Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri gereja. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri gereja. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

3 Sep 2019

WALIKOTA TURUT SERTA PAWAI BKSN 2019 DI PAROKI SINGKAWANG

Minggu, 1 September 2019. Menghidupi semangat Santo Fransiskus Assisi pelindung pelestari lingkungan dan pelindung Gereja Katolik Singkawang, gereja yang beralamat di Jalan P. Diponegoro no 1 itu sukses menggelar pawai Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) 2019 bertema ekologi. 

Pawai yang disemarakkan dengan berbagai kostum dan properti daur ulang barang-barang bekas ini begitu istimewa karena dibuka dan diikuti oleh Walikota Singkawang, Tjhai Chui Mie, S.E., M.H., didampingi Kapolres Singkawang AKBP Marcelino Ronald Masengi, S.IK., M.H., Pastor Paroki Singkawang, Stephanus Gathot Purtomo, OFM. Cap., dan juga jajaran Forkopimda Kota Singkawang.

Pawai yang menempuh rute start dari SD Suster, Jalan Diponegoro, Jalan Budi Utomo, Jalan Bawal, Jalan Sejahtera, Jalan Diponegoro, dan berakhir di halaman Gereja St Fransiskus Assisi ini diikuti sekitar 3000 peserta. Berbagai instansi, sekolah, dan umat lingkungan ikut turun ambil bagian dalam pawai yang menyesuaikan tema BKSN 2019 yaitu Mewartakan Kabar Baik di Tengah Krisis Lingkungan Hidup. Di sela sambutannya, Walikota juga menegaskan mendukung gerakan yang digagas oleh Gereja Katolik Singkawang mengenai pembiasaan disiplin mengurangi penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari. Beliau mengungkap keyakinannya berkaitan dengan disiplin yang dimulai dari diri sendiri dan lingkungan dapat mengantarkan Kota Singkawang tidak hanya menjadi kota paling toleran se-Indonesia, namun juga menjadi kota terbersih se-Indonesia.

Pawai ini merupakan penanda pembuka rangkaian kegiatan BKSN 2019 dan menjadi wadah sosialisasi sekaligus berkreasi umat gereja yang sudah dilakukan selama tiga tahun berturut-turut. (Hes)


Photo by Cinda

19 Agu 2018

KURSUS MEMBANGUN RUMAH TANGGA DALAM LINGKUP GEREJA

KURSUS MEMBANGUN RUMAH TANGGA DALAM LINGKUP GEREJA





Pernikahan Katolik, monogami dan tak terceraikan. Berlatar belakang itulah Kursus Persiapan Pernikahan (KPP) yang kini berubah nama menjadi Kursus Membangun Rumah Tangga (MRT) digelar oleh gereja Katolik, tidak terkecuali Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi Singkawang.

Bertempat di Gedung Dewan Pastoral Paroki, kegiatan yang sudah memasuki angkatan ke XIII ini digelar pada Sabtu-Minggu, 18-19 Agustus 2018, dan kali ini diikuti oleh 9 pasang calon mempelai yang hendak membangun bahtera rumah tangga.

Dijumpai di kesempatan yang sama pada saat kegiatan berlangsung, Helaria Helena, A.Ma., selaku koordinator menyampaikan bahwasanya aktivitas yang kini rutin digelar beberapa kali dalam setahun ini merupakan salah satu program gereja di seluruh Indonesia. "Kegiatan ini berisi berbagai hal, yang pertama membahas tentang hukum kanonik, pernikahan dalam Katolik, ekonomi keluarga, kesehatan alat reproduksi, dan psikologi keluarga yang dalam hal ini membahas keseluruhan rangkuman dan diasuh oleh saya sendiri. Seluruh hal yang tim kami sampaikan bersumber dari buku Amoris Laetitia. Kegiatan ini juga dilaksanakan selama kurang lebih 2 jam dalam setiap pertemuan dan kita mengambil kebijakan menggelar kegiatan setiap Sabtu dan Minggu. Hal ini mengingat hari lain adalah hari kerja, " ujar wanita cantik yang juga merupakan pegawai Departemen Agama.

Di samping itu beliau juga menegaskan bahwa kursus MRT ini tidak hanya melingkupi pasangan yang akan segera melaksanakan pernikahan, namun boleh juga diikuti oleh pasangan dewasa yang berada dalam taraf penjajakan. "Jika sudah mengikuti kursus ini akan mendapat sertifikat, karena tanpa sertifikat maka tidak akan bisa mendaftar pernikahan kanoniknya nanti," lanjut wanita yang juga aktif dalam wadah WKRI cabang Singkawang ini.


Dicecar mengenai harapan digelarnya kegiatan bimbingan ini beliau mengungkap, "Kita mengadakan bimbingan ini untuk memperkecil kemungkinan perceraian antarpasangan dalam keluarga dan tentunya memberikan berbagai arahan bagaimana menjaga keharmonisan rumah tangga, karena belakangan ini banyak pasangan muda yang baru menikah sudah bercerai, jadi kita berusaha untuk bisa mengatasi dan menghindari hal-hal semacam itu," pungkasnya. (Hes)



4 Jun 2017

Pelantikan Pengurus PWK Santa Monika Singkawang Periode 2017-2020

Pelantikan Pengurus PWK Santa Monika Singkawang Periode 2017-2020



Minggu, 2 April 2017. Misa di Gereja Katolik St Fransiskus Assisi Singkawang digelar seperti biasa, dua kali, misa pertama pada pukul 6 dan misa ke dua pukul 8. Namun ada yang berbeda pada misa ke dua. Dalam prosesi misa diselipkan pelantikan para pengurus baru Warakawuri Santa Monica yang berdiri sejak 2014. 

Pergantian kepengurusan kali ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan para penggagasnya pada awal terbentuk perkumpulan single parent region Singkawang yang dapat dikatakan mengabdikan paruh waktunya bagi pelayanan terhadap gereja. Berikut adalah jajaran pengurusnya yang baru: 

Ketua: Emiliana Karsiyah
Wakil ketua: Agustina Swarni
Sekretaris: Marsiana
Bendahara: Veronika Agustina
Seksi Kerohanian: Suryati
Seksi sosial: Maria Yohana
Akomodasi: Yuliana Fan
Moderator: Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFM.Cap.
Pendamping: Bruder Gregorius Petrus Boedi Sapto Noegrogo, MTB.
Penasihat: Teresia Istiarti

Pergantian dan pelantikan kepengurusan ini dilakukan dan dipimpin oleh Herkulana Louis Blaise, S.H., selaku Ketua PWK Katolik Santa Monika Keuskupan Agung Pontianak. Dalam rangkaian acara pelantikan ini para pengurus mengucapkan janji untuk bersedia mengambil bagian berkarya dalam rumah Tuhan di bawah payung PWK Santa Monika, usai janji diucapkan dan seluruh berkas ditandatangan, maka segenap pengurus diberkati oleh pastor paroki Singkawang. 

Ditemui usai misa dalam acara ramah tamah, wanita cantik paruh baya Ketua PWK Keuskupan Agung Pontianak ini  mengapresiasi jalannya pelantikan yang berlangsung lancar. Beliau juga menuturkan harapannya berkenaan dengan para pengurus PWK Singkawang yang baru, “Semoga kepengurusan yang baru ini dapat melayani umat terutama sesama anggota Santa Monika di wilayah Kota Singkawang sendiri dan mengedepankan pelayanan untuk gereja,” pungkasnya.

