Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri gereja katolik di indonesia. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri gereja katolik di indonesia. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan

13 Jan 2017

BIARAWATI KATOLIK

BIARAWATI KATOLIK


Menjadi seorang Biarawati Katolik atau di Indonesia dikenal dengan sebutan SUSTER (Belanda: Zuster, saudara perempuan. Inggris: Sister, saudari) adalah sebuah panggilan ilahi. Tak seorangpun tahu secara pasti sejak awal bahwa ia benar-benar dipanggil Tuhan. Itu sebabnya proses persiapan dan pembinaan memakan waktu yang tidak singkat. Ada tahap-tahap pembinaan dan evaluasi berkelanjutan yang harus dilalui hingga secara definitif diakui sebagai seorang Biarawati Katolik atau Suster.
Sebelum membahas tahap-tahap menjadi seorang Biarawati Katolik, terlebih dahulu saya menjelaskan secara ringkas mengenai Biarawati Katolik.
Biarawati dalam agama Katolik adalah perempuan yang tergabung dalam suatu tarekat atau ordo religius dan yang mengucapkan Tiga Kaul (janji): Kemiskinan, kemurnian dan ketaatan. Setiap tarekat atau ordo memiliki konstitusi atau regula (semacam UUD). Segala sesuatu mengenai hidup sebagai Biarawati sudah diatur dalam konstitusi atau regula tersebut. Para suster biasanya berkarya di bidang pendidikan (formal dan nonformal), kesehatan, dan pelayanan sosial di lingkungan gereja atau masyarakat umum. Ada juga beberapa tarekat religius biarawati yang khusus berkarya dalam pelayanan religius melalui doa (dalam gereja Katolik dikenal dengan istilah suster kontemplatif).
Nah, untuk menjadi biarawati Katolik, ada beberapa tahap pembinaan (formation) yang harus dilalui. Mengenai lamanya tahap-tahap pembinaan biasanya sudah diatur dalam konstitusi atau regula masing-masing tarekat atau Ordo. Tetapi secara umum kurang lebih seperti berikut.

1. MASA ASPIRAN

Masa aspiran adalah tahap pertama. Seorang perempuan (sehat jasmani dan rohani) yang mau menjadi Biarawati biasanya sudah lulus SMA atau kuliah. Para calon yang masuk dalam tahap ini disebut ASPIRAN (Orang yang ingin). Para Aspiran belum terikat dengan tarekat atau ordo. Masa Aspiran merupakan masa dimana para aspiran masuk dalam tahap paling dini dan mulai diperkenalkan dengan kehidupan membiara; mengenai ritme dan acara harian dalam Hidup membiara, diajak untuk mengenal diri atau kepribadian, belajar doa Harian (Brevir), belajar “Kerja Tangan” dan keterampilan lain, juga menjadi kesempatan bagi para Pembina (formator) untuk melihat keseriusan para Aspiran. Masa ini berkisar satu sampai dua tahun (tergantung aturan atau regula tarekat atau ordo). Di beberapa tarekat, masa ini dikenal dengan istilah ‘Come and see’.

2. MASA POSTULAT

Masa postulat adalah tahap ke dua. Para calon dipanggil dengan sebutan POSTULAN (orang yang melamar, calon). Masa ini memakan waktu satu sampai dua tahun. Masa Postulat merupakan masa peralihan dan perkenalan bagi calon agar dapat berorientasi dan mengenal kehidupan membiara. Masa Postulat dimaksudkan agar calon semakin mengenal diri dan mengolah kepribadiannya, belajar Kitab Suci dasar dan pengetahuan agama Katolik, moral, etika dan teologi dasar sederhana serta mengikuti irama doa pribadi, doa bersama, sejarah Gereja, Lembaga Hidup Bakhti dan menghayati hidup sacramental Gereja.

3. MASA NOVISIAT

Masa novisiat adalah tahap ke tiga. Para calon dipanggil dengan sebutan NOVIS (orang baru). Masa ini ditandai dengan penerimaan jubah dan ‘krudung’ biara. Masa novisiat berlangsung kurang lebih dua tahun. Pada tahap ini, seorang Novis dibimbing untuk mengolah hidup rohani, memurnikan motivasi panggilan, mengenal secara mendalam tarekat atau ordo dan Konstitusinya, mengenal khasana iman Gereja, kaul-kaul Religius dan juga praktek-praktek terpuji sebagai seorang religius dalam Gereja.

4. MASA YUNIORAT

MASA YUNIORAT adalah tahap ke 4. Pada tahap ini, seorang yang telah melewati masa novisiat dipanggil dengan sebutan SUSTER. Masa Yuniorat ditandai dengan pengikraran “Kaul sementara”: Kemiskinan, Kemurnian dan Ketaatan. Masa Yuniorat berlangsung selama 6-9 tahun (tergantung aturan konstitusi atau regula). Biasanya para SUSTER mulai kuliah ilmu-ilmu khusus secara mendalam atau mengambil khursus atau mulai berkarya dan sudah menghidupi nilai-nilai dari Kaul-kaul yang sudah diucapkan secara public.

5. KAUL KEKAL

KAUL KEKAL adalah tahap ke lima dan ongoing formation. Pada tahap ini, seorang suster secara resmi menjadi anggota tarekat atau ordo, yaitu dengan mengucapkan KAUL KEKAL PUBLIK (Kemiskinan, kemurnian dan ketaatan) dan hidup secara utuh sebagai suster. Karya dan pelayanan senantiasa dilandasi oleh Kaul Kekal yang sudah diikrarkan sebagai mempelai Kristus. Selain itu, para suster juga mengikuti ongoing formation (Pembinaan lanjutan) hingga akhir hayat.
Dengan demikian, menjadi seorang Kiarawati Katolik seorang harus melewati tahap demi tahap. Melalui tahap-tahap tersebut, seorang selain mengolah diri, ia dibantu untuk menemukan panggilannya apakah menjadi Suster secara definitif atau tidak. Semua tahap ini dimaksudkan agar seorang secara yakin menyadari bahwa Panggilan itu memang berasal dari Tuhan.
Harus diakui, dalam melewati tahap-tahap, seseorang bisa saja memutuskan untuk keluar. Orang katolik lalu mengenal istilah mantan aspiran, mantan postulan, mantan novis, mantan suster/biarawati. (Sama seperti seorang frater yang keluar disebut mantan frater, bukan mantan pastor, karena dia belum sampai pada tahap menjadi pastor). Jadi kalau ada mantan aspiran atau mantan postulan mengaku sebagai mantan suster atau biarawati, maka sebenarnya ia adalah biarawati palsu.

Sumber: Rm. Joseph Pati Mudaj, MSF


28 Nov 2016

Perayaan Bulan Kitab Suci Tahun 2016 di SMP Bruder Singkawang

Perayaan Bulan Kitab Suci Tahun 2016 di SMP Bruder Singkawang


Sudah sejak lama gereja menyadari perlunya umat beriman untuk semakin mencintai dan menghidupi Kitab Suci sehingga mereka pantas untuk bersaksi dan mewartakan-Nya baik secara pribadi maupun keluarga. Dalam ajaran Konsili Vatikan II diungkapkan keinginan agar jalan menuju Kitab Suci dibuka lebar-lebar bagi kaum beriman (Dei Verbum 22). Pembukaan jalan menuju Kitab Suci ini dilakukan dengan menerjemahkan Kitab Suci ke dalam banyak bahasa lokal. 

Ktab suci telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, namun umat Katolik Indonesia belum mengenal dan memahaminya, dan belum mulai membacanya. Mengingat hal itu, Lembaga Biblika Indonesia (LBI), yang merupakan Lembaga dari KWI untuk kerasulan Kitab Suci, mengadakan sejumlah usaha untuk memperkenalkan Kitab Suci kepada umat dan sekaligus mengajak umat untuk mulai membaca Kitab Suci. Hal ini dilakukan antara lain dengan mengemukakan gagasan sekaligus mengambil prakarsa untuk mengadakan Hari Minggu Kitab Suci secara Nasional. LBI mengusulkan dan mendorong agar Keuskupan-Keuskupan dan Paroki-Paroki seluruh Indonesia mengadakan ibadat khusus dan kegiatan-kegiatan sekitar Kitab Suci pada Hari Minggu tertentu.

Dalam sidang MAWI 1977 para uskup menetapkan agar satu Hari Minggu tertentu dalam tahun gerejani ditetapkan sebagai Hari Minggu Kitab Suci Nasional. Hari Minggu yang dimaksudkan adalah  Hari Minggu Pertama bulan September. Dalam perkembangan selanjutnya keinginan umat untuk membaca dan mendalami Kitab Suci semakin berkembang. Satu minggu dirasa tidak cukup lagi untuk mengadakan kegiatan-kegiatan seputar Kitab Suci. Maka, kegiatan-kegiatan ini berlangsung sepanjang Bulan September dan bulan ke-9 ini sampai sekarang menjadi Bulan Kitab Suci Nasional.

Pada bulan September, Gereja Katolik Indonesia memasuki bulan Kitab Suci Nasional.  Pimpinan Gereja menganjurkan umat Katolik menjadi lebih akrab dengan Kitab Suci dengan berbagai cara, sehingga dengan demikian umat semakin mendalami imannya dalam menghadapi kerumitan dan kesulitan hidupnya.

Tema Bulan Kitab Suci Nasional tahun 2016 adalah Keluarga Bersaksi dan Mewartakan Sabda Allah “Hendaknya Terangmu Bercahaya” (Matius 5:16). Tema ini mengajak semua orang beriman untuk menjadi pewarta Sabda Tuhan dan memberikan kesaksian itu dalam kehidupan kita. Satu di antaranya adalah melalui tindakan cinta kasih kepada keluarga, sesama dan gereja agar mampu memahami ajaran Gereja katolik.

Keberadaan Bulan Kitab Suci ini mempunyai makna yang penting sebagai upaya untuk menyadarkan umat akan pentingnya mencintai Kitab Suci. Untuk mengisi  Bulan Kitab Suci Nasional di setiap keuskupan dilakukan berbagai kegiatan mulai dari lingkungan, wilayah, paroki, maupun di sekolah- sekolah.  Di SMP Bruder Singkawang khususnya dalam merayakan bulan Kitab Suci diawali dengan perarakan  khusus Kitab Suci dan mendengarkan bacaan Kitab Suci,  serta renungan singkat setiap pagi  sebelum pembelajaran selama bulan September. Selain itu, SMP Bruder Singkawang  juga mengadakan berbagai lomba. Adapun yang dilombakan adalah : Lektor, Mazmur,  Pantomin  Kitab Suci, LCT, Kriya, dan Vokal Grup. Kegiatan lomba diadakan 2 hari di minggu ketiga bulan September. 

