Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Tampilkan postingan dengan label Sosok. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sosok. Tampilkan semua postingan

12 Sep 2015

BINCANG HANGAT DENGAN CALON PENERIMA SAKRAMEN IMAMAT

BINCANG HANGAT DENGAN CALON PENERIMA SAKRAMEN IMAMAT

 

 


Sosoknya pertama kali saya lihat pada medio Desember 2014 lalu. Kala itu saya tengah ditugaskan meliput kegiatan seksi sosial panitia Natal yang tengah masyuk bekerja menyortir pakaian pantas pakai yang akan disalurkan ke 14 stasi di bawah naungan paroki. Beliau adalah salah satu dari sekian yang asyik bekerja, tak hirau dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Kesan saya ketika pertama kali melihat Kapusin yang kali ini profilnya diangkat dalam rubrik sosok adalah serius, pendiam, bahkan cenderung cuek. Bagaimana tidak, ketika saya harus mengambil gambar guna melengkapi tampilan artikel yang saya tulis, saya harus mengulang setidaknya hingga empat kali shoot agar semua objek yang ada di dalam foto memandang ke arah kamera. Itu pun akhirnya dengan bantuan lampu blitz yang mungkin menyilaukan hingga mau tidak mau, Kapusin yang satu itu merasa sedikit terganggu oleh kilatan blitz, baru kemudian memalingkan pandangan ke arah kamera.  

Fr. Ferdinand , OFMCap, lahir di Merbang, 25 Juni 1984. Pria yang sekilas memiliki paras serupa  artis peran Glenn Alinskie ini masih terkesan pelit bicara kala saya menghampirinya di Pastoran guna menjalani sesi wawancara. Ada sedikit ketegangan yang tersirat di wajahnya saat wawancara berjalan pada menit-menit awal. Hal ini rasanya sangat wajar mengingat sebelumnya kami memang belum pernah terlibat dalam obrolan dan setelah saya telusur lebih jauh, frater yang memiliki hobi bernyanyi lagu-lagu Malaysia dan mendaraskan Mazmur ini memang memiliki sedikit permasalahan dengan proses adaptasi, terutama adaptasi terhadap sosok baru di lingkungannya, namun jika sudah mengenal sosoknya lebih dalam, maka kesan hangat pun segera tersemat. “Tantangan terberat dalam diri saya adalah sosok saya yang tergolong pendiam, bagaimana saya yang pendiam ini harus bisa melayani umat yang mungkin saja nanti dalam perjalanan keimamatan saya harus seringkali mengalami mutasi. Saya dituntut harus mampu segera beradaptasi dengan lingkungan dan segala situasi,” begitu ujarnya.
Dalam perjalanan pendidikan kegembalaan, pembelajaran tentang berbicara maupun retorika diperoleh dan cukup membantu dalam mengatasi permasalahan sifatnya yang pendiam. “Saya yang pendiam ini banyak belajar untuk berbicara di depan umum pada saat menempuh pendidikan di Pematang Siantar. Kami seringkali harus presentasi pada saat perkuliahan berlangsung, dan pada tahun kedua kami diberi kesempatan mengajar, demikian juga di tahun ke tiga dan ke empat, dalam karya kerasulan, saya diminta untuk mengajar di Sekolah Minggu,” ujarnya.

Kira-kira 20 menit berselang, suasana wawancara pagi itu mulai terasa akrab kala tawanya berderai saat menceritakan pengalaman jenaka ketika menempuh pendidikan di kampus STFT Pematang Siantar. Layaknya remaja beranjak dewasa pada umumnya, Ferdi juga mengalami fase sedikit bandel dan lalai dalam belajar. Dunia hiburan di televisi sempat membuncah konsentrasi belajarnya hingga ia baru  merasa kalang kabut saat menjelang ujian akhir semester.    

Ditelisik mengenai momentum panggilan keimamatan dalam hidupnya, pria yang awalnya bercita-cita ingin menjadi guru ini perlahan mulai mengubah haluan masa depannya menjadi gembala saat duduk di bangku SMP. Kala itu seorang pamannya yang adalah seorang pastor meninggal dunia lantas sang ayah sempat berujar, “Nanti kamu menggantikan pamanmu menjadi pastor,” sejak saat itu bara kehidupan membiara perlahan tapi pasti mulai berkobar dalam dadanya. 

