Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri gereja kristus. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri gereja kristus. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

25 Okt 2015

KUTEMUKAN DIA DI DALAM KEHENINGAN HIDUP


KUTEMUKAN DIA DI DALAM KEHENINGAN HIDUP


“Aku bersyukur kepada-Mu, ya Tuhan, 
Karena Engkau telah menciptakan aku
dan anugerah panggilan yang aku terima dari-Mu”

Doa St. Klara di atas, menjadi spirit sang wanita sejati dari Ambawang Pontianak untuk mencari Tuhan dalam keheningan. Percikan permenungan singkat di awal hidupnya membuat Sr. Maria Serafin Daros, OSCCap bersyukur tak terhingga karena sudah mencapai target apa yang menjadi cita-cita dalam panggilan hidupnya dengan cara hidup sebagai suster slot seumur hidup.

Sabtu, 12 September 2015 pukul 10.00 Wib, Gereja St. Fransiskus Assisi menjadi sejarah bisu yang menyaksikan wanita berjubah coklat tergopoh-gopoh menuju ke depan altar saat mengucapkan kembali janji setia hidup panggilan membiaranya  atau kaul hidup membiaranya ke 60. Wanita pertama dari Indonesia yang bergabung di Biara Slot atau Klaris ini menjadi torehan sejarah bagi anggotanya dari Indonesia untuk mengikuti jejak langkahnya dalam hidup  membiara gaya kontemplatif. 

Perayaan syukur Ekaristi yang berlangsung saat itu  merupakan persembahan dari ordonya atas  kesetiaan  Sr. Serafin dalam mengikuti Yesus dengan tampil beda. “Sebagai  seorang suster Klaris, sejak muda hingga saat ini beliau sangat taat pada aturan hidup membiara, penuh semangat berkurban dan mati raga,” ungkap salah satu suster Klaris dalam memberi kesaksian  tentang suster sepuh ini. Menurut anggotanya di usia ke 82 ia tetap menjalani doa  6 waktu dan yang tak pernah absen adalah doa pukul 23.45 (tengah malam) yang memberi warna tersendiri dalam menemukan Yesus di tengah keheningan  malam hari seingga  melahirkan jiwa yang bening dan teduh.

Kesaksian dari beberapa anggota biaranya disimpulkan oleh pastor Heribertus Hermes, PR dalam wawanhati dengan pestawati sebagai ganti khotbahnya saat itu. Menurut Pastor Hermes yang  sekaligus keponakannya, bahwa tidak semua orang bertahan dan setia berdoa di tengah malam, pagi, subuh, sore hingga siang dan malam, hanya mereka yang mempunyai ruang gerak khusus oleh roh yang berkarya dalam dirinya. Menurut pastor Paroki Bengkayang ini bahwa di tengah hiruk pikuknya dunia ini, banyak godaan untuk tidak berdoa oleh karena kesibukan masing-masing yang menjadi utama dalam hidup kita.“Gaya hidup Suster Serafin sangat lurus dan lugu. Meski kadang terkesan kaku, dan keras, semangat doa tidak pernah surut. Terimakasih Sr. Serafin teladan berharga ini ingin kami ikuti,” ujar suster abdis (pemimpin) biaranya dengan lantang. “Selamat melanjutkan peziarahan panggilan ini sampai akhir hayat untuk menyongsong kebahagian kekal dalam Kristus,” tambah Suster Rosa, OSCCap dengan nada gembira.

Di akhir liputan sederhana ini penulis sedikit merekam biodata profilnya.  



Nama sebelum masuk biara: Antonia Tony.
TTL, Ambawang, 1 November 1932.
Putri ke 2 dari 8 bersaudara dari pasutri Bapak Paulus Daros dan Ibu Rufina.
Asal paroki Ambawang Pontianak.
Masuk Biara Klaris Kapusines  8-9-1951 langsung diterima sebagai postulan.
Menjadi Novis 8-9-1952.
Kaul sementara 12 -9-1955 dan kaul kekal (seumur hidup) 12-9-1956.
Beliau pernah menjadi abdis (pemimpin biara) tahun 1989-1994. Dialah wanita pertama pribumi Indonesia masuk di biara Klaris yang telah dikenal oleh umat di Singkawang  dan Kalbar umumnya sebagai biara slot (terkunci).

Ekaristi yang berlangsung dua jam saat itu tampak hadir tamu undang dan keluarga dekat pestawati. Usai Ekaristi dilanjukan ramah tamah penuh persaudaraan di Biara Zlot. Proficiat Suster Serafin, OSCCap. Semoga semangat hidupmu membawa secercah harapan bagi gereja dewasa ini. (Bruf)

27 Okt 2015

SATU MALAM BERSAMA OMK

SATU MALAM BERSAMA OMK


Sabtu, 19 September 2015 pukul 19.00 WIB, 50 Orang Muda Katolik (OMK) berkumpul di depan Gereja St. Fransiskus Assisi Singkawang dalam  suasana gembira khas orang muda. Malam Minggu bagi kebanyakan orang muda adalah malam spesial untuknya, mereka biasa menghabiskan waktunya untuk nongkrong bersama teman-temannya di kafetaria, warung kopi, mall, berpacaran dan  mungkin ke bioskop serta tempat-tempat lain yang dipercaya menjadi barometer eksistensi kaula muda, namun sekelompok anak muda ini memilih kegiatan yg unik dan elegan. Malam itu OMK Paroki St. Fransiskus Assisi Singkawang menggelar gladi rohani persiapan BKSN 2015.

Canda ria terdengar begitu dominan saat mereka menjalani sesi ice breaking. Momen ini sangat penting untuk menciptakan semangat egaliter di antara mereka melalui permainan atau games yang ternyata sangat berkenan di hati orang muda. Dalam waktu singkat mereka terlihat kompak dan bisa bergurau satu sama lain oleh karena keterikatan batin rohani mereka yaitu satu visi dan misi mengembangkan pewartaan Yesus Kristus.

Malam itu mereka dipersiapkan secara mental, pengetahuan, spiritual dalam rangka mengikuti kegiatan Bulan Kitab Suci Nasional  (BKSN) yang akan diselenggarakan di Paroki Sanggau Ledo  dari tanggal 23 sampai 27 September 2015. Maka sebelum mereka tampil  diawali temu akrab dengan materi  motivasi dalam berorganisasi, menciptakan kekompakan dalam satu team work, tujuanya adalah agar pada saat mengikuti kegiatan di Sanggau Ledo, mereka memiliki kesadaran bahwa mereka bukan lagi membawa nama diri, stasi atau lingkungan namun OMK Paroki. Inilah alasan mendasar dari makrab OMK saat itu.

Malam minggu yang sarat dengan berbagai games  dan motivasi  dalam berorganisasi dipandu langsung  oleh  para pendamping OMK di antaranya Br. Greg, MTB, Om Willy dan Frater Hendri, OFMCap. Materi yang mereka siapkan dalam kegiatan BKSN 2015 meliputi lomba lektor, mazmur dan outbond juga seminar yang telah dipersiapkan untuk digelar oleh panitia Paroki Sanggau Ledo.

Semoga OMK St. Fransisikus Assisi Singkawang tetap semangat dalam melaksanakan kegiatan tersebut, sebab mereka adalah delegatus dari lintas stasi yang ada di wilayah Paroki Singkawang. Mereka terpilih karena ada kemauan dan tekad serta kemampuan untuk belajar saling melayani tulus dalam kegiatan OMK. Bravo OMK St. Fransiskus Assisi.  Kini  saatnya pintu gereja ada di pundakmu. Kamulah garam dan terang dunia.  Kamu menginjili orang muda lain yang belum bergabung bersama Yesus melalui kegiatan OMK. Tak heran jika kata-kata ‘Wow’ yang muncul pada saat makrab OMK St. Fransiskus  Assisi Singkawang itu berlangsung, sangat elegan dan menjadi sensasi tersendiri di bulan September 2015. (Bruf)

19 Mar 2016

PELANGI NATAL DI STASI-STASI

PELANGI NATAL DI STASI-STASI


Google Images.Jpg

“Misa Natal di stasi tadi pagi sangat meriah. Hampir semua umat yang hadir di kapel ikut bernyanyi. Meskipun lagunya salah, tapi gak papa karena umat terlibat aktif dalam perayaan Misa”. Begitulah kesan seorang teman pastor di meja makan menanggapi perayaan natal di salah satu stasi. Sambil menganggukkan kepala, saya mengamin-i apa yang dikatakan pastor tersebut. Kesan yang kurang lebih sama juga saya alami dan juga dialami oleh teman-teman yang melayani perayaan natal di stasi-stasi. Intinya perayaan Natal tahun 2015 ini sangat meriah dan berwarna-warni. 

Dari Pohon Natal Daur Ulang sampai pada Pesta Rakyat

Pernak-pernik Natal tahun 2015 ini sungguh menghiasi pesta Natal di beberapa stasi di wilayah Paroki Singkawang. Berbagai kreasi unik dan menarik memberikan warna tersendiri dalam memeriahkan pesta kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Harus diakui dibandingkan tahun lalu, perayaan Natal tahun ini lebih berwarna-warni.

Sekedar menyebut Stasi Medang misalnya. Mereka menampilkan kreasinya yang unik dengan membuat Pohon Natal berbahan dasar daur ulang. Seolah mau mengampanyekan pesan go green, mereka memanfaatkan bekas gelas dari minuman air mineral. “Kami telah mengumpulkan gelas-gelas ini sejak tahun lalu”, ungkap penggagasnya dengan bangga. Ratusan gelas plastik yang hampir tak ada nilainya itu disulap sedemikian rupa dan dijelmakan dalam sebuah pohon natal yang menjulang tinggi hampir 4 meter. Pohon natal yang berbahan murah itu dipajang di halaman kapel Stasi Medang lengkap dengan lampu kelap-kelipnya. Di malam hari cahaya lampu yang memancar dari pohon natal itu membuat suasana terasa syahdu. Siapa sangka pohon natal itu berasal dari bahan daur ulang gelas plastik.

Lain Stasi Medang lain lagi Stasi Sarangan. Masih soal pohon Natal yang tidak kalah menariknya. Para OMK yang didaulat menjadi panitia Natal memanfaatkan daun pohon resam (dalam bahasa daerah mereka menyebutnya sebagai daun taboyo) untuk membuat pohon natal. Dalam keseharian daun resam ini hampir tidak pernah diketahui apa kegunaannya. Namun di tangan orang muda yang kreatif, daun resam ini ditata sedemikian rupa hingga menyerupai pohon natal dan dihias dengan lampu natal. Pohon natal kreasi OMK Sarangan tak kalah indahnya dengan pohon natal yang dijual di toko-toko. Bahannya sangat murah. Tetapi tetap meriah.

