Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri gereja katolik di indonesia. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri gereja katolik di indonesia. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

6 Jun 2015

Pembangunan Kapel Lapas Singkawang

                  Pembangunan Kapel Lapas Singkawang




                 Warga binaan lapas (lembaga permasyarakatan ) kelas II B Singkawang kini boleh berbesar hati; terutama bagi mereka yang beragama Katolik/ Kristen karena di dalam Lapas tersebut telah berdiri sebuah kapel yg cukup representatif  berukuran 7 x 13 meter  di samping kelenteng dan surau yang sudah ada terlebih dahulu.
                       Berdirinya kapel  ini berkat inisiasi Bapak Pedro Halim, S.T., sebagai pengurus Gereja Bethel Indonesia (GBI) bersama  persekutuan gereja  yang memberikan pelayanan di  lapas tersebut, termasuk Gereja Katolik Singkawang serta pihak lapas kelas II B Singkawang dalam hal ini bapak Asep Sutandar, Amd. IP, S. Sos, . M. Si  selaku kalapas kelas II B Singkawang  yang telah berkenan menyediakan sebidang tanah tempat kapel  tersebut didirikan.
                       Peletakan batu pertama dilakukan pada tanggal 27 September 2014 oleh Kalapas Kelas II B Singkawang, disaksikan oleh Pdt. Palmanto dari GKPKB (Gereja Kristen Protestan Kalimantan Barat), Pedro Halim,ST, pegawai lapas serta warga binaan yg beragama Katolik/ Kristen. Kini kapel di Lapas kelas II B Singkawang telah rampung dan telah diresmikan pada Sabtu, 13 Desember 2014.
Untuk membantu merealisasikan berdirinya kapel  lapas ini, seksi sosial DPP (Dewan Pastoral Paroki) berinisiatif menggalang dana dari warga paroki Singkawang  dan donatur lainnya  dengan cara door to door  serta melalui  kotak derma di gereja. Puji Tuhan dari tanggal 18 Oktober 2014 hingga 29 November 2014, telah terkumpul dana sebesar  Rp24.085.000,00
                    Dalam periode berjalan, diperoleh informasi dari Pastor Paroki bahwa terdapat kerusakan pada kapel di daerah Trans SP2 dan yang perlu rehabilitasi serta Gereja di  Medang yang  memerlukan pengecatan ulang. berdasarkan rapat seksi sosial DPP dengan pastor paroki pada tanggal 4 November 2014, diputuskan bahwa sebagian kecil uang sumbangan akan dialokasikan untuk merehabilitasi  kapel  di Trans SP2 & SP3 serta pengecatan gereja di Medang. Serah terima sumbangan telah dilakukan pada tanggal 1 Desember 2014 antara pastor paroki dengan bapak Pedro Halim, S.T.,  disaksikan oleh bapak Frumensius dan Hermanto Halim, S.E., selaku koordinator seksi sosial DPP. (HH)



19 Mar 2016

Ia di Antara Biola, Kamera dan Komuni untuk Lansia

Ia di Antara Biola, Kamera dan Komuni untuk Lansia


“Tahun-tahun yang memutih di kepala menandai tinggi batang usia kiranya bukan penghalang baginya yang sering terlihat masyuk dengan kamera. Di umur rambang senja, ia bahkan menjadi daya tarik tersendiri mengingat sosok lain yang seusia umumnya tak lagi menggubris perkembangan teknologi yang setia bergulir di dunia.”



Pastor Marius, OFMCap, gembala yang selalu tampil formal, berkemeja lengan panjang, dimasukkan rapi, bersemat salib kecil di kerah kiri, dan selalu beralas kaki hitam ini bukan sosok asing di lingkungan Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi. Putra kelima dari pasangan bapak Mateus Chen dan ibu Yohana Lay ini begitu tak terganggu manakala ratusan pasang mata memandang aksinya kala mengabadikan berbagai peristiwa yang berlangsung di gereja maupun hal lain yang sanggup menarik perhatiannya. Meskipun bersifat pribadi, betapa aktivitasnya sangat membantu gereja dalam mengabadikan setiap rangka masa. Entah telah menghabiskan berapa giga bahkan tera kapasitas hardisk guna membingkai laman waktu dalam gambar bergerak maupun slide-slide bisu. Tak berhenti sampai di situ, suaranya terdengar begitu ringan menandakan sama sekali tiada berkeberatan ketika hasil bidikan kameranya diunduh orang guna memenuhi berbagai kepentingan. 

Terlahir dengan nama Chen, semenjak kecil ia telah begitu terpesona pada kehidupan membiara. Chen kecil yang menunjukkan ketertarikannya pada kaum berjubah menggiring langkah remajanya menekuni panggilan iman hingga ke Holand. Pada 1947, dua tahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, ia telah melanglang buana ke negeri Belanda. Zaman dulu menempuh pendidikan menjadi imam kesempatannya tidak seluas sekarang. Ia harus berjibaku dengan teologi dan filsafat ilmu hingga ditahbiskan sebagai imam di negeri kembang tulip itu pada 1961. 

Empat belas tahun di benua Eropa, begitu banyak hal dipelajarinya. Selain kian mematangkan pendidikannya menjadi gembala, ia mulai akrab dengan biola. Secara otodidak ia mempelajari cara memainkan alat musik yang tak sekadar menggesek dawai belaka, namun juga mengandalkan kehalusan jiwa untuk mampu sampai ke hati penikmatnya. Kepiawaiannya mengalunkan nada melalui biola bak gayung bersambut manakala ia kembali ke negeri asalnya. Sempat menggembala umat selama setahun di Nyarumkop pada 1962 sebelum akhirnya di tahun  1963 ia kembali berkarya di Katedral, di jantung Khatulistiwa. 

Pada tarikh 1963−1997 penempatan tugas pastoral membuatnya mengabdikan diri di Gembala Baik. Di sinilah ia berkolaborasi dengan ketua Yayasan Persekolahan Gembala Baik yang sepaham dengannya mengenai pembelajaran ekstra bagi siswa. Ia seiya sekata dengan Bapak Yan Fredrik yang menggagas mengenai pembelajaran biola untuk menghaluskan jiwa para peserta didiknya. Dengan telaten dan sabar, ia menularkan kebisaannya memainkan biola pada siswa-siswinya. “Pak Yan mewariskan satu hal tidak diduga, ia mengajar musik terutama biola kepada murid karena ia mau muda-mudi kita tetap peka terhadap sesuatu yang indah. Contohnya jika ada berita orang yang mengalami musibah di sekitar kita dan kita melihatnya sebagai sesuatu yang biasa, hal ini terjadi karena tidak ada kepekaan terhadap yang indah. Mulanya saya tidak mengerti, tetapi akhirnya saya memahami dan sesuatu yang paling indah adalah yang dilakukan oleh Yesus di kayu salib, wafat bagi orang lain. Hal ini dapat terjadi karena jiwa yang peka. Karena sesuatu yang indah dapat memengaruhi kepekaan sikap jiwa. Sehingga dia merasa indah juga bisa menolong orang, malahan bila perlu berkorban untuk orang lain. Saya ambil warisan itu. Saya melanjutkan itu. Biarlah kelihatan atau tidak, berhasil atau tidak, tapi pasti tidak rugi jikalau dari anak-anak itu masih dapat kesempatan untuk mematangkan rasa mereka terhadap keindahan. Karena otomatis akan mempengaruhi mereka punya jiwa,” urainya. Hingga usianya hampir menginjak 87 tahun, ia tetap setia melatih bermain biola. Dan satu hal yang sungguh luar biasa, ia melatih tanpa memungut sepeserpun biaya dari para didikannya. “Saya melanjutkan semua itu bukan sebagai hobi saja, tapi dengan harapan dasar supaya muda mudi kita menyebarkan keindahan yang mereka rasa, yang secara otomatis meningkatkan sikap jiwanya.” 

Hal unik lain dari sosoknya, di tahun 1947 dimana bangsa ini baru mengecap haru biru hawa kemerdekaan bahkan mungkin saja masih latah terhadap perputaran zaman, ia telah selangkah lebih maju. Ia akrab dan paham dengan peralatan media rekam. Sungguh berada di luar duga bahwa ia memang mesra dengan kamera semenjak dulu kala. Di samping itu, ia juga memanfaatkan media sosial untuk berbagi banyak hal yang direkamnya. Bukan tanpa maksud, namun  aktivitas tersebut berkiblat pada manfaat berbagi dan menarik esensi dari berbagai hal baik yang sanggup menginspirasi. “Ya memang hobi, dengan arti, itu adalah media yang bisa menyampaikan sesuatu. Hasil rekamnan saya banyak simpan di Facebook dan Youtube. Dari yang dibagikan di Facebook dapat dibaca juga notes berisi keterangan di bawahnya. Di situ saya banyak menulis hasil-hasil pembicaraan, menjawab pertanyaan orang tentang berbagai hal, tentang perkawinan, tentang hidup, tentang kematian.” Ia tak gagap teknologi, bahkan sukses memanfaatkannya menjadi media untuk menggembala umatnya. 

Usianya memang tak lagi muda, namun ia tampak tak pernah menyerah begitu saja pada deret angka penanda masa hidup manusia. Ia masih selalu bersemangat melakukan berbagai aktivitasnya sendiri. Menyetir, bersepeda, berjalan kemana pun tugas gembala mengharuskan langkahnya berada, semua dijalaninya dengan suatu kesadaran bahwa kemandirian berdampak penuh terhadap kondisi kesehatan. Hingga kini, ia masih melayani, mengantar sendiri komuni suci bagi para lansia, baik di dalam maupun di luar kota. Jumlahnya pun tidak sedikit, terdapat dua putaran dalam hantaran yang totalnya berada di kisaran angka enampuluhan.
  
