Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri gereja baru. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri gereja baru. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan

3 Okt 2017

KATAKESE BULAN OKTOBER: BULAN ROSARIO

KATAKESE BULAN OKTOBER: BULAN ROSARIO


"Berdoalah Rosario setiap hari... Berdoa, berdoalah sesering mungkin dan persembahkanlah silih bagi para pendosa... Akulah Ratu Rosario... Pada akhirnya Hatiku yang Tak Bernoda akan menang."
-Pesan Bunda Maria dalam penampakan kepada anak-anak di Fatima-

“Sebagai doa damai, rosario selalu dan akan selalu menjadi doa keluarga dan doa untuk keluarga. Ada saatnya dulu, bahwa doa ini menjadi doa kesayangan keluarga, dan doa ini yang membawa setiap anggota keluarga menjadi dekat satu sama lain…. Kita perlu kembali kepada kebiasaan doa keluarga bersama berdoa untuk keluarga-keluarga…. Keluarga yang berdoa bersama, akan tetap tinggal bersama. … Para anggota keluarga, dengan mengarahkan pandangan pada Yesus juga akan mempu memandang satu sama lain dengan mata kasih, siap untuk berbagi, untuk saling mendukung, saling mengampuni dan melihat perjanjian kasih mereka diperbaharui oleh Roh Allah sendiri.” (Rosarium Virginis Mariae, 41, Paus Yohanes Paulus II)

BAGIAN VIII: KESAYANGAN DALAM HIDUPKU

BAB 35: ROSARIO

"Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia."(Luk 1:48)

Setiap kali kita berdoa rosario, kita sesungguhnya menggenapi nubuat Bunda Maria tersebut sekurang-kurangnya lima puluh kali. Kita menyebut Santa Perawan Maria "berbahagia," dengan menggunakan kata-kata yang tercatat di dalam Kitab Suci yang mendapatkan ilham ilahi. Kita menyapa Bunda Maria dengan salam malaikat Gabriel, "Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu." (Luk 1:28). Kita memaklumkan karunia-karunia istimewanya dengan menggunakan kata-kata Elizabeth, saudaranya, "Terpujilah engkau di antara wanita, dan terpujilah buah tubuhmu!" (Luk 1:42). Saat kita mendaraskan kata-kata tersebut sangat menyenangkan, karena kata-kata itu kaya akan makna, dan diperkaya oleh cakrawala biblis yang merupakan fokus permenungan kita.

Rosario adalah cara doa meditatif yang sudah teruji oleh zaman. Selama berabad-abad para Paus menganjurkannya, dan para Kudus mendoakannya setiap hari. Doa rosario dicintai oleh para pekerja, anak-anak, dan oleh orang-orang yang sibuk dengan pekerjaannya, dan orang-orang yang genius dalam ilmu pengetahuan. Rosario adalah doa kesayangan ahli biologi termasyur Louis Pasteur.

Dengan berdoa rosario, kita mengulangi sejumlah doa sambil merenungkan peristiwa-peristiwa (misteri-misteri) tertentu dalam kehidupan Yesus dan Maria, dan kita menghitung pengulangan doa kita dengan menggunakan biji-biji yang dirangkai dalam kelompok-kelompok yang masing-masing berjumlah sepuluh biji. Tetapi sama seperti banyak devosi yang lain, rosario adalah suatu bentuk devosi yang memungkinkan adanya variasi. Rosario "Tujuh Kedukaan" misalnya memiliki tujuh kelompok biji-bijian yang masing-masing terdiri atas tujuh biji. Sejumlah orang mengakhiri doa rosario dengan suatu nyanyian bertemakan Maria; sementara orang yang lain mengakhiri rosario dengan mendaraskan Litani Santa Perawan Maria, dan sejumlah orang lain mengakhiri dengan serangkaian doa bagi Bapa Suci. Sejumlah orang bahkan mendaraskan semua devosi Maria. Ada juga variasi etnik terkait doa rosario. Misalnya orang-orang Jerman yang saleh memiliki kebiasaan menyisipkan misteri tertentu dalam setiap doa Salam Maria. Misalnya, saat merenungkan "Maria menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel," mereka berdoa, "terpujilah buah tubuhmu, Yesus...Sabda yang menjelma menjadi manusia." Saat merenungkan "Yesus wafat di salib" mereka biasa berdoa, "terpujilah buah tubuhmu, Yesus....yang mati demi dosa-dosa kita."

Secara resmi, Gereja Katolik mengakui dua puluh peristiwa-peristiwa yang sesuai untuk direnungkan dalam doa rosario. Hendaklah kita mencari dan menemukan semua peristiwa-peristiwa itu dalam Kitab Suci supaya dapat merenungkan dengan lebih banyak manfaat :

Peristiwa Gembira

Maria menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel (Luk 1:26-38) Maria mengunjungi Elisabet, saudarinya (Luk 1:39-45) Yesus dilahirkan di Bethlehem (Luk 2:1-7) Yesus dipersembahkan dalam Bait Allah (Luk 2:22-40) Yesus diketemukan dalam Bait Allah (Luk 2:41-52)

Peristiwa Terang

Yesus dibaptis di Sungai Yordan (Mat 3: 13-17) Yesus menyatakan diri-Nya dalam pesta perkawinan di Kana (Yoh 2:1-12)Yesus memberitakan Kerajaan Allah dan menyerukan pertobatan (Mat 3:2, 4:17-23, Mrk 1:15)Yesus menampakkan kemuliaan-Nya (Mat 17:1-9) Yesus menetapkan ekaristi (Mrk 14:22-23, Luk 22:19-29)

Peristiwa Sedih

Yesus berdoa kepada Bapa-Nya di surga dalam sakratul maut (Luk 22:39-46)Yesus didera (Yoh 19:1) Yesus dimahkotai duri (Yoh 19:2-3) Yesus memanggul salib-Nya ke gunung Kalvari (Luk 23:26-32) Yesus wafat di salib (Luk 23:44-49)

Peristiwa Mulia

Yesus bangkit dari antara orang mati (Luk 24:1-12) Yesus naik ke surga (Luk 24:50-53) Roh Kudus turun atas Para Rasul (Kis 2:1-13) Maria diangkat ke surga (1Kor 15:23; DS 3903) Maria dimahkotai di surga (Why 12:1; DS 3913-3917)

Paus Yohanes Paulus II menganjurkan agar setiap rangkaian peristiwa didaraskan pada hari-hari tertentu dalam tiap pekannya: Peristiwa-persitiwa Gembira: Pada hari Senin dan Sabtu; pada masa Adven dan Natal. Peristiwa-peristiwa Sedih: Pada hari Selasa dan Jumat; pada masa Puasa. Persitiwa-peristiwa Mulia: Pada hari Rabu, Sabtu dan Minggu; pada masa Paskah. Peristiwa-peristiwa Terang: Pada hari Kamis.

Ada juga serangkaian peristiwa yang direnungkan secara tidak resmi yang merupakan hasil dari permenungan berkala tentang kesalehan biblis dan Marianis. Selama bertahun-tahun saya (Scott Hahn, author buku ini-red) telah menyaksikan banyak contoh misalnya: peristiwa Ekaristi, peristiwa penyembuhan dan peristiwa Gereja. Tidak pernah saya menemukan peristiwa yang tidak saya sukai meskipun untuk doa pribadi, saya cenderung menggunakan dua puluh peristiwa-peristiwa dasariah biblis.

Rosario bekerja pada tahap insani sebab doa ini melibatkan seluruh pribadi kita. Rosario melibatkan kata-kata dan pendengaran kita. Rosario menyibukkan pikiran dan merangsang emosi kita. Rosario memberikan pekerjaan kepada ujung jari-jari kita, suatu bagian tubuh kita yang memiliki indera perasa yang sangat peka. Apabila kita mendoakan rosario di depan patung kudus, kita juga memperkuat doa kita dengan indera badani, penglihatan. Inilah cara Tuhan Yesus meneguhkan iman para murid-Nya, "Lihatlah tanganKu dan kakiKu: Aku sendirilah ini; rabalah Aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada padaKu." (Luk 24:39) Tidak cukup bagi kita untuk hanya mendengarkan Dia, juga tidak cukup hanya membaca Sabda-Nya. Kita ingin Dia memenuhi seluruh indera kita dalam doa rosario.

Dan Tuhan melaksanakan dan memenuhi hal tersebut. Terima kasih atas cinta ibunda-Nya. Dalam Kitab Suci, Maria adalah pertama-tama merupakan murid Kristus. Ketika orang-orang bukan Yahudi (Tiga Raja dari Timur) datang dari jauh untuk mencari Yesus yang baru lahir, mereka menemukan, "Seorang bayi bersama Maria, ibu-Nya." (Mat 2:11). Ketika melihat orang lain mengalami kekurangan, Maria memohon kepada Yesus untuk mereka yang kekurangan (Yoh 2:3). Ketika Yesus wafat di salib dan ditinggalkan oleh sahabat-sahabat-Nya, Maria tetap setia menemani Yesus; dan Yesus mempercayakan dan memberikan Maria kepada " murid yang dikasihi-Nya" (yaitu anda dan saya), dengan berkata, "Lihatlah ibumu." (Yoh 19:27). Demikianlah Bunda Maria membantu kita dengan menjadi pengantara yang unik yang dapat ia lakukan. Bunda Maria menolong kita sebagai Ibu Yesus, demikian yang disampaikan oleh seorang saksi mata yang menyaksikan seluruh hidup Yesus. Tetapi Maria juga memberikan pertolongan sebagai Ibu kita, ibu yang diberikan oleh Yesus kepada kita, ibu yang selalu mengasihi kita dengan kasih yang hanya diberikan oleh seorang ibu.

Bersama Bunda Maria, dalam doa rosario kita menyaksikan bersama peristiwa-peristiwa keselamatan kita sebagaimana dinyatakan oleh peristiwa-persitiwa tersebut. Kita membenamkan diri dalam doa rosario dalam suatu pengalaman multiinderawi. Apakah orang akan menjadi jenuh apabila berdoa rosario dan harus berusaha keras untuk menguasai berbagai bagian doa rosario sekaligus: mengucapkan doa, mendasarkan biji rosario, dan merenungkan peristiwa-peristiwa Injl dengan sangat khidmat yang merupakan peristiwa historis yang nyata?