Selain pohon natal, tak kalah serunya adalah pesta rakyat yang digelar selesai misa Natal. Rupanya acara ini sudah mentradisi dan harus dirayakan untuk beberapa stasi. “Rasanya belum merayakan Natal kalau tidak ada pesta rakyat”. Begitu komentar seorang umat. Pesta rakyat yang dimaksud adalah berbagai jenis lomba, mirip seperti pada perayaan 17 Agustus. Stasi Setanduk menjadi salah satu stasi yang selalu rutin mengadakan perlombaan ini untuk kaum ibu, bapak, orang muda dan anak-anak. Lama sebelum Natal telah dibentuk panitia untuk menganimasi kegiatan ini. Dengan dana apa adanya, hasil pengumpulan dari umat, pesta rakyat pun digelar seusai Misa Natal. Teras gereja disulap menjadi panggung utama dan dari sanalah pesta rakyat dimulai dengan menampilkan pertunjukan dari anak-anak. Selesai panggung hiburan, pesta rakyat pun dimulai. Umat yang hadir tumpah ruah di halaman gereja mengikuti perlombaan yang digelar. 

Umat Stasi Parit Baru merayakan pesta Natal dengan cara mereka sendiri. Mereka lebih memberi perhatian pada Anak-Anak Sekolah Minggu. Begitu misa Natal selesai dirayakan, panitia langsung mengubah bagian depan altar sebagai tempat pertunjukan. Ada tarian, ada nyanyian dan juga fashion show. Semua mata acara diisi oleh anak-anak yang benar-benar menikmati pesta natal. Ibarat peragawati yang berjalan di atas catwalk, begitulah anak-anak berlenggak-lenggok, memamerkan gerak dan busana yang dipakainya.

Lomba Paduan Suara Lagu Natal

Ide untuk merayakan natal bersama dengan umat stasi-stasi dicetuskan pada pesta natal tahun 2014 yang lalu. Adalah panitia Natal Paroki yang mengemas acara supaya ada suasana kekeluargaan di antara umat di kota dan stasi. Maka mulai digagas perlombaan koor sebagai sarananya. Karena jumlah stasi cukup banyak dan terpencar-pencar, maka diadakan dua kali perlombaan koor untuk stasi yang ada di wilayah Kotamadya Singkawang dan stasi yang ada di wilayah Kabupaten Bengkayang.

Di luar dugaan tanggapan umat stasi sangat antusias. Tahun ini menjadi gelaran kedua dengan berbagai penyempurnaan. Meskipun belum semua stasi bisa berperan serta, tetapi tetap ada wakil dari stasi yang hadir sebagai umat dan ikut memeriahkan. “Tahun depan kami pasti ikut sebagai peserta lomba koor. Mohon kepada panitia di paroki supaya mempersiapkan jauh-jauh hari supaya kami bisa mempersiapkan diri,” harap salah seorang umat stasi yang belum bisa ikut lomba.

Kehadiran peserta koor dengan seragam batik menambah semaraknya suasana natal di dua stasi sebagai tempat pangkalan; stasi Roban untuk wilayah stasi Kotamadya Singkawang dan Stasi Capkala untuk wilayah stasi Kabupaten Bengkayang. Suasana kekeluargaan sungguh terasa manakala umat yang hadir betul-betul menyatu. Tidak ada sekat antara satu dengan yang lainnya. Paduan suara rupanya menjadi alat pemersatu di antara umat stasi.

Pelangi di langit nampak indah karena berwarna-warni. Begitu juga pesta Natal 2015 di Stasi-Stasi terasa indah dan semarak karena diisi dengan berbagai acara yang unik dan menarik. Perayaan itu terasa makin indah karena dijiwai oleh kesederhanaan. Tak ada kesan pesta pora di dalamnya. Bukankah Tuhan Yesus juga lahir dalam kesederhanaan? Tetap indah, walaupun tidak mewah. (Gathot)

3 Mar 2017

Pengalaman Natalku di Stasi Aris

Pengalaman Natalku di  Stasi Aris


Hujan lebat yang mengguyur tepat di hari natal membuat nyaliku menjadi ciut. Spontan pikiranku segera melayang ke peristiwa dua bulan sebelumnya. Waktu itu turne-ku ke Stasi Aris terpaksa harus dibatalkan gara-gara hujan yang juga sangat lebat. Aris adalah nama stasi yang paling jauh dari pusat Paroki Singkawang. Selain jauh stasi ini juga mempunyai “nilai plus” karena medan jalannya yang sangat menantang. Penimbunan jalan ke Aris dengan tanah kuning belum rampung dikerjakan. Bisa dibayangkan usai diguyur hujan, medan jalan akan berubah bak arena balapan sepeda motor: penuh lumpur, licin, dan  pasti tidak bisa dilalui oleh sepeda motor biasa. Itulah yang membuatku merasa gundah.

Pagi itu, di hari natal kedua kegundahanku makin menjadi-jadi. Sang matahari yang kuharapkan bersinar cerah ternyata malah malu-malu menampakkan dirinya. Dia justru bersembunyi di balik peraduannya. Sebaliknya mendung hitam menggelanyut di langit. Aku sudah siap dengan ransel turne-ku yang selama ini selalu setia menemaniku. Namun ada rasa enggan untuk segera beranjak. Tidak seperti biasanya, kali ini terselip rasa cemas. Doa dengan nada kecewa kusampaikan kepada-Nya, “Tuhan, cobalah tadi malam tidak hujan. Kan hari ini aku harus ke Aris. Bisa-bisa aku batal lagi merayakan hari kelahiran-Mu”. Sepenggal doa itulah yang kupanjatkan sebelum akhirnya kupacu juga sepeda motorku menuju Aris.

Apa yang kubayangkan sebelumnya kini hampir menjadi kenyataan. Di hadapanku terbentang begitu panjang hamparan lumpur tanah kuning. Di beberapa tempat malah tanah itu masih dibiarkan teronggok dan belum diratakan sehingga menghalangi jalan. Aku pun langsung lemas.  Di hampir semua ruas jalan kulihat kubangan-kubangan air yang berwarna coklat. Kuperhatikan baik-baik siapa tahu ada bekas ban sepeda motor. Tetapi tak kutemukan. Berarti tidak ada sepeda motor yang melintas di jalan itu. Nyaliku semakin ciut. Kupaksakan melintasi genangan pertama. Astaga, rupanya kedalaman mencapai 20 centimeter. Kedua ban sepeda motorku terbenam dan tidak bergerak sama sekali. Terpaksa aku turun untuk mengangkat sepeda motorku keluar dari lumpur. Kucari jalan alternatif  yang lain. Tetapi nasibnya tak lebih baik. Sepeda motorku pun kembali amblas. Kali ini malah lebih dalam lagi. Akhirnya aku menyerah. Muncul keraguan dalam hatiku: apakah mau lanjut atau putar haluan, alias pulang. Kalau lanjut aku harus berjalan kaki. Perlu waktu lumayan lama. Belum lagi sepeda motor harus kutinggalkan di tengah jalan yang masih agak hutan. Bukan tidak mungkin, nanti bisa hilang. Tetapi kalau aku pulang, umat di Aris pasti kecewa karena mereka sudah menunggu kedatanganku. Apalagi sempat kujanjikan untuk menerimakan sakramen permandian di hari natal kedua. Perang batin yang cukup menyita perhatianku sampai akhirnya kuputuskan untuk tetap lanjut ke Aris.

Di sepanjang jalan aku harus melompat ke sana kemari untuk menghindari beberapa genangan air. Tak seorang manusia pun kujumpai pada turne-ku kali ini. Mungkin mereka sedang merayakan natal. Atau barangkali memang tahu bahwa jalan ini tak bisa dilalui. Peluh yang meleleh di wajahku tak kuhiraukan lagi. Tujuanku cuma satu: segera sampai ke Aris untuk merayakan natal bersama umat. Setelah itu segera pulang dan menemukan sepeda motorku masih dalam keadaan utuh. Maklumlah sepeda motor itu milik keuskupan yang boleh aku pakai.

Setelah 30 menit berjalan melintasi area berlumpur, akhirnya aku tiba di jalan yang sudah selesai dikerjakan. Perjalanan terasa lebih nyaman karena tidak perlu menghindari lumpur. Entah darimana asalnya, tiba-tiba saja kudengar bunyi sepeda motor dari arah belakangku. Aku segera menepi dan memberi jalan kepadanya.  Tetapi sepeda motor itu malah berhenti tepat di sampingku. 

“Ayo, Pastor, biar aku antar saja”, kata sang pengendara sepeda motor kepadaku.

“Wah terima kasih banyak,” jawabku. Tanpa menunggu tawaran dua kali, aku pun segera naik di belakangnya.

“Inilah, Pastor, kondisi jalan di daerah kami. Katanya sudah merdeka sekian puluh tahun, tetapi jalan masih rusak. Parahnya lagi istrik pun belum masuk ke kampung kami. Pokoknya susahlah hidup di daerah seperti ini, Pastor”. Begitulah “tukang ojekku” menumpahkan keluh kesahnya. Aku sendiri hanya mengamininya sambil menata nafasku yang terengah-engah. Maklumlah aku sudah jarang lagi berjalan kaki sejauh itu.

“Pak, aku turun di sini saja ya. Aris kan gak jauh lagi,” kataku kepadanya begitu kami tiba di sebuah tanjakan yang cukup tinggi.

“Jangan Pastor. Saya bisa antar sampai ke Aris bah”, katanya sambil membujukku.

“Gak usah, Pak. Terimakasih banyak. Sampai di sini saja,” jawabku sambil turun dari sepeda motornya. Dengan agak berat hati bapak itu pun akhrinya membolehkan aku turun dan melanjutkan perjalananku ke Aris. Sejatinya bukan karena sudah dekat, tetapi karena tanjakan itu menyisakan pengalaman traumatis buatku. Sudah 3 kali aku terjungkal dari sepeda motor gara-gara tanjakan ini. Padahal ada pepatah, keledai saja tidak mungkin jatuh dalam lobang yang sama. Makanya aku tidak mau mengulangi pengalaman “pahit” itu untuk keempat kalinya.

Setelah beberapa menit menempuh perjalanan akhirnya menara kapel Aris pun mulai kelihatan. Ada pemandangan yang agak berbeda dari turne-turne-ku sebelumnya.  Aku lihat beberapa anak berdiri terpaku di halaman gereja. Sepertinya mereka sedang menantikan kedatanganku. Begitu melihatku, ada yang langsung berteriak, “Pastor udah atangk!” Mendengar teriakan itu tak ayal lagi anak-anak yang ada di dalam kapel pun segera menghambur keluar. Tergambar sukacita pada wajah-wajah mereka.

