Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

15 Jan 2016

SI KAKTUS YANG KESEPIAN



SI KAKTUS YANG KESEPIAN


Matahari menatap padang gurun tiada berkedip. Sinarnya yang putih menyilaukan mata, seakan ingin melumat ciptaan Tuhan yang ada dalam jangkauan tatapannya. 

Akar-akar tanaman mulai lapuk karena tidak berhasil mencari sari makanan, batang-batang kehilangan rantingnya, daun daun menjadi kering berjatuhan. 

Walau tanaman telah menjerit, mengaduh minta pertolongan namun kehidupan tetap saja membisu. Tantangan alam yang sedemikian besar membuat tetumbuhan di padang gurun tersebut tidak mampu untuk tetap bertahan.

Suasana padang gurun terasa lebih gersang saat si Kaktus berdiri termangu sepanjang hari. Batangnya mulai berkeriput tidak kuasa menanggung beban angannya yang melayang menembus batu-batu cadas. Awan yang tengah berbaris berjalan santai menikmati petualangannya, sekonyong-konyong ia mempercepat langkahnya setelah tanpa sengaja melihat sebatang kaktus di bawahnya sedang berdiam diri.

Memang…., tidak semua penderitaan akan membuat ciptaan lain mau bersimpati. Terlebih lagi penampilan Kaktus yang semakin kusut setelah angin kencang menghamburkan debu menerpa wajahnya.

Untunglah, Si Embun tidak ikut-ikutan mengeluh terhadap situasi padang gurun yang gersang tersebut. Bahkan si Embun dengan setia menjalankan tugasnya menyapa di setiap pagi dengan kesegarannya, termasuk tugasnya memberi kesejukan kepada si Kaktus, melindungi dan menyegarkan kesendiriannya. 

Tetapi angan si Katus yang senantiasa bergolak, membuat dia terus berdiam diri terhadap sapaan si Embun yang senantiasa ingin mendekatinya. 
Sampai pada suatu hari :

“Sobat, mengapa kau biarkan murung hidupmu, hingga ujung batangmu kini layu, berkeriput seperti ini?” tanya si Embun.

“Aku merasa hidup harianku tidak berguna lagi.” Sahut si Kaktus. Lihatlah, tidak ada tanaman lain yang mau menemani aku hidup di sini. Tak seekor burungpun yang mau menengokku. Aku merasa hidup sendiri. Alangkah indahnya kalau aku hidup di sebuah sungai yang mengalir deras airnya, ditumbuhi berbagai tanaman dan bunga-bungaan penuh dengan sahabat-sahabat yang bisa aku ajak bicara, berbagi pengalaman dalam perjalanan hidup ini. Sehingga aku tidak kesepiaan lagi,” si Kaktus mencurahkan isi hatinya kepada si Embun.

“Berhentilah berangan-angan, Sobat, sebab anganmulah yang justru membuat hidupmu sepi,” jawab si Embun.

“Bagaimana mungkin aku melepaskan anganku, kalau hanya itulah  yang menjadi obat hidupku,” sahutnya.

“Sobat, anganmu justru menjadi penyakit dalam hidupmu sendiri, karena hidup ini bukan hanya sebuah angan-angan tetapi kenyataan. Coba bayangkan kalau engkau hidup di sekitar sungai, maka kau akan segera dijemput ajal. Bukankah akarmu akan mudah busuk, karena banyak kandungan air yang sebenarnya tidak terlalu engkau butuhkan yang terpaksa harus engkau serap? Disamping itu, berteman dengan beraneka tanaman dan bunga-bunga seperti yang engkau harapkan juga tidak akan membantu hidupmu, kalau semuanya hanya engkau lakukan untuk menghilangkan kesepianmu,” ujar Embun. 

Sesungguhnya berteman dengan cara yang sedemikian tidak akan membantu mengisi kekosongan hati yang mengalami kesepian. Bahkan aneka hiburan juga tidak akan banyak membantu, selama hidup masih terlepas dari sebuah kenyataan. 

