Pengalaman Pertama Donor Darah yang Menegangkan
Hallo pembaca Buletin Likes yang budiman. Anda jika mendengar donor darah, mungkin pernah bertanya “Seperti apa sih rasanya donor darah?”, “Sakit ga sih?”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seringkali muncul di benak orang-orang yang belum pernah melakukan donor darah. Wajar saja, karena hampir semua hal yang berhubungan dengan darah memiliki kaitan erat dengan rasa sakit. Apalagi jika darah kita yang keluar dalam jumlah yang cukup banyak. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut saya akan berbagi cerita tentang pengalaman pertama saya melakukan donor darah.
Sebelum masuk lebih lanjut lagi, kita perlu mengetahui apa sih itu donor darah dan apa tujuannya. Donor darah adalah proses pengambilan darah untuk disimpan di dalam bank darah sebagai stock darah bagi orang-orang yang membutuhkan transfusi darah. Hal ini sangat penting sekali mengingat ketersediaan darah untuk transfusi akan sangat membantu untuk menyelamatkan nyawa orang lain yang membutuhkannya.
Pada tanggal 28 Agustus 2016, Gereja Paroki Santo Fransiskus Assisi mengadakan aksi donor darah yang diadakan di pelataran Gua Maria. Acara ini diselenggarakan oleh Orang Muda Katolik yang bekerjasama dengan PMI Kota Singkawang. Banyak sekali umat yang mendaftarkan diri untuk mengikuti aksi donor darah tersebut. Saya sendiri pada saat itu bertugas sebagai panitia yang mengurus pengisian formulir untuk para pendonor. Pada saat itu saya sama sekali tidak berpikiran untuk mendonorkan darah saya karena di dalam kepala saya sudah banyak sekali ketakutan-ketakutan yang ditimbulkan oleh berbagai macam pertanyaan seperti di awal bacaan tadi. Belum lagi saya pernah mendengar isu yang belum tentu jelas kebenarannya bahwa ada pendonor yang darahnya tidak bisa berhenti mengalir setelah melakukan aksi donor dan ada juga pendonor yang luka bekas jarum donornya memancurkan darah ketika mengangkat benda berat setelah melakukan aksi donor darah. Pokoknya saya tidak mau melakukan donor darah.
Tetapi Tuhan berkata lain, mungkin karena tahu kalau saya takut untuk mendonorkan darah, diam-diam seorang teman saya yang pada saat itu juga menjadi panitia (Paulina Puspitasari) mengambil sebuah formulir pendaftaran donor darah dan mengisinya dengan data saya. Setelah data tersebut terisi penuh dengan santainya ia memberikan formulir tersebut untuk saya bubuhi tanda tangan. Sontak melihat hal tersebut saya menolak untuk melakukannya. Perdebatan pun terjadi. Saya tetap kukuh menolak untuk menandatangani formulir tersebut. Di sisi lain teman saya dengan gigih berusaha meyakinkan saya bahwa donor darah tidak seseram yang saya bayangkan. Entah ia ingin mengerjai saya dengan menyodorkan rasa takut akan donor darah di depan wajah saya atau ia memang ingin meyakinkan saya.
Sejenak saya terdiam dan bertanya dalam hati. “Jika donor darah menyeramkan, mengapa banyak umat yang mendaftar? Jika donor darah berbahaya, mengapa gereja memfasilitasinya dan mengapa orang-orang kesehatan sangat menganjurkan untuk melakukan donor darah?” Akhirnya dengan berat hati saya pun membubuhkan tanda tangan saya di atas formulir tersebut. Toh hidup hanya sekali, apa salahnya saya mencoba hal yang cukup menantang seperti ini celetuk saya di dalam hati bertujuan untuk menguatkan mental.
Tidak lama setelah mengumpulkan formulir, saya pun dipanggil tim dokter untuk melakukan check up. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah saya layak atau tidak untuk melaukan donor darah dari segi kesehatan dan kekuatan fisik. Tensi dan tekanan darah saya pun diukur oleh para dokter tersebut dan TERNYATA saya layak untuk melakukan donor darah. Sebuah jawaban yang bertentangan dengan hati kecil saya yang sebenarnya mengharapkan hasil sebaliknya. Namun semuanya sudah terlambat dan saya harus melanjutkan ke proses berikutnya yaitu masuk ke dalam ruang donor darah.
Ketika saya memasuki ruangan donor darah, saya melihat sebuah tumpukan yang mirip dengan kantong infus yang berisikan darah para pendonor sebelum saya. Sebelum berbaring di tempat tidur saya sempat bertanya kepada seorang perawat. “Kak bagaimana jika ternyata darah di dalam kantong darah ini milik seseorang yang memiliki penyakit berbahaya yang bisa ditularkan melalui transfusi darah?” Saya menanyakan hal tersebut karena sebelumnya tidak ada test untuk mengetahui apakah para pendonor yang akan mendonor memiliki penyakit yang bisa ditularkan melalui transfusi darah atau tidak. Perawat tersebut menjawab “Nanti setelah terkumpul, darah-darah ini akan diperiksa di lab dan jika ditemui penyakit di dalamnya, maka si pemilik darah akan dihubungi melalui kontak yang tertulis di dalam formulir donor darah.” Saya pikir bagus juga, hitung-hitung cek kesehatan gratis.
Akhirnya saat-saat yang paling menyeramkan pun tiba. Saya harus berbaring di tempat tidur dan bersiap untuk melakukan transfusi darah. Teman saya yang dengan jahilnya menulis data saya di dalam formulir tadi juga ikut mendampingi saya pada saat itu. Seperti kata-kata orang pada umumnya ia mengatakan “Ga sakit kok, cuma seperti digigit semut.” Tapi saya tidak semudah itu percaya ketika melihat jarum yang sudah terhubung dengan kantong darah yang siap menampung darah saya mendekat. Beberapa kali saya meronta untuk mengelak dari jarum tersebut. Hingga akhirnya perawat tersebut mengatakan bahwa saya harus tenang supaya tidak terluka oleh gerakan saya sendiri. Saya akhirnya pun pasrah karena sadar bahwa tidak ada jalan untuk melarikan diri lagi dari semua ini. Ketika jarum tersebut mendekat, saya menutup mata dan bertanya “Sudah ditusuk belum?” mendengar pertanyaan saya tadi, perawat tersebut tertawa dan mengatakan bahwa jarumnya sudah menancap di tangan saya dan darah segar mulai mengalir melalui selang ke dalam kantong darah.
Tidak ada rasa sakit sama sekali. Bahkan digigit semut masih jauh lebih sakit jika dibandingkan dengan rasa ditusuk jarum donor. Mulai saat itu segala rasa takut saya terhadap donor darah hilang seketika. Saya juga merasa telah melakukan sebuah hal besar dalam hidup saya dan berencana untuk melakukan donor darah lagi di periode berikutnya. Begitulah pengalaman pertama saya melakukan donor darah. Selang beberapa lama setelah mendonor saya merasakan bahwa badan saya terasa lebih ringan, segar dan juga lebih sehat. Ayo jangan takut untuk mendonorkan darah! Setetes darahmu nyawa bagi sesama. (Gebot)