Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri profil gereja. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri profil gereja. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

29 Mei 2016

Misa Perdana Empat Imam Baru Kapusin di Gereja St Fransiskus Assisi

Misa Perdana Empat Imam Baru Kapusin di Gereja St Fransiskus Assisi

 

 

Hari Minggu tepatnya tanggal 24 April 2016, halaman depan Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi Singkawang dipenuhi dengan tenda-tenda bazar. Pemandangan seperti ini menandakan ada sesuatu yang special pada hari tersebut. Ya! Benar saja, hari itu, keempat imam Kapusin muda akan menyelenggarakan misa perdananya di Singkawang. Keempat imam tersebut adalah  Pastor Lorenzo Helli, OFMCap, Pastor Kristian Mariadi, OFMCap, Pastor Dominikus Dedy Sabemayono, OFMCap, dan Pastor Alfonsus Hengky Musa, OFM Cap.

Tak kenal maka tak sayang. Begitulah pepatah mengatakan bahwa untuk mengasihi dan menyayangi seseorang kita harus mengenalnya terlebih dahulu. Oleh karena itu, Bulletin Likes akan menyajikan profil dari keempat pastor muda yang ditahbiskan di Paroki Balai Sebut beberapa waktu yang lalu.
Sosok: Empat Imam Kapusin

Pastor Lorenzo Helli, OFM Cap 

Anak pertama dari empat bersaudara. Pastor yang baru saja berumur 31 tahun pada tanggal 18 April lalu ini memang sejak kecil ingin sekali menjadi pastor. Beliau sangat terpesona ketika melihat jubah imam-imam Kapusin ketika aktif di gereja sebagai anggota SEKAMI. Itulah yang melahirkan sebuah tekad yang kuat dalam diri Pastor Lorenzo untuk menjadi seorang pastor Kapusin.
Beliau memiliki moto “Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjadi penjala manusia.” Moto tersebut diambil dari perkataan Yesus kepada Petrus ketika Ia menunjuknya sebagai salah satu rasul-Nya setelah membuat mukjizat di danau Genesaret yang sedang mengalami kelangkaan ikan. Pastor Lorenzo berpesan kepada kita semua bahwa semua orang itu dipanggil untuk melayani sesame sesuai dengan bidangnya masing-masing dalam semangat persaudaraan. Ia juga berpesan bagi orang-orang muda yang memiliki panggilan untuk hidup membiara agar jangan takut terhadap panggilan tersebut. Coba saja.
 
Pastor Kristian Mariadi, OFM Cap

Pria kelahiran 19 Maret 1987 ini sejak kecil tidak pernah terlintas di pikirannya untuk menjadi seorang imam. Ia mulai menyadari panggilannya ketika memperhatikan keadaan gereja di sekitarnya di mana imam yang melayani sangat sedikit sedangkan umat sangat banyak. “Dulu itu hanya ada dua pastor yang melayani di banyak stasi, itulah mengapa saya ingin membantu mereka dengan menjadi pastor.” Itulah yang dikatakan pastor yang merupakan anak kelima dari enam bersaudara saat diwawancarai oleh Bulletin Likes. Ketika masih menjadi Frater, Pastor Kris memiliki beberapa pengalaman lucu dan seru seperti tidak mendapatkan konsumsi ketika melaksanakan turney ke sebuah stasi pada hal sudah malam, harus meninggalkan motor di tengah hutan dan berjalan kaki ke sebuah stasi karena jalan yang ditempuh dilanda banjir. Tapi semua itu tidak menyurutkan semangat dan tekadnya untuk menjadi seorang imam.