Meski menyadari sepenuhnya terhadap berbagai hal yang berpengaruh besar pada kesehatan, Pastor Marius bukan insan yang menyangkal kematian. Pernah dalam satu kurun waktu ia bolak-balik melewati jalan yang sama menuju kompleks pekuburan. Aktivitasnya itu disadari oleh seorang umat yang serta merta menanyakan alasannya. Dengan nada berkelakar ia mengungkap alasannya menjalani aktivitas yang tergolong tidak biasa itu dengan harapan ketika kematian menjemput, jiwanya bisa mandiri, berjalan sendiri karena sudah hafal jalan dari pastoran menuju kompleks pekuburan.

Pria yang terlahir pada 1 Agustus 1929 ini pernah mengalami mujizat dalam hidupnya. Dikisahkannya pada wawancara dengan tatapan bersungguh-sungguh pada tahun 2002 ia berada dalam perjalanan dari Pontianak menuju Singkawang. Kala itu di daerah Sungai Limau nasib tak mujur menghampirinya, ia terlibat dalam kecelakaan di jalan raya. Namun suatu hal yang benar-benar dirasanya adalah terdapat tangan seseorang yang memegangnya, menahannya agar tak terlalu kuat menghantam setir maupun dashboard mobil yang dikemudikannya. Saat kecelakaan terjadi ia bersama dengan dua orang lain yang duduk jauh di belakang setir yang dikendalikannya. Suatu kondisi dimana dua orang di belakangnya tidak mungkin melakukan hal yang dirasakannya sebagai ‘pegangan tangan seseorang’. Saat dievakuasi, tim medis yang menanganinya merasa tipis harapan nyawanya dapat diselamatkan mengingat kondisinya yang sangat memprihatinkan. Di luar dugaan, ketika Pastor Marius siuman dan satu hal yang langsung ia ingat saat itu ia harus memimpin misa berbahasa Tionghoa. Dengan kondisi luka dalam yang jika orang awam hanya bisa bertahan selama tiga jam, Pastor Marius merasa menerima sentuhan kekuatan hingga ia dapat bertahan selama delapan jam sebelum akhirnya mendapat perawatan lanjutan. Dalam kondisi itu ia menguatkan diri untuk pulang ke Singkawang. Tim medis di Singkawang hanya menggeleng-geleng takjub menyaksikan betapa mujizat Tuhan bekerja atas diri pastor ini. Usai merasakan kuasa keajaiban pada tahun 2002, Pastor Marius semakin meyakini segala keselamatan yang dialaminya tak lain karena campur tangan Bunda Maria. 

Hal lain yang juga menjadi kisah tersendiri dari diri pastor yang satu ini adalah dalam kurun masa tertentu, beliau pernah menggunakan peti mati sebagai fasilitas tidurnya. Tentunya hal ini menjadi kondisi tak biasa bagi orang kebanyakan yang secara general memandang segala hal yang berkaitan dengan kematian adalah sesuatu yang masih begitu menakutkan. Ya, pastor Marius memang sudah memesan sebuah peti kepada sahabatnya yang berprofesi sebagai pembuat peti demi kepentingannya sendiri di kemudian hari. Serta merta peti pesanannya dititipkan kepada si pembuat karena untuk membawa peti jenazah ke pastoran bukan hal yang mudah. Selain akan memakan banyak tempat, adalah tak lazim meletakkan peti dalam ruangan yang sebenarnya bukan tempatnya. Suatu waktu ketika sang sahabat pembuat peti berpulang ke penciptanya, peti jenazah pesanannya harus dibawanya ke kediamannya, ke pastoran. Ia lantas meletakkan peti pesanannya di dalam kamarnya dan menjadikannya sebagai tempat beristirahat. Ia tidur di dalam peti jenazah. Cukup lama keadaan itu dijalaninya hingga suatu ketika ia tak dapat bertahan lagi karena hawa panas yang menyelimuti ketika ia tidur di dalam peti. Suatu pengalaman jenaka yang tidak disangka terjadi atas dirinya. Meski kini peti itu tetap berada di kamarnya, kondisinya saat ini kokoh berdiri dan telah beralih fungsi menjadi almari. 

Pada akhirnya sekelumit kisah hidup yang terajut menjadi sisi lain bagi kita memandang sang gembala. Selamat berkarya, Pastor. Semoga selalu sehat dan dilindungi dalam setiap langkah. (Hes)      
NB: Bagi umat yang ingin berinteraksi dengan beliau dapat mengunjungi laman
Facebook: Mar Chen (Marius) dan Youtube: mari2chen.                    


26 Agu 2018

BUGAR RAGA WANITA KATOLIK REPUBLIK INDONESIA DI PERTAMBAHAN USIANYA

BUGAR RAGA WANITA KATOLIK REPUBLIK INDONESIA DI PERTAMBAHAN USIANYA






Minggu 26 Agustus 2018 ada pemandangan berbeda di halaman Gereja Katolik St Fransiskus Assisi Singkawang. Tepat pukul 16.00 WIB, 70-an ibu-ibu yang tergabung dalam wadah WKRI (Wanita Katolik Republik Indonesia) cabang Singkawang dan ranting-rantingnya berbaris rapi dikomandoi oleh Ibu Helaria Helena, A.Ma., selaku ketua WKRI cabang Singkawang.

Melalui pelantang suara, ibu-ibu cantik ini diarahkan untuk melakukan senam bersama sebagai pembuka rangkaian giat ulang tahun WKRI sekaligus dalam rangka peringatan HUT RI yang ke-73.

Suasana senam berlangsung semarak dengan diiringi berbagai lagu yang tengah booming akhir-akhir ini. Terlihat para ibu begitu menikmati aktivitas senam bersama. Sejenak mereka melupakan berbagai rutinitasnya dan masing-masing bergerak mengikuti irama lagu yang terdengar mengentak. Seolah tak ingin ketinggalan beberapa suami dari anggota WKRI yang mengantar istrinya turut serta bergoyang dalam olah tubuh.

Usai senam bersama masih di seputar gereja yang beralamat di Jalan P. Diponegoro ini seluruh anggota WKRI diarahkan menuju Gedung Pastoral Paroki guna mengikuti penyuluhan mengenai bahaya kanker yang kali ini mendatangkan Yayasan Kanker Indonesia sebagai narasumbernya. Kegiatan ini diakhiri dengan santap bersama hidangan yang telah disiapkan oleh panitia. (Hes)




30 Jun 2015

KETIKA EKSOTISME BUDAYA MENYAPA DI BUMI KHATULISTIWA

KETIKA EKSOTISME BUDAYA MENYAPA DI BUMI KHATULISTIWA

 

 

Rabu, 27 Mei 2015. Matahari bersinar garang siang itu seolah paham bahwa hari sedang tak membutuhkan guyuran hujan demi menyukseskan pembukaan ‘gawe’ besar yang digelar oleh masyarakat Dayak di kota Singkawang. Naik Dango, merupakan geliat eksotisme budaya khas masyarakat Dayak, yang belakangan dikemas dalam bentuk festival. Esensi Naik Dango sendiri merupakan budaya lokal perwujudan rasa syukur terhadap hasil panen padi yang melimpah dan hasil panen tersebut disimpan ke dalam lumbungnya. Festival Naik Dango tahun ini diawali ritual yang dipimpin oleh tetua adat, dan didampingi oleh beberapa tokoh sentral dalam masyarakat Dayak Singkawang. Mantra dalam ritual budaya lantas dilangitkan pada para leluhur  dengan tujuan beroleh kelancaran dan keberkahan selama kegiatan dilangsungkan.

Ada yang tidak biasa, jika pada tahun-tahun sebelumnya pembukaan Gawai Dayak diawali dengan misa di gereja Katolik, namun tidak pada tahun ini. Hal ini didasari bahwasanya masyarakat Dayak tak hanya berlatar belakang agama Katolik, namun berdiri pada koridor kemajemukan agama serta kepercayaan.   Meski tak melangsungkan Ekaristi di Gereja Katolik, namun pada acara pembukaan, panitia mendaulat Pastor Yeri dan seorang pendeta untuk memimpin doa tanda kegiatan syukur tahunan ini dibuka.

Sementara itu gubernur yang diharapkan hadir dalam pembukaan Gawai Dayak kota Singkawang berhalangan. Melalui sambutannya yang diwakili oleh Asisten III Bidang Administrasi dan Umum, Robert Nusanto, S.Sos, M.M, Cornelis menggarisbawahi mengenai peran penting Festival Gawai Dayak Naik Dango yang diselenggarakan dan merupakan cara jitu sebagai ajang peningkatan perekonomian masyarakat setempat dari tinjauan pariwisata dan ekonomi kreatif. Pada kesempatan yang sama, Aloysius Kilim, S. Ag selaku Ketua Dewan Adat Dayak kota Singkawang memaparkan digelarnya Gawai Dayak ini ditujukan untuk melestarikan nilai-nilai budaya lokal yang masih sangat relevan untuk generasi saat ini, sekaligus sebagai  ajang silaturahmi antaretnis yang berada di kota Singkawang.           
  
Di sela proses pembukaan Gawai Dayang Naik Dango yang berkenan dilakukan oleh wakil walikota Singkawang, ditandatangani pula deklarasi bertema “Penanganan Ancaman Narkoba dalam Rangka Mewujudkan Indonesia Emas 2045” yang dilakukan oleh BNN, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan pemuda dalam upaya memerangi peredaran dan penggunaan narkoba khususnya di kota Singkawang.    

