Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
Tampilkan postingan dengan label Cakrawala. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cakrawala. Tampilkan semua postingan

19 Mar 2016

MITOS VALENTINE’S DAY PENGORBANAN CINTA SUCI VALENTINE

MITOS VALENTINE’S DAYPENGORBANAN CINTA SUCI VALENTINE


Google Images.Jpg


Valentine’s Day konon berasal dari kisah hidup seorang Santo (orang suci dalam Katolik) yang bernama Valentine. Valentine adalah seorang Pastor yang hidup pada abad ketiga di Roma. Pada waktu itu, Roma dipimpin oleh Kaisar Cladius II. Kaisar tersebut terkenal sangat kejam dan  Ia berambisi agar kerajaan Romawi terus berjaya. Kaisar Cladius II membutuhkan bala tentara yang kuat, kokoh dan terampil tak terkalahkan. Menurut mitos, Kaisar mewajibkan para pemuda yang masih suci (belum pernah menikah) untuk masuk ke dalam pasukan bala tentara tersebut. Maka, Sang Kaisar melarang kepada semua pemuda di Roma untuk tidak menjalin hubungan dan menikah dengan wanita.

Keputusan Sang Kaisar di mana setiap titahnya merupakan hukum yang sama sekali tidak boleh ditawar-tawar sehingga menggegerkan rakyatnya. Banyak yang sesungguhnya menolak hal ini, namun mereka tidak berani untuk menentangnya secara terang-terangan. Karena setiap yang melanggar titah Sang Kaisar taruhannya teramat mahal: nyawanya sendiri.

Namun di luar kelaziman pada zaman itu, Santo Valentine diam-diam menentang keputusan Kaisar Claudius dan menyebutnya sebagai hal yang tidak manusiawi. Secara diam-diam, tokoh gereja ini tetap menikahkan pasangan muda yang saling mencintai. Aksi ini diketahui Kaisar yang segera memberikannya peringatan, namun Ia bergeming dan tetap memberkati pernikahan dalam sebuah kapel kecil yang diterangi cahaya lilin, tanpa bunga dan tanpa kidung pernikahan.

Hingga suatu malam, Ia tertangkap basah memberkati pernikahan sepasang insan. Pasangan itu berhasil melarikan diri, namun malang ia tertangkap. Ia dijebloskan ke dalam penjara dan divonis hukuman penggal. Bukannya dihina, ia malah dikunjungi banyak orang yang mendukung pengorbanannya menyatukan cinta kedua insan di dalam janji suci pernikahan kudus di hadapan Tuhan.

Mereka yang mendukung aksinya banyak mengirim bunga dan pesan berisi dukungan di jendela penjara. Salah seorang yang percaya pada kekuatan cinta itu adalah seorang putri penjaga penjara. Sang ayah mengizinkannya untuk mengunjungi Santo Valentine di dalam penjara. Tak jarang mereka berbicara selama berjam-jam. Gadis itu menumbuhkan semangat dan kekuatan bagi Santo Valentine bahwa apa yang dilakukannya adalah hal yang benar, suatu tindakan yang membela kebenaran dan keadilan. 

Pada hari saat ia dipenggal “14 Februari” Ia menyempatkan diri menuliskan sebuah pesan teruntuk sahabatnya putri penjaga penjara atas perhatian, dukungan dan bantuannya selama di penjara. Di akhir pesan itu Ia menuliskan “Dengan Cinta, dari Valentine-mu” 

Cerita ini menjadi salah satu mitos yang paling dikenang, hingga pada 14 Februari 496 M Paus Gelasius meresmikan hari itu sebagai hari untuk memperingati Santo Valentine (The World Book Encyclopedia 1998). Walau demikian, Paus Gelasius sendiri mengakui bahwa sebenarnya tidak ada yang diketahui secara pasti mengenai martir-martir ini. Namun Gelasius tetap menyatakan tanggal 14 Februari tiap tahun sebagai hari raya peringatan Santo Valentine (Valentinus). 

Hari Valentine yang oleh Paus Gelasius dimasukkan dalam kalender perayaan gereja, pada tahun 1969 dihapus dari kalender gereja dan dinyatakan sama sekali tidak memiliki asal-muasal yang jelas. Sebab itu Gereja melarang Valentine’s Day dirayakan oleh umatnya. Walau demikian, larangan ini tidak ampuh dan Valentine’s Day masih saja diperingati oleh banyak orang di dunia hingga sekarang.

Hari Valentine ini diharapkan kepada kita umat Katolik untuk meneladani karya iman Santo Valentine akan cinta agape (cinta yang tulus, benar-benar suci, tidak berpamrih dan sarat akan pengorbanan). Cinta agape merupakan cinta yang secara total kepada sesama yang kerap identik dengan cinta Tuhan kepada ciptaan-Nya. Kutipan ayat emas yang akan menuntun dan menjiwai hidup kita dalam mencintai layaknya cinta kasih Tuhan tanpa batas yang murah hati dalam mengasihi manusia  :

1 Kor 13 : 1 -7 : Kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah   dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. 
Marilah kita menumbuhkan bunga cinta kasih Tuhan di dalam hati serta memberikannya kepada sesama. 

Selamat merayakan Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day). Banyak cinta kasih dalam hidup kita semua. (SHe)

(Disadur kembali dari sumber : wikipedia dan 1001 kisah teladan.com)

Google Images.Jpg


15 Jan 2016

SETAHUN BERSAMA, LIKES SEBAGAI MEDIA DAN JURNAL PEMULA

SETAHUN BERSAMA, LIKES SEBAGAI MEDIA DAN JURNAL PEMULA




“………………………………..
Pena dan penyair keduanya mati, berpalingan.”

(Chairil Anwar dalam Nocturno (fragment))


Desember 2014 Edisi Perdana, Awal Tahap Belajar Bersama

Penggalan puisi di atas jika ditinjau dari kacamata sastra menunjukkan adanya keterkaitan besar pada kedua objeknya, pena dan penyair. Sekadar meminjam istilah saja, ketika hal serupa dihubungkan dengan penulis dan media. Seseorang belum dianggap penulis jika tulisannya belum dibaca orang lain. Persoalan tulisan yang dihasilkan berbobot atau tidak, maka kembali pada kemampuan penulisnya sendiri dalam mengemas pemikiran atau hal yang diberitakan dan merangkainya dengan estetika bahasa menjadi satu kesatuan yang layak baca. Hal serupa berlaku pula pada media yang memuat karya penulis. Suatu media akan diperhitungkan jika mampu memberikan kontribusi yang dibutuhkan guna memuaskan dahaga informasi pembacanya. Masih ada kaitan dengan penulis dan karyanya, media dan isinya, pada Desember 2014 lalu, menjadi satu langkah nyata dari sekelompok orang yang disatukan dalam ide pengejawantahan media informasi seputar paroki. Hanya dalam hitungan pekan, bermodal tekad dan kemauan, edisi perdana LIKES diluncurkan. Kala itu awak redaksi digawangi sebelas sukarelawan. Masing-masing dipercaya untuk menangani bidangnya. LIKES sendiri bagi redaksi tak lain sebagai wadah belajar dan media penyalur hobi menulis. Perkara edisi perdana muncul pada Desember 2014, LIKES lebih menekankan pada berbagai kegiatan gereja di masa Natal. 