Senada dengan pernyataan Ketua PWK Keuskupan Agung Pontianak, ketua PWK Singkawang yang baru dilantik pun menggarisbawahi hal serupa, “Program kerja kami sederhana, tidak muluk-muluk, yang terpenting doa, rekoleksi, dan berbuat apa yang kami sanggup lakukan yang terbaik untuk gereja, melayani dengan membantu kegiatan-kegiatan sosial yang bersentuhan langsung dengan gereja.”   

Adapun pergantian kepengurusan ini menjabat hingga tiga tahun ke depan yakni periode 2017-2020. Akhirnya selamat bekerja dan berkarya bagi pengurus PWK Santa Monika Singkawang yang baru. Berkat Tuhan selalu menyertai. (Hes)

 

25 Jun 2015

Ayo menjadi Ekaristi untuk yang lain!

Ayo menjadi Ekaristi untuk yang lain!




“Dari kecil sebenarnya aku sudah rindu; pengen sekali menerima komuni. Sekarang perasaanku bahagia, sudah bisa menerima Tubuh Kristus. Dan aku berjanji akan rajin mengikuti misa di gereja”. Sepenggal kesaksian itu muncul dari seorang Krescentia, anak kelas VI yang baru saja dipermandikan dan boleh menyambut komuni untuk pertama kalinya. Untuk menggapai “mimpinya” itu, Krescentia harus menebusnya dengan usaha keras. Bayangkan saja dia perlu bersabar untuk menunggu selama lebih dari 2 tahun karena selama itu pula dia harus mengikuti persiapan katekumen. Belum lagi dia harus menempuh jarak sekitar 7 km dari rumahnya untuk bisa ikut pelajaran katekumen di Gereja Stasi Sagatani.

Krescentia adalah salah satu dari 45 anak yang mendapat anugerah boleh menerima Tubuh Kristus untuk pertama kalinya. Berbeda dari biasanya kali ini penerimaan Sakramen Baptis dan sambut baru yang dirayakan dalam Ekaristi diadakan para hari Senin 22 Juni di Stasi Sagatani, Paroki Singkawang pukul 16.00 sore. Kentara sekali bahwa para calon baptisan baru dan sambut baru sudah tidak sabar lagi menunggu momen yang sangat bersejarah dalam hidup mereka. Terbukti sejak pukul 14.00 mereka sudah berkumpul di gereja.

Perayaan kali ini terasa istimewa karena anak-anak putrinya didandani bak malaikat. Mereka memakai jubah putih dengan mahkota bunga di kepalanya. Sedangkan anak-anak putranya pun tak mau ketinggalan. Mereka memakai jubah putih dengan bunga di dada. Setiap anak diapit oleh orang tua atau wali mereka masing-masing sebagai bentuk tanggungjawab orangtua dalam membimbing iman anak-anaknya. Penampilan mereka membuat iri anak-anak yang menerima komuni pada tahun-tahun sebelumnya. Ada pula yang sempat berkomentar, “Rasanya mau ikut terima komuni pertama lagi ya”.

Di bawah sengatan matahari dan cuaca yang kurang bersahabat calon baptisan baru dan komuni pertama berarak menuju Gereja. Seolah tidak peduli dengan panasnya cuaca, rombongan tetap bersemangat, melangkah ke depan altar sambil menyanyikan lagu Biar Kanak-Kanak Datang Padaku. Begitu masuk gereja, Ekaristi pun segera dirayakan.

Demi menyelaraskan tema, bacaan Kitab Suci sengaja dipilih dari Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus. Dalam kotbahnya, Pastor Gathot menyerukan pentingnya berbagi kasih dengan sesama karena salah satu pesan yang paling kuat dari Perayaan Ekaristi adalah kerelaan Tuhan yang mau berbagi dengan manusia supaya manusia bisa hidup. Ini sekaligus menjadi undangan bagi manusia untuk mau berbagi. “Tugas kalian tidak selesai hanya dengan permandian dan komuni. Justru Tubuh Kristus yang kalian sambut hendaknya mendorong kalian untuk berbuat baik kepada teman-teman. Ayo menjadi Ekaristi untuk yang lain” pungkas Pastor Gathot dalam kotbahnya.

Selesai perayaan Ekaristi “pestawan dan pestawati” bersama dengan orangtua dan umat yang hadir masih melanjutkan kegembiraan mereka dengan acara makan bersama di aula. Kali ini OMK tidak mau ketinggalan peran.  Merekalah yang mempersiapkan dan melayani acara makan bersama. Dengan demikian OMK Sagatani bisa memberi contoh bagaimana menjadi ekaristi untuk adik-adik mereka. (Steph)



12 Apr 2021

PENGALAMAN MENARIK MISA DI GEREJA CAHAYA KRISTUS STASI SARANGAN PAROKI SINGKAWANG

 

 




Paroki Singkawang. Hari ini, Minggu, 11 April 2021, penulis berkesempatan merayakan Misa di Gereja Katolik Cahaya Kristus Stasi Sarangan. Penulis belum pernah datang ke tempat ini. Penulis hanya mengandalkan google map untuk menuju ke lokasi ini. Setelah penulis masuk sekitar 2 km dari jalan raya Pontianak - Bengkayang, ternyata tidak ada sinyal seluler. Penduduk di jalan tersebut juga sangat jarang. Dengan berbekal tekad yang kuat, dan usaha untuk bertanya pada penduduk, akhirnya penulis bisa sampai di Stasi sarangan dalam kondisi baik dan selamat. Saat melewati jalan perkampungan, sebagian besar jalan rusak berat. Aspal banyak terkelupas. Perlu ekstra hati-hari saat melewati jalan tersebut. Penulis menempuh waktu 2,5 jam perjalanan.

Gereja Cahaya Kristus ini masuk wilayah kabupaten Bengkayang. Tetapi, secara administrasi Gereja Katolik, masuk Paroki Fransiskus Assisi Singkawang. Jarak dari Paroki Singkawang ke Stasi Sarangan adalah 60 km. Dapat ditempuh dalam 2 jam perjalanan dengan kendaraan. 

Pagi ini, Misa di Stasi Sarangan dimulai sekitar pukul 09.45. Pada minggu ini, Gereja Katolik merayakan Hari Raya Kerahiman Ilahi. Perayaan ini biasanya dirayakan tiap minggu ke 2 masa Paskah. Di tempat ini, juga sekaligus dilangsungkan penerimaan Sakramen Perkawinan untuk 2 pasang. Misa ini dipersembahkan oleh Pastor Samri, OFMCap. Umat yang hadir dalam perayaan Ekaristi ini, ada lebih dari 100 orang. Umat sangat antusias mengikut Misa pagi ini. Sedangkan, jumlah umat Katolik di Stasi Sarangan adalah 200 orang lebih. (EHN)

3 Sep 2018

KEMERIAHAN PAROKI SINGKAWANG MENYAMBUT BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2018

KEMERIAHAN PAROKI SINGKAWANG MENYAMBUT BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2018




Ada yang berbeda dari Misa Ekaristi kedua pada Minggu, 2 September 2018. Misa kali ini yang mendaulat Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFM.Cap sebagai selebran utama merupakan misa pembukaan Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) 2018. Perbedaan yang begitu menarik perhatian adalah ketika para petugas misa menggunakan baju adat dari berbagai daerah di Indonesia. 

