Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

3 Jun 2015

JANGAN MENGGUGAT TUHAN DONG

 “JanganMenggugat Tuhan Dong”

Google Images.Jpg

                 Di pagi itu aku biasanya menghidupkan motor lebih awal dari hari-hari sebelumnya. Entah  kenapa hari senin itu aku terlambat bangun dan enggan untuk pergi ke sekolah.
                “Huhhh.. Pelajaran hari  ini berat nih.., mendingan aku tidur lagi ahhh!...”
 Dari luar pintu kamarku terdengar suara ayah begitu keras.
               “Decky… Decky… Decky! Bangun, Nak! Sekarang sudah jam 08.00 pagi! Apa kamu sakit? Atau kamu memang hari ini malas ke sekolah? Decky..Decky… Kamu keras kepala ya!. Dasar kamu pemalas, Nak! Saya capek dengan sikapmu! Saya malu tiap hari selalu ada surat dari sekolah bahwa saya tidak memperhatikan kamu! Ayo bangun!”
              Teriakan ayahku begitu menggema di rumah hingga adikku juga ikut terbangun dari lelapnya tidur di kala itu. 
             Ya, aku memang tergolong anak yang tidak banyak bicara dan paling takut kalau melawan ayah sekalipun kurasa diriku benar. Aku cepat-cepat ke kamar mandi untuk cuci muka dan tanpa pamit pun  langsung menggeber gas motor kesayanganku ke sekolah.
                Ketika di pintu gerbang aku melihat petugas keamanan dan guru piket mereka menggeleng-gelengkan  kepala,  melihat tingkah lakuku. Dengan nafas ngos-ngosan aku langsung ke kantor  guru Bimbingan Konseling untuk menyelesaikan persoalanku.
             “Decky kamu masih punya keinginan untuk sekolah enggak sih? Namamu sudah tercatat sebagai anak yang seringkali terlambat,  belum lagi raport merah dari bapak ibu guru tentang kelakuanmu di sekolah ini! Sadarlah, Nak!! Kami lelah hanya memperhatikan tingkah lakumu tiap hari?”
                Aku terdiam dan kubiarkan guruku tetap marah sebab aku memang sadar bahwa aku pada posisi bersalah. Setelah kurasa amarah guru Bimbingan Konselingku mereda, aku lantas angkat bicara,
              “Pak, izinkan saya untuk mengungkapkan sesuatu mengapa saya terlambat dan mengapa saya selalu bermasalah di sekolah ini”, pintaku sambil menunduk di depan wajah guruku yang menurutku terkategori orang tuaku yang kedua. Curhatku dari hati ke hati ternyata membuat guruku ikut bersedih atas situasi dalam hidupku.
                Aku memang sakit hati untuk mengungkapkan permasalahan pribadiku pada guruku. Berat, sangat berat untuk membeberkan masalah peribadiku. Aku tidak tahu kepada siapa lagu aku mengungkapkan semuanya ini. Aku berpikir guru pasti akan menyimak dan juga ikut mencari jalan terbaik buat masa depanku.
               “Pak, saya dari keluarga yang cukup memprihatinkan. Saya tinggal dengan ayah dan ibu tiri. Mama sudah meninggalkan  kami sejak saya sekolah dasar. Untung ayah saya masih semangat membiayai hidup saya  yang membuat saya tetap bertahan hingga saya tetap mengenyam pendidikan hingga di bangku  di SMA. Kalau di rumah, saya tidak menemukan kedamaian mengapa di sekolah pun tak saya temukan tempat  yang dapat mendamaikan hati saya! Kemana lagi harus saya cari tempat yang dapat mendamaikan hati saya di dunia ini , Pak? Mengapa semua pintu rasanya tertutup untuk saya? Saya mohon kali ini saja, maafkan keterlambatan saya, Pak. Percayalah Pak, saya berjanji esok saya tidak mengulangi lagi!”, Pintaku dengan wajah lesu.
             Aku pulang rumah sambil menangis tersedu-sedu. Wajah ayah pun tidak bersahabat lagi. Ayah tidak mempedulikan aku lagi. Ayah merasa bahwa akulah yang membuat ayah menderita selama ini. Tetanggapun tahu bahwa aku emang anak yang tidak bisa berkawan dengan siapa-siapa hingga minder bergaul meski dengan tetangga.