“Untunglah Pastor bisa datang. Kami sudah cemas menunggu dari tadi. Takut pastor gak datang lagi bah,” kata pengurus umat Stasi Aris sambil mempersilakan aku singgah dulu ke rumahnya. Mendengar itu aku hanya bisa tersenyum malu. 

Perayaan ekaristi di Aris ditunda beberapa menit karena keterlambatanku. Tetapi umat bisa memahaminya. Perayaan Ekaristi kali ini terasa sangat istimewa. Umat merancangnya habis-habisan. Karena memakai tari-tarian yang harus diiringi dengan musik, mereka berusaha menyambung listrik kepada umat yang memiliki genset.  Anak-anak yang didapuk untuk menari sudah berhias sejak pagi hari. Belum lagi dengan calon baptisan baru. Mereka sudah siap menyambut anugerah yang sangat istimewa: Sakramen Baptis dan Tubuh Kristus yang untuk pertama kalinya akan mereka sambut. Kesiapan mereka paling tidak terlihat dari pakaian putih yang dikenakannya. Pengurus Stasi Aris sendiri pun sudah merancang pesta nasi bungkus sebagai kelanjutan dari pesta natal. Sengaja mereka menunggu jadwal perayaan ekaristi di stasi demi terselenggaranya makan bersama seluruh umat bersama sang gembalanya. Begitulah mereka mencoba memaknai pesta natal dengan berbagi nasi bungkus. Menunya sangat sederhana, tetapi tersimpan makna istimewa di dalamnya. Ada rasa haru menyelinap di hatiku. Bersyukur aku bisa tiba di Aris untuk merayakan ekaristi bersama mereka. Andaikata aku egois, hanya mementingkan diri sendiri dan memutar haluan untuk pulang ke rumah hanya karena jalan becek dan berlumpur, ceritanya pasti lain. Betapa kecewanya umat di Stasi Aris karena para penari tidak bisa mempersembahkan tarian mereka untuk kanak-kanak Yesus, para baptisan baru terpaksa belum bisa menerima karunia baptisan dan Tubuh Kristus. Belum lagi pesta nasi bungkus akan terasa hambar karena tidak didahului oleh ekaristi yang merupakan pesta sesungguhnya. Terimakasih Tuhan, atas peristiwa yang terjadi di hari kelahiran-Mu. Medan yang cukup sulit untuk dijangkau, telah menghadirkan pesan natal yang sungguh bermakna untukku. (Gathot)
































































3 Okt 2017

KATAKESE BULAN OKTOBER: BULAN ROSARIO

KATAKESE BULAN OKTOBER: BULAN ROSARIO


"Berdoalah Rosario setiap hari... Berdoa, berdoalah sesering mungkin dan persembahkanlah silih bagi para pendosa... Akulah Ratu Rosario... Pada akhirnya Hatiku yang Tak Bernoda akan menang."
-Pesan Bunda Maria dalam penampakan kepada anak-anak di Fatima-

“Sebagai doa damai, rosario selalu dan akan selalu menjadi doa keluarga dan doa untuk keluarga. Ada saatnya dulu, bahwa doa ini menjadi doa kesayangan keluarga, dan doa ini yang membawa setiap anggota keluarga menjadi dekat satu sama lain…. Kita perlu kembali kepada kebiasaan doa keluarga bersama berdoa untuk keluarga-keluarga…. Keluarga yang berdoa bersama, akan tetap tinggal bersama. … Para anggota keluarga, dengan mengarahkan pandangan pada Yesus juga akan mempu memandang satu sama lain dengan mata kasih, siap untuk berbagi, untuk saling mendukung, saling mengampuni dan melihat perjanjian kasih mereka diperbaharui oleh Roh Allah sendiri.” (Rosarium Virginis Mariae, 41, Paus Yohanes Paulus II)

BAGIAN VIII: KESAYANGAN DALAM HIDUPKU

BAB 35: ROSARIO

"Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia."(Luk 1:48)

Setiap kali kita berdoa rosario, kita sesungguhnya menggenapi nubuat Bunda Maria tersebut sekurang-kurangnya lima puluh kali. Kita menyebut Santa Perawan Maria "berbahagia," dengan menggunakan kata-kata yang tercatat di dalam Kitab Suci yang mendapatkan ilham ilahi. Kita menyapa Bunda Maria dengan salam malaikat Gabriel, "Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu." (Luk 1:28). Kita memaklumkan karunia-karunia istimewanya dengan menggunakan kata-kata Elizabeth, saudaranya, "Terpujilah engkau di antara wanita, dan terpujilah buah tubuhmu!" (Luk 1:42). Saat kita mendaraskan kata-kata tersebut sangat menyenangkan, karena kata-kata itu kaya akan makna, dan diperkaya oleh cakrawala biblis yang merupakan fokus permenungan kita.

Rosario adalah cara doa meditatif yang sudah teruji oleh zaman. Selama berabad-abad para Paus menganjurkannya, dan para Kudus mendoakannya setiap hari. Doa rosario dicintai oleh para pekerja, anak-anak, dan oleh orang-orang yang sibuk dengan pekerjaannya, dan orang-orang yang genius dalam ilmu pengetahuan. Rosario adalah doa kesayangan ahli biologi termasyur Louis Pasteur.

Dengan berdoa rosario, kita mengulangi sejumlah doa sambil merenungkan peristiwa-peristiwa (misteri-misteri) tertentu dalam kehidupan Yesus dan Maria, dan kita menghitung pengulangan doa kita dengan menggunakan biji-biji yang dirangkai dalam kelompok-kelompok yang masing-masing berjumlah sepuluh biji. Tetapi sama seperti banyak devosi yang lain, rosario adalah suatu bentuk devosi yang memungkinkan adanya variasi. Rosario "Tujuh Kedukaan" misalnya memiliki tujuh kelompok biji-bijian yang masing-masing terdiri atas tujuh biji. Sejumlah orang mengakhiri doa rosario dengan suatu nyanyian bertemakan Maria; sementara orang yang lain mengakhiri rosario dengan mendaraskan Litani Santa Perawan Maria, dan sejumlah orang lain mengakhiri dengan serangkaian doa bagi Bapa Suci. Sejumlah orang bahkan mendaraskan semua devosi Maria. Ada juga variasi etnik terkait doa rosario. Misalnya orang-orang Jerman yang saleh memiliki kebiasaan menyisipkan misteri tertentu dalam setiap doa Salam Maria. Misalnya, saat merenungkan "Maria menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel," mereka berdoa, "terpujilah buah tubuhmu, Yesus...Sabda yang menjelma menjadi manusia." Saat merenungkan "Yesus wafat di salib" mereka biasa berdoa, "terpujilah buah tubuhmu, Yesus....yang mati demi dosa-dosa kita."

Secara resmi, Gereja Katolik mengakui dua puluh peristiwa-peristiwa yang sesuai untuk direnungkan dalam doa rosario. Hendaklah kita mencari dan menemukan semua peristiwa-peristiwa itu dalam Kitab Suci supaya dapat merenungkan dengan lebih banyak manfaat :

Peristiwa Gembira

Maria menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel (Luk 1:26-38) Maria mengunjungi Elisabet, saudarinya (Luk 1:39-45) Yesus dilahirkan di Bethlehem (Luk 2:1-7) Yesus dipersembahkan dalam Bait Allah (Luk 2:22-40) Yesus diketemukan dalam Bait Allah (Luk 2:41-52)

Peristiwa Terang

Yesus dibaptis di Sungai Yordan (Mat 3: 13-17) Yesus menyatakan diri-Nya dalam pesta perkawinan di Kana (Yoh 2:1-12)Yesus memberitakan Kerajaan Allah dan menyerukan pertobatan (Mat 3:2, 4:17-23, Mrk 1:15)Yesus menampakkan kemuliaan-Nya (Mat 17:1-9) Yesus menetapkan ekaristi (Mrk 14:22-23, Luk 22:19-29)

Peristiwa Sedih

Yesus berdoa kepada Bapa-Nya di surga dalam sakratul maut (Luk 22:39-46)Yesus didera (Yoh 19:1) Yesus dimahkotai duri (Yoh 19:2-3) Yesus memanggul salib-Nya ke gunung Kalvari (Luk 23:26-32) Yesus wafat di salib (Luk 23:44-49)

Peristiwa Mulia

Yesus bangkit dari antara orang mati (Luk 24:1-12) Yesus naik ke surga (Luk 24:50-53) Roh Kudus turun atas Para Rasul (Kis 2:1-13) Maria diangkat ke surga (1Kor 15:23; DS 3903) Maria dimahkotai di surga (Why 12:1; DS 3913-3917)

Paus Yohanes Paulus II menganjurkan agar setiap rangkaian peristiwa didaraskan pada hari-hari tertentu dalam tiap pekannya: Peristiwa-persitiwa Gembira: Pada hari Senin dan Sabtu; pada masa Adven dan Natal. Peristiwa-peristiwa Sedih: Pada hari Selasa dan Jumat; pada masa Puasa. Persitiwa-peristiwa Mulia: Pada hari Rabu, Sabtu dan Minggu; pada masa Paskah. Peristiwa-peristiwa Terang: Pada hari Kamis.

Ada juga serangkaian peristiwa yang direnungkan secara tidak resmi yang merupakan hasil dari permenungan berkala tentang kesalehan biblis dan Marianis. Selama bertahun-tahun saya (Scott Hahn, author buku ini-red) telah menyaksikan banyak contoh misalnya: peristiwa Ekaristi, peristiwa penyembuhan dan peristiwa Gereja. Tidak pernah saya menemukan peristiwa yang tidak saya sukai meskipun untuk doa pribadi, saya cenderung menggunakan dua puluh peristiwa-peristiwa dasariah biblis.

Rosario bekerja pada tahap insani sebab doa ini melibatkan seluruh pribadi kita. Rosario melibatkan kata-kata dan pendengaran kita. Rosario menyibukkan pikiran dan merangsang emosi kita. Rosario memberikan pekerjaan kepada ujung jari-jari kita, suatu bagian tubuh kita yang memiliki indera perasa yang sangat peka. Apabila kita mendoakan rosario di depan patung kudus, kita juga memperkuat doa kita dengan indera badani, penglihatan. Inilah cara Tuhan Yesus meneguhkan iman para murid-Nya, "Lihatlah tanganKu dan kakiKu: Aku sendirilah ini; rabalah Aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada padaKu." (Luk 24:39) Tidak cukup bagi kita untuk hanya mendengarkan Dia, juga tidak cukup hanya membaca Sabda-Nya. Kita ingin Dia memenuhi seluruh indera kita dalam doa rosario.