Beliau memiliki moto “Sesungguhnya aku adalah hamba Tuhan. Jadilah padaku menurut perkataan-Mu itu.” Moto tersebut diambil dari perkataan Bunda Maria saat dikunjungi oleh Malaikat Gabriel dan diberi kabar bahwa Ia akan mengandung. Kata-kata tersebut merupakan penyerahan diris ecara total kepadaTuhan. Menjadi seorang imam pun merupakan bentuk penyerahan diri yang total dan radikal demi kemuliaan Tuhan. Beliau berpesan kepada kaum muda agar maju saja bila memiliki keingian untuk hidup membiara. Dan untuk para orang tuas upaya jangan menghalangi keinginan tersebut, karena akan menyusahkan anak itu sendiri. “Kalau mau hidup membiara itu kalau nggak dicoba ga bakal jadi,” tegasnya.

Pastor Dominikus Dedy Sabemayono, OFMCap

Ahe gek kao kasihka’ Aku? Begitulah moto panggilan Pastor Dedi. Moto tersebut kemudian dijawabnya dengan kalimat “Ya! Saya mengasihi Engkau!” Anak ketujuh dari delapan bersaudara ini merupakan pastor termuda dari keempat pastor Kapusin yang baru saja ditahbiskan di Paroki Balai tersebut beberapa waktu yang lalu. Kemampuanya dalam memainkan berbagai macam alat musik seperti gitar, biola dan piano memberikan warna tersendiri bagi sosok berjanggut tersebut.

Masa-masanya ketika menjadi frater dihiasi berbagai macam pengalaman yang seru seperti jatuh bangun di jalan berlumpur ketika turney ke pedalaman saat musim hujan. Salah satu pengalaman jatuh Pastor Dedi yang menarik adalah ketika ia terjatuh dalam perjalanan pulang dari Aris. Saat terjatuh, ia melihat sebuah bunga berbentuk hati yang memiliki corak seperti salib Tao di tengahnya. Bunga tersebut juga memiliki garis-garis yang bersusun-susun ke kiri dan ke kanan. Seketika itu juga, pastor berjanggut ini jatuh hati terhadap bunga tersebut karena ia menganggap bunga tersebut menggambarkan perjalanan hidupnya. Pastor Dedhy berpesan kepada kaum muda untuk aktif mengikuti berbagai macam kegiatan OMK. Masa depan kaum muda masih panjang. Kegiatan-kegiatan OMK sangat penting untuk mempersiapkan kaum muda Katolik supaya dapat menjadi penerus gereja.

Pastor Alfonsus Hengky Musa, OFM Cap 

Pastor yang dulu sempat bertugas sebagai frater di paroki Singkawang selama satu tahun ini juga sejak kecil tidak pernah terlintas di dalam benaknya untuk menjadi seorang pastor. Barulah saat beliau duduk di bangku SMA di Nyarumkop niat tersebut muncul. Pada saat itu beliau merasa haus dan berniat memetik buah kelapa. Saat berada di atas pohon kelapa, pelepah yang dipegangnya terlepas dan ia pun terjatuh dari pohon tersebut. Sesaat sebelum menyentuh tanah, ia bernazar apabila ia selamat dari peristiwa ini, ia akan menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Dampak yang diterima anak bungsu dari empat bersaudara ini cukup fatal. Ia susah sekali berjalan dan bangun dari tempat tidur selama tiga bulan. Menya dari bahwa hidupnya terselamatkan dari ambang kematian, ia pun memutuskan untuk menjadi seorang imam.

Beliau memilki moto “Baiklah aku pergi ke sana untuk melihat penglihatan yang hebat itu.” Moto tersebut diambil dari kitab Keluaran 3:3 yang merupakan perkataan Nabi Musa ketika melihat nyala api pada semak-semak namun tidak membakarnya. Moto itulah yang membulatkan tekadnya untuk menjadi Imam Kapusin. Pastor kelahiran 10 Agustus 1986 ini menggemari sebuah lagu Once yang berjudul Aku Cinta Kau Apa Adanya. Menurutnya, lagu tersebut sangat menggambarkan Yesus yang mencintai tanpa syarat dan mau mendampingi siapa saja tanpa pandang bulu. Beliau menyarankan supaya kaum muda sering bergaul dan berkumpul di dalam kegiatan OMK. “Kalau kumpul ramai-ramai dengan OMK, kecenderungan untuk berbuat jahat dan negative akan berkurang,” tegasnya.
(Gebot)