Tidak! Rosario akan bekerja paling baik justru kalau kita berhenti bekerja, kalau kita berhenti memikirkan banyak tugas dan merebahkan diri kita ke dalam pangkuan Bunda Maria, ibu kita seperti yang dilakukan oleh anak-anak ketika mereka bersama-sama dengan ibunya. Cara yang terbaik untuk menjadi santai saat mendaraskan rosario ialah justru dengan mendoakan rosario itu sendiri. Beberapa tahun sebelum terpilih menjadi Paus Benediktus XVI, Kardinal Joseph Ratzinger berkata kepada orang yang mewawancarainya, "pengulangan adalah cara untuk menghanyutkan diri ke dalam irama ketenangan. Yang paling penting bukanlah memusatkan perhatian secara sadar pada makna masing-masing kata, melainkan membiarkan diri hanyut dalam ketenangan pengulangan dan irama yang teratur. Semakin kita mampu berbuat demikian akan semakin baik, sebab teks doa tersebut tidak akan kehilangan maknanya. Rosario membangkitkan gambaran-gambaran dan penglihatan-penglihatan yang agung dan terutama menampilkan figur Bunda Maria dan kemudian lewat Maria menampilkan figur Yesus di hadapan mataku dan jiwaku."

Tidak ada doa yang sia-sia sehubungan dengan pengulangan seperti itu. Berdoa rosario ini sungguh menyenangkan Tuhan yang berkata kepada murid-muridNya, " Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan." (Mat 6:7). Sebaliknya orang-orang Kristiani tidak akan pernah lelah mengulangi doa-doa yang terangkai dalam rosario, yang kalimat di dalamnya merupakan kalimat penggenapan nubuat Bunda Maria.

Tempat yang paling baik untuk berdoa rosario adalah keluarga. Saat Pastor Patrick Peyton berkata, "Keluarga yang berdoa bersama akan tetap bersatu." Sesungguhnya ia sedang berbicara tentang doa rosario. Paus Yohanes Paulus II adalah orang yang tidak kenal lelah menganjurkan doa rosario dalam keluarga. Ia bahkan memberikan gelar "Ratu Keluarga" kepada Santa Perawan Maria, gelar yang ia tambahkan pada akhir Litani Santa Perawan Maria. Semua prakarsa itu tentunya menyenangkan hati Ratu kita. Sesudah Bunda Teresa dari Kalkuta mengalami penglihatan yang mengerikan tentang Kalvari, ia mendengarkan Bunda Maria meneguhkan dia, "Jangan takut. Ajarlah mereka untuk berdoa rosario, rosario keluarga, dan semuanya akan baik."

Memang, rosario keluarga adalah suatu rahmat yang teruji oleh jaman. Tetapi pengalaman rosario adalah suatu hal yang sangat pribadi. Kemampuan umat untuk berdoa tertentu sangat berbeda, sebagaimana kita saling berbeda dalam hal-hal lain. Hal ini berlaku juga untuk para Paus. Paus Yohanes Paulus II dikenal sebagai Paus yang mendaraskan doa rosario setiap hari. Paus Benediktus XVI mengakui bahwa kadang-kadang intensitas renungan atau meditasi selama tiga puluh Salam Maria sangat melelahkan, dan ia harus menghentikan devosi ini.

Tetapi setiap orang akan bisa mengalami doa rosario dengan kondisi seperti itu. Sejumlah dari kita memiliki waktu yang sungguh-sungguh cukup untuk tetap memusatkan perhatian bahkan dengan semua indera kita.

Tetapi kiranya merupakan dosa kesombongan jika meninggalkan doa yang sedemikian sederhana ini karena alasan kita tidak mendoakannya dengan baik. Ketika anak-anak saya masih sangat kecil, mereka sering menghadiahkan kepada saya suatu karya seni yang sesungguhnya tidak lebih daripada coretan-coretan seperti cakar ayam. Tetapi bagi saya, semua itu adalah "karya unggul", dan lebih dari itu: semua itu adalah sakramen kasih. Hidup saya kiranya akan menjadi miskin kalau semua anak saya meninggalkan kebiasaan memberikan hadiah tersebut. Karena pada usia 4 tahun, mereka tidak mampu melukiskan Monalisa.

Bagi Allah dan bagi Santa Perawan Maria, semua usaha kita untuk berdoa sangatlah berharga. Jika kita bertekun dalam doa rosario, kita menjadi "seperti anak-anak kecil" (Mat 18:3), anak-anak Bunda Maria dan juga anak-anak Bapa kita di surga.

Paus Yohanes XXIII, seorang putera Maria yang mirip anak kecil, memberikan nasihat yang baik bagi mereka yang frustasi karena hilangnya konsentrasi mereka saat berdoa dan mendaraskan rosario. Orang seperti itu menyerah, dengan alasan bahwa mereka lebih baik tidak berdoa rosario daripada berdoa dengan tidak baik. Paus Yohanes XXIII menasihati mereka dengan berkata bahwa, "tidak ada rosario yang buruk selain rosario yang tidak didoakan."

"Per Mariam ad Jesum"

Sumber: Scott Hahn: Signs of Life: 40 Kebiasaan Katolik dan Akar Biblisnya, Penerbit Percetakan Dioma, Malang.

Santa Perawan Maria, Ratu Rosario.
Doakanlah kami anak-anakmu.
Amin.

30 Jul 2017

Kobarkan Semangat AYD di Kota Singkawang


Gawe akbar kembali digelar Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi Singkawang. Giat yang digadang akan diselenggarakan dari tanggal 30 Juli hingga 1 Agustus 2017 dan berskala internasional ini membidik kaum muda Katolik sebagai sasarannya. Sebanyak 30 orang tamu dari India, Myanmar dan juga dari region lokal Kalimantan; Ketapang, Sintang, dan Sanggau akan menyambangi kota amoy, tinggal bersama orang tua angkat, dan terlibat dalam berbagai acara yang telah disusun oleh panitia. 


Kedatangan 30 tamu ke kota seribu kelenteng ini dalam rangka Asian Youth Day (AYD). AYD merupakan suatu wadah bekumpulnya Orang Muda Katolik (OMK ) sebenua Asia dan digelar setiap tiga tahun sekali. Sebanyak 3000-an OMK dari 22 negara di Asia akan berkumpul dan mengikuti rangkaian acara yang akan diselenggarakan. AYD bercikal dari ide pembina OMK se-Asia dan disetujui oleh Federasi Konferensi Uskup-uskup se-Asia. AYD sendiri bertujuan untuk menumbuhkan semangat pewartaan kasih di kalangan muda Katolik. Dalam penyelenggaraannya, AYD terdiri dari 3 acara besar yakni Days in the Diocese, Days in AYD' Venue, dan Asian Youth Ministers' Meeting. Days  in the Dioceses diadakan 3-4 hari dimana peserta AYD tinggal (live in) di keuskupan-keuskupan negara tuan rumah, baru setelah itu para peserta live in akan diberangkatkan ke pusat berlangsungnya Days in AYD' Venue. AYD tercatat sudah enam kali digelar di berbagai negara, antara lain Thailand, Tiongkok, India, Hongkong, Filipina, dan Korea. Tahun ini Indonesia didaulat menjadi tuan rumah penyelenggara AYD, dan Keuskupan Agung Semarang yang berpusat di Kota Jogjakarta dipercaya sebagai penyelenggara utamanya. 


Paroki Singkawang merupakan salah satu paroki yang ditunjuk menjadi tempat Days in the Diocese telah mempersiapkan diri jauh-jauh hari untuk menyambut para tamu AYD. Serangkaian acara telah dipersiapkan oleh panitia dari Paroki Singkawang, antara lain city tour dan malam pentas hiburan. Beberapa tempat yang akan disambangi ketika city tour digelar antara lain Rumah Melayu, Masjid Raya, Kelenteng Tri Dharma Bumi Raya, Rumah Marga Tjhia, Vihara Dewi Kwan Im Kiung, GKKB, Tugu Naga, Rumah Radakng, Pantai Tanjung Bajau, dan Rumah Sakit Kusta Alverno. Bukan tanpa maksud tempat-tempat itu dipilih sebagai tujuan city tour. Panitia menilai tempat-tempat tersebut sangat mewakili kebhinekaan dan keindahan Kota Singkawang yang selama ini dikenal sangat toleran  bahkan berhasil menyabet peringkat ketiga kota paling toleran se-Indonesia. Di samping itu terdapat pula sebuah rumah sakit yang juga akan disambangi yaitu Rumah Sakit Kusta Alverno. Rumah sakit yang pada tahun ini genap berusia seabad itu menjadi destinasi juga bukan tanpa sebab, hal ini mengingat bahwa di regional Kalimantan, Alverno merupakan satu-satunya rumah sakit yang khusus menangani pasien kusta.


Ditemui di sela-sela aktivitasnya Pastor Paroki Singkawang, Stephanus Gathot Purtomo, OFM.Cap., menyampaikan kegembiraannya. Dengan sumringah beliau menyatakan bahwa Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi Singkawang dengan penuh suka cita menyambut kehadiran para peserta AYD. "Kehadiran Anda sungguh merupakan rahmat dari Tuhan bagi kami. Selamat datang dan selamat menikmati live in di paroki kami, Singkawang kota seribu kelenteng," ujarnya.
Drs. Titus Pramana, M.Pd., selaku koordinator seksi acara juga menyatakan hal serupa. Beliau berharap banyak hal positif dapat dipetik dari kegiatan yang sedianya akan berlangsung selama tiga hari ke depan, "Saya berharap seluruh kegiatan yang dikemas dapat berjalan lancar dan menjadi suatu kenangan tidak terlupakan tentang Kota Singkawang yang indah dan toleran bagi tamu lokal maupun mancanegara yang akan hadir. Di samping itu saya juga mengundang orang muda Katolik untuk hadir dan menyaksikan pagelaran pentas seni pada malam tanggal 31 Juli 2017 di halaman Gereja Katolik Santo Fransiskus Asissi Singkawang," pungkasnya. (Hes)





9 Jun 2017

Dengan Iman Kristiani, Cermat dalam Mengolah Isu Sara

Dengan Iman Kristiani, Cermat dalam Mengolah Isu Sara


Palu hakim telah diketuk dengan vonis 2 tahun penjara untuk Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Namun drama itu belum berakhir. Di berbagai kota di Indonesia muncul aksi lanjutan sebagai bentuk ekspresi masyarakat terhadap putusan atas Ahok. Kekhawatiran munculnya efek domino negatif di berbagai daerah seperti bom waktu yang siap meledak kapan pun. Akar rumput yang tidak kasat mata sudah mulai menimbulkan riak dan benih-benih konflik yang tidak bisa dianggap sepele. Apalagi dengan mudahnya akses media sosial dan informasi rawan untuk dijadikan alat provokasi. Tidak terkecuali di Kota Singkawang.