Ketertarikannya terhadap kehidupan membiara semakin mekar saat duduk di bangku SMA, ia tinggal di asrama di bawah naungan Kapusin. Sosok Ferdi remaja saat itu masih terlalu hijau untuk memahami berbagai ordo dalam kehidupan membiara dan baru mulai terbuka wawasannya saat memasuki tahun orientasi panggilan yang dijalaninya di Nyarumkop. Saat itu, ia mengaku begitu mengalami ketertarikan yang kuat pada Ordo Kapusin karena persaudaraannya yang sangat lekat. “Saya melihat karya mereka di kampung saya, pelayanan mereka juga sangat total. Selain itu jubahnya berwarna coklat, begitu sederhana, praktis dipakai untuk apapun juga, jubah pekerja. Hal lain mengapa saya memilih Kapusin karena adik kakek saya ada yang imam dan Kapusin juga, adik mamak saya juga suster sekarang menjadi pimpinan SFIC Pontianak.”  

Meski masih harus menempuh pendidikan lanjutan di STT Pastor Bonus, putra dari Bapak Vincentius Nyurai dan Ibu Yohana Ayu ini ternyata juga memendam hasrat mulia berkait dengan pendidikan dan keprofesiannya. “Jika diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di luar jalur keimamatan, saya sangat ingin mengambil spesialisasi keperawatan. Saya ingin merawat rekan-rekan pastor Kapusin yang sudah tua dan sakit,” ujarnya dengan nada bersungguh-sungguh. 

Kiranya perjalanan Frater Ferdi menuju tahbisan kekal sebagai imam masih harus melewati satu tahapan pendidikan. Besar harapan ditautkan agar bisa menuntaskan pendidikan tepat pada waktunya hingga impian serta cita-cita masa remajanya untuk menjadi seorang imam dapat terwujudkan. Doa kami selalu mengiringi setiap usaha dan langkahmu, wahai calon gembala baru. (Hes)     


Riwayat Pendidikan dan Kegembalaan
SDN 8 Merbang
SMPN 2 Belitang Hilir
SMA Maniamas, Ngabang
Tahun Orientasi Panggilan Nyarumkop
Postulan Sanggau Kapuas
Novisiat Gunung Poteng, Singkawang
STFT Pematang Siantar, Sumatera Utara
TOP. Er Paroki St. Fransiskus Assisi, Singkawang
STT Pastor Bonus, Pontianak     

2 Jul 2015

‘BULAN MADU’ SANG IMAM BARU

                                  ‘BULAN MADU’ SANG IMAM BARU

 


“Lebih susah bikin janji wawancara dengan Pastor ya, dari pada dengan Walikota.”

Demikian seloroh saya pada imam yang baru saja ditahbiskan pada akhir Januari 2015 itu. Sebenarnya hal ini cukup bisa dimaklumi mengingat para imam yang baru ditahbiskan biasanya mengalami masa ‘bulan madu’ dengan tugas imamatnya . Unik memang istilah bulan madu, seolah pengantin baru yang baru saja mengikat janji pernikahan dan disibukkan dengan aktivitas yang beraroma memetik sari manis kehidupan awal berumah tangga, demikian pula para imam yang baru ditahbiskan. Mereka menjalani aktivitas sebagai imam seusai mengucap kaul kekal untuk panggilan awal kegembalaan. 

Ada kisah menarik di balik wawancara saya dengan profil  imam yang pada edisi Likes kali ini diangkat menghiasi rubrik sosok. Pada awal penugasan, saya hanya diberitahu nama imam yang harus saya wawancarai. Sosok imam tersebut bernama Andreas Harmoko, OFMCap. Dari namanya, segera yang terlintas dalam benak saya adalah ingatan tentang seorang berkulit sawo matang, dengan sisiran rambut klimis, dan suaranya menggema  melalui TVRI atau RRI membacakan harga sembako, bawang merah serta cabe keriting dengan logat Jawa kental. Ya, yang terlintas saat itu adalah sosok menteri penerangan era Suharto. Otomatis paradigma saya yang terbentuk saat itu, saya akan dihadapkan pada sosok imam dari pulau seberang. Namun, di luar dugaan, ketika pertama kali saya menghubungi  via telepon imam yang harus saya angkat profilnya, suara beliau jauh dari kesan logat Jawa yang biasanya meskipun dipaksakan untuk terdengar normal tetap mengalami ‘keseleo’ pada pengucapan kata-kata tertentu. Untuk pertama, janji wawancara urung dilakukan karena pastor Harmoko memiliki mobilitas yang sangat tinggi dalam mempersembahkan misa perdana dari paroki satu ke paroki lain berkait tugas ‘bulan madu’ kegembalaan yang beliau emban. Lebih dari sebulan saya menunggu kesempatan untuk bertatap muka langsung dengan beliau. Akhirnya pada suatu malam di bulan Mei, saya berkesempatan menjumpai  pastor yang terlahir di Seringkong pada 30 Oktober 1984 itu di pastoran Paroki Singkawang, itu pun setelah dibantu temu janji oleh Pastor Gathot selaku pastor paroki.

