Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

1 Jun 2015

ASIES LEGIO MARIA TAHUN 2015 DI GEREJA ST. FRANSISKUS ASSISI SINGKAWANG


ASIES  LEGIO MARIA TAHUN 2015 DI GEREJA

 ST. FRANSISKUS ASSISI SINGKAWANG


            Sabtu , 21 Maret  2015, Legio Maria menggelar gawe penting yaitu ASIES atau janji penyerahan kembali kepada Bunda Maria yang diikuti oleh sembilan presidium yaitu, Singkawang, Pontianak, Sambas, Medang, Medang  junior, Sebandut, Sarangan, Standuk dan Nyarumkop.  Adapun tema dari ASIES kali ini adalah,  “Aku adalah Milikmu Ya Ratu dan Bundaku, dan Segala Milikku adalah Kepunyaanmu”. 
            Kegiatan yang dimulai  pukul 09.00 WIB ini diawali dengan perarakan dari Gua Maria menuju Gereja ST.Fransiskus Assisi, dilanjutkan doa Rosario, lantas digelarnya prosesi misa ASIES. Seusai misa ASIES, Pastor Paroki, Stephanus Gathot Purtomo, OFMCap dan Pembimbing Rohani Presidium ST.Maria , Pastor Yosef Astono Aji OFMCap,  berkenan mengabadikan kenangan dalam wujud berfoto bersama seluruh Legio. Tak berhenti sampai di situ, acara ramah tamah dan santap siang menjadi pemungkas kebersamaan pada kesempatan itu. Seluruh rangkaian acara tuntas digelar pada pukul 13.00 WIB.
              Setelah mengikuti ASIES, seluruh anggota Legio Maria seakan mendapatkan kekuatan baru dalam menjalankan pengabdiannya. (Kiriman Sdri. Yohana Tina)
   








          

 

CHUN JIE, SAATNYA BERBAGI


CHUN JIE, SAATNYA BERBAGI

Semarak tradisi menyambut  datangnya musim semi yang terejawantah dalam perayaan  Imlek terasa kental  menyelimuti lingkungan gereja Katolik.  Dekorasi sederhana namun tak pelak mencirikan budaya Tionghoa terpasang di setiap sudut gereja. Demikian pula rangkaian misa dan kegiatan perayaan  yang digelar, serta merta mencerminkan rasa syukur  dan esensi berbagi. 
Minggu, 1 Maret 2015, selepas misa kedua, gereja Katolik yang dimotori oleh kelompok Mandarin, membentang tangan menjabat erat, menyambut kehadiran umat dalam kegiatan open house yang digelar dalam lingkup Pastoran Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi. Acara sederhana nan hangat disambut antusias oleh umat. Berduyun-duyun umat hadir memadati ruangan berkapasitas tiga ratusan orang ini. 




Hangat, akrab, tak berjarak, semua larut dalam syukur, tawa, dan bahagia. Ditemui di sela-sela acara, Robertus Akhiong selaku panitia menuturkan secara singkat awal mula even tahunan ini digelar, “Mulai tahun lalu (2014), sejak Pastor Gathot  menghimbau untuk bisa merayakan Imlek bersama,” papar pria berkacamata ini. Selebihnya ketika ditanya masalah penyokong dana, maka dengan antusias beliau menjelaskan bahwasanya segala persiapan didanai oleh kelompok Mandarin, juga campur tangan umat yang berperan sebagai donatur.
Di akhir obrolan ringan, Akhiong  sempat menyampaikan harapannya mengenai keberlangsungan acara serupa, “Semoga bisa diadakan setiap tahun dan lebih meriah di masa yang akan datang,” pungkasnya. (Hes)                           

 

ANTARA ISA DAN KEBERMAKNAAN BAGI SESAMA


ANTARA ISA DAN KEBERMAKNAAN BAGI SESAMA





ISA
kepada nasrani sejati
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya: aku salah?
Kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segara
mengatup luka aku bersuka
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah









(Chairil Anwar, 12 November 1943)


          Sejenak puisi bernada religi ini berhasil dikemas serupa parsel, kado permenungan dalam nafas sastra bagi umat Kristiani yang sejak dicipta pada 1943 masih terus kita rasakan ‘kekiniannya’.  Pada deret kata, “Kulihat Tubuh mengucur darah / aku berkaca dalam darah / terbayang terang di mata masa / bertukar rupa ini segara / mengatup luka aku bersuka // Itu Tubuh / mengucur darah / mengucur darah // ,” betapa kekuatan pengorbanan dari Putera Bapa mengejawantah dalam bentuk Salib, tidak hanya membuahkan bahagia namun janji  keselamatan bagi kita yang meyakininya.
        Berabad kemudian, Salib yang awalnya simbol kehinaan diubah melalui darah Putera-Nya menjadi lambang keselamatan, diperingati dan dirayakan. Menjadi tradisi yang tak hanya berhenti pada prosesi, namun merupakan denyut nadi  bagi seluruh umat Kristiani. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, Gereja Katolik seluruh dunia memperingati dan merayakan Kebangkitan Kristus dan penebusan umat manusia melalui rangkaian prosesi yang dipakemkan oleh gereja. Tak terkecuali Gereja Katolik St. Fransiskus Assisi Singkawang. Diawali Misa Rabu Abu, sebagai pemantik masa pertobatan. Seolah menjadi simbol awal mula masa permenungan dan evaluasi diri, Rabu Abu tahun ini jatuh pada 18 Februari 2015, berselang empat puluh hari menjelang Pekan Suci yang dimulai pada Minggu Palma, 29 Maret 2015, dilanjutkan Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Suci, berturut-turut dirayakan pada 2 hingga 4 April 2015, serta puncaknya pada perayaan Paskah yang jatuh pada Minggu, 5 April 2015.
          Pada perayaan Paskah tahun ini, seluruh umat Gereja Katolik St. Fransiskus Assisi mengambil peran masing-masing. Meski dirayakan dengan sederhana, namun tetap menjaga makna utama. Tak ada dekorasi berlebihan, segalanya sesuai takaran. Hanya saja tetap ada yang istimewa dalam setiap persembahan. Seperti drama penyaliban pada Jumat pagi sebelum upacara penghormatan Salib pada sore harinya. Kegiatan yang biasanya digelar di dalam gereja, tahun ini terasa istimewa karena pelaksanaannya dilakukan di halaman gereja. Drama penyaliban yang diperankan oleh OMK terpapar apik, mangkus menggerus sisi emosi manusiawi. Tak sedikit umat berlinang air mata kala membayangkan Sang Juru Selamat diperlakukan begitu rupa. Demikian pula pada Jumat sore harinya, paduan suara maupun pasio kisah sengsara, sukses membuat rawan perasaan umat yang datang. Berlanjut pada Sabtu, malam Paskah, suara-suara merdu kelompok koor berhasil melangitkan madah yang indah dalam kesyahduan cahaya lilin Paskah. Dan puncaknya pada gempita Minggu Paskah. Semua larut dalam bahagia oleh penyelamatan Anak Domba.         
           Rasanya lebih dari sekadar peringatan dan perayaan tahunan yang akan terus-menerus berulang. Umat Kristiani diajak bangkit dari ekstase yang selama ini seolah meninabobokan. Kita diseru oleh pimpinan tertinggi Gereja Katolik, Paus Fransiskus dalam Urbi Et Orbi yang masih mengetengahkan pesan  perdamaian, dan kita sebagai umat Kristiani yang dipenuhi oleh rahmat Kristus, yang wafat dan bangkit adalah benih-benih kemanusiaan yang lain, yang di dalamnya kita berusaha hidup dalam pelayanan bagi orang lain, tidak sombong, melainkan penuh hormat dan siap membantu.
Kiranya semangat dan kesadaran yang diawali serta didasari keyakinan tentang darah yang terkucur dari tubuh Kristus tak hanya berkisar seperti yang tertera dalam kalimat puisi yang ditulis oleh Chairil Anwar pada 1943: “mengatup luka aku bersuka”. Tak hanya berhenti pada kata ‘bersuka’, namun lebih dari itu, mengajak kita bangkit dari kebergemingan pada zona nyaman dalam bentuk tindakan nyata, yakni kebermaknaan bagi sesama.  Selamat Paskah!  (Hes)     
                             