Lalu bagaimana pandangan Kristiani akan hal ini? Tanpa kita sadari ternyata kasus Ahok yang keberadaannya ribuan kilometer dari sini secara perlahan namun pasti mengangkat sentimen kita. Membuat kita ingin berpendapat dan tanpa disadari kita melakukannya. Bahkan kita mengadopsinya dalam lingkungan gereja. Apa yang dirasakan oleh Ahok seperti mewakili perasaan umat Kristiani di Indonesia. Dianggap kafir, minoritas dan menistakan agama yang notabene mayoritas. Tuduhan berlabel Suku Agama Ras dan Antorgolongan (SARA) disematkan padanya. Lalu perlukah dukungan gereja dan umat Kristen terhadap Ahok? 

Ketika kata ‘kafir’ yang memang ada di dalam kitab suci agama Islam diangkat di ranah publik kemudian diucapkan berkali-kali dan terus menerus, tentu saja melukai perasaan umat dengan agama yang berbeda. Begitu pula dengan kata ‘minoritas’ dan ‘mayoritas’. Saya sendiri merasa tidak ada kata ‘minoritas’ dan ‘mayoritas’ di negara ini. Sebab sejak dahulu sampai sekarang negara Indonesia terbentuk karena keberagaman, bukan karena ‘siapa yang lebih banyak’. Setiap orang dilindungi hak-hak hidup dan berpolitiknya. 

Semua orang mungkin tahu kalau Pilkada DKI telah dieksploitasi menjadi isu SARA demi keuntungan segelintir orang. Berdampak pada Gerakan Bela Islam hingga berjilid-jilid meminta Ahok dihukum. Lalu muncul pertanyaan perlukah ada dukungan khusus  buat Ahok sebagai penyeimbang Gerakan Bela Islam tersebut dari umat Kristiani?

Menurut saya, Gereja tidak perlu terpancing dalam polarisasi dukung mendukung. Tidak perlu melakukan aksi dan mengeluarkan pernyataan yang justru akan memunculkan masalah baru dan berakibat pada perpecahan di Singkawang. Mungkin kita perlu membuka lagi Tri Kerukunan Umat Beragama yang telah lama terlupakan dan menghayatinya kembali.

Sentimen-sentimen balasan akan aksi lilin yang marak diberbagai kota mulai sedikit terasa. Tentu saja pada akhirnya sayup terdengar kalimat minor yang dapat berubah menjadi pemicu aksi provokasi. Saat ini bangsa kita seperti sedang dirongrong menjelang seabad berdirinya Negeri Rayuan Pulau Kelapa. Terorisme dan aksi separatis tidak ada habisnya, korupsi merajarela dan narkoba menyebabkan kondisi negara darurat. Kenapa tidak berbuat sesuatu yang lebih bermanfaat untuk semua daripada hanya mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan. Kalau kita ingat bagaimana negeri kita didirikan dengan darah nenek moyang kita sendiri, lalu apa harus kita hancurkan dengan perang saudara yang juga meneteskan darah kita dan keturunan kita? 

Seharusnya kita sudahi segala aksi tolak menolak dan dukung mendukung dengan kekerasan. Kita dapat menyelesaikan semuanya dengan musyawarah. Saling mendinginkan satu dengan yang lain. Palu telah diketuk, putusan telah dibacakan dan lilin-lilin sebagai gambaran ekspresi telah dinyalakan. Saatnya bersih-bersih dan kembali jaga keutuhan dan keberagaman.    

Gereja memandang bahwa bisa saja sikap dukung mendukung akan mudah dipolitisasi pihak lain dengan kekuatan media sosial lalu dibelokkan sesuai kepentingan kelompok tertentu yang tidak ingin Indonesia maju. Gereja harus lebih tenang, objektif, dan perbanyak jaringan dengan kelompok agama lain dan komunitas lain yang memiliki visi misi sama dalam menguatkan keutuhan NKRI.

Kita bisa memulainya dari diri kita sendiri. Tidak menjadi kelompok atau pribadi eksklusif yang tertutup dengan orang lain yang berbeda, tapi jadilah inklusif dan membangun jejaring sebanyak mungkin. Umat Kristen tidak perlu ikut-ikutan ke jalan, cukuplah kita berdoa. Kalau berdoa masuklah dalam kamar. Sejenak kita perlu diam dan hening supaya dapat menemukan yang sejati, pokok, inti dalam hidup dengan kepedulian dan kesederhanaan.

Menilik ke belakang, dalam beberapa kasus Gereja sering terbawa arus, terbawa isu SARA. Sebab itu Gereja sebaiknya tidak menghangatkan isu SARA, apalagi ikut merespon atau membalas media sosial yang tujuannya tidak baik dan melakukan aksi-aksi yang provokatif. Sebagai umat Gereja yang diajarkan untuk mengasihi dan mengampuni sesama, penting bagi kita menjaga netralitas ke-nabi-an Gereja bagi perkembangan demokrasi nasional. 

Semoga dengan netralitas Gereja kita tidak perlu masuk dalam ranah politik praktis dan mencampurnya dengan kehidupan gerejawi. Mari bersama kita jaga keutuhan dan kesatuan NKRI dengan kebhinekaan yang menjadi ciri khas kita dan toleransi antar umat beragama dalam iman Kristiani. (Sabar Panggabean)

7 Jun 2017

Baju Baru Nayla

Baju Baru Nayla

“Nayla....!” panggil ibu dari dapur, bergegas ia keluar dari kamarnya menuju dapur. ”Belikan ibu garam di warung ya, itu uangnya” ucap ibu. Nayla segera mengambil uang itu lalu pergi ke warung. Setelah membeli garam ia berjalan sangat lambat sambil memikirkan percakapannya dengan teman-temannya tadi di sekolah. Semua temannya sudah membeli baju baru untuk hari raya Paskah sedangkan dia masih belum memilikinya. Ia tahu bahwa ibunya sedang sibuk sekali karena pada hari Paskah ini semua keluarga besar akan berkumpul di rumahnya.

Sesampainya di rumah Nayla langsung menuju ke dapur, sambil meletakkan garam di meja Nayla pun bertanya “Bu... aku mau beli baju baru. Teman-temanku saja sudah membeli baju baru,” sambil melihat Nayla ibu berkata ”Nay, maaf ibu belum sempat setiap pagi ibu harus merapikan rumah, kamu tahukan nanti keluarga besar kita akan berkumpul di sini, jadi tunda dulu ya beli bajunya,” ucap ibu Nayla. 

Nayla pun kembali ke kamarnya, jam sudah menunjukkan pukul 1 siang tapi masih saja Nayla memikirkan baju barunya, perkataan teman-temannya masih saja bergema di kepala Nayla. Tiba-tiba telepon rumah berdering, kring...kring... segeralah Nayla beranjak dari kamarnya menuju telepon rumah yang berada di ruang keluarga. Segera Nayla mengangkat telepon itu. 

“Selamat siang” ucap si penelpon dengan ramah. Nayla pun menjawab “Selamat siang ini siapa ya?” 

”Ini Ibu Rika, ibu guru Sekolah Minggu” ucap si penelpon lagi, 

“Ooo... Ibu Rika mau bicara dengan siapa, Bu” ucap Nayla ramah. 

Maka si penelpon menjawab ”Saya mau bicara sama nak Nayla” 

”Iya ini saya sendiri, ada apa, Bu ada yang bisa saya bantu?” 

Maka si penelpon pun menjelaskan maksud menelpon Nayla. 

”Begini nak Nayla ibu perlu bantuan mu. Untuk menjadi MC di acara Paskah anak-anak nanti, maukah Nayla membantu Ibu?”

”Tentu, Bu, kapan latihannya?” tanya Nayla lagi. 

Bu Rika menjawab ”sore ini nak pukul 15.00 di gereja ya. Nanti kamu akan menjadi MC bersama Tata”

”Ooo....siap, Bu”, ucap Nayla mantap. 

”Baiklah, Nak itu saja yang ingin ibu sampaikan. Sudah dulu ya. Sampai bertemu di gereja.” 

“Iya, Bu” ucap Nayla mengakhiri telepon.

Nayla seakan-akan lupa tentang baju baru. Sekarang sudah menunjukan pukul 14.00, aku harus siap-siap ujar Nayla dalam hati. Dia segera berganti pakaian lalu menyiapkan bekal minum yang akan dia bawa. Setelah itu dia langsung menuju ke dapur tempat di mana ibu dari tadi  sibuk mengiris sayur dan daging. Nayla pun berkata,

”Bu... tadi, Bu Rika telepon, beliau meminta bantuanku untuk menjadi mc di acara paskah anak-anak nanti. Antar aku latihan ya Bu, di Gereja” ujar Nayla. Ibu pun menjawab ”Nay..., bukan ibu tak mau mengantarmu tapi lihatlah ibu masih harus berkemas-kemas, jadi kamu naik sepeda aja ya, kan dekat” ujar ibu menjawab. Nayla pun berkata ”Ya, sudah kalau begitu Nayla pamit, ya Bu” sambil menyalami ibu. Nayla pun segera berangkat ke gereja dengan mengayuh sepedanya.

Sesampainya di gereja dia langsung di sambut oleh Bu Rika dan juga Suster pembimbing Sekolah Minggu, serta teman-teman Sekolah Minggu yang lain. Mereka tidak membuang waktu. Mereka langsung latihan. Waktu terus berjalan, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 maka berakhirlah latihan menjadi mc untuk hari ini. Tata teman sekolah minggu Nayla memperlihatkan baju barunya lewat foto yang ada di smartphone-nya dengan bangga.  Tata pun dijemput maka sekarang Nayla lah yang harus pulang. Tapi ternyata ia masih duduk melamun di bawah pohon rindang di halaman gereja. Pastor yang bingung melihat tingkah Nayla yang tak seperti biasa pun menyapa Nayla 

”Selamat sore Nayla, kenapa kok murung gak kayak biasanya?” ucap pastor dengan ramah. 