Maju Bersama dalam Dinamika

Bukan perkara mudah menyatukan pemikiran dari beberapa kepala, bukan hal gampang mencocokkan waktu bertemu dengan beberapa individu, bukan masalah ringan membagi jadwal liputan dan kapling tulisan mengingat masing-masing personil memiliki beragam kesibukan. Mendewasa dalam dinamika, menyeimbang dalam sikap saling pengertian, menjadi eksis dalam kesadaran tentang konsistensi kebersamaan, hal tersebut menjadi landasan kuat untuk selalu mewujudkan setiap edisi buletin paroki. Berbagai  rintangan kecil menjadi aral penerbitan LIKES. Gejolak paling menjadi riak dalam proses penerbitan LIKES timbul manakala bongkar pasang personil yang menangani  pe-layout-an harus dilakukan. Dalam kurun waktu satu tahun, pada tujuh edisi yang telah diterbitkan, tercatat sudah empat layouters menanganinya. Hal tersulit dihadapi kala harus kehilangan selama-lamanya personil  layouters  untuk edisi kedua yang  berasal dari kalangan profesional. Kekalutan sempat benar-benar  melanda segenap awak redaksi LIKES, namun berkat Tuhan kiranya selalu melingkupi niat baik yang lantas dijawab-Nya dengan hadirnya layouters yang baru.           

Berat Sama Dipikul, Ringan Berdampak ‘Ampul’

LIKES, media sederhana wadah belajar bagi para penulis pemula, kini di usianya yang baru satu tahun  digawangi oleh 12 orang awaknya. Ada banyak keterbatasan yang dimiliki sebelas orang pencetus awalnya hingga dengan berbagai pertimbangan, redaksi mengajak rekan-rekan lain yang memiliki hobi dan potensi serupa penunjang kokohnya sebuah media untuk bergabung di dalamnya. Bongkar pasang personil menjadi hal tak asing bagi media yang tak dimungkiri masih penuh kekurangan di sana-sini.  Dengan digarap 12 orang kru, rasanya pekerjaan redaksi dalam mewujudkan eksistensi  informasi paroki semakin teratasi. Ya, beban berat yang sama dipikul tentunya akan berdampak ‘ampul’ (kecil dan ringan).     

Menyuguhkan Berita, Membaca  Pembaca

Selama setahun, berbagai hal berkaitan aktivitas lingkup Paroki Singkawang diberitakan. Tercatat enam edisi sebelum edisi terakhir yang kini berada di tangan pembaca ini diluncurkan. Dalam dinamikanya, sekali dalam sebulan awak redaksi dikumpulkan guna membahas isi buletin ke depan. Berbagai informasi yang diperoleh dari pastor paroki menjadi modal dasar lingkup pemberitaan kami. Tidak hanya itu, informasi kegiatan dari pembaca di seputar paroki pun menjadi ‘undangan’ khusus bagi  kru redaksi untuk mewujudkan suatu informasi.   

Tak Ada Gading yang Tak Retak, Tak Ada Donatur LIKES Tak Naik Cetak

Sebagai media berumur batita (bawah tiga tahun), LIKES tidak pernah lepas dari kekeliruan maupun kesalahan. Salah cetak, luput dari proses pengeditan, kekinian berita yang kadang  dipertanyakan,  hingga konsistensi waktu penerbitan sebuah media yang sifatnya berkala. Meski tercatat pernah satu kali mengalami keterlambatan penerbitan namun dengan segenap hati, tenaga dan pikiran, redaksi selalu berusaha menjumpai pembaca setia tepat pada waktunya. Tak dapat dimungkiri pada edisi perdana LIKES, kekurangan masih terserak di sana-sini, baik dari segi isi maupun tampilan, melalui tahapan mendengarkan masukan, saran dan kritikan dibarengi perbaikan, maka perubahan perlahan-lahan lantas dilakukan. Edisi perdana juga terbit berkat kegigihan dari seksi usaha dana yang harus ‘bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Mencari pemasang iklan dahulu, barulah terbit kemudian.’ Dalam setahun perjalanan, lagi-lagi seksi usaha danalah yang menggeliat dalam sepak terjang. Ranum dan manis hasil yang didapatkan. Hingga tujuh edisi berjalan segala yang berkaitan dengan pendanaan disokong sepenuh-penuhnya oleh para donatur yang berperan. Di usianya yang pertama LIKES telah mengukuhkan diri sebagai salah satu bagian dari paroki.       

Di Kemudian Hari Ada Regenerasi

Menuntaskan dahaga informasi pembaca yang tak kenal batas ruang dan waktu sungguh menjadi kenikmatan tersendiri bagi redaksi. Terdapat kepuasan mana kala LIKES ditunggu dan dipertanyakan tentang waktu penerbitan oleh pelanggan, itu artinya kehadiran kami sungguh dinantikan. Namun tetap ada yang mengganjal mengingat keberlangsungan media yang terbit dua bulanan ini digawangi oleh generasi yang secara usia dapat dikatakan matang. Memang usia tidak bisa menjadi alasan untuk produktivitas seseorang, namun sungguh, mimpi kami dari pihak redaksi di kemudian hari  ada regenerasi, agar media informasi paroki berbanderol LIKES ini tetap kokoh berdiri. 

Pembaca Tak Hanya Membaca  

LIKES adalah media dan jurnal pemula. Sejak awal berdiri, redaksi tak putus-putus mengundang pembaca untuk ikut berkarya di dalamnya. LIKES bukan hanya milik redaksi. Seluruh pembaca memiliki hak berkarya di dalamnya. LIKES merupakan wadah penampung kreativitas, tempat belajar, dan media penyampai informasi. Didasari tujuan awal terbentuknya, maka redaksi mengajak pembaca untuk tidak hanya membaca, namun terlibat secara aktif dalam mewujudkan eksistensi media informasi tercinta kita ini. (Hes)   



MALAIKAT TANPA SAYAP ITU BERNAMA PINGKAN

MALAIKAT TANPA SAYAP ITU BERNAMA PINGKAN 




“Namun tak kaulihat… terkadang malaikat, tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan...”