Wajah beliau tersenyum hangat saat pertama kali tangannya saya jabat. Perbincangan santai lantas bergulir ditemani oleh pastor paroki dan seorang bruder yang saat itu sedang tidak bertugas melayani umat. Pada saat yang sama, saya mengutarakan kesan yang sebelumnya terlintas dalam pemikiran saya mengenai nama beliau. Jawaban yang cukup menggelitik lantas saya dapatkan. Dengan ringan beliau memaparkan sejarah nama yang disematkan pada dirinya memang ada kaitannya dengan sosok Harmoko yang pada era ’90-an menjabat sebagai menteri penerangan. Ya, kedua orang tua Pastor Harmoko, Bapak Petrus Tam dan Ibu Susana Serawati ini dulunya memang kader partai berbendera kuning tersebut. Jika oleh khalayak nama Harmoko seringkali diplesetkan sebagai akronim dari ‘Hari-hari omong kosong’, maka kita boleh berbangga bahwasanya gembala baru kita juga memiliki penjabaran akronim sendiri atas namanya yakni,  Harmoko; ‘Hari-hari omong kemuliaan ordo.’

Ketertarikan pastor yang merupakan anak pertama dari tiga bersaudara terhadap kehidupan membiara diawali saat SMA. Ia dibuat terpesona pada kesederhanaan Salib Tau yang dikenakan oleh para biarawan. “Salib itu dipakai dengan tali yang bersimpul-simpul, bukan dengan rantai,” ujarnya. Masih tentang awal ketertarikannya terhadap kehidupan membiara alasan lain yang cukup unik pun dilontarkannya, “Saya tertarik dengan orang-orang yang berjubah coklat itu. Penasaran bagaimana rasanya memakai jubah. Bayangkan saat jubah dipakai pastor dan berkibar-kibar ditiup angin, menimbulkan kesan dramatis,” ujarnya bersemangat. Diakuinya, ketika  memasuki  kehidupan membiara penuh dengan pertimbangan yang matang. “Selama setahun  setelah lulus SMA saya benar-benar berusaha mengenali arah yang saya tuju, pada akhirnya  dengan bantuan seorang bruder MTB saya disarankan menemui pastor paroki, pada saat itu Pastor Amandus Ambot. Oleh Pastor Ambot, saya dibimbing untuk menulis surat lamaran sebagai imam kepada Propinsial. Saya lantas  memberanikan diri mengirim surat lamaran, memantapkan pilihan memenuhi panggilan.  Puji syukur kepada Tuhan, surat lamaran saya dibalas dan saya terima tepat pada hari raya Pantekosta, 29 Mei 2003. Saat itu sangat luar biasa rasanya.”

Setelah menjadi bagian dari Ordo Kapusin, pastor yang memiliki hobi mengoleksi dan membaca buku-buku filsafat serta teologi ini menuturkan di setiap fase baik ketika menempuh pendidikan maupun saat bergelut dengan kehidupan dan komunitas membiara  penuh dengan tantangan. Ketakseragaman pola pikir antar individu sesama kapusin, mundurnya beberapa teman calon biarawan yang seangkatan karena satu dan lain hal, serta keberagaman budaya geografis tempat tinggal, menjadi sekian dari beberapa alasan mendasar yang dianggap tantangan. Berbagai tantangan tersebut lantas disikapi dengan kedewasaan. Memantapkan hati terhadap pilihan menjadi biarawan, menolerir berbagai hal dengan berusaha menempatkan juga membawa diri dalam komunitas, menyamakan persepsi serta mengesampingkan idealisme.  “Kami dituntut harus mampu mengerem diri. Apa yang kami kerjakan tidak hanya cukup berdasarkan teori yang diterima saat sekolah, kami dituntut hidup dan ‘hadir’ bersama komunitas namun tetap menjadi diri sendiri. Kami harus lebih banyak belajar dari yang tua, mendengar mereka karena para pembimbing dalam komunitas  sudah lama hidup dalam ordo, sudah langsung menjalani  kehidupan membiara dan karena pembimbing dalam komunitas tugasnya berat dalam membimbing kami.”, ujar  imam yang dulu sempat menjadi pembina pramuka itu penuh bijaksana.