Nayla yang baru menyadari bahwa sedari tadi ada pastor yang menyapanya pun terkejut 

”Eeeh pastor...maaf, tapi Nayla gk ada mikir apa-apa kok” ucap Nayla menyangkal 

”Ayo jangan bohong keliatan tahu kalau anak Tuhan sedang bohong. Ayo cerita, siapa tau pastor bisa membantu” ucap pastor sambil bercanda dan mencairkan suasana.

Nayla pun menjawab 

”Begini Pastor, sebentar lagikan hari raya Paskah, apalagi besok sudah memasuki Tri Hari Suci, tapi Nayla belum membeli baju baru sedangkan teman-teman saja sudah pada beli. Mama sedang sibuk beres-beres rumah sedangkan papa sibuk bekerja, yah bagaimana dengan baju baruku?” ucap Nayla sambil menghela napas panjang. 

Sekarang pastor mengerti kenapa Nayla murung. Maka pastor pun berkata,
”Tidak semua orang bisa bahagia seperti Nayla mereka tidak mungkin punya baju baru, bahkan untuk makan sehari-hari pun susah. Tapi lihatlah mereka bahkan bisa tertawa bahagia, karna apa? karna mereka tahu Tuhan selalu mendampingi mereka dalam keadaan apapun dan bagaimanapun. Tuhan rela mengorbankan nyawanya untuk menebus semua dosa manusia. Jadi syukurilah apa yang sudah kamu miliki Nayla” ucap pastor dengan lembut.

Segera Nayla berpamitan dengan pastor lalu pulang kerumahnya ia merasakan bahwa dia sudah benar-benar puas akan apa yang sudah dia miliki. Sesampainya di rumah Nayla langsung mandi dan belajar di kamar, tiba-tiba ibu mengetuk pintu kamar Nayla. 

”Ya” ucap Nayla.  

”Boleh ibu masuk, Nak?”

”Tentu, Bu” Nayla menjawab 

“Nak maaf ya ibu belum sempat membelikanmu baju baru, ibu sangat sibuk jadi susah cari waktu untuk belanja,” ucap ibu mengawali pembicaraan 

”Tak mengapa, Bu, bukan baju baru yang penting untuk menyambut hari Paskah tapi hati yang penuh suka cita karena Tuhan Yesus bangkit di antara orang-orang yang mati untuk menyelamatkan kita semua” ucap Nayla mantap. 

Ibu sangat bangga mendengar jawaban Nayla, ibu pun memeluk Nayla dengan bahagia.

By. Georgia Laura Viwanda.

4 Jun 2017

Pelantikan Pengurus PWK Santa Monika Singkawang Periode 2017-2020

Pelantikan Pengurus PWK Santa Monika Singkawang Periode 2017-2020



Minggu, 2 April 2017. Misa di Gereja Katolik St Fransiskus Assisi Singkawang digelar seperti biasa, dua kali, misa pertama pada pukul 6 dan misa ke dua pukul 8. Namun ada yang berbeda pada misa ke dua. Dalam prosesi misa diselipkan pelantikan para pengurus baru Warakawuri Santa Monica yang berdiri sejak 2014. 

Pergantian kepengurusan kali ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan para penggagasnya pada awal terbentuk perkumpulan single parent region Singkawang yang dapat dikatakan mengabdikan paruh waktunya bagi pelayanan terhadap gereja. Berikut adalah jajaran pengurusnya yang baru: 

Ketua: Emiliana Karsiyah
Wakil ketua: Agustina Swarni
Sekretaris: Marsiana
Bendahara: Veronika Agustina
Seksi Kerohanian: Suryati
Seksi sosial: Maria Yohana
Akomodasi: Yuliana Fan
Moderator: Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFM.Cap.
Pendamping: Bruder Gregorius Petrus Boedi Sapto Noegrogo, MTB.
Penasihat: Teresia Istiarti

Pergantian dan pelantikan kepengurusan ini dilakukan dan dipimpin oleh Herkulana Louis Blaise, S.H., selaku Ketua PWK Katolik Santa Monika Keuskupan Agung Pontianak. Dalam rangkaian acara pelantikan ini para pengurus mengucapkan janji untuk bersedia mengambil bagian berkarya dalam rumah Tuhan di bawah payung PWK Santa Monika, usai janji diucapkan dan seluruh berkas ditandatangan, maka segenap pengurus diberkati oleh pastor paroki Singkawang. 

Ditemui usai misa dalam acara ramah tamah, wanita cantik paruh baya Ketua PWK Keuskupan Agung Pontianak ini  mengapresiasi jalannya pelantikan yang berlangsung lancar. Beliau juga menuturkan harapannya berkenaan dengan para pengurus PWK Singkawang yang baru, “Semoga kepengurusan yang baru ini dapat melayani umat terutama sesama anggota Santa Monika di wilayah Kota Singkawang sendiri dan mengedepankan pelayanan untuk gereja,” pungkasnya.

Senada dengan pernyataan Ketua PWK Keuskupan Agung Pontianak, ketua PWK Singkawang yang baru dilantik pun menggarisbawahi hal serupa, “Program kerja kami sederhana, tidak muluk-muluk, yang terpenting doa, rekoleksi, dan berbuat apa yang kami sanggup lakukan yang terbaik untuk gereja, melayani dengan membantu kegiatan-kegiatan sosial yang bersentuhan langsung dengan gereja.”   

Adapun pergantian kepengurusan ini menjabat hingga tiga tahun ke depan yakni periode 2017-2020. Akhirnya selamat bekerja dan berkarya bagi pengurus PWK Santa Monika Singkawang yang baru. Berkat Tuhan selalu menyertai. (Hes)

 

31 Mei 2017

SEJARAH BULAN MEI DAN OKTOBER SEBAGAI BULAN MARIA

SEJARAH BULAN MEI DAN OKTOBER SEBAGAI BULAN MARIA

Bulan Mei

Secara tradisi, Gereja Katolik mendedikasikan bulan- bulan tertentu untuk devosi tertentu. Bulan Mei yang sering dikaitkan dengan permulaan kehidupan, karena pada bulan Mei di negara- negara empat musim mengalami musim semi atau musim kembang. Maka bulan ini dihubungkan dengan Bunda Maria, yang menjadi Hawa yang Baru. Hawa sendiri artinya adalah ibu dari semua yang hidup, “mother of all the living” (Kej 3:20). Devosi mengkhususkan bulan Mei sebagai bulan Maria diperkenalkan sejak akhir abad ke 13. Namun praktek ini baru menjadi populer di kalangan para Jesuit di Roma pada sekitar tahun 1700-an, dan baru kemudian menyebar ke seluruh Gereja.
Pada tahun 1809, Paus Pius VII ditangkap oleh para serdadu Napoleon, dan dipenjara. Di dalam penjara, Paus memohon dukungan doa Bunda Maria, agar ia dapat dibebaskan dari penjara. Paus berjanji bahwa jika ia dibebaskan, maka ia akan mendedikasikan perayaan untuk menghormati Bunda Maria. Lima tahun kemudian, pada tanggal 24 Mei, Bapa Paus dibebaskan, dan ia dapat kembali ke Roma. Tahun berikutnya ia mengumumkan hari perayaan Bunda Maria, Penolong umat Kristen. Demikianlah devosi kepada Bunda Maria semakin dikenal, dan ketika Paus Pius IX mengumumkan dogma “Immaculate Conception/ Bunda Maria yang dikandung tidak bernoda” pada tahun 1854, devosi bulan Mei sebagai bulan Maria telah dikenal oleh Gereja universal.
Paus Paulus VI dalam surat ensikliknya, the Month of Mary mengatakan, “Bulan Mei adalah bulan di mana devosi umat beriman didedikasikan kepada Bunda Maria yang terberkati,” dan bulan Mei adalah kesempatan untuk “penghormatan iman dan kasih yang diberikan oleh umat Katolik di setiap bagian dunia kepada Sang Ratu Surga. Sepanjang bulan ini, umat Kristen, baik di gereja maupun secara pribadi di rumah, mempersembahkan penghormatan dan doa dengan penuh kasih kepada Maria dari hati mereka. Pada bulan ini, rahmat Tuhan turun atas kita … dalam kelimpahan.” (Paus Paulus VI, the Month of May, 1)

Bulan Oktober

Sedangkan penentuan bulan Oktober sebagai bulan Rosario, berkaitan dengan peristiwa yang terjadi 3 abad sebelumnya, yaitu ketika terjadi pertempuran di Lepanto pada tahun 1571, di mana negara- negara Eropa diserang oleh kerajaan Ottoman yang menyerang agama Kristen. Terdapat ancaman genting saat itu, bahwa agama Kristen akan terancam punah di Eropa. Jumlah pasukan Turki telah melampaui pasukan Kristen di Spanyol, Genoa dan Venesia. Menghadapi ancaman ini, Don Juan (John) dari Austria, komandan armada Katolik, berdoa rosario memohon pertolongan Bunda Maria. Demikian juga, umat Katolik di seluruh Eropa berdoa rosario untuk memohon bantuan Bunda Maria di dalam keadaan yang mendesak ini. Pada tanggal 7 Oktober 1571, Paus Pius V bersama- sama dengan banyak umat beriman berdoa rosario di basilika Santa Maria Maggiore. Sejak subuh sampai petang, doa rosario tidak berhenti didaraskan di Roma untuk mendoakan pertempuran di Lepanto (teluk Korintus). Dalam pertempuran ini pada awalnya tentara Kristen sempat kalah. Tetapi kemudian mereka berhasil membalikkan keadaan hingga akhirnya berhasil‎ menang.. Walaupun nampaknya mustahil, namun pada akhirnya pasukan Katolik menang pada tanggal 7 Oktober. Kemenangan ini memiliki arti penting karena sejak kekalahan Turki di Lepanto, pasukan Turki tidak melanjutkan usaha menguasai Eropa. Kemudian, Paus Pius V menetapkan peringatan Rosario dalam Misa di Vatikan setiap tanggal 7 Oktober. Kemudian penerusnya, Paus Gregorius XIII, menetapkan tanggal 7 Oktober itu sebagai Hari Raya Rosario Suci.
Demikianlah sekilas mengenai mengapa bulan Mei dan Oktober dikhususkan sebagai bulan Maria. Bunda Maria memang terbukti telah menyertai Gereja dan mendoakan kita semua, para murid Kristus, yang telah diberikan oleh Tuhan Yesus menjadi anak- anaknya (lih. Yoh 19:26-27). Bunda Maria turut mengambil bagian dalam karya keselamatan Kristus Putera-Nya, dan bekerjasama dengan-Nya untuk melindungi Gereja-Nya sampai akhir jaman.
Amanat dari Peristiwa Lepanto Battle
Bunda Maria, "terbukti" telah menyertai Gereja dan umat beriman melalui doa Sang Bunda kepada Tuhan Yesus untuk menyertai kita yang berziarah di dunia ini. Tuhan Yesus Kristus telah menyerahkan Bunda Maria, ibuNya yang amat terberkati kepada Santo Yohanes, dan Santo Yohanes menjadi "anak" Sang Bunda (Yoh 19 : 26 - 27 , Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: "Ibu, inilah, anakmu !" Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: "Inilah ibumu!" Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya.). Tentu pesan Tuhan Yesus ini, yang memberikan ibuNya kepada Santo Yohanes, tidak terbatas kepada Santo Yohanes, tentu juga Tuhan Yesus menyerahkan ibuNya bagi kita semua, untuk mendampingi, menyertai, dan mendoakan kita. Bunda Maria memainkan peranan penting sebagai "agen" karya keselamatan Yesus Kristus.
Sumber: www.katolisitas.org




