Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri gereja dunia. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri gereja dunia. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan

3 Jun 2022

TIGA TAHUN BERSAMA KOMSOS PAROKI SINGKAWANG

 

TIGA TAHUN BERSAMA KOMSOS PAROKI SINGKAWANG

 

Komsos Paroki Singkawang merayakan 3 Tahun kebersamaaannya bersama umat Paroki Singkawang bertepatan dengan Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-56 (28/5/2022) yang bertema “Mendengarkan dengan Telinga Hati”. Dengan ini, sudah tiga tahun komsos dipercayai sebagai sarana pewartaan kabar paroki kepada seluruh umat serta bertanggungjawab atas pemanfaatan media cetak serta internet, seperti website, twitter, Instagram, dan Email.

Melalui dukungan umat, akun sosial media Paroki Singkawang berkembang begitu pesat. Data statistik menunjukan bahwa media sosial khususnya Instagram selama 1 tahun  memiliki  kenaikan drastis. Ditinjau melalui laman sosial media paroki singkawang, dilaporkan bahwa pengikut Instagram paroki memiliki kenaikan sebesar 1.500 dari tahun sebelumnya, bahkan jumlah pengunjung mencapai angka 648.000.

Siapa sangka bahwa buah pembicaraan yang layaknya basa-basi oleh beberapa pemuda gereja bersama pastor paroki terdahulu, Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFMCap. Ternyata menghasilkan buah manis. Liputan dan konten yang dihadirkan oleh komsos mendapat sambutan hangat dari umat Paroki Singkawang. Bermacam reaksi serta apresiasi sering menghiasi kolom komentar Instagram yang dikelola oleh komsos paroki singkawang. Hingga tak terasa, tiga tahun sudah kita berjalan bersama, mewartakan kasih Allah menggunakan teknologi yang juga turut berkembang pesat.

Sebagai ucapan syukur atas perjalanan 3 tahun bersama, KOMSOS merayakan ulang tahunnya. Dihadiri oleh Pastor Paroki, Pastor Joseph Juwuno, OFMCap. Pastor Paschalis Soedirjo, OFMCap. Dan Ketua PSE Paroki Singkawang, Bapak Hermanto Halim. Pastor paroki menyampaikan ungkapan terimakasihnya kepada KOMSOS Paroki yang senantiasa menyajikan konten dan informasi seputar gereja hingga dapat diakui bahwa media sosial Paroki Singkawang menjadi salah satu sosial media terupdate di Keuskupan Agung Pontianak. Ketua PSE, Bapak Hermanto Halim juga menyampaikan apresiasi atas hasil kerja Komsos Paroki Singkawang. Banyak harapan dan juga tujuan yang akan dicapai Komsos Paroki Singkawang dikemudiah hari.

Terimakasih sedalam-dalamnya kepada para senior yang mau memberikan arahan dan bimbingan kepada Anggota Komsos. Rintisan dan usaha untuk mewartakan kasih Allah yang awalnya melalui media cetak hingga sekarang beralih ke media sosial. Terimakasih pula kepada semua pihak yang telah menyumbangkan tenaga, waktu, ide, dan dukungan dalam bentuk moril maupun materi. Segala apresiasi dan antusiasme umat membuat kami, KOMSOS Paroki Singkawang berusaha untuk berbenah dan bertekad menyajikan karya yang lebih lagi dikemudian hari.

Selamat tiga tahun KOMSOS Paroki Singkawang. Mari menyongsong masa depan gereja dalam bidang teknologi dan komunikasi. Dunia berubah seiring waktu, namun kasih Allah kekal adanya. Semoga kita bertemu kembali ditahun yang akan datang, sampai jumpa.

 

Seksi Komunikasi Sosial Paroki Singkawang

(28 Mei 2019-28 Mei 2022)

13 Sep 2020

30 HARI PASCAPATAH HATI UMAT PAROKI SANTO FRANSISKUS ASSISI





KANGEN 

Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku 
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta.

Kau tak akan mengerti segala lukaku 
karena cinta telah sembunyikan pisaunya.

Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.

Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi.
Itulah berarti.
Aku tungku tanpa api.

WS. Rendra

Puisi Rendra: Kangen, melintas begitu rupa usai berita kepindahan itu aku terima. Meski kepindahannya itu belum terjadi, namun aku sudah bisa membayangkan bagaimana perasaan kangen atau rindu akan membayangi benak umat paroki ini.

Sebenarnya berita kepindahan itu telah sampai di tanganku sejak 3 Juli 2020. Seorang rekan kerja sesama tim komunikasi sosial paroki yang begitu rapat dengan kehidupan pastoral mengabarkan kepindahannya per 1 Agustus 2020 melalui aplikasi pesan singkat, Whatsapp. Mungkin begitulah rasanya istilah bagai disambar petir di siang bolong terjadi. Ya, siang itu, kira-kira 12 menit menjelang jam istirahat makan siang, kuterima berita kepindahan beliau yang hampir sewindu menjadi gembala kami, umat Paroki Singkawang.

Sedih, pasti. Terperanjat, sangat! Merasa kehilangan, rasanya tak terkatakan. Bagaimana tidak, sosok gembala yang luar biasa sederhana, hampir tak bercacat cela seolah begitu saja dirampas dari batin umat yang selama ini sudah demikian rapat, lekat, dan hangat dengan pribadinya. 

Sejak awal beliau datang, hampir delapan tahun silam, kala itu paroki berumur lebih dari seabad ini seolah sejuk disirami dengan candaan ringan yang rasanya, 'receh' istilah anak gaul milenial. 

"Perkenalkan, nama saya, Gathot, singkatan dari ganteng total!"

Bayangkan, dengan nada polos dan jenaka kalimat tersebut meluncur begitu saja dari bibir seorang gembala dan tentunya segera disambut gelak tawa umat seantero gereja. Dengan kalimat sesederhana namun jenaka itu ia seolah menjelma menjadi kelebat kilatan blitz, dengan cara begitu instan beliau mampu mencuri hati umat yang tentu sebelumnya diliputi gundah gulana karena ditinggalkan pastor paroki sebelumnya, Amandus Ambot, OFMCap, yang mendapat tugas baru sebagai propinsial.

Berikutnya dapat ditebak, seiring berjalannya waktu, sinergi mampu diciptakannya di Fransiskus Assisi.  Ia begitu lembut, memberi dan menanggapi. Ia begitu sederhana, terampil namun tetap bersahaja. Persis seperti kesan seorang ketua lingkungan pada saat menyampaikan pidato perpisahan, "Selama beliau memimpin paroki ini, tak pernah sekalipun kami mendapati beliau marah atau bicara dengan nada tinggi." Rasanya untuk seorang manusia itu adalah hal yang luar biasa. Memang yang tampak pada kami adalah sosoknya yang tenang, tidak pernah terpancing emosi. Namun siapa yang mampu menyangka gejolak dalam hati. Ada kalimat bijak mengungkap, tidak semua orang tahu bahwa ruangan yang hening kadang menyimpan rasa paling bergemuruh. Ya, tidak semua orang tahu dan mau memahami. Hanya dia dan penciptanya saja yang tahu gejolak batinnya. Namun ekspektasi orang tentang gembala yang menjadi pengayomnya dibingkai utuh dalam sosok sederhana, tenang, bijaksana, tak bercacat cela sanggup dipersembahkannya. Hampir delapan tahun beliau memang mampu mewujudnyatakan itu pada umat yang digembalakannya.