Suaranya sempat menjadi lebih pelan, dan pandangannya sedikit menerawang  saat mengisahkan terdapat teman lama serta umat yang memandang dirinya secara berbeda karena label imam yang telah melekat pada dirinya. Ia berharap tak dipandang secara ekslusif dan bisa menjalani hari-hari selayaknya, tak  ‘berjarak’ dengan umat.

Masih di kesempatan yang sama, ketika ingatannya seolah diajak pulang ke masa pentahbisan, sinar matanya berpendar. “Saya harus berterima kasih pada warga Paroki Kuala Dua. Dengan kerja keras umat yang meskipun di kampung, namun mereka mengusahakan prosesi pentahbisan imam dengan sangat meriah. Saat itu saya dan kedua orang tua saya diarak menggunakan mobil yang dibentuk menjadi miniatur gereja.”, kenangnya.

Di akhir obrolan yang cukup menyenangkan, pastor yang memiliki motto ‘Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati,’ ini menuturkan harapannya. “Semoga panggilan imamat ini tetap dan kekal, semoga umat selalu mendoakan para imamnya dalam menjalankan karya kegembalaan, dan semoga umat dengan rela hati memberikan diri ataupun putera dan puterinya menjadi biarawan dan biarawati,” pungkasnya. (Hes) 

Riwayat pendidikan dan kegembalaan.
SDN Kuala Dua (1990-1996)
SMPK Kuala Dua (1996-1999)
SMUN 1 Kembayan (1999-2002)
Tahun Orientasi Panggilan (Nyarumkop, 2003-2004)
Postulat (St. Leopold Mandic - Sanggau Kapuas, 2004-2005)
Novisiat (St. Padre Pio, Gunung Poteng - Singkawang, 2005-2006)
Kaul Perdana (26 Juli 2006)
Post Novisiat (Tirta Ria - Pontianak, 2006-2007)
Sekolah Filsafat (STFT St. Yohanes - Pematang Siantar, 2007-2011)
Pelantikan Lektor dan Akolit (Biara Kapusin St. Fransiskus Assisi, 2010)
Tahun Orientasi Pastoral (Paroki Pusat Damai, 2011-2012)
Sekolah Teologi (STT Pastor Bonus, 2012-2014)
Kaul Kekal (Novisiat St. Padre Pio, 2 Agustus 2013)
Tahbisan Diakon (Sanggau Ledo, 24 Juli 2014)
Masa Diakonat (Seminari Menengah St. Paulus Nyarumkop)
Tahbisan Imam (Kuala Dua, 31 Januari 2015)
Tugas saat ini (Seminari Menengah St. Paulus Nyarumkop)

                    
                               