Kiranya kutipan lagu berjudul Malaikat Juga Tahu yang dinyanyikan oleh Dewi Lestari begitu sesuai untuk menggambarkan sosoknya yang mungil namun sangat cekatan kala bersama ibu dan saudara perempuannya mengemasi tumpukan Madah Bhakti yang berhamburan usai dipergunakan pada saat misa. Skolastika Pingkan, atau Pingkan, begitu ia biasa disapa, ia adalah putri dari Ibu Armey Pande dan Bapak Yohanes Rusyanto. Pelajar kelas VII SMP Bruder ini cukup menyita perhatian. Jika anak seusianya pada umumnya segera beranjak pulang seusai menghadiri perayaan Ekaristi, atau memilih tinggal di gereja untuk sekedar ber-selfie, maka gadis yang mulai menginjak masa remaja ini meluangkan waktu yang ia miliki untuk mengemaskan tumpukan Madah Bhakti yang lebih sering dikembalikan sekenanya atau ditinggalkan begitu saja oleh pemakainya di bangku-bangku gereja. Belum lagi sampah bungkus permen atau makanan, hingga tissue yang tak luput terserak ditinggal para konsumennya,  pun demikian pada wadah kolekte yang kadang tergeletak begitu saja dibiarkan usai digunakan. 

Setiap Minggu usai misa ke dua, cermatilah orang-orang yang berada di gereja, maka indra penglihatan kita akan segera mendapati sosok gadis mungil ini ditemani ibu dan kakak perempuannya (Fransiska Aneke) tengah sibuk berbenah tumpukan Madah Bhakti. Kegiatan yang rutin dilakukannya ini kira-kira sudah berjalan dua tahun. Selama sekitar setengah jam setiap hari Minggu usai misa ke dua, Pingkan meluangkan waktunya untuk ‘melayani’ gereja. Ketika ditanya apa yang melatari tindakannya, dengan polos ia berujar, “Karena melayani Tuhan bisa dari tindakan kecil seperti ini.” Ya, tindakan kecil namun nyata, begitu berharga dan  dampaknya bisa dirasakan langsung oleh sesama. 

Pernahkah kita membayangkan betapa repotnya koster jika masih harus disibukkan dengan rutinitas tambahan mengemasi Madah Bhakti usai digunakan, memunguti sampah yang sengaja ditinggalkan di rumah Tuhan, hingga membereskan berbagai peralatan sederhana pendukung aktivitas gereja. Pernahkah kita membayangkan bagaimana keadaan gereja jika ketakpedulian kita atas berbagai ketidakberesan masih terus menerus kita lakukan jika tidak ada sosok ‘malaikat tanpa sayap’ seperti Pingkan? 

Untung ada Pingkan, ya, untung ada Pingkan, namun bukan berarti kita bisa semakin tidak peduli ketika merasa ada sosok lain yang dengan ikhlas membereskan ketidakteraturan yang kita timbulkan. Ada benarnya apa yang dikatakan Pingkan dengan lebih menyadari bahwa tindakan kecil namun berarti melayani Tuhan, setidaknya dengan timbul kesadaran untuk merapikan ketidakberesan, kita bisa meringankan rutinitas Pingkan. (Hes)            



ISTIMEWANYA MENJADI ANAK PPA

ISTIMEWANYA MENJADI ANAK PPA



Suasana sore yang begitu bersahabat menyertai perjumpaan saya dengan salah satu anggota dari Putra-Putri Altar (PPA), atau yang sering disebut misdinar yang dalam istilah gerejaninya disebut Alkolit (latin). Nama PPA ini sudah tidak asing lagi di telinga Umat kristiani. 

PPA atau misdinar dikenal sebagai para remaja yang berjiwa sosial yang dapat dijumpai pada saat perayaan misa dengan pakaian yang khas  dan menjadi penuntun jalan bagi imam yang memimpin perayaan liturgi. Dengan semangat yang membara dalam perbincanganya ketua PPA Santo Fransiskus Assisi Singkawang, dengan pemilik akun BlackBerry Messanger (BBM) yang bernama Nikolas Gratia atau lebih akrab disapa Gagas, berbagi cerita selama menjadi Putra-Putri Altar. Menurut Gagas sendiri Putra-Putri Altar atau misdinar itu sudah menjadi bagian dalam dirinya karena sejak duduk di bangku kelas 4 SD. Ia sudah bergelut dengan misdinar karena menurut Gagas untuk menjadi anggota PPA itu merupakan panggilan dari Tuhan. Salain itu menjadi misdinar suatu kebangaan tersendiri dengan mengunakan baju warna-warni sesuai dengan fungsinya tidak semua anak dapat melayani Tuhan seperti yang dilakukan oleh PPA.

Selain membantu para Imam dalam melayani misa, anggota PPA yang notabene merupakan anak usia remaja SD dan SMP pada umumnya juga  mempunyai banyak potensi seperti di bidang tarik suara dan memainkan alat musik. Hal itulah yang menjadi salah satu nilai plus bagi anak-anak PPA karena selain melayani Tuhan mereka juga dapat mengembangkan bakat mereka. Dalam perbincangan, Gagas lebih menekankan untuk adik-adik PPA dapat menjaga sikap pada saat ibadat atau kebaktian liturgi khususnya perayaan ekaristi,  serta mewajibkan mereka tahu fungsi dan peran dalam bertugas dan memahami apostolik dari PPA itu sendiri.



Oleh sebab itu keinginan yang sangat besar untuk dapat menggerakkan pemuda,  remaja khususnya untuk melayani gereja dalam ibadat atau kegiatan liturgi karena gereja sangat membutuhkan generasi penerus remaja PPA yang sebentar lagi akan bermetamorfosis menjadi anak-anak dewasa agar gereja tidak menjadi kering. 

Adapun kegiatan rutin yang sering dilakukan anak PPA seperti rapat dan latihan setiap usai perayaan misa kedua dengan tujuan penentuan tugas pada perayaan liturgi yang akan datang contohnya untuk saat ini seperti latihan tablo untuk pemberkatan Gerbang Kerahiman Ilahi di depan pintu utama gereja. Harapan ke depannya PPA dapat berkembang dan lebih maju serta dapat dikenal lebih luas lagi dan tidak dipandang remeh meskipun kebanyakan angotanya anak-anak remaja. PPA Santo Fransiskus Asisi juga mempunyai akun instragram tersendiri yang dapat diakses di PPASTTARSISIUSSKW. (Adrian)





Penantian Embun Natal

Penantian Embun Natal

Image by google


Karya Pena : Santo Satriawan

Jauh...
Sendiri...
Hanya tangan dan mata
Saling berkontak fisik dan batin
Aku jauh dan sendiri
Ingin ku berjumpa dan bersua
Ayah.. Ibu..
Aku di hening detik penantian

Ingin segera ku hempaskan kaki dari pijakan saat ini
Namun anakmu sedang berjuang melawan dunia
Melawan kemiskinan dan kebodohan
Walau tangan tak bisa saling berjabat
Walau mata tak bisa saling menatap
Tapi aku yakin, kita satu di dalam doa yang sama
 Di dalam penantian embun Natal.