Dan Tuhan melaksanakan dan memenuhi hal tersebut. Terima kasih atas cinta ibunda-Nya. Dalam Kitab Suci, Maria adalah pertama-tama merupakan murid Kristus. Ketika orang-orang bukan Yahudi (Tiga Raja dari Timur) datang dari jauh untuk mencari Yesus yang baru lahir, mereka menemukan, "Seorang bayi bersama Maria, ibu-Nya." (Mat 2:11). Ketika melihat orang lain mengalami kekurangan, Maria memohon kepada Yesus untuk mereka yang kekurangan (Yoh 2:3). Ketika Yesus wafat di salib dan ditinggalkan oleh sahabat-sahabat-Nya, Maria tetap setia menemani Yesus; dan Yesus mempercayakan dan memberikan Maria kepada " murid yang dikasihi-Nya" (yaitu anda dan saya), dengan berkata, "Lihatlah ibumu." (Yoh 19:27). Demikianlah Bunda Maria membantu kita dengan menjadi pengantara yang unik yang dapat ia lakukan. Bunda Maria menolong kita sebagai Ibu Yesus, demikian yang disampaikan oleh seorang saksi mata yang menyaksikan seluruh hidup Yesus. Tetapi Maria juga memberikan pertolongan sebagai Ibu kita, ibu yang diberikan oleh Yesus kepada kita, ibu yang selalu mengasihi kita dengan kasih yang hanya diberikan oleh seorang ibu.

Bersama Bunda Maria, dalam doa rosario kita menyaksikan bersama peristiwa-peristiwa keselamatan kita sebagaimana dinyatakan oleh peristiwa-persitiwa tersebut. Kita membenamkan diri dalam doa rosario dalam suatu pengalaman multiinderawi. Apakah orang akan menjadi jenuh apabila berdoa rosario dan harus berusaha keras untuk menguasai berbagai bagian doa rosario sekaligus: mengucapkan doa, mendasarkan biji rosario, dan merenungkan peristiwa-peristiwa Injl dengan sangat khidmat yang merupakan peristiwa historis yang nyata?

Tidak! Rosario akan bekerja paling baik justru kalau kita berhenti bekerja, kalau kita berhenti memikirkan banyak tugas dan merebahkan diri kita ke dalam pangkuan Bunda Maria, ibu kita seperti yang dilakukan oleh anak-anak ketika mereka bersama-sama dengan ibunya. Cara yang terbaik untuk menjadi santai saat mendaraskan rosario ialah justru dengan mendoakan rosario itu sendiri. Beberapa tahun sebelum terpilih menjadi Paus Benediktus XVI, Kardinal Joseph Ratzinger berkata kepada orang yang mewawancarainya, "pengulangan adalah cara untuk menghanyutkan diri ke dalam irama ketenangan. Yang paling penting bukanlah memusatkan perhatian secara sadar pada makna masing-masing kata, melainkan membiarkan diri hanyut dalam ketenangan pengulangan dan irama yang teratur. Semakin kita mampu berbuat demikian akan semakin baik, sebab teks doa tersebut tidak akan kehilangan maknanya. Rosario membangkitkan gambaran-gambaran dan penglihatan-penglihatan yang agung dan terutama menampilkan figur Bunda Maria dan kemudian lewat Maria menampilkan figur Yesus di hadapan mataku dan jiwaku."

Tidak ada doa yang sia-sia sehubungan dengan pengulangan seperti itu. Berdoa rosario ini sungguh menyenangkan Tuhan yang berkata kepada murid-muridNya, " Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan." (Mat 6:7). Sebaliknya orang-orang Kristiani tidak akan pernah lelah mengulangi doa-doa yang terangkai dalam rosario, yang kalimat di dalamnya merupakan kalimat penggenapan nubuat Bunda Maria.

Tempat yang paling baik untuk berdoa rosario adalah keluarga. Saat Pastor Patrick Peyton berkata, "Keluarga yang berdoa bersama akan tetap bersatu." Sesungguhnya ia sedang berbicara tentang doa rosario. Paus Yohanes Paulus II adalah orang yang tidak kenal lelah menganjurkan doa rosario dalam keluarga. Ia bahkan memberikan gelar "Ratu Keluarga" kepada Santa Perawan Maria, gelar yang ia tambahkan pada akhir Litani Santa Perawan Maria. Semua prakarsa itu tentunya menyenangkan hati Ratu kita. Sesudah Bunda Teresa dari Kalkuta mengalami penglihatan yang mengerikan tentang Kalvari, ia mendengarkan Bunda Maria meneguhkan dia, "Jangan takut. Ajarlah mereka untuk berdoa rosario, rosario keluarga, dan semuanya akan baik."

Memang, rosario keluarga adalah suatu rahmat yang teruji oleh jaman. Tetapi pengalaman rosario adalah suatu hal yang sangat pribadi. Kemampuan umat untuk berdoa tertentu sangat berbeda, sebagaimana kita saling berbeda dalam hal-hal lain. Hal ini berlaku juga untuk para Paus. Paus Yohanes Paulus II dikenal sebagai Paus yang mendaraskan doa rosario setiap hari. Paus Benediktus XVI mengakui bahwa kadang-kadang intensitas renungan atau meditasi selama tiga puluh Salam Maria sangat melelahkan, dan ia harus menghentikan devosi ini.

Tetapi setiap orang akan bisa mengalami doa rosario dengan kondisi seperti itu. Sejumlah dari kita memiliki waktu yang sungguh-sungguh cukup untuk tetap memusatkan perhatian bahkan dengan semua indera kita.

Tetapi kiranya merupakan dosa kesombongan jika meninggalkan doa yang sedemikian sederhana ini karena alasan kita tidak mendoakannya dengan baik. Ketika anak-anak saya masih sangat kecil, mereka sering menghadiahkan kepada saya suatu karya seni yang sesungguhnya tidak lebih daripada coretan-coretan seperti cakar ayam. Tetapi bagi saya, semua itu adalah "karya unggul", dan lebih dari itu: semua itu adalah sakramen kasih. Hidup saya kiranya akan menjadi miskin kalau semua anak saya meninggalkan kebiasaan memberikan hadiah tersebut. Karena pada usia 4 tahun, mereka tidak mampu melukiskan Monalisa.

Bagi Allah dan bagi Santa Perawan Maria, semua usaha kita untuk berdoa sangatlah berharga. Jika kita bertekun dalam doa rosario, kita menjadi "seperti anak-anak kecil" (Mat 18:3), anak-anak Bunda Maria dan juga anak-anak Bapa kita di surga.

Paus Yohanes XXIII, seorang putera Maria yang mirip anak kecil, memberikan nasihat yang baik bagi mereka yang frustasi karena hilangnya konsentrasi mereka saat berdoa dan mendaraskan rosario. Orang seperti itu menyerah, dengan alasan bahwa mereka lebih baik tidak berdoa rosario daripada berdoa dengan tidak baik. Paus Yohanes XXIII menasihati mereka dengan berkata bahwa, "tidak ada rosario yang buruk selain rosario yang tidak didoakan."

"Per Mariam ad Jesum"

Sumber: Scott Hahn: Signs of Life: 40 Kebiasaan Katolik dan Akar Biblisnya, Penerbit Percetakan Dioma, Malang.

Santa Perawan Maria, Ratu Rosario.
Doakanlah kami anak-anakmu.
Amin.

2 Jun 2015

BE A BROTHER FOR ALL

BE A BROTHER FOR  ALL


Selayang Pandang OFM.Cap

               Be A Brother For  All (Menjadi Saudara Bagi Semua) merupakan motto dari OFMCap (Ordo Fraterum Minorum Cappucinorum) yang dapat diartikan sebagai ordo saudara-saudara  dina dari Kapusin menjadi denyut dan aura jiwa bagi penghayatan para pengikutnya setiap hari. Ordo ini  didirikan oleh Santo Fransiskus dari Assisi  (1882-1226), menjadi magnet pribadi banyak orang sekaligus maestro yang dikagumi di abad 21 sebagai Santo yang spektakuler dalam spiritualitas kemiskinan dan hina dina.
               Dalam perjalanan waktu Ordo ini berkembang menjadi Ordo pertama untuk laki-laki  (OFM, OFMConv dan OFMCap). Ketiga Ordo pertama ini menghidupi anggaran dasar yang disusun oleh Fransiskus dari Assisi dan disahkan oleh Paus Honorius III. Ordo kedua untuk perempuan (para Suster Klaris) dan ordo ketiga untuk awam maupun imam sekular (regular dan secular). Ordo Kapusin dimulai oleh Matheus dari Bascio dan resmi berdiri pada 3 Juli 1528 dengan Bulla Religionis Zellus oleh Paus clement VII. Adapun anggota Ordo Kapusin ini terdiri dari ‘klerus’ (imam) dan  ‘laikus’ yang biasa disebut bruder.