2 Jun 2015

MENGGAGAS MAKNA HIDUP DARI SUDUT PANDANG SANG USKUP

MENGGAGAS MAKNA HIDUP DARI SUDUT PANDANG SANG USKUP





                   Berbincang dengan sosoknya yang ekspresif, membuatnya serupa magnet, begitu energik sekaligus menarik. Monsignor Agustinus Agus, terlahir pada 22 Oktober 1949 di Lintang, Kapuas, Sanggau, Kalimantan Barat. Sang gembala umat yang ditahbiskan pada 3 Juni 2014 sebagai Uskup Agung di Keuskupan Agung Pontianak menggantikan pendahulunya Monsignor Hieronymus Herculanus Bumbun, OFM.Cap. Sebelum berkarya dalam tangan Tuhan di Keuskupan Agung Pontianak, ia lebih dahulu menjabat sebagai Uskup di Keuskupan Sintang.
                 Tak hanya cerdas, kesan hangat pun terpancar dari sosoknya yang mengaku menggemari tembang-tembang dari grup musik Koes Plus, D’lloyd dan Panbers.  Hal ini tampak ketika di tengah wawancara yang dilakukan redaksi LIKES pada kesempatan itu, beliau begitu terbuka melayani permintaan umat yang ingin mengabadikan momen bersamanya dalam slide-slide foto. Tak mengherankan, jika suatu ketika Anda berkesempatan untuk bertukar pikiran dengannya, maka prinsip hidup dan keramahannya tergambar seperti sosok pastor Almeida di film layar lebar besutan Hollywood, berjudul  Stigmata. 
  Berbincang tentang awal ketertarikan pada kehidupan membiara, diakui segalanya bermula ketika ketakjuban itu muncul tatkala ia berhadapan langsung dengan sosok misionaris asal Belanda. Ia yang saat itu masih kecil begitu terpesona pada pengabdian pastor dari belahan bumi Eropa tersebut. Dunia batinnya seolah berbisik bahwa orang Eropa yang begitu hebat dan maju saja mau menjadi pelayan umat bagi sesama, maka serta merta pula panggilan suara Tuhan seolah nyaring menggema dalam relungnya.
                 Banyak jalan membantu orang lain yang kurang beruntung secara ekonomi, namun ia lebih memilih jalan menjadi pastor karena sosok pastor dipandangnya dapat lebih total dalam melayani umat. Mengutip langsung pernyataannya, “Memandang kehidupan dari sisi paling logis tanpa mengesampingkan rohani, tidak cukup hanya berupa nasihat-nasihat kudus. Kesucian itu berhubungan dengan Tuhan. Kesucian nampak dari perbuatan. Seperti yang tertera dalam Injil  Matius, Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”
            Mata beliau beberapa saat sempat menerawang saat ditanya mengenai kerikil dalam perjalanan kegembalaannya. Lantas dengan suara lirih, Monsignor berusia 65 tahun ini memaparkan saat terberat itu menghampiri ketika keinginannya ditahbiskan sebagai imam dengan disaksikan ayahanda tercinta tak terwujud. Beliau sempat berujar, pada saat itu terlintas pemikiran paling manusiawi, “Jika Tuhan betul-betul memilih saya, biarkan ayah saya melihat pentahbisan saya sebagai imam.”, namun kiranya sang penguasa perasaan manusia berkendak lain. Di saat-saat paling getir itu, munculah penguatan dari sesama biarawan yang mengutip Injil Lukas 9:60, “Biarlah orang mati menguburkan orang mati; tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah kerajaan Allah di mana-mana.”    
            Di akhir obrolan singkat namun hangat, sang gembala umat yang juga memiliki kegemaran bermain bulutangkis ini mengetengahkan harapannya yang berkaitan dengan nafas gereja Katolik, “Semoga  di masa-masa yang akan datang, gereja lebih mendekatkan diri dengan pemerintah, gereja dapat lebih mendunia sekaligus lebih membumi.”, pungkasnya. (Hes)

         

1 Jun 2015

LEBIH DEKAT DENGAN SANG GEMBALA UMAT


LEBIH DEKAT DENGAN SANG GEMBALA UMAT


“Perkenalkan, nama saya Gathot, singkatan dari Ganteng Total…”, umat yang awalnya meraba, menerka-terka seperti  apa sifat sang gembala barunya, sontak tak dapat menahan tawa mendengar celetukan bernada humor dari dia yang pagi itu memimpin misa di Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi Singkawang.
Sosoknya sederhana, ramah dan begitu menyejukkan dalam tutur kata serta tindakan, layaknya paradigma umum  khas gembala umat. Terlahir di salah satu desa yang begitu terkenal dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh yayasan Katolik sejak zaman Belanda, Kweekschool  (kini SMA Pangudi Luhur Van Lith, Muntilan) pada 16 April 1969, Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFMCap, terlahir sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara, putra pasangan (alm.) Yohanes Sardjo dan (almh.) Elisabet Sunatri. Ia menghabiskan sebagian masa kecilnya di Ngawen, Muntilan sebelum akhirnya harus mengikuti  jejak sang ayah yang berpindah tugas ke kota Gethuk, Magelang.