15 Nov 2015

Menunggu Dan Merindu

Menunggu Dan Merindu

Karya Pena  :  Sr. Maria Magdalena OSCCap

Google Images.jpg


Maria, Engkau penuh rahmat Allah
Engkau, satu-satunya wanita yang istimewa
Engkau, dipilih menjadi Bunda
Sang Juru Selamat dunia

Maria Engkau tangkai Gloria Allah
Tundukkan ranting bahagiamu
Sharingkan kelimpahan kurniamu
Buah Roh Kudus bersemayam tentram dalam rahimmu

Maria, hantarkan aku ke Putramu
Bagaikan matahari dalam jiwaku
Menyoroti setiap sudut kegelapanku
Hingga terang merekah dihidupku

O, Yosef setiawan
Kau buah kearifan Allah
Pengasuh mulia keluarga kudus
Bapa sahaja yang tulus

Mempelai Bunda Allah yang suci
Pendamping Maria Perawan murni
Pecinta kesederhanaandan rendah hati
Bapak bijaksana dan teguh hati
Terpujilah Maria, Yosef, orang tua yang kudus
Engkau menyiapkan dan menantikan putramu
Penuh cinta kasih, mencari perteduhan dan penampungan
Untuk kedatangan, kehadiran, kelahiran putramu

Datanglah Tuhan, Juru Selamat dan Penebusku
Betapa hamba rindu, menunggu dan menantiMu
Penuh harap, siap siaga dan berjaga-jaga
Menyambut kedatanganMu O, Juru Selamatku

Kusadari tak layak dan tak pantas
Jiwaku yang miskin, papa dan hina
Hidupku yang lemah dan rapuh
Kotor oleh noda dosa

Ku tetap siap sebuah tempat
Persinggahan, perkemahan, penampungan, dan perteduhan
Dikala Maria dan Yosef mencarinya
Untuk kelahiran Juru Selamat dan Penebus dunia

O, Maria dan Yosef
Sudilah singgah, berkemah dan tinggalah
Di jiwa, hati dan hidupku
Inilah aku, apa adanya aku

Supaya paduan kudus ada di jiwaku
Sang kanak-kanak suci mencuci hatiku
Anak Kudus Maha Tinggi meraja dihidupku
Bayi Ilahi menjadi kedamaian dan keselamatanku

 


6 Nov 2015

Beata Magdalena Martinenggo

Beata Magdalena Martinenggo

Google Images.Jpg

Beata Magdalena dibaptis dengan nama Margareta Martinenggo. Dia adalah anak bungsu  dari keluarga bangsawan Leopardo Martinenggo Graf dan Margarita Seccly. Dia dibaptis pada usia 5 tahun dan pada usia 10 tahun ia tinggal di Biara Ursulin untuk menerima pendidikan dan pengetahuan. Selama berada di Biara dia hidup dalam kesunyian, kehidupan batinnya mendalam dan siang malam berdoa. Dia sering berlutut di depan Salib sambil memegang salib ditangannya dan menciumnya. Dengan cara yang polos dia berbicara dengan Yesus berjam-jam lamanya, kadang-kadang ia minta ampun atas dosa-dosanya dan dilain kesempatan ia mohon agar dipenuhi cinta Ilahi.

Terkadang dia minta agar disalibkan bersama Yesus dan sering juga dia mempersembahkan dirinya sebagai kurban pelunas bagi kaum pendosa. Pada usia 10 tahun dia mengikat diri kepada Yesus hidup dalam kesucian sebagai mempelai satu-satunya, baginya mencintai Yesus harus juga mencintai Salib dan mahkota pengantin baginya adalah mahkota duri. Sejak kecil dia sudah menjumpai salib dalam hidupnya. Salib itu antara lain:

  • Dia sering diganggu oleh setan yang mengejutkan dengan macam-macam bayangan.
  • Dia pernah dilempar ke jalan oleh kuda yang ditumpanginya.
  • Kegelisahan merenggut kedamaian dalam hatinya ketika dia menjatuhkan hosti pada komuni   pertama, sehingga dia mengambil hosti itu dengan lidahnya,  dia menganggap itu sebagai   siksaan atas dosa-dosanya.
  • Di Asrama dia pernah menghadapi tantangan besar yakni dijauhkan dari menyambut komuni.
  • Ketika dia mengucapkan janji setianya dengan maksud untuk menjaga kesucian jiwa-raganya untuk Yesus, maka banyangan yang tak senonoh meliputi jiwanya bagaikan segumpal awan yang gelap gulita. 
  • Dengan peristiwa itu dia kawatir akan mengalami hukuman abadi.
  • Kadang-kadang gelombang badai sedemikian hebat mengamuk sampai-sampai mendorong dia mengutuki Tuhan dan ingin bunuh diri.  

Malam gelap itu dialaminya selama 3 tahun. Saat dia mengalami malam gelap, Ayahnya merencanakan pernikahannya. Dia pernah membicarakan hal ini pada seorang Imam tetapi Imam itu tidak mengerti akan pergumulannya. Menghadapi tawaran Ayahnya dia menjadi terombang-ambing. Dalam situasi itu malaikat pelindungnya berbisik dalam telinganya agar dia memilih Yesus. Mendengar bisikan itu dia pergi ke Kapel dan berdoa lama sekali sampai matahari terbit lagi dalam hatinya yang gelap gulita itu.  

Akhirnya dia sadar bahwa cinta Ilahi yang harus dipilih dan dikejar. Dengan segenap hati dia memeluk salib sambil berjanji bahwa dia akan mengabdikan dirinya kepada Yesus melalui ordo yang keras cara hidupnya.  Sejak saat itu hatinya diliputi kegembiraan dan dengan penuh damai dia pergi tidur. Malam  itu dia bermimpi: Didepan tahta Santa Perawan Maria dia melihat Santa Theresia Avila dan Santa Klara Assisi saling memperjuangkan dia untuk memilih hidup mereka. Sementara  itu Santa Perawan Maria  memberi keputusan bahwa Margareta sungguh dipilih untuk masuk biara Kapusines, maka mimpi itu hilang.