Tercatat 6 orang mengenakan baju adat masing-masing daerah antara lain dari suku Batak, Dayak Kanayatn, Flores, Manado, Jawa, dan Dayak Kapuas Hulu, maju ke mimbar membacakan kutipan Injil yang berbunyi, "Pergilah beritakanlah Injil kepada segala makhluk," dengan bahasa daerahnya masing-masing. Di samping itu petugas misa lainnya yaitu lektor, petugas pengantar persembahan, petugas kolektan dari Kring St Paulus, paduan suara dari Kring Sta Elisabet, penari dan pemain musik dari anak-anak asrama juga tak kalah semarak mewarnai gereja St Fransiskus Assisi Singkawang dengan mengenakan baju daerah pada saat bertugas dalam misa. Hal ini tak lepas dari tema BKSN 2018 yang digagas oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) yaitu "Mewartakan Kabar Gembira dalam Kemajemukan". 

Selain merupakan misa pembukaan BKSN 2018, pada misa yang berdurasi lebih kurang 1,5 jam ini juga dilakukan pelantikan terhadap pengurus Badan Pelayanan Pemakaman Katolik Singkawang (BPPKS) masa bakti 2017-2022. Di sela pelantikan, Pastor Paroki yang juga merupakan ketua BPPKS menyematkan harapan terhadap kinerja para anggota yang diharapkan mampu memberikan pelayanan jauh lebih baik bagi umat. 

Tak sampai di situ, pada pukul 14.00 Gereja Katolik Paroki Singkawang juga menggelar pawai pembukaan Bulan Kitab Suci Nasional 2018.  Pawai dalam rangka pembukaan BKSN ini sudah 2 tahun berturut-turut digelar, dan pada tahun 2018 ini diikuti lebih banyak peserta. Tercatat sebanyak 2047 peserta pawai dari berbagai kalangan baik dari biarawan biarawati berbagai ordo, persekolahan, stasi, kring, kelompok doa, perkumpulan aktivis gereja, maupun instansi turut memeriahkan pawai pembukaan BKSN 2018. 

Pawai yang dilepas oleh pastor paroki ini memulai start dari halaman persekolahan SDS Suster ini menempuh rute yang cukup panjang, mengelilingi Kota Singkawang yang akhirnya finish di halaman gereja. Tidak hanya sekadar pawai saja, namun tahun ini panitia penyelenggara BKSN 2018 juga menyiapkan berbagai bingkisan hadiah bagi peserta pawai dengan penampilan terbaik. (Nat) 













21 Apr 2019

REUNI MISDINAR MENAMBAH BAHAGIA DAN HARU PASKAH 2019 DI PAROKI SINGKAWANG

REUNI MISDINAR MENAMBAH BAHAGIA DAN HARU PASKAH 2019 DI PAROKI SINGKAWANG




Ada yang benar-benar istimewa pada pekan suci 2019 di Gereja Katolik St Fransiskus Assisi Singkawang. Bagaimana tidak, umat dibuat terheran-heran melihat para misdinar yang melayani jalannya misa dan ibadat pekan suci tahun 2019 ini. Jika dilihat dari posturnya, para misdinar ini bukanlah tergolong usia SEKAMI (Serikat Kepausan Anak dan Remaja Misioner) yang selama ini aktif menjadi pelayan misa atau ibadat. Ya, tak lain tak bukan para Misdinar yang mampu membuat umat terperangah sepanjang pekan suci kali ini adalah para misdinar dari angkatan terdahulu. 

Umat yang sejak tahun 80'an dan 90'an selalu ikut dalam perjamuan Ekaristi maupun ibadat di Gereja St Fransiskus Assisi Singkawang pasti tak asing dengan wajah-wajah mereka. Ditaksir dari usia para misdinar ini kemungkinan berada di kisaran 30-45, namun semangat melayani mereka tetap tak kalah membara. Para misdinar senior ini ternyata memang sengaja "pulang kandang" ke Kota Singkawang khususnya ke Gereja Paroki St Fransiskus Assisi Singkawang untuk menggelar reuni dan memantapkan diri kembali melayani gereja dan Bapa. 

Kehadiran mereka mampu memberikan warna berbeda dalam ibadat dan misa sepanjang pekan suci 2019. Selain memberikan warna berbeda, hadirnya di tengah umat pun sungguh menumbuhkan rasa haru dan menambah syahdu pekan suci kali ini. Di samping itu, satu pesan amat berharga telah mereka sampaikan dan tularkan, bahwasanya pada angka berapapun kita menginjak usia, namun tekad dan niat melayani gereja dan Bapa adalah sesuatu yang tidak akan pernah ada habisnya. Selamat berkumpul kembali, selamat reuni, terima kasih tak terhingga untuk pelayanan terbaik dari Anda semua. Selamat Paskah 2019 bagi Anda dan bagi kita semua! (Hes)
















16 Sep 2016

Kerudung Mantilla: Satu Dari Sejuta Tradisi Iman Katolik

Kerudung Mantilla: Satu Dari Sejuta Tradisi Iman Katolik


Kerudung adalah   kain yang berfungsi untuk menutupi kepala seorang perempuan. Pada gambar di atas, ada banyak kerudung yang dipakai oleh para wanita dengan tujuan dan maksud  yang mulia. Mantilla adalah kerudung yang dipakai oleh Wanita Katolik setiap akan menghadiri Adorasi maupun Misa Kudus. Pemakaian Mantilla pernah diwajibkan pada praKonsili Vatikan II kemudian direvisi dan diganti menjadi anjuran sehingga tidak ada salahnya jika ada umat yang memakainya di gereja saat misa atau pun melayani di altar. Dasar Kitab Suci mengenai penggunaan kerudung dalam liturgi terdapat dalam 1 Korintus 11:2-16 dimana dikatakan “Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat… Pertimbangkanlah sendiri: patutkah seorang perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung?” Walaupun dalam suratnya tersebut, St Paulus  ingin menegur jemaat di Korintus tapi tidak ada salahnya bukan jika tradisi ini dibangkitkan kembali.

Tak bisa dimungkiri bahwa tradisi pemakaian Mantilla pernah hidup dalam Gereja Katolik dan pernah menjadi kewajiban. Namun seiring perkembangan zaman, tradisi ini mulai terlupakan. Akhirnya kebanyakan mindset atau pola pikir seseorang beranggapan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan kerudung, pasti berkaitan dengan Wanita Muslim. Bahkan ada celotehan yang mengatakan Mantilla itu Jilbab dan mirip nenek-nenek. Padahal wanita-wanita Yahudi, wanita Katolik di Korea Selatan dan Amerika Latin, para biarawati, wanita Hindu-India dan dari banyak Negara juga memakai penudung kepala sehingga tidak ada istilah “ikut-ikutan” di antara semuanya ini. Bahkan, Bunda Maria sering digambarkan dengan memakai kerudung dan jika kita memperhatikan pada lukisan Dewi Kwan Im dalam agama Buddha Ia pun digambarkan mengenakan kerudung. Maka, sesungguhnya kerudung adalah hal yang lumrah yang sudah begitu lama dikenal di peradaban manusia.