Sobat, untuk itu kembalilah ke dalam hidupmu sendiri terlebih dahulu. Jangan biarkan anganmu menguasai hidupmu, supaya engkau cepat sadar akan realita yang harus kau hadapi. Apabila kau berusaha untuk selalu sadar akan realita yang ada dalam hidupmu, maka hidup akan menjadi sebuah kerinduan yang tidak akan menghadirkan banyak tuntutan yang menjerat.

Singkawang, Awal Desember 2015


Image by Google



WE LIVE, WE LEARN, AND WE UPGRADE (DAPATKAH AKU TAHU KEHENDAK TUHAN DALAM HIDUP KU?)

WE LIVE, WE LEARN, AND WE UPGRADE
 (DAPATKAH AKU TAHU KEHENDAK TUHAN DALAM HIDUP KU?)

Image by Google

Seseorang mungkin pernah merasa bahwa tanggung jawab dunia itu ada di pundaknya. Merasa bahwa ada beban yang menekan bahunya dengan sangat kuat hingga menghimpit paru-parunya. Dan akhirnya, orang itu jadi susah bernapas. Bagi yang memiliki riwayat penyakit jantung mungkin harus berhati-hati.

Lamanunanku terantuk pada hal itu ketika aku duduk terpaku bak orang yang putus cinta di halaman gereja “Damai Bagimu”. Angin sepoi yang membelai wajahku mampu mengajakku masuk jauh lebih dalam menggali memori beberapa waktu ke belakang. Meskipun tidak ada lagi kabut asap yang menghalangi pandangan, namun sepertinya banyak sekali asap yang masih berputar-putar di dalam kepala ini, waktu itu. 

Aku teringat seseorang yang memiliki romantisme dengan masalah. Seperti masalah itu adalah bulan madu baginya. Atau seseorang yang merasa banyak hal yang harus dikerjakannya sehingga cara hidupnya harus berjalan monoton. Tidak pandai cara menikmati kesenangan selain tumpukan tugas dan misi pribadi yang harus diselesaikan. Aku harap ia masih ingat cara untuk tersenyum. 

Ya, tersenyum saat gembira itu biasa tapi tersenyum saat ujian menyapa itu luar biasa. Tidak semua orang bisa melakukannya. Kalau kata Aristoteles, dibutuhkan kecerdasan secara emosional untuk dapat melakukannya. Sebagai manusia yang penuh dengan berjuta kelemahan, kita tidak bisa menafikan hal itu. Terkadang masalah pribadi datang bertubi-tubi, belum lagi pekerjaan yang membuat jengkel, tumpukan pekerjaan rumah yang tiada habisnya, serta semua hal yang sangat mempengaruhi kredibilitas serta image kita di mata orang lain. Percayalah, hidup ini tak sekejam sinetron Indonesia tapi juga tak seindah drama Korea.

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, aku akan memberi kelegaan kepadamu (Mat 11:28). Terkadang kita lupa dengan itu. Seperti bahwa dalam hidup ini kita menanggung masalah kita sendiri. Tidak jarang masalah itu memengaruhi cara bergaul kita dengan orang lain dan cara kita berserah pada Tuhan. Dengan masalahnya menganggap kalau mereka adalah prioritas. Ada keangkuhan pribadi ingin terlihat lebih besar daripada yang lain dengan masalah itu.

Ini bukan ajang pengadilan sebagai bentuk pembenaran atau menghakimi. Hanya menilik sedikit ke dalam kalbu ini. Untuk beberapa kasus, kita mungkin bisa bergembira dengan dengan siapa saja namun kita tidak bahagia. Semua pasti setuju jika dikatakan uang tidak bisa memberikan kebahagiaan. Tapi bagaimana dengan uang dalam jumlah besar dan masuk rekening secara rutin?
Marilah kepada-Ku, itu artinya sebuah undangan. Tuhan menawarkan bahu-Nya untuk kita bersandar. Dia sendiri yang mewarkan, lalu kenapa kita menolak? Undangan untuk meletakkan beban kita, tidak menanggungnya sendiri dan berserah pada-Nya. Lalu bagaimana cara kita menerima undangan itu?