Pada tahun 1704 Margareta meninggalkan rumah orangtuanya yang serba mewah itu guna memulai masa percobaan sebelum masa pendidikan novisiat resmi. Sungguh mengagumkan bahwa Margareta ternyata bertekun meskipun jiwanya mengalami kekeringan padang gurun. Dalam situasi itu, Ayahnya datang dan mengajaknya keluar dari biara dan dia mengikuti keinginan Ayahnya.  Ayahnya mengajaknya melancong  keseluruh negeri Italia, Milan, Lombardi dan Venesia. Di Venesia mereka menginap dirumah pamannya. Pamannya memperkenalkan dia pada putra seorang senator. Putra senator itu berusaha menarik perhatian Margareta yang acuh dan tetap dingin. Dan akhirnya ia tergoda juga akan cinta duniawi.  Daya tarik untuk menikah semakin kuat tetapi kadang ia ingat akan janjinya pada kaki salib Yesus di Brescia.  Dia berlutut di kamarnya dan berdoa. Pada akhirnya hanya satu doa yang keluar dari hatinya yaitu: ”Tuhan selamatkanlah saya, saya binasa”.  Dia menyesali perbuatannya dan pada tanggal 8 september 1705 ia masuk biara Kapusines lagi dan pada tahun 1707 dia mengucapkan profesi kekalnya.  

Pada Masa Novisiat dalam Kapitel dia ditolak karena berbagai tuduhan yang dilontarkan pemimpinnya.  Penolakan itu membuat Margareta mengalami pergolakan yang luar biasa hebatnya. Dia merasa bahwa Tuhan tidak mau menerima kurbannya dan berbagai hal muncul dalam pikirannya. Dia mencari pertolongan kepada bapa pengakuan namun semua sia-sia.  Situasi ini juga membuatnya semakin tekun berdoa, melakukan tapa sampai dia jatuh sakit.  Dalam kapitel yang kedua, suatu mujizat terjadi, hal ini diakui oleh  semua suster dan  berkat karya Roh Kudus dia diterima untuk mengucapkan kaulnya. Semua suster memandang bahwa bukan si novis yang salah tetapi pemimpinnya. Kemudian pemimpin novisnya diganti.

Ketika menerima jubah ia membayangkan kepalanya dipenggal dan diletakkan di kaki salib. Margareta tetap setia, dia tidak mengikuti kehendaknya tetapi memperhatikan apa yang suster harapkan dari dia. Semua pekerjaan ia lakukan dengan hati gembira dan wajah berseri.  Dia semakin maju dalam kesempurnaan. Dia pernah berjanji bahwa ia akan selalu berpikir dan berkata serta berbuat apa yang lebih sempurna. Dia memandang keutamaan sebagai berikut:
  • Kerendahan hati, kesabaran dan cinta kasih.
  • Doa yang terus menerus, kesamadian bermatiraga dalam segala hal, memanggul setiap salib dengan hati gembira.
  • Selensium, hidup dihadirat Tuhan dan
  • Penyangkalan kehendak diri.

Inilah yang dipersembahkan kepada keagungan Tuhan. Dikemudian hari dia menjadi Abdis, penjaga pintu dan pemimpin novis.  Dia sering mendaraskan doa St. Paulus “Tuhan Yesus berikanlah saya penderitaan dan kasihanilah kami pendosa”.

Pada tahun 1728  dia jatuh sakit, hatinya terdorong untuk mengaku dosa, pengakuannya diiringi dengan tangisan dan banyak keluhan sehingga tidak dapat menyelesaikan pengakuannya dalam satu hari. Oleh karena itu Bapa pengakuan menunda absolusinya sampai keesokan harinya.  Malam itu dia dilewatinya dengan doa, dia berlutut pada kaki altar didepan Sakramen Mahakudus dan memohon kerahiman Yesus.  Tiba-tiba dia melihat Yesus berdiri didepannya mengenakan pakaian seorang Imam dan menaruh tangannya diatas kepala Magdalena dan berkata:”Anakku segala dosamu Kuampuni.” Penglihatan itu menghilang. Dia mengalami kebahagiaan surgawi dan pagi berikutnya dia menerima absolusi. Magdalena seumur sangat menghormati Ekaristi suci. 

Peristiwa berikut adalah bukti bahwa ia menghormati Tuhan dalam Komuni suci. Dia pernah menyantap hosti yang dimuntahkan oleh seorang Novis sebab dia melihat Yesus didalam hosti suci itu. Pada suatu hari ketika Don Yoanes Baptist Moreti membagikan komuni suci kepada para suster maka dengan tiba-tiba Hosti itu melayang dari tangannya langsung menuju ke lidah Magdalena. Dengan komuni seringkali dia merasa dikuatkan dari sakitnya. Pada tanggal 27 Juli 1736 dia menerima sakramen  minyak suci, dia merasa lemah dan sambil tersenyum dia menundukkan kepalanya dan meninggal. Ia digelar beata pada tanggal 3 Juni 1900 oleh Paus leo XIII.

Sumber: Dari buku orang kudus dalam bahasa Belanda terjemahan Indonesia oleh suster OSC Cap, Diringkas oleh Sr.M. Agnes OSC Cap.




   


St. Agnes dari Asissi

St. Agnes dari Asissi


Google Images.Jpg


Gambar santa Agnes sering ditampilkan menggendong Kanak-kanak Suci Yesus dan pestanya dirayakan pada tanggal 19 November. Ia lahir pada tahun 1197/1198 di Asissi dan dibaptis dengan nama Katarina. Dia adalah anak ke empat dari lima bersaudara, satu diantaranya tidak diketahui namanya. Tiga diantaranya bernama Penenda, Beatrice dan Santa Klara. Santa Agnes berasal  dari keluarga bangsawan Asissi Favarone di Offreducio dan ibunya bernama Hortulana. Santa Agnes adalah adik dari Santa Klara.  Agnes mengabungkan diri dengan kakaknya 16 hari setelah Klara mengikuti jejak Fransiskus dari Asissi.

Ketika keluarganya mendengar bahwa Agnes bergabung dengan Klara maka pada hari berikutnya, pamannya pergi ke tempat tinggal Klara bersama 12 orang pria. Secara lahiriah mereka menyembunyikan maksud mereka yang jahat dan bersikap secara damai masuk ke biara. karena dahulu mereka gagal membawa Klara pulang maka secara langsung mereka berpaling pada Agnes dan mengajak Agnes pulang tetapi Agnes tidak mau meninggalkan Klara. Pamannya mendekati Agnes, memukul dan menyepaknya tanpa belaskasihan. Agnes seperti diterkam oleh singa dan diseret keluar sementara yang lain mendorongnya dari belakang. Agnes berteriak minta tolong pada kakaknya, melihat itu Klara bertiarap sambil berdoa dan menangis. Klara memohon kepada Tuhan agar adiknya diberi kekuatan Ilahi untuk bertahan. Tiba-tiba saja badan Agnes yang terbaring ditanah menjadi begitu berat sehingga mereka tak sanggup mengangkat badan Agnes. Petani-petani yang sedang bekerja dikebun Anggur berdatangan menolong tetapi mereka tidak bisa mengangkat Agnes dari tanah itu.  Karena mereka gagal mengangkatnya, pamannya Monaldo menjadi begitu marah sehingga ia memukul Agnes dengan  tangannya tetapi tiba-tiba tangannya menjadi sakit dan sakit itu harus ia derita cukup lama.