Nama Kapusin
                  Panggilan nama Kapusin berawal dari sorakan anak-anak yang melihat para saudara dina yang memakai jubah dengan kap panjang dan runcing. Mereka meneriakkan:  “Scapucini!, Scapucini!” (menggunakan kap). Dari teriakan inilah lahir nama Kapusin.  Ordo Kapusin sudah tersebar luas ke seantero dunia di 106 negara. Saudara Kapusin mulai berkarya di Indonesia sejak tahun 1905 dan pada Februari 1994 dimekarkan menjadi 3 Propinsi: Medan, Sibolga, dan Pontianak. Kapusin Propinsi Pontianak, dengan nama pelindung Santa Maria Ratu Para Malaikat, didirikan secara resmi pada tanggal 21 Februari 1994.
             Adapun wilayah karyanya yaitu: Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Sanggau, Keuskupan Sintang, Keuskupan Palangka Raya dan Keuskupan Agung Jakarta, dan pastinya di Singkawang beralamat Pastoran Katolik,  Jln. P. Diponegoro No. 1 Singkawang. Para saudara Kapusin yang berada di lima keuskupan ini dipimpin langsung oleh Minister Propinsial.
Jenis Karya dan Ciri Khas Hidupnya
                  Para saudara Kapusin lebih memperhatikan karya dan pengabdianya dengan fokus pada: pelayanan pastoral parochial dan kategorial, pembimbing rohani dan retret, pendamping kaum muda, pengelola pertukangan dan bangunan, pengurus rumah tangga komunitas, pelayanan di bidang medis, pertanian, dan pendidikan, pengembangan masyarakat, pemelihara, dan pendukung seni budaya, berkarya di daerah misi dan pendamping kaum terlantar.
                  Adapun ciri khas hidupnya adalah : (1) hidup dalam persaudaraan – Fraternitas, (2) doa menjadi nafas hidup dan karya setiap saudara, (3) para saudara Kapusin menghayati kemiskinan dan kedinaan dengan hidup sederhana baik dalam penampilan maupun dalam tutur kata, dan berpihak kepada orang kecil dan miskin (option for the poor), (4) terbuka pada setiap tugas yang dibutuhkan oleh ordo maupun gereja lokal, ikut mempromosikan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan (Justice, Peace and Intergrity of Creation).
Ajakan
            Anda terpanggil menjadi calon dan mau bergabung dengan mereka, hendaklah memperhatikan hal-hal tersebut. Calon yang hendak melamar menjadi Kapusin haruslah seorang pria beriman Katolik (minimal 2  tahun setelah baptisan). Punya kemauan yang baik dan suci. Artinya, ingin mewujudkan dalam hidupnya cita-cita persaudaraan Kapusin. Sehat jiwa dan raga sehingga berdaya guna untuk mengemban salah satu jenis pengabdian dengan baik dan menggembirakan. Berpendidikan minimal SMU atau setingkatnya, demi menjamin mutu pemahaman atas cara hidup membiara dan terbuka kemungkinan untuk mengembangkan diri sesuai dengan bakat dan kemampuan.
                  Untuk itu kami mengajak, “Hai Kaum Muda Katolik, mari bergabung bersama kami mengikuti Tuhan Yesus Kristus menurut teladan St. Fransiskus Assisi dalam Ordo Saudara Dina Kapusin Propinsi Pontianak.” Sertakan surat lamaran Anda: surat keterangan pastor paroki, surat kesaksian dari pembimbing, atau surat rekomendasi dari sekolah atau tempat bekerja. Riwayat hidup singkat, pasfoto 3x4 (3 lembar), surat persetujuan orang tua/wali. Kirim ke Minister Propinsial Kapusin Pontianak: Jl. Adisucipto KM 9,6 Tirta Ria - Sungai Raya, Kotak Pos 6300. Pontianak-Kalbar 78391 Telp. (0561) 722430/78391. Fax: (0561)-724012.E-mail: kapusin.pontianak@kapusin.org.
                   Bila ingin mengetahui lebih mendalam  langsung pada contact person: P. Joseph Yuwono, OFMCap - Tirta Ria (081251154671) - P. Chrispinus, OFMCap (081345766156) - Nyarumkop. Nah, tunggu apa lagi, mungkinkah Anda salah satu insan yang terpanggil saat ini?
(Ditulis kembali oleh Bruf dengan bersumber pada Brosur OFMCap)

20 Jan 2020

PAROKI SINGKAWANG AKAN GELAR HUT EPISKOPAL MGR AGUSTINUS AGUS

Syalom Aleichem, umat sekalian yang terkasih dalam Kristus.
Pada pertengahan bulan Februari ini, Bapa Uskup akan merayakan Pesta Tahbisan Episkopalnya untuk yang ke-20 tahun, yang dimana Episkopal merujuk pada suatu bentuk tata kelola Gereja yang bersifat hierarkis, pemimpin otoritas setempat tersebut disebut uskup.

Acara ini akan dibagi menjadi 2 bagian penting, yakni sebagai berikut:
1. Pesta Syukur HUT Tahbisan Episkopal Mgr. Agustinus Agus yang ke-20. (Sabtu, 15 Februari 2020, Pukul 16.00 Wib)
2. Misa Syukur HUT Tahbisan Episkopal Mgr. Agustinus Agus yang ke-20. (Minggu, 16 Januari 2020, Pukul 08.00 Wib/ Misa ke-2)
Misa akan dipimpin langsung oleh Mgr. Agustinus Agus.

Oleh karena itu, Mari kita bersama-sama meramaikan HUT Tahbisan Episkopal Mgr. Agustinus Agus yang ke-20 ini.

Demikian informasi yang dapat kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Pace e bene.

3 Mar 2017

Menguji Kelestarian Panggilan dan Kesetiaan Pilihan dalam Pengalaman Hidup

Menguji Kelestarian Panggilan dan Kesetiaan Pilihan dalam Pengalaman Hidup


 “Bukan semudah membalikkan telapak tangan untuk setia pada satu pilihan, pilihan yang berlaku seumur hidup, sepenuh usia, sepanjang hayat. Sama seperti orang awam, kaum rohaniawan juga mengalami hal serupa. Jika jejak langkah awam dihadapkan pada jibaku persoalan hidup yang seolah tidak pernah surut, pun demikian halnya dengan mereka yang hidup di balik tembok biara. Masing-masing dengan perannya, masing-masing dengan tantangan hidupnya, masing-masing dengan persoalan yang membelit kesehariannya.” 

Mendung masih bergelayut enggan pupus meski langit sesiang tadi sempat memuntahkan hujan seperti tembikar sarat akan air yang pecah di udara manakala saya memacu kendaraan ke arah jantung kota. Hari itu hari Sabtu, dan saat itu tujuan saya satu, segera berada di sebuah biara yang bersebelahan dengan gereja, Biara Providentia. Kamis sebelumnya saya membuat janji dengan salah satu penghuninya. Melalui piranti komunikasi temu janji disambut suara ringan nan gembira yang siap menyambut kehadiran saya untuk melakukan wawancara. Suara yang terdengar semanis paras pemiliknya adalah suara Suster M. Laetitia, OSCCap. Maka Sabtu, kira-kira dua jam menjelang senja, rinai gerimis mengantarkan langkah saya menjumpainya. 

Kedatangan saya disambut senyumnya yang jernih seperti yang biasa tergambar pada jiwa yang menyerahkan sepenuhnya kesulitan dunia pada penciptanya dan selalu bersyukur pada setiap keriaan sekecil apapun bentuknya. Jabat erat saya dapat disertai kecup dan pelukan hangat. Kami berhadap-hadapan pada sebuah ruangan berukuran 3 x 4, dihalangi meja lengkap dengan minuman dan kudapan. Sepanjang wawancara senyum dalam binar mata ramah bersahaja membingkai di wajahnya. Ia begitu antusias ketika saya mulai menyoal ketertarikannya menanggapi panggilan hidup membiara. Segalanya berawal dari dalam keluarga. Tepat kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Putri kedelapan dari dua belas bersaudara pasangan bapak Paulus Hendrikus Pawe dan ibu Katarina Irmina Meo ini memang berlatar ayah dan ibu yang merupakan mantan calon biarawan dan biarawati. Keinginan kedua orang tuanya di masa muda untuk menapaki hidup membiara terkendala karena jauh sebelum keduanya bersua, ternyata pihak keluarga telah seiya sekata menjodohkan keduanya hingga mereka menyatu dalam biduk rumah tangga. Namun bagai gayung bersambut oleh buah hati mereka, Laetitia muda menjadi penawar dahaga cita-cita yang tertunda. 

Laetitia tumbuh di lingkungan Katolik yang taat. Berlatar kedua orang tua yang paham benar tentang agama, segala ritual pujian bagi yang maha juga rapalan untaian doa merupakan menu wajib dilakukan dalam keluarga dan bukan hal yang sama sekali baru baginya hingga tak lagi mengejutkan ketika ia mulai menapaki kehidupan membiara. Rumah masa kecilnya pun menjadi saksi bisu perjalanan kegembalaan biarawati dan biarawan maupun para frater, calon balatentara Tuhan yang menggelar kegiatan pelayanan keagamaan. Tidak berhenti sampai di situ, keterbiasaan menyaksikan pemandangan yang berkait erat dengan pelayanan, ketika kecil, ia bersama teman acapkali bermain peran menjadi kaum rohaniawan, membagi hosti yang adalah roti dalam sebuah permainan perayaan Ekaristi.   

Sebelum menjalani hidup di biara, Suster Laetitia yang dulunya bernama Yosefina Basildis ini sempat menjalani pendidikan sebagai perawat kesehatan di sebuah SPK nun di gugusan Flobamora (Flores, Sumba, Timor, dan Alor). Seolah tumbuh menjadi mawar gurun yang mekar, kala itu tidak sedikit pemuda yang hatinya sanggup dibuatnya tergetar. Bukan hanya satu atau dua pemuda belaka, namun lebih dari hitungan jumlah jari pada kedua telapak tangan telah tercatat mencoba merebut hatinya dengan segala cara. Dari cara yang halus hingga yang ketus, dari yang terselubung hingga yang nyata-nyata mengajak pemuda lain tarung. Dengan rendah hati, ia menanggapi segalanya dengan tetap merangkul semua menjadi sanak saudara untuk tetap saling menjaga dalam doa. Baginya segala cinta dari lawan jenis yang silih berganti menghampiri tak ayal merupakan perpanjangan tangan Tuhan untuk menyentuh dan menyadarkannya bahwa tiada kasih yang lebih besar dari kasih Juru Selamatnya. “Semua hadir untuk menguji kelestarian panggilan dan kesetiaan pilihan dalam pengalaman hidup, kalau tidak ada tantangan, kita tidak bisa tahu bahwa panggilan ini benar-benar berharga. Panggilanku ini adalah pilihanku dan inilah yang dikehendaki Tuhan,” begitu ia berujar. Mungkin benar, untuk mengetahui kadar ketebalan iman seseorang, terkadang memang diperlukan ujian. Iseng saya bertanya untuk sekadar mengetahui siapa saja yang hadir  menawarkan hati pada suster yang sangat senang bersahabat ini, namun begitu rapat ia merahasiakan semua nama yang masih mencoba mendekatinya meski ia telah hidup dalam lingkup biara. Pernah pada suatu masa, sehari menjelang kaul kekalnya, ia menghadapi godaan yang sungguh luar biasa. Kala itu ada suara lain yang didengarnya yang sempat menggetarkan hatinya. Suara dari seseorang yang hampir saja membuatnya urung mengucap kaul kekal dan berpikir ulang untuk meneruskan panggilan. Ya, suara seorang dari antara kaum adam yang selama ia berada dalam masa pendidikan selalu memberikan perhatian. Pergulatan sungguh menjadi awan hitam yang meliputi batinnya, namun dalam seluruh kekuatan ia menyerahkan sepenuhnya ke tangan Bapa dalam doa. Lelah berdoa ia jatuh tertidur hingga akhirnya pada saat terbangun hal pertama yang dilihatnya adalah salib Kristus. Serta merta dipeluknya tanda penyelamat hidupnya. Seketika hilang rasa ragu, dengan mantap ia menjawab panggilan itu.