Milikilah keintiman dengan Tuhan. Memberikan waktu teduh untuk kita berbicara dengan-Nya. Ketuk rumah Tuhan dan katakan kita merasa lelah dan ingin istirahat sejenak. Kita datang dengan hati yang benar-benar mau berubah, rindu akan Dia dan hadirat-Nya. Bagian kita hanya melakukan apa yang bisa kita lakukan dengan usaha terbaik kita dan biarkan sisanya menjadi pekerjaan Tuhan. Percayakan pada Tuhan hal-hal yang tidak bisa kita kerjakan atau kendalikan.

Memuji Tuhan dengan segenap hati. Puji Dia dengan segenap hati bukan hanya di mulut saja. Apa yang kita rasakan sampaikan kepada-Nya. Karena nyanyian itu adalah doa hadirat Tuhan yang dituangkan dalam lantunan lirik dan not balok.

Baca firman-Nya. Carilah firman itu, renungkan, hafalkan dan klain janji -Nya. Ia sendiri telah memikul dosaku dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya aku, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya aku telah sembuh (1 Petrus 2:24). Percaya akan firman-Nya sebab Dia tidak akan pernah meninggalkan kita.

Lalu apa itu letih lesu dan berbeban berat? Itu adalah keadaan tanpa semangat, tidak ada pengharapan, khawatiran. Sebuah keadaan yang dapat membuat kita menjadi tokoh antagonis. Kita letih lesu oleh persoalah hidup dan beban dosa kita.

Ya, pada akhirnya aku menulis bukan untuk membuktikan siapa aku. Menunjukkan setinggi apa ilmu yang aku miliki, seluas apa kebijaksaan ku atau sebesar apa pengakuan yang ku harapkan. Aku ingin menunjukkan betapa kurangnya diri ini dengan lamunan yang sedikit mengupas  kulit pembungkus kerapuhan yang ditutupi. Terkadang tidak ada salahnya kita menyempatkan diri untuk berbicara dengan diri sendiri. Mengukur bagaimana kita mengukir jalan untuk bisa digunakan oleh orang lain, memperbaiki setiap langkah yang mungkin memengaruhi jalan orang lain, menjadi jembatan bagi jalan yang lebih baik dan mengorbankan beberapa bagian dalam diri kita meski yang didapat tidak lebih besar dari pengorbanan. 

Sebab kehidupan tidak diukur dari goresan tinta yang telah dibubuhkan pada kertas. Tapi pada aksi yang memberikan makna bagi orang lain. Hidup tidak diukur dari banyaknya udara yang kita hirup, tapi dari momen-momen yang membuat kita sulit bernapas. Beban salib dalam hidup akan selalu ada karena itu adalah ujian bagi setiap yang hidup untuk semakin dekat dengan-Nya. Tidak ada salahnya meletakkan beban itu sejenak dan melegakan diri. You live, you learn and you upgrade!

Tuhan……
Jika aku terlalu kecil untuk melihat kebesaran kasih-Mu
Berikan aku kesempatan untuk menapaki puncak Kalvari-Mu
Demi melihat keagungan karunia-Mu

(Sabar Panggabean)








SETAHUN BERSAMA, LIKES SEBAGAI MEDIA DAN JURNAL PEMULA

SETAHUN BERSAMA, LIKES SEBAGAI MEDIA DAN JURNAL PEMULA




“………………………………..
Pena dan penyair keduanya mati, berpalingan.”

(Chairil Anwar dalam Nocturno (fragment))