Selama hampir sewindu itu juga beliau hanya mengambil hitungan jari pada kedua telapak tangan untuk merasakan istirahat cuti melayani tugas kegembalaan. Pun dalam istirahat cutinya itu beliau tetap tak lepas memonitor geliat paroki tempatnya menggembala. Dering ponselnya seolah tak pernah ikhlas melepasnya beristirahat. Ada saja sapaan, aduan, keluhan, atau sekadar pernyataan yang mau tidak mau, suka tidak suka harus tetap selalu dilayaninya. Jika merujuk pada iklan brand salah satu minuman berkarbonasi, maka tak lebih tak kurang pada beliau dapat disematkan jargon, "Kapan saja, di mana saja!" Begitulah dia, mau dan mampu melayani umat kapan saja dan di mana saja. 

Hei rupanya tidak hanya umatnya saja yang dilayaninya sekuat pikir dan tenaga. Saudara-saudara seper-imam-annya pun tak luput dari pantauannya selama tinggal di Fransiskus Assisi. Betapa diam-diam beliau selalu memastikan keadaan kesehatan senior-senior yang seatap dengannya (Pastor Marius, Pastor Yeri {almarhum}, Romo Agus, dan Pastor Pasifikus). Pernah suatu masa, kala itu beliau sedang bersama kami sebagian kecil panitia tahun acara ulang tahun 111 tahun paroki melepas penat seusai giat. Kami memutuskan untuk sekadar bersantap di luar sekaligus menyegarkan pikiran. Usai bersantap salah seorang dari kami menawarkan untuk melanjutkan menikmati malam dengan menyesap kopi di kedai kopi. Jawaban beliau tak terduga. Beliau menolak halus ajakan kami dengan ujaran, "Saya harus pulang, asuhan saya ada empat di rumah, khawatir beliau-beliau butuh sesuatu atau butuh saya." Seketika kami semua memutuskan balik kanan, bubar jalan. Masing-masing akhirnya memilih pulang tak jadi melanjutkan menikmati malam. Oh ya, ada sedikit bocoran ketika Sang Meneer Belanda yang keras kepala (alm Pastor Yeremias Mellis, OFMCap) meninggal dunia. Saat itu mantan pastor paroki ini baru saja kembali ke pastoran. Mendengar kabar Pastor Yeri berpulang, beliau berlari sekencang-kencangnya sambil berurai air mata menuju rumah sakit yang bersebelahan dengan pastoran dan gereja. Beliau total merasakan duka kehilangan.  

Baik, mari tepiskan kenangan yang menyesakkan tentang kisah duka kehilangan pastor dari tanah Nederland, kita kembali pada geliat kegembalaan beliau di Paroki Singkawang. Hampir sewindu beliau mencurahkan segala tenaga dan pikiran demi harmonisasi umat Fransiskus Assisi. Banyak perubahan dihasilkan, banyak kemajuan dirasakan, banyak mata dan perhatian dari pihak luar menyorot ke Paroki Singkawang. 

Atmosfer hangat begitu nyata dirasakan ketika siapapun menyambangi gereja yang berposisi di jalur urat nadi kota paling tinggi toleransi ini. Dalam senyap beliau bekerja, mengumpulkan yang terserak, menyambung yang terputus, menyatukan yang tercerai, memperbaiki yang luka hati. Coba tanya pada umat Paroki Singkawang, acak, siapa saja, bagaimana sosok beliau di mata mereka. Siap-siap jawaban serupa akan Anda terima, dan garansi jawabannya adalah: beliau itu sederhana dan kehadirannya sungguh mendatangkan suka cita!

Sepengakuan beliau ketika dulu mendapat tugas kegembalaan di Paroki Singkawang, dan ketika menjejakkan kaki pertama kali dengan status pastor paroki, di pundaknya seolah disampirkan beban yang tak terukur beratnya. Belum lagi adaptasi lingkungan baru, mengenal wajah-wajah baru, karakter-karakter baru, pola pendekatan yang juga baru, menyesuaikan apa, siapa, bagaimana, dan kemana arah lawan bicara. Memang, suatu pekerjaan rumah yang tidak mudah. Namun sekali lagi berbekal teladan Fransiskus Assisi yang diikuti, ditambah sifat hangat dan jiwa bersahaja, tembok tinggi benteng umat paroki berhasil ia lompati. Sinergi, ya akhirnya hanya sinergi yang tercermin dari paroki ini. Betapa dengan kekuatan sinergi segala hal mampu diatasi, segala gawe akbar dikemas menjadi gebyar, segala keberhasilan mampu diwujudnyatakan.

Pilu membayangkan sosoknya duduk di muka pintu gereja yang digembalainya hampir sewindu dengan jutaan kenangan yang mengembara dalam benaknya. Seperti yang ia sampaikan ketika hampir meninggalkan Paroki Singkawang, di suatu sore duduk tepat di depan gereja, melayangkan ingatan pada kenangan-kenangan yang mungkin saja sanggup ia tepiskan namun tidak akan terlupakan. Menapak tilas seorang putra kelahiran Muntilan yang mampu menaklukkan hati umat Paroki Singkawang dalam karya kegembalaan. Dialah Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFMCap atau yang akrab disapa Romo Gathot. Seorang romo yang berita kepindahannya menjadi hari patah hati umat paroki.

Romo, kini kami telah mendapat gembala pengganti. Yang dari suaranya selalu tampak riang hati, yang dari tutur katanya sungguh mencerminkan kecerdasaannya, yang dari penampilannya pun tak kalah bersahaja. Seperti penggalan puisi Rendra di atas, 

"Kau tak akan mengerti segala lukaku 
karena cinta telah sembunyikan pisaunya."

Ya, cinta kasih gembala baru yang kiranya akan sanggup meredam luka kehilangan gembala sepertimu. 

Pinta kami, umat paroki, bawa kami selalu dalam doa, Romo. Terima kasih untuk segala keringat dan buah pemikiran yang sudah Romo curahkan bagi Paroki Singkawang. Selamat berkarya di tempat baru, semoga selalu mampu menjelma sebagai pelita agar sekitarmu semakin merasakan benderang cahaya-Nya. (Hest)



4 Apr 2020

KASIH-MU INDAH DAN NYATA ADANYA (BAGIAN I)



Jari-jemariku tengah  menari-nari di atas tuts keyboard komputerku yang sudah mulai kusam dengan huruf-huruf yang juga sudah mulai memudar. Ketika tengah asyik bekerja, tiba-tiba kudengar ada nada panggilan masuk pada smartphoneku.  Langsung saja kuambil  smartphoneku dan kuangkat. Seketika aku mendengar sapaan ramah dari seberang sana. Suara itu begitu akrab di telingaku, karena pemilik suara itu adalah gembalaku sendiri. Beliau memintaku agar jaringan misa live streaming di parokiku bisa diperluas. Sebaiknya tidak memakai akun Instagram, karena pengguna akun ini masih sangat sedikit dan jangkauannya pun terbatas. Ia menyarankan  sebaiknya pindah ke channel Youtube saja, karena pengguna Youtube itu jauh lebih banyak dan jangkauannya pun semakin luas, bahkan bisa terkoneksi hingga ke Greenland ataupun Antartika. Dengan demikian semakin banyak orang bisa mengikuti misa secara online dari mana saja.