3 Mar 2017

Menguji Kelestarian Panggilan dan Kesetiaan Pilihan dalam Pengalaman Hidup

Menguji Kelestarian Panggilan dan Kesetiaan Pilihan dalam Pengalaman Hidup


 “Bukan semudah membalikkan telapak tangan untuk setia pada satu pilihan, pilihan yang berlaku seumur hidup, sepenuh usia, sepanjang hayat. Sama seperti orang awam, kaum rohaniawan juga mengalami hal serupa. Jika jejak langkah awam dihadapkan pada jibaku persoalan hidup yang seolah tidak pernah surut, pun demikian halnya dengan mereka yang hidup di balik tembok biara. Masing-masing dengan perannya, masing-masing dengan tantangan hidupnya, masing-masing dengan persoalan yang membelit kesehariannya.” 

Mendung masih bergelayut enggan pupus meski langit sesiang tadi sempat memuntahkan hujan seperti tembikar sarat akan air yang pecah di udara manakala saya memacu kendaraan ke arah jantung kota. Hari itu hari Sabtu, dan saat itu tujuan saya satu, segera berada di sebuah biara yang bersebelahan dengan gereja, Biara Providentia. Kamis sebelumnya saya membuat janji dengan salah satu penghuninya. Melalui piranti komunikasi temu janji disambut suara ringan nan gembira yang siap menyambut kehadiran saya untuk melakukan wawancara. Suara yang terdengar semanis paras pemiliknya adalah suara Suster M. Laetitia, OSCCap. Maka Sabtu, kira-kira dua jam menjelang senja, rinai gerimis mengantarkan langkah saya menjumpainya. 

Kedatangan saya disambut senyumnya yang jernih seperti yang biasa tergambar pada jiwa yang menyerahkan sepenuhnya kesulitan dunia pada penciptanya dan selalu bersyukur pada setiap keriaan sekecil apapun bentuknya. Jabat erat saya dapat disertai kecup dan pelukan hangat. Kami berhadap-hadapan pada sebuah ruangan berukuran 3 x 4, dihalangi meja lengkap dengan minuman dan kudapan. Sepanjang wawancara senyum dalam binar mata ramah bersahaja membingkai di wajahnya. Ia begitu antusias ketika saya mulai menyoal ketertarikannya menanggapi panggilan hidup membiara. Segalanya berawal dari dalam keluarga. Tepat kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Putri kedelapan dari dua belas bersaudara pasangan bapak Paulus Hendrikus Pawe dan ibu Katarina Irmina Meo ini memang berlatar ayah dan ibu yang merupakan mantan calon biarawan dan biarawati. Keinginan kedua orang tuanya di masa muda untuk menapaki hidup membiara terkendala karena jauh sebelum keduanya bersua, ternyata pihak keluarga telah seiya sekata menjodohkan keduanya hingga mereka menyatu dalam biduk rumah tangga. Namun bagai gayung bersambut oleh buah hati mereka, Laetitia muda menjadi penawar dahaga cita-cita yang tertunda. 

Laetitia tumbuh di lingkungan Katolik yang taat. Berlatar kedua orang tua yang paham benar tentang agama, segala ritual pujian bagi yang maha juga rapalan untaian doa merupakan menu wajib dilakukan dalam keluarga dan bukan hal yang sama sekali baru baginya hingga tak lagi mengejutkan ketika ia mulai menapaki kehidupan membiara. Rumah masa kecilnya pun menjadi saksi bisu perjalanan kegembalaan biarawati dan biarawan maupun para frater, calon balatentara Tuhan yang menggelar kegiatan pelayanan keagamaan. Tidak berhenti sampai di situ, keterbiasaan menyaksikan pemandangan yang berkait erat dengan pelayanan, ketika kecil, ia bersama teman acapkali bermain peran menjadi kaum rohaniawan, membagi hosti yang adalah roti dalam sebuah permainan perayaan Ekaristi.   