Desember 2014 Edisi Perdana, Awal Tahap Belajar Bersama

Penggalan puisi di atas jika ditinjau dari kacamata sastra menunjukkan adanya keterkaitan besar pada kedua objeknya, pena dan penyair. Sekadar meminjam istilah saja, ketika hal serupa dihubungkan dengan penulis dan media. Seseorang belum dianggap penulis jika tulisannya belum dibaca orang lain. Persoalan tulisan yang dihasilkan berbobot atau tidak, maka kembali pada kemampuan penulisnya sendiri dalam mengemas pemikiran atau hal yang diberitakan dan merangkainya dengan estetika bahasa menjadi satu kesatuan yang layak baca. Hal serupa berlaku pula pada media yang memuat karya penulis. Suatu media akan diperhitungkan jika mampu memberikan kontribusi yang dibutuhkan guna memuaskan dahaga informasi pembacanya. Masih ada kaitan dengan penulis dan karyanya, media dan isinya, pada Desember 2014 lalu, menjadi satu langkah nyata dari sekelompok orang yang disatukan dalam ide pengejawantahan media informasi seputar paroki. Hanya dalam hitungan pekan, bermodal tekad dan kemauan, edisi perdana LIKES diluncurkan. Kala itu awak redaksi digawangi sebelas sukarelawan. Masing-masing dipercaya untuk menangani bidangnya. LIKES sendiri bagi redaksi tak lain sebagai wadah belajar dan media penyalur hobi menulis. Perkara edisi perdana muncul pada Desember 2014, LIKES lebih menekankan pada berbagai kegiatan gereja di masa Natal. 

Maju Bersama dalam Dinamika

Bukan perkara mudah menyatukan pemikiran dari beberapa kepala, bukan hal gampang mencocokkan waktu bertemu dengan beberapa individu, bukan masalah ringan membagi jadwal liputan dan kapling tulisan mengingat masing-masing personil memiliki beragam kesibukan. Mendewasa dalam dinamika, menyeimbang dalam sikap saling pengertian, menjadi eksis dalam kesadaran tentang konsistensi kebersamaan, hal tersebut menjadi landasan kuat untuk selalu mewujudkan setiap edisi buletin paroki. Berbagai  rintangan kecil menjadi aral penerbitan LIKES. Gejolak paling menjadi riak dalam proses penerbitan LIKES timbul manakala bongkar pasang personil yang menangani  pe-layout-an harus dilakukan. Dalam kurun waktu satu tahun, pada tujuh edisi yang telah diterbitkan, tercatat sudah empat layouters menanganinya. Hal tersulit dihadapi kala harus kehilangan selama-lamanya personil  layouters  untuk edisi kedua yang  berasal dari kalangan profesional. Kekalutan sempat benar-benar  melanda segenap awak redaksi LIKES, namun berkat Tuhan kiranya selalu melingkupi niat baik yang lantas dijawab-Nya dengan hadirnya layouters yang baru.           

Berat Sama Dipikul, Ringan Berdampak ‘Ampul’

LIKES, media sederhana wadah belajar bagi para penulis pemula, kini di usianya yang baru satu tahun  digawangi oleh 12 orang awaknya. Ada banyak keterbatasan yang dimiliki sebelas orang pencetus awalnya hingga dengan berbagai pertimbangan, redaksi mengajak rekan-rekan lain yang memiliki hobi dan potensi serupa penunjang kokohnya sebuah media untuk bergabung di dalamnya. Bongkar pasang personil menjadi hal tak asing bagi media yang tak dimungkiri masih penuh kekurangan di sana-sini.  Dengan digarap 12 orang kru, rasanya pekerjaan redaksi dalam mewujudkan eksistensi  informasi paroki semakin teratasi. Ya, beban berat yang sama dipikul tentunya akan berdampak ‘ampul’ (kecil dan ringan).     

Menyuguhkan Berita, Membaca  Pembaca

Selama setahun, berbagai hal berkaitan aktivitas lingkup Paroki Singkawang diberitakan. Tercatat enam edisi sebelum edisi terakhir yang kini berada di tangan pembaca ini diluncurkan. Dalam dinamikanya, sekali dalam sebulan awak redaksi dikumpulkan guna membahas isi buletin ke depan. Berbagai informasi yang diperoleh dari pastor paroki menjadi modal dasar lingkup pemberitaan kami. Tidak hanya itu, informasi kegiatan dari pembaca di seputar paroki pun menjadi ‘undangan’ khusus bagi  kru redaksi untuk mewujudkan suatu informasi.   