Kiranya ajang tahunan yang bersifat melestarikan eksotisme budaya di bumi Khatulistiwa ini dapat terus terselenggara, dan mampu menciptakan generasi yang berwawasan global, namun tetap bertutur kata dan berperilaku lokal. (Hes)

19 Agu 2018

KURSUS MEMBANGUN RUMAH TANGGA DALAM LINGKUP GEREJA

KURSUS MEMBANGUN RUMAH TANGGA DALAM LINGKUP GEREJA





Pernikahan Katolik, monogami dan tak terceraikan. Berlatar belakang itulah Kursus Persiapan Pernikahan (KPP) yang kini berubah nama menjadi Kursus Membangun Rumah Tangga (MRT) digelar oleh gereja Katolik, tidak terkecuali Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi Singkawang.

Bertempat di Gedung Dewan Pastoral Paroki, kegiatan yang sudah memasuki angkatan ke XIII ini digelar pada Sabtu-Minggu, 18-19 Agustus 2018, dan kali ini diikuti oleh 9 pasang calon mempelai yang hendak membangun bahtera rumah tangga.

Dijumpai di kesempatan yang sama pada saat kegiatan berlangsung, Helaria Helena, A.Ma., selaku koordinator menyampaikan bahwasanya aktivitas yang kini rutin digelar beberapa kali dalam setahun ini merupakan salah satu program gereja di seluruh Indonesia. "Kegiatan ini berisi berbagai hal, yang pertama membahas tentang hukum kanonik, pernikahan dalam Katolik, ekonomi keluarga, kesehatan alat reproduksi, dan psikologi keluarga yang dalam hal ini membahas keseluruhan rangkuman dan diasuh oleh saya sendiri. Seluruh hal yang tim kami sampaikan bersumber dari buku Amoris Laetitia. Kegiatan ini juga dilaksanakan selama kurang lebih 2 jam dalam setiap pertemuan dan kita mengambil kebijakan menggelar kegiatan setiap Sabtu dan Minggu. Hal ini mengingat hari lain adalah hari kerja, " ujar wanita cantik yang juga merupakan pegawai Departemen Agama.

Di samping itu beliau juga menegaskan bahwa kursus MRT ini tidak hanya melingkupi pasangan yang akan segera melaksanakan pernikahan, namun boleh juga diikuti oleh pasangan dewasa yang berada dalam taraf penjajakan. "Jika sudah mengikuti kursus ini akan mendapat sertifikat, karena tanpa sertifikat maka tidak akan bisa mendaftar pernikahan kanoniknya nanti," lanjut wanita yang juga aktif dalam wadah WKRI cabang Singkawang ini.


Dicecar mengenai harapan digelarnya kegiatan bimbingan ini beliau mengungkap, "Kita mengadakan bimbingan ini untuk memperkecil kemungkinan perceraian antarpasangan dalam keluarga dan tentunya memberikan berbagai arahan bagaimana menjaga keharmonisan rumah tangga, karena belakangan ini banyak pasangan muda yang baru menikah sudah bercerai, jadi kita berusaha untuk bisa mengatasi dan menghindari hal-hal semacam itu," pungkasnya. (Hes)



7 Jul 2015

OSCCap Of Historis

OSCCap Of Historis


Para Rubiah Klaris-Kapusines Ordo Santae Clarae Cappuccinarum sering disebut Ordo Santa Klara Kapusines (OSCCap) merupakan  Ordo yang didirikan oleh Santa Klara yang berpusat di Kota Assisi. Di tanah Borneo mereka tinggal di Jl. Diponegoro  Singkawang, Sarikan Toho dan Bajabang Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Wejangan Santa Klara  sangat mengguggah hati para pengikutnya: “Saudariku…, Berlarilah dengan gesit dan… kaki-kaki tidak terantuk menuju Dia”, merupakan obor penyuluh Ilahi bagi anggotanya untuk berjuang merebut mahkota kesucian Ilahi dalam istana keheningan dan kebeningan jiwa bersama-Nya setiap saat.

Jika ditanya untuk apa mereka jauh-jauh dari Belanda menebar Inijil di tanah Borneo? Pastinya mereka bukan untuk menjadi kaya bukan untuk menjadi terkenal melainkan untuk mempersembahkan hidup sebagai pujian dan doa bagi gereja dan seluruh dunia. Seluruh hidup mereka setiap hari bersama Tuhan dengan doa, ibadat harian, devosi, meditasi, kontemplasi ekaristi serta kegiatan rohani lainnya yang sangat membantu umat Allah yang sedang berziarah di muka bumi ini. Jadi mereka berdoa bukan hanya untuk dirinya tetapi juga bagi seluruh umat Allah di dunia. Dan untuk membiaya hidupnya merupakan hasil dari karya tangannya sendiri.

Kita sedikit membidik sang pendiri ordo, dan pastinya akan terpesona dengan bidata profilnya. Klara itulah namanya. Seorang gadis cantik, putri bangsawan Favarone di Offreducio yang hidup sejak (1193-1253). Ia menyebut dirinya: ‘Tanaman kecil St. Fransiskus, si Miskin dari Assisi.’ Ia mengikuti Jejak Yesus Kristus yang miskin dan tersalib. Miskin seperti Kristus itulah cita-cita yang dihayati oleh Klara dalam keheningan dan doa di Biara San Damiano Kota  Assisi.

Lalu jika ditanya apa hubungannya dengan Kapusin? Dalam perjalanan selanjutnya, tiga abad kemudian seorang janda kaya dari Napoli yang bernama Maria Lurentia Longo memperbaharui kembali cita-cita Klara dalam semangat pembaharuan para Kapusin. Maka kelompoknya disebut Kapusines. Saat ini mereka taat dibawah pimpinan Provinsial  Pastor Kapusin Keuskupan Pontianak khususnya yang berkarya di Kalimantan Barat. 

Kapan mereka masuk ke Singkawang? Lima abad kemudian, tepatnya tanggal 22 Oktober 1937, sembilan suster muda yang penuh semangat datang dari Belanda untuk meneruskan cita-cita Klara di tanah Borneo atau sekarang dikenal sebagai Kalimantan. Kini sudah lebih dari 70 tahun, cita-cita Santa Klara telah diikuti oleh gadis-gadis yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Lalu apa yang khas dalam cara hidup mereka? Jawabannya adalah:  “Keheningan dan ketersembunyian dijunjung tinggi. Sarana ampuh untuk mencapai persatuan dengan Tuhan dalam doa”. Mereka menghayati dan melakukan cara, hidup seperti  Bunda Maria, Hidup Yesus cermin menjadi cerminan cara hidupnya, Merayakan Ekaristi dan menyambut Tuhan dalam hati. Selain itu ‘berdoa’ yaitu: dalam semangat doa dan kasih Tuhan Yesus Kristus,  bekerja dalam kesetiakawanan dengan yang miskin dan menderita. Semuanya mereka persembahkan kepada Tuhan. Dan akhirnya menghayati dan mewujudnyatakan ‘Persaudaraan yang riang’ dalam hidup bersama tiap hari. Mungkin kamu seorang pemudi satu-satunya mengetuk hati dan  ingin bergabung dengan mereka? Datanglah, mereka sudah menunggu kalian tapi jangan lupa persyaratannya:

·    Beragama Katolik sekurang-kurangnya tiga tahun telah dibaptis)
·    Sehat jasmani dan rohani
·    Pendidikan sekurang-kurangnya SMP
·    Umur minimal 21 tahun
·    Motivasi jelas
·    Persetujuan orang tua
·    Keterangan dari Pastor Paroki

Biara mereka  satu atap dengan Gereja Paroki St. Fransiskus Assisi Singkawang. Sebagai simbol dan tanda nyata, dari kesatuan  yang tak dapat dipisahkan dengan Bunda Gereja yang kudus. Di dalam rumah ini para suster Klaris Kapusines, mempersembahkan hidupnya untuk menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan. Dari rumah/biara inilah mereka menggemakan kidung pujian, doa dan jeritan hati banyak orang yang sedang berjuang di dunia ini, karena mereka adalah suara, suara seluruh gereja dan umat manusia.

Bila ingin  bergabung, memohon doa dan ingin menjadi suster Klaris, datanglah ke rumah mereka dengan alamat: BIARA PROVINDENTIA Jl. Diponegoro No.1, Singkawang 79123 Kalimantan Barat Tel.0562-632753
E-mail: providential@telkom.net <mailto:providential@telkom.net>. (bruf)

3 Sep 2018

KEMERIAHAN PAROKI SINGKAWANG MENYAMBUT BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2018

KEMERIAHAN PAROKI SINGKAWANG MENYAMBUT BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2018




Ada yang berbeda dari Misa Ekaristi kedua pada Minggu, 2 September 2018. Misa kali ini yang mendaulat Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFM.Cap sebagai selebran utama merupakan misa pembukaan Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) 2018. Perbedaan yang begitu menarik perhatian adalah ketika para petugas misa menggunakan baju adat dari berbagai daerah di Indonesia. 

Tercatat 6 orang mengenakan baju adat masing-masing daerah antara lain dari suku Batak, Dayak Kanayatn, Flores, Manado, Jawa, dan Dayak Kapuas Hulu, maju ke mimbar membacakan kutipan Injil yang berbunyi, "Pergilah beritakanlah Injil kepada segala makhluk," dengan bahasa daerahnya masing-masing. Di samping itu petugas misa lainnya yaitu lektor, petugas pengantar persembahan, petugas kolektan dari Kring St Paulus, paduan suara dari Kring Sta Elisabet, penari dan pemain musik dari anak-anak asrama juga tak kalah semarak mewarnai gereja St Fransiskus Assisi Singkawang dengan mengenakan baju daerah pada saat bertugas dalam misa. Hal ini tak lepas dari tema BKSN 2018 yang digagas oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) yaitu "Mewartakan Kabar Gembira dalam Kemajemukan". 