Sejak kecil, ia telah begitu dekat dengan kehidupan para biarawan, tak mengherankan memang, selain karena Muntilan dikenal sebagai daerah yang kental dengan nafas Kristiani, almarhum ayahandanya merupakan salah satu prodiakon di lingkungan gereja Katolik stasi Ngawen. Pria yang ketika remaja begitu menggemari lantunan suara emas Dian Pramana Putra, Dedi Dukun dan memiliki kesan mendalam terhadap tembang Nostalgia SMA-nya Paramitha Rusadi ini mengaku, ketertarikannya terhadap kehidupan membiara  semacam love at the first sight (cinta pada pandangan pertama). Segalanya bermula ketika  ia melihat Romo (Pastor) yang memimpin misa mengenakan jubah putih, tampak begitu gagah dan tentunya mangkus memesona Gathot kecil. Keterpesonaan itu yang menggiringnya memilih jalan yang kini mendapuknya menjadi Pastor Paroki Gereja Santo Fransiskus Assisi Singkawang. 
Dalam perjalanan karirnya, silih berganti hal tak terlupa dan menarik seolah membentuk bingkai tersendiri bagi slide kehidupan pria berkulit sawo matang pehobi jogging ini, di antaranya saat pentahbisan imam pada  10 Oktober 1998, manakala ia tiarap memeluk bumi, mengantarnya pada kesadaran tentang esensi kerendahan hati, atau sepenggal kisah yang sulit diterjemahkan dari segi perasaan saat ia tak dapat melihat sang ayahanda untuk terakhir kali karena tengah menuntaskan studi di Roma, atau ketika sosoknya harus memimpin misa tanpa altar, umat duduk hanya beralas tikar dan masih berbonus umat yang mengikuti misa sambil merokok, syahdan sekelumit cerita jenaka tatkala ia seperti kebanyakan remaja pada umumnya yang memiliki sifat jail “menyelundupkan” radio ke Seminari padahal hal tersebut dilarang keras untuk dilakukan. Segalanya terasa sangkil membentuk pribadinya sebagai gembala.  
“Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3:30) motto itu yang selalu menjadi pegangannya dimanapun ia berada. Di sela-sela obrolan, Pastor Gathot mengungkapkan, “Terkadang dari sisi manusiawi saya selaku romo atau pastor, kerap muncul rasa eksklusivisme,  ingin diperlakukan lebih istimewa dari orang lain. Saya masih terus-menerus mempelajari esensi rendah hati”. Ia mengakui, perasaan tersebut hingga kini masih seringkali menjadi batu sandungan dalam kehidupan membiara dan hal itu murni berasal dari internalnya.
Ketika ditanya mengenai harapan terhadap paroki yang kini digembalainya, beliau secara tenang dan penuh bijaksana mengungkap keinginan agar umat yang digembalai lebih militan terutama dalam hal keluarga. Ini secara otomatis akan berpengaruh pada kehidupan gereja. Hal serupa diungkapnya untuk kaum muda, “Saya berharap kaum muda Katolik menjaga militansi ke-Katolikannya.”, pungkasnya. (Hes)
Riwayat Pendidikan:
SD Kanisius Ngawen, Muntilan.
SMP Santo Yosef Mertoyudan, Magelang.
SMA Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang.
Postulat Sanggau Kapuas, Kalimantan Barat.
Novisiat Parapat, Sumatera Utara.
STFT Santo Yohanes Pematang Siantar, Sumatera Utara.
Universitas Gregoriana Roma, Italia.

Riwayat Karir
Tahbisan 10 Oktober 1998 di Bengkayang
Paroki Jangkang, Keuskupan Sanggau (1998 − 2001)
Melanjutkan pendidikan di Universitas Gregoriana Roma, Italia (2001− 2003)
Post Novisiat Singkawang (2003 − 2004)
Biara Kapusin St. Lorenzo (2004 − 2011)
Balai Karangan, Sanggau (2011 − 2013)
Paroki Singkawang (2013 – sekarang)



    


31 Mei 2015

MENGGALI ESENSI PERAYAAN MUSIM SEMI DARI PERSPEKTIF PASTOR TONI

MENGGALI ESENSI PERAYAAN MUSIM SEMI DARI PERSPEKTIF PASTOR TONI

Pribadi yang hangat, wajah memikat, dengan senyum sumringah senantiasa merekah kala menghadapi siapapun lawan bicaranya. Setidaknya kesan itulah menjadi gambaran awal ketika pertama kali obrolan ringan dilakukan di siang bergerimis tipis itu. Terlahir di Bumi Khatulistiwa pada 24 Maret 1964 dengan nama Tan Nyap Tek yang kini lebih dikenal sebagai Pastor Paulus Toni Tantiono, OFMCap. Penikmat musik klasik yang berhasil membesut gelar doktoral dari Universitas Gregoriana Roma ini, berkenan membagi kisah Imlek masa kecilnya serta merta tinjauan mengenai hal serupa di usia matangnya.