Tak Ada Gading yang Tak Retak, Tak Ada Donatur LIKES Tak Naik Cetak

Sebagai media berumur batita (bawah tiga tahun), LIKES tidak pernah lepas dari kekeliruan maupun kesalahan. Salah cetak, luput dari proses pengeditan, kekinian berita yang kadang  dipertanyakan,  hingga konsistensi waktu penerbitan sebuah media yang sifatnya berkala. Meski tercatat pernah satu kali mengalami keterlambatan penerbitan namun dengan segenap hati, tenaga dan pikiran, redaksi selalu berusaha menjumpai pembaca setia tepat pada waktunya. Tak dapat dimungkiri pada edisi perdana LIKES, kekurangan masih terserak di sana-sini, baik dari segi isi maupun tampilan, melalui tahapan mendengarkan masukan, saran dan kritikan dibarengi perbaikan, maka perubahan perlahan-lahan lantas dilakukan. Edisi perdana juga terbit berkat kegigihan dari seksi usaha dana yang harus ‘bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Mencari pemasang iklan dahulu, barulah terbit kemudian.’ Dalam setahun perjalanan, lagi-lagi seksi usaha danalah yang menggeliat dalam sepak terjang. Ranum dan manis hasil yang didapatkan. Hingga tujuh edisi berjalan segala yang berkaitan dengan pendanaan disokong sepenuh-penuhnya oleh para donatur yang berperan. Di usianya yang pertama LIKES telah mengukuhkan diri sebagai salah satu bagian dari paroki.       

Di Kemudian Hari Ada Regenerasi

Menuntaskan dahaga informasi pembaca yang tak kenal batas ruang dan waktu sungguh menjadi kenikmatan tersendiri bagi redaksi. Terdapat kepuasan mana kala LIKES ditunggu dan dipertanyakan tentang waktu penerbitan oleh pelanggan, itu artinya kehadiran kami sungguh dinantikan. Namun tetap ada yang mengganjal mengingat keberlangsungan media yang terbit dua bulanan ini digawangi oleh generasi yang secara usia dapat dikatakan matang. Memang usia tidak bisa menjadi alasan untuk produktivitas seseorang, namun sungguh, mimpi kami dari pihak redaksi di kemudian hari  ada regenerasi, agar media informasi paroki berbanderol LIKES ini tetap kokoh berdiri. 

Pembaca Tak Hanya Membaca  

LIKES adalah media dan jurnal pemula. Sejak awal berdiri, redaksi tak putus-putus mengundang pembaca untuk ikut berkarya di dalamnya. LIKES bukan hanya milik redaksi. Seluruh pembaca memiliki hak berkarya di dalamnya. LIKES merupakan wadah penampung kreativitas, tempat belajar, dan media penyampai informasi. Didasari tujuan awal terbentuknya, maka redaksi mengajak pembaca untuk tidak hanya membaca, namun terlibat secara aktif dalam mewujudkan eksistensi media informasi tercinta kita ini. (Hes)   



MALAIKAT TANPA SAYAP ITU BERNAMA PINGKAN

MALAIKAT TANPA SAYAP ITU BERNAMA PINGKAN 




“Namun tak kaulihat… terkadang malaikat, tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan...”

Kiranya kutipan lagu berjudul Malaikat Juga Tahu yang dinyanyikan oleh Dewi Lestari begitu sesuai untuk menggambarkan sosoknya yang mungil namun sangat cekatan kala bersama ibu dan saudara perempuannya mengemasi tumpukan Madah Bhakti yang berhamburan usai dipergunakan pada saat misa. Skolastika Pingkan, atau Pingkan, begitu ia biasa disapa, ia adalah putri dari Ibu Armey Pande dan Bapak Yohanes Rusyanto. Pelajar kelas VII SMP Bruder ini cukup menyita perhatian. Jika anak seusianya pada umumnya segera beranjak pulang seusai menghadiri perayaan Ekaristi, atau memilih tinggal di gereja untuk sekedar ber-selfie, maka gadis yang mulai menginjak masa remaja ini meluangkan waktu yang ia miliki untuk mengemaskan tumpukan Madah Bhakti yang lebih sering dikembalikan sekenanya atau ditinggalkan begitu saja oleh pemakainya di bangku-bangku gereja. Belum lagi sampah bungkus permen atau makanan, hingga tissue yang tak luput terserak ditinggal para konsumennya,  pun demikian pada wadah kolekte yang kadang tergeletak begitu saja dibiarkan usai digunakan. 