"Kalau Pastor ada kesulitan, bisa menghubungi kami di Pontianak," pungkas Bapa Uskup mengakhiri pembicaraannya denganku. Sejenak aku termenung dan tak tahu langkah apa yang harus kuambil. Di satu sisi aku bersyukur karena Bapa Uskup sangat memperhatikan apa yang terjadi di parokiku. Beliau memang selalu menaruh perhatian yang besar kepada parokiku. Tetapi di sisi lain aku binggung karena sejujurnya aku tidak terlalu menguasai soal teknologi komunikasi dan jejaring sosial terkini. Rasanya pikiranku sudah mentok dan tak mampu lagi mengikuti lajunya perkembangan zaman. Namun, sesegera mungkin kutepis keraguanku. Pasti ada jalan keluar! Lagi pula ini juga bisa menjadi ajang untuk berbagi kepada umatku. Akan lebih banyak lagi orang yang tersapa oleh Tuhan meski hanya lewat dunia maya.

Aku segera menghambur ke luar kamar. Kutinggalkan komputer dengan seabrek pekerjaanku. Kucari temanku yang menjadi team kecil di parokiku. Aku beruntung mengenal dan mempunyai teman-teman sehebat mereka. Mereka inilah yang menjadi bagian dari team kreatif di parokiku, sehingga apa yang terjadi dalam parokiku bisa dengan mudah tersiar keluar melampaui batas ruang dan waktu. Kutemukan teman-temanku sedang asyik dengan smartphone-nya. Sudah seminggu ini mereka bekerja keras untuk merancang unggahan konten yang membantu umat agar tidak mengalami kebosanan karena tinggal di rumah saja.

"Sorry ganggu kesibukan kalian," kataku memecah keasyikan mereka. "Barusan Bapa Uskup telepon saya. Beliau meminta Paroki Singkawang untuk memperluas jaringan misa live streaming. Bukan lagi pakai Instagram, tetapi harus lewat Youtube".

"Waduh, susah, Mo," jawab seorang dari mereka. 
        
        "Akun Youtube paroki kita baru dapat 200-an subscriber. Untuk bisa live pun kita harus mencapai minimal 1.000 subscriber," jawabnya dengan nada pesimis.

"Harus dapat seribu subscriber?!" Sontak aku terperanjat mendengar penuturannya. Berarti masih harus cari 800-an subscriber lagi. Bagaimana mungkin dalam waktu yang sangat singkat ini? Kataku dalam hati.

"Padahal, Youtube paroki kita sudah lama dibuat, sekitar pertengahan tahun 2019. Tapi baru dapatnya segitu. Saya gak yakin, Mo, kita bisa dapat tambahan 800 lagi dalam waktu  yang sesingkat ini," kata temanku yang lain yang semakin menambah keraguanku.

"Kamu harus coba kumpulkan 800 subscriber lagi. Entah bagaimana caranya. Harus bisa," kataku sedikit memaksa sembari mengusir kegundahan hatiku.

"Tapi, Mo. Rasanya sulit," jawabnya ragu-ragu.

"Ah, Coba saja. Pasti ada jalannya. Tolong buatkan pengumuman dan bagikan ke grup whatsapp yang kita miliki. Minta tolong sama mereka agar mereka membantu paroki kita mendapatkan 1000 Subscriber," kataku lagi sambil memberikan harapan kepada mereka.

Sejujurnya aku sendiri pun tak yakin bisa mengumpulkan subscriber hingga 1000. Temanku di dunia maya tidaklah banyak. Aku sendiri orang yang kurang pergaulan. Duniaku sempit. Tapi kucoba tepis keraguanku dengan kembali ke kamarku. Maksud hati hendak meneruskan pekerjaan. Tapi konsentrasiku sudah buyar. Pikiranku dipaksa untuk selalu kembali pada persoalan tentang bagaimana caraku bisa mendapatkan 1000 subscriber. Aku coba bunuh rasa gundahku dengan hanya berdiam dan termenung di depan komputerku.

Tak terasa waktu menunjukkan hampir saatnya makan siang. Segera kumatikan komputerku dan aku beranjak hendak menuju ruang makan. Kulirik sebentar smartphone-ku, siapa tahu ada berita penting untukku. Benar saja, seorang Ibu yang selama ini kukenal memberi perhatian pada gereja, ia memberitahu bahwa subscriber Paroki Singkawang sudah mencapai 770. Seolah tak percaya, aku membaca sekali lagi pesan singkat darinya. Tertulis angka 770. Masih juga belum yakin, aku buka Youtube Paroki Singkawang. Di sana malah sudah kudapati angka 801. Itu berarti sudah tembus 800-an. Spontan aku meluapkan rasa syukurku kepada-Nya. Tuhan, Engkau memang sungguh baik!



"Romo, sebelum pukul 12.30 WIB, akun Youtube kita harus sudah capai 1000," tulisnya lagi dalam pesan singkat berikutnya. Aku bisa membayangkan bagaimana semangatnya ibu ini memberikan dukungan yang luar biasa untuk gereja. Aku kenal betul ibu ini punya banyak relasi dan karena beliau inilah, Paroki Singkawang mendapatkan banyak subscriber. Aku yakin dia menjadi salah satu alat Tuhan untuk menaburkan kebaikan-Nya bagi gereja.

"Luar biasa, Mo. Hampir tembus 1000!" kata kawanku, seolah tak percaya.

"Tuh kan apa kubilang. Pokoknya kita pasti bisa," jawabku sambil memberi acungan jempol kepadanya.

"Berarti malam ini kita pesta, Mo!
" katanya menggoda sambil tertawa lepas.

Aku hanya tersenyum. Ada nada haru dan syukur dalam kalbuku. Tuhan memang sungguh baik. Di tengah kebingunganku, Dia menyatakan kasih-Nya. Hanya dalam waktu kurang dari tiga jam, Paroki Singkawang sudah mendapatkan 800-an subscriber. Dengan cara-Nya sendiri Dia berkarya karena Dia ingin hadir di tengah umat-Nya yang sedang 'menderita'. Walau hanya lewat dunia maya, Dia ingin memberi daya. 

Tuhan, aku berterima kasih kepada-Mu atas segala karya-Mu yang sedemikian indah dan nyata dalam hidupku serta  berkat yang sudah Engkau berikan pada paroki kecilku ini, ucapku dalam hati. (Purtomo)


(Bersambung....)