 

KETIKA TANGAN TUHAN BEKERJA, MUJIZAT ITU NYATA






KETIKA TANGAN TUHAN BEKERJA,

 MUJIZAT ITU NYATA



        Terik matahari seolah enggan bersahabat  di siang itu mengantar langkah tim Likes menuju rumah sederhana beralamat di Jalan Yohana Godang, Gang Terang. Berbanding terbalik dengan temperatur yang garang, kedatangan kami disambut ramah seorang lelaki lanjut usia yang tengah menggendong balita cantik berpipi tembam yang tampak riang dengan matanya yang berbinar-binar. Siapa nyana, balita nan ceria itu pernah benar-benar bertarung nyawa.
 




 
Atresia Bilier, kondisi inilah menjadi cikal bakal ia berpredikat ‘buah hati ibu’, yang benar-benar mendapat cangkok hati dari sang ibu, tak sekedar metafor seperti  ungkapan buah hati ibu pada umumnya. Empat puluh hari pascalahir, kondisi tak wajar pada tubuh mungil Sherlyn Aurelia terdeteksi. Kulit halusnya  tak seperti kondisi bayi pada umumnya, menghitam dan fisiknya yang ‘anteng’, bahkan terlalu tenang untuk ukuran balita pada umumnya.
Si mungil Sherlyn lantas ditangani dokter spesialis  anak yang akhirnya merujuknya ke rumah sakit di ibukota provinsi. Tak tertangani di ibukota provinsi, Sherlyn mendapat rujukan ke salah satu rumah sakit di Kuching. Melihat kondisinya yang memerlukan perawatan intensif dengan segala keterbatasan peralatan medis, Sherlyn kembali dirujuk ke rumah sakit di Kuala Lumpur untuk menjalani operasi kolangiografi intraoperatif dan prosedur Kasai. Usai menjalani operasi Kasai, Sherlyn masih harus mendapat perawatan lebih lanjut, hal ini terkait fungsi hatinya yang semakin menurun. Keputusan penuh spekulasi berkenaan dengan nyawanya diambil oleh keluarga, bayi mungil ini diberangkatkan ke Taiwan untuk menjalani operasi transplantasi hati. Berpacu dengan waktu, tubuh mungilnya seolah menggeliat bersama kegigihan sang ibu dan keluarga memperjuangkan kesembuhannya.
Rasanya masih segar di ingatan ketika salah satu tokoh pers nasional yang juga mantan menteri BUMN era Susilo Bambang Yudhoyono, Dahlan Iskan, menuturkan sepak terjang dan perjuangannya kala menghadapi kondisi serupa yang tengah dihadapi Sherlyn. Saat itu, sorotan mengenai biaya yang harganya berkisar pada sembilan digit angka ketika  menjalani transplantasi hati menjadi fokus ekspos sejumlah media. Demikian pula dengan keluarga dari si mungil Sherlyn yang pada awalnya terbentur masalah dana. Namun, ternyata pintu hati sesama di sekitar kita begitu terketuk melihat kondisi tubuh mungilnya yang tidak berdaya. Melalui bantuan keluarga, para donatur, kerabat,  dan sahabat, sang ibu yang begitu luar biasa ini mampu mempersembahkan pengobatan terbaik  bagi sang buah hati.
Jelang menjalani operasi transplantasi hati, kondisi Sherlyn mengalami penurunan drastis. Hal ini terkait perjalanan panjang menuju Taiwan yang tentunya menguras kekuatan fisiknya. Sesampainya di Taiwan, Sherlyn tak sadarkan diri. Delapan hari ia mendapat perawatan intensif dan kehidupannya hanya bergantung pada alat medis yang terpasang di tubuhnya, bayi Sherlyn koma. Di tengah badai yang menguras kekuatan  dan ketabahan seorang manusia, sang ibu berbisik lirih di telinga Sherlyn yang saat itu masih dalam kondisi koma, “De’, kita berangkat sama-sama, ‘pulang’ juga harus sama-sama. Jangan tinggalin, Mama.” Tangan Tuhan bekerja, mujizat itu nyata, bayi Sherlyn yang awalnya koma, perlahan menunjukkan peningkatan kondisi yang signifikan. Hari demi hari grafik kondisinya menunjukkan kemajuan pesat.
Tiba di titik paling aman untuk melakukan transplantasi hati, Senin, 22 September 2014, sepertiga hati sang ibu lantas diambil dan dicangkok pada organ hati bayi mungil putri kedua dari Vincentia Meiceria ini. Tak berhenti sampai di situ, sang ‘buah hati ibu’ masih harus menjalani operasi besar ketiga berkenaan pembekuan darah pascaoperasi. Kini, setelah melewati pusaran badai yang sungguh menguras tenaga, emosi, pikiran, dan materi, kondisi Sherlyn berangsur membaik.  Meski demikian, kontrol rutin masih terus dilakukan demi memantau perkembangan kondisinya pascaoperasi.
Kepada pembaca Likes, diharapkan dukungan moril berupa doa, semoga segala hal yang terbaik selalu berlaku atas diri putri kecil ini. (Hes)        