Sebelum menjalani hidup di biara, Suster Laetitia yang dulunya bernama Yosefina Basildis ini sempat menjalani pendidikan sebagai perawat kesehatan di sebuah SPK nun di gugusan Flobamora (Flores, Sumba, Timor, dan Alor). Seolah tumbuh menjadi mawar gurun yang mekar, kala itu tidak sedikit pemuda yang hatinya sanggup dibuatnya tergetar. Bukan hanya satu atau dua pemuda belaka, namun lebih dari hitungan jumlah jari pada kedua telapak tangan telah tercatat mencoba merebut hatinya dengan segala cara. Dari cara yang halus hingga yang ketus, dari yang terselubung hingga yang nyata-nyata mengajak pemuda lain tarung. Dengan rendah hati, ia menanggapi segalanya dengan tetap merangkul semua menjadi sanak saudara untuk tetap saling menjaga dalam doa. Baginya segala cinta dari lawan jenis yang silih berganti menghampiri tak ayal merupakan perpanjangan tangan Tuhan untuk menyentuh dan menyadarkannya bahwa tiada kasih yang lebih besar dari kasih Juru Selamatnya. “Semua hadir untuk menguji kelestarian panggilan dan kesetiaan pilihan dalam pengalaman hidup, kalau tidak ada tantangan, kita tidak bisa tahu bahwa panggilan ini benar-benar berharga. Panggilanku ini adalah pilihanku dan inilah yang dikehendaki Tuhan,” begitu ia berujar. Mungkin benar, untuk mengetahui kadar ketebalan iman seseorang, terkadang memang diperlukan ujian. Iseng saya bertanya untuk sekadar mengetahui siapa saja yang hadir  menawarkan hati pada suster yang sangat senang bersahabat ini, namun begitu rapat ia merahasiakan semua nama yang masih mencoba mendekatinya meski ia telah hidup dalam lingkup biara. Pernah pada suatu masa, sehari menjelang kaul kekalnya, ia menghadapi godaan yang sungguh luar biasa. Kala itu ada suara lain yang didengarnya yang sempat menggetarkan hatinya. Suara dari seseorang yang hampir saja membuatnya urung mengucap kaul kekal dan berpikir ulang untuk meneruskan panggilan. Ya, suara seorang dari antara kaum adam yang selama ia berada dalam masa pendidikan selalu memberikan perhatian. Pergulatan sungguh menjadi awan hitam yang meliputi batinnya, namun dalam seluruh kekuatan ia menyerahkan sepenuhnya ke tangan Bapa dalam doa. Lelah berdoa ia jatuh tertidur hingga akhirnya pada saat terbangun hal pertama yang dilihatnya adalah salib Kristus. Serta merta dipeluknya tanda penyelamat hidupnya. Seketika hilang rasa ragu, dengan mantap ia menjawab panggilan itu.

Rasanya sungguh padan jika kutipan catatan seorang maestro kesusastraan Indonesia disematkan pada suster yang hobi bernyanyi dan menari ini; “Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya.”* Suster yang pada 31 Maret 2017 mendatang genap berusia 55 tahun ini sungguh lembut namun tegas, begitu halus tetapi kukuh. Pribadinya ibarat menolak tangan berayun kaki, memeluk tubuh mengajar diri. Sungguh, ia disiplin dan hanya sedikit berkompromi untuk hal-hal yang bersifat duniawi. Hedonisme ia tinggalkan, bersetia ia pada panggilan. Hal ini ditunjukkan ketika dengan segala kesempatan untuk berada di tengah-tengah keramaian, hati kecilnya tetap rindu untuk pulang. Biaralah rumahnya, sebagai suster pendoalah panggilan kemanusiaannya. 