Selain merupakan misa pembukaan BKSN 2018, pada misa yang berdurasi lebih kurang 1,5 jam ini juga dilakukan pelantikan terhadap pengurus Badan Pelayanan Pemakaman Katolik Singkawang (BPPKS) masa bakti 2017-2022. Di sela pelantikan, Pastor Paroki yang juga merupakan ketua BPPKS menyematkan harapan terhadap kinerja para anggota yang diharapkan mampu memberikan pelayanan jauh lebih baik bagi umat. 

Tak sampai di situ, pada pukul 14.00 Gereja Katolik Paroki Singkawang juga menggelar pawai pembukaan Bulan Kitab Suci Nasional 2018.  Pawai dalam rangka pembukaan BKSN ini sudah 2 tahun berturut-turut digelar, dan pada tahun 2018 ini diikuti lebih banyak peserta. Tercatat sebanyak 2047 peserta pawai dari berbagai kalangan baik dari biarawan biarawati berbagai ordo, persekolahan, stasi, kring, kelompok doa, perkumpulan aktivis gereja, maupun instansi turut memeriahkan pawai pembukaan BKSN 2018. 

Pawai yang dilepas oleh pastor paroki ini memulai start dari halaman persekolahan SDS Suster ini menempuh rute yang cukup panjang, mengelilingi Kota Singkawang yang akhirnya finish di halaman gereja. Tidak hanya sekadar pawai saja, namun tahun ini panitia penyelenggara BKSN 2018 juga menyiapkan berbagai bingkisan hadiah bagi peserta pawai dengan penampilan terbaik. (Nat) 













3 Sep 2019

WALIKOTA TURUT SERTA PAWAI BKSN 2019 DI PAROKI SINGKAWANG

Minggu, 1 September 2019. Menghidupi semangat Santo Fransiskus Assisi pelindung pelestari lingkungan dan pelindung Gereja Katolik Singkawang, gereja yang beralamat di Jalan P. Diponegoro no 1 itu sukses menggelar pawai Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) 2019 bertema ekologi. 

Pawai yang disemarakkan dengan berbagai kostum dan properti daur ulang barang-barang bekas ini begitu istimewa karena dibuka dan diikuti oleh Walikota Singkawang, Tjhai Chui Mie, S.E., M.H., didampingi Kapolres Singkawang AKBP Marcelino Ronald Masengi, S.IK., M.H., Pastor Paroki Singkawang, Stephanus Gathot Purtomo, OFM. Cap., dan juga jajaran Forkopimda Kota Singkawang.

Pawai yang menempuh rute start dari SD Suster, Jalan Diponegoro, Jalan Budi Utomo, Jalan Bawal, Jalan Sejahtera, Jalan Diponegoro, dan berakhir di halaman Gereja St Fransiskus Assisi ini diikuti sekitar 3000 peserta. Berbagai instansi, sekolah, dan umat lingkungan ikut turun ambil bagian dalam pawai yang menyesuaikan tema BKSN 2019 yaitu Mewartakan Kabar Baik di Tengah Krisis Lingkungan Hidup. Di sela sambutannya, Walikota juga menegaskan mendukung gerakan yang digagas oleh Gereja Katolik Singkawang mengenai pembiasaan disiplin mengurangi penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari. Beliau mengungkap keyakinannya berkaitan dengan disiplin yang dimulai dari diri sendiri dan lingkungan dapat mengantarkan Kota Singkawang tidak hanya menjadi kota paling toleran se-Indonesia, namun juga menjadi kota terbersih se-Indonesia.

Pawai ini merupakan penanda pembuka rangkaian kegiatan BKSN 2019 dan menjadi wadah sosialisasi sekaligus berkreasi umat gereja yang sudah dilakukan selama tiga tahun berturut-turut. (Hes)


Photo by Cinda

16 Mar 2016

Merayakan Kerukunan dalam Perbedaan

Merayakan Kerukunan dalam Perbedaan

 

Sabtu, 2 Januari 2016. Masih diliputi suasana kebahagiaan Natal dan semangat menyambut tahun baru, Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi ikut serta ambil bagian dalam kegiatan jalan santai yang diadakan oleh Kantor Kementrian Agama dalam rangka merayakan kerukunan umat beragama di Kota Singkawang.   

Memulai start pukul 07.30 WIB dari Kantor Agama di Jalan Alianyang, dengan rute melewati berbagai tempat ibadah di Kota Singkawang yang jaraknya cukup berdekatan satu sama lain dan berakhir di Kantor Agama kembali, sungguh menciptakan atmosfer kebersamaan yang hangat dan akrab. Hal ini tampak dari ekspresi seluruh peserta yang secara spontan langsung membaur dengan umat beragama lain dalam obrolan akrab penuh tawa dan canda.



Kegiatan yang melibatkan masyarakat dari enam agama dan berbagai lapisan usia ini pertama kali diadakan di kota Singkawang. Masyarakat Kota Singkawang kiranya boleh berbangga karena kota dengan julukan Bumi Betuah Gayung Bersambut  ini beberapa waktu yang lalu dinobatkan oleh lembaga riset Setara Institute sebagai penyabet peringkat ketiga kota dengan tingkat toleransi tertinggi di Indonesia setelah Pematang Siantar dan Salatiga. 


Di kesempatan yang sama, Kepala Kantor Kementrian Agama Kota Singkawang, Drs. H. Jawani Usman mengungkap bahwa jalan santai yang diadakan semata untuk merayakan kerukunan umat beragama di Kota Singkawang. “Kita patut bersyukur kepada  Tuhan. Kegiatan ini dihadiri umat Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik, Konghucu. Dari semua lapisan, baik muda-mudi maupun warga yang hadir berkisar 1500 orang. Dari Kementrian Agama juga menyediakan doorprise sebanyak 167 hadiah. Untuk ke depannya kegiatan ini diharapkan berlanjut dan akan kita tingkatkan lagi dengan melibatkan seluruh stakeholder yang ada di masyarakat. Di kesempatan ini kami juga ingin berterima kasih kepada Kapolres dan Kasatlantas Kota Singkawang yang telah mengamankan dan membantu lancarnya acara ini. Cuaca hari ini juga baik dan cerah, ini juga berkat doa seluruh umat beragama di Kota Singkawang yang tentunya berharap acara pagi ini berlangsung lancar,” pungkasnya. (Hes)

9 Jul 2019

PENERIMAAN SAKRAMEN KRISMA DAN PELANTIKAN PENGURUS DPP ST FRANSISKUS ASSISI SINGKAWANG 2019-2022 OLEH USKUP AGUNG KEUSKUPAN AGUNG PONTIANAK




Singkawang, Minggu, 7 Juli 2019. Sebanyak 181 orang boleh merasa sangat berbahagia karena baru saja menerima tanda penguatan berupa Sakramen Krisma dari Uskup Agung Keuskupan Agung Pontianak, Mgr. Agustinus Agus di Gereja Katolik St Fransiskus Assisi Singkawang. Para penerima Sakramen Krisma kali ini cukup istimewa karena dari para penerima Sakramen Penguatan tersebut terdiri dari berbagai kalangan usia. Jika biasanya Sakramen Krisma ini didominasi oleh usia remaja, namun kali ini hampir 1/3 penerima Sakramen ini adalah kalangan yang sudah berusia lanjut. Dalam khotbahnya, Uskup Agung mengungkap dengan diterimakannya Sakramen Krisma ini, kita disadarkan bahwasanya kita itu lemah. Bertindak sebagai konselebran misa pada kesempatan kali ini adalah Pastor Paroki Singkawang, Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFM.Cap. 

Tak berhenti pada penerimaan Sakramen Krisma, di kesempatan yang sama juga digelar pelantikan pengurus Dewan Pastoral Paroki (DPP) masa bakti 2019 – 2022 berdasarkan surat keputusan Uskup Agung Pontianak No 181.SK/SKR.KAP/VI/2019 yang bersumber dari Kitab Hukum Kanonik 1983, Kanon 536 tentang pembentukan Dewan Pastoral Paroki  dan partisipasi umat beriman Kristiani pelaksana reksa pastoral paroki. Adapun tugas-tugas pengurus DPP adalah segala hal yang berkaitan dengan liturgia, keryma, diakonia, koinonia, martyria serta mewartakan Injil sebagai inti pewartaan gereja. 

Berikut ini adalah susunan nama para pengurus DPP Santo Fransiskus Singkawang, Keuskupan Agung Pontianak, masa bakti 2019 – 2022:

I. PENGURUS HARIAN
1. Ketua Umum : Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFM.Cap. (Pastor Kepala Paroki Singkawang)
2. Sekretaris : Ns. Ignatius Nandang, S. Kep
Wakil Sekretaris : Drs. Titus Pramana, M.Pd.
3. Bendahara : Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFM.Cap.
Wakil Bendahara : Elisabet Buntoro

II. KETUA-KETUA BIDANG
1. KETUA BIDANG PERSEKUTUAN (KOINONIA)
Ketua :  Aben, S.Ag.
Seksi Kepemudaan : Trifonia Afridiana, A.Md, Kep.
Seksi Kerasulan Keluarga: Helaria Helena, A.Ma.
Sekami : Febronia Fatwati
Sekolah Minggu : Elisabeth Suharijani, A.Ma.

2. KETUA BIDANG KATEKESE (KERYGMA)
Ketua : Sumarni, S.Ag.
Seksi Pendidikan : R. Sitinjak, S.Ag.
Seksi Komunikasi Sosial : Natalia Hesty T.H., M.Pd.
Seksi Kerasulan Kitab Suci : Kristiani Murty, S.Ag.
Seksi Katekese : Adiran, S. Ag.