3 Mar 2017

Pengalaman Natalku di Stasi Aris

Pengalaman Natalku di  Stasi Aris


Hujan lebat yang mengguyur tepat di hari natal membuat nyaliku menjadi ciut. Spontan pikiranku segera melayang ke peristiwa dua bulan sebelumnya. Waktu itu turne-ku ke Stasi Aris terpaksa harus dibatalkan gara-gara hujan yang juga sangat lebat. Aris adalah nama stasi yang paling jauh dari pusat Paroki Singkawang. Selain jauh stasi ini juga mempunyai “nilai plus” karena medan jalannya yang sangat menantang. Penimbunan jalan ke Aris dengan tanah kuning belum rampung dikerjakan. Bisa dibayangkan usai diguyur hujan, medan jalan akan berubah bak arena balapan sepeda motor: penuh lumpur, licin, dan  pasti tidak bisa dilalui oleh sepeda motor biasa. Itulah yang membuatku merasa gundah.

Pagi itu, di hari natal kedua kegundahanku makin menjadi-jadi. Sang matahari yang kuharapkan bersinar cerah ternyata malah malu-malu menampakkan dirinya. Dia justru bersembunyi di balik peraduannya. Sebaliknya mendung hitam menggelanyut di langit. Aku sudah siap dengan ransel turne-ku yang selama ini selalu setia menemaniku. Namun ada rasa enggan untuk segera beranjak. Tidak seperti biasanya, kali ini terselip rasa cemas. Doa dengan nada kecewa kusampaikan kepada-Nya, “Tuhan, cobalah tadi malam tidak hujan. Kan hari ini aku harus ke Aris. Bisa-bisa aku batal lagi merayakan hari kelahiran-Mu”. Sepenggal doa itulah yang kupanjatkan sebelum akhirnya kupacu juga sepeda motorku menuju Aris.

Apa yang kubayangkan sebelumnya kini hampir menjadi kenyataan. Di hadapanku terbentang begitu panjang hamparan lumpur tanah kuning. Di beberapa tempat malah tanah itu masih dibiarkan teronggok dan belum diratakan sehingga menghalangi jalan. Aku pun langsung lemas.  Di hampir semua ruas jalan kulihat kubangan-kubangan air yang berwarna coklat. Kuperhatikan baik-baik siapa tahu ada bekas ban sepeda motor. Tetapi tak kutemukan. Berarti tidak ada sepeda motor yang melintas di jalan itu. Nyaliku semakin ciut. Kupaksakan melintasi genangan pertama. Astaga, rupanya kedalaman mencapai 20 centimeter. Kedua ban sepeda motorku terbenam dan tidak bergerak sama sekali. Terpaksa aku turun untuk mengangkat sepeda motorku keluar dari lumpur. Kucari jalan alternatif  yang lain. Tetapi nasibnya tak lebih baik. Sepeda motorku pun kembali amblas. Kali ini malah lebih dalam lagi. Akhirnya aku menyerah. Muncul keraguan dalam hatiku: apakah mau lanjut atau putar haluan, alias pulang. Kalau lanjut aku harus berjalan kaki. Perlu waktu lumayan lama. Belum lagi sepeda motor harus kutinggalkan di tengah jalan yang masih agak hutan. Bukan tidak mungkin, nanti bisa hilang. Tetapi kalau aku pulang, umat di Aris pasti kecewa karena mereka sudah menunggu kedatanganku. Apalagi sempat kujanjikan untuk menerimakan sakramen permandian di hari natal kedua. Perang batin yang cukup menyita perhatianku sampai akhirnya kuputuskan untuk tetap lanjut ke Aris.

Di sepanjang jalan aku harus melompat ke sana kemari untuk menghindari beberapa genangan air. Tak seorang manusia pun kujumpai pada turne-ku kali ini. Mungkin mereka sedang merayakan natal. Atau barangkali memang tahu bahwa jalan ini tak bisa dilalui. Peluh yang meleleh di wajahku tak kuhiraukan lagi. Tujuanku cuma satu: segera sampai ke Aris untuk merayakan natal bersama umat. Setelah itu segera pulang dan menemukan sepeda motorku masih dalam keadaan utuh. Maklumlah sepeda motor itu milik keuskupan yang boleh aku pakai.

Setelah 30 menit berjalan melintasi area berlumpur, akhirnya aku tiba di jalan yang sudah selesai dikerjakan. Perjalanan terasa lebih nyaman karena tidak perlu menghindari lumpur. Entah darimana asalnya, tiba-tiba saja kudengar bunyi sepeda motor dari arah belakangku. Aku segera menepi dan memberi jalan kepadanya.  Tetapi sepeda motor itu malah berhenti tepat di sampingku. 

“Ayo, Pastor, biar aku antar saja”, kata sang pengendara sepeda motor kepadaku.

“Wah terima kasih banyak,” jawabku. Tanpa menunggu tawaran dua kali, aku pun segera naik di belakangnya.

“Inilah, Pastor, kondisi jalan di daerah kami. Katanya sudah merdeka sekian puluh tahun, tetapi jalan masih rusak. Parahnya lagi istrik pun belum masuk ke kampung kami. Pokoknya susahlah hidup di daerah seperti ini, Pastor”. Begitulah “tukang ojekku” menumpahkan keluh kesahnya. Aku sendiri hanya mengamininya sambil menata nafasku yang terengah-engah. Maklumlah aku sudah jarang lagi berjalan kaki sejauh itu.

“Pak, aku turun di sini saja ya. Aris kan gak jauh lagi,” kataku kepadanya begitu kami tiba di sebuah tanjakan yang cukup tinggi.

“Jangan Pastor. Saya bisa antar sampai ke Aris bah”, katanya sambil membujukku.

“Gak usah, Pak. Terimakasih banyak. Sampai di sini saja,” jawabku sambil turun dari sepeda motornya. Dengan agak berat hati bapak itu pun akhrinya membolehkan aku turun dan melanjutkan perjalananku ke Aris. Sejatinya bukan karena sudah dekat, tetapi karena tanjakan itu menyisakan pengalaman traumatis buatku. Sudah 3 kali aku terjungkal dari sepeda motor gara-gara tanjakan ini. Padahal ada pepatah, keledai saja tidak mungkin jatuh dalam lobang yang sama. Makanya aku tidak mau mengulangi pengalaman “pahit” itu untuk keempat kalinya.

Setelah beberapa menit menempuh perjalanan akhirnya menara kapel Aris pun mulai kelihatan. Ada pemandangan yang agak berbeda dari turne-turne-ku sebelumnya.  Aku lihat beberapa anak berdiri terpaku di halaman gereja. Sepertinya mereka sedang menantikan kedatanganku. Begitu melihatku, ada yang langsung berteriak, “Pastor udah atangk!” Mendengar teriakan itu tak ayal lagi anak-anak yang ada di dalam kapel pun segera menghambur keluar. Tergambar sukacita pada wajah-wajah mereka.

“Untunglah Pastor bisa datang. Kami sudah cemas menunggu dari tadi. Takut pastor gak datang lagi bah,” kata pengurus umat Stasi Aris sambil mempersilakan aku singgah dulu ke rumahnya. Mendengar itu aku hanya bisa tersenyum malu. 

Perayaan ekaristi di Aris ditunda beberapa menit karena keterlambatanku. Tetapi umat bisa memahaminya. Perayaan Ekaristi kali ini terasa sangat istimewa. Umat merancangnya habis-habisan. Karena memakai tari-tarian yang harus diiringi dengan musik, mereka berusaha menyambung listrik kepada umat yang memiliki genset.  Anak-anak yang didapuk untuk menari sudah berhias sejak pagi hari. Belum lagi dengan calon baptisan baru. Mereka sudah siap menyambut anugerah yang sangat istimewa: Sakramen Baptis dan Tubuh Kristus yang untuk pertama kalinya akan mereka sambut. Kesiapan mereka paling tidak terlihat dari pakaian putih yang dikenakannya. Pengurus Stasi Aris sendiri pun sudah merancang pesta nasi bungkus sebagai kelanjutan dari pesta natal. Sengaja mereka menunggu jadwal perayaan ekaristi di stasi demi terselenggaranya makan bersama seluruh umat bersama sang gembalanya. Begitulah mereka mencoba memaknai pesta natal dengan berbagi nasi bungkus. Menunya sangat sederhana, tetapi tersimpan makna istimewa di dalamnya. Ada rasa haru menyelinap di hatiku. Bersyukur aku bisa tiba di Aris untuk merayakan ekaristi bersama mereka. Andaikata aku egois, hanya mementingkan diri sendiri dan memutar haluan untuk pulang ke rumah hanya karena jalan becek dan berlumpur, ceritanya pasti lain. Betapa kecewanya umat di Stasi Aris karena para penari tidak bisa mempersembahkan tarian mereka untuk kanak-kanak Yesus, para baptisan baru terpaksa belum bisa menerima karunia baptisan dan Tubuh Kristus. Belum lagi pesta nasi bungkus akan terasa hambar karena tidak didahului oleh ekaristi yang merupakan pesta sesungguhnya. Terimakasih Tuhan, atas peristiwa yang terjadi di hari kelahiran-Mu. Medan yang cukup sulit untuk dijangkau, telah menghadirkan pesan natal yang sungguh bermakna untukku. (Gathot)
































































Menguji Kelestarian Panggilan dan Kesetiaan Pilihan dalam Pengalaman Hidup

Menguji Kelestarian Panggilan dan Kesetiaan Pilihan dalam Pengalaman Hidup


 “Bukan semudah membalikkan telapak tangan untuk setia pada satu pilihan, pilihan yang berlaku seumur hidup, sepenuh usia, sepanjang hayat. Sama seperti orang awam, kaum rohaniawan juga mengalami hal serupa. Jika jejak langkah awam dihadapkan pada jibaku persoalan hidup yang seolah tidak pernah surut, pun demikian halnya dengan mereka yang hidup di balik tembok biara. Masing-masing dengan perannya, masing-masing dengan tantangan hidupnya, masing-masing dengan persoalan yang membelit kesehariannya.” 