SELALU ADA YANG ISTIMEWA


SELALU ADA YANG ISTIMEWA



Ekaristi Kaum Muda (EKM) sudah menjadi agenda rutin di Paroki Singkawang. Bagi saya, EKM, yang diadakan di stasi Sebandut beberapa waktu yang lalu terasa sangat istimewa. Padahal Sebandut bisa dikatakan tidaklah besar untuk ukuran sebuah stasi. Bila ditilik dari segi usiapun, stasi ini masih relatif sangat muda. Tetapi dari stasi yang kecil dan muda belia ini, tersimpan cerita yang bisa menjadi inspirasi bagi kita semua.



Ketika didapuk sebagai tempat untuk melangsungkan EKM, kaum mudanya langsung bergerak cepat bersama dengan pengurus umat. Panitia pun segera dibentuk. Keistimewaannya terlihat karena mereka melibatkan stasi-stasi tetangga untuk berperan serta dalam agenda kaum muda ini.

Tibalah saatnya Ekaristi Kaum Muda digelar di Sebandut. Meskipun sore harinya sempat diguyur hujan lebat, tetapi kaum muda wilayah Capkala dan sekitarnya tidak menyurutkan langkahnya untuk datang ke Sebandut. Bahkan hadir juga kaum muda dari Singkawang dan sekitarnya. Secara bergelombang mereka mendatangi stasi yang cukup jauh dari keramaian kota. Mendekati pukul 17.30 wib, Gereja Sebandut sudah terisi penuh oleh kaum muda. Mereka yang datang belakangan terpaksa mengikuti Ekaristi di luar Gereja. Tercatat tak kurang dari 400 kaum muda berkumpul di Stasi Sebandut.