Tradisi Imlek dalam kenangan slide masa kecil Toni seperti halnya bocah pada umumnya yang berkisar pada angpau, makanan enak, serta pakaian baru.  Kegembiraan penuh syukur dalam keluarga menjadi hal mutlak yang sungguh menawan ingatannya. Binar matanya tampak begitu cemerlang saat ingatannya seolah digiring pulang ke masa lalu, mengisahkan kenangan Imlek yang menjadi bagian memori jangka panjangnya. “Imlek semasa kecil hanya dirayakan di sekitar rumah saja, sekarang Imlek dirayakan  jauh lebih terbuka. Warga Tionghoa adalah bagian dari bangsa ini, interaksi harus ada, Tionghoa bagian dari Indonesia,” paparnya.
Seiring pertambahan usia, dibarengi kematangan jiwa, serta kemapanan tingkat pendidikannya, pergeseran makna Imlek dalam diri Pastor Toni semakin mengemuka. Kebermaknaan yang mendasar mengenai perayaan Imlek digali melalui garis sejarah dan dituturkan melalui perspektifnya imamatnya, “ Imlek esensinya Chun Jie yang berarti perayaan musim semi, awal kehidupan. Konsili Vatikan kedua mengintegrasi adat dan iman. Perayaan liturgi dalam nuansa Imlek senada merayakan syukur atas kelangsungan kehidupan sehari-hari. Tak pelak gereja menyeleksi adat dan budaya, dan perayaan Imlek dipandang sebagai suatu hal yang tidak bertentangan serta selaras dengan ajaran gereja, budaya positif perayaan syukur atas berkat selama musim semi.”
Kala ditelisik pandangannya mengenai keterkaitan perayaan Imlek dan masa pertobatan yang jatuh berdekatan, anak ke dua dari tiga bersaudara, pehobi olah raga jalan cepat ini dengan gamblang memaparkan, “Bahwasanya pertobatan merupakan kesempatan dan rahmat  untuk melihat kembali hidup di masa lalu, mengevaluasi, mengoreksi masa lalu, dan menyadari masih ada hal yang harus diperbaiki. Hal ini berkaitan dengan esensi Imlek sendiri yang merupakan perayaan musim semi, awal kehidupan. Dalam masa pertobatan kita berkesempatan mengevaluasi masa lalu yang akan kita jadikan titik tolak mengawali kehidupan yang lebih baik,” pungkasnya mengakhiri obrolan singkat. (Hes)
Riwayat Pendidikan dan Kegembalaan
TK Melati Pontianak, 1970
SD Melati dan Dahlia Pontianak, 1971 1976
SMP Bruder Pontianak, 1977 1980
SMA St. Paulus Pontianak, 1980 1983
Seminari Menengah Pematang Siantar, 1983 1984
Novisiat Kapusin Parapat, 1984 1985
STFT St. Yohanes, Pematang Siantar, 1985 1989
Tahun Orientasi Pastoral, Ngabang, 1989 1990
STFT St. Yohanes, Pematang Siantar, 1990 1992
Ditahbiskan di Pontianak, 24 Agustus 1992
Ditempatkan di Bengkayang, Agustus Desember 1992
Ditempatkan di Tebet,  Jakarta Selatan, Januari  Juni  1993
Melanjutkan studi S2 di Institut Kepausan Biblicum, Roma, Italia, 1993 1997
Mengajar sebagai dosen di STFT Santo Yohanes, Pematang Siantar, 1997 2004
Melanjutkan studi S3 di Universitas Gregoriana, Roma, Italia, 2004 2008
Mengajar sebagai dosen di STFT St. Yohanes, Pematang Siantar, 2008 2010
Dikirim ke Tiongkok untuk belajar bahasa dan budaya Tiongkok sekaligus bermisi, 2011 2013
Kembali ke Pontianak sebagai pastor rekan di Katedral Pontianak, 2014 sekarang.