Berdasarkan kegunaannya antara Mantilla dan  Jilbab memang sangat berbeda. Secara umum, jilbab dipakai dengan menutupi kepala, leher sampai dada dan penggunaannya untuk setiap hari. Sedangkan mantilla hanya dipakai untuk menutupi kepala seorang perempuan Katolik saat di hadapan Sakramen Maha kudus dimana ia (yang memakai Mantilla) menekankan feminimitas dan keindahan dirinya, namun ia secara bersamaan juga menunjukan dengan cara yang sedemikian rupa sehingga membangkitkan kesadaran bahwa Allah yang ada di atas Altar jauh lebih indah dari pada dirinya. Suatu sikap kerendahan hati yang ingin memperlihatkan Allah. Kerudung Misa menjadi sebuah tanda bagi orang lain, karena kerudung itu menyatakan bahwa ada sesuatu yang berbeda yaitu: bahwa Allah sungguh hadir di tengah kita. Dan apapun yang dapat kita lakukan untuk membantu memusatkan perhatian kepada-Nya, untuk menunjukkan bahwa Misa itu spesial, bahwa Misa itu khidmat, bahwa Misa itu sesuatu yang harus kita perlakukan dengan serius, dan bahwa kita perlu mempersiapkan seluruh diri kita untuk Misa Kudus. Kemudian  memakai kerudung misa dapat mengajak umat lainnya untuk berpakaian yang pantas saat akan pergi ke gereja. Selain itu, kerudung misa dapat membuat Anda untuk lebih focus dalam Perayaan Ekaristi dan membantu Anda untuk melepas sejenak beban duniawi untuk menikmati kasihTuhan dalam perayaan Ekaristi.

Mantilla menyerupai kerudung pengantin, karena yang memakainya adalah para mempelai Kristus yang sungguh merasakan kehadiran-Nya yang penuh mesra; dimana Ia menyerahkan Tubuh dan Darah-Nya bagi dunia. Ah, betapa beruntungnya para biarawati yang seumur hidup menggunakan gaun dan kerudung pengantin mereka.
 
Di paroki kita, selain Putri Altar pertama yang memakai Mantilla di Kalimantan, ternyata Tuhan juga telah mengetuk hati seorang wanita yang baru setahun menjadi Katolik; dimana Tuhan memanggilnya untuk lebih dekat, lebih mendalami kasihNya dan lebih militant dalam gereja-Nya. Dia akrab disapa dengan nama Maria Venny. Ia merasa terpanggil untuk memakai Mantilla setelah ia melihat postingan foto dimana dua orang idolanya memakai Mantilla untuk lebih menghormati Tuhan saat Misa dan panggilan tersebut semakin kuat saat ia melihat Putri Altar memakainya saat bertugas. Saat memakai Mantilla untuk pertama kalinya di MisaPertama, ia tidak merasa malu, karena ia sudah siap di dalam hatinya dan terbukti baginya bahwa Mantilla membantunya untuk lebih focus saat misa. Dan ini sudah menjadi minggu ke-lima ia bermantilla bagi Tuhan. Ia tidak peduli dengan keadaan orang sekitarnya, dimana mungkin banyak yang melihat atau mungkin mencibirnya karena memakai semacam ‘jilbab’ di kepalanya karena tujuan awalnya untuk datang ke gereja yaitu hanya untuk bertemu dan mendengarkan Tuhan; bukan untuk mendengarkan apa kata orang, sehingga dia enjoy saat memakainya.
 
Mantilla adalah simbol ketaatan, kemurnian dan kesederhanaan. Hal tersebut itu harus dimengerti dan dihayati, tidak sekadar dipakai. Selain itu juga harus tercermin dalam ucapan dan tindakan dalam membangun persaudaraan sejati dan perdamaian dengan sesama. Ketika simbol hanya menjadi simbol dan tidak berbicara dalam hidup, maka ia menjadi simbol yang mati. Bagi Anda yang sudah siap bermantilla, Anda bias mendapatkannya di Instagram @twideemantilla atau kunjungi website  twideemantilla.blogspot.co.id. Semoga dengan hadirnya kembali mantilla dalam p perayaan Ekaristi di paroki kita, makna Misa sebagai misteri yang kudus tetap terjaga. Tuhan menunggu mempelai-Nya dalam Misa Kudus. Ayo bermantilla bagi Tuhan!
(Putri Altar St Tarsisius Paroki Singkawang)

2 Jul 2015

PEMBEKALAN GURU BINA IMAN ANAK MENJADI GURU BIA YANG KREATIF DAN MENYENANGKAN

PEMBEKALAN GURU BINA IMAN ANAK MENJADI GURU BIA YANG KREATIF DAN MENYENANGKAN




“Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.” (Mrk 10:14). Ayat ini sering dijadikan alasan kuat bagi gereja untuk memperhatikan iman anak-anak. Tentu sangat berbeda konteksnya anak-anak pada zaman Yesus dengan anak-anak sekarang. Jika dahulu anak-anak antusias datang kepada Yesus, apakah sekarang anak-anak juga antusias datang pada Yesus melalui Sekolah Minggu? Tidak bisa dimungkiri, gereja zaman sekarang berada di antara dua ketegangan. Ketegangan pertama, sebuah kesadaran bahwa anak-anak merupakan anggota gereja yang teramat penting karena mereka adalah yang empunya kerajaan Allah dan sekaligus mereka merupakan penerus gereja ini. Ketegangan kedua, justru pelayanan kepada anak-anak dirasakan sangat kurang maksimal, dan juga kurang merata menyentuh semua anak di paroki dan stasi.  Sekolah Minggu belum sungguh mampu menjawab kebutuhan akan pem-Bina-an Iman Anak (BIA). Selain belum menyentuh semua anak paroki/stasi karena terbatasnya pembina (katekis)  BIA juga karena proses Sekolah Minggu sering kali kurang menarik bagi anak-anak. Keprihatinan inilah  yang kemudian mendorong para pegiat katekese anak Paroki Singkawang menyelenggarakan pembekalan bagi para guru Sekolah Minggu.
  
Pelatihan ini diselenggarakan selama dua hari, 15-16 Mei 2015. Frater Ferdinand, OFM.Cap sebagai fasilitator mengemas seluruh rangkaian acara dalam dua topik utama, yakni spiritualitas sebagai guru Sekolah Minggu dan teknik implementatif mengemas Sekolah Minggu yang menarik dan menyenangkan. Topik pertama menjadi teramat penting karena setiap orang yang hendak menjadi pelayan haruslah memiliki spiritualitas (dorongan roh) yang benar. Para guru Sekolah Minggu (peserta pembekalan) pada kenyataanya lebih banyak bukan dari kelompok profesional pendidik dan pengajar tetapi dari para Orang Muda Katolik (OMK) yang didorong oleh keinginan besar untuk melayani anak-anak. Justru berawal dari hati seperti inilah, Tuhan akan membentuk mereka menjadi rasul-rasul tangguh di Sekolah Minggu, sebuah sekolah Bina Iman Anak. Frater Ferdinand, OFM,Cap sadar bahwa kerelaan dan ketulusan hati untuk melayani belumlah cukup sebagai modal menjadi guru Bina Iman Anak. Mereka harus dibekali dengan pengetahuan yang cukup dan keterampilan yang memadai supaya mampu mengemas proses Sekolah Minggu menjadi menarik dan menyenangkan. Dengan cara yang sangat menarik dan kreatif, Frater memberikan trik-trik bagaimana mengajar sekolah minggu yang menarik dan menyenangkan. Berbagai model dan metode ditampilkan, seperti mendongeng, mewarnai gambar, aktivitas “Hasta Karya”, pujian dan permainan dan sejenisnya mampu membuat proses Sekolah Minggu menjadi sangat menarik. Dengan proses yang menarik dan menyenangkan kita mampu membawa anak-anak lebih dekat pada Yesus, Sang Juru Selamat. Dengan cara seperti ini pula para guru Sekolah Minggu akan mengalami bahwa hidup mereka sungguh akan diubah oleh Tuhan karena mereka akan sangat kreatif dan inovatif yang tergerak oleh hati yang tulus dan cinta kepada anak-anak.