Dalam berbagai lomba peserta didik dapat berbaur dengan teman-teman tanpa membedakan agama. Mereka begitu kompak dan saling bekerjasama untuk memenangkan lomba. Masing-masing kelas mempersiapkan diri untuk menampilkan yang terbaik. Kegembiraan terpancar di wajah mereka, meskipun tidak begitu meriah tetapi menimbulkan kesan yang sangat mendalam bagi peserta didik. 

Tujuan diadakannya kegiatan tersebut adalah untuk mengenal menumbuhkan cinta terhadap Kitab Suci serta sebagai wahana  bersaksi dan mewartakan Sabda Allah di tengah keluarga, masyarakat dan gereja. Dengan demikian, melalui Bulan Kitab Suci peserta didik menjadi semakin rajin membaca dan merenungkan Sabda Allah, peserta didik semakin dapat menghayati dan mengamalkan Sabda Allah dalam kehidupan sehari-hari, serta selalu didasarkan pada Sabda Allah dan senantiasa selaras dengan kehendak Allah.

Semoga usaha sekolah dan peserta didik seluruhnya diberkati Tuhan dan iman peserta didik semakin dewasa dengan sering membaca kitab Suci.(Dian Lestari, S.Pd)


16 Sep 2016

Kaum Berkerudung di Sekitar Altar Tuhan

Kaum Berkerudung di Sekitar Altar Tuhan

“Mari ber-mantilla bagi Tuhan!” Begitulah seruan kami anak-anak Misdinar St. Tarsisius Paroki Singkwang demi mengajak Anda terutama para wanita Katolik untuk berpakaian sopan dan sederhana serta memakai atau membangkitkan kembali ‘tradisi tua’ dalam Gereja Katolik ini. Usaha sosialisasi ini kami awali dengan menghadap Bapa Uskup untuk mendapatkan izin, lalu dilanjutkan dengan membuat foto dan video project yang kami unggah ke laman Instagram kami @ppasttarsisiusskw dan laman youtube kami, Misdinar St. Tarsisius Singkawang. Tentu ini mendapat respon yang menyenangkan, baik dari umat Paroki Singkawang maupun umat dari berbagai pulau seberang. Sering sekali kami melihat baik wanita maupun pria Katolik ketika menghadiri misa menggunakan pakaian yang tidak pantas. Hal ini sangat perlu untuk diperhatikan karena secara khusus apa yang kita kenakan ketika menghadap Allah, tidak lagi memberikan kesan bahwa Allah hadir di tengah-tengah kita. Namun, ada juga umat yang pergi misa walaupun memakai pakaian yang pantas, tetapi hati dan pikirannya melayang jauh dari misa kudus. Misa akhirnya tampak tidak lagi berbeda seperti acara-acara sosial lainnya. Akibatnya, perayaan Ekaristi menjadi kehilangan maknanya sebagai misteri yang kudus dan agung.

Mungkin kebanyakan orang tidak mengetahui apa itu mantilla atau mungkin ada tanggapan dari orang “Ngapain sih ikut-ikutan agama sebelah pakai kerudung segala?” Ups, jangan berpikiran sempit! Mantilla adalah kerudung atau tudung kepala yang dipakai oleh wanita Katolik saat akan menghadiri perayaan Ekaristi kudus yang terbuat dari bahan brokat yang ringan. Tradisi ini sudah cukup lama ada dalam gereja kita dan mempunyai julukan “Kerudung mempelai Kristus” dimana kita memakainya hanya saat Misa. Jadi, kerudung tidak hanya milik saudara-saudara kita umat Muslim, tetapi di dalam gereja kita cukup mengenal dekat dengan tudung kepala yang satu ini. Kerudung Misa merupakan salah satu bahkan mungkin satu-satunya devosi yang sangat spesifik untuk perempuan. Berkerudung Misa adalah sebuah kehormatan bagi para perempuan dan ini memampukan mereka untuk  memuliakan Allah dengan seluruh keperempuanan mereka serta dengan cara-cara yang khas dan feminin. Kerudung Misa adalah tradisi tua, tradisi kuno yang indah, dan ia menunjukkan nilai dan pentingnya wanita. Itu bukan alat untuk merendahkan wanita atau mengecilkan mereka; itu adalah sebuah kehormatan.

Pemakaian mantilla sendiri pernah diwajibkan oleh Gereja Katolik dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK tahun 1262).Namun setelah direvisi dalam Konsili Vatikan ke II, mantilla pun akhirnya tidak diwajibkan pemakaiannya namun tidak melarang bagi umat yang hendak memakainya (dianjurkan). Sehingga masih ada umat di beberapa belahan dunia  yang masih memegang dan mempertahankan tradisi ini. Kerudung Misa adalah alat devosi pribadi yang dapat membantu kita lebih dekat dengan Yesus dan sebagai tanda ketaatan dan tanda memuliakan TUHAN.Wanita yang memakai kerudung Misa, mengingatkan kita semua bahwa Ekaristi bukanlah pertemuan sosial biasa, bukan acara untuk ramah tamah terhadap sesama kenalan kita. Mantilla tidak hanya dipakai oleh Putri Altar saat bertugas, tetapi juga bisa dipakai oleh wanita Katolik lainnya.
 
Penggunaan mantilla terus berkembang seiring masuknya perayaan Misa Formaekstraordinaria (Misa Latin) di tanah air. Dalam misa tersebut, para wanita diharuskan memakai mantilla, sedangkan dalam misa yang sering kita rayakan ini, tidak ada kewajiban penggunaannya namun sangat dianjurkan bagi kaum hawa. Karena tradisi ini dipandang sangat baik dan tidak bertentangan dengan nilai iman sejati, maka tradisi ini pun mulai dibangkitkan kembali kepada umat Katolik di Indonesia. Namun Yesus adalah Yesus yang sama, maka mantilla bisa dipakai dalam misa apapun, tidak terbatas dalam misa latin saja melainkan bisa juga di dalam misa biasa yang sering kita rayakan di gereja. Wanita yang menudungi kepalanya, secara simbolis menyampaikan pesan berharga kepada para lelaki: ‘tubuhku adalah bait Allah yang kudus, karenanya perlakukanlah tubuhku dengan rasa hormat yang besar. Tubuh dan kecantikanku bukanlah objek yang bertujuan memuaskan hasrat yang tidak teratur yang ada pada dirimu. Aku adalah citra Allah, oleh karena itu hormatilah dan hargailah aku.’ Kerudung Misa mengingatkan pria akan perannya sebagai penjaga kesucian, seperti St Yosef yang selalu melindungi dan menjaga Bunda kita, Perawan Maria. Dengan demikian, Allah dapat kita muliakan dengan cara menghormati dan melindungi keindahan dan keagungan martabat wanita. 

Menggunakan kerudung juga merupakan suatu cara untuk meneladani Maria, dialah yang menjadi role model (panutan) bagi seluruh wanita. Bunda Maria, Sang Bejana Kehidupan, yang menyetujui untuk membawa kehidupan Kristus ke dunia, selalu digambarkan dengan sebuah kerudung di kepalanya. Seperti Bunda Maria, wanita telah diberikan keistimewaan yang kudus dengan menjadi bejana kehidupan bagi kehidupan-kehidupan baru di dunia. Oleh karena itu, wanita mengerudungi dirinya sendiri dalam Misa, sebagai cara untuk menunjukkan kehormatan mereka karena keistimewaan mereka yang kudus dan unik tersebut.

Pemakaian mantilla memiliki dasar bibliah yaitu terdapat di dalam 1 Korintus 11:3-16;“Pertimbangkanlah sendiri: patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung?” “Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya” “Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat.”Ayat inilah yang menjadi salah satu dasar sosialisasi penggunaan kembali mantilla juga alasan dari umat yang mempertahankan tradisi ini. Paulus dalam suratnya tersebut sebenarnya ingin menegur cara berpakaian Jemaat di Korintus mengenai pakaian saat di gereja dan budaya yang sedang berkembang di sana pada saat itu, dimana wanita yang tidak menudungi kepalanya akan dicap sebagai ‘wanita nakal’ dan ‘orang-orang yang tidak ber-Tuhan.’ Namun, tidak ada salahnya bukan jika tradisi kuno yang indah ini kita gunakan kembali dalam Perayaan Ekaristi?

Seorang wanita yang berkerudung Misa pada dasarnya sedang menunjukan eksistensi Allah. Sebuah tanda kerendahan hati seorang wanita, yang ingin menudungi mahkotanya (rambut) di hadapan Allah. Karena ia tidak berkerudung di tempat lain, ia hanya berkerudung di hadirat Sakramen Maha Kudus. Seperti halnya Tabernakel (Kemah Roti/lemari yang berisi Hosti Kudus) yang menjadi pusat di dalam gereja kita. Jika di dalam Tabernakel tersebut berisi Hosti yang sudah dikonsekrasi, tentu akan diselubungi dengan kain. Selain itu, jika Sibori yang di dalamnya terdapat hosti kudus, akan selalu diselubungi dengan kain yang menandakan bahwa ada Tubuh Tuhan di dalamnya. Piala yang berisi Darah Kristus, akan ditudungi dengan kain. Meja Altar ditutupi kain (kecuali saat perayaan Jumat Agung, dimana Hosti Kudus tidak ditempatkan dalam Tabernakel di gereja). Begitu juga bagi perempuan yang menudungi dirinya dengan tudung kepala saat Misa. Ia menunjukan hadirat Tuhan yang Maha Kuasa, yang hadir dalam Perayaan Ekaristi. Jadi kerudung Misa adalah tanda yang paling jelas bahwa ada sesuatu yang spesial, indah, dan kudus yang sedang terjadi di tempat itu, yaitu tanda bahwa Allah sungguh-sungguh hadir!



Sebenarnya, menudungi hati dan kepala dengan mantilla tidaklah menyembunyikan kecantikan seorang perempuan, melainkan memancarkannya dengan cara yang istimewa dan penuh kerendahan hati, seperti halnya dengan para ciptaan kudus lainnya dari Allah yang menudungi kepala mereka (St Perawan Maria, St Bernadete, St Theresia dari Lisieux, Bunda Theresa, biarawati yang menjadi Santa, dll). Tetapi, bermantilla merupakan ekspresi iman bukan sekedar fashion kekinian.