5 Mar 2020

API PENYUCIAN; TAK TERBANTAHKAN, ACAPKALI TERABAIKAN

*Pendahuluan*

Ketika saya merenung, memikirkan tentang apa yang akan saya tulis, seketika terlintas dalam benak saya tentang sesuatu yang rasanya masih asing dan mengawang bagi pembaca. Memang sepintas dengar perihal yang akan saya bahas kali ini terkesan horor dan meremangkan rambut di tengkuk bagi awam. Namun, besar harapan saya, semoga usai membaca artikel yang saya tulis ini, kesan berbeda akan timbul dan mengubah paradigma pembaca. Pada kesempatan ini saya akan membahas tentang "Api Penyucian dalam Ajaran Gereja Katolik" 

*Tinjauan dari Etimologi Kata* 

Penyucian, bukan pencucian! Kata pertama berasal dari kata dasar suci yang mendapat awalan pe-N dan akhiran –an serta mengalami proses peluluhan kata, dan satu lagi berasal dari kata dasar cuci yang mendapat awalan pe-N dan akhiran –an. Namun dalam hal ini yang digunakan adalah kata penyucian. Meskipun mungkin dari khalayak ramai pada awalnya menyangka istilah api pencucian adalah yang benar dengan asumsi jiwa yang dalam proses perjalanan menuju keabadian harus melewati proses pencucian hingga membuahkan suatu hasil yaitu jiwa yang bersih ternyata yang benar adalah api penyucian. Esensi suci lebih tinggi dari sekadar cuci. Esensi suci adalah (1) bersih dalam arti keagamaan seperti tidak kena najis, (2) bebas dari dosa; bebas dari cela; bebas dari noda; maksum (3) keramat (4) murni (tentang hati, batin), sementara cuci sendiri memiliki arti proses membersihkan sesuatu dengan air dan sebagainya. (*sumber KBBI daring)
Sementara terjawab tentang istilah yang benar dan yang keliru selama ini. Yang benar adalah api penyucian, dan yang keliru adalah api pencucian. Sesudah membaca penjelasan di atas, semoga tidak ada lagi kekeliruan dalam penyebutannya. 

*Istilah Purgatorium*

Purgatorium atau istilah lain dalam Bahasa Indonesia yang sering kita sebut sebagai api penyucian (sekali lagi, bukan api pencucian) adalah suatu kajian pembahasan yang termasuk dalam pembahasan bidang teologi dalam ajaran Gereja Katolik.

Penggunaan kata "Purgatorium" mulai tersohor antara tahun 1160–1180 dan sempat menimbulkan pemikiran bahwa purgatorium adalah suatu tempat.
Saat kita membahas tentang Api Penyucian, kita harus mengerti terlebih dahulu konsep ketika manusia itu meninggal, setelah meninggal manusia akan dihadapkan akan tiga pilihan utama yakni, 1. masuk dalam kebahagiaan lewat api penyucian, 2. orang yang langsung masuk surga, 3. mengutuki diri sendiri untuk selama-lamanya.

*Pengertian Api Penyucian*

Neraka dalam konsep ajaran Agama Yunani dijelaskan sebagai Gehenna (api yang tidak terpadamkan), sedangkan purgatorium atau purgare berasal dari Bahasa Latin yang artinya menyucikan, (to purge).

Sebuah talk-show dari saluran EWTN di Filipina, pernah mengetengahkan sebuah topik mengenai api penyucian yang dibawakan oleh Mother Angelica. Ketika sedang membawakan acaranya, Mother Angelica menerima pertanyaan dari orang yang tidak percaya akan adanya api penyucian, karena kata itu tidak disebutkan dalam Alkitab.

Dengan senyuman dan kata-katanya yang khas Mother Angelica menjawab, bahwa memang kata "api penyucian" tidak secara eksplisit tercantum di dalam Alkitab, seperti juga kata 'trinitas', atau 'inkarnasi'. Namun kita percaya maksud dari kata-kata tersebut. Yang terpenting itu ajarannya, bukan istilahnya. "Meskipun kamu tidak percaya, itu tidak berarti api penyucian itu tidak ada," ujar Mother Angelica.

Berdasarkan konsep ajaran Gereja Katolik dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1030-1032 menyebutkan bahwa :
1. api penyucian adalah suatu Kondisi yang dialami oleh orang-orang yang meninggal dalam keadaan rahmat dan persahabatan dengan Tuhan, namun belum suci sepenuhnya, sehingga memerlukan proses pemurnian selanjutnya setelah kematian;
2. pemurnian di dalam api penyucian adalah sangat berlainan dengan siksa neraka;
3. kita dapat membantu jiwa-jiwa yang ada di api penyucian dengan doa-doa kita, terutama dengan mempersembahkan ujub Misa Kudus bagi mereka.

Allah menginginkan kita agar kita menjadi kudus dan sempurna (Mat 5:48). Maka, jika kita belum sepenuhnya kudus, pada saat kita meninggal, kita masih harus disucikan terlebih dahulu di api penyucian, sebelum dapat bersatu dengan Tuhan di surga.

*Sejarah Purgatorium*

Menurut History of Christian Doctrines, Paus Gregory Agung adalah orang yang menetapkan ajaran api penyucian sebagai kepercayaan yang wajib dipercayai. Sementara Gereja Katolik meresmikan ajaran api penyucian ini pada beberapa konsili yang diadakan oleh Gereja Katolik. Antara lain: Konsili Lyons II (1274), Konsili Florence (1439), Konsili Trent (1547).

*Poin Penting dalam Memahami Api Penyucian*

Ada tiga poin penting tentang api penyucian yang bisa atau dapat kita pahami, antara lain: 1. hanya orang yang belum sempurna dalam rahmat yang dapat masuk ke dalam api penyucian, 2. api penyucian ada untuk memurnikan dan memperbaiki, 3. api penyucian itu hanyalah sementara.

Bicara soal api penyucian, pasti ada yang berpikir dan bertanya bolehkah kita berkomunikasi dengan jiwa-jiwa yang ada di api penyucian?

Ketika saya menulis artikel ini, saya mencari dan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari berbagai macam sumber dan jawabannya adalah jika kata komunikasi di sini diartikan sebagai komunikasi dua arah, maka jawaban singkatnya tidak boleh. Lantas apa yang boleh? Yang diperbolehkan dan diajarkan oleh Gereja Katolik adalah agar kita mendoakan jiwa-jiwa di api penyucian, dengan mengambil dasar utamanya (2 Makabe 12:38-45) dan ajaran tradisi suci. Sedangkan hal memohon  dukungan Doa Syafaat dari jiwa-jiwa di api penyucian, tidak diajarkan secara definitif oleh magisterium. Sehingga karena tidak/belum ditentukan, maka sebagai umat beriman, kita dapat memegang pendapat berdasarkan kesaksian Pribadi beberapa orang kudus, dan atas dasar "Common Sense".

*Mengapa Kita Harus Berdoa Bagi Jiwa-jiwa di Api Penyucian?*

Ketika kita dihadapkan dalam sebuah pertanyaan yang mungkin orang lain akan tanyakan kepada kita, kenapa Gereja Katolik mendoakan jiwa orang yang sudah meninggal?