Sekolah Minggu bukan hanya sebagai sebuah komunitas anak yang diwarnai dengan bermain dan bernyanyi melainkan juga sebagai komunitas yang berorientasi pada pendidikan rohani dan iman kepada Yesus. Oleh karena ini, anak-anak sejak dini telah dikenalkan dengan liturgi peribadatan dan Ekaristi. Pada kesempatan ini, Frater Ferdinand, OFM.Cap memberikan pembekalan bagaimana mengemas peribadatan yang sesuai dengan tata  cara peribadatan gereja tetapi sekaligus menarik dan sesuai dengan karakteristik dunia anak. Dengan ini dimaksudkan agar warta kitab suci dapat masuk dan diterima oleh anak-anak sesuai dengan usia mereka (kontekstual).

Kita menyadari betapa pentingnya pewartaan kabar gembira kepada anak-anak melalui Sekolah Minggu. Kita pun sadar bahwa para katekis Sekolah Minggu masih jauh dari cukup, baik itu jumlah maupun kemampuan dan ketrampilan. Akan tetapi, kesiapsediaan hati untuk melayani dan belajar kepada Bunda Maria yang berucap “Sungguh aku ini hamba Tuhan” (Luk 1:38a) kita berharap para guru Sekolah Minggu Paroki Singkawang menjadi rasul-rasul yang militan dan nabi-nabi cinta kasih di antara anak-anak. Tuhan Memberkati. (SHe)

29 Feb 2016

SEJARAH PAROKI SINGKAWANG



SEJARAH PAROKI SINGKAWANG



SITUASI UMUM SINGKAWANG


Singkawang adalah sebuah kota yang terletak di Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Kota ini dikelilingi oleh pegunungan, yaitu gunung Pasi, gunung Poteng dan Sakok. Singkawang adalah sebuah nama yang berasal dari bahasa Cina Hakka atau Khek, San kew jong yang berarti sebuah di antara pegunungan dan kuala/muara dari beberapa sungai di tepi laut.
Sebagai sebuah Paroki, Paroki Singkawang dapat dikatakan terdiri atas dua bagian. Bagian pertama adalah bagian yang masuk dalam wilayah Pemkot Singkawang, kecuali wilayah Kecamatan Singkawang Timur yang merupakan bagian dari wilayah Paroki Nyarumkop. Jadi Bagian kedua ialah bagian yang masuk dalam wilayah Kabupaten Bengkayang, yang meliputi seluruh wilayah Kecamatan Capkala dan Sungai Raya.
Di sebelah utara Paroki Singkawang berbatasan dengan Paroki Pemangkat, di sebelah timur dengan Paroki Nyarumkop, dan di sebelah selatan dengan “Stasi” Mempawah, yang merupakan bagian dari Paroki Sungai Pinyuh.
Letak kota Singkawang di persimpangan jalan raya dari Pontianak (145 km) ke Sambas (75 km) dan jalan raya ke Bengkayang (70 km) dan daerah pedalaman menyebabkan bahwa kota ini dari zaman dulu menjadi pusat perdagangan.
Keadaan jalan dan hubungan lalu lintas baik sekali dan lancar kecuali jalan ke beberapa kampung yang terpencil di pedalaman. Penduduknya terdiri multietnis. Ada tiga etnis besar yang berada di wilayah ini, yaitu: Tionghoa, Dayak dan Melayu. Yang lainnya adalah Jawa, Madura, Batak, dll.
Selain pusat pemerintahan, kota Singkawang juga merupakan pusat perdagangan seluruh Kabupaten. Di luar kota bagian utara dan selatan Kecamatan Sungai Raya terutama di kampung-kampung Melayu terdapat banyak nelayan. Di sebelah timur dan selatan kota Singkawang di kampung-kampung orang Dayak terdapat areal-areal pertanian: persawahan dan perkebunan. Orang Tionghoa terkonsentrasi di pusat kota dengan pekerjaan bisnis dan perdagangan, meski tidak sedikit juga mereka yang bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan.

SEJARAH SINGKAT PAROKI SINGKAWANG

 

Singkawang pada awalnya adalah stasi pertama di Kalimantan bagian Indonesia. Sekarang merupakan sebuah paroki yang cukup besar di wilayah Keuskupan Agung Pontianak. Sejarah bermulanya gereja (misi) di Kalimantan dimulai dari Singkawang.
Pada mulanya Singkawang merupakan daerah turne pastor dari Jakarta. Menurut catatan paroki, tahun 1873 sudah ada umat yang dipermandikan oleh Pastor J. de Vries, SJ. Stasi ini didirikan tahun 1885, dengan Pater Staal SJ. sebagai pastor Paroki pertama. Sesudah Pater de Vries, SJ dan Pater Staal, SJ. di tarik ke Jawa, misi di Kalimantan tanpa pastor ini berlangsung dari tahun 1897 sampai tahun 1905.
Sejak masa itu pimpinan misi Yesuit berusaha mencari ordo lain yang bersedia untuk mengurus misi di Kalimantan. Pada tanggal 11 Februari 1905 Kongregasi Penyebaran Iman di Roma mendirikan Prefektur Apostolik Kalimantan yang meliputi seluruh pulau Kalimantan yang dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan pusatnya Singkawang.
Prefektur baru itu dipercayakan kepada Ordo Kapusin. Kemudian Pimpinan Ordo menugaskan kepada Kapusin-Kapusin Negeri Belanda untuk mengurus misi itu.
Pada tanggal 10 April Pater Pacifikus Bos diangkat sebagai Prefek Apostolik. Pada tanggal 30 November 1905 Pater Prefek Pacifickus bersama tiga pastor dan dua bruder menjejakkan kakinya pertama kali di Singkawang, di mana mereka menemukan sebuah gedung gereja kecil dan sebuah rumah pastor yang sederhana. Mereka belum mengerti apa-apa mengenai bahasa dan kebiasaan setempat.
Mereka disambut hangat oleh umat yang terdiri dari orang-orang Tionghoa perantau (kurang lebih 150 orang Katolik). Seorang katekis, pemimpin umat, bertindak sebagai juru bahasa. Pada akhir tahun 1906 tenaga mereka ditambah dengan empat orang pastor, dua orang bruder dan lima orang suster Fransiskanes dari Konggregasi Veghel.
Suster-suster itu mulai mengasuh anak-anak yatim-piatu, mengobati orang sakit, dan mengunjungi tempat pengasingan bagi penderita penyakit kusta, yang terletak di luar kota Singkawang.
Awal 1907 dua orang pastor ditugaskan untuk membuka stasi di Kalimantan Timur. Dan sejak Oktober 1907 seorang pastor menetap di Pemangkat; ia mendirikan Gereja dan sekolah di tengah-tengah orang Daya di Pelanjau, yang tahun 1916 dipindahkan ke Nyarumkop.
Pada permulaan tahun 1909 stasi Pontianak di buka. Bersamaan dengan itu Pater Prefek memindahkan pusat kegiatan misi dari Singkawang ke Pontianak.
Metode yang dipakai oleh para misionaris baru ini tidak lain dari pada yang di pakai di daerah-daerah misi pada umumnya pada masa itu. Mereka berusaha untuk membangun sekolah-sekolah sebanyak mungkin dengan harapan agar anak-anak itu kemudian dipermandikan. Para Pastor, Bruder dan Suster sendiri mengajar di sekolah karena guru-guru belum ada pada waktu itu.
Anak-anak sekolah sedapat mungkin diasramakan, dan di luar jam sekolah dapat dididik secara Katolik. Kebun-kebun karet dan kelapa di sekitar Singkawang dibelikan, ini sebagai sumber materiil untuk misi. Pada tahun 1918 rumah sakit didirikan berkat bantuan subsidi pemerintah; begitu juga dengan rumah sakit kusta (1925).
Bagi sekolah-sekolah besar di kota misi mendapat tenaga baru dari Bruder-bruder MTB (Maria Tak Bernoda) dari Konggregasi Huijbergen yang sejak tahun 1921 memimpin Hollands Chinese School (HCS) di Singkawang, lalu menyusul di Pontianak 1924.
Pada tahun 1913 yang lalu Bruder Wenceslaus telah mulai mendidik beberapa orang untuk menjadi pembantunya dalam pembangunan (Pertukangan), tahun 1928 sekolah pertukangan di Pontianak didirikan.
Tahun 1937 para suster Klaris Kapusines mulai hidup dengan komtemplatif di bumi Kalimantan dalam sebuah biara yang didirikan di samping gedung gereja di paroki Singkawang. Mereka pada mulanya tidak menerima tugas dari luar tembok biara. Hidupnya dengan doa siang dan malam untuk mohon berkat dan rahmat Tuhan atas Umat Kalimantan.
Sampai disini kita melihat karya misi Katolik di Singkawang meliputi: Gereja, sekolah, asrama dan rumah sakit. Para Pastor sering masuk ke kampung-kampung sekitar yang merupakan bagian wilayah Paroki Singkwang. Sampai sekarang metode kerja itu masih berlaku. Hanya di pihak lain keterlibatan awam makin menonjol. Melalui Dewan Paroki dan pembentukan Kring-kring umat awam semakin banyak melibatkan diri dalam kegiatan Paroki. Stasi-stasi luar kota semakin sering dikunjungi oleh para pastor, yang dibantu oleh guru agama dan petugas pastoral awam lainnya. 