Banyak wanita yang benar-benar telah menudungi hati, pikiran dan kepala mereka saat misa, merasakan damai, beban duniawi terasa pergi menjauh, ketenangan dan cinta yang lebih besar dan lebih mendalam kepada Tuhan. Mereka merasakan suatu kebebasan dimana mereka bisa menghayati dan lebih fokus pada Perayaan Ekaristi. Memang terkadang pikiran kita saat misa suka melenceng kemana-mana: apakah saya harus pergi ke supermarket, jemuran sudah kering atau belum, menu apa yang ingin saya masak saat makan siang? Tetapi, ketika Anda masuk ke gereja dengan berkerudung, itu bagaikan suatu petunjuk untuk berhenti. Semua pikiran itu harus disingkirkan dan Anda harus memberikan seluruh perhatian Anda kepada Tuhan. Ada sebuah keheningan dalam jiwa saat kita mengenakan kerudung Misa. Kerudung itu menarik kita kepada Yesus. Kerudung menarik kita ke dalam suasana doa. Ia membuat kita ingin menjadi kudus. Ia menarik kita kepada apa yang berada jauh di dalam diri kita, sebuah inti feminim yang dimiliki oleh para wanita.

Jika seandainya Anda adalah seorang wanita yang memakai mantillamu saat misa, dan Anda menjadi takut dan malu karena dilihat, dicibir bahkan ditegur oleh orang banyak di dalam gereja karena dianggap ikut-ikutan agama lain, INGATLAH! Bahwa apa yang mereka katakan bukanlah tujuanmu sama sekali. Kamu harus tahu, siapa yang ingin kamu lihat di gereja. Kamu datang bukan untuk melihat orang-orang itu. Tetapi kamu datang untuk melihat Tuhan! Anda tidak perlu peduli dengan apa yang orang pikirkan, tetapi Anda harus peduli pada apa yang Tuhan pikirkan tentang dirimu. Tetaplah fokus pada cinta dan keimananmu kepada Tuhan. Ini bukan tentang, “Hei, lihat saya! Saya lebih suci daripada kamu!” Tidak!. Ini adalah tentang saya menunjukkan penghormatan, ketundukan, dan cinta kepada Yesus. Itulah tujuannya!

Memang benar, memakai mantilla saat Misa memerlukan pertimbangan dan  kesiapan batin yang begitu mendalam. Tetapi, hal itu merupakan langkah awal yang bagus dengan memaknai maksud dan arti dari mantilla itu sendiri. Kami Misdinar St Tarsisius mendoakan Anda semua semoga suatu saat dapat menemukan keberanian untuk memakainya dan menikmati kasih Tuhan lebih mendalam lagi. Dan terus ikuti perkembangan sosialisasi ini dengan mem-follow laman instagram kami di @ppasttarsisiusskw. Ayo bermantilla bagi Tuhan! (Nicolas Gratia Gagasi)
 

14 Sep 2016

Yang Muda yang Berkarya dalam Militansi Kehidupan Menggereja

Yang Muda yang Berkarya dalam Militansi Kehidupan Menggereja


Minggu, 24 Juli 2016. Berlatarhalaman Gereja St Fransiskus Assisi Singkawang, Komisi Kepemudaan panitia pra IYD (Indonesian Youth Day) Keuskupan Agung Pontianak yang dimotori oleh Kasianus Kurniawan melakukan perarakan replika Salib IYD 2016 yang lantas diserahkan kepada Ketua Dekenat Singkawang, Pastor Krispinus Endi, OFM. Cap., dan untuk selanjutnya diserahkan kepada Pastor Paroki Singkawang yang merupakan tempat peziarahan  pertama Salib IYD 2016. 

Penyerahan replika Salib IYD yang melibatkan seluruh OMK di stasi-stasi yang ada di wilayah Paroki Singkawang ini bukan tanpa maksud dan tujuan. Ditemui usai perayaan Ekaristi, pria yang akrab disapa Kas ini mengungkap, “Prosesi penyerahan salib dari Komisi Kepemudaan panitia pra IYD Keuskupan Agung Pontianak diantarkan dari komisi kepemudaan pra IYD pertama kali ke Paroki Singkawang. Salib sebagai tanda Kerahiiman Allah menjadi pemersatu dan terang bagi seluruh kegiatan OMK di seluruh paroki di Keuskupan Agung Pontianak. Agar seluruh teman-teman OMK mengalami merasakan sukacita kehadiran Allah di tengah-tengah mereka, tidak hanya OMK yang menjadi utusan paroki untuk ikut dalam even IYD, namun salib yang akan kita bawa dalam IYD yang akan digelar di Manado nanti bisa menjadi lambang pemersatu dan sukacita bagi seluruh OMK.”

Adapun Salib IYD 20016  dibawa ke Paroki Singkawang merupakan replika. Aslinya tetap berada di Keuskupan Agung Pontianak. Salib ini dirancang oleh tim IYD 2016 dari Komisi Kepemudaan Kesuskupan Agung Pontianak. Setelah melewati berbagai diskusi maka dirancang sekaligus dipilihlah berbagai bahan dasar pembuatannya. Bahan-bahan yang dipilih untuk membuat Salib IYD 2016 ini kiranya mengusung segala kearifan lokal. Dari bahannya saja menunjukkan bahwa pemilihan dan penetapannya berdasar kekayaan alam yang mudah dijumpai pada ranah lokal. Salib IYD ini berbahan dasar rangka rotan. Filosofi begitu kental dan sarat makna menjadikan rotan dipilih sebagai rangkanya. Rotan sendiri merupakan tanaman yang tumbuh hampir di seluruh dan begitu mudah dijumpai di seluruh pelosok Kalimantan Barat. Rotan tumbuh menjalar panjang mengikuti tinggi dan lebat pepohonan tempatnya bernaung, bisa mencapai puluhan meter panjangnya. Rotan sangat lentur, sederhana, kuat, dan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Demikian hal yang sama diharapkan berlaku pula pada OMK agar dapat menjadi ‘rotan’ di dalam sisi kehidupannya; menjadi pribadi yang memiliki kelenturan/fleksibilitas dalam sikap dan perilaku, sederhana; memiliki tekad dan kemauan yang kuat dalam segala tindakan, pemersatu, sehingga sungguh-sungguh siap mewartakan sukacita Injil dan membawa manfaat bagi masyarakat di lingkungannya.

Bahan berikutnya adalah kulit kayu/kapuak. Kapuak merupakan kulit tanaman kayu tertentu yang sudah diolah sedemikian rupa sehingga dapat dimanfaatkan bagi keperluan hidup manusia, dan hingga saat ini masih bisa didapatkan di beberapa tempat, khususnya Kalimantan Barat maupun Kalimantan pada umumnya. Untuk siap digunakan kulit kayu mengalami proses yang ‘berat’ sampai menjadi kapuak, dan banyak digunakan untuk pengikat maupun berbagai keperluan hidup lainnya serta sekalipun dengan tampilan sederhana kapuak dapat diolah menjadi kostum/pakaian adat yang unik, alami, dan memiliki nilai ekonomis. OMK-pun setelah mengalami proses yang ‘berat’ dalam berbagai sisi kehidupannya diharapkan mampu menjadi pribadi yang tangguh, ulet dalam mewartakan Injil serta bermanfaat bagi kehidupan masyarakat di lingkungannya. Bahan dasar lain yang juga digunakan adalah korpus dan pengikat dari kawat berunsur logam. Dalam hal ini bahan dasar logam merupakan elemen yang berasal dan ditemukan dari perut bumi dan mengalami proses pemurnian, baik itu proses sederhana maupun berulang. Setelah mengalami bentuknya yang baru, logam dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan dan manfaat yang beragam. Dalam Salib IYD juga terdapat simbol lingkaran dengan tiga duri di setiap sudutnya. Lingkaran sendiri merupakan sebuah bentuk yang tidak terputus, satu kesatuan, berkesan dinamis, dan siklus yang berulang. Lingkaran ‘berduri’ dan berwarna merah dan putih, melengkapi Salib yang merupakan wujud Kerahiman Ilahi, Allah Tritunggal Maha Kudus sendiri; merupakan kesatuan langkah hidup dan perjuangan OMK mewujudnyatakan iman Katoliknya di tengah keberagaman hidup berbangsa dan bernegara, serta sebagai bangsa Indonesia, dan dalam bimbingan Roh Allah sendiri menajdi100% Katolik, 100% Indonesia. 

Demikian kisah perjalanan Salib IYD 2016 yang menyambangi Paroki Singkawang sekaligus pemaknaan yang mendalam, melebihi sekadar tampilan fisik dan diharapkan mampu mewakili mengobarkan semangat kehidupan menggereja dan militansi iman kaum muda. (7539)
 

16 Mei 2016

Ziarah Iman Bersama Acies Legio Maria

Ziarah Iman

Bersama Acies Legio Maria

 


Singkawang, 6 Maret 2016 epatnya pukul 10.00 Wib, sejumlah  100 peziarah utusan dari komisium ‘Acies Legio Maria’ di Keuskupan Agung Pontianak (KAP), bersama-sama berziarah di Gereja St Fransiskus Assisi Singkawang. Pasukan devosional yang berasal dari pelbagai usia ini penuh khidmat dan hening saat perarakan patung Bunda Maria dari Gua Maria menuju Altar sembari memegang bulir-bulir rosario yang indah dan menawan di jemari mereka.

Deny (39) dengan penuh semangat men-sharing-kan pengalaman imannya tentang sepak terjang dalam mengikuti kelompok doanya di Paroki St. Hieronimus Tanjung Hulu, Pontianak. Menurut wiraswasta muda ini kegiatan doa Legio Maria, menjadi salah satu style pribadi dalam menumbuhkan semangat hidup kerohaniannya. “Keunikan doa  ini tidak terlalu menonjol dalam publik gereja, karena kekhasannya terletak pada kegiatan devosional pada Bunda Maria dan diwujudnyatakan dalam kegiatan kerasulan atau pastoral awam yang praktis di Lingkungan Gereja,” papar Deny dengan nada  gembira.

Kelompok Legio Maria adalah kelompok kategorial yang di dalamnya umat Allah yang mau memperhatikan secara khusus berdevosi pada Bunda Maria. Legio Maria ini juga mempunyai kekhasan  yaitu perkumpulan orang Katolik yang dengan restu Gereja dan di bawah pimpinan kuat Bunda Maria yang dikandung tanpa noda dan pengantara segala rahmat, berkembang dengan pesat dari dari Gereja Katolik Roma sampai ke ujung dunia. 

