Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

12 Sep 2015

BINCANG HANGAT DENGAN CALON PENERIMA SAKRAMEN IMAMAT

BINCANG HANGAT DENGAN CALON PENERIMA SAKRAMEN IMAMAT

 

 


Sosoknya pertama kali saya lihat pada medio Desember 2014 lalu. Kala itu saya tengah ditugaskan meliput kegiatan seksi sosial panitia Natal yang tengah masyuk bekerja menyortir pakaian pantas pakai yang akan disalurkan ke 14 stasi di bawah naungan paroki. Beliau adalah salah satu dari sekian yang asyik bekerja, tak hirau dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Kesan saya ketika pertama kali melihat Kapusin yang kali ini profilnya diangkat dalam rubrik sosok adalah serius, pendiam, bahkan cenderung cuek. Bagaimana tidak, ketika saya harus mengambil gambar guna melengkapi tampilan artikel yang saya tulis, saya harus mengulang setidaknya hingga empat kali shoot agar semua objek yang ada di dalam foto memandang ke arah kamera. Itu pun akhirnya dengan bantuan lampu blitz yang mungkin menyilaukan hingga mau tidak mau, Kapusin yang satu itu merasa sedikit terganggu oleh kilatan blitz, baru kemudian memalingkan pandangan ke arah kamera.  

Fr. Ferdinand , OFMCap, lahir di Merbang, 25 Juni 1984. Pria yang sekilas memiliki paras serupa  artis peran Glenn Alinskie ini masih terkesan pelit bicara kala saya menghampirinya di Pastoran guna menjalani sesi wawancara. Ada sedikit ketegangan yang tersirat di wajahnya saat wawancara berjalan pada menit-menit awal. Hal ini rasanya sangat wajar mengingat sebelumnya kami memang belum pernah terlibat dalam obrolan dan setelah saya telusur lebih jauh, frater yang memiliki hobi bernyanyi lagu-lagu Malaysia dan mendaraskan Mazmur ini memang memiliki sedikit permasalahan dengan proses adaptasi, terutama adaptasi terhadap sosok baru di lingkungannya, namun jika sudah mengenal sosoknya lebih dalam, maka kesan hangat pun segera tersemat. “Tantangan terberat dalam diri saya adalah sosok saya yang tergolong pendiam, bagaimana saya yang pendiam ini harus bisa melayani umat yang mungkin saja nanti dalam perjalanan keimamatan saya harus seringkali mengalami mutasi. Saya dituntut harus mampu segera beradaptasi dengan lingkungan dan segala situasi,” begitu ujarnya.
Dalam perjalanan pendidikan kegembalaan, pembelajaran tentang berbicara maupun retorika diperoleh dan cukup membantu dalam mengatasi permasalahan sifatnya yang pendiam. “Saya yang pendiam ini banyak belajar untuk berbicara di depan umum pada saat menempuh pendidikan di Pematang Siantar. Kami seringkali harus presentasi pada saat perkuliahan berlangsung, dan pada tahun kedua kami diberi kesempatan mengajar, demikian juga di tahun ke tiga dan ke empat, dalam karya kerasulan, saya diminta untuk mengajar di Sekolah Minggu,” ujarnya.

Kira-kira 20 menit berselang, suasana wawancara pagi itu mulai terasa akrab kala tawanya berderai saat menceritakan pengalaman jenaka ketika menempuh pendidikan di kampus STFT Pematang Siantar. Layaknya remaja beranjak dewasa pada umumnya, Ferdi juga mengalami fase sedikit bandel dan lalai dalam belajar. Dunia hiburan di televisi sempat membuncah konsentrasi belajarnya hingga ia baru  merasa kalang kabut saat menjelang ujian akhir semester.    

Ditelisik mengenai momentum panggilan keimamatan dalam hidupnya, pria yang awalnya bercita-cita ingin menjadi guru ini perlahan mulai mengubah haluan masa depannya menjadi gembala saat duduk di bangku SMP. Kala itu seorang pamannya yang adalah seorang pastor meninggal dunia lantas sang ayah sempat berujar, “Nanti kamu menggantikan pamanmu menjadi pastor,” sejak saat itu bara kehidupan membiara perlahan tapi pasti mulai berkobar dalam dadanya. 

Ketertarikannya terhadap kehidupan membiara semakin mekar saat duduk di bangku SMA, ia tinggal di asrama di bawah naungan Kapusin. Sosok Ferdi remaja saat itu masih terlalu hijau untuk memahami berbagai ordo dalam kehidupan membiara dan baru mulai terbuka wawasannya saat memasuki tahun orientasi panggilan yang dijalaninya di Nyarumkop. Saat itu, ia mengaku begitu mengalami ketertarikan yang kuat pada Ordo Kapusin karena persaudaraannya yang sangat lekat. “Saya melihat karya mereka di kampung saya, pelayanan mereka juga sangat total. Selain itu jubahnya berwarna coklat, begitu sederhana, praktis dipakai untuk apapun juga, jubah pekerja. Hal lain mengapa saya memilih Kapusin karena adik kakek saya ada yang imam dan Kapusin juga, adik mamak saya juga suster sekarang menjadi pimpinan SFIC Pontianak.”  

Meski masih harus menempuh pendidikan lanjutan di STT Pastor Bonus, putra dari Bapak Vincentius Nyurai dan Ibu Yohana Ayu ini ternyata juga memendam hasrat mulia berkait dengan pendidikan dan keprofesiannya. “Jika diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di luar jalur keimamatan, saya sangat ingin mengambil spesialisasi keperawatan. Saya ingin merawat rekan-rekan pastor Kapusin yang sudah tua dan sakit,” ujarnya dengan nada bersungguh-sungguh. 

Kiranya perjalanan Frater Ferdi menuju tahbisan kekal sebagai imam masih harus melewati satu tahapan pendidikan. Besar harapan ditautkan agar bisa menuntaskan pendidikan tepat pada waktunya hingga impian serta cita-cita masa remajanya untuk menjadi seorang imam dapat terwujudkan. Doa kami selalu mengiringi setiap usaha dan langkahmu, wahai calon gembala baru. (Hes)     


Riwayat Pendidikan dan Kegembalaan
SDN 8 Merbang
SMPN 2 Belitang Hilir
SMA Maniamas, Ngabang
Tahun Orientasi Panggilan Nyarumkop
Postulan Sanggau Kapuas
Novisiat Gunung Poteng, Singkawang
STFT Pematang Siantar, Sumatera Utara
TOP. Er Paroki St. Fransiskus Assisi, Singkawang
STT Pastor Bonus, Pontianak