3. KETUA BIDANG PELAYANAN SOSIAL (DIAKONIA)
Ketua : dr. Liem Fong Chung
Seksi Kesehatan : dr. Tatang Supriana
Seksi Pengembangan Ekonomi : Hermanto Halim, S.E.
Seksi Perbendaharaan/aset : Robertus Adun

4. KETUA BIDANG PERIBADATAN (LITURGI)
Ketua : Stefanus Cahyadi, S.Ag.
Seksi Paduan Suara : Dra. Lucia Sutiono, M.M.
Seksi Pemazmur : Yuvita
Seksi Lektor : Dra. Lusiana Lidwina, M.M.

5. KETUA BIDANG MARTIRYA
Ketua : Drs. Benedictus Saidin
Seksi Panggilan : Br. Baptista, MTB
Seksi Hub AntarAgama : Aloysius Kilim, S.Ag.
Seksi Humas : Christian Valentino, S.H.
Seksi Keamanan : Gregorio Bambang

III. KETUA LINGKUNGAN
1. Ketua Lingkungan Santa Maria : Ridwan
2. Ketua Lingkungan Santa Theresia : Albertus
3. Ketua Lingkungan Santa Anna : Welly
4. Ketua Lingkungan Santa Caeilia : Asun AR
5. Ketua Lingkungan Santa Elisabeth : V. Marsiana
6. Ketua Lingkungan Santa Clara : Herkulanus, S.Ag.
7. Ketua Lingkungan Santo Yohanes : Aloysius Wahyu Tri Broto
8. Ketua Lingkungan Santo Paulus : Arry Hariadi, Apt
9. Ketua Lingkungan Santo Thomas : Suhartanto
10. Ketua Lingkungan Santo Clement : Idman
11. Ketua Lingkungan Santo Yoseph : Elisabeth Chen
12. Ketua Lingkungan Santo Fransiskus Assisi : Emilius Hardiyanta
13. Ketua Lingkungan Santo Leo Agung : Tobias, S.Sos.
14. Ketua Lingkungan Putra Daud : Fidelia Ngunadi

IV. KETUA STASI
1. Stasi Roban : Stephanus Aldriatno
2. Stasi St Paulus Sijangkung : Romanus, S.H.
3. Stasi St Michael Pangmilang : Vincentius Aplus
4. Stasi St Kristoporus Sagatani : Bartolomeus Solomon
5. Stasi St Clara Mayanus : Hendrikus Sinsoi Aman
6. Stasi St Maria Bunda Yesus : Rafael R.
7. Stasi St Dionisius Mandor : F. Sius
8. Stasi St Thomas Sebandut : Aphin
9. Stasi Cahaya Kristus Sarangan : Albertus Apuan
10. Stasi St Caecilia Medang : Epiphania Nuniani
Anggota : Lidia
11. Stasi St Gregorius Agung Capkala : Fransiskus
Anggota : Adrianus, Sebastianus
12. Stasi St Pio Parit Baru : Barnabas Salimin
13. Stasi Hati Kudus Yesus Setanduk : Samara
14. Stasi St Yoseph Aris : Apolonius Andus
Anggota : Antonius
15. Stasi Trans SP 1 : Herlina Elisabeth
16. Stasi Trans SP 2 : Angselmus Adi

V. KELOMPOK RELIGIUS
1. Kongregasi Bruder MTB : Br. Baptisa, MTB
2. Kongregasi Suster SFIC : Sr. Ursula, SFIC
3. Ordo Fransiskan Sekuler OFS : Yohanes Kaswin

VI. KELOMPOK KATEGORIAL
1. Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) : Helaria Helena, A.Ma.
2. ISKA : Kuria Rosa Mustica
3. Legio Presidium Ratu Rosario Yang Amat Suci : Yohana Tina
4. Presidium Ratu Para Malaikat : Bibiana, A.Md, Kep
5. New Katekumen : Elisabeth Cen, Yohana Maria
6. Santa Monika : Emilia Karsiah
7. BPPKS : Frumentius, S.H.
8. Bapakat : Arianto Ari
9. Sekami : Gregoria Laura Wivanda
10. Pemuda Katolik : Marsianus Dismas
11. OMK : Sinta

Usai misa perayaan Ekaristi istimewa berisikan penerimaan Sakramen Krisma dan Pelantikan DPP, digelar ramah tamah di halaman Gereja Katolik Paroki Singkawang yang diikuti oleh seluruh umat yang hadir pada misa kedua. 

Selamat bagi para penerima Sakramen Krisma, semakin dikuatkan dalam iman dan keyakinan, dan selamat berkarya bagi para pengurus DPP masa bakti 2019 – 2022. Tuhan beserta kita! (Hes)     



10 Sep 2015

MISA SYUKUR UNTUK INDONESIA

MISA SYUKUR UNTUK INDONESIA


Derap langkah kaki yang tegap dan ritmis diperlihatkan oleh 17 siswa-siswi  SMA Santo Ignasius Singkawang.  Mereka dipilih dan didapuk sebagai “paskibra” yang membawa 17 bendera Merah Putih. Angka 17 sengaja dipilih sebagai lambang dari tanggal 17 Agustus. Perarakan mereka memasuki gereja paroki Singkwang mengawali Misa Syukur Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Acara yang dimulai pukul 18.00 sore pada hari Minggu 16 Agustus 2015 itu dihadiri oleh kebanyakan kaum muda. Hujan yang sempat mengguyur kota Singkawang beberapa jam sebelumnya tidak menyurutkan langkah anak muda untuk mengikuti gelaran peringatan kemerdekaan RI kali itu. Sejak awal semangat nasionalis dibangkitkan oleh paduan suara Orang Muda Katolik Singkawang yang mengiringi perarakan 17  Sang Merah Putih dengan lagu Satu Nusa Satu Bangsa dan lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Dengan berdiri tegak umat yang hadir di dalam gereja pun larut dalam suasana penuh khidmat.

Misa syukur HUT Kemerdekaan RI tahun ini memang dikemas secara khusus oleh Orang Muda Katolik sebagai panitianya. Diawali dengan upacara penghormatan kepada bendera Merah Putih dan pembacaan teks Proklamasi, gelaran dilanjutkan dengan misa syukur. Dalam kotbah singkatnya, Pastor Stephanus Gathot mengingatkan bahwa mengisi kemerdekaan tidak hanya sekedar mengikuti upacara bendera.  Mengutip tema nasional “Ayo Kerja”, Pastor Gathot mengajak umat untuk beraksi nyata. Mengisi kemerdekaan Republik Indonesia  adalah  dengan bekerja sesuai dengan tugas panggilan masing-masing. “Semoga dengan bekerja nyata, kita bisa menciptakan kebaikan untuk sesama sehingga kita bisa mengembalikan apa yang menjadi hak kaisar dan apa yang menjadi hak Allah,” pungkas P. Gathot dalam kotbahnya.



Lain dari biasanya, selesai kotbah Misa syukur diselingi dengan pembacaan puisi. Henri Permadi yang diberi kepercayaan, membawakannya dengan penuh ekspresif. Dalam puisinya anak muda yang gemar bermain bulutangkis ini memaparkan fakta adanya kesenjangan yang terjadi di Republik ini. Maka dia mengajak yang kuat untuk membantu yang lemah. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan sehingga sebagai bangsa kita patut berbangga dengan Sang Merah Putih yang senantiasa berkibar.

Untuk mengiringi penerimaan komuni, jiwa patriotis dibangkitkan kembali oleh paduan suara. Kali ini mereka menyanyikan lagu-lagu populer yang bertemakan tentang Indonesia. Lagu Bendera-nya Coklat, Gebyar-Gebyar-nya Gombloh dan Jadilah Legenda-nya Superman Is Dead mengalun semarak memenuhi ruangan gereja. Pembawaan yang ditata dengan apik menyihir umat yang hadir. Tanpa dikomando mereka pun larut dalam suasana dan ikut bernyanyi bersama. Maklum lagu-lagu ini sangat akrab untuk telinga anak muda. Profisiat untuk Orang Muda Katolik yang telah mengekspresikan jiwa mudanya dalam Misa syukur HUT Kemerdekaan RI. Semoga Perayaan Misa syukur ini menjadi motivasi untuk berkarya nyata bagi Indonesia tercinta. (Steph)

14 Sep 2016

Yang Muda yang Berkarya dalam Militansi Kehidupan Menggereja

Yang Muda yang Berkarya dalam Militansi Kehidupan Menggereja


Minggu, 24 Juli 2016. Berlatarhalaman Gereja St Fransiskus Assisi Singkawang, Komisi Kepemudaan panitia pra IYD (Indonesian Youth Day) Keuskupan Agung Pontianak yang dimotori oleh Kasianus Kurniawan melakukan perarakan replika Salib IYD 2016 yang lantas diserahkan kepada Ketua Dekenat Singkawang, Pastor Krispinus Endi, OFM. Cap., dan untuk selanjutnya diserahkan kepada Pastor Paroki Singkawang yang merupakan tempat peziarahan  pertama Salib IYD 2016. 

Penyerahan replika Salib IYD yang melibatkan seluruh OMK di stasi-stasi yang ada di wilayah Paroki Singkawang ini bukan tanpa maksud dan tujuan. Ditemui usai perayaan Ekaristi, pria yang akrab disapa Kas ini mengungkap, “Prosesi penyerahan salib dari Komisi Kepemudaan panitia pra IYD Keuskupan Agung Pontianak diantarkan dari komisi kepemudaan pra IYD pertama kali ke Paroki Singkawang. Salib sebagai tanda Kerahiiman Allah menjadi pemersatu dan terang bagi seluruh kegiatan OMK di seluruh paroki di Keuskupan Agung Pontianak. Agar seluruh teman-teman OMK mengalami merasakan sukacita kehadiran Allah di tengah-tengah mereka, tidak hanya OMK yang menjadi utusan paroki untuk ikut dalam even IYD, namun salib yang akan kita bawa dalam IYD yang akan digelar di Manado nanti bisa menjadi lambang pemersatu dan sukacita bagi seluruh OMK.”