Doa yang sudah hampir berusia satu abad lebih ini  mempunyai nilai-nilai yang pantas menjadi abdi Bunda Maria seperti sikap kesetiaan, pengorbanan, keberanian, pelayanan tulus, kerendahan hati dan ketabahan seperti yang dimiliki Bunda Maria yang sudah  menjadi ragi dan jiwa dalam diri pengikutnya. Perwujudannya melalui kunjungan kepada mereka yang sakit untuk didoakan baik yang terbaring di rumah sakit maupun di rumah pasien. Para Legioner (panggilan khusus bagi pribadi yang mengikuti Legio Maria)  ini sudah berkembang dan meluas maka para anggota yang aktif di dalamnya harus mengikuti peraturan dalam kegiatan doanya.

Robertus Setiapdry (16) yang juga merupakan ketua komisium Legioner dari Seminari Menengah St Paulus Nyarumkop, Kalbar, men-sharing-kan pengalaman doa dalam kelompoknya. “Kami setiap kamis malam  melakukan doa “Catena. Pada saat itu  kami bersama berbagi kisah pengalaman kerasulan yang nyata selama sepekan. Selain itu banyak hal yang saya timba dari doa ini selain menguatkan kami dalam mengikuti Yesus, yang menjadi fokus adalah bagaimana kami bersama Bunda Maria menyerahkan panggilan hidup kami agar terjawab apa yang menjadi cita-cita dan harapan kami sebagai inti sari dari perkumpulan doa ini,” papar seminaris  dari calon imam kongregasi Pasionis ini dengan mantap.

Dalam doa ini setiap anggota harus punya soul dan passion dalam dirinya. Spiritualitas hidupnya tercermin dalam doa-doanya. Jiwanya selalu terarah pada Yesus dengan meniru teladan Bunda Maria  menjadi persembahan hidup, yang kudus yang berkenan kepada Allah, dan tidak serupa dengan dunia ini (bdk. Rom 12:1-2),  sebagai salah satu  bagian cara menghayati dan menghidupi dalam kelompok doanya.

Pastor Aji dan Felix, OFMCap, turut hadir dalam kegiatan ini, sebagai imam yang mendampingi jiwa Legioner saat itu. Imam yang ramah ini memberi tanggapan yang positif dari semangat umat dalam menghayati hidup rohani secara khusus persembahan kepada Bunda Maria. “Setiap tahun Para Legioner Acies berkumpul dan kali ini kami memilih Gereja St Fransiskus Assisi karena tempat ini sebagai gereja kedua setelah Katedral untuk para Ziarah yang mencari ketenangan bathin di tahun  kerahiman ini,” ungkap mantan Magister Postulan ini yang sekaligus sebagai imam selebran utama Mmisa Kudus dalam kegiatan Acies Legio Maria saat itu.

Tampak juga saat itu kaum berjubah para Suster Slot, SFIC, Frater Henry dan Ferdi, OFMCap, ikut  berbaur dengan Komisium Legioner KAP sebagai bentuk dukungan dalam menguatkan ziarah batin bersama pasukan Maria ini agar tetap bertahan dan setia untuk selamanya di dalam kelompok doanya tiap hari. 

Ibu Bibiana, ketua kegiatan Acies Legio Maria Singkawang, mengungkapkan pengalamannya bahwa sangat senang dalam kegiatan Legio ini. “Saya sebagai ketua dengan gembira melayani kegiatan ini, karena ini juga perwujudan nyata dari nilai visi-misi para legioner. Selain itu gereja kita semakin banyak dikunjungi oleh para ziarah, itu tanda bahwa rahmat Tuhan tak pernah berhenti kepada kita untuk melayani mereka yang mau berkunjung ke gereja ini lebih-lebih para Legioner dari pelbagai komisium yang ada di Gereja Katolik Indonesia dan juga dari Sabah, Serawak,” ungkap ibu yang penuh senyum merekah ini ketika melayani tamu  di depan pintu gerbang gereja saat itu.

Selain misa kudus menjadi puncak dalam kegiatan Acies Legio Maria, acara yang tidak kalah penting adalah acara ramah tamah sebagai perwujudan nyata dalam bentuk persaudaraan Legio Maria dan juga kesempatan untuk sharing iman bersama. 

Semoga Legio Maria menjadi penyemangat bagi kelompok kategorial lain di Paroki St Fransiskus Asissi Singkawang. *** Bruf

 





19 Mar 2016

Ia di Antara Biola, Kamera dan Komuni untuk Lansia

Ia di Antara Biola, Kamera dan Komuni untuk Lansia


“Tahun-tahun yang memutih di kepala menandai tinggi batang usia kiranya bukan penghalang baginya yang sering terlihat masyuk dengan kamera. Di umur rambang senja, ia bahkan menjadi daya tarik tersendiri mengingat sosok lain yang seusia umumnya tak lagi menggubris perkembangan teknologi yang setia bergulir di dunia.”



Pastor Marius, OFMCap, gembala yang selalu tampil formal, berkemeja lengan panjang, dimasukkan rapi, bersemat salib kecil di kerah kiri, dan selalu beralas kaki hitam ini bukan sosok asing di lingkungan Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi. Putra kelima dari pasangan bapak Mateus Chen dan ibu Yohana Lay ini begitu tak terganggu manakala ratusan pasang mata memandang aksinya kala mengabadikan berbagai peristiwa yang berlangsung di gereja maupun hal lain yang sanggup menarik perhatiannya. Meskipun bersifat pribadi, betapa aktivitasnya sangat membantu gereja dalam mengabadikan setiap rangka masa. Entah telah menghabiskan berapa giga bahkan tera kapasitas hardisk guna membingkai laman waktu dalam gambar bergerak maupun slide-slide bisu. Tak berhenti sampai di situ, suaranya terdengar begitu ringan menandakan sama sekali tiada berkeberatan ketika hasil bidikan kameranya diunduh orang guna memenuhi berbagai kepentingan. 

Terlahir dengan nama Chen, semenjak kecil ia telah begitu terpesona pada kehidupan membiara. Chen kecil yang menunjukkan ketertarikannya pada kaum berjubah menggiring langkah remajanya menekuni panggilan iman hingga ke Holand. Pada 1947, dua tahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, ia telah melanglang buana ke negeri Belanda. Zaman dulu menempuh pendidikan menjadi imam kesempatannya tidak seluas sekarang. Ia harus berjibaku dengan teologi dan filsafat ilmu hingga ditahbiskan sebagai imam di negeri kembang tulip itu pada 1961. 

Empat belas tahun di benua Eropa, begitu banyak hal dipelajarinya. Selain kian mematangkan pendidikannya menjadi gembala, ia mulai akrab dengan biola. Secara otodidak ia mempelajari cara memainkan alat musik yang tak sekadar menggesek dawai belaka, namun juga mengandalkan kehalusan jiwa untuk mampu sampai ke hati penikmatnya. Kepiawaiannya mengalunkan nada melalui biola bak gayung bersambut manakala ia kembali ke negeri asalnya. Sempat menggembala umat selama setahun di Nyarumkop pada 1962 sebelum akhirnya di tahun  1963 ia kembali berkarya di Katedral, di jantung Khatulistiwa. 

Pada tarikh 1963−1997 penempatan tugas pastoral membuatnya mengabdikan diri di Gembala Baik. Di sinilah ia berkolaborasi dengan ketua Yayasan Persekolahan Gembala Baik yang sepaham dengannya mengenai pembelajaran ekstra bagi siswa. Ia seiya sekata dengan Bapak Yan Fredrik yang menggagas mengenai pembelajaran biola untuk menghaluskan jiwa para peserta didiknya. Dengan telaten dan sabar, ia menularkan kebisaannya memainkan biola pada siswa-siswinya. “Pak Yan mewariskan satu hal tidak diduga, ia mengajar musik terutama biola kepada murid karena ia mau muda-mudi kita tetap peka terhadap sesuatu yang indah. Contohnya jika ada berita orang yang mengalami musibah di sekitar kita dan kita melihatnya sebagai sesuatu yang biasa, hal ini terjadi karena tidak ada kepekaan terhadap yang indah. Mulanya saya tidak mengerti, tetapi akhirnya saya memahami dan sesuatu yang paling indah adalah yang dilakukan oleh Yesus di kayu salib, wafat bagi orang lain. Hal ini dapat terjadi karena jiwa yang peka. Karena sesuatu yang indah dapat memengaruhi kepekaan sikap jiwa. Sehingga dia merasa indah juga bisa menolong orang, malahan bila perlu berkorban untuk orang lain. Saya ambil warisan itu. Saya melanjutkan itu. Biarlah kelihatan atau tidak, berhasil atau tidak, tapi pasti tidak rugi jikalau dari anak-anak itu masih dapat kesempatan untuk mematangkan rasa mereka terhadap keindahan. Karena otomatis akan mempengaruhi mereka punya jiwa,” urainya. Hingga usianya hampir menginjak 87 tahun, ia tetap setia melatih bermain biola. Dan satu hal yang sungguh luar biasa, ia melatih tanpa memungut sepeserpun biaya dari para didikannya. “Saya melanjutkan semua itu bukan sebagai hobi saja, tapi dengan harapan dasar supaya muda mudi kita menyebarkan keindahan yang mereka rasa, yang secara otomatis meningkatkan sikap jiwanya.” 

Hal unik lain dari sosoknya, di tahun 1947 dimana bangsa ini baru mengecap haru biru hawa kemerdekaan bahkan mungkin saja masih latah terhadap perputaran zaman, ia telah selangkah lebih maju. Ia akrab dan paham dengan peralatan media rekam. Sungguh berada di luar duga bahwa ia memang mesra dengan kamera semenjak dulu kala. Di samping itu, ia juga memanfaatkan media sosial untuk berbagi banyak hal yang direkamnya. Bukan tanpa maksud, namun  aktivitas tersebut berkiblat pada manfaat berbagi dan menarik esensi dari berbagai hal baik yang sanggup menginspirasi. “Ya memang hobi, dengan arti, itu adalah media yang bisa menyampaikan sesuatu. Hasil rekamnan saya banyak simpan di Facebook dan Youtube. Dari yang dibagikan di Facebook dapat dibaca juga notes berisi keterangan di bawahnya. Di situ saya banyak menulis hasil-hasil pembicaraan, menjawab pertanyaan orang tentang berbagai hal, tentang perkawinan, tentang hidup, tentang kematian.” Ia tak gagap teknologi, bahkan sukses memanfaatkannya menjadi media untuk menggembala umatnya. 