Nuansa anak muda terasa sekali mewarnai perayaan Ekaristi waktu itu. Tarian pembukaan yang dibawakan oleh anak-anak menjadi penghantarnya. Pada bagian selanjutnya tanpa mengurangi kekusyukan, lagu-lagu rohani yang mengiringi Ekaristi ditata sedemikian rupa sehingga menggugah jiwa kaum muda. Terlihat banyak kaum muda menikmati dan sungguh hanyut dalam suasana Ekaristi Kaum Muda
Usai misa acara dilanjutkan dengan makan malam bersama. Kami pun beralih menuju ke tenda sederhana di samping Gereja. Terlihat meja-meja sudah diatur dengan rapi. Di atas meja itu terhidang menu makanan yang sangat sederhana. Saya mencoba memperhatikan dengan seksama menu yang tersedia: ada nasi, sayur rebung, sayur daun ubi, sayur nangka muda, sambal goreng dan ikan asin. Kesannya sangat sederhana. Jauh dari kemewahan sebuah pesta. Tetapi semua menu yang ada tetap menggoda selera saya. Tanpa banyak pertimbangan saya pun mengambil semua menu yang tersedia.  Begitu juga kaum mudanya tak kalah antusiasnya seperti saya dalam menyantap menu makanan yang ada.
Kebetulan saya makan ditemani oleh seseorang yang duduk sebagai panitia EKM. Sambil menikmati menu yang tersedia, teman saya ini pun mulai bercerita, “Pastor, terimakasih banyak atas kepercayaan paroki menunjuk kami sebagai panitia EKM kali ini”.
            “Justru saya yang harus berterima kasih kepada kalian, karena kalian berhasil menyediakan yang terbaik untuk kami yang jumlahnya banyak sekali,” jawab saya secara diplomatis.
            “Ini semua kan berkat kerja dari teman-teman OMK stasi tetangga juga. Mungkin Pastor perlu tahu. Kami meminta beberapa OMK stasi tetangga untuk menyumbangkan apa yang mereka punya. Ada OMK yang mengumpulkan beras dari rumah ke rumah. Ada OMK stasi yang mencari daun ubi. Kalo di stasi itu banyak rebung, mereka juga berusaha mencari rebung dan menyumbangkannya untuk kami. Hebatnya Pastor, teman-teman OMK melakukan itu semua dengan sukarela dan hati gembira.”
            Mendengar pengakuan yang jujur dan tulus itu, hati saya dipenuhi rasa haru dan syukur. Ternyata Tuhan bisa menghadirkan keistimewaan dari tempat yang sangat sederhana ini. Bagaimana tidak? Kaum Muda di tempat yang terpencil ini bisa menyumbangkan apa yang ada pada diri mereka tanpa harus keluar biaya. Meski menu makanan tidak layak disebut sebagai menunya pesta, tetapi mereka bisa menciptakan suasana gembira. Semua kaum muda larut dalam suasana pesta yang sangat sederhana. Ternyata dari yang sederhana, Tuhan bisa menghadirkan yang istimewa. Proficiat untuk OMK! (Gathot)

LEBIH DEKAT DENGAN SANG GEMBALA UMAT


LEBIH DEKAT DENGAN SANG GEMBALA UMAT


“Perkenalkan, nama saya Gathot, singkatan dari Ganteng Total…”, umat yang awalnya meraba, menerka-terka seperti  apa sifat sang gembala barunya, sontak tak dapat menahan tawa mendengar celetukan bernada humor dari dia yang pagi itu memimpin misa di Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi Singkawang.
Sosoknya sederhana, ramah dan begitu menyejukkan dalam tutur kata serta tindakan, layaknya paradigma umum  khas gembala umat. Terlahir di salah satu desa yang begitu terkenal dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh yayasan Katolik sejak zaman Belanda, Kweekschool  (kini SMA Pangudi Luhur Van Lith, Muntilan) pada 16 April 1969, Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFMCap, terlahir sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara, putra pasangan (alm.) Yohanes Sardjo dan (almh.) Elisabet Sunatri. Ia menghabiskan sebagian masa kecilnya di Ngawen, Muntilan sebelum akhirnya harus mengikuti  jejak sang ayah yang berpindah tugas ke kota Gethuk, Magelang.