Adapun Salib IYD 20016  dibawa ke Paroki Singkawang merupakan replika. Aslinya tetap berada di Keuskupan Agung Pontianak. Salib ini dirancang oleh tim IYD 2016 dari Komisi Kepemudaan Kesuskupan Agung Pontianak. Setelah melewati berbagai diskusi maka dirancang sekaligus dipilihlah berbagai bahan dasar pembuatannya. Bahan-bahan yang dipilih untuk membuat Salib IYD 2016 ini kiranya mengusung segala kearifan lokal. Dari bahannya saja menunjukkan bahwa pemilihan dan penetapannya berdasar kekayaan alam yang mudah dijumpai pada ranah lokal. Salib IYD ini berbahan dasar rangka rotan. Filosofi begitu kental dan sarat makna menjadikan rotan dipilih sebagai rangkanya. Rotan sendiri merupakan tanaman yang tumbuh hampir di seluruh dan begitu mudah dijumpai di seluruh pelosok Kalimantan Barat. Rotan tumbuh menjalar panjang mengikuti tinggi dan lebat pepohonan tempatnya bernaung, bisa mencapai puluhan meter panjangnya. Rotan sangat lentur, sederhana, kuat, dan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Demikian hal yang sama diharapkan berlaku pula pada OMK agar dapat menjadi ‘rotan’ di dalam sisi kehidupannya; menjadi pribadi yang memiliki kelenturan/fleksibilitas dalam sikap dan perilaku, sederhana; memiliki tekad dan kemauan yang kuat dalam segala tindakan, pemersatu, sehingga sungguh-sungguh siap mewartakan sukacita Injil dan membawa manfaat bagi masyarakat di lingkungannya.

Bahan berikutnya adalah kulit kayu/kapuak. Kapuak merupakan kulit tanaman kayu tertentu yang sudah diolah sedemikian rupa sehingga dapat dimanfaatkan bagi keperluan hidup manusia, dan hingga saat ini masih bisa didapatkan di beberapa tempat, khususnya Kalimantan Barat maupun Kalimantan pada umumnya. Untuk siap digunakan kulit kayu mengalami proses yang ‘berat’ sampai menjadi kapuak, dan banyak digunakan untuk pengikat maupun berbagai keperluan hidup lainnya serta sekalipun dengan tampilan sederhana kapuak dapat diolah menjadi kostum/pakaian adat yang unik, alami, dan memiliki nilai ekonomis. OMK-pun setelah mengalami proses yang ‘berat’ dalam berbagai sisi kehidupannya diharapkan mampu menjadi pribadi yang tangguh, ulet dalam mewartakan Injil serta bermanfaat bagi kehidupan masyarakat di lingkungannya. Bahan dasar lain yang juga digunakan adalah korpus dan pengikat dari kawat berunsur logam. Dalam hal ini bahan dasar logam merupakan elemen yang berasal dan ditemukan dari perut bumi dan mengalami proses pemurnian, baik itu proses sederhana maupun berulang. Setelah mengalami bentuknya yang baru, logam dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan dan manfaat yang beragam. Dalam Salib IYD juga terdapat simbol lingkaran dengan tiga duri di setiap sudutnya. Lingkaran sendiri merupakan sebuah bentuk yang tidak terputus, satu kesatuan, berkesan dinamis, dan siklus yang berulang. Lingkaran ‘berduri’ dan berwarna merah dan putih, melengkapi Salib yang merupakan wujud Kerahiman Ilahi, Allah Tritunggal Maha Kudus sendiri; merupakan kesatuan langkah hidup dan perjuangan OMK mewujudnyatakan iman Katoliknya di tengah keberagaman hidup berbangsa dan bernegara, serta sebagai bangsa Indonesia, dan dalam bimbingan Roh Allah sendiri menajdi100% Katolik, 100% Indonesia. 

Demikian kisah perjalanan Salib IYD 2016 yang menyambangi Paroki Singkawang sekaligus pemaknaan yang mendalam, melebihi sekadar tampilan fisik dan diharapkan mampu mewakili mengobarkan semangat kehidupan menggereja dan militansi iman kaum muda. (7539)
 

2 Jun 2015

BE A BROTHER FOR ALL

BE A BROTHER FOR  ALL


Selayang Pandang OFM.Cap

               Be A Brother For  All (Menjadi Saudara Bagi Semua) merupakan motto dari OFMCap (Ordo Fraterum Minorum Cappucinorum) yang dapat diartikan sebagai ordo saudara-saudara  dina dari Kapusin menjadi denyut dan aura jiwa bagi penghayatan para pengikutnya setiap hari. Ordo ini  didirikan oleh Santo Fransiskus dari Assisi  (1882-1226), menjadi magnet pribadi banyak orang sekaligus maestro yang dikagumi di abad 21 sebagai Santo yang spektakuler dalam spiritualitas kemiskinan dan hina dina.
               Dalam perjalanan waktu Ordo ini berkembang menjadi Ordo pertama untuk laki-laki  (OFM, OFMConv dan OFMCap). Ketiga Ordo pertama ini menghidupi anggaran dasar yang disusun oleh Fransiskus dari Assisi dan disahkan oleh Paus Honorius III. Ordo kedua untuk perempuan (para Suster Klaris) dan ordo ketiga untuk awam maupun imam sekular (regular dan secular). Ordo Kapusin dimulai oleh Matheus dari Bascio dan resmi berdiri pada 3 Juli 1528 dengan Bulla Religionis Zellus oleh Paus clement VII. Adapun anggota Ordo Kapusin ini terdiri dari ‘klerus’ (imam) dan  ‘laikus’ yang biasa disebut bruder.







Nama Kapusin
                  Panggilan nama Kapusin berawal dari sorakan anak-anak yang melihat para saudara dina yang memakai jubah dengan kap panjang dan runcing. Mereka meneriakkan:  “Scapucini!, Scapucini!” (menggunakan kap). Dari teriakan inilah lahir nama Kapusin.  Ordo Kapusin sudah tersebar luas ke seantero dunia di 106 negara. Saudara Kapusin mulai berkarya di Indonesia sejak tahun 1905 dan pada Februari 1994 dimekarkan menjadi 3 Propinsi: Medan, Sibolga, dan Pontianak. Kapusin Propinsi Pontianak, dengan nama pelindung Santa Maria Ratu Para Malaikat, didirikan secara resmi pada tanggal 21 Februari 1994.
             Adapun wilayah karyanya yaitu: Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Sanggau, Keuskupan Sintang, Keuskupan Palangka Raya dan Keuskupan Agung Jakarta, dan pastinya di Singkawang beralamat Pastoran Katolik,  Jln. P. Diponegoro No. 1 Singkawang. Para saudara Kapusin yang berada di lima keuskupan ini dipimpin langsung oleh Minister Propinsial.
Jenis Karya dan Ciri Khas Hidupnya
                  Para saudara Kapusin lebih memperhatikan karya dan pengabdianya dengan fokus pada: pelayanan pastoral parochial dan kategorial, pembimbing rohani dan retret, pendamping kaum muda, pengelola pertukangan dan bangunan, pengurus rumah tangga komunitas, pelayanan di bidang medis, pertanian, dan pendidikan, pengembangan masyarakat, pemelihara, dan pendukung seni budaya, berkarya di daerah misi dan pendamping kaum terlantar.
                  Adapun ciri khas hidupnya adalah : (1) hidup dalam persaudaraan – Fraternitas, (2) doa menjadi nafas hidup dan karya setiap saudara, (3) para saudara Kapusin menghayati kemiskinan dan kedinaan dengan hidup sederhana baik dalam penampilan maupun dalam tutur kata, dan berpihak kepada orang kecil dan miskin (option for the poor), (4) terbuka pada setiap tugas yang dibutuhkan oleh ordo maupun gereja lokal, ikut mempromosikan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan (Justice, Peace and Intergrity of Creation).
Ajakan
            Anda terpanggil menjadi calon dan mau bergabung dengan mereka, hendaklah memperhatikan hal-hal tersebut. Calon yang hendak melamar menjadi Kapusin haruslah seorang pria beriman Katolik (minimal 2  tahun setelah baptisan). Punya kemauan yang baik dan suci. Artinya, ingin mewujudkan dalam hidupnya cita-cita persaudaraan Kapusin. Sehat jiwa dan raga sehingga berdaya guna untuk mengemban salah satu jenis pengabdian dengan baik dan menggembirakan. Berpendidikan minimal SMU atau setingkatnya, demi menjamin mutu pemahaman atas cara hidup membiara dan terbuka kemungkinan untuk mengembangkan diri sesuai dengan bakat dan kemampuan.
                  Untuk itu kami mengajak, “Hai Kaum Muda Katolik, mari bergabung bersama kami mengikuti Tuhan Yesus Kristus menurut teladan St. Fransiskus Assisi dalam Ordo Saudara Dina Kapusin Propinsi Pontianak.” Sertakan surat lamaran Anda: surat keterangan pastor paroki, surat kesaksian dari pembimbing, atau surat rekomendasi dari sekolah atau tempat bekerja. Riwayat hidup singkat, pasfoto 3x4 (3 lembar), surat persetujuan orang tua/wali. Kirim ke Minister Propinsial Kapusin Pontianak: Jl. Adisucipto KM 9,6 Tirta Ria - Sungai Raya, Kotak Pos 6300. Pontianak-Kalbar 78391 Telp. (0561) 722430/78391. Fax: (0561)-724012.E-mail: kapusin.pontianak@kapusin.org.
                   Bila ingin mengetahui lebih mendalam  langsung pada contact person: P. Joseph Yuwono, OFMCap - Tirta Ria (081251154671) - P. Chrispinus, OFMCap (081345766156) - Nyarumkop. Nah, tunggu apa lagi, mungkinkah Anda salah satu insan yang terpanggil saat ini?
(Ditulis kembali oleh Bruf dengan bersumber pada Brosur OFMCap)