Usianya memang tak lagi muda, namun ia tampak tak pernah menyerah begitu saja pada deret angka penanda masa hidup manusia. Ia masih selalu bersemangat melakukan berbagai aktivitasnya sendiri. Menyetir, bersepeda, berjalan kemana pun tugas gembala mengharuskan langkahnya berada, semua dijalaninya dengan suatu kesadaran bahwa kemandirian berdampak penuh terhadap kondisi kesehatan. Hingga kini, ia masih melayani, mengantar sendiri komuni suci bagi para lansia, baik di dalam maupun di luar kota. Jumlahnya pun tidak sedikit, terdapat dua putaran dalam hantaran yang totalnya berada di kisaran angka enampuluhan.
  
Meski menyadari sepenuhnya terhadap berbagai hal yang berpengaruh besar pada kesehatan, Pastor Marius bukan insan yang menyangkal kematian. Pernah dalam satu kurun waktu ia bolak-balik melewati jalan yang sama menuju kompleks pekuburan. Aktivitasnya itu disadari oleh seorang umat yang serta merta menanyakan alasannya. Dengan nada berkelakar ia mengungkap alasannya menjalani aktivitas yang tergolong tidak biasa itu dengan harapan ketika kematian menjemput, jiwanya bisa mandiri, berjalan sendiri karena sudah hafal jalan dari pastoran menuju kompleks pekuburan.

Pria yang terlahir pada 1 Agustus 1929 ini pernah mengalami mujizat dalam hidupnya. Dikisahkannya pada wawancara dengan tatapan bersungguh-sungguh pada tahun 2002 ia berada dalam perjalanan dari Pontianak menuju Singkawang. Kala itu di daerah Sungai Limau nasib tak mujur menghampirinya, ia terlibat dalam kecelakaan di jalan raya. Namun suatu hal yang benar-benar dirasanya adalah terdapat tangan seseorang yang memegangnya, menahannya agar tak terlalu kuat menghantam setir maupun dashboard mobil yang dikemudikannya. Saat kecelakaan terjadi ia bersama dengan dua orang lain yang duduk jauh di belakang setir yang dikendalikannya. Suatu kondisi dimana dua orang di belakangnya tidak mungkin melakukan hal yang dirasakannya sebagai ‘pegangan tangan seseorang’. Saat dievakuasi, tim medis yang menanganinya merasa tipis harapan nyawanya dapat diselamatkan mengingat kondisinya yang sangat memprihatinkan. Di luar dugaan, ketika Pastor Marius siuman dan satu hal yang langsung ia ingat saat itu ia harus memimpin misa berbahasa Tionghoa. Dengan kondisi luka dalam yang jika orang awam hanya bisa bertahan selama tiga jam, Pastor Marius merasa menerima sentuhan kekuatan hingga ia dapat bertahan selama delapan jam sebelum akhirnya mendapat perawatan lanjutan. Dalam kondisi itu ia menguatkan diri untuk pulang ke Singkawang. Tim medis di Singkawang hanya menggeleng-geleng takjub menyaksikan betapa mujizat Tuhan bekerja atas diri pastor ini. Usai merasakan kuasa keajaiban pada tahun 2002, Pastor Marius semakin meyakini segala keselamatan yang dialaminya tak lain karena campur tangan Bunda Maria. 

Hal lain yang juga menjadi kisah tersendiri dari diri pastor yang satu ini adalah dalam kurun masa tertentu, beliau pernah menggunakan peti mati sebagai fasilitas tidurnya. Tentunya hal ini menjadi kondisi tak biasa bagi orang kebanyakan yang secara general memandang segala hal yang berkaitan dengan kematian adalah sesuatu yang masih begitu menakutkan. Ya, pastor Marius memang sudah memesan sebuah peti kepada sahabatnya yang berprofesi sebagai pembuat peti demi kepentingannya sendiri di kemudian hari. Serta merta peti pesanannya dititipkan kepada si pembuat karena untuk membawa peti jenazah ke pastoran bukan hal yang mudah. Selain akan memakan banyak tempat, adalah tak lazim meletakkan peti dalam ruangan yang sebenarnya bukan tempatnya. Suatu waktu ketika sang sahabat pembuat peti berpulang ke penciptanya, peti jenazah pesanannya harus dibawanya ke kediamannya, ke pastoran. Ia lantas meletakkan peti pesanannya di dalam kamarnya dan menjadikannya sebagai tempat beristirahat. Ia tidur di dalam peti jenazah. Cukup lama keadaan itu dijalaninya hingga suatu ketika ia tak dapat bertahan lagi karena hawa panas yang menyelimuti ketika ia tidur di dalam peti. Suatu pengalaman jenaka yang tidak disangka terjadi atas dirinya. Meski kini peti itu tetap berada di kamarnya, kondisinya saat ini kokoh berdiri dan telah beralih fungsi menjadi almari. 

Pada akhirnya sekelumit kisah hidup yang terajut menjadi sisi lain bagi kita memandang sang gembala. Selamat berkarya, Pastor. Semoga selalu sehat dan dilindungi dalam setiap langkah. (Hes)      
NB: Bagi umat yang ingin berinteraksi dengan beliau dapat mengunjungi laman
Facebook: Mar Chen (Marius) dan Youtube: mari2chen.                    


16 Mar 2016

SAAT SUARA DARI TIMUR MENYAPA KOTA AMOI

SAAT SUARA DARI TIMUR MENYAPA KOTA AMOI

 


Suatu kegembiraan bagi Kota Singkawang dan khususnya warga paroki St Fransiskus Assisi (PSFA) atas kedatangan para imam dari berbagai keuskupan di Indonesia serta dua uskup dalam perayaaan Ekaristi Minggu, 21 Februari 2016. Bertepatan dengan penutupan perayaan Imlek, rangkaian acara diawali pawai lampion dan puncaknya adalah digelarnya festival Cap Go Meh.  Kaum berjubah yang hadir tak menyiakan kesempatan untuk turut menyaksikan rangkaian aktrasi perayaan Imlek 2016 di Kota Singkawang yang merupakan ritual memikat bagi para wisatawan baik dari lokal maupun mancanegara.

Aset Wisata
 
Misa pada Minggu itu dipimpin oleh dua uskup yaitu Mrg. Agustinus Agus, Pr dari Keuskupan Agung Pontianak dan Mgr. Dominikus Saku, Pr dari Keuskupan Atambua NTT sebagai selebran utama serta didampingi 14 imam sebagai konselebran, memberi warna tersendiri  di dalam gereja saat itu. Perayaan masa Prapaskah  kedua ini, semakin semarak oleh paduan suara dari koor St. Elisabet dengan dominasi lagu berbahasa latin.

Dalam pengantar kotbah yang disampaikan Oleh Mgr. Dominikus, bahwa Kota Singkawang merupakan aset wisata yang sudah dikenal di dunia internasional dalam perayaan Imlek. “Saya sangat senang karena boleh melihat langsung Kota Singkawang dan bisa ikut pawai  lampion bersama warga, berkat Mgr. Agus yang dengan segala kebaikannya memberi waktu saya untuk bertamu di tanah Borneo tercinta ini.” Tepukan tangan meriah dari umat semakin menggema saat itu ketika uskup memberi contoh bagaimana upaya umat Katolik dalam menghayati wajah Allah Yang Maha Rahim dalam segala dinamika hidup di PSFA tercinta ini. 

Usai perayaan ekaristi, uskup agung Pontianak memberi kesempatan kepada para pastor untuk memperkenalkan diri kepada umat sekaligus tujuan kedatangan tamu agung ini ke Kota Seribu Kelenteng. Delegatus imam dari aneka keuskupan ini ternyata ketua-ketua Komisi  Keadilan dan Perdamaian Pastoral Buruh Migran Perantau (KKPPBMP) di Gereja Katolik Indonesia. Merekalah sebagai tempat pelindung bagi keadilan kaum buruh, TKI, TKW hingga mereka yang di hukum mati di penjara pun kaum egaliter putih ini ikut berjuang bertapa mahal harga nyawa seseorang di hadapan sesama di muka bumi ini.

Aneka Kuliner Orisinil
 
Situasi keakraban para tamu berjubah semakin asyik karena mereka berkesempatan menikmati kuliner dari aneka bina ciptaan masakan  kue/kudapan  hasil karya orisinil umat  pelbagai lingkungan yang ada di PSFA Singkawang. 

Uskup dan kaum berjubah (rohaniwan, biarawan dan biarawati) menikmati berbagai sajian makanan dan minuman yang lezat dan bergizi ditambah suguhan hiburan  lagu-lagu rohani dari panitia yang sangat fantatis di siang itu semakin menyemarakkan suasana di depan halaman gereja. Rintik hujan pun seakan lenyap seketika karena suasana istimewa di bulan Februari 2016 ini.

Bapak Leonardus, Ketua Kring St Maria Singkawang, mengungkapkan kegembiraanya karena  keterlibatan umat dalam hidup menggereja sangat nyata bukan hanya seputar kegiatan rohani tetapi juga kegiatan mengadakan stand kuliner dari berbagai lingkungan yang ada. “Saya merasa juga bahwa hari ini umat sungguh menyatu dan bersatu untuk melihat karya nyata Allah dalam melayani dan menjamu tamu kehormatan dan umat yang hadir saat ini mau menikmati sajian kami dengan penuh gembira,” Komentar ketua panitia Open House sekaligus seksi penyambutan tamu agung ini dengan nada syukur.

Apa kata Mereka
 
Romo Koko, Pr  tidak dapat membendung kegembiraanya mengungkapkan, “Sangat senang dengan situasi gereja yang hidup. Umat  di sini sangat aktif dan terlibat penuh bukan hanya di seputar altar tetapi juga di dalam karya yang nyata. Tidak mudah mengajak umat di lingkungan kota  ini lho, untuk mau partisipatif tetapi di sini enak banget rasanya dech,” papar sekretaris eksekutif KKPPBMP yang berdomisili di Kota Jakarta ini  dengan logat Jakarta sembari dibarengi senyum merekah.