Sejak kecil, ia telah begitu dekat dengan kehidupan para biarawan, tak mengherankan memang, selain karena Muntilan dikenal sebagai daerah yang kental dengan nafas Kristiani, almarhum ayahandanya merupakan salah satu prodiakon di lingkungan gereja Katolik stasi Ngawen. Pria yang ketika remaja begitu menggemari lantunan suara emas Dian Pramana Putra, Dedi Dukun dan memiliki kesan mendalam terhadap tembang Nostalgia SMA-nya Paramitha Rusadi ini mengaku, ketertarikannya terhadap kehidupan membiara  semacam love at the first sight (cinta pada pandangan pertama). Segalanya bermula ketika  ia melihat Romo (Pastor) yang memimpin misa mengenakan jubah putih, tampak begitu gagah dan tentunya mangkus memesona Gathot kecil. Keterpesonaan itu yang menggiringnya memilih jalan yang kini mendapuknya menjadi Pastor Paroki Gereja Santo Fransiskus Assisi Singkawang. 
Dalam perjalanan karirnya, silih berganti hal tak terlupa dan menarik seolah membentuk bingkai tersendiri bagi slide kehidupan pria berkulit sawo matang pehobi jogging ini, di antaranya saat pentahbisan imam pada  10 Oktober 1998, manakala ia tiarap memeluk bumi, mengantarnya pada kesadaran tentang esensi kerendahan hati, atau sepenggal kisah yang sulit diterjemahkan dari segi perasaan saat ia tak dapat melihat sang ayahanda untuk terakhir kali karena tengah menuntaskan studi di Roma, atau ketika sosoknya harus memimpin misa tanpa altar, umat duduk hanya beralas tikar dan masih berbonus umat yang mengikuti misa sambil merokok, syahdan sekelumit cerita jenaka tatkala ia seperti kebanyakan remaja pada umumnya yang memiliki sifat jail “menyelundupkan” radio ke Seminari padahal hal tersebut dilarang keras untuk dilakukan. Segalanya terasa sangkil membentuk pribadinya sebagai gembala.  
“Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3:30) motto itu yang selalu menjadi pegangannya dimanapun ia berada. Di sela-sela obrolan, Pastor Gathot mengungkapkan, “Terkadang dari sisi manusiawi saya selaku romo atau pastor, kerap muncul rasa eksklusivisme,  ingin diperlakukan lebih istimewa dari orang lain. Saya masih terus-menerus mempelajari esensi rendah hati”. Ia mengakui, perasaan tersebut hingga kini masih seringkali menjadi batu sandungan dalam kehidupan membiara dan hal itu murni berasal dari internalnya.
Ketika ditanya mengenai harapan terhadap paroki yang kini digembalainya, beliau secara tenang dan penuh bijaksana mengungkap keinginan agar umat yang digembalai lebih militan terutama dalam hal keluarga. Ini secara otomatis akan berpengaruh pada kehidupan gereja. Hal serupa diungkapnya untuk kaum muda, “Saya berharap kaum muda Katolik menjaga militansi ke-Katolikannya.”, pungkasnya. (Hes)
Riwayat Pendidikan:
SD Kanisius Ngawen, Muntilan.
SMP Santo Yosef Mertoyudan, Magelang.
SMA Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang.
Postulat Sanggau Kapuas, Kalimantan Barat.
Novisiat Parapat, Sumatera Utara.
STFT Santo Yohanes Pematang Siantar, Sumatera Utara.
Universitas Gregoriana Roma, Italia.

Riwayat Karir
Tahbisan 10 Oktober 1998 di Bengkayang
Paroki Jangkang, Keuskupan Sanggau (1998 − 2001)
Melanjutkan pendidikan di Universitas Gregoriana Roma, Italia (2001− 2003)
Post Novisiat Singkawang (2003 − 2004)
Biara Kapusin St. Lorenzo (2004 − 2011)
Balai Karangan, Sanggau (2011 − 2013)
Paroki Singkawang (2013 – sekarang)