Masih berkisar pada pengalaman panggilan yang dialaminya, suster yang ketika belia menjadi primadona remaja ini mengalami suatu kejadian tak terlupakan. Manakala bersama teman-teman seusianya berolah raga, matanya tiba-tiba terpaku pada sosok biarawati yang meski berada di tengah keriuhan tetap setia merapal doa dengan rosario dalam genggamannya. Saat itu tanpa banyak bicara, Laetitia berlari menjauh dari perkumpulan. Masuk kamar ia kembali merenungkan niatnya menanggapi panggilan. Dengan pemandangan sesederhana itu, Tuhan kembali hadir menyentuh inti kalbu. 

Suatu ketika dalam masa pencarian ordo yang benar-benar dirasa pas di hati, ia menemukan jawaban secara tak sengaja. Melalui majalah Hidup yang saat itu memuat profil dan foto Bapa Uskup Mgr Hieronimus Bumbun bersama dua orang suster OSCCap, Laetitia membulatkan tekadnya. Korespondensi dilakukan, harap-harap cemas ia menanti balasan. Tak berapa lama berselang, bagai tak bertepuk sebelah tangan, jawaban memuaskan ia dapatkan. Bapa Uskup menyambut baik keinginannya bahkan menunjukkan cara untuk memuluskan niat sucinya. Suatu kebetulan yang menyenangkan berselang beberapa waktu kemudian dalam urusan pekerjaan  Bapa Uskup mengunjungi provinsi tempat ia berdomisili. Dibantu oleh Bapa Uskup, Laetitia akhirnya sampai ke Biara Providentia yang sangat didambanya. Kesan pertama melihat bangunan biara, ia langsung merasa bahwa inilah tujuan hidupnya, inilah ‘rumah’ baginya.

Sejak awal hidup di biara, ia bersama teman-temannya saling menguatkan dalam doa. Rasa rindu pada orang tua serta sanak keluarga merupakan hal jamak dan tak terhindarkan. Laetitia sempat rapuh ketika di awal masa panggilan ia seolah sengaja diputus kontak oleh kedua orang tua. Seluruh surat yang dikirimnya ke kampung halaman tak jua kunjung ada balasan. Sedih dan merasa dikucilkan, rindu namun semacam terbuang. Ia tak mengetahui alasan di balik sikap kedua orang tua yang tidak pernah membalas surat-suratnya. Sedih tak tertahan, letih hati menahan rindu tidak berkesudahan, ia merasa sendirian, hanya Surat Rasul Paulus kepada umat yang termuat dalam Kitab Suci selalu menjadi hiburan. Pada suatu kesempatan ia menghadap Bapa Uskup Hieronimus Bumbun, mengadukan ihwal yang mengganggu batinnya. Jawaban tak terduga melipurkan laranya. Bapa Uskup menguatkannya hanya dengan kata-kata, “Buat apa bersedih, saya dan yang lain yang hidup dalam panggilan juga sendirian. Tidak sedang bersama orang tua, kita semua sama.” Dengan jawaban sederhana itu Laetitia merasakan kekuatan dan bahwa ia memang tidak sendirian. Hingga tiba pada suatu masa, ia diberi keleluasaan untuk kembali mengunjungi orang tua di kampung halamannya. Saat itu baru ia dapatkan jawaban atas segala yang menjadikannya ragu. Kedua orang tuanya tak ingin masa pendidikannya terusik rindu yang pada akhirnya akan mengganggu.  

Semua yang hidup akan tetap menemukan gairahnya jika ia masih meniupkan asa dalam cita-cita, dalam sebuah keinginan, dan dalam selaksa harapan. Pun demikian halnya dengan Laetitia. Hal yang belum terpenuhi dan menjadi sebuah harapan sepanjang pembaktian hidupnya dalam membiara dituturkannya, “Saya hanya merindukan menjadi seorang pendoa yang sungguh-sungguh menjadi penyalur rahmat bagi banyak orang, bisa menjadi seorang pribadi yang sungguh berguna bagi diri, keluarga, gereja dan dunia. Dan jika saya meninggal saya ingin menjadi kudus, tapi itu rasanya masih jauh dari bisa menjadi kudus,’ ungkapnya yang disusul sipu malu dalam senyumnya yang bersahaja.