Selain itu Romo Pascal, Pr yang berkarya di Paroki Batam Keuskupan Pangkal Pinang inginnya satu bulan di Kota Singkawang. “Heemm, mimpiku terjawab dan rasanya enggan untuk meninggal kota yang eksotis ini.” Ketika disentil apa pendapatnya tentang suasana di gereja  PSFA hari ini, sembari tetap tersenyum beliau berujar,  “Wahh….pokoknya asyik dech, saya baru menemukan ketulusan umat dalam melayani gembalanya dengan heroik dan tulus. Selain itu  saya sendiri  sungguh-sunggu menemukan dan merasakan persaudaraan umat dengan kaum berjubah dan saya pikir ini pengaruh kedekatan Pastor Paroki dengan umat dengan modal humanis tinggi dan melayani dengan murah hati dan senyum yang tulus,” puji putra keturunan Flores yang suka  makanan bubur babi ini dengan mantap. Masih dengan nada bersemangat pastor penyuka penyuka badminton ini menuturkan, “Saya akan men-sharing-kan kepada umat saya di Batam sebagai oleh-oleh indah untuk saya dalam menggembala domba dari berbagai karakter yang saya temukan,” cetus si suara emas sambil menikmati kue di tangannya dengan antusias.

Uskup Dominikus tidak henti-hentinya memuji keramahtamahan umat di Singkawang dan sangat menikmati sajian di berbagi stand yang tersedia. Menurut Ketua KKPPBMP ini bahwa hidup menggereja di Singkawang sudah jauh berubah dari gaya  gereja piramidal menjadi gereja komunio. “Prinsip belarasa tahun kerahiman  Allah sepertinya diawali dari kebersamaan umat untuk bersama mengarungi langkah bersama Allah menuju tahta Allah di surga,” imbuh uskup yang penuh senyum ini sembari berbagi rasa pengalaman hidupnya dengan para pengungsi di perbatasan Timor Leste yang sampai saat ini masih menangani dengan ikhlas umat kegembalaanya di Atambua, NTT.

Bagaimana tanggapan Uskup Agung Pontianak? 
 
Beliau sengat senang sekali karena sudah sekian  kali mengunjungi PSFA selalu menemukan suasana gembira. Ia berharap, “Semoga PSFA sebagai barometer bagi paroki lain di Keuskupan Agung Pontianak dalam menyambut Tahun Kerahiman,” ungkap Bapa Uskup Agung ini penuh ramah.
Pastor Paroki juga tidak ketinggalan untuk mengungkapkan rasa kegembiraanya. Gathot yang  tidak pernah berhenti berkreasi dalam menggembalakan umatnya dengan spontan menyatakan bahwa, “Seturut  wejangan Paus Fransiskus sebagai gembala harus dekat dengan dombanya,” ujar pastor yang seringkali ber-stand up comedy dalam homili guna melayani kebutuhan siraman rohani umat ini. 

Mengakhiri open house yang meriah Bapa Uskup bersama kaum berjubah dan umat sama-sama menari kondan sebagai bentuk kebersamaan dari khas sang gembala dalam menikmati suasana gereja yang selalu gembira. Semoga momen ini menjadi kenangan manis dalam peziarahan hidup di muka bumi ini. *(Bruf)

 

Merayakan Kerukunan dalam Perbedaan

Merayakan Kerukunan dalam Perbedaan

 

Sabtu, 2 Januari 2016. Masih diliputi suasana kebahagiaan Natal dan semangat menyambut tahun baru, Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi ikut serta ambil bagian dalam kegiatan jalan santai yang diadakan oleh Kantor Kementrian Agama dalam rangka merayakan kerukunan umat beragama di Kota Singkawang.   

Memulai start pukul 07.30 WIB dari Kantor Agama di Jalan Alianyang, dengan rute melewati berbagai tempat ibadah di Kota Singkawang yang jaraknya cukup berdekatan satu sama lain dan berakhir di Kantor Agama kembali, sungguh menciptakan atmosfer kebersamaan yang hangat dan akrab. Hal ini tampak dari ekspresi seluruh peserta yang secara spontan langsung membaur dengan umat beragama lain dalam obrolan akrab penuh tawa dan canda.



Kegiatan yang melibatkan masyarakat dari enam agama dan berbagai lapisan usia ini pertama kali diadakan di kota Singkawang. Masyarakat Kota Singkawang kiranya boleh berbangga karena kota dengan julukan Bumi Betuah Gayung Bersambut  ini beberapa waktu yang lalu dinobatkan oleh lembaga riset Setara Institute sebagai penyabet peringkat ketiga kota dengan tingkat toleransi tertinggi di Indonesia setelah Pematang Siantar dan Salatiga. 


Di kesempatan yang sama, Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Singkawang, Drs. H. Jawani Usman mengungkap bahwa jalan santai yang diadakan semata untuk merayakan kerukunan umat beragama di Kota Singkawang. “Kita patut bersyukur kepada  Tuhan. Kegiatan ini dihadiri umat Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik, Konghucu. Dari semua lapisan, baik muda-mudi maupun warga yang hadir berkisar 1500 orang. Dari Kementrian Agama juga menyediakan doorprise sebanyak 167 hadiah. Untuk ke depannya kegiatan ini diharapkan berlanjut dan akan kita tingkatkan lagi dengan melibatkan seluruh stakeholder yang ada di masyarakat. Di kesempatan ini kami juga ingin berterima kasih kepada Kapolres dan Kasatlantas Kota Singkawang yang telah mengamankan dan membantu lancarnya acara ini. Cuaca hari ini juga baik dan cerah, ini juga berkat doa seluruh umat beragama di Kota Singkawang yang tentunya berharap acara pagi ini berlangsung lancar,” pungkasnya. (Hes)

29 Feb 2016

SEJARAH PAROKI SINGKAWANG



SEJARAH PAROKI SINGKAWANG



SITUASI UMUM SINGKAWANG


Singkawang adalah sebuah kota yang terletak di Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Kota ini dikelilingi oleh pegunungan, yaitu gunung Pasi, gunung Poteng dan Sakok. Singkawang adalah sebuah nama yang berasal dari bahasa Cina Hakka atau Khek, San kew jong yang berarti sebuah di antara pegunungan dan kuala/muara dari beberapa sungai di tepi laut.
Sebagai sebuah Paroki, Paroki Singkawang dapat dikatakan terdiri atas dua bagian. Bagian pertama adalah bagian yang masuk dalam wilayah Pemkot Singkawang, kecuali wilayah Kecamatan Singkawang Timur yang merupakan bagian dari wilayah Paroki Nyarumkop. Jadi Bagian kedua ialah bagian yang masuk dalam wilayah Kabupaten Bengkayang, yang meliputi seluruh wilayah Kecamatan Capkala dan Sungai Raya.
Di sebelah utara Paroki Singkawang berbatasan dengan Paroki Pemangkat, di sebelah timur dengan Paroki Nyarumkop, dan di sebelah selatan dengan “Stasi” Mempawah, yang merupakan bagian dari Paroki Sungai Pinyuh.
Letak kota Singkawang di persimpangan jalan raya dari Pontianak (145 km) ke Sambas (75 km) dan jalan raya ke Bengkayang (70 km) dan daerah pedalaman menyebabkan bahwa kota ini dari zaman dulu menjadi pusat perdagangan.
Keadaan jalan dan hubungan lalu lintas baik sekali dan lancar kecuali jalan ke beberapa kampung yang terpencil di pedalaman. Penduduknya terdiri multietnis. Ada tiga etnis besar yang berada di wilayah ini, yaitu: Tionghoa, Dayak dan Melayu. Yang lainnya adalah Jawa, Madura, Batak, dll.
Selain pusat pemerintahan, kota Singkawang juga merupakan pusat perdagangan seluruh Kabupaten. Di luar kota bagian utara dan selatan Kecamatan Sungai Raya terutama di kampung-kampung Melayu terdapat banyak nelayan. Di sebelah timur dan selatan kota Singkawang di kampung-kampung orang Dayak terdapat areal-areal pertanian: persawahan dan perkebunan. Orang Tionghoa terkonsentrasi di pusat kota dengan pekerjaan bisnis dan perdagangan, meski tidak sedikit juga mereka yang bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan.

SEJARAH SINGKAT PAROKI SINGKAWANG

 