Setiap Minggu usai misa ke dua, cermatilah orang-orang yang berada di gereja, maka indra penglihatan kita akan segera mendapati sosok gadis mungil ini ditemani ibu dan kakak perempuannya (Fransiska Aneke) tengah sibuk berbenah tumpukan Madah Bhakti. Kegiatan yang rutin dilakukannya ini kira-kira sudah berjalan dua tahun. Selama sekitar setengah jam setiap hari Minggu usai misa ke dua, Pingkan meluangkan waktunya untuk ‘melayani’ gereja. Ketika ditanya apa yang melatari tindakannya, dengan polos ia berujar, “Karena melayani Tuhan bisa dari tindakan kecil seperti ini.” Ya, tindakan kecil namun nyata, begitu berharga dan  dampaknya bisa dirasakan langsung oleh sesama. 

Pernahkah kita membayangkan betapa repotnya koster jika masih harus disibukkan dengan rutinitas tambahan mengemasi Madah Bhakti usai digunakan, memunguti sampah yang sengaja ditinggalkan di rumah Tuhan, hingga membereskan berbagai peralatan sederhana pendukung aktivitas gereja. Pernahkah kita membayangkan bagaimana keadaan gereja jika ketakpedulian kita atas berbagai ketidakberesan masih terus menerus kita lakukan jika tidak ada sosok ‘malaikat tanpa sayap’ seperti Pingkan? 

Untung ada Pingkan, ya, untung ada Pingkan, namun bukan berarti kita bisa semakin tidak peduli ketika merasa ada sosok lain yang dengan ikhlas membereskan ketidakteraturan yang kita timbulkan. Ada benarnya apa yang dikatakan Pingkan dengan lebih menyadari bahwa tindakan kecil namun berarti melayani Tuhan, setidaknya dengan timbul kesadaran untuk merapikan ketidakberesan, kita bisa meringankan rutinitas Pingkan. (Hes)            



ISTIMEWANYA MENJADI ANAK PPA

ISTIMEWANYA MENJADI ANAK PPA



Suasana sore yang begitu bersahabat menyertai perjumpaan saya dengan salah satu anggota dari Putra-Putri Altar (PPA), atau yang sering disebut misdinar yang dalam istilah gerejaninya disebut Alkolit (latin). Nama PPA ini sudah tidak asing lagi di telinga Umat kristiani. 

PPA atau misdinar dikenal sebagai para remaja yang berjiwa sosial yang dapat dijumpai pada saat perayaan misa dengan pakaian yang khas  dan menjadi penuntun jalan bagi imam yang memimpin perayaan liturgi. Dengan semangat yang membara dalam perbincanganya ketua PPA Santo Fransiskus Assisi Singkawang, dengan pemilik akun BlackBerry Messanger (BBM) yang bernama Nikolas Gratia atau lebih akrab disapa Gagas, berbagi cerita selama menjadi Putra-Putri Altar. Menurut Gagas sendiri Putra-Putri Altar atau misdinar itu sudah menjadi bagian dalam dirinya karena sejak duduk di bangku kelas 4 SD. Ia sudah bergelut dengan misdinar karena menurut Gagas untuk menjadi anggota PPA itu merupakan panggilan dari Tuhan. Salain itu menjadi misdinar suatu kebangaan tersendiri dengan mengunakan baju warna-warni sesuai dengan fungsinya tidak semua anak dapat melayani Tuhan seperti yang dilakukan oleh PPA.