Mendung masih bergelayut enggan pupus meski langit sesiang tadi sempat memuntahkan hujan seperti tembikar sarat akan air yang pecah di udara manakala saya memacu kendaraan ke arah jantung kota. Hari itu hari Sabtu, dan saat itu tujuan saya satu, segera berada di sebuah biara yang bersebelahan dengan gereja, Biara Providentia. Kamis sebelumnya saya membuat janji dengan salah satu penghuninya. Melalui piranti komunikasi temu janji disambut suara ringan nan gembira yang siap menyambut kehadiran saya untuk melakukan wawancara. Suara yang terdengar semanis paras pemiliknya adalah suara Suster M. Laetitia, OSCCap. Maka Sabtu, kira-kira dua jam menjelang senja, rinai gerimis mengantarkan langkah saya menjumpainya. 

Kedatangan saya disambut senyumnya yang jernih seperti yang biasa tergambar pada jiwa yang menyerahkan sepenuhnya kesulitan dunia pada penciptanya dan selalu bersyukur pada setiap keriaan sekecil apapun bentuknya. Jabat erat saya dapat disertai kecup dan pelukan hangat. Kami berhadap-hadapan pada sebuah ruangan berukuran 3 x 4, dihalangi meja lengkap dengan minuman dan kudapan. Sepanjang wawancara senyum dalam binar mata ramah bersahaja membingkai di wajahnya. Ia begitu antusias ketika saya mulai menyoal ketertarikannya menanggapi panggilan hidup membiara. Segalanya berawal dari dalam keluarga. Tepat kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Putri kedelapan dari dua belas bersaudara pasangan bapak Paulus Hendrikus Pawe dan ibu Katarina Irmina Meo ini memang berlatar ayah dan ibu yang merupakan mantan calon biarawan dan biarawati. Keinginan kedua orang tuanya di masa muda untuk menapaki hidup membiara terkendala karena jauh sebelum keduanya bersua, ternyata pihak keluarga telah seiya sekata menjodohkan keduanya hingga mereka menyatu dalam biduk rumah tangga. Namun bagai gayung bersambut oleh buah hati mereka, Laetitia muda menjadi penawar dahaga cita-cita yang tertunda. 

Laetitia tumbuh di lingkungan Katolik yang taat. Berlatar kedua orang tua yang paham benar tentang agama, segala ritual pujian bagi yang maha juga rapalan untaian doa merupakan menu wajib dilakukan dalam keluarga dan bukan hal yang sama sekali baru baginya hingga tak lagi mengejutkan ketika ia mulai menapaki kehidupan membiara. Rumah masa kecilnya pun menjadi saksi bisu perjalanan kegembalaan biarawati dan biarawan maupun para frater, calon balatentara Tuhan yang menggelar kegiatan pelayanan keagamaan. Tidak berhenti sampai di situ, keterbiasaan menyaksikan pemandangan yang berkait erat dengan pelayanan, ketika kecil, ia bersama teman acapkali bermain peran menjadi kaum rohaniawan, membagi hosti yang adalah roti dalam sebuah permainan perayaan Ekaristi.   

Sebelum menjalani hidup di biara, Suster Laetitia yang dulunya bernama Yosefina Basildis ini sempat menjalani pendidikan sebagai perawat kesehatan di sebuah SPK nun di gugusan Flobamora (Flores, Sumba, Timor, dan Alor). Seolah tumbuh menjadi mawar gurun yang mekar, kala itu tidak sedikit pemuda yang hatinya sanggup dibuatnya tergetar. Bukan hanya satu atau dua pemuda belaka, namun lebih dari hitungan jumlah jari pada kedua telapak tangan telah tercatat mencoba merebut hatinya dengan segala cara. Dari cara yang halus hingga yang ketus, dari yang terselubung hingga yang nyata-nyata mengajak pemuda lain tarung. Dengan rendah hati, ia menanggapi segalanya dengan tetap merangkul semua menjadi sanak saudara untuk tetap saling menjaga dalam doa. Baginya segala cinta dari lawan jenis yang silih berganti menghampiri tak ayal merupakan perpanjangan tangan Tuhan untuk menyentuh dan menyadarkannya bahwa tiada kasih yang lebih besar dari kasih Juru Selamatnya. “Semua hadir untuk menguji kelestarian panggilan dan kesetiaan pilihan dalam pengalaman hidup, kalau tidak ada tantangan, kita tidak bisa tahu bahwa panggilan ini benar-benar berharga. Panggilanku ini adalah pilihanku dan inilah yang dikehendaki Tuhan,” begitu ia berujar. Mungkin benar, untuk mengetahui kadar ketebalan iman seseorang, terkadang memang diperlukan ujian. Iseng saya bertanya untuk sekadar mengetahui siapa saja yang hadir  menawarkan hati pada suster yang sangat senang bersahabat ini, namun begitu rapat ia merahasiakan semua nama yang masih mencoba mendekatinya meski ia telah hidup dalam lingkup biara. Pernah pada suatu masa, sehari menjelang kaul kekalnya, ia menghadapi godaan yang sungguh luar biasa. Kala itu ada suara lain yang didengarnya yang sempat menggetarkan hatinya. Suara dari seseorang yang hampir saja membuatnya urung mengucap kaul kekal dan berpikir ulang untuk meneruskan panggilan. Ya, suara seorang dari antara kaum adam yang selama ia berada dalam masa pendidikan selalu memberikan perhatian. Pergulatan sungguh menjadi awan hitam yang meliputi batinnya, namun dalam seluruh kekuatan ia menyerahkan sepenuhnya ke tangan Bapa dalam doa. Lelah berdoa ia jatuh tertidur hingga akhirnya pada saat terbangun hal pertama yang dilihatnya adalah salib Kristus. Serta merta dipeluknya tanda penyelamat hidupnya. Seketika hilang rasa ragu, dengan mantap ia menjawab panggilan itu.

Rasanya sungguh padan jika kutipan catatan seorang maestro kesusastraan Indonesia disematkan pada suster yang hobi bernyanyi dan menari ini; “Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya.”* Suster yang pada 31 Maret 2017 mendatang genap berusia 55 tahun ini sungguh lembut namun tegas, begitu halus tetapi kukuh. Pribadinya ibarat menolak tangan berayun kaki, memeluk tubuh mengajar diri. Sungguh, ia disiplin dan hanya sedikit berkompromi untuk hal-hal yang bersifat duniawi. Hedonisme ia tinggalkan, bersetia ia pada panggilan. Hal ini ditunjukkan ketika dengan segala kesempatan untuk berada di tengah-tengah keramaian, hati kecilnya tetap rindu untuk pulang. Biaralah rumahnya, sebagai suster pendoalah panggilan kemanusiaannya. 

Masih berkisar pada pengalaman panggilan yang dialaminya, suster yang ketika belia menjadi primadona remaja ini mengalami suatu kejadian tak terlupakan. Manakala bersama teman-teman seusianya berolah raga, matanya tiba-tiba terpaku pada sosok biarawati yang meski berada di tengah keriuhan tetap setia merapal doa dengan rosario dalam genggamannya. Saat itu tanpa banyak bicara, Laetitia berlari menjauh dari perkumpulan. Masuk kamar ia kembali merenungkan niatnya menanggapi panggilan. Dengan pemandangan sesederhana itu, Tuhan kembali hadir menyentuh inti kalbu. 

Suatu ketika dalam masa pencarian ordo yang benar-benar dirasa pas di hati, ia menemukan jawaban secara tak sengaja. Melalui majalah Hidup yang saat itu memuat profil dan foto Bapa Uskup Mgr Hieronimus Bumbun bersama dua orang suster OSCCap, Laetitia membulatkan tekadnya. Korespondensi dilakukan, harap-harap cemas ia menanti balasan. Tak berapa lama berselang, bagai tak bertepuk sebelah tangan, jawaban memuaskan ia dapatkan. Bapa Uskup menyambut baik keinginannya bahkan menunjukkan cara untuk memuluskan niat sucinya. Suatu kebetulan yang menyenangkan berselang beberapa waktu kemudian dalam urusan pekerjaan  Bapa Uskup mengunjungi provinsi tempat ia berdomisili. Dibantu oleh Bapa Uskup, Laetitia akhirnya sampai ke Biara Providentia yang sangat didambanya. Kesan pertama melihat bangunan biara, ia langsung merasa bahwa inilah tujuan hidupnya, inilah ‘rumah’ baginya.

