikrarkan sebagai mempelai Kristus. Selain itu, para suster juga mengikuti ongoing formation (Pembinaan lanjutan) hingga akhir hayat.
Dengan demikian, menjadi seorang Kiarawati Katolik seorang harus melewati tahap demi tahap. Melalui tahap-tahap tersebut, seorang selain mengolah diri, ia dibantu untuk menemukan panggilannya apakah menjadi Suster secara definitif atau tidak. Semua tahap ini dimaksudkan agar seorang secara yakin menyadari bahwa Panggilan itu memang berasal dari Tuhan.
Harus diakui, dalam melewati tahap-tahap, seseorang bisa saja memutuskan untuk keluar. Orang katolik lalu mengenal istilah mantan aspiran, mantan postulan, mantan novis, mantan suster/biarawati. (Sama seperti seorang frater yang keluar disebut mantan frater, bukan mantan pastor, karena dia belum sampai pada tahap menjadi pastor). Jadi kalau ada mantan aspiran atau mantan postulan mengaku sebagai mantan suster atau biarawati, maka sebenarnya ia adalah biarawati palsu.

Sumber: Rm. Joseph Pati Mudaj, MSF