4 Oktober 2016, tercatat tepat 25 tahun ia berkarya. Berbagai cobaan dan rintangan silih berganti menghampiri, namun tangan Tuhan kiranya terus bekerja, menjaga ia setia pada panggilan imannya. Selamat berkarya, Suster. Tetaplah menjadi pendoa kami semua. (Hes) 

NB: (*) kutipan tulisan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru: Rumah Kaca.   
Biodata Singkat

Nama: Yosefina Basildis Anu Pawe.
Tempat tanggal lahir: Flores, Bajawa Mataloko, 31 Maret 1962 
Tahun 1977 tamat SD Katolik Toda Belu II.
Tahun 1981 Masuk SMP Kartini Mataloko.
Tahun 1982 pindah ke SMP Immaculata Ruteng Manggarai.
Tahun 1983 masuk ke SPK (Sekolah Pendidikan Kesehatan) di Lela Maumere.
Setelah tamat, bekerja di Rumah Sakit St. Gabriel Kewapante Maumere, sebagai pembantu bidan bersama Sr. Solmaris, S.Sps selama 2 tahun.
Pada tahun 1987 berkenalan dengan biara Providentia melalui majalah Hidup. 
Tanggal 6 Agustus 1988 berangkat ke Singkawang bersama Sr. Emiliana SFIC dan diantar ke biara Providentia oleh Sr. Paulin SFIC.
Tanggal 6 Agustus 1988: masuk sebagai calon (aspiran)
Tanggal 29 September 1988: Masuk Postulan
Tanggal 4 Oktober 1989: Masuk Novis
Tanggal 4 Oktober 1991: mengikrarkan Kaul sementara.
Tahun 1991-1992 tinggal di Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 1993 kembali ke Biara Providentia Singkawang.
Tanggal 4 Oktober 1994: Mengikrarkan kaul kekal meriah.
Tahun 1996 di tugaskan kembali ke Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 1997 kembali ke Singkawang.
Tahun 2003 ditugaskan kembali ke Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 2005 kembali ke Biara Providentia Singkawang sampai saat ini.
Tanggal 4 Oktober 2016, genap 25 tahun hidup kaul membiara.


      


2 Jul 2015

‘BULAN MADU’ SANG IMAM BARU

                                  ‘BULAN MADU’ SANG IMAM BARU

 


“Lebih susah bikin janji wawancara dengan Pastor ya, dari pada dengan Walikota.”

Demikian seloroh saya pada imam yang baru saja ditahbiskan pada akhir Januari 2015 itu. Sebenarnya hal ini cukup bisa dimaklumi mengingat para imam yang baru ditahbiskan biasanya mengalami masa ‘bulan madu’ dengan tugas imamatnya . Unik memang istilah bulan madu, seolah pengantin baru yang baru saja mengikat janji pernikahan dan disibukkan dengan aktivitas yang beraroma memetik sari manis kehidupan awal berumah tangga, demikian pula para imam yang baru ditahbiskan. Mereka menjalani aktivitas sebagai imam seusai mengucap kaul kekal untuk panggilan awal kegembalaan. 