Sumber: www.parokisingkawang.blogspot.co.id

6 Jul 2015

Keluarga Kuat, Gereja Kuat: Belajar Menjadi Orang Tua dari Maria dan Yusuf

Keluarga Kuat, Gereja Kuat:  Belajar Menjadi Orang Tua dari Maria dan Yusuf


Image by Google
Tumbuh  dan menjadi orang tua barangkali sebuah keniscayaan. Namun, menjadi orang tua yang bijaksana merupakan sebuah panggilan. Setiap pasangan suami-istri yang menikah dipanggil untuk menjadi orang tua yang bijaksana. Orang tua yang menyediakan diri mereka menjadi alat Tuhan untuk mendidik, dan mendampingi anak-anak menuju kepada kesuksesan. Walau itu tidaklah mudah. Terlebih di mana perkembangan teknologi saat ini sangat pesat, dan tantangan makin besar. Anak sejak dini telah disuguhi berbagai iklan yang cenderung merusak kesejatian manusia sebagai citra Allah. Televisi, internet dan media sosial lebih akrab dengan anak dibanding dengan orang tuanya. Kenyataan ini membuat anak-anak terasing dari dunianya, “Masyarakat yang  kehilangan identitas” kata Henri J.M. Nouwen. Padahal kita tahu keluarga yang kuat menjadi prasyarat terbentuknya gereja dan negara yang kuat.

Kita dipanggil Allah untuk membangun keluarga yang kuat, mendidik anak-anak dengan pola cinta kasih Kristiani. Dari Maria dan Yusuf kita bisa belajar menjadi orang tua dalam mengasuh anak-anak secara benar sesuai dengan rencana Allah. Kita akan belajar bagaimana mereka mendidik dan membesarkan Yesus. Keteladanan Maria dan Yusuf dapat kita lihat dari Lukas 2 :41-52 “Yesus pada umur dua belas tahun dalam Bait Allah”

Konsep diri positif
. Maria dan Yusuf memiliki konsep positif mengenai penciptaan. Bagi mereka Yesus adalah citra Allah (bdk.1:26-28). Allah memberkati setiap anak dengan berkat ilahi (bdk. Kej 1:27-28). Persepsi ini sangat menentukan pola asuh. Jika orang tua memiliki persepsi yang keliru mengenai anak, maka pola asuh pun akan keliru juga. Setiap anak apapun keadaannya, ia adalah gambar Allah. Mereka adalah citra Allah yang diutus ke dalam keluarga kita masing-masing dengan misi tertentu.

Mengajak vs memerintah/menyuruh. Maria danYusuf adalah tipe orang tua yang mengajak anak, bukan tipe orang yang suka memerintah tanpa melaksanakan. “Ketika Yesus telah berumur 12 tahun pergilah mereka ke Yerusalem seperti lazimnya pada hari raya Paskah” (bdk Luk 2:41-42). Ajakan menjadi model efektif karena mengandung peneguhan dan penguatan yang besar. Pola ini mau mengkritik kecenderungan orang tua zaman sekarang yang lebih cenderung menyuruh atau memerintah.

Memberi ruang demokrasi vs otoriter.
  Maria dan Yusuf adalah contoh orang tua demokratis. Mereka selalu memberi kesempatan  kepada Yesus untuk menjelaskan apa yang dilakukan, dan dengan sabar mendengarkan Yesus, “Ibu, tidakkah Engkau tahu bahwa aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku”. Kesabaran Maria dan Yusuf pantas kita acungi jempol.  Dengan memberi ruang demokrasi anak akan terbiasa bertanggung jawab atas apa yang dikerjakan. Anak akan menjadi pribadi yang tahu mengapa dia melakukan dan mengapa dia tidak melakukan. Inilah kemandirian diri. Otoritas diri anak sangat dihargai oleh Maria dan Yusuf.  Dengan pola ini, anak merasa nyaman, aman, dan dihargai. Anak tidak merasa direndahkan. Perasaan ini menjadi pengalaman eksistensial anak dalam membangun konsep diri positif.

Memberi kebebasan yang tetap dikontrol.
Maria dan Yusuf sadar betul makna penting kebebasan dalam perkembangan pribadi Yesus. Mengekang seorang anak dengan berbagai peraturan dan larangan tidak lebih memperlakukan anak sebagai objek. Maria dan Yusuf memberikan kepada Yesus kebebasan yang tetap dikontrol dan diawasi. Peristiwa ketika mereka pergi ke Yerusalem saat Yesus berumur 12 tahun di mana Maria dan Yusuf membiarkan Yesus berada di antara para kerabatnya merupakan bukti bahwa mereka memberi kebebasan. Sikap kontrol yang dilakukan Maria danYusuf ditunjukan dengan mencari Yesus kembali ke bait Allah. Banyak di antara orang tua sekarang, memberikan kebebasan kepada anak dengan sebebas-bebasnya, hingga orang tua tidak mengetahui lingkungan pergaulan si anak. Dan bahkan orang tua tidak “mencari” anak walau anak belum pulang ke rumah hingga larut malam. Kebebasan seperti ini identik dengan pembiaran. Hal ekstrem  lainnya adalah mengekang anak dengan berbagai larangan dan aturan hingga anak tidak memiliki kesempatan belajar dari dunia “luar” diri dan keluarganya.