Selain membantu para Imam dalam melayani misa, anggota PPA yang notabene merupakan anak usia remaja SD dan SMP pada umumnya juga  mempunyai banyak potensi seperti di bidang tarik suara dan memainkan alat musik. Hal itulah yang menjadi salah satu nilai plus bagi anak-anak PPA karena selain melayani Tuhan mereka juga dapat mengembangkan bakat mereka. Dalam perbincangan, Gagas lebih menekankan untuk adik-adik PPA dapat menjaga sikap pada saat ibadat atau kebaktian liturgi khususnya perayaan ekaristi,  serta mewajibkan mereka tahu fungsi dan peran dalam bertugas dan memahami apostolik dari PPA itu sendiri.



Oleh sebab itu keinginan yang sangat besar untuk dapat menggerakkan pemuda,  remaja khususnya untuk melayani gereja dalam ibadat atau kegiatan liturgi karena gereja sangat membutuhkan generasi penerus remaja PPA yang sebentar lagi akan bermetamorfosis menjadi anak-anak dewasa agar gereja tidak menjadi kering. 

Adapun kegiatan rutin yang sering dilakukan anak PPA seperti rapat dan latihan setiap usai perayaan misa kedua dengan tujuan penentuan tugas pada perayaan liturgi yang akan datang contohnya untuk saat ini seperti latihan tablo untuk pemberkatan Gerbang Kerahiman Ilahi di depan pintu utama gereja. Harapan ke depannya PPA dapat berkembang dan lebih maju serta dapat dikenal lebih luas lagi dan tidak dipandang remeh meskipun kebanyakan angotanya anak-anak remaja. PPA Santo Fransiskus Asisi juga mempunyai akun instragram tersendiri yang dapat diakses di PPASTTARSISIUSSKW. (Adrian)





Penantian Embun Natal

Penantian Embun Natal

Image by google


Karya Pena : Santo Satriawan

Jauh...
Sendiri...
Hanya tangan dan mata
Saling berkontak fisik dan batin
Aku jauh dan sendiri
Ingin ku berjumpa dan bersua
Ayah.. Ibu..
Aku di hening detik penantian

Ingin segera ku hempaskan kaki dari pijakan saat ini
Namun anakmu sedang berjuang melawan dunia
Melawan kemiskinan dan kebodohan
Walau tangan tak bisa saling berjabat
Walau mata tak bisa saling menatap
Tapi aku yakin, kita satu di dalam doa yang sama
 Di dalam penantian embun Natal.






Meninggal = Kembali ke Rumah Bapa

Meninggal = Kembali ke Rumah Bapa



Seorang nenek yang telah berusia senja berulang kali mematut-matut dirinya dengan baju kebayanya yang baru di depan cermin. Setelah merasa puas, sambil tersenyum sang nenek  menyimpan kembali kebayanya  dengan rapi dalam almarinya. Tetapi anehnya kebaya itu belum pernah dipakainya. Adegan ini dilihat oleh cucunya. Karena merasa penasaran sang cucu bertanya kepada neneknya, “Nek, saya belum pernah lihat nenek memakai baju kebaya itu. Memang kebaya itu mau nenek pakai untuk acara apa?

“Cu, kebaya itu mau Nenek pakai pada saat menghadap Tuhan nanti supaya Nenek kelihatan rapi dan pantas bertemu dengan Tuhan”, jawab nenek sambil mengelus kepala cucunya.

Membaca jawaban nenek di atas boleh jadi kita berpikir itu aneh dan lucu. Bahkan terkesan mengada-ada. Namun bila direnungkan lebih dalam, nenek itu mempunyai keyakinan bahwa melalui kematian dia akan berjumpa dengan Tuhan sendiri. Kematian menjadi awal dari sebuah perjumpaan. Bagi sang nenek kematian bukanlah  akhir dari segala-galanya.  Sang nenek tidak hanya tinggal pada peristiwa kematian itu saja. Tetapi keyakinannya mampu menembus hal-hal lahiriah semata.

Bagi kebanyakan orang peristiwa kematian memang dianggap sebagai momok yang menakutkan. Tabu bicara soal mati. Secara tidak sadar manusia sejatinya tidak ingin mati. Maunya bisa hidup selama-lamanya di dunia ini. Namun kenyataan itu tidaklah demikian. Setiap orang pasti dan harus mati. Kematian merupakan suatu kepastian yang tidak bisa ditolak dan dihindari. Lalu bagaimana kita menyikapinya?