Singkawang pada awalnya adalah stasi pertama di Kalimantan bagian Indonesia. Sekarang merupakan sebuah paroki yang cukup besar di wilayah Keuskupan Agung Pontianak. Sejarah bermulanya gereja (misi) di Kalimantan dimulai dari Singkawang.
Pada mulanya Singkawang merupakan daerah turne pastor dari Jakarta. Menurut catatan paroki, tahun 1873 sudah ada umat yang dipermandikan oleh Pastor J. de Vries, SJ. Stasi ini didirikan tahun 1885, dengan Pater Staal SJ. sebagai pastor Paroki pertama. Sesudah Pater de Vries, SJ dan Pater Staal, SJ. di tarik ke Jawa, misi di Kalimantan tanpa pastor ini berlangsung dari tahun 1897 sampai tahun 1905.
Sejak masa itu pimpinan misi Yesuit berusaha mencari ordo lain yang bersedia untuk mengurus misi di Kalimantan. Pada tanggal 11 Februari 1905 Kongregasi Penyebaran Iman di Roma mendirikan Prefektur Apostolik Kalimantan yang meliputi seluruh pulau Kalimantan yang dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan pusatnya Singkawang.
Prefektur baru itu dipercayakan kepada Ordo Kapusin. Kemudian Pimpinan Ordo menugaskan kepada Kapusin-Kapusin Negeri Belanda untuk mengurus misi itu.
Pada tanggal 10 April Pater Pacifikus Bos diangkat sebagai Prefek Apostolik. Pada tanggal 30 November 1905 Pater Prefek Pacifickus bersama tiga pastor dan dua bruder menjejakkan kakinya pertama kali di Singkawang, di mana mereka menemukan sebuah gedung gereja kecil dan sebuah rumah pastor yang sederhana. Mereka belum mengerti apa-apa mengenai bahasa dan kebiasaan setempat.
Mereka disambut hangat oleh umat yang terdiri dari orang-orang Tionghoa perantau (kurang lebih 150 orang Katolik). Seorang katekis, pemimpin umat, bertindak sebagai juru bahasa. Pada akhir tahun 1906 tenaga mereka ditambah dengan empat orang pastor, dua orang bruder dan lima orang suster Fransiskanes dari Konggregasi Veghel.
Suster-suster itu mulai mengasuh anak-anak yatim-piatu, mengobati orang sakit, dan mengunjungi tempat pengasingan bagi penderita penyakit kusta, yang terletak di luar kota Singkawang.
Awal 1907 dua orang pastor ditugaskan untuk membuka stasi di Kalimantan Timur. Dan sejak Oktober 1907 seorang pastor menetap di Pemangkat; ia mendirikan Gereja dan sekolah di tengah-tengah orang Daya di Pelanjau, yang tahun 1916 dipindahkan ke Nyarumkop.
Pada permulaan tahun 1909 stasi Pontianak di buka. Bersamaan dengan itu Pater Prefek memindahkan pusat kegiatan misi dari Singkawang ke Pontianak.
Metode yang dipakai oleh para misionaris baru ini tidak lain dari pada yang di pakai di daerah-daerah misi pada umumnya pada masa itu. Mereka berusaha untuk membangun sekolah-sekolah sebanyak mungkin dengan harapan agar anak-anak itu kemudian dipermandikan. Para Pastor, Bruder dan Suster sendiri mengajar di sekolah karena guru-guru belum ada pada waktu itu.
Anak-anak sekolah sedapat mungkin diasramakan, dan di luar jam sekolah dapat dididik secara Katolik. Kebun-kebun karet dan kelapa di sekitar Singkawang dibelikan, ini sebagai sumber materiil untuk misi. Pada tahun 1918 rumah sakit didirikan berkat bantuan subsidi pemerintah; begitu juga dengan rumah sakit kusta (1925).
Bagi sekolah-sekolah besar di kota misi mendapat tenaga baru dari Bruder-bruder MTB (Maria Tak Bernoda) dari Konggregasi Huijbergen yang sejak tahun 1921 memimpin Hollands Chinese School (HCS) di Singkawang, lalu menyusul di Pontianak 1924.
Pada tahun 1913 yang lalu Bruder Wenceslaus telah mulai mendidik beberapa orang untuk menjadi pembantunya dalam pembangunan (Pertukangan), tahun 1928 sekolah pertukangan di Pontianak didirikan.
Tahun 1937 para suster Klaris Kapusines mulai hidup dengan komtemplatif di bumi Kalimantan dalam sebuah biara yang didirikan di samping gedung gereja di paroki Singkawang. Mereka pada mulanya tidak menerima tugas dari luar tembok biara. Hidupnya dengan doa siang dan malam untuk mohon berkat dan rahmat Tuhan atas Umat Kalimantan.
Sampai disini kita melihat karya misi Katolik di Singkawang meliputi: Gereja, sekolah, asrama dan rumah sakit. Para Pastor sering masuk ke kampung-kampung sekitar yang merupakan bagian wilayah Paroki Singkwang. Sampai sekarang metode kerja itu masih berlaku. Hanya di pihak lain keterlibatan awam makin menonjol. Melalui Dewan Paroki dan pembentukan Kring-kring umat awam semakin banyak melibatkan diri dalam kegiatan Paroki. Stasi-stasi luar kota semakin sering dikunjungi oleh para pastor, yang dibantu oleh guru agama dan petugas pastoral awam lainnya. 

Sumber: www.parokisingkawang.blogspot.co.id

27 Okt 2015

SEPTEMBER CERIA, ‘KELUARGA MELAYANI SETURUT SABDA’

SEPTEMBER CERIA, ‘KELUARGA MELAYANI SETURUT SABDA’

September Ceria. Sengaja mengutip salah satu judul lagu yang sempat populer di era 80-an, di bulan September ini Gereja Katolik se-Indonesia ternyata benar-benar dihampiri  keceriaan yang bersumber dari perayaan Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) 2015. 

Mengangkat tema Keluarga Melayani Seturut Sabda, yang masih merupakan kelanjutan tema BKSN 2014, Keluarga Beribadah dalam Sabda, umat Katolik diajak untuk lebih akrab dengan Kitab Suci melalui berbagai perlombaan yang dirancang  dan digelar oleh panitia dalam kesempatan yang akhirnya digagas sebagai kegiatan tahunan. 

Di Paroki Singkawang sendiri  kegiatan BKSN 2015 resmi dibuka oleh Pastor Stephanus Gathot, OFMCap selaku pastor paroki.  Pada Minggu (6/9/2015) di misa ke dua, pastor yang saat itu menggenakan jubah hijau didampingi oleh putra putri altar dan enam orang dewasa yang masing-masing menggenakan pakaian adat mewakili suku Jawa, Tionghoa, Manggarai, Dayak, dan Batak serta membawa Kitab Suci melakukan perarakan dari halaman gereja menuju altar. Di kesempatan yang sama, Suster Monika dari Kongregasi SFIC telah lebih dulu berada di mimbar untuk membacakan sejarah dan tujuan digelarnya BKSN. Setibanya di depan altar, satu persatu orang dewasa yang mewakili berbagai suku di Indonesia ini membacakan kutipan Injil Yohanes dengan bahasa daerah masing-masing. Bukan tanpa maksud kutipan Injil Yohanes dibacakan dengan menggunakan bahasa daerah masing-masing, melalui cara yang terkesan unik ini, pastor menegaskan bahwa KItab Suci merupakan kitab paling populer karena diterjemahkan dalam berbagai bahasa, namun pada kenyataannya Kitab Suci yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa guna memudahkan pemahaman pembacanya seringkali hanya dijadikan sebagai pajangan, padahal sedianya ayat-ayat dalam Kitab Suci merupakan pedoman penuntun hidup dalam iman. 

Dalam homilinya, pastor menggaribawahi alasan dipilihnya tema yang masih mengetengahkan keluarga sebagai objek utamanya. Berangkat dari keprihatinan Sri Paus terhadap iman umat Gereja Katolik, maka tak dapat dimungkiri keluarga adalah lahan paling penting untuk ‘digarap’. Melalui pendekatan terhadap keluarga yang merupakan ‘gereja mini’, maka diharapkan mampu menghadirkan Allah dalam keluarga hingga militansi iman anak-anak dapat lebih dikokohkan. Di samping itu dua poin penting  lain yang juga menjadi sorotan dalam homili pastor berwajah teduh ini adalah ajakan untuk lebih  peka terhadap ‘suara Allah’ yang dapat ditemukan dalam Kitab Suci, juga himbauan mengenai wujud pelayanan yang tak hanya sekadar berhenti pada ucapan namun lebih pada tindakan nyata dalam melayani sesama. 

Semoga dengan digelarnya BKSN 2015 menjadi salah satu titik tolak tumbuhnya benih-benih iman yang meski awalnya hanya sebesar biji sesawi namun sanggup menghasilkan buah melimpah bagi kerajaan surgawi. (Hes)      


   

10 Sep 2015

MISA SYUKUR UNTUK INDONESIA

MISA SYUKUR UNTUK INDONESIA


Derap langkah kaki yang tegap dan ritmis diperlihatkan oleh 17 siswa-siswi  SMA Santo Ignasius Singkawang.  Mereka dipilih dan didapuk sebagai “paskibra” yang membawa 17 bendera Merah Putih. Angka 17 sengaja dipilih sebagai lambang dari tanggal 17 Agustus. Perarakan mereka memasuki gereja paroki Singkwang mengawali Misa Syukur Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Acara yang dimulai pukul 18.00 sore pada hari Minggu 16 Agustus 2015 itu dihadiri oleh kebanyakan kaum muda. Hujan yang sempat mengguyur kota Singkawang beberapa jam sebelumnya tidak menyurutkan langkah anak muda untuk mengikuti gelaran peringatan kemerdekaan RI kali itu. Sejak awal semangat nasionalis dibangkitkan oleh paduan suara Orang Muda Katolik Singkawang yang mengiringi perarakan 17  Sang Merah Putih dengan lagu Satu Nusa Satu Bangsa dan lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Dengan berdiri tegak umat yang hadir di dalam gereja pun larut dalam suasana penuh khidmat.

Misa syukur HUT Kemerdekaan RI tahun ini memang dikemas secara khusus oleh Orang Muda Katolik sebagai panitianya. Diawali dengan upacara penghormatan kepada bendera Merah Putih dan pembacaan teks Proklamasi, gelaran dilanjutkan dengan misa syukur. Dalam kotbah singkatnya, Pastor Stephanus Gathot mengingatkan bahwa mengisi kemerdekaan tidak hanya sekedar mengikuti upacara bendera.  Mengutip tema nasional “Ayo Kerja”, Pastor Gathot mengajak umat untuk beraksi nyata. Mengisi kemerdekaan Republik Indonesia  adalah  dengan bekerja sesuai dengan tugas panggilan masing-masing. “Semoga dengan bekerja nyata, kita bisa menciptakan kebaikan untuk sesama sehingga kita bisa mengembalikan apa yang menjadi hak kaisar dan apa yang menjadi hak Allah,” pungkas P. Gathot dalam kotbahnya.



Lain dari biasanya, selesai kotbah Misa syukur diselingi dengan pembacaan puisi. Henri Permadi yang diberi kepercayaan, membawakannya dengan penuh ekspresif. Dalam puisinya anak muda yang gemar bermain bulutangkis ini memaparkan fakta adanya kesenjangan yang terjadi di Republik ini. Maka dia mengajak yang kuat untuk membantu yang lemah. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan sehingga sebagai bangsa kita patut berbangga dengan Sang Merah Putih yang senantiasa berkibar.

Untuk mengiringi penerimaan komuni, jiwa patriotis dibangkitkan kembali oleh paduan suara. Kali ini mereka menyanyikan lagu-lagu populer yang bertemakan tentang Indonesia. Lagu Bendera-nya Coklat, Gebyar-Gebyar-nya Gombloh dan Jadilah Legenda-nya Superman Is Dead mengalun semarak memenuhi ruangan gereja. Pembawaan yang ditata dengan apik menyihir umat yang hadir. Tanpa dikomando mereka pun larut dalam suasana dan ikut bernyanyi bersama. Maklum lagu-lagu ini sangat akrab untuk telinga anak muda. Profisiat untuk Orang Muda Katolik yang telah mengekspresikan jiwa mudanya dalam Misa syukur HUT Kemerdekaan RI. Semoga Perayaan Misa syukur ini menjadi motivasi untuk berkarya nyata bagi Indonesia tercinta. (Steph)

3 Sep 2015

INDAHNYA BERBAGI KEBAIKAN

INDAHNYA BERBAGI KEBAIKAN





Singkawang, 16 agustus 2015. Dalam rangka menyambut Hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-70, OMK Santo Fransiskus Asisi Singkawang bekerja sama dengan WK (Wanita Katolik) yang dibantu anggota PMI mengadakan Galang donor darah. Selain bertujuan untuk memperingati HUT Repoblik Indonesia yang ke-70 kegiatan ini juga merupakan wujud kepedulian OMK akan pentingnya berbagi dalam kebaikan. Dengan diselengarakannya kegiatan semacam ini merupakan bentuk kepedulian umat, dalam hal berbagi untuk meringankan beban orang lain karena dengan setetes darah yang disumbangkan adalah bentuk ambil bagian dalam karya penyelamatan Allah bagi saudara kita yang membutuhkan bantuan darah, seperti Yesus meneteskan darah di kayu salib untuk menyelamatkan kita umat manusia.  