Setelah perjuangan itu Klara datang untuk menghentikan perlakuan keluarganya. Akhirnya Pamannya menyerahkan Agnes pada Klara dan mereka pulang dengan kecewa. Setelah mereka pergi Agnes berdiri dengan hati gembira karena boleh merasakan derita salib  karena Kristus. Sejak saat itu Agnes menyerahkan diri selama-lamanya dalam pengabdian pada Allah. Fransiskus memotong rambut Agnes dan mengajarkan padanya jalan Tuhan Yesus Kristus.   

Kira-kira tahun 1229, diusia yang masih 30 tahun, Agnes diutus oleh Klara ke sebuah biara di Montecelli dekat Florence untuk membimbing biara itu, yang ingin menggabungkan diri dengan putri-putri miskin yang dibentuk oleh Klara.  Selama berada di sana jiwanya merasa menderita dan sedih karena secara badani terpisah dengan kakaknya Klara. Padahal dia pernah berharap akan hidup dan mati didunia ini bersama-sama dengan Klara dan para suster di San Damiano.  Pada akhirnya dia percaya bahwa satu kematian dan satu kehidupan akan menyatukan mereka  di Surga.  Di dalam biara yang ia pimpin ditemukan kerukunan yang besar, tidak ada perpecahan dan ramah.  Semua susternya menaruh pasrah, hormat dan taat kepadanya. Dan pada Klara, Agnes mengatakan bahwa dia bersedia melaksanakan dengan setia ajaran dan peraturan yang dibuat oleh  Klara untuk cara hidup yang mereka jalani. Dalam suratnya kepada santa Klara dikatakan bahwa dia adalah seorang pelayan Kristus, yang rendah hati dan yanh tak berarti.

Agnes tinggal di Biara Montecelli sampai pada tahun 1253, pada tahun ini juga Agnes kembali ke Biara San Damiano bersama Ermentrudis seorang pertapa yang ingin  bertemu dengan Klara di San Damiano Assisi dan sekaligus untuk mengunjungi Klara yang sedang sakit.  Pada tanggal 27 Agustus 1253 Agnes meninggal, dia tidak lagi hidup pada masa beatifikasi Klara menjadi orang kudus sebab dikatakan bahwa dia meninggal tepat 2 minggu sesudah Klara wafat tetapi menurut tradisi pada tanggal 16 november 1253 Agnes wafat. St Agnes dikanonisasi pada tahun 1753 oleh Paus Pius Benedictus XIV. 

Disadur oleh Sr. Maria Agnes Cap (Biara Providentia) dari buku Hal Ikhwal dan Warisan St. Klara karya Goenen OFM, Klara Van Assisi oleh Anni Holleboom, Surat St. Agnes dari Assisi kepada St. Klara,

4 Nov 2015

BPKA (Berguru Pada Kebijaksanaan Alam) MENGAIL DI AIR JERNIH

BPKA (Berguru Pada Kebijaksanaan Alam)

MENGAIL DI AIR JERNIH

 

Suatu hari yang cerah, terjadi sebuah percakapan imajiner antara seorang pemuda dengan sebuah sungai di kampungnya pak Tegar. 

Ada seorang pemuda yang sedang galau, pikirannya sumpek. Gelar kesarjaan  yang telah disandangnya setelah kuliah hampir lima tahun dan hampir  satu tahun ijazah itu digenggamnya, ia masih tetap seorang pengangguran. Walaupun ia telah membuat banyak lamaran, namun tak satupun perusahaan yang mau menerimanya. 

Untuk menghilangkan rasa kejenuhan hidup, ia memutuskan untuk mengail di sungai, dan dia mulai mencari suatu tempat yang enak untuk memulai aktivitasnya yaitu memancing. Sudah hampir empat jam dia duduk di tepi sungai beralaskan batu, menunggu kalau-kalau ada ikan yang menyantap umpannya. Sampai tengah hari ternyata tak seekor ikan pun mendekati kailnya. Ia merasa ditipu oleh teman-temannya, katanya di sungai   tempat   ia   mengail   itu  terdapat berbagai jenis ikan. 

Kekecewaan sang pemuda memuncak, dia berdiri kesal dan bermaksud mematahkan joran pancingnya dan membuangnya  ke sungai. Tetapi niat itu segera diurungkannya setelah mendengar suara teguran.

“Hai kawan, janganlah kau patahkan kailmu itu!” si pemuda bingung, melihat ke kiri dan ke kanan, dia hanya sendiri tiada siappun lalu siapa yang berani menegurnya.

“Engkau akan menyesal di kemudian hari, sebab engkau tidak bisa datang ke tempatku lagi untuk mengail kembali“. Barulah si pemuda sadar yang telah menegurnya adalah si sungai itu sendiri.

“Aku kecewa, karena dari pagi-pagi sampai sesiang ini tak seekorpun ikan yang mendekat pada kailku. Aku merasa ditipu oleh teman-temanku,“  sahutnya.

“Kawan, kegagalanmu untuk mendapatkan ikan itu bukan karena kailmu, dan juga bukan karena teman-temanmu. Kegagalanmu itu murni karena kesalahanmu sendiri.”

“Karena aku sendiri?” sahut si pemuda.

“Benar kawan, Cobalah kamu lihat dirimu sejenak agar kamu tahu kesalahanmu,“ kata si sungai melanjutkan.

“Jadi aku yang salah?” sahut si pemuda sengit. “Tunjukan kesalahanku secara jelas, aku sudah jenuh dengan nasihat.“

“Aku bertanya dulu, mengapa engkau memancing di tempat ini,“ tanya si sungai.

“Aliran air di sini bersih, sehingga aku akan dapat melihat dengan jelas gerak-gerik ikan yang mendekat pada umpanku. Dengan demikian aku akan dapat bersiap-siap untuk menangkap ikan yang mendekat pada pancingku. Lagi pula kan ditempat ini suasanya sangat nyaman, teduh tidak panas, sebaliknya kalau di kelokan itu banyak lumpur, pakaianku akan kotor,“ si pemuda berusaha menjelaskan alasannya.