Sejak awal hidup di biara, ia bersama teman-temannya saling menguatkan dalam doa. Rasa rindu pada orang tua serta sanak keluarga merupakan hal jamak dan tak terhindarkan. Laetitia sempat rapuh ketika di awal masa panggilan ia seolah sengaja diputus kontak oleh kedua orang tua. Seluruh surat yang dikirimnya ke kampung halaman tak jua kunjung ada balasan. Sedih dan merasa dikucilkan, rindu namun semacam terbuang. Ia tak mengetahui alasan di balik sikap kedua orang tua yang tidak pernah membalas surat-suratnya. Sedih tak tertahan, letih hati menahan rindu tidak berkesudahan, ia merasa sendirian, hanya Surat Rasul Paulus kepada umat yang termuat dalam Kitab Suci selalu menjadi hiburan. Pada suatu kesempatan ia menghadap Bapa Uskup Hieronimus Bumbun, mengadukan ihwal yang mengganggu batinnya. Jawaban tak terduga melipurkan laranya. Bapa Uskup menguatkannya hanya dengan kata-kata, “Buat apa bersedih, saya dan yang lain yang hidup dalam panggilan juga sendirian. Tidak sedang bersama orang tua, kita semua sama.” Dengan jawaban sederhana itu Laetitia merasakan kekuatan dan bahwa ia memang tidak sendirian. Hingga tiba pada suatu masa, ia diberi keleluasaan untuk kembali mengunjungi orang tua di kampung halamannya. Saat itu baru ia dapatkan jawaban atas segala yang menjadikannya ragu. Kedua orang tuanya tak ingin masa pendidikannya terusik rindu yang pada akhirnya akan mengganggu.  

Semua yang hidup akan tetap menemukan gairahnya jika ia masih meniupkan asa dalam cita-cita, dalam sebuah keinginan, dan dalam selaksa harapan. Pun demikian halnya dengan Laetitia. Hal yang belum terpenuhi dan menjadi sebuah harapan sepanjang pembaktian hidupnya dalam membiara dituturkannya, “Saya hanya merindukan menjadi seorang pendoa yang sungguh-sungguh menjadi penyalur rahmat bagi banyak orang, bisa menjadi seorang pribadi yang sungguh berguna bagi diri, keluarga, gereja dan dunia. Dan jika saya meninggal saya ingin menjadi kudus, tapi itu rasanya masih jauh dari bisa menjadi kudus,’ ungkapnya yang disusul sipu malu dalam senyumnya yang bersahaja.

4 Oktober 2016, tercatat tepat 25 tahun ia berkarya. Berbagai cobaan dan rintangan silih berganti menghampiri, namun tangan Tuhan kiranya terus bekerja, menjaga ia setia pada panggilan imannya. Selamat berkarya, Suster. Tetaplah menjadi pendoa kami semua. (Hes) 

NB: (*) kutipan tulisan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru: Rumah Kaca.   
Biodata Singkat

Nama: Yosefina Basildis Anu Pawe.
Tempat tanggal lahir: Flores, Bajawa Mataloko, 31 Maret 1962 
Tahun 1977 tamat SD Katolik Toda Belu II.
Tahun 1981 Masuk SMP Kartini Mataloko.
Tahun 1982 pindah ke SMP Immaculata Ruteng Manggarai.
Tahun 1983 masuk ke SPK (Sekolah Pendidikan Kesehatan) di Lela Maumere.
Setelah tamat, bekerja di Rumah Sakit St. Gabriel Kewapante Maumere, sebagai pembantu bidan bersama Sr. Solmaris, S.Sps selama 2 tahun.
Pada tahun 1987 berkenalan dengan biara Providentia melalui majalah Hidup. 
Tanggal 6 Agustus 1988 berangkat ke Singkawang bersama Sr. Emiliana SFIC dan diantar ke biara Providentia oleh Sr. Paulin SFIC.
Tanggal 6 Agustus 1988: masuk sebagai calon (aspiran)
Tanggal 29 September 1988: Masuk Postulan
Tanggal 4 Oktober 1989: Masuk Novis
Tanggal 4 Oktober 1991: mengikrarkan Kaul sementara.
Tahun 1991-1992 tinggal di Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 1993 kembali ke Biara Providentia Singkawang.
Tanggal 4 Oktober 1994: Mengikrarkan kaul kekal meriah.
Tahun 1996 di tugaskan kembali ke Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 1997 kembali ke Singkawang.
Tahun 2003 ditugaskan kembali ke Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 2005 kembali ke Biara Providentia Singkawang sampai saat ini.
Tanggal 4 Oktober 2016, genap 25 tahun hidup kaul membiara.


      


2 Mar 2017

Aksi Natal Sekadar Ritual?

Aksi Natal Sekadar Ritual?



Natal telah usai dan segala aktivitas pun sukses digelar. Tidak hanya berkisar pada baju baru, makanan enak, dan segala benda milik pribadi yang bernilai tinggi, namun di sisi lain spirit natal terejawantah dalam berbagai kegiatan yang masuk dalam rangkaian acara menyambut kelahiran Sang Juru Selamat. Segala giat yang digagas oleh gereja Katolik menuai sukses, keriaan sekaligus kenangan di benak masing-masing orang yang terlibat di dalamnya. Dimulai dari kegiatan mengumpulkan bantuan berupa pakaian pantas pakai, penyaluran bingkisan sembako ke stasi-stasi, donor darah dan cek kesehatan, kunjungan ke panti asuhan dan rumah sakit khusus penyandang kusta, perayaan natal anak-anak, perayaan natal lansia, hingga perayaan natal di lembaga pemasyarakatan selain menuai bahagia tak ayal memupuk harapan. 

Secara sadar, warga Paroki Singkawang yang dikoordinator oleh tiap seksi yang tergabung dalam panitia perayaan natal 2016 menyukseskan rangkaian acara yang telah disebutkan di atas. Bahu-membahu segala rencana dieksekusi hingga tuntas. Ada kesan kegiatan  sosial natal ini hanya sekadar ritual, sebuah aksi yang hanya berulang dari tahun ke tahun tanpa perubahan yang signifikan, maju atau mundur, seolah stagnan, bisa ditebak, dan mudah terdeteksi. Namun jika dilihat dari esensi segala hal yang berulang dari tahun ke tahun dan selalu menyasar hal yang sama pula tentunya hal ini tidak sekadar sebuah ritual yang lantas kehilangan jiwanya.  

Si pemberi, sang penerima, maupun sebagai penyalur, masing-masing berperan dalam satu lingkaran mata rantai kehidupan. Siklus berulang namun tetap menimbulkan harapan, kebahagiaan, sekaligus menerbitkan kerinduan. Harapan di natal tahun mendatang tetap diberi kesempatan berbagi, kebahagiaan menerima segala uluran bantuan, kerinduan tentang janji kehidupan dan keselamatan yang diperoleh dengan mengulurkan tangan pada kemanusiaan. Donor darah sebagai penyambung kehidupan, penyaluran pakaian pantas pakai pelindung tubuh sesama yang membutuhkan, pembagian sembako pemenuhan kebutuhan pangan, kunjungan ke panti  asuhan dan rumah sakit penyandang kusta sebagai bukti kepedulian, natal anak dan lansia sebagai pemantik  kebahagiaan, kunjungan ke lembaga pemasyarakatan sebagai wujud pemulihan harapan dan pertobatan. Betapa besar kebermaknaan aksi sosial yang menjadi ritual pada saat natal.  Semangat peduli dan berbagi selalu menjadi nafas utama dalam setiap kegiatan umat Katolik dalam kehidupan menggereja. 

Pada akhirnya, hanya rasa rindu untuk terlibat dalam segala aktivitas ritual natal, baik sebagai pemberi, penerima, atau penyalurlah yang lantas menimbulkan harapan dapat diberi waktu dan kesempatan untuk kembali bertemu dengan natal yang akan datang. Sudahkah Anda terlibat dalam ritual natal? Atau natal Anda sekadar dirasakan dan hanya menjadi kebanggaan pribadi? Mari menyusun rencana untuk terlibat, mumpung masih diberi waktu dan kesempatan! (Hes)






27 Feb 2017

PENTAHBISAN TIGA IMAM KAPUSIN DI PAROKI SINGKAWANG


PENTAHBISAN TIGA IMAM KAPUSIN DI PAROKI SINGKAWANG


Suka cita yang luar biasa tengah meliputi hati umat Katolik khususnya di Kalimantan Barat. Kamis, 23 Februari 2013 lalu bertempat di Gereja Santo Fransiskus Assisi Singkawang, tepat pukul 09.00 Wib, digelar misa pentahbisan tiga imam baru antaranya Pastor Aloysius Anong, OFMCap., Pastor Jeneripitus, OFMCap., Pastor Yosua Boston Sitinjak, OFMCap. Bertindak sebagai selebran misa pentahbisan imam adalah Uskup Agung Keuskupan Pontianak, Mgr Agustinus Agus, dan 50-an pastor dari Ordo Kapusin sebagai konselebran.

Pentahbisan ketiga imam baru dari Ordo Kapusin ini berlangsung sangat meriah dan dihadiri oleh ribuan umat yang memadati gereja yang berada di jalur arteri kota Singkawang itu. Cuaca pada hari itu pun sangat mendukung digelarnya acara akbar tersebut. Pentahbisan imam Kapusin di Paroki Singkawang ini terbilang istimewa mengingat Kota Singkawang sendiri adalah kota bersejarah bagi ordo yang memegang teguh kaul kesucian, ketaatan, dan kemiskinan ini, ya, Kota Singkawang adalah kota pertama kali Kapusin bermisi.

Rasanya sangat pantas pentahbisan imam di kota amoy ini digelar meriah mengingat terakhir kali pentahbisan imam di paroki ini dilakukan hampir dua dasawarsa lalu. Kecintaan umat pada gembala-gembalanya yang berasal dari Ordo Kapusin tergambar jelas manakala dengan penuh semangat seluruh umat yang dikoordinir oleh panitia pentahbisan imam baru berupaya memberikan yang terbaik untuk menyambut tiga gembala barunya.

Pesta untuk menyongsong pentahbisan imam sendiri telah digelar dua malam sebelumnya. Meski pada malam pertama pengunjung dapat dikatakan minim disebabkan oleh hujan yang sempat mengguyur, rasanya segalanya terobati pada malam kedua. Ratusan umat memadati halaman gereja berbaur dengan biarawan, biarawati yang juga terlihat tidak kalah antusias mengikuti berbagai performa dari seluruh pengisi acara. 