Ada kisah menarik di balik wawancara saya dengan profil  imam yang pada edisi Likes kali ini diangkat menghiasi rubrik sosok. Pada awal penugasan, saya hanya diberitahu nama imam yang harus saya wawancarai. Sosok imam tersebut bernama Andreas Harmoko, OFMCap. Dari namanya, segera yang terlintas dalam benak saya adalah ingatan tentang seorang berkulit sawo matang, dengan sisiran rambut klimis, dan suaranya menggema  melalui TVRI atau RRI membacakan harga sembako, bawang merah serta cabe keriting dengan logat Jawa kental. Ya, yang terlintas saat itu adalah sosok menteri penerangan era Suharto. Otomatis paradigma saya yang terbentuk saat itu, saya akan dihadapkan pada sosok imam dari pulau seberang. Namun, di luar dugaan, ketika pertama kali saya menghubungi  via telepon imam yang harus saya angkat profilnya, suara beliau jauh dari kesan logat Jawa yang biasanya meskipun dipaksakan untuk terdengar normal tetap mengalami ‘keseleo’ pada pengucapan kata-kata tertentu. Untuk pertama, janji wawancara urung dilakukan karena pastor Harmoko memiliki mobilitas yang sangat tinggi dalam mempersembahkan misa perdana dari paroki satu ke paroki lain berkait tugas ‘bulan madu’ kegembalaan yang beliau emban. Lebih dari sebulan saya menunggu kesempatan untuk bertatap muka langsung dengan beliau. Akhirnya pada suatu malam di bulan Mei, saya berkesempatan menjumpai  pastor yang terlahir di Seringkong pada 30 Oktober 1984 itu di pastoran Paroki Singkawang, itu pun setelah dibantu temu janji oleh Pastor Gathot selaku pastor paroki.

Wajah beliau tersenyum hangat saat pertama kali tangannya saya jabat. Perbincangan santai lantas bergulir ditemani oleh pastor paroki dan seorang bruder yang saat itu sedang tidak bertugas melayani umat. Pada saat yang sama, saya mengutarakan kesan yang sebelumnya terlintas dalam pemikiran saya mengenai nama beliau. Jawaban yang cukup menggelitik lantas saya dapatkan. Dengan ringan beliau memaparkan sejarah nama yang disematkan pada dirinya memang ada kaitannya dengan sosok Harmoko yang pada era ’90-an menjabat sebagai menteri penerangan. Ya, kedua orang tua Pastor Harmoko, Bapak Petrus Tam dan Ibu Susana Serawati ini dulunya memang kader partai berbendera kuning tersebut. Jika oleh khalayak nama Harmoko seringkali diplesetkan sebagai akronim dari ‘Hari-hari omong kosong’, maka kita boleh berbangga bahwasanya gembala baru kita juga memiliki penjabaran akronim sendiri atas namanya yakni,  Harmoko; ‘Hari-hari omong kemuliaan ordo.’

Ketertarikan pastor yang merupakan anak pertama dari tiga bersaudara terhadap kehidupan membiara diawali saat SMA. Ia dibuat terpesona pada kesederhanaan Salib Tau yang dikenakan oleh para biarawan. “Salib itu dipakai dengan tali yang bersimpul-simpul, bukan dengan rantai,” ujarnya. Masih tentang awal ketertarikannya terhadap kehidupan membiara alasan lain yang cukup unik pun dilontarkannya, “Saya tertarik dengan orang-orang yang berjubah coklat itu. Penasaran bagaimana rasanya memakai jubah. Bayangkan saat jubah dipakai pastor dan berkibar-kibar ditiup angin, menimbulkan kesan dramatis,” ujarnya bersemangat. Diakuinya, ketika  memasuki  kehidupan membiara penuh dengan pertimbangan yang matang. “Selama setahun  setelah lulus SMA saya benar-benar berusaha mengenali arah yang saya tuju, pada akhirnya  dengan bantuan seorang bruder MTB saya disarankan menemui pastor paroki, pada saat itu Pastor Amandus Ambot. Oleh Pastor Ambot, saya dibimbing untuk menulis surat lamaran sebagai imam kepada Propinsial. Saya lantas  memberanikan diri mengirim surat lamaran, memantapkan pilihan memenuhi panggilan.  Puji syukur kepada Tuhan, surat lamaran saya dibalas dan saya terima tepat pada hari raya Pantekosta, 29 Mei 2003. Saat itu sangat luar biasa rasanya.”