              Pada malam sebelum tidur aku mengotik-atik laptopku.  Berawal dari sinilah, aku menulis segala kepenatanku hingga menggugat Tuhan. Aku berpikir tidak ada guna menulis begitu saja. Percuma! Barang kali aku bisa membagikannya di Grup Facebook teman-temanku siapa tahu mereka ada yang lebih  menderita dariku. Aku menulis seolah-olah menanyakan keberadaanku sebagai remaja yang tengah mencari identitas di tengah kepenatan dunia ini. “Who Am I ?” inilah pokok tulisanku. Siapakah aku. Aku lahir dari seorang ibu yang luar biasa. Tetapi mengapa ibu tega meninggalkanku? Mengapa juga ayah tidak mau menceritakan kepadaku mengenai masalah ini. Ah, masa bodohlah. Aku pikir akupun tidak sendirian banyak juga teman-teman yang mungkin senasib denganku.
                Pada alinea berikutnya kurasakan otakku buntu. Penat tak ada yang membuat aku  bertahan untuk terus merangkai kata-kata yang menarik bagiku. Tiba-tiba aku berteriak dengan penuh amarah,
 “Tuhan tidak adil! Tuhan tidak bijaksana! Mengapa aku diberi penderitaan terlalu dini diusia seperti ini! Huuhhh…. mengapa Tuhan juga membiarkan orang-orang di sekitarku menolak kehadiranku!”.
          Anehnya, di sela-sela kemarahanku, aku tetap percaya Tuhan tidak menguji di luar kemampuanku. Rupanya bathinku tetap proposional untuk tidak membenarkan diri sebagai mahluk lemah di hadapanNya.
                 Tulisanku ternyata diberi dukungan moral dan spirit dari rekan-rekanku.
               “Decky… kamu masih beruntung lho. Kamu termasuk remaja yang smart dan excellent lho! Kamu tahu enggak  sih, di belahan dunia ini susah mencari figur remaja yang mau jujur seperti kamu.  menurutku, kamu termasuk kategori remaja yang tangguh. Sebaiknya jangan mengguggat Tuhan dong. Tahu enggak di luar sana banyak remaja seusia kita menderita jauh dari yang kamu alami. Aku salah satu korbannya. Tetapi aku sudah bertobat. Tuhan mengangkat aku untuk menjadi anak yang hebat. Aku meskipun mandi dalam lumpur kedosaanku aku diangkat kembali menjadi remaja yang tangguh. Aku tidak mempersalahkan orang lain apa lagi Tuhan. Seberapapun dosa kita Tuhan tetap mencintai kita sebagai anak-anak-Nya yang luar biasa. Cukup enjoy bro!”
               Aku begitu kagum dengan kekuatan kata-kata  dari teman-temanku. Aku berpikir  bahwa ternyata penderitaanku jauh dari penderitaan mereka. Yang membuatku heran mereka juga buka-bukaan tentang pengalaman mereka yang sudah bercumbu dengan narkoba hingga masuk penjara. Ah, mengapa mereka juga harus  jujur kepadaku bahwa saat ini mereka sudah terjangkit AIDS. 
                 Tidaaak…!, teriakku  di malam itu.
             “Tuhan,  What  do You  want  me to do? Aku tak sanggup Tuhan! Aku harus berjuang bersama mereka. Aku mau menjadi bagian dari mereka. Aku mau memberi kekuatan baru bagi mereka agar di sisa kehidupan  mereka tetap semangat dan masih ada orang yang peduli dengan mereka. Aku memang anti Narkoba dan AIDS tetapi aku tidak pernah menolak peribadi mereka. Aku ingin menjadi bagian dari peribadi mereka saat ini.”
                Dalam keheningan tidak terasa hampir pukul 00.00. Aku tak mampu lagi memejamkan mata membayangkan teman-temanku di luar sana.
Di tengah keheningan malam itulah, tiba-tiba aku mendapat SMS dari teman-temanku bahwa dalam rangka menyambut Natal 2014 akan diadakan bakti sosial dan untuk kegiatan itu masih diperlukan tenaga pengisi sebagai narasumber seminar “Anti Narkoba”. Pada saat itu juga aku bersedia dan menyanggupi menjadi narasumber yang siap berbagi cerita tentang kondisiku dan penguatan yang kudapat dari teman-teman yang kondisinya lebih memprihatinkan dibanding kisahku.
               “Tidak terlambatkan teman-teman aku menyambut Natal dengan kegiatan ini”, tanyaku pada pemgirim sms.
“Oh, tentu saja tidak. Tiap hari kita merayakan Natal kok? Maksudnya, kita tiap hari melahirkan ide-ide yang keren dan oke demi meraih masa depan kita bro. Oke jangan menggugat Tuhan lagi dong!”
                   “Thanks so much bro.”, tutup obrolanku dengan penuh hangat malam itu. (Bruf)