Usai ditahbiskan ketiga imam baru tersebut masing-masing akan bertugas di Rumah Retret Tirta Ria, Pontianak, di Paroki Balai Sebut, dan di Paroki Sanggau Ledo. Akhirnya, selamat bertugas untuk ketiga 'kuntum coklat muda' baru, semoga selalu bersetia pada panggilan imamat dan menjadi teladan bagi umat. (Hes)

26 Feb 2017

PERATURAN PANTANG DAN PUASA PRAPASKAH MENURUT GEREJA KATOLIK

PERATURAN PANTANG DAN PUASA PRAPASKAH MENURUT GEREJA KATOLIK




Semua orang beriman diajak untuk merefleksikan pengalaman hidup dan mengadakan pembaharuan untuk semakin setia sebagai murid Yesus.
Dalam rangka pertobatan dan pembaharuan hidup beriman, Gereja Katolik mengajak kita semua untuk mewujudkannya, terutama dalam masa prapaskah ini dengan memperhatikan beberapa ketentuan berikut ini.

Dalam Masa Prapaskah kita diwajibkan:

Berpantang dan berpuasa pada hari Rabu Abu dan Jum`at Agung. Pada hari Jumat lain-lainnya selama Masa Prapaskah hanya berpantang saja.
Yang diwajibkan berpuasa menurut Hukum Gereja yang baru adalah semua yang sudah dewasa sampai awal tahun ke enam puluh (KHK k. 1252). Yang disebut dewasa adalah orang yang genap berumur 18 tahun (KHK k. 97 § 1).
Puasa artinya: makan kenyang satu kali sehari.
Untuk yang biasa makan tiga kali sehari, dapat memilih
- Kenyang, tak kenyang, tak kenyang, atau
- Tak kenyang, kenyang, tak kenyang, atau
- Tak kenyang, tak kenyang, kenyang
Yang diwajibkan berpantang: semua yang sudah berumur 14 tahun ke atas (KHK k. 1252).
Pantang yang dimaksud di sini: tiap keluarga atau kelompok atau perorangan memilih dan menentukan sendiri, misalnya: pantang daging, pantang garam, pantang jajan, pantang rokok, gula dan semua manisan (permen, minuman manis), serta hiburan (bioskop, film)


Karena begitu ringannya, kewajiban berpuasa dan berpantang, sesuai dengan semangat tobat yang hendak dibangun, umat beriman, baik secara pribadi, keluarga, atau pun kelompok, dianjurkan untuk menetapkan cara berpuasa dan berpantang yang lebih berat. Penetapan yang dilakukan diluar kewajiban dari Gereja, tidak mengikat dengan sangsi dosa.

Ketentuan tobat dengan puasa dan pantang, menurut Kitab Hukum Gereja Katolik:

Kan. 1249 – Semua orang beriman kristiani wajib menurut cara masing-masing melakukan tobat demi hukum ilahi; tetapi agar mereka semua bersatu dalam suatu pelaksanaan tobat bersama, ditentukan hari-hari tobat, dimana umat beriman kristiani secara khusus meluangkan waktu untuk doa, menjalankan karya kesalehan dan amal-kasih, menyangkal diri sendiri dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara lebih setia dan terutama dengan berpuasa dan berpantang, menurut norma kanon-kanon berikut.

Kan. 1250 – Hari dan waktu tobat dalam seluruh Gereja ialah setiap hari Jumat sepanjang tahun, dan juga masa prapaskah.

Kan. 1251 – Pantang makan daging atau makanan lain menurut ketentuan Konferensi para Uskup hendaknya dilakukan setiap hari Jumat sepanjang tahun, kecuali hari Jumat itu kebetulan jatuh pada salah satu hari yang terhitung hari raya; sedangkan pantang dan puasa hendaknya dilakukan pada hari Rabu Abu dan pada hari Jumat Agung, memperingati Sengsara dan Wafat Tuhan Kita Yesus Kristus.

Kan. 1252 – Peraturan pantang mengikat mereka yang telah berumur genap empat belas tahun; sedangkan peraturan puasa mengikat semua yang berusia dewasa sampai awal tahun ke enampuluh; namun para gembala jiwa dan orangtua hendaknya berusaha agar juga mereka, yang karena usianya masih kurang tidak terikat wajib puasa dan pantang, dibina ke arah cita-rasa tobat yang sejati.

Kan. 1253 – Konferensi para Uskup dapat menentukan dengan lebih rinci pelaksanaan puasa dan pantang; dan juga dapat mengganti-kan seluruhnya atau sebagian wajib puasa dan pantang itu dengan bentuk-bentuk tobat lain, terutama dengan karya amal-kasih serta latihan-latihan rohani.

MAKNA PUASA DAN PANTANG

Secara kejiwaan, Berpuasa memurnikan hati orang dan mempermudah pemusatan perhatian pada saat meditasi dan doa.

Puasa juga dapat merupakan korban atau persembahan.

Puasa pantas disebut doa dengan tubuh karena dengan berpuasa orang menata hidup dan tingkah laku rohaninya.

Dengan berpuasa, orang mengungkapkan rasa lapar akan Tuhan dan kehendakNya. Ia mengorbankan kesenangan dan keuntungan sesaat, dengan penuh syukur atas kelimpahan karunia Tuhan. Demikian, orang mengurangi keserakahan dan mewujudkan penyesalan atas dosa-dosanya di masa lampau.

Dengan berpuasa, orang menemukan diri yang sebenarnya untuk membangun pribadi yang selaras. Puasa membebaskan diri dari ketergantungan jasmani dan ketidakseimbangan emosi. Puasa membantu orang untuk mengarahkan diri kepada sesama dan kepada Tuhan.Itulah sebabnya, puasa Katolik selalu terlaksana bersamaan dengan doa dan derma, yang terwujud dalam Aksi Puasa Pembangunan.Semangat yang sama berlaku pula untuk laku PANTANG.

Yang bukan semangat puasa dan pantang Katolik adalah:

Berpuasa dan berpantang sekedar untuk kesehatan: diet, mengurangi makan dan minum atau makanan dan minuman tertentu untuk mencegah atau mengatasi penyakit tertentu.

Berpuasa dan berpantang untuk memperoleh kesaktian baik itu tubuh maupun rohani.


Penerapan puasa dan pantang adalah:
1. Kita berpantang setiap hari Jumat sepanjang tahun (contoh: pantang daging, pantang rokok dll) kecuali jika hari Jumat itu jatuh pada hari raya, seperti dalam oktaf masa Natal dan oktaf masa Paskah. Penetapan pantang setiap Jumat ini adalah karena Gereja menentukan hari Jumat sepanjang tahun (kecuali yang jatuh di hari raya) adalah hari tobat. Namun, jika kita mau melakukan yang lebih, silakan berpantang setiap hari selama Masa Prapaska.
2. Jika kita berpantang, pilihlah makanan/ minuman yang paling kita sukai. Pantang daging adalah contohnya, atau yang lebih sukar mungkin pantang garam. Tapi ini bisa juga berarti pantang minum kopi bagi orang yang suka sekali kopi, dan pantang sambal bagi mereka yang sangat suka sambal, pantang rokok bagi mereka yang merokok, pantang jajan bagi mereka yang suka jajan. Jadi jika kita pada dasarnya tidak suka jajan, jangan memilih pantang jajan, sebab itu tidak ada artinya.
3. Pantang tidak terbatas hanya makanan, namun pantang makanan dapat dianggap sebagai hal yang paling mendasar dan dapat dilakukan oleh semua orang. Namun jika satu dan lain hal tidak dapat dilakukan, terdapat pilihan lain, seperti pantang kebiasaan yang paling mengikat, seperti pantang nonton TV, pantang ’shopping’, pantang ke bioskop, pantang ‘gossip’, pantang main ‘game’ dll. Jika memungkinkan tentu kita dapat melakukan gabungan antara pantang makanan/ minuman dan pantang kebiasaan ini.
4. Puasa minimal dalam setahun adalah Hari Rabu Abu dan Jumat Agung, namun bagi yang dapat melakukan lebih, silakan juga berpuasa dalam ketujuh hari Jumat dalam masa Prapaska (atau bahkan setiap hari dalam masa Prapaska).
5. Waktu berpuasa, kita makan kenyang satu kali, dapat dipilih sendiri pagi, siang atau malam. Harap dibedakan makan kenyang dengan makan sekenyang-kenyangnya. Karena maksud berpantang juga adalah untuk melatih pengendalian diri, maka jika kita berbuka puasa/ pada saat makan kenyang, kita juga tetap makan seperti biasa, tidak berlebihan. Juga makan kenyang satu kali sehari bukan berarti kita boleh makan snack/ cemilan berkali-kali sehari. Ingatlah tolok ukurnya adalah pengendalian diri dan keinginan untuk turut merasakan sedikit penderitaan Yesus, dan mempersatukan pengorbanan kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib demi keselamatan dunia.
6. Maka pada saat kita berpuasa, kita dapat mendoakan untuk pertobatan seseorang, atau mohon pengampunan atas dosa kita. Doa-doa seperti inilah yang sebaiknya mendahului puasa, kita ucapkan di tengah-tengah kita berpuasa, terutama saat kita merasa haus/ lapar, dan doa ini pula yang menutup puasa kita/ sesaat sebelum kita makan. Di sela-sela kesibukan sehari-hari kita dapat mengucapkan doa sederhana, “Ampunilah aku, ya Tuhan. Aku mengasihi-Mu, Tuhan Yesus. Mohon selamatkanlah …..” (sebutkan nama orang yang kita kasihi)
7. Karena yang ditetapkan di sini adalah syarat minimal, maka kita sendiri boleh menambahkannya sesuai dengan kekuatan kita. Jadi boleh saja kita berpuasa dari pagi sampai siang, atau sampai sore, atau bagi yang memang dapat melakukannya, sampai satu hari penuh. Juga tidak menjadi masalah, puasa sama sekali tidak makan dan minum atau minum sedikit air. Diperlukan kebijaksanaan sendiri (prudence) untuk memutuskan hal ini, yaitu seberapa banyak kita mau menyatakan kasih kita kepada Yesus dengan berpuasa, dan seberapa jauh itu memungkinkan dengan kondisi tubuh kita. Walaupun tentu, jika kita terlalu banyak ‘excuse’ ya berarti kita perlu mempertanyakan kembali, sejauh mana kita mengasihi Yesus dan mau sedikit berkorban demi mendoakan keselamatan dunia.


Sumber: www.imankatolik.or.id dan www.katolisitas.org