Rasanya sungguh padan jika kutipan catatan seorang maestro kesusastraan Indonesia disematkan pada suster yang hobi bernyanyi dan menari ini; “Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya.”* Suster yang pada 31 Maret 2017 mendatang genap berusia 55 tahun ini sungguh lembut namun tegas, begitu halus tetapi kukuh. Pribadinya ibarat menolak tangan berayun kaki, memeluk tubuh mengajar diri. Sungguh, ia disiplin dan hanya sedikit berkompromi untuk hal-hal yang bersifat duniawi. Hedonisme ia tinggalkan, bersetia ia pada panggilan. Hal ini ditunjukkan ketika dengan segala kesempatan untuk berada di tengah-tengah keramaian, hati kecilnya tetap rindu untuk pulang. Biaralah rumahnya, sebagai suster pendoalah panggilan kemanusiaannya. 

Masih berkisar pada pengalaman panggilan yang dialaminya, suster yang ketika belia menjadi primadona remaja ini mengalami suatu kejadian tak terlupakan. Manakala bersama teman-teman seusianya berolah raga, matanya tiba-tiba terpaku pada sosok biarawati yang meski berada di tengah keriuhan tetap setia merapal doa dengan rosario dalam genggamannya. Saat itu tanpa banyak bicara, Laetitia berlari menjauh dari perkumpulan. Masuk kamar ia kembali merenungkan niatnya menanggapi panggilan. Dengan pemandangan sesederhana itu, Tuhan kembali hadir menyentuh inti kalbu. 

Suatu ketika dalam masa pencarian ordo yang benar-benar dirasa pas di hati, ia menemukan jawaban secara tak sengaja. Melalui majalah Hidup yang saat itu memuat profil dan foto Bapa Uskup Mgr Hieronimus Bumbun bersama dua orang suster OSCCap, Laetitia membulatkan tekadnya. Korespondensi dilakukan, harap-harap cemas ia menanti balasan. Tak berapa lama berselang, bagai tak bertepuk sebelah tangan, jawaban memuaskan ia dapatkan. Bapa Uskup menyambut baik keinginannya bahkan menunjukkan cara untuk memuluskan niat sucinya. Suatu kebetulan yang menyenangkan berselang beberapa waktu kemudian dalam urusan pekerjaan  Bapa Uskup mengunjungi provinsi tempat ia berdomisili. Dibantu oleh Bapa Uskup, Laetitia akhirnya sampai ke Biara Providentia yang sangat didambanya. Kesan pertama melihat bangunan biara, ia langsung merasa bahwa inilah tujuan hidupnya, inilah ‘rumah’ baginya.

Sejak awal hidup di biara, ia bersama teman-temannya saling menguatkan dalam doa. Rasa rindu pada orang tua serta sanak keluarga merupakan hal jamak dan tak terhindarkan. Laetitia sempat rapuh ketika di awal masa panggilan ia seolah sengaja diputus kontak oleh kedua orang tua. Seluruh surat yang dikirimnya ke kampung halaman tak jua kunjung ada balasan. Sedih dan merasa dikucilkan, rindu namun semacam terbuang. Ia tak mengetahui alasan di balik sikap kedua orang tua yang tidak pernah membalas surat-suratnya. Sedih tak tertahan, letih hati menahan rindu tidak berkesudahan, ia merasa sendirian, hanya Surat Rasul Paulus kepada umat yang termuat dalam Kitab Suci selalu menjadi hiburan. Pada suatu kesempatan ia menghadap Bapa Uskup Hieronimus Bumbun, mengadukan ihwal yang mengganggu batinnya. Jawaban tak terduga melipurkan laranya. Bapa Uskup menguatkannya hanya dengan kata-kata, “Buat apa bersedih, saya dan yang lain yang hidup dalam panggilan juga sendirian. Tidak sedang bersama orang tua, kita semua sama.” Dengan jawaban sederhana itu Laetitia merasakan kekuatan dan bahwa ia memang tidak sendirian. Hingga tiba pada suatu masa, ia diberi keleluasaan untuk kembali mengunjungi orang tua di kampung halamannya. Saat itu baru ia dapatkan jawaban atas segala yang menjadikannya ragu. Kedua orang tuanya tak ingin masa pendidikannya terusik rindu yang pada akhirnya akan mengganggu.  

Semua yang hidup akan tetap menemukan gairahnya jika ia masih meniupkan asa dalam cita-cita, dalam sebuah keinginan, dan dalam selaksa harapan. Pun demikian halnya dengan Laetitia. Hal yang belum terpenuhi dan menjadi sebuah harapan sepanjang pembaktian hidupnya dalam membiara dituturkannya, “Saya hanya merindukan menjadi seorang pendoa yang sungguh-sungguh menjadi penyalur rahmat bagi banyak orang, bisa menjadi seorang pribadi yang sungguh berguna bagi diri, keluarga, gereja dan dunia. Dan jika saya meninggal saya ingin menjadi kudus, tapi itu rasanya masih jauh dari bisa menjadi kudus,’ ungkapnya yang disusul sipu malu dalam senyumnya yang bersahaja.

4 Oktober 2016, tercatat tepat 25 tahun ia berkarya. Berbagai cobaan dan rintangan silih berganti menghampiri, namun tangan Tuhan kiranya terus bekerja, menjaga ia setia pada panggilan imannya. Selamat berkarya, Suster. Tetaplah menjadi pendoa kami semua. (Hes) 

NB: (*) kutipan tulisan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru: Rumah Kaca.   
Biodata Singkat

Nama: Yosefina Basildis Anu Pawe.
Tempat tanggal lahir: Flores, Bajawa Mataloko, 31 Maret 1962 
Tahun 1977 tamat SD Katolik Toda Belu II.
Tahun 1981 Masuk SMP Kartini Mataloko.
Tahun 1982 pindah ke SMP Immaculata Ruteng Manggarai.
Tahun 1983 masuk ke SPK (Sekolah Pendidikan Kesehatan) di Lela Maumere.
Setelah tamat, bekerja di Rumah Sakit St. Gabriel Kewapante Maumere, sebagai pembantu bidan bersama Sr. Solmaris, S.Sps selama 2 tahun.
Pada tahun 1987 berkenalan dengan biara Providentia melalui majalah Hidup. 
Tanggal 6 Agustus 1988 berangkat ke Singkawang bersama Sr. Emiliana SFIC dan diantar ke biara Providentia oleh Sr. Paulin SFIC.
Tanggal 6 Agustus 1988: masuk sebagai calon (aspiran)
Tanggal 29 September 1988: Masuk Postulan
Tanggal 4 Oktober 1989: Masuk Novis
Tanggal 4 Oktober 1991: mengikrarkan Kaul sementara.
Tahun 1991-1992 tinggal di Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 1993 kembali ke Biara Providentia Singkawang.
Tanggal 4 Oktober 1994: Mengikrarkan kaul kekal meriah.
Tahun 1996 di tugaskan kembali ke Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 1997 kembali ke Singkawang.
Tahun 2003 ditugaskan kembali ke Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 2005 kembali ke Biara Providentia Singkawang sampai saat ini.
Tanggal 4 Oktober 2016, genap 25 tahun hidup kaul membiara.


      


23 Mar 2016

JALAN SALIB PERHENTIAN 1-14

Memasuki masa Prapaska tiada salahnya kita hening dalam permenungan yang menjadikan kita setapak tak berjarak dengan-Nya dan Sang Putera yang atas darah-Nya janji keselamatan sungguh tidak terbantahkan.    

JALAN SALIB PERHENTIAN 1-14

Perhentian pertama: Yesus Dihukum Mati.



Maka berteriaklah mereka, “Enyahkan Dia! Enyahkan Dia! Salibkan Dia! 

Dia tidak melawan dengan kata maupun perbuatan atas segala sesah, maki dan fitnah, yang bagai berkekuatan ribuan godam dihantamkan pada dahi-Nya, pada wajah-Nya, pada tubuh-Nya. Dia diputus mati oleh pengadilan manusia-manusia pendosa,  Dia memilih bungkam untuk semua hal yang tak dilakukan namun ditimpakan atas raga-Nya yang berwujud manusia.  Ribuan bilur luka yang sengaja ditorehkan manusia pendosa pada tubuh-Nya, diterima-Nya dengan mata memincing menahan perih tanpa sedikitpun mengaduh walau dalam lirih. Air mata-Nya tak lagi bening, sudah berupa darah dan nanah mengalir menjadi anak-anak sungai keselamatan abadi  bagi umat yang dimaterai-Nya. 

Seringkali dalam hidup kita tak pernah bisa terima ketika mendapat sedikit saja perlakuan yang dirasa tidak adil bagi diri kita, keluarga kita atau sanak saudara kita. Kita lantas tak memilih bungkam atas perlakuan tak adil itu, kita berpikir, memutar otak bagaimana cara termangkus membalas perlakuan tak adil tersebut, minimal memprotes keras, tanpa berusaha introspeksi diri mengapa sampai kita menerima perlakuan tak adil. Ketika terjerembab dalam situasi itu, ingatlah bahwa dua ribu tahun yang lalu, Yesus telah mengajarkan kita untuk berusaha diam, menahan diri, dan melihat lebih jauh maksud dari penyelenggaraan Bapa. Dia yang kita sebut Anak Allah rela membiarkan tubuh-Nya tergantung di kayu Salib demi apa yang tak pernah diperbuat-Nya, layakkah kita yang hanya disesah sedikit saja permasalahan dari dunia manusia yang fana selalu mencari pembenaran diri?

Perhentian kedua: Yesus Memanggul Salib.


Sambil memikul salib-Nya Ia pergi keluar ke tempat yang bernama tempat Tengkorak, dalam bahasa Ibrani: Golgota.

Disesah, diludahi, dipukul, dihina untuk sesuatu yang sama sekali tak diperbuat-Nya. Dia diam, Dia tetap berjalan memanggul ratusan kilo kayu yang nanti menjadi singgasana terakhir-Nya dalam dunia fana, singgasana yang sebelum pengkultusan-Nya adalah simbol bagi yang paling hina, yang paling jahat, yang paling biadab. Dalam diam, tak hanya tubuh-Nya yang rusak oleh pembantaian, ada yang  lebih menyiksa dari itu, batin-Nya remuk redam. Umat yang dicintai-Nya, umat yang kepada mereka seringkali diberkahi-Nya dengan mujizat, umat yang seminggu sebelumnya mengelu-elukan nama-Nya dengan daun palma kini berbalik menghujat-Nya. Penderitaan macam apa yang lebih menyakitkan selain dikhianati? Selain tidak diakui, selain ditolak? Dia mengalami itu semua, Dia mengalaminya dalam satu kurun masa, namun Dia tetap membungkam mulut-Nya meneruskan perjalanan dengan beban salib pada pundak-Nya. 