Setelah menjadi bagian dari Ordo Kapusin, pastor yang memiliki hobi mengoleksi dan membaca buku-buku filsafat serta teologi ini menuturkan di setiap fase baik ketika menempuh pendidikan maupun saat bergelut dengan kehidupan dan komunitas membiara  penuh dengan tantangan. Ketakseragaman pola pikir antar individu sesama kapusin, mundurnya beberapa teman calon biarawan yang seangkatan karena satu dan lain hal, serta keberagaman budaya geografis tempat tinggal, menjadi sekian dari beberapa alasan mendasar yang dianggap tantangan. Berbagai tantangan tersebut lantas disikapi dengan kedewasaan. Memantapkan hati terhadap pilihan menjadi biarawan, menolerir berbagai hal dengan berusaha menempatkan juga membawa diri dalam komunitas, menyamakan persepsi serta mengesampingkan idealisme.  “Kami dituntut harus mampu mengerem diri. Apa yang kami kerjakan tidak hanya cukup berdasarkan teori yang diterima saat sekolah, kami dituntut hidup dan ‘hadir’ bersama komunitas namun tetap menjadi diri sendiri. Kami harus lebih banyak belajar dari yang tua, mendengar mereka karena para pembimbing dalam komunitas  sudah lama hidup dalam ordo, sudah langsung menjalani  kehidupan membiara dan karena pembimbing dalam komunitas tugasnya berat dalam membimbing kami.”, ujar  imam yang dulu sempat menjadi pembina pramuka itu penuh bijaksana.

Suaranya sempat menjadi lebih pelan, dan pandangannya sedikit menerawang  saat mengisahkan terdapat teman lama serta umat yang memandang dirinya secara berbeda karena label imam yang telah melekat pada dirinya. Ia berharap tak dipandang secara ekslusif dan bisa menjalani hari-hari selayaknya, tak  ‘berjarak’ dengan umat.

Masih di kesempatan yang sama, ketika ingatannya seolah diajak pulang ke masa pentahbisan, sinar matanya berpendar. “Saya harus berterima kasih pada warga Paroki Kuala Dua. Dengan kerja keras umat yang meskipun di kampung, namun mereka mengusahakan prosesi pentahbisan imam dengan sangat meriah. Saat itu saya dan kedua orang tua saya diarak menggunakan mobil yang dibentuk menjadi miniatur gereja.”, kenangnya.

Di akhir obrolan yang cukup menyenangkan, pastor yang memiliki motto ‘Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati,’ ini menuturkan harapannya. “Semoga panggilan imamat ini tetap dan kekal, semoga umat selalu mendoakan para imamnya dalam menjalankan karya kegembalaan, dan semoga umat dengan rela hati memberikan diri ataupun putera dan puterinya menjadi biarawan dan biarawati,” pungkasnya. (Hes) 

Riwayat pendidikan dan kegembalaan.
SDN Kuala Dua (1990-1996)
SMPK Kuala Dua (1996-1999)
SMUN 1 Kembayan (1999-2002)
Tahun Orientasi Panggilan (Nyarumkop, 2003-2004)
Postulat (St. Leopold Mandic - Sanggau Kapuas, 2004-2005)
Novisiat (St. Padre Pio, Gunung Poteng - Singkawang, 2005-2006)
Kaul Perdana (26 Juli 2006)
Post Novisiat (Tirta Ria - Pontianak, 2006-2007)
Sekolah Filsafat (STFT St. Yohanes - Pematang Siantar, 2007-2011)
Pelantikan Lektor dan Akolit (Biara Kapusin St. Fransiskus Assisi, 2010)
Tahun Orientasi Pastoral (Paroki Pusat Damai, 2011-2012)
Sekolah Teologi (STT Pastor Bonus, 2012-2014)
Kaul Kekal (Novisiat St. Padre Pio, 2 Agustus 2013)
Tahbisan Diakon (Sanggau Ledo, 24 Juli 2014)
Masa Diakonat (Seminari Menengah St. Paulus Nyarumkop)
Tahbisan Imam (Kuala Dua, 31 Januari 2015)
Tugas saat ini (Seminari Menengah St. Paulus Nyarumkop)