Jawabannya sederhana, karena ketika kita berdoa bagi mereka yang telah meninggal dunia bukan saja untuk hal yang bermanfaat, tetapi juga amat penting. Hal ini diajarkan dan perlu diingat bahwa Gereja Katolik terdiri dari tiga bagian yang tak terpisahkan, antara lain :
1. Gereja Pejuang (yaitu kita yang masih hidup di dunia ini)
2. Gereja Menderita (jiwa-jiwa yang berada di api penyucian)
3. Gereja Jaya (para malaikat, martir, santo/santa serta para kudus yang di surga)
Ketiga gereja tersebut saling berpengaruh dan berkait satu sama lain membentuk tubuh mistik Kristus dalam menpertahankan pondasi gereja.

*Lantas, Bagaimana Kita Menolong Jiwa-jiwa Menderita di Api Penyucian?*

1. Misa Kudus
2. Doa Rosario bagi keselamatan jiwa-jiwa di api penyucian: "Rosario Arwah"
3. Devosi Kerahiman Ilahi : Koronka
4. Perbuatan Baik, tindakan amal kasih, kurban dan silih. (Setiap kali melakukannya, ingatlah untuk mengatakan dalam hati, "Yesus, ini demi jiwa-jiwa di Api Penyucian"
5. Ibadat/Renungan Sengsara Yesus (Jalan Salib)
6. Indulgensi bagi jiwa-jiwa di purgatorium.

*Penutup*

Saudara-saudari terkasih, mengenai apa yang akan terjadi pada manusia setelah kematian dan seperti apa wujud alam setelah kematian itu sebenarnya? Hampir semua tradisi agama dalam kehidupan mengangkat pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tetapi satu hal yang pasti bahwa mereka percaya adanya kehidupan atau alam yang lain setelah kematian, seperti contoh tradisi dalam Agama Mesir, Agama Hindu, Agama Buddha, Agama Zoroaster, dan Agama tradisional Yunani.

Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip perkataan dari Keith Ward, filsuf, teolog, dan Pastor gereja Anglikan, "Iman Kristiani pertama-tama bukan tentang hidup setelah mati, melainkan tentang hidup dalam relasi yang penuh cinta dan penuh kesadaran dengan Allah sekarang ini. Hal ini menguatkan dan menjelaskan kepada kita bahwa api penyucian adalah sebuah harapan, harapan bagi orang-orang yang sudah meninggal dalam keadaan rahmat tetapi masih perlu disucikan karena konsep surga adalah 100% kudus!"

Oleh karena itu mari, selagi kita masih hidup di dunia ini kita perbanyak amal dan berdoa agar kita bisa diberikan rahmat dan anugerah serta pengampunan atas dosa yang telah kita perbuat sehingga kita bisa masuk kepada kerajaan-Nya di surga. Lain dari itu kiranya kita tidak abai dan selalu meluangkan waktu mendoakan jiwa-jiwa yang masih berada dalam api penyucian agar jiwa-jiwa itu dapat segera bergabung dalam Gereja Jaya bersama para kudus di surga.

Sumber :
1. Katolisitas.org
2. Riwayat Api Penyucian dalam Kitab Suci dan Tradisi oleh Albertus Purnomo, OFM
3. Katolikmedia

(Ditulis kembali oleh Cinda Leo Morgan)

3 Sep 2018

SEMINAR KITAB SUCI OLEH DOKTOR PAULUS TONI DI FRANSISKUS ASSISI

SEMINAR KITAB SUCI OLEH DOKTOR PAULUS TONI DI FRANSISKUS ASSISI




Senin, 3 September 2018 pukul 18.00 WIB, bertempat di Gereja Katolik St Fransiskus Assisi Singkawang digelar seminar kitab suci. Kegiatan yang mendatangkan narasumber ahli kitab suci, Pastor Dr. Paulus Toni Tantiono, OFM.Cap ini digelar masih dalam rangkaian acara Bulan Kitab Suci Nasional 2018.

Seminar yang mendapuk doktor lulusan Universitas Gregoriana Roma ini digelar di dalam gereja dan mendapat perhatian cukup antusias dari umat Paroki Singkawang. Hal ini dibuktikan dengan terisinya bangku-bangku hingga sepertiga kapasitas tampung gereja yang berada di jalur utama Kota Singkawang.

Dalam seminarnya kali ini Pastor Toni menjabarkan dengan gamblang berbagai hal yang berkaitan dengan Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) 2018
yang merupakan kelanjutan dari rangkaian tema besar tentang Mewartakan Kabar Gembira. "Berbagai tema besar ini dimulai sejak tahun 2017, dengan tema: Mewartakan Kabar Gembira (MKG) dalam Arus Zaman Masa Kini, dilanjutkan tahun 2018 dengan tema: MKG dalam Kemajemukan, disambung tahun 2019 dengan tema MKG dalam Krisis Lingkungan Hidup dan ditutup tahun 2020 dengan MKG di tengah Krisis Iman dan Identitas Diri.

"Tema 'MKG dalam Kemajemukan' tahun ini mengangkat bagaimana tugas mewartakan Injil yang diberikan Yesus kepada para rasul ke seluruh dunia berhadapan dengan aneka kekayaan dan keunikan budaya non-Yahudi. Karena itu sejak dari awal para rasul harus aktif ke luar dari daerah Israel/Palestina sambil mencari metode-metode baru berhadapan dengan situasi tempat dan budaya-religiositas baru di tempat-tempat baru. Rasul Paulus bersama para rasul gereja perdana berjuang membumikan dan mengejawantahkan nilai dan pesan Injil Yesus secara konkret dan bermakna di bawah bimbingan Roh Kudus," paparnya.

Di samping itu, gembala yang juga bagian dari persaudaraan dina Kapusin ini juga menitikberatkan seminarnya pada poin-poin tugas mewartakan Kabar Gembira gereja Katolik dewasa ini di Indonesia yang menggarisbawahi empat tema/situasi yg dapat dibahas, yaitu; 1) Dialog dengan Kaum Miskin 2) Dialog dengan Budaya 3) Dialog dengan Agama lain 4) Dialog dengan Gereja-gereja Protestan. Keempat tema ini dibahas satu persatu dalam tiap minggu selama empat minggu pertemuan, dengan contoh perikop Kitab Sucinya masing-masing.

Di akhir seminar, beliau memberikan simpulan bawasanya gereja Katolik Indonesia mempunyai kesempatan sekaligus tugas mewartakan Kabar Gembira dalam aneka kemajemukan, ber-Bhinneka Tunggal Ika. Ada banyak peluang, sekaligus tantangan bagaimana menyapa masyarakat Indonesia yang sangat pluralistis (majemuk) dengan agama, budaya, adat-kebiasaan masing-masing. Diperlukan usaha keras untuk ke luar dari dinding gereja dan keberanian untuk menyapa dan berkontak dengan semua orang yang memerlukan sapaan Kabar Gembira. Selain itu, kerendahan hati dan kreativitas yang tinggi juga diperlukan supaya pesan Injil dapat masuk dan diterima orang-orang dalam budayanya masing-masing," ungkapnya.