“Kawan, ikan yang besar yang seperti kamu inginkan itu tidak suka tinggal di air yang jernih. Sebaliknya ikan-ikan itu akan lari ketika melihatmu, karena ikan-ikan itu sadar kedatanganmu akan membawa ancaman bagi mereka. Ikan-ikan itu lebih suka tinggal di tempat yang gelap agar orang-orang tidak melihatnya. Kamu ini datang untuk mengail atau untuk pameran busana?. Di tempat ini, kamu tidak akan mendapat ikan tetapi justru di kelokan itulah yang banyak ikannya. Nah, itu kesalahanmu yang pertama, bekerja hanya mencari tempat yang enak, yang nyaman dan tidak berani bekerja secara total,” si sungai berhenti sejenak, sambil mengamati wajah si pemuda.

“Lalu apa kesalahanku yang lain?” si pemuda melanjutkan bertanya.

“Kamu menggunakan umpan yang tidak lazim seperti yang dilakukan pemancing yang lain yang menggunakan cacing sebagai umpannya.“

“Tetapi bukankah umpan roti itu lebih enak dan lebih mahal dari pada cacing yang menjijikkan! Aku yakin dengan umpan roti, ikan-ikan yang ada akan datang untuk menyantap umpanku,“ jawab si pemuda membenarkan dirinya. 

“Kamu ingin mengail ikan, atau mengail dirimu sendiri? Memang, roti lebih enak dan lebih mahal dari pada cacing, tetapi itu untuk kamu bukan untuk ikan.“

Tiba-tiba dari kejauhan ada seorang anak yang berpakaian kotor berlumpur. Anak itu memegang joran pancing di tangan kirinya sementara tangan kanannya menenteng serenteng ikan yang besar-besar, kegagalannya dalam memancing membuat si pemuda bertanya dalam hatinya,
“Mungkinkah kegagalan dalam hidupku selama ini karena aku egois, kurangnya totalitas dan hanya mencari tempat yang enak yang sesuai ukuranku, seperti kegagalanku dalam memancing?”

Memancing adalah sebuah seni hidup. Sebab hanya orang yang memasang umpan dengan benar saja yang akan didatangi berbagai jenis ikan. Dalam hidup pergaulan sehari-hari, orang sering mengalami kesepian karena tidak mempunyai teman yang sungguh-sungguh mau bersahabat dengannya. Kegagalan persahabatan itu disebabkan orang tidak mau memberi umpan yang tepat sehingga orang lain mau mendekat dan mau bersahabat dengannya.

Untuk memengaruhi orang lain, orang sering memberikan nasihat bijak, supaya orang lain bertindak sesuai dengan gambarannya. Tetapi orang lupa untuk membangkitkan semangat orang lain agar nasihat yang diberikan tidak hanya dipandang sebagai sesuatu yang menggurui. Nasihat bijak tidak selamanya menyelesaikan masalah, karena orang lebih suka menggunakan kacamatanya sendiri untuk melihat sesuatu, padahal kejelian melihat dengan menggunakan kacamata orang lain merupakan tindakan bijak yang sesungguhnya. Orang tidak mau melihat keadaan orang lain karena terlalu egois dan hanya memandang dirinya sebagai sumber kebenaran. Di lain pihak, cara pandang orang lain dianggap sebagai suatu kebodohan yang harus dibetulkan. Sebagaimana si pemuda tadi yang memasang umpan  berupa roti pada mata pancingnya, karena dia menganggap bahwa roti itu lebih enak dan lebih mahal dari pada daging cacing. Itu semua terjadi karena sebagian orang lebih berorientasi pada apa yang diinginkan dirinya dari pada melihat apa yang diinginkan orang lain. Dengan mencoba memikirkan apa yang dipikirkan orang lain, manusia akan mampu mengurangi rasa kuatir dan ketakutan dalam menyelusuri peziarahan hidup ini. Semoga.

Singkawang, awal Oktober 2015
Disadur oleh Kong Arie.

1 Nov 2015

PROFIL KONGREGASI SFIC


KONGREGASI SFIC


MOTTO : DEMI CINTA ALLAH


VISI : 
Keutuhan semua mahkluk ciptaan dalam keadilan, cinta kasih dan damai
MISI :
Keutuhan semua mahkluk ciptaan dalam keadilan, cinta kasih dan damai. Menemukan jalan untuk meringankan penderitaan yang ditanggng oleh orang-orang disekitarnya (konstitusi SFIC Dasar Spiritual Bab I baris 4-6) dengan menyembuhkan yang terluka, menyatukan yang remuk, dan memanggil kembali yang tersesat (konstitusi SFIC)

Pada awal kedatangannya, para suster menempati rumah sederhana milik guru agama Chang A Kang. "Bagaikan kandang Betlehem, meskipun mengalami akibat kemiskinan, kami tetap hidup bergembira..."kata Muder Emerentiana menggambarkan pondok mereka saat itu...
Pendiri Kongregasi :

1.Bernardian Van Hoof
2.Teresia Van Miert (Ibu Pendiri)
3.Fransiska De Rooy
Kapitel Provinsi Indonesia
Dewan Pimpinan Sekarang


Penerimaan Jubah
APA ARTI SFIC? Tarekat kami terdaftar di Roma dengan nama: SFIC (Sororum Franciscalium ab Immaculata Conceptione a Beata Matre Dei). Yang dalam bahasa Indonesia berarti : Suster Fransiskus dari Perkandungan Tak Bernoda Bunda Suci Allah. Kongregasi SFIC berdiri di Veghel Belanda tanggal 24 Juni 1944. Ibu pendiri SFIC adalah Ibu Teresia Van Miert. Kini SFIC hadir di Eropa (Belanda), Afrika dan Asia.


SEKILAS TENTANG SFIC MASA LALU DAN SEKARANG

Kongregasi SFIC pertama kali berkarya di Indonesia pada tahun 1906 tepatnya di Singkawang Kalimantan Barat. Pada masa itu Kongregasi SFIC dikenal dengan sebutan SPM(Suster Pengabdi Sesama Manusia ) kini nama tersebut menjadi nama Yayasan pendidkan yaitu Yayasan Pengabdi untuk Sesama Manusia. Karya awal SFIC yaitu bidang kesehatan, pendidikan, Pastoral dan sosial. Untuk pertama kali berkarya di singkawang, suster-suster (SFIC) menempati rumah seorang umat/guru agama di singkawang dengan atap daun seadaanya, asal ada tempat untuk berteduh. Dapat dibayangakan para misionaris saat itu datang dengan jubah yang panjang dari Negeri Belanda yang dingin kini tinggal di daerah tropis yang panas. Dari hidup berkecukupan di negeri asal tetapi kini harus hidup serba kekurangan di tanah misi singkawang. Suatu pengorbanan yang harum mengawi bagi Yesus yang mereka abdi dengan seluruh jiwa raga. Tampak jelas salib yang mereka pikul demi Kerajaan Allah.  Perhatian sederhana mereka lakukan dengan pendidikan kaum perempuan, memelihara anak-anak yang telah dibuang oleh orang tuanya, merawat orang sakit terutama orang sakit kusta. Seorang suster bernama Sr. Cajetana setiap hari pulang dan pergi ke tempat tinggal orang kusta untuk merawat mereka yang terbuang dari keluarga dan masyarakat. Perawatan yang sederhana dengan obat seadanya dan tanpa peralatan medis yang canggih. Mereka yang dirawat itu berada di hutan jauh dari penduduk Singkawang. Tempat perawatan orang Kusta tersebut kini menjelma menjadi rumah sakit Kusta Alverno. Cinta akan Yesus mengobarkan semangatnya untuk mencintai kaum lemah dan tersingkir.