Mengikuti anak secara bijak
. Sikap ini ditunjukkan oleh Maria dengan sangat baik, bahkan sampai ia mengikuti Yesus di jalan salib sampai di puncak Golgota. Dalam konteks pendampingan anak, mengikuti ini diartikan menemani anak. Memberikan waktu untuk menemani aktivitas anak, terutama ketika anak melakukan aktivitas terpenting dalam hidupnya, seperti ketika anak  pertama kali tampil dalam acara tertentu di sekolah, menemani ke gereja, saat anak ulang tahun, saat ia sakit  dan seterusnya. Ini akan memberikan kekuatan moral yang luar biasa besar kepada anak.

Tidak mendebat anak
. Mendebat di sini diartikan sebagai bentuk perlawanan terhadap gagasan atau argumentasi anak. Kita tahu dan sadar bahwa tidak setiap gagasan dan argumentasi anak itu benar, tetapi bukan berarti benar juga ketika kita langsung mendebatnya pada saat itu. Memberikan ruang kepada anak berdemokrasi juga berarti mendengarkan argumentasi dan gagasan anak ketika dia berusaha menjelaskan kepada kita mengapa dia melakukan tindakan tertentu. Jika gagasan itu kurang benar, akan lebih baik jika kita menyampaikan kekeliruan atas gagasan itu pada kesempatan setelah itu. Maria prototype dari sikap ini “Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” ( Bdk. Luk 2:19,51) 

Membawa dalam doa.
Sikap Maria yang selalu menyimpan semua perkara yang tidak dia pahami di dalam hatinya dan merenungkannya merupakan sikap doa yang sangat mendalam. Banyak hal tidak dipahami selama  membesarkan Yesus. Maria membawanya dalam doa. Bagi Maria, doa menjadi satu-satunya cara yang ampuh dalam pendampingan anak. Kekuatannya untuk tetap setia mendengarkan kehendak Allah dan melaksanakan terletak pada doa. Kita tahu setiap anak memiliki kelemahan dan kekurangan. Seringkali anak tidak mampu mengungkapkan keterbatasan dan keterbelengguan itu. Doa orang tua untuk anak adalah doa yang sangat ampuh. Yesus sendiri menyatakan kekuatan doa dan puasa mampu mengalahkan kekuatan roh jahat yang paling jahat (bdk. Mrk 9:29) Pernahkan kita sebagai orang tua melakukan doa dan puasa untuk anak kita?

Setiap orang barangkali bisa menjadi orang tua, tetapi tidak setiap orang tua mampu menjadi mitra Allah dalam mendidik anak sesuai dengan citra-Nya. Belajar dari keluarga Yusuf dan Maria serta parcaya akan penyertaan Allah, kita akan mampu melakukan misi itu. Membangun keluarga yang kuat berarti membangun gereja yang kuat. Dengan begitu kita telah ambil bagian dalam perwujudan Kerajaan Allah di dunia ini. Itulah misi kita sebagai pengikut Yesus. (Agustinus Purwanto, Katekis/Pengajar tinggal di Paroki Trinitas, Cengkareng Jakarta Barat)

13 Sep 2020

30 HARI PASCAPATAH HATI UMAT PAROKI SANTO FRANSISKUS ASSISI





KANGEN 

Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku 
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta.

Kau tak akan mengerti segala lukaku 
karena cinta telah sembunyikan pisaunya.

Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.

Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi.
Itulah berarti.
Aku tungku tanpa api.

WS. Rendra

Puisi Rendra: Kangen, melintas begitu rupa usai berita kepindahan itu aku terima. Meski kepindahannya itu belum terjadi, namun aku sudah bisa membayangkan bagaimana perasaan kangen atau rindu akan membayangi benak umat paroki ini.

Sebenarnya berita kepindahan itu telah sampai di tanganku sejak 3 Juli 2020. Seorang rekan kerja sesama tim komunikasi sosial paroki yang begitu rapat dengan kehidupan pastoral mengabarkan kepindahannya per 1 Agustus 2020 melalui aplikasi pesan singkat, Whatsapp. Mungkin begitulah rasanya istilah bagai disambar petir di siang bolong terjadi. Ya, siang itu, kira-kira 12 menit menjelang jam istirahat makan siang, kuterima berita kepindahan beliau yang hampir sewindu menjadi gembala kami, umat Paroki Singkawang.

Sedih, pasti. Terperanjat, sangat! Merasa kehilangan, rasanya tak terkatakan. Bagaimana tidak, sosok gembala yang luar biasa sederhana, hampir tak bercacat cela seolah begitu saja dirampas dari batin umat yang selama ini sudah demikian rapat, lekat, dan hangat dengan pribadinya. 

Sejak awal beliau datang, hampir delapan tahun silam, kala itu paroki berumur lebih dari seabad ini seolah sejuk disirami dengan candaan ringan yang rasanya, 'receh' istilah anak gaul milenial. 

"Perkenalkan, nama saya, Gathot, singkatan dari ganteng total!"

Bayangkan, dengan nada polos dan jenaka kalimat tersebut meluncur begitu saja dari bibir seorang gembala dan tentunya segera disambut gelak tawa umat seantero gereja. Dengan kalimat sesederhana namun jenaka itu ia seolah menjelma menjadi kelebat kilatan blitz, dengan cara begitu instan beliau mampu mencuri hati umat yang tentu sebelumnya diliputi gundah gulana karena ditinggalkan pastor paroki sebelumnya, Amandus Ambot, OFMCap, yang mendapat tugas baru sebagai propinsial.

Berikutnya dapat ditebak, seiring berjalannya waktu, sinergi mampu diciptakannya di Fransiskus Assisi.  Ia begitu lembut, memberi dan menanggapi. Ia begitu sederhana, terampil namun tetap bersahaja. Persis seperti kesan seorang ketua lingkungan pada saat menyampaikan pidato perpisahan, "Selama beliau memimpin paroki ini, tak pernah sekalipun kami mendapati beliau marah atau bicara dengan nada tinggi." Rasanya untuk seorang manusia itu adalah hal yang luar biasa. Memang yang tampak pada kami adalah sosoknya yang tenang, tidak pernah terpancing emosi. Namun siapa yang mampu menyangka gejolak dalam hati. Ada kalimat bijak mengungkap, tidak semua orang tahu bahwa ruangan yang hening kadang menyimpan rasa paling bergemuruh. Ya, tidak semua orang tahu dan mau memahami. Hanya dia dan penciptanya saja yang tahu gejolak batinnya. Namun ekspektasi orang tentang gembala yang menjadi pengayomnya dibingkai utuh dalam sosok sederhana, tenang, bijaksana, tak bercacat cela sanggup dipersembahkannya. Hampir delapan tahun beliau memang mampu mewujudnyatakan itu pada umat yang digembalakannya.