18 Feb 2020

Fransiskus Assisi Gelar Pesta Syukur Episkopat Uskup Agung Keuskupan Agung Pontianak


PESTA SYUKUR 20 TAHUN EPISKOPAT MGR AGUSTINUS AGUS 

SINGKAWANG – "Instaurare Omnia in Christo," itulah moto yang digunakan Mgr Agus saat ditahbiskan menjadi Uskup Sintang 20 Tahun yang lalu yang berarti membangun kembali semua di dalam Kristus. Hal ini disampaikannya saat pesta syukur 20 tahun tahbisan episkopat yang digelar di Paroki St Fransiskus Assisi Singkawang pada Sabtu sore, 15 Februari 2020.
Acara ini dibuka dengan tarian bertajuk Pasti ke Singkawang yang disajikan dengan begitu apik oleh OMK St Fransiskus Assisi Singkawang.

Giat syukur ini dihadiri Drs. Libertus Merep, M.Si., staf ahli hukum, politik, dan pemerintahan, mewakili Walikota Singkawang yang berhalangan hadir saat itu. Di kesempatan itu tampak pula ketua DPRD Kabupaten Bengkayang, Fransiskus, M.Pd, anggota DPRD Provinsi Kalbar Bong Cin Nen, S.Pd., dan Drs. Ahyadi, M.Si., Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Kota Singkawang.

Acara yang digelar tepat pukul 16.00 WIB itu juga dihadiri oleh lebih kurang 300 tamu undangan dari berbagai wilayah antara lain Nyarumkop, Sambas, Bengkayang, Sekura, berbagai stasi, dan perwakilan 14 lingkungan di Paroki Singkawang. Tercatat sejak pukul 15.00 WIB, para tamu sudah begitu antusias memadati area pesta syukur dua dasawarsa Tahbisan Episkopat Uskup Agung yang bertempat di halaman Gereja St Fransiskus Assisi Singkawang. 



MISA SYUKUR 20 TAHUN TAHBISAN EPISKOPAT MGR AGUS

Pesta syukur yang digelar pada Sabtu, 15 Februari 2020 berlanjut pada misa kedua, Minggu, 16 Agustus 2020. Diawali perarakan dari halaman gereja oleh misdinar, para petugas misa, para pastor konselebran, dan uskup sendiri sanggup menyita seluruh pasang mata umat yang hadir untuk mengikuti Misa perayaan syukur dengan khusyuk. Bertindak sebagai selebran utama, uskup agung, didampingi oleh imam konselebran lain yakni Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFMCap., Pastor Yosua Boston Sitinjak, OFMCap., Pastor Felik, OFMCap., Pastor Cahyo Widyanto, OFM.Cap., Pastor William Chang, OFMCap., Pastor Sahut, Pr., Pastor Alexius Alex Mingkar, Pr., Dan juga Romo Jesuit, yakni Romo Thomas Salimun Sarjumunarsa, SJ. 


Dalam homilinya, putra kedua dari pasangan Markus Budjang dan Maria Djoi ini mengungkap berbagai tantangan yang dihadapinya saat menjadi imam maupun ketika ia telah menjabat sebagai uskup. "Banyak sekali tantangan dan rintangan, suka duka yang dihadapi saat menjadi uskup selama 20 tahun," ungkapnya. 


Tak putus ia berharap, saat bertugas dimana pun, pribadinya mampu menjadi pemersatu umat Katolik maupun menjadi sosok pembawa kesatuan antar umat beragama, karena baginya keberagaman dan toleransi adalah suatu nilai penting agar bisa tetap menjaga persatuan dan kesatuan di bumi Kalimantan ini.


Dalam senandika maupun homilinya juga, Mgr Agus sempat meluruskan berita yang terlanjut viral di media sosial akhir-akhir ini, bahwasanya Sri Paus akan mengunjungi Kalimantan Barat. Beliau menegaskan hal itu adalah suatu yang tidak mungkin terjadi disebabkan kunjungan Sri Paus di Indonesia begitu singkat, lebih kurang hanya 2 jam di ibukota dan 2 jam di Ambon. Setelah lawatan singkat itu paus akan segera meninggalkan Indonesia untuk jadwal kunjungan ke negara lain. 

Usai perayaan Misa, seluruh umat diundang untuk ikut serta dalam kegembiraan pesta syukur. Panitia bersama lingkungan telah menyediakan jamuan yang dapat dinikmati bersama. Semua bergabung dalam suka cita.


Akhirnya, selamat atas ulang tahun tahbisan episkopat ke-20, mari kita selalu mendoakan Bapa Uskup Mgr Agustinus Agus agar semakin diberkati dan dilimpahi rahmat kesehatan dan panjang usia agar dapat melayani umat se-antero Keuskupan Agung Pontianak. "Instaurare Omnia in Christo" (Cinda)



3 Mar 2017

Menguji Kelestarian Panggilan dan Kesetiaan Pilihan dalam Pengalaman Hidup

Menguji Kelestarian Panggilan dan Kesetiaan Pilihan dalam Pengalaman Hidup


 “Bukan semudah membalikkan telapak tangan untuk setia pada satu pilihan, pilihan yang berlaku seumur hidup, sepenuh usia, sepanjang hayat. Sama seperti orang awam, kaum rohaniawan juga mengalami hal serupa. Jika jejak langkah awam dihadapkan pada jibaku persoalan hidup yang seolah tidak pernah surut, pun demikian halnya dengan mereka yang hidup di balik tembok biara. Masing-masing dengan perannya, masing-masing dengan tantangan hidupnya, masing-masing dengan persoalan yang membelit kesehariannya.” 

Mendung masih bergelayut enggan pupus meski langit sesiang tadi sempat memuntahkan hujan seperti tembikar sarat akan air yang pecah di udara manakala saya memacu kendaraan ke arah jantung kota. Hari itu hari Sabtu, dan saat itu tujuan saya satu, segera berada di sebuah biara yang bersebelahan dengan gereja, Biara Providentia. Kamis sebelumnya saya membuat janji dengan salah satu penghuninya. Melalui piranti komunikasi temu janji disambut suara ringan nan gembira yang siap menyambut kehadiran saya untuk melakukan wawancara. Suara yang terdengar semanis paras pemiliknya adalah suara Suster M. Laetitia, OSCCap. Maka Sabtu, kira-kira dua jam menjelang senja, rinai gerimis mengantarkan langkah saya menjumpainya. 

Kedatangan saya disambut senyumnya yang jernih seperti yang biasa tergambar pada jiwa yang menyerahkan sepenuhnya kesulitan dunia pada penciptanya dan selalu bersyukur pada setiap keriaan sekecil apapun bentuknya. Jabat erat saya dapat disertai kecup dan pelukan hangat. Kami berhadap-hadapan pada sebuah ruangan berukuran 3 x 4, dihalangi meja lengkap dengan minuman dan kudapan. Sepanjang wawancara senyum dalam binar mata ramah bersahaja membingkai di wajahnya. Ia begitu antusias ketika saya mulai menyoal ketertarikannya menanggapi panggilan hidup membiara. Segalanya berawal dari dalam keluarga. Tepat kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Putri kedelapan dari dua belas bersaudara pasangan bapak Paulus Hendrikus Pawe dan ibu Katarina Irmina Meo ini memang berlatar ayah dan ibu yang merupakan mantan calon biarawan dan biarawati. Keinginan kedua orang tuanya di masa muda untuk menapaki hidup membiara terkendala karena jauh sebelum keduanya bersua, ternyata pihak keluarga telah seiya sekata menjodohkan keduanya hingga mereka menyatu dalam biduk rumah tangga. Namun bagai gayung bersambut oleh buah hati mereka, Laetitia muda menjadi penawar dahaga cita-cita yang tertunda. 

Laetitia tumbuh di lingkungan Katolik yang taat. Berlatar kedua orang tua yang paham benar tentang agama, segala ritual pujian bagi yang maha juga rapalan untaian doa merupakan menu wajib dilakukan dalam keluarga dan bukan hal yang sama sekali baru baginya hingga tak lagi mengejutkan ketika ia mulai menapaki kehidupan membiara. Rumah masa kecilnya pun menjadi saksi bisu perjalanan kegembalaan biarawati dan biarawan maupun para frater, calon balatentara Tuhan yang menggelar kegiatan pelayanan keagamaan. Tidak berhenti sampai di situ, keterbiasaan menyaksikan pemandangan yang berkait erat dengan pelayanan, ketika kecil, ia bersama teman acapkali bermain peran menjadi kaum rohaniawan, membagi hosti yang adalah roti dalam sebuah permainan perayaan Ekaristi.   