Kini SFIC semakin berkembang, satu persatu suster misionaris pulang ke negeri belanda karena SFIC sudah dianggap mampu meneruskan karya dan pelayanan yang telah mereka rintis. Para suster SFIC terus bekerja di rumah sakit St. Vicentius Singkawang, Rumah Sakit Kusta Alverno dan Persekolahan. Mereka memilih berkarya dalam kesederhanaan yang mengharapkan bahwa Tuhan mengerti apa yang telah mereka lakukan walaupun kadang mendapat tantangan berat. Persembahan terindah hanya diberikan kepada Tuhan. Dalam kesunyian dan ketekunan mereka terus bekerja dengan tangan mereka sendiri, karya boleh hebat namun semua itu tanpa arti apabila tidak disertai dengan kurban yang mewangi bagi Allah. “Teguhkanlah ya Tuhan apa yang telah Kau mulai dalam diri kami” demikian doa ibu pendiri Teresia Van Miert yang selalu diingat para suster dalam perjalanan panggilan. Semoga Tuhan meneguhkan dengan Cinta-Nya yang tanpa batas.

“Tuaian memang banyak tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk menuai itu” (Luk:2).

Bagi Para Pemudi yang berminat bergabung bersama  SFICdapat menghubungi:
Provinsialat SFIC Sr. Yuvina, SFIC
Jl. Tamar no 8 Hp: 082156001020
Telp. 0561-766247
Pontianak
Email:sficindonesia@gmail.com

Pengirim : Sr. Yuvina, SFIC






16 Sep 2015

JELAJAH WAKTU, SINGKAWANG ‘TEMPO DOELOE’

JELAJAH WAKTU, SINGKAWANG ‘TEMPO DOELOE’

Kemudian, atas nama rindu, kutelusuri bayangan pada cerita yang pernah menggiringku menyusuri sudut-sudut kota itu. Di antara pecinan tua, bangunan serta gereja bergaya Belanda, kuil-kuil bersahaja dengan semarak aroma dupa yang mesra bertetangga dengan Masjid Raya. Ingatkah kau tentang tower PDAM kota kita yang menjulang gemilang serta kokoh melegenda. Taman Burung yang sudah ditinggalkan seluruh penghuninya, hingga keruhnya sungai yang tetap setia dan mesra membelah jantung kota. Bukankah setiap langkah dari kaki sanggup membawa pergi ke tempat manapun yang kita ingini, tapi bagaimana halnya dengan hati yang terlanjur tertinggal di kota ini? Masih atas nama rindu, karena jika kau mencintai sesuatu, setiap kali bayangannya sirna dan berlalu, kau akan kehilangan sebagian dari dirimu.   

Apa yang istimewa dari sebuah kota selain eksotisme budayanya, selain denyar keramahan penduduknya, selain cita rasa kuliner khasnya yang pantang enyah karena terlanjur lengket di lidah. Tak lain tak bukan jawabannya berkisar pada kenangan. Sebuah sejarah berlabel kenangan menjadi sesuatu yang mutlak tak tertawar dan mangkus menyita sebagian besar memori  hidup setiap manusia. Keberadaan suatu kota yang sanggup melestarikan cagar budayanya  seolah menjadi jawaban untuk menaungi kenangan  masa silam setiap orang yang sempat terlibat secara emosional. 

Edisi Likes kali ini bermaksud memanjakan mata dan ingatan pembaca dengan mengajak bernostalgia, menjelajah waktu, kembali ke masa lalu. Menelusuri sudut-sudut Kota Amoi, yang dari sumber utama yakni Pastor Yerry maupun Kearsipan Perpustakaan Daerah Singkawang, gambar-gambar pengingat masa lalu yang terserak itu didapatkan. Foto-foto yang didapat dari Pastor Yerry bersumber dari buku yang beliau miliki. Sekadar informasi, objek gambar  lebih banyak mengetengahkan hal yang berkaitan dengan kegiatan misi di kota ini.  Tak lupa di beberapa objek foto terdahulu yang masih dapat ditelusuri keberadaannya kami sertakan sebagai pembanding sekaligus sebagai pemutar kenangan masa silam.    
























Hidup ini penuh warna jika dalam ingatan, kita berhasil merekam begitu banyak kenangan. Hidup ini sarat arti jika kita menilainya dari sudut pandang hati. Hidup ini indah jika kita sanggup menertawakan segala keluh kesah tanpa melupakan sejarah. Kita seringkali terus menerus melihat ke luar, namun lupa menengok ke dalam diri karena menganggap terlalu hambar. Kita berulang kali lebih peduli dengan sejarah sesuatu yang asing dan justru abai pada kisah bumi kelahiran yang sebenarnya sanggup jadi pembanding. Kita acapkali sukses menancapkan cerita tentang tanah seberang di dalam kepala, sementara kisah tanah berpijak kita seolah dimaklumkan untuk terlupa.

Sejarah kita bukan produk karbitan, ia lahir karena tempaan zaman. Jika dapat bertahan di tengah perubahan adalah sesuatu yang mengagumkan dan pasti penuh dengan perjuangan. Dinamika kehidupan menghasilkan transformasi kebudayaan, dapatkah dipertahankan, setidaknya bisakah kita menjaganya tetap utuh dalam kotak-kotak bernama ingatan yang pada akhirnya akan kita abadikan dalam sesuatu yang kita sebut sebagai kenangan. Karena apa yang kita anggap sebagai kenangan sejarah masa lalu, demikian halnya akan dianggapkan oleh anak cucu kita saat memandang wajah kita sekarang di masa depan. Ya, kita juga adalah cikal bakal sejarah yang mungkin saja abadi dan lestari dalam kenangan, atau bahkan lindap dari ingatan masa depan. (Hes)