Seringkali dalam kehidupan kita mengalami serupa yang dialami-Nya, merasa memanggul salib dalam kehidupan kita.  Salib yang membebani pundak kita tak dapat kita bandingkan dengan salib yang berada di pundak-Nya. Salib di pundak-Nya adalah salib dosa miliaran umat manusia, lebih berat, lebih kasar, lebih menyiksa. Salib yang kita panggul adalah salib pribadi kita sendiri. Namun meski ringan seringkali kita mengeluh, merasa menjadi manusia paling menderita di dunia, merasa paling mengalami nasib sial padahal jika sedikit saja kita mau membuka mata kita, kita akan melihat di sekitar kita ada salib lebih berat yang dipanggul sesama kita. Masih layakkah kita mengeluh?

Perhentian ketiga: Yesus Jatuh Pertama Kali




Begitu berat beban salib kasar yang dipanggul-Nya, dalam langkah tertatih, Ia terjerembab pertama kalinya.

Perlahan namun pasti Dia melangkah pada tanah kerontang, darah dari luka-Nya tak kunjung berhenti menetes. Ia dipukul, dicambuk, dipaksa kuat menanggung beban salib begitu berat. Sampai pada suatu tempat, langkah-Nya terhenti, kaki-Nya tak kuat menyangga tubuh perih penuh luka cambuk dari para algojo belum lagi sang beban yang semakin menapak seolah semakin berat. Saat itu, dalam kekuatan-Nya yang hanya berwujud manusia biasa, Ia roboh mencium tanah Bapa-Nya. 

Pertama dari ketiga kali, Ia yang saat itu hanya berkekuatan dan berwujud manusia biasa jatuh dalam perjalanan-Nya menuju bukit Golgota. Ia terjerembab di tanah kerontang, tanah para pendosa. Kejatuhan-Nya pertama kali seperti halnya ketika kita melalui fase dalam hidup. Ketika masih berwujud kanak-kanak, sering dalam perjalanan menuju kedewasaan kita mengalami kejatuhan. Saat itu segala asa seolah bertaruh dalam jiwa kanak-kanak kita. Ketika jatuh pertama kali dalam perjalanan menuju Golgota, tanpa berselang lama, Yesus kembali berdiri, Dia mengumpulkan segala kekuatan-Nya untuk meneruskan perjalanan-Nya, Dia kembali menapaki jalan luka-Nya. Dia memberikan suri teladan bagi kita, yang ketika kanak-kanak mungkin pernah mengalami keterpurukan, trauma dan kesakitan dalam khas dunia kanak-kanak.  Dia bangkit berdiri, lantas, apa alasan kita untuk tak mengikut  jejak-Nya? 

Perhentian keempat: Yesus Berjumpa dengan Ibu-Nya.



Tiada lagi semarak pada wajah-Nya, ketampanan-Nya sirna oleh darah yang mengucur dari dahi-Nya yang bermahkota semak duri tajam. Ia berhenti dalam perjalanan-Nya, dijumpai-Nya bunda-Nya dalam perjalanan luka-Nya.

Dalam perjalanan luka-Nya, tertegun ia menatap wajah ibu-Nya. Ibu yang mengandung-Nya dalam rahim yang suci, ibu yang mengusap peluh-Nya saat nyali-Nya tak sengaja runtuh, ibu yang selalu membasuh hati-Nya dengan pandangan penuh cinta. Mereka beradu pandang, namun keduanya diam, sama menangis, sama menyelami luka, sama menyelami derita. Dalam bungkam, dalam diam, jiwa-Nya saling berselam, batin-Nya saling mengobati. Tanpa harus diucapkan, ibu paling memahami arti air mata-Nya, ibu paling tersiksa melihat bilur-bilur luka sang belahan jiwa.  

Ibu, sosok wanita terhebat dalam setiap hidup manusia. Ibu yang lemah lembut, sabar sekaligus tegar menghadapi segala permasalahan dalam kerasnya percaturan hidup. Namun seringkali ketangguhan dan kasih sayang ibu tergeser ketika kita mulai mengenal lawan jenis yang mampu menggetarkan hati kita, menjadi pasangan kita. Ketika mengalami kesenangan, yang sering kali kita cari adalah pasangan,  ketika  mengalami kesedihan, kepada ibu kita selalu berkeluh kesah menceritakan , saat sukses kita ceritakan pada pasangan,  saat gagal, kita hanya bercerita pada ibu sebagai sandaran. Saat bahagia kita memeluk erat pasangan, saat sedih kita peluk erat ibu, kita selalu total saat mengingat pasangan, sementara, selalu hanya ibu yang mengingat semua hal tentang kita. Ibu selalu memberikan sepenuh hidupnya untuk anak-anaknya, namun berapa banyak yang sanggup mengelap muntahan ibunya? Berapa banyak yang sanggup mengganti lampin ibunya ketika ibu menjadi tua? Berapa banyak yang sanggup membersihkan kotoran ibunya? Berapa banyak yang  sanggup membuang ulat dan membersihkan luka kudis ibunya? Berapa banyak yang sanggup berhenti bekerja untuk  menjaga ibunya? Dan akhir sekali: Berapa banyak yang memanggul jenazah ibunya? Kalau ibu sudah tiada, kita hanya sanggup berkata “Ibu, aku rindu, aku sangat rindu, aku ingin berada dalam peluk hangatmu!”

Tak perlu kita menggeliat, berjalan jauh mencari, memburu  cinta sejati, karena cinta sejati itu ada di dekatmu, cinta sejati itu, ibu!

Perhentian kelima: Yesus Ditolong Simon dari Kirene



Dalam perjalanan luka-Nya, Ia terhuyung memikul beban salib pada pundak-Nya. Hati-Nya cemas tak sanggup tuntas berjalan menuju bukit tengkorak. Dalam kecemasan-Nya, Bapa menggerakkan hati seorang dari antara manusia-manusia pendosa untuk membantu memanggul salib-Nya ke Golgota. 

Adalah Simon yang berasal dari Kirene mengikuti perjalanan Anak Manusia memanggul salib menuju Golgota. Perjalanan yang mungkin jika ditempuh dalam kondisi tubuh normal tak akan seberat ketika dijalani oleh tubuh dengan luka meluruh, dengan darah yang mengucur basah, dengan perih yang teramat pedih. Yesus yang sekujur tubuh-Nya telah dipenuhi luka sesah para algojo hampir roboh ketika itu. Bapa lantas menggerakkan hati  seorang dari antara mereka, nama Simon dari Kirene yang dipilih-Nya menjadi salah satu yang memenuhi kitab dalam kisah perjalanan sengsara.

Dalam hidup seringkali kita berkeluh kesah “Ya Tuhan, mengapa harus aku yang menjalani kisah ini, nasib ini, derita ini. Mengapa bukan orang lain saja yang Kaupilih untuk Kau coba?!” mungkin saja Simon dari Kirene yang juga adalah manusia biasa saat itu memiliki pemikiran serupa dengan kita saat dipilih Tuhan dalam menjalani pencobaan kehidupan, namun, yang terjadi ribuan tahun kemudian, nama Simon dari Kirene memenuhi kitab dalam perjanjian. Kita manusia biasa, hidup kita hanya mengenal untung dan malang, suka dan duka. Kita sering alpa pada maksud di balik segala apa yang mejadi penyelenggaraan-Nya. Dia memilih sekaligus memberikan masing-masing kisah dalam setiap hidup manusia bukan tanpa tujuan, pun dengan segala bumbu dan rahasia hidup yang jika saja kita menyadarinya akan berubah menjadi  jalan menuju bahagia.  Masih layakkah kita bertanya, Tuhan, mengapa harus aku yang menjadi pilihan-Mu?

Perhentian keenam: Wajah Yesus Diusap oleh Veronika



Mahkota duri yang dikenakan pada kepala-Nya membuat  wajah-Nya  bersimbah darah. Ia tak lagi tampan, semarak-Nya pun hilang. 

Dalam langkah gontai-Nya memanggul salib agung, di hadapan-Nya lantas bersujud seorang perempuan lembut penuh kasih, Veronika. Awalnya Veronika berniat memberikan air pelepas dahaga bagi Putra Bapa, namun para algojo menepis cawan yang digenggam Veronika, tinggallah kain berada di tangannya, dengan segala cinta dan sisa keberanian yang ada, Veronika mengusap wajah Yesus yang telah dipenuhi peluh  dan darah. Sebagai balasannya, Yesus meninggalkan lukisan wajah-Nya di kain yang dibawa oleh Veronika.

Pernahkah dalam hidup di zaman yang serba tega ini kita memiliki sejumput keberanian untuk membantu sesama seperti Veronika? Jika pun ada, pernahkah kita berpikir bahwa yang kita lakukan itu tanpa tendensi apa-apa? Kebanyakan dari kita memilih bersikap acuh terhadap apa yang dialami sesama, atau minimal memiliki tendensi pada setiap apa yang kita perbuat untuk sesama. Mungkin demi dikenal, mungkin demi mendapat balasan, mungkin kita berharap satu ketika kita pun akan diperlakukan serupa seperti orang yang telah menerima bantuan dari kita. Lupakah kita pada hukum cinta kasih yang diajarkan Bapa melalui Dia yang adalah jalan kebenaran dan hidup.  Ingatlah bahwa Dia pernah berpesan, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang hina ini, kamu telah melakukannya untuk-Ku.”  Maka dari itu perbuatlah segala kebaikan karna kau melihat rupa Allah dalam diri sesamamu.  

Perhentian ketujuh:  Yesus Jatuh Kedua Kali


Perjalanan semakin menapak, tubuhnya semakin layu. Dalam batas kekuatan-Nya sebagai manusia,Ia hampir tak berdaya.

Betapa berat salib kasar dan besar yang masih setia menjadi beban pundak-Nya. Tubuh-Nya semakin layu, ia dihinggapi keletihan dan kesakitan yang amat sangat. Ia kehilangan satu per satu suara-suara penyemangat. Ia sampai pada batas kekuatan-Nya, tubuh-Nya yang dipenuhi luka roboh untuk kedua kalinya. Ketika jatuh pun salib itu setia menindih-Nya. Tiada ada lagi manusia membantu mengangkat kayu salib agung dari atas tubuh-Nya. Disertai bakti-Nya pada Bapa, ia bangkit meneruskan perjalanan  sengsara-Nya.

Dalam metamorfosa hidup, fase kedua manusia setelah kanak-kanak adalah menjadi dewasa. Segala problematika hidup manusia seolah berkumpul padu pada masa itu. Banyak manusia gagal menjadi dewasa dalam hidupnya. Mengalami kajatuhan, keterpurukan, kekacauan, kehancuran. Betapa dalam kisah sengsara-Nya, Yesus yang telah remuk redam disesah luka menganga dan darah yang mengalir begitu rupa  masih berusaha bangkit untuk meneruskan perjalan-Nya memenuhi janji pada Bapa. Haruskah kita yang hanya manusia biasa dangan beban hidup yang juga tergolong biasa lantas menyerah begitu saja pada cobaan yang menghampiri kita? Dalam iman Katolik, kita pun ditempa dalam perjalanan sengsara dalam memenuhi janji kodrat kehidupan  kita pada Bapa.