Sebagai orang beriman tentu kita perlu mendasarkan keyakinan kita kepada apa yang pernah disabdakan oleh  Yesus Kristus, Guru dan Tuhan kita. Dalam Kitab Suci tertemukan banyak sabda-Nya yang memberi penghiburan dan pengharapan. Patut direnungkan baik-baik bahwa janji yang diucapkan oleh Yesus bukanlah omong kosong. Bahkan hal yang memberikan jaminan adalah kenyataan bahwa Yesus sendiri juga pernah mengalami kematian; tinggal selama  tiga hari dalam kegelapan makam; tetapi kemudian bangkit mulia. Peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus inilah yang menjadi dasar bagi kita untuk berharap akan mengalami kehidupan baru seperti yg Dia alami sendiri. Lalu apa yang disabdakan oleh Tuhan Yesus tentang peristiwa kematian?

Dalam Perjamuan Malam Terakhir bersama para murid-Nya, Yesus pernah bersabda, “Di rumah Bapa-Ku, banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu” (Yoh 14:2). Sabda ini disampaikan oleh Yesus sebagai  semacam “sabda perpisahan” sebelum Tuhan  sendiri mengalami peristiwa penyaliban. Dari sabda ini terkandung  makna bahwa kematian berarti pulang ke rumah Bapa. Dan Tuhan sendiri yang menyediakan rumah itu. Dalam pengalaman sehari-hari tempat kediaman punya arti yang sangat penting sebagai tempat beristirahat dan setiap orang merindukan untuk bisa mencapai peristirahatannya yang abadi. Dan kerinduan itu mendapat jawabannya lewat janji yang disampaikan oleh Tuhan Yesus.

Ketika berbicara tentang diri-Nya sebagai Roti Hidup, Yesus juga memberikan sabda penghiburan. “Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang” (Yoh 6:37). Sekiranya kita menyakini bahwa kematian itu berarti pulang ke rumah Bapa, maka hendaknya kita tidak perlu takut karena itu berarti kita datang kepada Yesus sendiri. Apalagi Yesus memberikan jaminan bahwa setiap orang yang datang kepada-Nya tidak akan dibuang.

Ketika melayat ke rumah Maria dan Marta berhubung dengan kematian Lazarus, Yesus juga berbicara tentang kematian. Nadanya sungguh memberikan peneguhan dan penghiburan. “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati” (Yoh 11:25). Kehidupan yang dijanjikan oleh Yesus bukanlah kehidupan duniawi; dimana orang masih perlu makan, minum dan nanti akan mati lagi. Tetapi kehidupan yang Dia janjikan adalah kehidupan bersama Allah, yang sering kita sebut sebagai kehidupan kekal. Kehidupan seperti ini tidak akan mengalami kematian lagi.  Dasar dari kehidupan itu adalah Tuhan Yesus sendiri yang menyebut diri-Nya sebagai kebangkitan dan hidup. Melalui peristiwa Paskah Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Tuhan yang bangkit dan hidup. Kematian tidak lagi menguasai-Nya. Dan syarat untuk memperolehnya adalah dengan percaya kepada-Nya. Percaya yang dimaksud bukanlah percaya dalam tataran intelektual semata; tahu bahwa Yesus adalah Tuhan. Tetapi percaya dalam artian lebih pada hubungan batin: bahwa saya mengimani Yesus sebagai Tuhan sehingga saya berusaha menghidupi apa yang disabdakan-Nya kepada saya. Itulah syarat yang diminta agar kita boleh mendapatkan kehidupan abadi.

Seorang wartawan pernah bertanya kepada Bunda Theresa dari Calcuta, apa pendapatnya kalau kelak Tuhan memanggilnya. Dengan mantap Bunda Theresa menjawab bahwa dia senang sekali kalau tiba waktunya sudah tiba. Karena dengan itu dia akan bertemu dengan Tuhan yang selama ini diimaninya. Kita semua juga pasti akan menghadapi kematian. Bagaimana sikap kita? (Gathot)