Sebelum menjalani hidup di biara, Suster Laetitia yang dulunya bernama Yosefina Basildis ini sempat menjalani pendidikan sebagai perawat kesehatan di sebuah SPK nun di gugusan Flobamora (Flores, Sumba, Timor, dan Alor). Seolah tumbuh menjadi mawar gurun yang mekar, kala itu tidak sedikit pemuda yang hatinya sanggup dibuatnya tergetar. Bukan hanya satu atau dua pemuda belaka, namun lebih dari hitungan jumlah jari pada kedua telapak tangan telah tercatat mencoba merebut hatinya dengan segala cara. Dari cara yang halus hingga yang ketus, dari yang terselubung hingga yang nyata-nyata mengajak pemuda lain tarung. Dengan rendah hati, ia menanggapi segalanya dengan tetap merangkul semua menjadi sanak saudara untuk tetap saling menjaga dalam doa. Baginya segala cinta dari lawan jenis yang silih berganti menghampiri tak ayal merupakan perpanjangan tangan Tuhan untuk menyentuh dan menyadarkannya bahwa tiada kasih yang lebih besar dari kasih Juru Selamatnya. “Semua hadir untuk menguji kelestarian panggilan dan kesetiaan pilihan dalam pengalaman hidup, kalau tidak ada tantangan, kita tidak bisa tahu bahwa panggilan ini benar-benar berharga. Panggilanku ini adalah pilihanku dan inilah yang dikehendaki Tuhan,” begitu ia berujar. Mungkin benar, untuk mengetahui kadar ketebalan iman seseorang, terkadang memang diperlukan ujian. Iseng saya bertanya untuk sekadar mengetahui siapa saja yang hadir  menawarkan hati pada suster yang sangat senang bersahabat ini, namun begitu rapat ia merahasiakan semua nama yang masih mencoba mendekatinya meski ia telah hidup dalam lingkup biara. Pernah pada suatu masa, sehari menjelang kaul kekalnya, ia menghadapi godaan yang sungguh luar biasa. Kala itu ada suara lain yang didengarnya yang sempat menggetarkan hatinya. Suara dari seseorang yang hampir saja membuatnya urung mengucap kaul kekal dan berpikir ulang untuk meneruskan panggilan. Ya, suara seorang dari antara kaum adam yang selama ia berada dalam masa pendidikan selalu memberikan perhatian. Pergulatan sungguh menjadi awan hitam yang meliputi batinnya, namun dalam seluruh kekuatan ia menyerahkan sepenuhnya ke tangan Bapa dalam doa. Lelah berdoa ia jatuh tertidur hingga akhirnya pada saat terbangun hal pertama yang dilihatnya adalah salib Kristus. Serta merta dipeluknya tanda penyelamat hidupnya. Seketika hilang rasa ragu, dengan mantap ia menjawab panggilan itu.

Rasanya sungguh padan jika kutipan catatan seorang maestro kesusastraan Indonesia disematkan pada suster yang hobi bernyanyi dan menari ini; “Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya.”* Suster yang pada 31 Maret 2017 mendatang genap berusia 55 tahun ini sungguh lembut namun tegas, begitu halus tetapi kukuh. Pribadinya ibarat menolak tangan berayun kaki, memeluk tubuh mengajar diri. Sungguh, ia disiplin dan hanya sedikit berkompromi untuk hal-hal yang bersifat duniawi. Hedonisme ia tinggalkan, bersetia ia pada panggilan. Hal ini ditunjukkan ketika dengan segala kesempatan untuk berada di tengah-tengah keramaian, hati kecilnya tetap rindu untuk pulang. Biaralah rumahnya, sebagai suster pendoalah panggilan kemanusiaannya. 

Masih berkisar pada pengalaman panggilan yang dialaminya, suster yang ketika belia menjadi primadona remaja ini mengalami suatu kejadian tak terlupakan. Manakala bersama teman-teman seusianya berolah raga, matanya tiba-tiba terpaku pada sosok biarawati yang meski berada di tengah keriuhan tetap setia merapal doa dengan rosario dalam genggamannya. Saat itu tanpa banyak bicara, Laetitia berlari menjauh dari perkumpulan. Masuk kamar ia kembali merenungkan niatnya menanggapi panggilan. Dengan pemandangan sesederhana itu, Tuhan kembali hadir menyentuh inti kalbu. 

Suatu ketika dalam masa pencarian ordo yang benar-benar dirasa pas di hati, ia menemukan jawaban secara tak sengaja. Melalui majalah Hidup yang saat itu memuat profil dan foto Bapa Uskup Mgr Hieronimus Bumbun bersama dua orang suster OSCCap, Laetitia membulatkan tekadnya. Korespondensi dilakukan, harap-harap cemas ia menanti balasan. Tak berapa lama berselang, bagai tak bertepuk sebelah tangan, jawaban memuaskan ia dapatkan. Bapa Uskup menyambut baik keinginannya bahkan menunjukkan cara untuk memuluskan niat sucinya. Suatu kebetulan yang menyenangkan berselang beberapa waktu kemudian dalam urusan pekerjaan  Bapa Uskup mengunjungi provinsi tempat ia berdomisili. Dibantu oleh Bapa Uskup, Laetitia akhirnya sampai ke Biara Providentia yang sangat didambanya. Kesan pertama melihat bangunan biara, ia langsung merasa bahwa inilah tujuan hidupnya, inilah ‘rumah’ baginya.

Sejak awal hidup di biara, ia bersama teman-temannya saling menguatkan dalam doa. Rasa rindu pada orang tua serta sanak keluarga merupakan hal jamak dan tak terhindarkan. Laetitia sempat rapuh ketika di awal masa panggilan ia seolah sengaja diputus kontak oleh kedua orang tua. Seluruh surat yang dikirimnya ke kampung halaman tak jua kunjung ada balasan. Sedih dan merasa dikucilkan, rindu namun semacam terbuang. Ia tak mengetahui alasan di balik sikap kedua orang tua yang tidak pernah membalas surat-suratnya. Sedih tak tertahan, letih hati menahan rindu tidak berkesudahan, ia merasa sendirian, hanya Surat Rasul Paulus kepada umat yang termuat dalam Kitab Suci selalu menjadi hiburan. Pada suatu kesempatan ia menghadap Bapa Uskup Hieronimus Bumbun, mengadukan ihwal yang mengganggu batinnya. Jawaban tak terduga melipurkan laranya. Bapa Uskup menguatkannya hanya dengan kata-kata, “Buat apa bersedih, saya dan yang lain yang hidup dalam panggilan juga sendirian. Tidak sedang bersama orang tua, kita semua sama.” Dengan jawaban sederhana itu Laetitia merasakan kekuatan dan bahwa ia memang tidak sendirian. Hingga tiba pada suatu masa, ia diberi keleluasaan untuk kembali mengunjungi orang tua di kampung halamannya. Saat itu baru ia dapatkan jawaban atas segala yang menjadikannya ragu. Kedua orang tuanya tak ingin masa pendidikannya terusik rindu yang pada akhirnya akan mengganggu.  

Semua yang hidup akan tetap menemukan gairahnya jika ia masih meniupkan asa dalam cita-cita, dalam sebuah keinginan, dan dalam selaksa harapan. Pun demikian halnya dengan Laetitia. Hal yang belum terpenuhi dan menjadi sebuah harapan sepanjang pembaktian hidupnya dalam membiara dituturkannya, “Saya hanya merindukan menjadi seorang pendoa yang sungguh-sungguh menjadi penyalur rahmat bagi banyak orang, bisa menjadi seorang pribadi yang sungguh berguna bagi diri, keluarga, gereja dan dunia. Dan jika saya meninggal saya ingin menjadi kudus, tapi itu rasanya masih jauh dari bisa menjadi kudus,’ ungkapnya yang disusul sipu malu dalam senyumnya yang bersahaja.

4 Oktober 2016, tercatat tepat 25 tahun ia berkarya. Berbagai cobaan dan rintangan silih berganti menghampiri, namun tangan Tuhan kiranya terus bekerja, menjaga ia setia pada panggilan imannya. Selamat berkarya, Suster. Tetaplah menjadi pendoa kami semua. (Hes) 

NB: (*) kutipan tulisan Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru: Rumah Kaca.   
Biodata Singkat

Nama: Yosefina Basildis Anu Pawe.
Tempat tanggal lahir: Flores, Bajawa Mataloko, 31 Maret 1962 
Tahun 1977 tamat SD Katolik Toda Belu II.
Tahun 1981 Masuk SMP Kartini Mataloko.
Tahun 1982 pindah ke SMP Immaculata Ruteng Manggarai.
Tahun 1983 masuk ke SPK (Sekolah Pendidikan Kesehatan) di Lela Maumere.
Setelah tamat, bekerja di Rumah Sakit St. Gabriel Kewapante Maumere, sebagai pembantu bidan bersama Sr. Solmaris, S.Sps selama 2 tahun.
Pada tahun 1987 berkenalan dengan biara Providentia melalui majalah Hidup. 
Tanggal 6 Agustus 1988 berangkat ke Singkawang bersama Sr. Emiliana SFIC dan diantar ke biara Providentia oleh Sr. Paulin SFIC.
Tanggal 6 Agustus 1988: masuk sebagai calon (aspiran)
Tanggal 29 September 1988: Masuk Postulan
Tanggal 4 Oktober 1989: Masuk Novis
Tanggal 4 Oktober 1991: mengikrarkan Kaul sementara.
Tahun 1991-1992 tinggal di Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 1993 kembali ke Biara Providentia Singkawang.
Tanggal 4 Oktober 1994: Mengikrarkan kaul kekal meriah.
Tahun 1996 di tugaskan kembali ke Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 1997 kembali ke Singkawang.
Tahun 2003 ditugaskan kembali ke Biara St. Klara Sarikan Anjungan.
Tahun 2005 kembali ke Biara Providentia Singkawang sampai saat ini.
Tanggal 4 Oktober 2016, genap 25 tahun hidup kaul membiara.