Di edisi ini OMK mengangkat tema SETETES DARAHMU MENYELAMATKAN NYAWAKU. Kegiatan ini disambut baik serta mendapat respon positif oleh umat Khatolik. Hal ini dapat dilihat dari semangat dan antusiasme umat untuk mendonorkan darahnya usai perayaan misa ke-2 minggu lalu. Serentak usai perayan misa umat berbondong-bondong menuju posko donor darah, yang bertempat di Gedung Paroki Gereja Santo Fransiskus Assisi Singkawang. 

Canda dan kegembiraan tidak terlewatkan mewarnai kegiatan aksi donor darah kali ini, yang dapat dilihat dari ekspresi gembira yang terpancar melalui mimik wajah pendonor karna niat baik ini memang keluar dari dalam hati mereka masing-masing untuk menyumbangkan darah mereka secara suka rela. Keseruan lainnya juga dapat dilihat dari ramainya antrian pendaftar hingga antrian cek kesehatan yang merupakan sebagai persyaratan sebelum mendonorkan darah. Dengan melakukan pemeriksaan tensi sebelum donor, kita bisa mengetahui kondisi kesehatan sehingga kita bisa menjaga kesehatan secara lebih baik. Adapun manfaat dari donor darah itu sendiri ialah selain menjaga kesehatan jantung, dapat juga untuk meningkatkan produksi sel darah merah dan dapat menurunkan berat tubuh serta mendapatkan kesehatan pisikologi. 

Kegiatan ini merupakan wujud keiklasan dan kepedulian umat untuk saling membantu satu sama lain. Ini merupakan kali kedua OMK Santo Fransiskus Assisi mengadakan kegiatan galang donor darah, namun tidak kalah seru dengan pelaksanaan yang pertama karna dapat dibuktikan dari semangat dan antusiasme umat untuk mendonorkan darahnya. Berikut persyaratan agar seorang dapat mendonorkan darahnya: usia dari 17 sampai 60 tahun, berat badan minimal 45 kilogram, temperatur tubuh 36,6-37,5 derajat Celsius, tekanan darah sistole berkisar 70-100 mm Hg, Hb minimal 12,5 gram, tidak sedang hamil, menyusui, haid, mengidap penyakit hepatitis B&C, HIV AIDS, Sifilis, jumlah penyumbangan darah sekurang-kurangnya 3 bulan kemudian setelah donor. 

Kegiatan semacam ini merupakan agenda tahunan sejak tahun lalu, yang digelar di gedung paroki Santo Fransiskus Assisi Singkawang. Harapan ke depan agar kegiatan ini dapat berjalan maju serta bekerjasama dengan dukungan dari umat yang mau berbagi dalam hal kebaikan. Ujar salah satu panitia pelaksana ketika kami temui di tempat. (Adrian)

23 Agu 2015

MERIAHNYA EKM DI SAGATANI

MERIAHNYA EKM DI SAGATANI   

 
Senja itu Sabtu, 22 Agustus 2015, pukul 17.00, rombongan Orang Muda Katolik (OMK) dari berbagai stasi di Paroki St. Fransiskus Assisi Singkawang, dengan penuh suka cita mengantre panjang mengisi buku tamu yang telah disediakan oleh panita OMK St. Kristoforus Sagatani. Perhelatan digelar mirip pesta pernikahan, dua orang muda berdiri di pintu masuk gereja dengan ramah mempersilakan rekan-rekannya untuk masuk ke Gereja Stasi Santo Kristoforus Sagatani. “Mari teman-teman silakan masuk dan jangan lupa mengisi buku tamunya ya!,” pinta salah satu pemudi yang senyumnya mengundang orang untuk tidak segan berjabatan tangan dengannya. Potret situasi sebelum EKM ini dimulai penerimaan tamu, seolah-olah mengajak kita masuk ke rumah Tuhan dan benar-benar disapa dengan senyum tulus, ikhlas sejati. Belum lagi musik bernuansa khas Dayak mengalun di senja itu, semakin menambah semarak suasana hati segenap umat yang hadir untuk bisa menangkap apa itu EKM bagi umat Katolik Sagatani.

Tibalah saatnya para penari berbaris bersama rombongan Imam di depan Gereja. MC mulai menyapa selamat datang kepada OMK dan sambutan musik Dayak dengan kelompok penari mulai masuk ke gereja mengundang umat untuk menyapa mari bergandeng bersama kami OMK yang sama-sama bergembira untuk memuji dan memuliakan Tuhan dengan cara dan gaya kami orang muda saat ini. Berbagai  piranti komunikasi dalam genggaman tangan pun tak ketinggalan sigap mengabadikan momen EKM perdana di gereja tersebut.

Budaya Pro-Life
 
Pastor Gathot dalam  homilinya menyapa orang muda sesuai tema Nasional dalam HUT kemerdekaan  ke 70  RI  “Ayo kerja” mengajak OMK untuk saatnya kita berjuang dan bekerja tiada henti-hentinya menuju generasi yang sehat baik jasmani maupun rohani dengan revolusi mental secara akariah. “Teman-teman, kita tahu bahwa tantangan yang dahsyat saat ini adalah bagaimana kita bisa bertahan hidup di masa muda ini, dengan tidak terjerumus dalam narkoba,” ujar Pastor Gathot dengan nada lantang.  “Kami para gembala bersama uskup Se-Indonesia, sama-sama berjuang agar kita tetap setia pada ajaran Yesus untuk mempertahankan pro-life/membela kehidupan dan bersama memberantas/menjaga diri dari narkoba dalam hidup kita. Kita sangat berharap melalui EKM ini kita sama-sama merefleksi bahwa teman-teman yang sudah terjerumus di dalam pengaruh narkotika, sebaiknya kita merangkul mereka dan mendekatinya dengan penuh kasih,” tegas Pastor Gathot yang terkenal ramah kepada siapa saja yang berjumpa dengannya.

Situasi EKM di malam Minggu itu, semakin semarak dengan adanya tarian persembahan serta lagu-lagu gaya anak muda yang menyelimuti atmosfer ruang ekspresi iman mereka dalam corak dan gaya EKM dari OMK Santo Kristoforus Sagatani. Tepuk tangan yang meriah dari OMK yang hadir saat itu memberi pujian yang memang pantas ditujukan bagi panitia, baik dari segi persiapan tempat, model liturgi, serta gaya dalam mengemas acara. 

Spiritualitas EKM
 
EKM sampai saat ini masih belum menjadi tempat yang istimewa bagi umat dewasa oleh karena pemahaman EKM masih seputar gaya anak muda. Padahal dalam liturgi EKM tidak pernah berubah sesuai dengan susunan resmi perayaan Ekaristi Gereja Katolik. Perbedaanya hanya terletak pada lagu bertematis dan disesuaikan dengan gaya anak muda, dan peserta yang hadir sebagai umat adalah  orang muda sendiri serta orang tua yang berjiwa dan semangat muda. EKM sebenarnya pintu dan jendela angin segar bagi ruang ekspresi iman orang muda sekaligus salah satu cara menemukan karakter iman sejati orang muda dalam mengikuti Yesus yang bahagia dan enjoy baginya. Maka roh/spiritual EKM adalah enjoy dan happy bersama Yesus dalam hidup orang muda setiap hari.

Yudhistira, pendamping OMK Sagatani dalam ruang terpisah mengungkapkan kepuasannya dalam EKM perdana tersebut. “Kami tidak menyangka semuanya  ini bisa berjalan dengan lancar dan OMK hadir begitu banyak malam ini. Waktu persiapan pun begitu singkat namun kami tetap yakin bahwa apa  yang  kami rancang bersama, Tuhan ikut terlibat di dalamnya dan kami enjoy banget,” ujar guru SMP Pengabdi ini dengan penuh semangat. Ungkapan dari pedamping OMK ini pun mendukung kesan dari ketua OMK sendiri. “Kami sangat bersyukur bahwa EKM perdana ini sebagai pengalaman pertama bagi kami panitia, sekaligus pemula dalam pelaksanaan EKM. Momen ini tidak bakal kami lupakan seumur hidup,” papar Aneng Supriady dengan bangga. “Semoga ke depannya, kami dapat lebih baik lagi dan mantap,” tegas Aneng dengan wajah gembira.

Pendamping OMK Angkat Bicara
 
Setelah EKM selesai para pendamping dari OMK Singkawang, Sijangkung, Pangmilang, Capkala, Sagatani, Sungai Duri dan juga dari Stasi yang jauh, berkumpul untuk membicarakan rencana pertemuan Bulan Kitab Suci di Sanggau Ledo di bulan September 2015, Temu Raya OMK Keuskupan Agung Pontianak di Nyarumkop di bulan November 2015 dan pertemuan akbar OMK Paroki Santo Fransiskus Assisi di bulan Juli 2016 bertempat di Kompleks SMP Santo Tarsisius Singkawang. 

Sementara itu di luar gereja semua yang hadir menikmati santapan malam bersama, sambil diringi musik dari OMK Santo Kristoforus Sagatani. Tampak hadir pula anak-anak Sekolah Minggu ikut meramaikan suasana dengan menyumbang tarian di atas pentas. Suguhan acara malam itu pun semakin memanjakan semua pasang mata yang hadir. Unjuk kebolehan dari berbagai OMK Stasi  di antaranya  vokal grup, pop singer, musik tradisonal maupun tarian-tarian berhasil memukau hati orang muda. Semua yang hadir malam itu seolah merasakan berat beranjak dari tempat duduk karena terhipnoptis oleh kepiawaian OMK dalam membawa acara yang super smart dan keren. 

Bravo OMK Sagatani yang menjadi pioner dan piloting untuk wilayah Singkawang Selatan. “Ciaoo dalam Yesus, Bro.  Next time kita jumpa dalam EKM di stasi berikutnya ya!,” tutup MC dalam perhelatan malam Minggu gembira bersama OMK Sagatani saat itu. Betul-betul fantatis, Man! (Bruf)