Masih di kesempatan yang sama dan tidak kalah menarik, beliau juga menekankan bahwasanya gereja Katolik Indonesia sudah ditebus oleh Yesus Kristus 2000 tahun yang lalu dan sekarang meneruskan karya penyelamatan, dan penebusan tersebut kepada semua orang yang dijumpai. Tugas yang tidak mudah, namun indah dan luhur sesuai dengan amanat agung Tuhan Yesus di bawah bimbingan Roh Kudus dalam perlindungan dari Allah Bapa. (Nat)



13 Mar 2018

50 TAHUN BERKARYA, MENJADI LEBIH INDONESIA DARI YANG ASLI INDONESIA

50 TAHUN BERKARYA, MENJADI LEBIH INDONESIA DARI YANG ASLI INDONESIA

“Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” 

(Pramoedya Ananta Toer)

Kutipan tulisan Pramoedya Ananta Toer, sang sastrawan garda depan Indonesia itu ada benarnya. Dengan ‘senjata’ tinta dan pena, maka sebuah nama mungkin saja akan kekal sepanjang masa. Dikenang karena sumbangsih berupa tulisan bagi dunia pengetahuan, pendidikan maupun kebudayaan yang tentu akan berguna baik di masa sekarang maupun  masa depan. Ini pula yang tengah ditapaki oleh salah satu gembala kita. Meski karya-karyanya ia hasilkan tanpa tendensi apa-apa, namun publik boleh percaya bahwa apa yang dikerjakannya bukanlah suatu yang sia-sia dan besar pengaruhnya pada dunia pengetahuan, sejarah juga budaya.          

Sosoknya seperti orang Eropa pada umumnya. Tinggi besar, berkulit putih, bermata biru. Yang menjadikannya istimewa adalah kala ia bertutur menggunakan bahasa Indonesia yang begitu lancar, namun aksen Eropa tetap tak lekang dari lidahnya meski telah setengah abad bermukim di Indonesia.
C.M.W. Melis, lebih dikenal sebagai Pastor Yeremias, OFMCap atau dalam keseharian kebanyakan orang menyapanya dengan panggilan Pastor Yeri. Sosoknya baru benar-benar saya perhatikan pada 31 Desember 2014 lalu. Usai memimpin misa di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Singkawang, ia segera melepas jubah kuning yang saat itu dikenakannya lantas bergegas menuju deretan kursi belakang. Ia duduk tepat di hadapan saya yang kala itu ditugaskan meliput perayaan natal di lapas. Dengan tenang ia mulai menyulut rokok dan perlahan menghisapnya. Berada dekat perokok bukanlah hal asing bagi saya, hanya saja ketika memandang beliau yang tengah masyuk dengan batangan rokoknya, ada yang sukses menarik perhatian, khusus bagian kuku dan ujung jari Pastor Yeri tampak kecoklatan akibat dilekati nikotin pada rokok yang begitu setia menemani hari-harinya. Kala itu saya tersenyum kecil dan hanya sebagai pengamat pasif sosok pria 77 tahun itu. 


Kesan kedua yang benar-benar lekat dalam ingatan saya tentang Pastor Yeri selain kuku dan jarinya yang menjadi coklat karena nikotin  adalah saat saya meliput perayaan Naik Dango yang digelar pada bulan Mei lalu. Di tengah hiruk pikuk yang hadir, dari jarak belasan meter, saya yang saat itu tengah membidikkan lensa kamera ke arahnya sempat dibuat tertegun kala beliau ‘menyapa’ dengan anggukan kepala. Kesan ketiga dan yang paling menyentak kesadaran saya sebagai orang asli Indonesia adalah kala beliau menitipkan sebuah catatan kecil kepada pastor paroki berkait ketidaktepatan diksi yang saya gunakan saat menulis berita tentang beliau. Jujur, perasaan yang terlintas dalam benak saya saat itu adalah rasa sedikit jengkel, namun manakala saya telaah kembali, kritikan beliau memang ada benarnya. Bahkan, saya yang dilahirkan, dibesarkan dan berdarah asli Indonesia saja tidak memiliki pemahaman sebaik beliau dalam berbahasa. Sejak saat itu paradigma saya tentang beliau semakin mengerucut, beliau merupakan sosok yang sangat teliti. 

Beberapa bulan berselang, pada saat rapat redaksi digelar, saya yang memang selalu ditugaskan menulis pada Rubrik Sosok merasa ada yang sedikit menggusarkan pikiran. Bagaimana tidak, sosok biarawan yang dipilih untuk dikupas profilnya kali ini adalah Pastor Yeri. Sosok teliti yang juga harus saya hadapi dengan sedikit hati-hati. Saya tidak ingin melakukan kesalahan serupa untuk kedua kali berkait diksi. Dibantu temu janji oleh pastor paroki, akhirnya saya dipertemukan dengan pria yang mengaku tidak menyukai pesta namun diketahui menaruh perhatian begitu  besar terhadap lingkungan dan alam. 

Lagi-lagi ada yang menarik kala itu, beliau mengatakan hanya menyediakan waktu 10 menit untuk wawancara dan di tangannya telah tergenggam buku-buku yang ditulis maupun karya yang dialihbahasakannya. Kesimpulan yang saya tangkap, beliau hanya mau diwawancara berkaitan dengan buku-buku karyanya. Benar saja, belum sempat saya menjabat tangan, beliau telah lebih dulu membuka obrolan dengan panjang lebar menjabarkan dua buah buku tebal  berjudul Borneo Bagian Barat Geografis, Statistis, Historis 1854 dan Borneo Bagian Barat Geografis, Statistis, Historis 1856  tulisan Profesor Pieter Johannes Veth yang telah dialihbahasakannya dan diterbitkan pada April 2012. Khusus dua buku dengan judul yang telah disebutkan di atas dikerjakan dalam waktu yang terbilang cukup lama, kira-kira sepuluh tahun. Hal ini disebabkan pada saat beliau menggarapnya,  di masa yang sama beliau menjabat sebagai pastor paroki. Ia sendiri memulai terjun ke dunia kepenulisan sejak 1979, dalam buku Doa dan Berkat Sepanjang Tahun, yang pada 2004 saja telah menjejaki cetakan ke tujuh. Antusiasnya kentara kala  saya mengungkapkan ketertarikan pada salah satu buku yang diterbitkan bertepatan dengan 50 tahun ia berkarya di Indonesia, Sejarah Kongsi Lan-Fong Mandor yang telah saya baca tuntas sebelum proses wawancara dilakukan. 