Selama hampir sewindu itu juga beliau hanya mengambil hitungan jari pada kedua telapak tangan untuk merasakan istirahat cuti melayani tugas kegembalaan. Pun dalam istirahat cutinya itu beliau tetap tak lepas memonitor geliat paroki tempatnya menggembala. Dering ponselnya seolah tak pernah ikhlas melepasnya beristirahat. Ada saja sapaan, aduan, keluhan, atau sekadar pernyataan yang mau tidak mau, suka tidak suka harus tetap selalu dilayaninya. Jika merujuk pada iklan brand salah satu minuman berkarbonasi, maka tak lebih tak kurang pada beliau dapat disematkan jargon, "Kapan saja, di mana saja!" Begitulah dia, mau dan mampu melayani umat kapan saja dan di mana saja. 

Hei rupanya tidak hanya umatnya saja yang dilayaninya sekuat pikir dan tenaga. Saudara-saudara seper-imam-annya pun tak luput dari pantauannya selama tinggal di Fransiskus Assisi. Betapa diam-diam beliau selalu memastikan keadaan kesehatan senior-senior yang seatap dengannya (Pastor Marius, Pastor Yeri {almarhum}, Romo Agus, dan Pastor Pasifikus). Pernah suatu masa, kala itu beliau sedang bersama kami sebagian kecil panitia tahun acara ulang tahun 111 tahun paroki melepas penat seusai giat. Kami memutuskan untuk sekadar bersantap di luar sekaligus menyegarkan pikiran. Usai bersantap salah seorang dari kami menawarkan untuk melanjutkan menikmati malam dengan menyesap kopi di kedai kopi. Jawaban beliau tak terduga. Beliau menolak halus ajakan kami dengan ujaran, "Saya harus pulang, asuhan saya ada empat di rumah, khawatir beliau-beliau butuh sesuatu atau butuh saya." Seketika kami semua memutuskan balik kanan, bubar jalan. Masing-masing akhirnya memilih pulang tak jadi melanjutkan menikmati malam. Oh ya, ada sedikit bocoran ketika Sang Meneer Belanda yang keras kepala (alm Pastor Yeremias Mellis, OFMCap) meninggal dunia. Saat itu mantan pastor paroki ini baru saja kembali ke pastoran. Mendengar kabar Pastor Yeri berpulang, beliau berlari sekencang-kencangnya sambil berurai air mata menuju rumah sakit yang bersebelahan dengan pastoran dan gereja. Beliau total merasakan duka kehilangan.  

Baik, mari tepiskan kenangan yang menyesakkan tentang kisah duka kehilangan pastor dari tanah Nederland, kita kembali pada geliat kegembalaan beliau di Paroki Singkawang. Hampir sewindu beliau mencurahkan segala tenaga dan pikiran demi harmonisasi umat Fransiskus Assisi. Banyak perubahan dihasilkan, banyak kemajuan dirasakan, banyak mata dan perhatian dari pihak luar menyorot ke Paroki Singkawang. 

Atmosfer hangat begitu nyata dirasakan ketika siapapun menyambangi gereja yang berposisi di jalur urat nadi kota paling tinggi toleransi ini. Dalam senyap beliau bekerja, mengumpulkan yang terserak, menyambung yang terputus, menyatukan yang tercerai, memperbaiki yang luka hati. Coba tanya pada umat Paroki Singkawang, acak, siapa saja, bagaimana sosok beliau di mata mereka. Siap-siap jawaban serupa akan Anda terima, dan garansi jawabannya adalah: beliau itu sederhana dan kehadirannya sungguh mendatangkan suka cita!

Sepengakuan beliau ketika dulu mendapat tugas kegembalaan di Paroki Singkawang, dan ketika menjejakkan kaki pertama kali dengan status pastor paroki, di pundaknya seolah disampirkan beban yang tak terukur beratnya. Belum lagi adaptasi lingkungan baru, mengenal wajah-wajah baru, karakter-karakter baru, pola pendekatan yang juga baru, menyesuaikan apa, siapa, bagaimana, dan kemana arah lawan bicara. Memang, suatu pekerjaan rumah yang tidak mudah. Namun sekali lagi berbekal teladan Fransiskus Assisi yang diikuti, ditambah sifat hangat dan jiwa bersahaja, tembok tinggi benteng umat paroki berhasil ia lompati. Sinergi, ya akhirnya hanya sinergi yang tercermin dari paroki ini. Betapa dengan kekuatan sinergi segala hal mampu diatasi, segala gawe akbar dikemas menjadi gebyar, segala keberhasilan mampu diwujudnyatakan.

Pilu membayangkan sosoknya duduk di muka pintu gereja yang digembalainya hampir sewindu dengan jutaan kenangan yang mengembara dalam benaknya. Seperti yang ia sampaikan ketika hampir meninggalkan Paroki Singkawang, di suatu sore duduk tepat di depan gereja, melayangkan ingatan pada kenangan-kenangan yang mungkin saja sanggup ia tepiskan namun tidak akan terlupakan. Menapak tilas seorang putra kelahiran Muntilan yang mampu menaklukkan hati umat Paroki Singkawang dalam karya kegembalaan. Dialah Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFMCap atau yang akrab disapa Romo Gathot. Seorang romo yang berita kepindahannya menjadi hari patah hati umat paroki.

Romo, kini kami telah mendapat gembala pengganti. Yang dari suaranya selalu tampak riang hati, yang dari tutur katanya sungguh mencerminkan kecerdasaannya, yang dari penampilannya pun tak kalah bersahaja. Seperti penggalan puisi Rendra di atas, 

"Kau tak akan mengerti segala lukaku 
karena cinta telah sembunyikan pisaunya."

Ya, cinta kasih gembala baru yang kiranya akan sanggup meredam luka kehilangan gembala sepertimu. 

Pinta kami, umat paroki, bawa kami selalu dalam doa, Romo. Terima kasih untuk segala keringat dan buah pemikiran yang sudah Romo curahkan bagi Paroki Singkawang. Selamat berkarya di tempat baru, semoga selalu mampu menjelma sebagai pelita agar sekitarmu semakin merasakan benderang cahaya-Nya. (Hest)



16 Mar 2016

Kunjungan Muhibah Saudara Seiman dari Sabah

Kunjungan Muhibah Saudara Seiman dari Sabah


Menyandang predikat sebagai salah satu gereja yang didaulat menjadi tempat pemerolehan rahmat indulgensi oleh Bapa Uskup Agung Pontianak membuat Gereja Santo Fransiskus Assisi Singkawang sebagai rujukan destinasi bagi para peziarah iman. Seperti halnya pada Senin, 14 Maret 2016, gereja mendapat kunjungan dari rombongan Paroki Santo Yohanes Senjontoran, Sabah. Rombongan yang diketuai oleh Justin Stephen ini terdiri dari 30 orang dan tiba di Singkawang pukul 15.30 Wib.

Serta merta misa digelar dan dipimpin oleh Pastor Gathot Sri Purtomo, OFMCap. Umat yang hadir terlihat khusyuk mendengarkan homili dari pastor. Meski terdapat sedikit perbedaan dalam hal bahasa namun hal tersebut tak menjadi penghalang bagi kelompok wisatawan rohani untuk memahami dan menghayati khotbah singkat pastor paroki.

Usai mengikuti misa rombongan didapuk untuk mengabadikan momen ziarah di depan Gerbang Kerahiman Illahi Gereja Santo Fransiskus Assisi Singkawang. (Hes)