Perhentian kedelapan: Yesus Menghibur Wanita-wanita yang Menangis



Ia berhenti di hadapan wanita-wanita yang meratapi kisah sengsara-Nya.

Ujung perjalanan belum tampak di hadapan. Ia masih setia memanggul salib kasar dan besar itu di pundak-Nya. Di tengah gontai langkah-Nya, ia menemukan sekumpulan wanita yang menangis meratapi perjalanan sengsara-Nya. Ia lantas berhenti  dan menatap wanita-wanita itu. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada pada tubuh-Nya, ia berupaya menenangkan wanita-wanita itu. Betapa agung jiwa-Nya. Di tengah penderitaan yang ditimpakan pada-Nya,  mental-Nya tak roboh total. 

Betapa Tuhan memberikan teladan bagi kita. Dalam segala derita yang dirasakan-Nya, Dia tak lantas egois, Dia tak lantas terpuruk, Dia malah menjadi sumber penghiburan bagi hati-hati yang tengah dilanda kerawanan. Ya Tuhan, betapa dalam kehidupan kami sehari-hari kami lebih sering menganggap bahwa dengan kondisi yang kesulitan kami hadapi, kami tak memiliki kesempatan dan kekuatan untuk menguatkan orang lain. Betapa egoisnya kami sebagai manusia-manusia pendosa. 
Permampukan kami, Tuhan untuk menjadi garam dan terang dunia, seturut teladan Tuhan kami Yesus Kristus.

Perhentian kesembilan: Yesus Jatuh Ketiga Kali




Golgota di depan mata, kekuatan hampir habis, kesanggupan berjalan semakin menipis. Anak Domba Allah, jatuh untuk ketiga kalinya.

Matahari semakin tinggi, sinarnya menyengat terik membakar peluh dari semangat yang semakin runtuh. Janji-Nya pada Bapa tak hendak dikhianati-Nya. Dengan tenaga yang tersisa, diseret-Nya langkah kaki-Nya. Namun beban terlampau berat, tubuh-Nya pun tak lagi sanggup menahan sakit dan penat. Ia roboh untuk ketiga kalinya.  

Fase hidup yang ketiga, menjadi tua dengan tubuh yang semakin renta. Ketika Yesus dalam perjalanan sengsara mengalami jatuh kali ke tiga, betapa dalam hal ini Bapa mengingatkan kita dalam tujuan hidup kita ke arah kekal, seringkali kita pun mengalami jatuh di masa tua. Bukanlah kegagalan di masa muda penyebabnya, namun sikap hidup kita yang acapkali merasa sudah renta, tak lagi berguna bagi sesama dan gereja, padahal  justru ketika usia kita semakin menapaki senja, kita semakin berpeluang besar berbuat banyak hal bagi sesama. Tubuh renta bukan alasan, usia senja tak menjadi sekat dalam pengasingan diri menebar kasih pada sesama.

    
Perhentian kesepuluh: Pakaian Yesus Ditanggalkan




Maka genaplah yang tertulis dalam kitab suci setelah pakaian-Nya ditanggalkan, “Mereka membagi-bagi pakaianKu di antara mereka dan mereka membuang undi atas jubah-Ku.”

Tiada lagi yang bersisa dari Anak Domba Allah, kekuatannya habis, kehormatan-Nya di hadapan manusia-manusia pendosa habis-habisan dikikis. Bahkan untuk pakaian penutup tubuh-Nya pun telah mereka rampas. “Mereka mengambil  pakaian-Nya lalu membaginya menjadi empat bagian untuk tiap-tiap prajurit satu bagian - dan jubah-Nya juga mereka ambil. Jubah itu tidak berjahit, dari atas ke bawah hanya satu tenunan saja. Karena itu mereka berkata seorang kepada yang lain: “Janganlah kita membaginya menjadi beberapa potong, tetapi baiklah kita membuang undi untuk menentukan siapa yang mendapatkannya.”

Sekali lagi Allah Bapa menegur kita melalui perantara putera-Nya dalam rentetan kejadian di kisah sengsara. Anak Domba bungkam meski pakaian-Nya ditanggalkan, pakaian penutup tubuh yang menjadi dasar kehormatan seorang manusia. Ia dihinakan di hadapan manusia-manusia pendosa meski Ia tiada bercacat, cela dan dosa. Seringkali dalam kehidupan kita pun mengalami hal serupa, ketika kita merasa kehormatan kita sebagai manusia diinjak-injak, kita dengan sekuat tenaga melawan, mencari keadilan atau  lebih dari itu, ketika kita berperan ibarat serdadu yang menanggalkan pakaian serta kehormatan sesama kita. Kita seringkali berlaku culas dan gembira atas kehinaan sesama kita. Di manakah hati nurani berada? Masih pantaskah kita bergembira di atas kehinaan sesama kita?  


Perhentian kesebelas: Yesus Disalibkan


Ia menuntaskan perjalanan-Nya memanggul salib menuju  Golgota. Salib kasar tanda dosa besar, Ia dibaringkan di situ, kemudian paku besar  ditumbukkan dengan martil tanpa ampun menembus telapak tangan dan kaki-Nya, darah mengucur deras, mengalir pada salib. Ia disalibkan di antara orang berdosa, dan pada salib-Nya tertulis: “ Yesus Orang Nazaret, Raja Orang Yahudi.”

Dalam diri-Nya yang berwujud  manusia biasa, penderitaan yang ditimpakan pada-Nya melebihi ambang batas kekuatan normal manusia. Ia diperlakukan dan dihukum seperti seorang penjahat tak terampuni namun segalanya tetap Ia jalani. Tubuh-Nya dipaksa mangangkat salib yang akhirnya digunakan untuk merenggut nyawa-Nya sendiri. Dalam kepasrahan yang luar biasa Dia memenuhi janji pada Bapa-Nya, Dia mengorbankan tubuh dan darah-Nya untuk menjadi  materai keselamatan umat manusia yang mengimani-Nya. 

Ia hidup sebagai manusia biasa, namun bedanya Ia tidak berdosa, tidak bercacat cela. Ia menerima perlakuan tak adil dari manusia-manusia pendosa, namun Ia bungkam. Ia membiarkan cawan yang diberikan Bapa, tak berlalu dari hadapan-Nya. Yesus memberikan teladan bagi kita untuk menuntaskan segala apa yang telah dipercayakan kepada kita untuk kita selesaikan.  Mengerjakan dan memberikan segenap cinta dan penuh kasih pada apa yang menjadi tanggung jawab pribadi kita. Iman Katolik mengajarkan ketaatan pada tanggung jawab yang penuh cinta kasih. 


Perhentian kedua belas: Yesus Wafat di Kayu Salib




Ketika itu hari sudah kira-kira jam dua belas, lalu kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga, sebab matahari tidak bersinar. Gempa bumi terjadi di mana-mana, dan tabir bait suci terbelah dua.  

“Sesudah itu, Yesus tahu, bahwa segala sesuatu telah selesai, berkatalah Ia - supaya genaplah yang tertulis dalam Kitab Suci - ; “Aku haus!” Di situ ada suatu bekas penuh anggur asam. Maka mereka mencucukkan bunga karang, yang telah dicelupkan dalam anggur asam, pada sebatang hisop lalu mengunjukkannya ke mulut Yesus. Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu , Kuserahkan nyawa-Ku” Lalu ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya.”

Ia anak Allah, Ia manusia tanpa dosa, Ia memegang teguh janji-Nya pada Bapa meski  sebagai manusia Ia sempat merasakan kegentaran saat mengetahui isi cawan yang dihadirkan Bapa di hadapan-Nya. Ia taat sampai wafat, bahkan wafat disalib. Sekali lagi, dalam wujud manusia, putera Bapa mengajarkan pada kita tentang ketaatan dan penerimaan demi kemuliaan hidup yang kekal.  


Perhentian ketiga belas: Yesus Diturunkan dari Salib



“Ia telah mati, mereka tidak mematahkan kaki-Nya, tetapi seorang dari antara prajurit itu menikam lambung-Nya dengan tombak, dan  segera mengalir keluar darah dan air. Sesudah itu Yusuf dari Arimatea - ia murid Yesus, tetapi sembunyi-sembunyi karena takut kepada orang-orang Yahudi  - meminta kepada Pilatus, supaya ia diperbolehkan menurunkan mayat Yesus.”

Malam menjelang, Maria bersama beberapa wanita dan murid kesayangan Yesus dibantu oleh Yusuf dari Arimatea menurunkan tubuh Yesus yang tak lagi bernyawa. Maria berada di bawah kayu salib, menyambut jenazah sang putera. Betapa hancur dan remuk redam hatinya. Putera kesayangan, yang dikandungnya, yang dibesarkannya, yang dikasihinya dengan segenap kekuatan yang dimilikinya diperlakukan tak adil, dihukum mati dan disalibkan. 

Hingga jenazah diturunkan dan kembali ke dalam pelukan ibu-Nya banyak hal menjadi teladan bagi kita. Kepasrahan dan ketaatan yang terkadang rasa sakitnya melebihi kekuatan yang kita punya sebagai manusia. Namun tetaplah berpegang pada janji Tuhan, janji akan keselamatan dan kehidupan kekal, janji yang tak akan pernah Ia ingkari. 

Perhentian keempat belas: Yesus Dimakamkan



Mereka mengambil mayat Yesus, mengafaninya dengan kain lenan dan membubuhinya dengan rempah-rempah menurut adat orang Yahudi bila menguburkan mayat. Di tempat di mana Yesus disalibkan ada suatu taman dan dalam taman itu ada suatu kubur baru yang di dalamnya belum pernah dimakamkan seseorang. 

Genaplah yang tertulis dalam kitab suci, makam-Nya berada di tengah -tengah makam orang berdosa. Tubuh-Nya yang rusak karna disesah para serdadu dan algojo telah dibersihkan dan diurapi rempah-rempah sesuai adat Yahudi. 

Penderitaan-Nya di dunia telah usai, Ia kembali pada Bapa-Nya, Ia kembali pada pemilik-Nya. Namun tetap dengan satu janji keselamatandan kehidupan kekal bagi umat yang mengimani-Nya. Dialah jalan kebenaran dan hidup, Dialah garam dan terang dunia, tiada yang sampai kepada Bapa tanpa melalui Dia. Dialah awal dan akhir, Alpa dan Omega. Masihkah kita mengingkari-Nya? (Hes)