Rupanya ada kisah yang cukup menggelikan di balik penerbitan buku-buku beliau yang diluncurkan bertepatan dengan tahun emas dalam berkarya di Indonesia. “Dulu satu tahun yang lalu, mereka bicara mau merayakan 50 tahun saya di Indonesia, saya bilang oke kalau segala buku beres, semua ikut menolong, kira-kira 15 orang. Kalau tidak minimum lima, kalau tidak, tidak jadi,” tegasnya. Berbekal kalimat sakti yang separuh berisi ‘ancaman’ ini maka panitia perayaan 50 tahun Pastor Yeri berkarya di Indonesia dituntut bekerja ekstra keras. Namun, di sela-sela penjabaran mengenai buku-buku yang diterbitkan bertepatan dengan perayaan setengah abad beliau berkarya di Indonesia, terdengar nada sedikit kurang puas  mengenai ketidaktepatan penerbit dalam mencetak yang jika dirunut dapat berakibat fatal. “Ada yang tidak beres, berubah waktu mereka cetak cepat-cepat, Lanskap Pinoh, tidak ditulis tahun berapa, orang pikir dibuat tahun ini. Di sini juga tidak disebut sumber, di sini juga kata pengantar dari saya, saya buat sebagai keterangan, tapi ditulis J.P.J. Barth. Ini juga ada, J.T. Willer juga, tidak disebut tahun, Eks Residen Pontianak,  dari ITLV dari situ diterbitkan. Kata pengantar, ditulis oleh J.T. Willer. Di sini ada lagi, catatan dari penerjemah, ditulis penerjemah J.T. Willer. Di buku Kongsi Monterado, ini juga tidak ada tahun, dan nama orang itu hilang. Gambar satu orang penting dari Monterado, ini terbit dari 1893, Liu Chang Po kapten Monterado dari abad ke 18. Harus ada nama itu juga di situ. Dunselman (buku dengan judul Adat dan Bahasa Dayak Kendayan Kalimantan Barat) di sini juga tidak ada tahun dan nama di sini, saya tulis mereka hilangkan. Ini Pastor Dunselman karena itu saya masukkan (sambil menunjuk salah satu biarawan yang terdapat di cover buku), dan foto ini juga sebenarnya menarik karena ini Seminaris Pontianak, sebelum zaman Jepang. Salah satu dari ini, Oevaang Oeray. Dia termasuk salah satu dari ini, saya pikir ini, tapi saya tidak tahu. (sambil spekulasi menunjuk salah satu dari orang-orang yang terdapat dalam foto di cover buku. Belakangan setelah saya coba telusuri fakta melalui internet, memang sosok yang ditunjuk oleh beliau adalah Oevaang Oeray). Nama selain Pastor Dunselman saya tidak tulis tapi justru ini, karena ini buku ditulis Pastor Dunselman. Dalam buku sama sekali tidak ada keterangan tentang foto. Tapi kalau di sini, ada nama, orang tahu itu penulis bukunya,” ujarnya.

Meski telah menghasilkan beberapa buku yang ditulis sendiri maupun alihbahasa, beliau masih selalu berproses dalam menghasilkan karya. Terdapat sekitar 7 buku yang sedang dalam proses penerbitan, belum lagi sebuah buku yang memang sedang dalam proses pengerjaan, buku berjudul Borneo Almanak. “Buku ini berisi kutipan dan foto-foto dengan  format 360 halaman. 76 halaman dengan foto saja, 629 foto. Borneo Almanak adalah buku tahunan dari Kapusin Belanda untuk mencari dana dan juga memperkenalkan daerah misi baik Borneo maupun Sumatera. Buku ini berisi cerita umum, lelucon dan apapun tapi juga banyak berisi informasi, surat yang pastor-pastor kirim, renungan, tapi juga banyak yang  mereka alami, dan berisi satu sejarah gereja, permulaan yang cukup menarik,” paparnya. 

Saya sempat mencecar beliau dengan pertanyaan mengenai alasan yang menggugah beliau untuk menerjemahkan buku-buku yang berkaitan dengan sejarah lokal Kalimantan. Jawaban cukup logis sekaligus mencengangkan  saya terima, “Orang hampir tidak tahu sejarah diri sendiri dan banyak catatan yang sekarang dibuat tidak benar, yang salah, atau semua sesuai dengan kepentingan sendiri terkadang dibuat menjadi sejarah. Setelah itu saya pikir ada satu-satunya kemungkinan karena sumber bahasa Indonesia tidak ada, pemeriksa juga hampir tidak ada, yang ada hanya dari Sumatera, Jawa, dan Bali, tidak ada kemungkinan lain lagi, buku semacam ini, orang Indonesia walaupun pandai bahasa Belanda cukup baik hampir tidak bisa menerjemahkan, karena bahasa sudah kuno, bahasa Belanda. Juga banyak bahasa Perancis dipakai, bahasa Jerman. Mengartikan itu harus ada orang yang ada sedikit feeling untuk menerjemahkan, lain kemungkinan untuk menerjemahkan tidak ada,” ujarnya.        

Pastor yang setelah purnakarya tak berniat kembali ke Belanda ini ‘terasa lebih Indonesia’ dibandingkan orang yang asli Indonesia, tak berlebihan dikatakan demikian karena berdasarkan fakta yang ditelusuri di lapangan, terdapat beberapa artikel yang menyebutkan bahwa pastor yang resmi menjadi WNI pada 1981 ini pernah membebaskan seorang warga terkait sengketa tanah yang akan dijadikan perkebunan. Kalimat pujian saja rasanya tak cukup untuk mengapresiasi tindakan beliau. Bahkan orang asli Indonesia sendiri kadang tidak peduli dengan kondisi lingkungan alamnya. Kembali jawaban merendah, menyuruk bumi namun bernada jenaka saya dapatkan,  “Tapi waktu itu saya tidak sendiri, Sering pastor harus menjadi bendera, harus muncul karena saya dengan sengaja pakai jubah putih, supaya orang nampak, supaya orang yang lebih hebat itu takut. Ini  taktik juga. Waktu dulu kerusuhan saya juga ambil lebih 300 anak asrama Nyarumkop, pindahkan ke Menjalin, sewa 10 bus dengan berapa truk, di tengah-tengah perang saya juga pakai jubah putih segala aparat tidak banyak omong,” paparnya dengan nada bersungguh-sungguh yang malah memancing gelak tawa saya. 

Hal lain yang juga menjadi fokus perhatian dalam hidup beliau adalah mengenai pelestarian alam. Dengan wajah serius beliau memaparkan, “Tanah Kalimantan sebenarnya tidak cocok untuk kelapa sawit,  hanya dengan tambah banyak pupuk. Tidak bisa disamakan dengan tanah di Sumatera. Di sini kalau satu kali ditanam sudah, habis. Lain di Sumatera, bisa berganti-ganti, di sini tidak. Lihat asap, lihat air.  Lihat segala-galanya mengalami kemunduran. Apa yang dicintai manusia nanti juga akan hilang.  Saya benar-benar meragukan nanti kalau khusus berhubungan dengan orang Dayak bahwa sepuluh, dua puluh tahun masih ada orang Dayak atau tidak. Memang manusia tetap akan ada, tapi suku bukan sebagai suku lagi, segala dasar akan hilang, artinya mereka nanti akan menjadi terpinggirkan oleh segala perubahan, pulau hancur. Lihat asap. Harus baca doa kami bagi orang yang ‘membangun’ Kalimantan,” ungkapnya. (Bahwasanya doa para ‘pembangun’ Kalimantan 2015 ditulisnya sebagai sarkasme yang dibacakan saat beliau memimpin perayaan Ekaristi  pada 27 September 2015 di Gereja St. Fransiskus Assisi. Di bagian akhir artikel ini dilampirkan ‘doa’ tersebut.) 

Kiranya selain pembahasan mengenai buku, obrolan tentang lingkungan dan alam mangkus menjadi senjata saya mengulur waktu untuk menggali lebih banyak hal yang berkaitan dengan pandangan anak kedua dari lima bersaudara kelahiran Belanda, yang ia sendiri tidak tahu tanggal lahirnya namun hanya mengingat hari Minggu, pukul 2 siang, pada suatu April di 1938 itu. Bukan rahasia jika kebanyakan sosok Eropa dikenal mencintai Indonesia karena tertarik pada budaya maupun kultur, namun baginya, tak ada hal lain yang mendasar yang membuatnya bertahan berkarya selama setengah abad  di Indonesia selain karena alasan  mencintai manusia. “Kebudayaan sesuatu ungkapan, dari siapa orang itu dan bagaimana mereka hidup, bisa disuka, bisa dilihat, tapi bukan itu alasan saya di sini. Alasan manusia, dan alam yang dirusak,” tegasnya. 

Sedikit mengalami kesukaran kala saya berusaha menggali lebih lanjut mengenai kehidupan pribadinya. Saat itu saya pertanyakan alasannya memilih menjadi biarawan, hanya jawaban ringkas yang saya dapatkan, “Kalau saya lahir sekarang mungkin tidak menjadi pastor. Ini jalan Tuhan. Saya juga tidak tahu.” Kejahilan saya kambuh manakala mendengar jawaban beliau. Iseng saya tawarkan beberapa profesi, artis, dosen, atau penulis buku, spontan beliau menjawab dengan nada khasnya bicara yang serius tetapi malah mengundang derai tawa, “Artis pasti tidak, saya tidak bisa menyanyi, tidak pandai bersandiwara. Saya belum pernah mengajar, saya belum pernah beri retret. Saya juga tidak pandai omong setengah jam, satu jam, hanya menjadi omong kosong. Seperti berapa kali di gereja khotbah setengah jam atau lebih sebenarnya berapa kali saya mau lari tapi saya pikir banyak orang lihat, benar itu kalau orang tidak lihat, saya pasti lari. Kalau khotbah begitu lama  dan sama sekali tidak ada aturan apapun, omong mengenai apa, setengah hati pun tidak bisa ditangkap, lihat umat di gereja dalam ekspresi mengantuk. Hampir tidak ada yang mendengar, apa gunanya saya pikir itu. Untung saya pikir orang Katolik itu baik rupanya, coba tahan mendengar itu ya,” candanya.

Pada akhirnya 52 menit total waktu obrolan dari yang awalnya hanya bersedia 10 menit saja untuk melayani wawancara. Begitu banyak hal didapat untuk mengenal pribadinya secara lebih dekat. Pribadi yang humoris, cermat, hangat dan begitu bersahabat. Profisiat, Pastor. Semoga selalu sehat dan penuh berkat dalam berkarya dan melayani umat. (Hes)  

Bibliografi:
  •  Doa dan Berkat Sepanjang Tahun (tahun terbit; 1979), hingga kini masih dicetak dapat diperoleh di Emaus.    Batakki (Berita Antar Kampung Kita)  (tahun terbit; 1997)
  • Borneo Bagian Barat Geografis, Statistis, Historis 1854, penulis P.J. Veth, dialihbahasakan P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; April 2012), diterbitkan oleh Institut Dayakologi
  • Borneo Bagian Barat Geografis, Statistis, Historis 1856, penulis P.J. Veth, dialihbahasakan P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; April 2012), diterbitkan oleh Institut Dayakologi
  • Sejarah dan Geografi Daerah Sungai Kapuas Kalimantan Barat,  penulis J.J.K. Enthoven, 1905, judul asli Bijdragen Tot De Geographie van Borneo’s Wester-Afdeeeling, dialibahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; 2013), diterbitkan oleh Institut Dayakologi
  • Sejarah Sanggau “Het Rijk Sanggau” (tahun terbit; 2014) terjemahan diambil dari buku Indische Taal; Land; en Volkenkunde, terbitan Bativaansch Genootschapp van Kunsten en Wetenschappen tahun 1884, penulis H.P.A. Bakker, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, diterbitkan kembali oleh Pemerintah Kabupaten Sanggau, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sanggau.
  • Adat dan Bahasa Dayak Kendayan Kalimantan Barat, penulis P. Donatus Dunselman, OFMCap, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; September 2015), diterbitkan oleh Pohon Cahaya, dapat diperoleh di Pastoran Singkawang.
  • Kongsi-kongsi Monterado Sumbangan kepada sejarah dan pengetahuan dari perkumpulan-perkumpulan orang Cina di Pantai Barat Borneo, penulis S.H. Schaank, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; September 2015), diterbitkan oleh Pohon Cahaya, dapat diperoleh di Pastoran Singkawang.
  • Kronik Mampawah (dan Pontianak), penulis J.T. Willer, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; September 2015), diterbitkan oleh Pohon Cahaya, dapat diperoleh di Pastoran Singkawang.
  • Lanskap-lanskap di Pinoh-Hulu (Bagian Barat Borneo), penulis J.P.J. Barth, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; September 2015), diterbitkan oleh  Pohon Cahaya, dapat diperoleh di Pastoran Singkawang.
  • Sejarah Kongsi Lan-Fong Mandor, penulis Dr. JJ.M. De Groot dan J.W. Young, dialihbahasakan oleh P. Yeremias, OFMCap, (tahun terbit; September 2015), diterbitkan oleh Pohon Cahaya, dapat diperoleh di Pastoran Singkawang.  

DOA PARA ‘PEMBANGUN’ KALIMANTAN 2015

Karya Pena : Pastor Yeremias, OFMCap

Bapa kamu, UANG, yang ada di bumi
dimuliakanlah namamu, perkuatkanlah kerajaanmu

Engkaulah, Uang, mengatur raja-raja, pemerintah-pemerintah,
mereka yang harus ambil keputusan.

Tutup mata dan hati mereka terhadap penderitaan rakyat
dan penghancuran lingkungan hidup.

Berilah bahwa kami tidak ditindak
kalau kami membersihkan lapangan yang kami butuhkan
dengan membakar saja,
walaupun itu mengakibatkan banyak asap
yang merugikan banyak orang,
baik fisik, ekonomis dan mental.

Semoga di bawah bimbinganmu perkebunan sawit dan
pertambangan bertambah banyak.

Berilah kami, dibantu oleh pemberianmu sendiri,
banyak orang yang mudah dibutakan
agar mereka tidak melihat masa depannya sendiri
dan dari anak-cucunya.

Berilah kami banyak orang yang mau kerja dengan gaji rendah
tanpa mengomel.

Aturlah bahwa mereka semua kehilangan tanahnya
dan berhutang kepada kami
agar mereka selama-lamanya terikat.

Jangan membawa kami kepada pertobatan,
tetapi tolonglah agar pemimpin-pemimpin agama-agama,
dan tokoh-tokoh masyarakat tetap bersedia,
memberkati atau mendukung usaha-usaha kami,
sesudah terima sumbangan secukupnya
untuk tujuan yang baik atau koceknya sendiri.

Karena hanya Engkaulah Uang yang penting
dan pantas dicari dan dipuji untuk selama-lamanya.

Amin.